HOME

10 Maret, 2022

Jarh wa ta‘dil

 

A.    Pengertian al-Jarh wa al-Ta‘dil

Shaikh Nuruddin ‘Itr menjelaskan dalam Manhaj Naqd  bahwa yang dimaksud dengan al-Jarh wa al-Ta‘dil  adalah sebagai berikut

الجرح عند المحدثين: هو الطعن في راوي الحديث بما يسلب أو يخل بعدالته أو ضبطه

Al-Jarh menurut para ahli hadis adalah celaan terhadap perawi hadis yang akan mengurangi ‘adalah atau dabtnya.

والتعديل: عكسه، وهو تزكية الراوي والحكم عليه بأنه عدل أو ضابط

Dan al-Ta‘dil adalah lawan katanya. Yaitu membersihkan/mensucikan perawi dan menghukuminya adalah ataupun dabt.

Oleh karenanya ilmu al-Jarh wa al-Ta‘dil adalah merupakan timbangan perawi hadis. Jika berat timbangannya, maka perawi tersebut diterima riwayatnya, tetapi jika ringan timbangannya maka riwayatnya ditolak.[1]

Suyuti (w. 911 H) dalam Tadribnya dalam hal ini menggunakan istilah ma’rifat thiqat wa al-du‘afa’. Ia mengatakan ilmu ini sangat penting sekali, karena dengan ilmu ini bisa diketahui hadis yang sahih dan yang da‘if.[2]

 

B.     Sejarah Jarh wa ta‘dil

Sudah sejak lama para ulama memperhatikan Jarh wa ta‘dil, sebagaimana dijelaskan oleh Ibn ‘Ady al-Jurjany (w. 360 H): Dari para sahabat adalah Ibn ‘Abbas (w. 68 H), Anas ibn Malik (w. 93 H). Dari kalangan tabi‘in adalah ‘Amir al-Sha’by (w. 104 H), Ibn Sirin (w. 110 H), Sa‘id ibn Musayyab (w. 93 H). Mereka semua jumlahnya lebih sedikit daripada generasi setelahnya, karena pada zaman sahabat semuanya ‘adl, sedangkan para tabi‘in kebanyak thiqat. Pada masa ini du‘afa’ sangat sedikit. Pada abad kedua, yaitu pada pertengahan masa tabi‘in banyak muncul du‘afa’. Mereka memursalkan banyak hadis, dan memarfu’kan mauquf, diantaranya: Abu Harun al-‘Abdary (w. 143 H). lalu sekitar tahun 150-an Hijriah banyak orang berbicara dalam Jarh wa ta‘dil, diantaranya al-A‘mash (w. 148 H) yang menjarh para perawi dan mentauthiq sebagian yang lain. Kemudian muncul pula Syu‘bah (w. 160 H), Ma‘mar (w. 153 H), al-Auza‘iy (w. 156 H), Sufyan al-Thauriy (w. 161 H), Laith ibn Sa‘d (w. 175 H), Malik ibn Anas (w. 189 H).[3]

Pada masa itu juga terkenal ibarat ibn Mubarak (w. 181 H) yang diabadikan di dalam Sahih Muslim:

وَحَدَّثَنِى مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ قُهْزَاذَ مِنْ أَهْلِ مَرْوَ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَانَ بْنَ عُثْمَانَ يَقُولُ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الْمُبَارَكِ يَقُولُ الإِسْنَادُ مِنَ الدِّينِ وَلَوْلاَ الإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ

Telah bercerita kepada Muhammad ibn ‘Adullah ibn Quhzadh dari Ahli Marwa berkata, aku mendengar ‘Abdan ibn Uthman berkata, aku mendengar ‘Abdullah ibn al-Mubarak berkata: “Isnad bagian dari agama, dan kalau bukan karena isnad, seseorang akan berkata apa saja semau mereka”.[4]

Setelah itu muncullah Ibn ‘Uyainah (w. 197 H), Ibn Wahb (w. 197 H), Waki‘ Ibn al-Jarrah (w. 189 H). Abu Dawud al-Tayalisy (w. 204 H). kemudian dibuatlah kitab tentang Jarh wa ta‘dil dan ‘ilal. Salah satu pemimpin dalam Jarh wa ta‘dil adalah Yahya ibn Ma‘in (w. 233 H), Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H), Muhammad ibn Sa‘d (w. 230 H), Ali ibn al-Madiny (w. 234 H), Abu Bakr ibn Shaibah (w. 235 H). Kemudian datang setelahnya al-Bukhari (w. 256 H), Abu Zur‘ah (w. 264 H), Abu Hatim (w. 277 H), Muslim (w. 261 H), Abu Dawud (w. 275 H). Lalu al-Nasa’i (w. 303 H), Abu Ya’la(w. 307 H), Ibn Huzaimah (w. 311 H), Ibn Jarir Tabari(w. 310 H), ibn Abi Hatim al-Razi (w. 327 H), Dar al-Qutny (w. 323 H).[5]

Tetapi Shaikh Nuruddin‘Itr berpendapat kitab Jarh wa ta‘dil pertama yang sampai ke tangan kita adalah Mukaddimah kitab al-Jarh wa al-Ta‘dil karya ibn Abi Hatim al-Razi (w. 327 H)[6]

C.    Dalil Dibolehkannya al-Jarh wa al-Ta‘dil

a.       Dalil Ta‘dil dari Alquran. Allah I berfirman:

يَٰٓأَيُّهَاٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٖ فَتَبَيَّنُوٓاْ

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti [Al Hujurat6]

 

b.      Dalil Ta‘dil dari sunnah. Rasulullah SAW bersabda:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ يُونُسَ عَنِ الزُّهْرِىِّ عَنْ سَالِمٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنْ أُخْتِهِ حَفْصَةَ أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ لَهَا إِنَّ عَبْدَ اللَّهِ رَجُلٌ صَالِحٌ

Diriwayatkan dari Yahya ibn Sulaiman telah menceritakan kepada kami ibn Wahb dari Yunus dari al-Zuhri dari Salim dari ibn ‘Umar dari saudara perempuannya Hafsah sesungguhnya Rasulullah SAW mengatakan kepadanya: “Sesungguhnya ‘Abdullah seorang laki-laki yang salih.[7]

D.    Pendapat Para Ulama Dalam al-Jarh wa al-Ta‘dil

Sebagian orang sufi bertanya kepada ‘Abdullah ibn Mubarak: “Apakah engkau melakukan ghibah?”. Ibn Mubarak berkata: “Diamlah! Apabila kita tidak menjelaskan, bagaiman seseorang akan tau yang haq dan yang batil”.[8]

Diriwayatkan dari Abu Zaid al-Ansori, suatu ketika Shu‘bah datang kepada kami ketika hujan, dia berkata: “Sekarang bukan waktunya hadis, sekarang waktunya ghibah, marilah kita membicarakan (ghibah) tentang orang-orang pendusta”. Diriwayatkan dari ‘Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal, suatu ketika Abu Thurab datang kepada ayahku. Ketika itu Ahmad ibn Hanbal mengatakan Fulan da‘if, Fulan thiqah. Maka Abu Thurab berkata: “Wahai Sheikh! Janganlah engkau melakukan ghibah terhadap ulama”. Lalu Ahmad ibn Hanbal menoleh kepadanya dan berkata: “Ini adalah nasihat, bukan ghibah!”.[9]

E.     Syarat-Syarat Pentajrih dan Penta‘dil

Bagi orang yang ingin mentajrih dan menta‘dil harus memenuhi kriteria-kriteria  berikut:

a.       Bagi orang yang ingin mentajrih ataupun menta‘dilharus mempunyai pengetahuan, ketaqwaan, wara‘, kejujuran (‘adalah). Ibn Hajar (w. 852 H) berkata:

ينبغي ألا يقبل الجرح والتعديل إلا من عدل متيقِّظ، فلا يقبل جرح من أفرط فيه فجرح بما لا يقتضي رد حديث المحدث، كما لا تقبل تزكية من أخذ بمجرد الظاهر فأطلق التزكية

Hendaknya tidak diterima Jarh wa ta‘dil kecuali dari seseorang yang ‘adl dan waspada (hati-hati), maka tidak diterima jarh dari orang yang lalai atau gegabah, dia menjarh sesuatu yang tidak menunjukkan pembatalan hadis perawi (dia lalai, akhirnya salah dalam menjarh, sedangkan ulama yang lain tidak menjarh perawi tersebut), sebagaimana tidak diterima pula pembenaran yang dilakukan penta‘dil tetapi hanya terlihat secara zahir saja, lalu dia mengatakan (bahwa perawi tersebut) ‘adl.[10]

b.      Mempunyai ilmu asbab al-Jarh wa al-Ta‘dil

c.       Ahli dalam kalamal-‘Arab. Sehingga ia tidak menaruh lafaz (semisal menjarh) perawi yang tidak sesuai dengan ma’nanya.[11]

Sedangkan dijelaskan di dalam kitab al-Raf’u wa al-Takmil mengatakan syarat bagi seseorang penjarh maupun penta‘dil adalah: ‘ilm, taqwa, wara’, jujur, menjauhi ta‘assub, mengetahui sebab Jarh wa ta‘dil. bagi yang tidak memenuhi syarat tersebut, maka tidak diterima Jarh wa ta‘dilnya.[12]

Shaikh ‘Abdul Muhdi mengatakan bahwa syarat untuk mentajrih adalah: Harus berlaku adil, memiliki pengetahuan dan perhatian terhadap kondisi perawi mengetahui sebab jarh, tidak ta‘assub.[13]

F.     Beberapa Hal Yang Tidak Disyaratkan Dalam Jarh wa ta‘dil:

1.      Tidak disyaratkan bagi seorang penjarh maupun penta‘dil laki-laki atau orang yang merdeka. Jadi baik laki-laki dan juga perempuan diterima Jarh wa ta‘dilnya. Begitu juga dengan orang yang merdeka maupun tidak.[14]

2.      Ada orang yang mengatakan tidak diterima Jarh wa ta‘dil kecuali dengan perkataan dua orang sebagaimana dalam shahadah (kesaksian). Tetapi mayoritas para ulama berpendapat satu orang saja (yang ‘adl dan teliti) sudah cukup untuk mengetahui jarh atau ta‘dil dari seorang perawi.[15]Ibn Salah (w. 643 H) berkata:

هو الصحيح الذي اختاره الخطيب وغيره أنه يثبت بواحد، لأن العدد لم يشترط في قبول الخبر، فلم يشترط في جرح روايه وتعديله، بخلاف الشهادة

Inilah yang benar yang dipilih oleh Khatib dan yang lainnya, bahwasanya penjarh ataupun penta‘dil cukup dengan satu orang. Karena jumlah tidak disyaratkan dalam diterimanya khabar (hadis), maka tidak disyaratkan pula dalam jarh maupun ta‘dil. (Hal ini) berbeda dengan shahadah (kesaksian).[16]

 

G.    Adab Dalam Melakukan Jarh wa ta‘dil

Sheikh Nuruddin ‘Itr menjelaskan beberapa adab yang perlu diperhatikan bagi penjarh ataupun penta‘dil adalah sebagai berikut:

1.      Kejujuran dalam penta‘dilan. Tidak boleh meninggikan derajat perawi dari martabatnya ataupun menurunkan, sebagaimana banyak yang dilakukan orang-orang pada zaman kita sekarang ini.

2.      Tidak boleh mentajrih kelewat batas. Karena tajrih disyari’atkan sesuai kebutuhan. Dan kebutuhan dilakukan sesuai dengan kadarnya.

3.      Tidak boleh hanya melakukan tajrih saja terhadap seorang perawi yang mempunyai jarh juga ta‘dil. Maka keduanya harus diteliti.

4.      Menurut Nuruddin ‘Itr, bagi perawi yang sudah tidak dibutuhkan lagi tajrih nya maka tidak boleh dilakukan tajrih. Karena tajrih dilakukan karena kebutuhan. Apabila tidak dibutuhkan kebutuhan tersebut maka tidak boleh masuk ke dalamnya. Inilah yang banyak dilakukan orang-orang yang melampaui batas pada masa sekarang. Beliau menukil perkataan Luknawi:

من عاداتهم الخبيثة: أنهم كلما ناظروا أحدا من الأفاضل في مسألة من المسائل توجهوا إلى جرحه بأفعاله الذاتية، وبحثوا عن أعماله العرضية، وخلطوا ألف كذبات بصدق واحد، وفتحوا لسان الطعن عليه بحيث يتعجب منه كل ساجد، وغرضهم منه إسكات مخاصمهم بالسب والشتم

Diantara kebiasaan mereka yang buruk: Setiap kali mereka melihat seseorang yang mempunyai kemuliaan dalam suatu permasalah, mereka mencoba untuk menjarhnya dengan perbuatan mereka sendiri. Mereka mencari secara kebetulan, lalu mencampur ribuan kedustaan dengan satu kejujuran. Dan membuka lisan fitnah terhadapnya sehingga menjadikan orang-orang terkejut, tujuanya mereka adalah menjadikan diam musuh-musuh mereka dengan mencemarkan nama baik dan mencaci maki.[17]


Baca artikel tentang Hadis lainya :


[1] Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadith (Suriah: Dar al-Fikr, 1997),  92.

[2] Jalal al-Din al-Suyuti, Tadrib al-Rawi, Jilid 2 (Riyad: Dar al-‘Asimah, 2003), 494.

[3]Muhammad Muhammad Abu Zahw, al-Hadith wa al-Muhaddithun (Riyad: Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su‘udiyyah, 1404 H / 1984 M), 455.

[4] Muslim, Sahih Muslim, Juz 1(Stuttgart – Germany: Jam’iyyatu al-Maknaz al-Islamy, 2000), 10.

[5]Abu Zahw, al-Hadith wa al-Muhaddithun, 457.

[6] ‘Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd, 106.

[7] Bukhari, Sahih Bukhari, Juz 2 (Stuttgart – Germany: Jam’iyyatu al-Maknaz al-Islamy, 2000), 738.

[8] Al-Khatib al-Baghdadi, al-Kifayah fi ‘Ilmi al-Riwayah (t.t.: Jam‘iyyah Dairatu al-Ma’arif, 1357 H), 45.

[9]Ibid.

[10] Ibn Hajar, Nuzhatu al-Nazr (Suriah: Matba’ah al-Sabah, 2000), 138.

[11] Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadith, 94.

[12] Muhammad ‘Abdu al-Hay al-Luknawi al-Hindi, Al-Raf’u wa al-Takmil, tahqiq ‘Abdul Fattah Abu Ghuddah(t.t.: Maktabah Ibn Taimiyyah, t.th.), 16.

[13] ‘Abdul Muhdi, ‘Ilm al-Jarhwa al-Ta‘dilQawa‘iduhu wa A’immatuhu, (Kairo: Maktabah Iman, 2011), 65.

[14] Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd, 94. Lihat juga Muhammad ‘Abdu al-Hay al-Luknawi al-Hindi, Al-Raf’u wa al-Takmil, 53.

[15]‘Abdul Muhdi, ‘Ilm al-Jarh, 70.

[16] Ibn Salah, Ulum al-Hadith, tahqiq Nuruddin al-‘Itr (t.t.: t.p., t.th.), 109.

[17] Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd, 95.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...