1. Hadis Mutawattir
a. Definisi
Menurut
bahasa, kata Mutawattir merupakan bentuk isim fa’il dari "التواتر" yang bermakna "التتابع" (berkesinambungan).[1]
Sedangkan
menurut istilah, hadis Mutawattir adalah hadis yang diriwayatkan
oleh banyak orang (rawi) pada setiap tingkatan sanad, dimana
menurut kebiasaan, mustahil mereka untuk berdusta atau bersepakat untuk membuat
hadis tersebut, dan akhir periwayatannya harus disandarkan pada
panca indra.[2]
b. Syarat-Syarat
Hadis Mutawattir
Dari
definisi yang telah dipaparkan di atas, bisa kita pahami bahwa suatu hadis
bisa dikatakan Mutawattir apabila telah memenuhi empat syarat, yaitu:[3]
1) Hadis tersebut harus diriwayatkan
oleh orang yang banyak.
Adapun
jumlah banyaknya bilangan orang (rawi) tersebut dikatakan banyak, para
ulama hadis berbeda pendapat dalam hal tersebut.
Al-Baqillani
berpendapat paling sedikit empat orang, al-Istikhri mengatakan paling sedikit
sepuluh orang, menurut Abu al-Hudhail al-Mu’tazili paling sedikit dua puluh
orang.[4]
Namun pendapat yang lebih dipilih oleh mayoritas ulama hadis dan ulama
fiqh adalah bahwa keMutawattiran suatu hadis tidak ditentukan
oleh jumlah bilangan tertentu, yang menjadi tolak ukur adalah bahwa bilangan
orang disetiap tingkatan sanad bisa menghasilkan keyakinan pasti
terhadap kebenaran suatu berita.[5]
2) Jumlah rawi
yang banyak tersebuat harus terdapat pada setiap tingkatan sanad.
3) Menurut
kebiasaan, mustahil para rawi yang banyak itu bersepakat untuk berdusta.
4) Akhir periwayatan
hadis tersebut haruslah disandarkan pada panca indera.
c. Pembagian Hadis
Mutawattir
Hadis Mutawattir terbagi
menjadi dua, Mutawattir lafdhi dan Mutawattir ma’nawi. Hadis
Mutawattir lafdhi adalah hadis yang lafadz dan maknanya sama-sama
Mutawattir. Contoh hadis Mutawattir lafdhi adalah hadis
مَنْ
كَذَّبَ عَلَىَّ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barang siapa yang
berbuat dusta atas diriku, maka bersiaplah ia (menempati) tempatnya di neraka.”
hadis tersebut diriwayatkan oleh sejumlah besar sahabat
d. Kehujjahan
Hadis Mutawattir
Menurut
Mahmud al-Tahhan, hadis Mutawattir memberikan keyakinan
yang sangat pasti dan kuat. Sehingga tidak ada alasan untuk tidak
mempercayainya. Dan tidak perlu lagi untuk membahas kondisi para perawinya.[6]
e. Kitab-kitab
yang membahas dan menghimpun hadis-hadis Mutawattir
Di antara
kitab-kitab yang membahas tentang hadis mutawatir adalah: Al-Athar
al-Mutanathirah fi al-Akhbar al-Mutawattirah karya Imam al-Suyuti
2. Hadis Ahad
a. Definisi
Ahad
merupakan
bentuk jamak dari kata "أحد" yang mempunyai arti satu. Jadi hadis ahad secara
bahasa adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang.[7]
Hadis ahad menurut istilah
adalah hadis yang di dalamnya tidak memenuhi kriteria hadis Mutawattir.
Dikatakan khabar ahad karena ia menyamai khabar ahad dalam hal
memberikan kepastian yg bersifat zann bukan yaqin.[8]
b. Pembagian Hadis
Ahad
Ditinjau
dari jumlah perawinya, hadis ahad terbagi menjadi tiga:
1) Hadis Gharib
Secara
bahasa merupakan sifat mushabbihah dari kata "الغربة" dan "الغرابة" dengan makna isim fa’il. Kata “Gharib” memiliki
dua makna: pertama "المنفرد في
الجماعة بشيء ما" yang menyendiri atau
terpisah dalam sebuah kelompok/golongan. Kedua "البعيد
عن وطنه وأقاربه" yang jauh dari negara
dan kerabat.[9]
Menurut
istilah, hadis gharib adalah hadis yang dalam sanadnya
hanya terdapat satu rawi saja yang meriwayatkan. Satu rawi tersebut bisa
saja berada pada salah satu tingkatan sanad atau pada keseluruhan sanad.[10]
Menurut
Mahmud al-Tahhan, hadis gharib terbagi menjadi dua: gharib mutlaq
dan gharib nisbi.
Gharib
mutlaq adalah hadis
yang pada pokok sanadnya hanya ada satu rawi yang meriwayatkan.
Yang dimaksud dengan pokok sanad di sini adalah sahabat. Jadi, gharib
mutlaq adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang sahabat
saja. Contohnya adalah hadis "إنما
الأعمال بالنيات" , di mana hanya Umar bin Khattab saja yang meriwayatkan hadis
tersebut dari Nabi Muhammad SAW.
Gharib
nisbi adalah hadis
di mana ke gharibannya terletak di tengah-tengah sanad meskipun
pada permulaan sanad diriwayatkan oleh banyak rawi. Contohnya
adalah hadis "مالك عن
الزهري عن أنس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم دخل مكة وعلى رأسه
المغفر" ,
“Dari
Malik, dari al-Zuhri, dari Anas RA. bahwa sesungguhya nabi muhammad SAW.
memasuki kota mekkah dalam keadaa
dalam
periwayatan hadis tersebut, hanya Malik yang meriwayatkan
dari al-Zuhri. [11]
2) Hadis Aziz
Dari
segi bahasa, aziz bisa mempunyai dua makna: pertama merupakan sifat mushabbihah
dari "عزّ يعِزّ" yang
bermakna sedikit, atau yang kedua merupakan sifat mushabbihah dari "عزّ
يعَزّ" yang bermakna kuat.[12]
Menurut
istilah, hadis aziz adalah hadis yang dalam rangkaian sanadnya
terdapat dua orang rawi. Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Hajar al-Asqalani
dan merupakan pendapat yang mashhur. ada juga yang berpendapat bahwa hadis
aziz adalah hadis yang dalam rangkaian sanadnya terdapat
dua orang rawi atau tiga. Pendapat ini merupakan pendapat Ibnu Salah dan
al-Baiquni.[13]
3) Hadis Mashhur
Menurut
bahasa, mashhur merupakan ism maf’ul dari "شهرت
الأمر" yang bermakna aku mengumumkan dan menampakkan suatu perkara.
Sedangkan
menurut istilah, hadis mashhur adalah hadis yang diriwayatkan
oleh tiga orang atau lebih, dimana tidak sampai pada batas Mutawattir.[14]
Hadis mashhur non terminologis
Yang
dimaksud dengan hadis mashhur non terminologis adalah hadis
mashhur atau terkenal dikalangan masyarakat tanpa adanya syarat dan batasan
yang mengikat. Terdapat bermacam-macam hadis mashhur seperti ini,
di antaranya:
a) Hadis yang Mashhur khusus di kalangan
ahli hadis, seperti hadis
"عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا بَعْدَ الرُّكُوعِ يَدْعُو عَلَى
رِعْلٍ وَذَكْوَانَ"
“Dari Anas ibn Malik ia berkata:
Rasulullah SAW. melaksanakan doa qunut selama satu bulan untuk kabilah Ri’l dan
Dhakwan”
b) Hadis yang Mashhur di kalangan Ahli Hadis,
Ulama, dan orang awam, contonhnya hadis
"الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ
وَيَدِهِ"
“Seorang Muslim (sesungguhnya)
adalah orang yang orang islam lainnya selamat dari (kejelekan) lisan dan
tangannya”
c) Hadis yang Mashhur di kalangan Ahli
Ushu al-Fiqh, seperti hadis
"
رفع عن أمتى الخطأ والنسيان وما
استكرهوا عليه
"
“Dimaafkan
(tidak disiksa) dari ummatku (perbuatan dikarenakan) tersalah, lupa, dan apa
yang dipaksakan kepadanya”
d) Hadis yang mashhur di kalangan
ahli nahwu, seperti hadis
"نعم العبد
صهيب، لو لم يخف الله لم يعصه"
“Sebaik-baik
hamba adalah Suhaib, walupun ia tidak takut kepada Allah, ia tidak bermaksiat
kepada-Nya”
e) Hadis yang Mashhur secara umum
"
الْعَجَلَةُ مِنْ الشَّيْطَانِ
"
“Terburu-buru
termasuk dari (godaan) syaitan”
c. Kehujjahan Hadis
Ahad
Baca selanjutnya, artikel yang lainya :
- Definisi Dan Kriteria Hadis Hasan
- Macam-Macam Hadis Hasan
- Kehujjahan Hadis Hasan
- Kitab-Kitab Yang Memuat Hadis Hasan
- Pengertian Hadis Dha'if & Kriteriannya
- Macam-Macam Hadis Dha'if
- Kehujjahan Hadis Dha’if
- Hadis Mutawattir
- Klasifikasi Hadis Dari Segi Kuantitasnya
- Klasifikasi Hadis Dari Segi Posisinya Dalam Hujjah
- Klasifikasi Hadis Dari Segi Ketersambungan Sanad
- Klasifikasi Hadis Dari Segi Penyandaran Berita
- Hadis Qudsi
- Definisi Hadis Ahad
- Hukum Mengamalkan Hadis Ahad
- Kehujjahan Hadis Ahad Dalam Penetapan Hukum Menurut Ulama Empat Mazhab
[1] Muhammad Abu al-Laits al-Khaira
Abadi, Ulum al-Hadis Ashiluha wa Mu’ashiruha (Malaysia: Dar al-Syakir,
cet.7, 2011),133.
[2] Ibid
[3] Mahmud al-Tahhan, Taisir
Musthalah al-Hadis (Beirut: Dar al-Fikr), 14.
[4] Abd al-Rahman bin Abu Bakar
al-Suyut, Tadrib al-RawiI (Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah, Juz 2),
104., Muhammad Abu al-Laits,Ulum al-Hadis
Ashiluha wa Mu’ashiruha, 134.
[5] Muhammad Abu al-Laits, Ibid,
dan Idri,Studi Hadis,
(Jakarta: Kencana Media Group, cet. 1, 2010), 133.
[6] Mahmud al-Tahhan, Taisir
Musthalah al-Hadis, 20.
[7] Ibid, hal 21.
[8] Muhammad Abu al-Laits al-Khaira
Abadi, Ulum al-Hadis Ashiluha wa Mu’ashiruha, 139.
[9] Ibid, hal. 140
[10] Ibid,
[11] Mahmud al-Tahhan, Taisir
Musthalah al-Hadis, 26
[12] Muhammad
ibn Alawi al-Maliki, al-Minhal al-Latif fi Usul al-Hadith al-Sharif
(Beirut: Dar al-Fikr, 1978),
95.
[13] Ibid.
[14] Mahmud al-Tahhan, Taisir
Musthalah al-Hadis, 22.
[15] Idri, Studi Hadis, 154.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar