HOME

10 Maret, 2022

Definisi Sanad Dan Matan

Secara bahasa, sanad berasal dari kata sanada yasnudu sunudan.[1] Sanad berarti

ماارتفع من الأرض في قبل الجبل أو الوادي[2]

       “Tanah yang tinggi di muka/bukit gunung atau wadi.”[3] 

Tidak jauh berbeda, menurut Ibn Jama‘ah ia berarti

ما ارتفع و علا من سفح الجبل

“Tanah yang muncul naik dan meninggi di kaki bukit”

 

Dalam bahasa Arab, dikatakan si fulan sanad atau dalam kata lain mu’tamad yang berarti ia menjadi sandaran, pegangan ataupun pedoman.[4] Dengan kata lain sanad secara bahasa berarti pedoman dan sandaran. Ia juga berarti tinggi, karena sanad meninggikan atau mengangkat hadis ke atas menuju sumbernya dalam hal ini adalah Nabi SAW.

Sedangkan isnad secara bahasa mempunyai arti menyandarkan, mengangkat, mengasalkan. Maksudnya

رفع الحديث إلى قائله

       “Menyandarkan hadis kepada orang yang  mengatakannya”

maupun

عزو الحديث إلى قائله

       “Mengasalkan hadis kepada orang yang mengatakannya.”[5]

Menurut al-Tibby makna sanad dan isnad berdekatan, hampir sama, melihat berpegangnya muhadisin kepada keduanya dalam penelitian keabsahan hadis. Bahkan Ibn Jama‘ah menegaskan bahwa muhadisin menggunakan kedua istilah tersebut untuk satu hal yang sama.[6]

Sementara, sanad secara terminologis adalah

سلسلة الرجال الموصلة للمتن[7]

       “Rangkaian mata rantai para perawi yang menghubungkan ke Matan hadis.”

Sedangkan menurut Ibn Jama‘ah

الإخبار عن طريق المتن

       “Berita tentang jalan Matan

Disebut demikian, karena muhadisin berpegang dan bersandar pada jalan-jalan Matan, yakni sanad dalam meneliti keabsahan hadis. Sementara Ibn Hajar dalam Sharh Nukhbah mengatakan definisi sanad atau isnad adalah

الطريق الموصلة إلى المتن

       “Jalan yang menghubungkan ke Matan.”[8]

 

Kiranya bagi penulis, berbagai pendapat ulama ini tidak jauh berbeda, kesemuanya sepakat bahwa sanad adalah sarana ataupun jalan untuk menuju ke substansi hadis. Jalan tersebut berisi rangkaian para perawi dari setiap zaman yang meriwayatkan Matan dari Rasulullah SAW. Yang kemudian, jalan ini menjadi sandaran para muhadis untuk menilai keotentikan substansi hadis.

Beralih ke Matan, Matan secara umum adalah esensi dari hadis nabawi. Matan berisi pesan-pesan agama beserta pedoman dalam hidup dan beragama. Secara bahasa al-matn berarti

ما صلب من الأرض وارتفع

“tanah yang keras dan tinggi”[9]

Sementara al-matanah mempunyai makna kuat dan keras. Jamak dari Matan adalah mutun. kata matin termasuk asma Allah bermakna Yang sangat amat kuat, tidak lelah dalam melakukan apapun. Disebut juga dalam Al-Qur’an

¨bÎ) ©!$# uqèd ä-#¨§9$# rèŒ Ío§qà)ø9$# ßûüÏGyJø9$# ÇÎÑÈ[10]  

       “Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang mempunyai          kekuatan lagi sangat kokoh.”    

 

Matan secara terminologis adalah

ألفاظ الحديث التي تتقوم بها المعاني

       “ Lafal-lafal hadis yang mengandung berbagai makna”[11]

 

Begitulah perspektif al-Tibby sebagaimana yang diungkapkan Suyuti dalam Tadrib Al-Rawi. Berbeda dengan Ibn Hajar dan Ibn Jama‘ah. Kedua ulama ini hampir sama dalam mendefinisikan Matan. Menurut kedua ulama tersebut Matan ialah

ما ينتهي إليه غاية السند من الكلام

       “Perkataan yang menjadi ujung sanad.”[12]

 

Bila diperhatikan, terdapat korelasi antara makna secara bahasa dan terminologi. Matan tidak hanya sekedar berisi lafal-lafal hadis yang merupakan substansi dan inti dari hadis, namun lebih dari itu. Berkat sokongan dari sanad, yang telah mengangkat Matan ke para perawi yang membawanya, sampai menuju ke sumber aslinya. ia menjadi bernilai tinggi, keabsahan teruji, otoritasnya pun kuat, padat sebagaimana tanah yang meninggi dan mengeras padat. Matan pun pada akhirnya menjadi suatu hal yang tidak gampang dijatuhkan otoritasnya, apalagi diragukan kandungannya. 

al-Tibby memaparkan dalam al-Khulasah miliknya, Matan selanjutnya diperdebatkan oleh para ulama. Apakah ia perkataan sahabat dari Rasulullah SAW tentang ini itu, ataukah ia adalah sabda Rasulullah SAW semata? al-Tibby berpendapat bahwa pendapat pertama yang lebih tepat, karena telah disepakati bersama bahwa sunah mencakup ucapan, tindakan dan statement. Terlebih ulama salaf menyatakan bahwa hadis mencakup perkataan sahabat dan tabiin, jejak maupun fatwa-fatwa mereka. Melihat hal ini, Nampak al-Tibby menganut pendapat mayoritas ulama hadis bahwa hadis dan khabar  sama, tidak berbeda. Ia tidak termasuk golongan yang mempunyai perspektif bahwa hadis adalah yang bersumber dari Nabi SAW, sedang tidak begitu dengan khabar. Dikatakan khabar bila berasal dari selain Nabi SAW, seperti sahabat. Ditambah, dirinya juga menegaskan bahwa hadis lebih umum dari sekedar yang sabda, tindakan, statement yang berasal dari Nabi SAW, sahabat dan tabi’in. [13]

Penulis pun mengamini perkataan al-Tibby, mengingat pengkerucutan Matan hanya pada sabda Rasulullah SAW saja, menyebabkan perkataan maupun tindakan sahabat dan tabiin tidak bisa masuk dalam kategori Matan. Padahal, dalam kaidah disiplin ilmu hadis terdapat macam-macam hadis seperti hadis mauquf dan maqtu yang notabene bersumber dari sahabat dan tabiin. Sehingga apabila pendapat kedua menjadi panutan, tak ayal hal terburuk yang akan terjadi ialah, kaidah dalam disiplin ilmu hadis menjadi tumpang tindih dan rancu.

            Dengan demikian, setelah membaca semua penjelasan diatas, apabila terdapat sebuah hadis, misalnya

حَدَّثَنَا الحُمَيدِيُّ عَبْدُ الله بن الزُّبَيْر قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيى بنُ سَعِيْد الأنْصَارِىُّ قَالَ أَخْبَرَنِى مُحَمّد بنُ إِبْرَاهِيم التَّيمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَة بنُ وَقَاص الّليْثِي يَقُوْلُ سَمِعْتُ عُمَر بن الخَطَّاب رضي الله عنه على المِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيّات وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ الى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أو الى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ الى مَاهَاجَرَ إِلَيه (أخرَجَه البُخَارِي)[14] 

Maka yang disebut sanad dari hadis tersebut ialah

حَدَّثَنَا الحُمَيدِيُّ عَبْدُ الله بن الزُّبَيْر قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيى بنُ سَعِيْد الأنْصَارِىُّ قَالَ أَخْبَرَنِى مُحَمّد بنُ إِبْرَاهِيم التَّيمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَة بنُ وَقَاص الّليْثِي يَقُوْلُ سَمِعْتُ عُمَر بن الخَطَّاب رضي الله عنه على المِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم يَقُولُ.

Dan bagian yang disebut Matan adalah

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيّات وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ الى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أو الى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ الى مَاهَاجَرَ إِلَيه

Baca artikel tentang Hadis lainya :


[1] Muhammad Murtada al-Husaini al-Zabidy, Taj al-‘Arush min Jawahir al-Qamus, Ed. ‘Abdul al-Sattar Ahmad Farraj, (Kuwait: Wizarat al-Irshad wa al-Anba’, 1965), 216.

[2] Ibid., 215.

[3]Jalal al-Din Al-Suyuti, Tadrib al-Rawi fi Sharh Taqrib al-Nawawy, Ed. Ahmad Ma’bad ‘Abd al-Karim dan Tariq bin ‘Aud (Riyadh : Dar al-‘Asimah, 2003), 40. Lihat juga Ratibah Ibrahim Khitab Tahun, Mabahith fi Dirasat al-Asanid wa al-Hukm ‘ala al-Hadith, (Kairo: Azhar University, 2009), 9.

[4]Abdullah Sya’ban, al-Ta’sil al-Shar‘iyu li Qawaid al-Muhaddithin, (Kairo: Dar al-Salam, 2008), 26. 

[5]Tahun, Mabahith fi Dirasat al-Asanid, 10.

[6] Sya’ban, al-Ta’sil al-Shar‘iyu, 26.

[7] Mahmud Tahhan, Taysir Mustalah Hadith, (Alexandria: Markaz Huda li al-Dirasat, 1405 H), 17.

[8] Tahun, Mabahith fi Dirasat al-Asanid, 9.

[9] Tahun, Mabahith fi Dirasat al-Asanid, 10.

[10] Al-Qur’an, 51:58.

[11] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2013), 114.

[12] Tahun, Mabahith fi Dirasat al-Asanid, 10.

[13]al-Husain bin Abdullah al-Tibby, al-Khulasah fi Usuli Al-Hadith, Ed. Subha al-Sahira’i, (Beirut: ‘Alam Al-Kitab, 1985), 33. Bandingkan dengan Suyuti, Tadrib al-Rawi, Vol. 1, 42.

[14] Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah Al-Ju‘fy al-Bukhariyi, al-Jami’ al-Sahih, Nuskhah al-Sultaniyyah Vol I, (Kairo: Maktabah Tabary, 2010), Kitab Bad’i al-Wahyi, Bab 1, no. hadis 1.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...