HOME

10 Maret, 2022

Metode Dalam Tarjih Dan Ta‘dil Perawi

Metode Dalam Tarjih  dan Ta‘dil Perawi:[1] Shaikh Nuruddin ‘Itr menjelaskan:

1.      Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah untuk menjarh maupun menta‘dil:

a.       Mayoritas ulama mensyaratkan minimal ada dua orang menetapkan ‘adalah seorang perawi, maka perawi tersebut baru bisa dikatakan‘adl. Hal ini didasari qiyas terhadap shahadah disyaratkan dua orang.

b.      Pendapat yang dipilih Khatib al-Baghdadi (w. 463 H) dan Ibn Salah (w. 643 H) bahwa ta‘dil boleh hanya dengan satu orang.Dengan alasan sebagai berikut:

-          Karena tidak ada ketetapan jumlah untuk menerima khabar (hadis). Maka tidak disyaratkan harus dua orang untuk mentajrih ataupun menta‘dil perawi. Hal ini berbeda dengan shahadah.

-          Menimbang perawi merupakan ketetapan hukum dari seorang pengadil. Dan ketetapan hukum tidak disyaratkan harus dua orang.

2.      Bagi perawi yang sudah masyhur kethiqahannya maka tidak perlu menjelaskan ‘adalahnya. Seperti: Imam Malik ibn Anas, Shu‘bah, Sufyan al-Thauri, Waki‘, Ishaq ibn Rahawaih.

Suatu ketika ImamAhmad ibn Hanbal (w. 241 H) pernah ditanya tentang Ishaq ibn Rahawaih, maka ia menjawab:

مثل إسحاق يسأل عنه؟ إسحاق عندنا إمام من أئمة المسلمين

Apakah orang seperti Ishaq masih dipertanyakan? Ishaq bagi kami merupakan salah satu Imam dari para Imam kaum Muslimin.

Hal ini juga berlaku untuk mentajrih seorang perawi.

3.      Ibn ‘Abdi al-Bar mengatakan: “Setiap pembawa ilmu (hadis) maka dihukumi ‘adl sampai terkuak jarhnya. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah SAW:

يحمل هذا العلم من كل خَلَف عدولُه، يفنون عنه تحريف الغالين وانتحال المبطلين، وتأويل الجاهلين

Setiap yang membawa ilmu ini dari khalaf, maka ‘adl. Jauh dari kesesatan orang yang melampaui batas dan mengikuti kebatilan, serta ta’wil orang-orang yang bodoh.

Pendapat ini dikritik Ibn Salah (w. 643 H) karena terlalu menggampangkan (tasahul) yang tidak dapat diterima. Nuruddin‘Itr mengomentari: “Sepertinya Ibn Salah (w. 643 H) menyamakan pendapat tersebut dengan mastur.

Tetapi pendapat Ibn ‘Abdi al-Bar disepakati oleh para muhaqqiq seperti: ibn al-Jauzi, al-Mizzi, al-Dhahabi, al-Sakhawi. Al-Sakhawi (w. 902 H) mengatakan:

ولا يدخل في ذلك المستور، فإنه غير مشهور بالعناية بالعلم

“Pendapat Ibn ‘Abdi al-Bar tidak bisa disamakan dengan mastur, karena perawi mastur tidak termasuk (dikenal) orang membawa ilmu.

Baca artikel tentang Hadis lainya :


[1]Ibid., 101.

‘Itr, Nuruddin, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadith. Suriah: Dar al-Fikr, 1997.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...