Apabila kita mendapati dua
buah hadis makbul yang saling bertentangan maksudnya menurut lahirnya
maka:[1]
Pertama,Tariqah al-Jam’u
dengan cara ini hendaklah kita berusaha
untuk mengumpulkan (mengkompromikan) kedua-duanya sampai hilang perlawanannya.
Kalau keduanya dapat dikumpulkan hendaklah diamalkan kedua-duanya. Contohnya:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ دَخَلْتُ أَنَا وَعُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ الْمَسْجِدَ فَإِذَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا جَالِسٌ إِلَى حُجْرَةِ عَائِشَةَ وَإِذَا نَاسٌ يُصَلُّونَ فِي الْمَسْجِدِ صَلَاةَ الضُّحَى قَالَ فَسَأَلْنَاهُ عَنْ صَلَاتِهِمْ فَقَالَ بِدْعَةٌ ثُمَّ قَالَ لَهُ كَمْ اعْتَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَرْبَعًا إِحْدَاهُنَّ فِي رَجَبٍ
Telah menceritakan kepada
kami Qutaibah telah menceritakan kepada kami Jarir dari Manshur dari Mujahid
berkata; Ketika aku dan 'Urwah bin Az Zubair masuk kedalam masjid disana ada
'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhu sedang duduk di bilik rumah 'Aisyah
radliallahu 'anha, sedang orang-orang melaksanakan shalat Dhuha dalam
masjid". Dia (Mujahid) berkata: "Maka kami bertanya kepadanya tentang
shalat yang mereka kerjakan, maka dia berkata: "Itu adalah bid'ah".
Kemudian dia berkata lagi kepadanya: "Berapa kali Rasulullah sallallahu
'alaihi wasallam pernah melaksanakan 'umrah?" Dia menjawab: "Empat
kali, satu diantaranya pada bulan Rajab".[2]
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ عُثْمَانَ حَدَّثَنَا شُرَيْحُ بْنُ مَسْلَمَةَ حَدَّثَنَا
إِبْرَاهِيمُ بْنُ يُوسُفَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ قَالَ سَأَلْتُ
مَسْرُوقًا وَعَطَاءً وَمُجَاهِدًا فَقَالُوا اعْتَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ذِي الْقَعْدَةِ قَبْلَ أَنْ يَحُجَّ وَقَالَ
سَمِعْتُ الْبَرَاءَ بْنَ عَازِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ اعْتَمَرَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ذِي الْقَعْدَةِ قَبْلَ
أَنْ يَحُجَّ مَرَّتَيْنِ
Telah
menceritakan kepada kami Ahmad bin 'Utsman telah menceritakan kepada kami
Syuraih bin Maslamah telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Yusuf dari
bapaknya dari Abu Ishaq berkata: Aku bertanya kepada Masruq. 'Ata' dan Mujahid.
Mereka menjawab: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan
'umrah pada bulan Dhul Qa'dah sebelum Beliau menunaikan haji". Dan dia
(Abu Ishaq) berkata: Aku mendengar Al Bara' bin 'Azib radiallahu 'anhuma berkata:
"Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan 'umrah pada bulan Dhul
Qa'dah sebelum Beliau menunaikan haji sebanyak dua kali".[3]
Keterangan:
a.
Riwayat pertama menunjukkan
bahwa Nabi SAW. Berumrah empat kali, sedang riwayat kedua mengatakan dua kali.
Kalau kita lihat secara zahir riwayat-riwayat tersebut berlawanan antara
satu dengan yang lain. Meskipun demikian riwayat-riwayat itu bisa kita
gabungkan dengan cara demikian:
i. Umrah
Nabi SAW. Adalah empat kali sebagaimana tersebut dalam riwayat pertama.
ii. Dalam
riwayat kedua Bara’ menyebut dua umrah. Yang dua lagi tidak di sebut. Umrah
yang tidak di sebut ini adalah: (1) Umrah Nabi saw bersama hajinya, (2) Umrah
Jiranah.
Bara’
tidak membawakan dua umrah ini karena:
1.
Umrah bersama haji itu, Nabi
mengerjakannya dalam bulan haji, sedang yang mau di tunjukkannya kepada orang
umrah nabi dalam bulan Dhul Qa’dah yang tersebut dalam riwayat itu.
2.
Umrah jiranah boleh
jadi Bara’ tidak mengetahui, sebagaimana tidak di ketahui juga oleh
sahabat-sahabat yang lain
Dengan demikian cara jam’u
terpakailah semua keterangan yang nampaknya berlawanan itu.[4]
Kedua, Nasikh dan Mansukh
Jika cara al-Jam’u
tidak bisa, hendaklah kita mencari mana di antara kedua hadis tersebut
yang datang lebih dahulu, dan mana yang datang kemudian. Hadis yang
datang lebih dahulu hendaklah dinasakhkan oleh hadis yang datang
kemudian. Hadis yang di nasakh disebut dengan hadis mansukh dan
yang menasakhnya di sebut dengan hadis Nasikh.
Untuk mengetahui hadis
yang datangnya awal atau terakhir dari dua hadis yang zahir-nya
saling bertentangan, dapat kita ketahui dengan beberapa cara:
1.
Penjelasan atau keterangan langsung
dari nabi untuk menghapus hadis yang terdahulu.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَاللَّفْظُ لِأَبِي بَكْرٍ وَابْنِ نُمَيْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ عَنْ أَبِي سِنَانٍ وَهُوَ ضِرَارُ بْنُ مُرَّةَ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنْ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُومِ الْأَضَاحِيِّ فَوْقَ ثَلَاثٍ فَأَمْسِكُوا مَا بَدَا لَكُمْ وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ النَّبِيذِ إِلَّا فِي سِقَاءٍ فَاشْرَبُوا فِي الْأَسْقِيَةِ كُلِّهَا وَلَا تَشْرَبُوا مُسْكِرًا حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَاللَّفْظُ لِأَبِي بَكْرٍ وَابْنِ نُمَيْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ عَنْ أَبِي سِنَانٍ وَهُوَ ضِرَارُ بْنُ مُرَّةَ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنْ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُومِ الْأَضَاحِيِّ فَوْقَ ثَلَاثٍ فَأَمْسِكُوا مَا بَدَا لَكُمْ وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ النَّبِيذِ إِلَّا فِي سِقَاءٍ فَاشْرَبُوا فِي الْأَسْقِيَةِ كُلِّهَا وَلَا تَشْرَبُوا مُسْكِرًا
Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Shaibah dan Muhammad bin Abdulalh
bin Numair dan Muhammad bin al-Muthanna -sedangkan lafalnya milik Abu Bakar dan
Ibnu Numair- mereka berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudail
dari Abu Sinan -ia adalah Dirar bin Murrah- dari Muharib bin Ditsar dari Ibn
Buraidah dari bapaknya ia berkata; Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Dahulu aku melarang kalian untuk ziarah
kubur, maka sekarang ziarahilah. Dahulu aku melarang kalian untuk
menyimpan daging hewan kurban lebih dari tiga hari, maka sekarang simpanlah
selama jelas bagimu manfaatnya. Dahulu aku melarang kalian membuat anggur
selain dalam qirbah, maka sekarang minumlah dari segala tempat air, asal jangan
kamu minum yang memabukkan”.[5]
2.
Penjelasan
dari para sahabat
أَخْبَرَنَا
عَمْرُو بْنُ مَنْصُورٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَيَّاشٍ قَالَ حَدَّثَنَا
شُعَيْبٌ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ
اللَّهِ قَالَ كَانَ آخِرَ الْأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَرْكُ الْوُضُوءِ مِمَّا مَسَّتْ النَّارُ
Telah
mengabarkan kepada kami ‘Amr bin Manshur dia berkata; telah menceritakan kepada
kami Ali bin 'Ayyas berkata; telah menceritakan kepada kami Shu'aib dari
Muhammad bin Munkadir berkata; "Saya mendengar Jabir bin Abdullah berkata;
"Salah satu dari dua hal yang ditinggalkan oleh Rasulullah sallallahu
'alaihi wasallam adalah tidak berwudlu karena memakan sesuatu yang disentuh
oleh (dimasak dengan) api.[6]
Hadis ini di-naskh dengan hadis
yang diriwayatkan Imam al-Bukhari di dalam kitab Sahih-nya:
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ قَالَ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ فُلَيْحٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ سَأَلَهُ عَنْ الْوُضُوءِ مِمَّا مَسَّتْ النَّارُ فَقَالَ لَا قَدْ كُنَّا زَمَانَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَجِدُ مِثْلَ ذَلِكَ مِنْ الطَّعَامِ إِلَّا قَلِيلًا فَإِذَا نَحْنُ وَجَدْنَاهُ لَمْ يَكُنْ لَنَا مَنَادِيلُ إِلَّا أَكُفَّنَا وَسَوَاعِدَنَا وَأَقْدَامَنَا ثُمَّ نُصَلِّي وَلَا نَتَوَضَّأُ
Telah
menceritakan kepada kami Ibrahim Ibnul Mundzir berkata; telah menceritakan
kepadaku Muhammad bin Fulaih berkata; telah menceritakan kepadaku Bapakku dari
Sa'id Ibnul Harits dari Jabir bin Abdullah radliallahu 'anhuma, Bahwasanya ia
bertanya kepadanya tentang wudlu karena memakan sesuatu yang terkena api
(dibakar). Ia menjawab, "Tidak. Pada masa Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam kami tidak menemui makanan seperti itu kecuali sedikit. Jika kami mendapatkannya
(makan) dan tidak memiliki sapu tangan untuk mengelap telapak tangan, betis dan
telapak kaki, maka kami shalat dan tidak berwudlu lagi."[7]
3. Diketahui
dengan melihat tarikh
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَعِيلَ
حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَبِي
الْأَشْعَثِ عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى عَلَى رَجُلٍ بِالْبَقِيعِ وَهُوَ يَحْتَجِمُ وَهُوَ
آخِذٌ بِيَدِي لِثَمَانِ عَشْرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ فَقَالَ أَفْطَرَ الْحَاجِمُ
وَالْمَحْجُومُ
Telah
menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il, telah menceritakan kepada kami
Wuhaib, telah menceritakan kepada kami Ayyub dari Abu Qilabah dari Abu Al
Asy'ats dari Syaddad bin Aus bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
datang kepada seseorang di Baqi' sementara orang tersebut sedang berbekam,
sementara beliau menggandeng tanganku- selama delapan belas hari yang telah
berlalu pada Bulan Ramadhan. Kemudian beliau berkata: "Telah batal puasa
orang yang membekam dan yang dibekam."[8]
Imam
Syafi’i berpendapat bahwa hadis di atas di-naskh dengan hadis
yang di riwayatkan Imam Muslim dalam kitab sahih-nya
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَإِسْحَقُ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ قَالَ إِسْحَقُ أَخْبَرَنَا و قَالَ الْآخَرَانِ حَدَّثَنَا
سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَمْرٍو عَنْ طَاوُسٍ وَعَطَاءٍ عَنْ ابْنِ
عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ احْتَجَمَ وَهُوَ مُحْرِمٌ صَائِم
“Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Zuhair bin Harb dan Ishaq
bin Ibrahim -Ishaq berkata- telah mengabarkan kepada kami -sementara dua orang
yang lain berkata- Telah menceritakan kepada kami Sufyan bin Uyainah dari Amru
dari Thawus dan Atha` dari Ibnu Abbas radliallahu 'anhuma, bahwa Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam berbekam saat beliau sedang ihram dan
berpuasa”.[9]
Hadis kedua menghapus hadis pertama karena Ibn ‘Abbas waktu itu melakukan ihram bersama nabi ketika haji wada’ yaitu pada tahun 10 hijriyah, sebagaimana hadis yang di riwayatkan Imam al-Tirmidhi:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي زِيَادٍ عَنْ مِقْسَمٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْتَجَمَ فِيمَا بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ وَهُوَ مُحْرِمٌ صَائِمٌ
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Mani'
telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Idris dari Yazid bin Abu Ziyad dari
Miqsam dari Ibnu Abbas berkata; "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
berbekam di suatu tempat antara Makkah dan Madinah dalam keadaan ihram
dan berpuasa”.[10]
4.
Dengan mengetahui ijma’
ulama
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ عَبْدَةَ الضَّبِّيُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ الزُّهْرِيُّ
أَخْبَرَنَا عَنْ قَبِيصَةَ بْنِ ذُؤَيْبٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فَاجْلِدُوهُ فَإِنْ عَادَ
فَاجْلِدُوهُ فَإِنْ عَادَ فِي الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ فَاقْتُلُوهُ
“Telah
menceritakan kepada kami Ahmad bin Abdah Adh Dhabbi berkata, telah menceritakan
kepada kami Sufyan, Az Zuhri berkata; telah mengabarkan kepada kami dari
Qabishah bin Dzuaib bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Barangsiapa minum khamer maka cambuklah, jika ia mengulanginya lagi maka
cambuklah, jika ia mengulanginya lagi pada kali ketiga atau keempat maka
bunuhlah ia”.[11]
Imam
al-Nawawi mengatakan: hadis tersebut di-naskh oleh ijma’ ulama.
Dan para ulama juga berpendapat bahwa, hadis tersebut di-naskh dengan
hadis yang di riwayatkan Imam al-Bukhari:
حَدَّثَنَا
عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ مُرَّةَ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ
أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَّا بِإِحْدَى
ثَلَاثٍ النَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالثَّيِّبُ الزَّانِي وَالْمَارِقُ مِنْ الدِّينِ
التَّارِكُ لِلْجَمَاعَة
Telah menceritakan kepada kami Umar bin Hafsh,
telah menceritakan kepada kami bapakku, telah menceritakan kepada kami al-A‘masy,
dari 'Abdullah bin Murrah dari Masruq dari Abdullah mengatakan Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Darah seorang muslim yang telah
bersyahadat la ilaha illallah dan mengakui bahwa aku utusan Allah
terlarang ditumpahkan selain karena alasan diantara tiga; membunuh, berzina dan
dia telah menikah, dan meninggalkan agama, meninggalkan jamaah muslimin".[12]
Ketiga, al-Tarjih
kalau usaha mencari nasikh-nya
tidak pula berhasil, beralih kepada penelitian mana hadis yang kuat,
baik sanad maupun matannya, untuk di-tarjih-kannya. Hadis
yang kuat disebut hadis rajih, sedang yang di-tarjih-kan
disebut marjuh.
و
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَابْنُ نُمَيْرٍ وَإِسْحَقُ
الْحَنْظَلِيُّ جَمِيعًا عَنْ ابْنِ عُيَيْنَةَ قَالَ ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا
سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ أَبِي الشَّعْثَاءِ
أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ تَزَوَّجَ مَيْمُونَةَ وَهُوَ مُحْرِمٌ
“Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah,
Ibnu Numair dan Ishaq Al Handlali semuanya dari Ibnu 'Uyainah. Ibnu Numair
mengatakan; Telah menceritakan kepada kami Sufyan bin 'Uyainah dari Amru bin
Dinar dari Abu As Sya'tsa` bahwa Ibnu Abbas telah mengabarkan kepadanya bahwa Nabi
sallallahu 'alaihi wasallam menikahi Maimunah padahal beliau sedang berihram”.[13]
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ حَدَّثَنَا
جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ حَدَّثَنَا أَبُو فَزَارَةَ عَنْ يَزِيدَ بْنِ الْأَصَمِّ
حَدَّثَتْنِي مَيْمُونَةُ بِنْتُ الْحَارِثِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَهَا وَهُوَ حَلَالٌ
“Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah telah menceritakan kepada
kami Yahya bin Adam telah menceritakan kepada kami Jarir bin Hazim telah
menceritakan kepada kami Abu Fazarah dari Yazid bin Al Asham telah menceritakan
kepadaku Maimunah binti Al Harits bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
menikahinya ketika beliau sedang halal (orang yang keluar dari ihram)”.[14]
Keterangan:
1. Dua
riwayat itu derajatnya sahih
2. Kita
memeriksa, adakah terdapat keterangan yang menguatkan pendapat Ibn Abbas itu?
Sesudah kita selidiki, tidak bertemu satu pun bantuan bagi riwayat Ibn Abbas
yang mengatakan nabi kawin dalam ihram.
3. Kita
lihat pula riwayat kedua, yaitu yang dari Yazid nin Asham. Kita dapati ada yang
membantunya, yaitu dari empat jurusan:
a.
Yang meriwatkan dalam ihlal
adalah Maimunah sendiri. Jadi lebih boleh diterima dari pada orang lain
menceritakannya.
b.
Abu Rafi’ meriwayatkan
kejadian perkawinan itu dalam ihlal juga.
c.
Di antara sahabat ada yang
menyalahkan pendapat Ibn Abbas tentang nikah dalam ihram, tetapi terhadap
riwayat Abu Rafi’ mereka tidak membantah.
d.
Yang dikatakan Maimunah dan
cerita Abu Rafi’ itu, setuju dengan larangan nabi saw tentang “tidak boleh
nikah dalam ihram”, yang
diriwayatkan Imam Muslim dalam kitabnya, yaitu:
و حَدَّثَنِي أَبُو غَسَّانَ الْمِسْمَعِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى ح و حَدَّثَنِي أَبُو الْخَطَّابِ زِيَادُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَوَاءٍ قَالَا جَمِيعًا حَدَّثَنَا سَعِيدٌ عَنْ مَطَرٍ وَيَعْلَى بْنِ حَكِيمٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ نُبَيْهِ بْنِ وَهْبٍ عَنْ أَبَانَ بْنِ عُثْمَانَ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلَا يُنْكَحُ وَلَا يَخْطُبُ
Bahwasannya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Orang yang berihram tidak diperbolehkan untuk menikah dan dinikahkan dan meminang."[15]
Dengan bantuan empat jurusan
itu, jadi kuatlah riwayat yang mengatakan nabi kawin dalam ihlal, serta
tertolaklah riwayat yang mengkhabarkan dalam ihram.[16]
Keempat. Al-Tawaqquf
Kalau usaha yang terakhir ini
pun gagal, kedua hadis tersebut hendaklah dibekukan, di tinggalkan untuk
pengamalannya. Hadis yang di tawaqquf-kan ini disebut dengan hadis
Mutawaqqaf fih. Hadis Mutawaqqaf fih ini, menurut sebagian
pendapat dapat di amalkan salah satu, dan ada pula yang berpendapat bisa di
amallkan berganti-ganti dalam waktu yang berbeda-beda. [17]
Menurut pendapat para ulama
dan imam, pada dasarnya tidak ada dua hadis maqbul yang saling bertentangan antara hadis
satu dengan yang lain kecuali bisa diselesaikan dengan menggunakan metode al-jam’u (mengkompromikannya), nasikh
jika ada kaiatan antara hadis satu dengan yang lain, atau bisa di tarjih
antara keduanya dengan pen-tarjih-an yang dibenarkan.[18]
Imam Ibn Huzaimah mengatakan:
Saya benar-benar tidak mengetahui nabi meriwayatkan dua hadis, dengan
dua sanad sahih, yang saling bertentangan antara yang satu dengan
yang lain. Jika ada yang menemukan maka datangkan kepadaku sehingga aku akan
membukukannya.[19]
Sehingga jika terjadi hal
semacam itu dan seorang mujtahid tidak bisa menyelesaikan permasahan
tersebut dengan menggunakan tiga metode yang telah dipaparkan di atas (al-jam’u,
al-naskh dan al-tarjih) maka seorang mujtahid wajib tawaqquf sampai
bisa atau ada seorang mujtahid lain yang bisa menyelesaikannya.[20]
Yang menjadikan sebab al-tawaqquf
adalah lemah atau tidak mengetahuinya seorang mujtahid untuk
menyelesaikan pertentangan antara dua hadis dengan tiga metode diatas (al-jam’u,
al-naskh dan al-tarjih). Sehingga sebenarnya tidak ada pertentangan antar
dua hadis atau dua dalil, karena tidak ada dalil-dalil shar’ i bertentangan
secara hakiki hanya saja pertentangannya itu ditinjau dari segi zahir-nya
saja dan sebenarnrnya bisa diselesaikan dengan al-jam’u, al-naskh dan
al-tarjih.[21]
Imam al-Ghazali mengatakan,
jika ada dua dalil yang menurut seorang mujtahid saling bertentangan,
dan ia tidak mampu lagi untuk melakukan tarjih, dan tidak menemukan lagi
dalil yang lain, maka para ulama
berpendapat bahwa sesungguhnya yang benar antara dua dalil tersebut adalah salah
satunya saja, hal ini dekarenakan lemahnya sorang mujtahid.[22]
Dan sudah jelas, jika ada dua
hadis yang keduanya saling bertentangan dan seorang Mujtahid tidak mampu mengetahi cara penyelesaiannya
maka hal itu sama sekali tidak mempengaruhi status hadis tersebut, akan
tetapi itu kembali kepada seorang mujtahid dan ilmu tidak akan hanya
berhenti kepada salah satu mujtahid, sebagaimana firman Allah:
وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ
“Dan di atas tiap-tiap orang yang
berpengetahuan itu ada lagi yang Maha mengetahui”.
Sehingga
dari sini penulis bisa simpulkan bahwasanya sebab al-tawaqquf adalah
lemahnya seorang mujtahid dalam menyelesaikan pertentangan antara dua hadis
dengan metode al-jam’u, al-naskh dan al-tarjih. dan sudah menjadi
kewajiban seorang mujtahid untuk tawaqquf jika memang tidak mampu untuk menyelesaikan
dua hadis yang saling bertentangan dengan menggunakan tiga metode di
atas, sampai ia bisa menyelesaikan sendiri atau ada ulama lain
yang keilmuannya lebih mumpuni yang bisa menyelesaikan dua hadis yang
saling bertentangan dengan menggunakan tiga metode di atas (metode al-jam’u,
al-naskh dan al-tarjih).
Baca artikel tentang Hadis lainya :
- Aliran Khawarij, Sejarah Kemunculan, & Karakteristiknya
- Aliran Syi'ah & Sejarah Kemunculanya
- Hadis Palsu Atau Hadist Maudu’ Serta Faktor Kemunculanya
- Kaedah Melacak Hadis Palsu
- Peran Ulama Menyelamatkan Hadis Dari Pemalsuan
- Hukum Hadis Palsu Dan Daftar Buku Hadis Palsu
- Metode Dan Contoh Penyelesaian Mukhtalif Al-Hadith
- Mukhtalif Hadis
- Imam Al-Daruquthni
- Sunan Al-Daruqutni
- Imam Abu Dawud
- Kitab Sunan Abu Dawud
- Jarh wa ta‘dil
- Lafaz Jarh Wa Ta‘dil Serta Tingkatannya
- Beberapa Hal Yang Perlu Diketahui Dan Tertolak Dalam Jarh wa ta‘dil
- Metode Dalam Tarjih Dan Ta‘dil Perawi
- Pertentangan Dalam Jarh Wa Ta‘dil
- Kitab-Kitab Jarh Wa Ta'dil
[1] Fatchur
Rahman, Ikhtishar Musthalah al-Hadis (Bandung, Alma’arif, 1974), 151.
[2] Abi Abdillah
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Bukhari, al-Jami’ al-Sahih (Germany:
Jamiyah al-Maknaz al-Islami, 2000), 332.
[3] Ibid., 332.
[4] Ahmad Qadir
Hasan, Ilmu Mustalah hadis (Bandung: Diponegoro,2007), 256.
[5] Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjaj, Sahih Muslim (Germany: Jamiyah al-Maknaz al-Islami, 2000), 863.
[6]
Abu Abd al-Rahman Ahmad
ibn Shuaib al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i (Germany: Jamiyah al-Maknaz al-Islami, 2000), 30.
[7] Bukhari, al-Jami’ al-Sahih,1139.
[8] Sulaiman ibn al-Ash’ath Abu Dawu al-Azdi al-Sijistani, Sunan Abi Dawud (Germany: Jamiyah al-Maknaz al-Islami, 2000), 404.
[9] Muslim, Sahih Muslim, 486.
[10] Muhammad ibn ‘Isa al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi (Germany: Jamiyah al-Maknaz al-Islami, 2000), 216.
[11]Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, 751.
[12] Bukhari, al-Jami’ al-Sahih, 1387
[13] Muslim, Sahih Muslim, 575.
[14] Ibid., 575.
[15] Ibid., 575.
[16] Ahmad Qadir
Hasan, Ilmu Mustalah hadis (Bandung: Diponegoro,2007),258, 259.
[17] Fatchur
Rahman, Ikhtishar Musthalah al-Hadis (Bandung: Alma’arif, 1974), 151.
[18] Muhammad Nasr al-Dasuqi al-Luban,
Qawaid Raf’u Iham Mukhtalif al-Hadith baina al-Muhaddisin wa al-Ushuliyyin
(Diktat Universitas Al-Azhar Kairo), 199.
[19] Ibn Hajar al-‘Asqalani, Sharh
Nuzhah al-Nazar (Kairo: Dar
al-‘Aqidah, 2007), 210.
[20] al-Dasuqi al-Luban, Qawaid Raf’u, 199.
[21] Ibid.,200.
[22] Abi Hamid Muhammad ibn Muhammad
ibn Muhammad al-Ghazali, al-Mustasfa (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,
1993), 364.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar