Hadis sudah
kita ketahui maknanya secara bahasa dan istilah. Sedangkan dha’if secara
bahasa diambil dariالضَّعْفُ atau الضُّعْفُ yang berarti lemah atau mempunyai kesamaan makna dengan ضِدُّ
الْقُوَّة yaitu lawan kata kuat.
Sedangkan menurut istilah, Hadis dha’if adalah Hadis yang
tidak terkumpul di dalamnya sifat-sifat diterimanya Hadis. Dapat
dikatakan pula Hadis dha’if termasuk Hadis yang mardud.[1]
Menurut
Imam Nawawi, Hadis dha’if adalah Hadis yang di dalamnya
tidak terdapat syarat-syarat Hadis shahih dan syarat-syarat Hadis
hasan. Ada pendapat lain yang lebih tegas dan jelas di dalam
mendefinisikan Hadis dha’if ini, yaitu menurut pendapatnya
Nuruddin ‘Itr, beliau berpendapat Hadis dha’if adalah Hadis
yang hilang salah satu saja syaratnya dari syarat-syarat Hadis maqbul
Hadis yang sahih atau Hadis yang hasan.[2]
Hadis dha’if menurut istilah adalah “Hadis yang
di dalamnya tidak didapati syarat Hadis sahih dan
tidak pula didapati syarat Hadis hasan”. Karena
syarat diterimanya suatu Hadis sangat banyak
sekali, sedangkan lemahnya Hadis terletak pada hilangnya salah satu syarat tersebut atau
bahkan lebih.[3]
Kriteria-kriteria
Hadis Dha’if
Para ulama memberikan batasan bagi Hadis dha’if yaitu:
اَلْحَدِيْثُ
الضَعِيْفِ هُوَ الْحَدِيْثُ الَذِىْ لَمْ يُجْمَعْ صِفَاتُ الْحَدِيْثِ
الصَحِيْحِ وَلاَ صِفَاتُ الْحَدِ يْثِ
“Hadis dha’if
adalah Hadis yang tidak menghimpun sifat-sifat sahih dan juga tidak
menghimpun sifat-sifat Hadis hasan”.
Kriteria Hadis dha’if yaitu Hadis yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai Hadis shahih dan hasan.
Dengan demikian, Hadis dha’if itu
bukan tidak memenuhi syarat-syarat Hadis shahih ataupun tidak memenuhi persyaratan Hadis-Hadis hasan.
Terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan
untuk menetapkan Hadis tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.
Kehati-hatian dari para ahli Hadis dalam menerima Hadis
sehingga mereka menjadikan tidak adanya petunjuk keaslian Hadis itu
sebagai alasan yang cukup untuk menolak Hadis dan menghukuminya sebagai Hadis
dha’if . Padahal tidak adanya petunjuk atas keaslian Hadis itu
bukan suatu bukti yang pasti atas adanya kesalahan atau kedustaan dalam periwayatan
Hadis. Seperti kedha’if an Hadis yang disebabkan rendahnya
daya hafal rawinya atau kesalahan yang dilakukan dalam meriwayatkan
suatu Hadis, padahal sebetulnya ia jujur dan dapat dipercaya. Hal ini
tidak memastikan bahwa rawi itu salah pula dalam meriwayatkan Hadis
yang dimaksud, bahkan mungkin sekali ia
benar. Akan tetapi. karena ada kekhawatiran yang cukup kuat terhadap
kemungkinan terjadinya kesalahan dalam periwayatan Hadis yang
dimaksud maka mereka menetapkan untuk menolaknya.
Demikian pula kedha’if an suatu Hadis
karena tidak bersambungnya sanad. Hadis yang demikian dihukumi dha’if
karena identitas rawi yang
tidak tercantum itu tidak diketahui sehingga boleh jadi ia adalah rawi
yang dha’if . Seandainya ia rawi yang dha’if , maka boleh
jadi ia melakukan kesalahan dalam meriwayatkannya. Oleh karena itu, para
muhadditsin menjadikan kemungkinan yang timbul dari suatu kemungkinan
itu sebagai suatu pertimbangan dan menganggapnya sebagai penghalang dapat
diterimanya suatu Hadis. Hal ini merupakan puncak kehati-hatian yang
kritis dan ilmiah.[4]
Maka dapat diketahui bahwa kriteria-kriteria Hadis
dha’if adalah sebagai berikut:
1.
Sanadnya
terputus
2.
Rawinya
kurang ‘adl
3.
Rawinya
kurang dhabit
4.
Adanya shadh
Baca selanjutnya, artikel yang lainya :
- Definisi Dan Kriteria Hadis Hasan
- Macam-Macam Hadis Hasan
- Kehujjahan Hadis Hasan
- Kitab-Kitab Yang Memuat Hadis Hasan
- Pengertian Hadis Dha'if & Kriteriannya
- Macam-Macam Hadis Dha'if
- Kehujjahan Hadis Dha’if
- Hadis Mutawattir
- Klasifikasi Hadis Dari Segi Kuantitasnya
- Klasifikasi Hadis Dari Segi Posisinya Dalam Hujjah
- Klasifikasi Hadis Dari Segi Ketersambungan Sanad
- Klasifikasi Hadis Dari Segi Penyandaran Berita
- Hadis Qudsi
- Definisi Hadis Ahad
- Hukum Mengamalkan Hadis Ahad
- Kehujjahan Hadis Ahad Dalam Penetapan Hukum Menurut Ulama Empat Mazhab
[1] Muhammad Alawi al-Maliki, al-Minhal
al-Latif (tt: Dar al-Rohmah al-Islamiyah, 1992), 51.
[2] Mudasir, Ilmu Hadis, Cet. V, (Bandung:
CV. Pustaka Setia, 2010), 156-157.
[3] Syaikh Manna’ al-Qattan, Pengantar
Studi Ilmu Hadits, (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2005), 129.
[4] Muhammad Alawi al-Maliki, Ilmu Ulumul Hadits, cet. 1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 63-64.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar