Secara bahasa, sanad
berasal dari kata sanada yasnudu sunudan.[1] Sanad
berarti
ماارتفع من
الأرض في قبل الجبل أو الوادي[2]
“Tanah yang tinggi di muka/bukit gunung
atau wadi.”[3]
Tidak jauh
berbeda, menurut Ibn Jama‘ah ia berarti
ما ارتفع و
علا من سفح الجبل
“Tanah yang muncul naik dan meninggi di kaki bukit”
Dalam
bahasa Arab, dikatakan si fulan sanad atau dalam kata lain mu’tamad
yang berarti ia menjadi sandaran, pegangan ataupun pedoman.[4]
Dengan kata lain sanad secara bahasa berarti pedoman dan sandaran. Ia
juga berarti tinggi, karena sanad meninggikan atau mengangkat hadis
ke atas menuju sumbernya dalam hal ini adalah Nabi SAW.
Sedangkan isnad secara
bahasa mempunyai arti menyandarkan, mengangkat, mengasalkan. Maksudnya
رفع الحديث إلى قائله
“Menyandarkan hadis
kepada orang yang mengatakannya”
maupun
عزو الحديث إلى قائله
“Mengasalkan hadis kepada orang
yang mengatakannya.”[5]
Menurut al-Tibby
makna sanad dan isnad berdekatan, hampir sama, melihat berpegangnya
muhadisin kepada keduanya dalam penelitian keabsahan hadis.
Bahkan Ibn Jama‘ah menegaskan bahwa muhadisin menggunakan kedua istilah
tersebut untuk satu hal yang sama.[6]
Sementara,
sanad secara terminologis adalah
سلسلة
الرجال الموصلة للمتن[7]
“Rangkaian
mata rantai para perawi yang menghubungkan ke Matan hadis.”
Sedangkan menurut Ibn Jama‘ah
الإخبار
عن طريق المتن
“Berita
tentang jalan Matan”
Disebut
demikian, karena muhadisin berpegang dan bersandar pada jalan-jalan Matan,
yakni sanad dalam meneliti keabsahan hadis. Sementara Ibn Hajar
dalam Sharh Nukhbah mengatakan definisi sanad atau isnad
adalah
الطريق
الموصلة إلى المتن
“Jalan yang
menghubungkan ke Matan.”[8]
Kiranya
bagi penulis, berbagai pendapat ulama ini tidak jauh berbeda, kesemuanya
sepakat bahwa sanad adalah sarana ataupun jalan untuk menuju ke
substansi hadis. Jalan tersebut berisi rangkaian para perawi dari
setiap zaman yang meriwayatkan Matan dari Rasulullah SAW. Yang kemudian,
jalan ini menjadi sandaran para muhadis untuk menilai keotentikan
substansi hadis.
Beralih
ke Matan, Matan secara umum adalah esensi dari hadis
nabawi. Matan berisi pesan-pesan agama beserta pedoman dalam hidup dan
beragama. Secara bahasa al-matn berarti
ما صلب من الأرض وارتفع
“tanah yang keras dan tinggi”[9]
Sementara
al-matanah mempunyai makna kuat dan keras. Jamak dari Matan
adalah mutun. kata matin termasuk asma Allah bermakna Yang sangat amat
kuat, tidak lelah dalam melakukan apapun. Disebut juga dalam Al-Qur’an
¨bÎ) ©!$# uqèd ä-#¨§9$# rè Ío§qà)ø9$# ßûüÏGyJø9$# ÇÎÑÈ[10]
“Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi
rezeki Yang mempunyai kekuatan
lagi sangat kokoh.”
Matan secara
terminologis adalah
ألفاظ
الحديث التي تتقوم بها المعاني
“ Lafal-lafal hadis
yang mengandung berbagai makna”[11]
Begitulah perspektif al-Tibby
sebagaimana yang diungkapkan Suyuti dalam Tadrib Al-Rawi. Berbeda dengan
Ibn Hajar dan Ibn Jama‘ah. Kedua ulama ini hampir sama dalam mendefinisikan Matan.
Menurut kedua ulama tersebut Matan ialah
ما ينتهي إليه غاية السند من الكلام
“Perkataan yang menjadi ujung sanad.”[12]
Bila diperhatikan,
terdapat korelasi antara makna secara bahasa dan terminologi. Matan
tidak hanya sekedar berisi lafal-lafal hadis yang merupakan substansi
dan inti dari hadis, namun lebih dari itu. Berkat sokongan dari sanad,
yang telah mengangkat Matan ke para perawi yang membawanya,
sampai menuju ke sumber aslinya. ia menjadi bernilai tinggi, keabsahan teruji,
otoritasnya pun kuat, padat sebagaimana tanah yang meninggi dan mengeras padat.
Matan pun pada akhirnya menjadi suatu hal yang tidak gampang dijatuhkan
otoritasnya, apalagi diragukan kandungannya.
al-Tibby
memaparkan dalam al-Khulasah miliknya, Matan selanjutnya
diperdebatkan oleh para ulama. Apakah ia perkataan sahabat dari Rasulullah SAW
tentang ini itu, ataukah ia adalah sabda Rasulullah SAW semata? al-Tibby
berpendapat bahwa pendapat pertama yang lebih tepat, karena telah disepakati
bersama bahwa sunah mencakup ucapan, tindakan dan statement. Terlebih ulama
salaf menyatakan bahwa hadis mencakup perkataan sahabat dan tabiin,
jejak maupun fatwa-fatwa mereka.
Melihat hal ini, Nampak al-Tibby menganut pendapat mayoritas ulama hadis
bahwa hadis dan khabar sama,
tidak berbeda. Ia tidak termasuk golongan yang mempunyai perspektif bahwa hadis
adalah yang bersumber dari Nabi SAW, sedang tidak begitu dengan khabar.
Dikatakan khabar bila berasal dari selain Nabi SAW, seperti sahabat. Ditambah,
dirinya juga menegaskan bahwa hadis lebih umum dari sekedar yang sabda,
tindakan, statement yang berasal dari Nabi SAW, sahabat dan tabi’in. [13]
Penulis
pun mengamini perkataan al-Tibby, mengingat pengkerucutan Matan hanya
pada sabda Rasulullah SAW saja, menyebabkan perkataan maupun tindakan sahabat
dan tabiin tidak bisa masuk dalam kategori Matan. Padahal, dalam kaidah
disiplin ilmu hadis terdapat macam-macam hadis seperti hadis
mauquf dan maqtu yang notabene bersumber dari sahabat dan tabiin.
Sehingga apabila pendapat kedua menjadi panutan, tak ayal hal terburuk yang
akan terjadi ialah, kaidah dalam disiplin ilmu hadis menjadi tumpang
tindih dan rancu.
Dengan
demikian, setelah membaca semua penjelasan diatas, apabila terdapat sebuah hadis,
misalnya
حَدَّثَنَا الحُمَيدِيُّ عَبْدُ الله بن الزُّبَيْر
قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيى بنُ سَعِيْد الأنْصَارِىُّ
قَالَ أَخْبَرَنِى مُحَمّد بنُ إِبْرَاهِيم التَّيمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَة
بنُ وَقَاص الّليْثِي يَقُوْلُ سَمِعْتُ عُمَر بن الخَطَّاب رضي الله عنه على
المِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : إِنَّمَا الأَعْمَالُ
بِالنِّيّات وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ الى
دُنْيَا يُصِيْبُهَا أو الى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ الى مَاهَاجَرَ
إِلَيه (أخرَجَه البُخَارِي)[14]
Maka yang disebut sanad dari hadis
tersebut ialah
حَدَّثَنَا الحُمَيدِيُّ
عَبْدُ الله بن الزُّبَيْر قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيى
بنُ سَعِيْد الأنْصَارِىُّ قَالَ أَخْبَرَنِى مُحَمّد بنُ إِبْرَاهِيم التَّيمِيُّ
أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَة بنُ وَقَاص الّليْثِي يَقُوْلُ سَمِعْتُ عُمَر بن
الخَطَّاب رضي الله عنه على المِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم يَقُولُ.
Dan bagian yang disebut Matan adalah
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيّات وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ الى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أو الى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ الى مَاهَاجَرَ إِلَيه
Baca artikel tentang Hadis lainya :
- Mukhtalif Al-Hadith
- Kontradiksi Hadis Dengan Ayat Al-Quran
- Contoh Kontradiksi Hadis Dengan Al-Qur’an Dan Solusinya
- Imam Al-Darimi
- Sunan Al-Darimi
- Definisi Sanad Dan Matan
- Unsur-Unsur Sanad Dan Matan
- Sanad Dan Dokumentasi Hadis
- Metode Penulisan Sanad Dan Matan
- Kandungan Matan Hadis Secara Umum
- Definisi Asbab Al-Wurud
- Sejarah Timbul Dan Beberapa Karya Kitab Tentang Asbab Al-Wurud
- Klasifikasi Kemunculan Dan Cara Mengetahui Asbab Al-Wurud
- Urgensi Asbab Al-Wurud
[1] Muhammad Murtada al-Husaini al-Zabidy, Taj al-‘Arush min Jawahir al-Qamus, Ed. ‘Abdul al-Sattar Ahmad Farraj, (Kuwait: Wizarat al-Irshad wa al-Anba’, 1965), 216.
[2]
Ibid., 215.
[3]Jalal al-Din Al-Suyuti, Tadrib al-Rawi fi Sharh Taqrib al-Nawawy, Ed. Ahmad Ma’bad ‘Abd al-Karim dan Tariq bin ‘Aud (Riyadh : Dar al-‘Asimah, 2003), 40. Lihat juga Ratibah Ibrahim Khitab Tahun, Mabahith fi Dirasat al-Asanid wa al-Hukm ‘ala al-Hadith, (Kairo: Azhar University, 2009), 9.
[4] ‘Abdullah Sya’ban, al-Ta’sil al-Shar‘iyu li
Qawaid al-Muhaddithin, (Kairo: Dar al-Salam, 2008), 26.
[5]Tahun, Mabahith fi Dirasat al-Asanid, 10.
[6] Sya’ban, al-Ta’sil al-Shar‘iyu,
26.
[7] Mahmud Tahhan, Taysir Mustalah
Hadith, (Alexandria: Markaz Huda li al-Dirasat, 1405 H), 17.
[8] Tahun, Mabahith fi Dirasat al-Asanid, 9.
[9] Tahun, Mabahith
fi Dirasat al-Asanid, 10.
[10] Al-Qur’an, 51:58.
[11] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2013), 114.
[12] Tahun, Mabahith
fi Dirasat al-Asanid, 10.
[13]al-Husain bin Abdullah al-Tibby,
al-Khulasah fi Usuli Al-Hadith, Ed. Subha al-Sahira’i, (Beirut: ‘Alam
Al-Kitab, 1985), 33. Bandingkan dengan Suyuti, Tadrib al-Rawi, Vol. 1,
42.
[14] Abu Abdullah Muhammad bin Ismail
bin Ibrahim bin Mughirah Al-Ju‘fy al-Bukhariyi, al-Jami’ al-Sahih, Nuskhah
al-Sultaniyyah Vol I, (Kairo: Maktabah Tabary, 2010), Kitab Bad’i al-Wahyi,
Bab 1, no. hadis 1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar