Khalifah dalam bahasa Indonesia dapat diartikan pengganti
atau orang yang berada di belakang seseorang. Khalifah adalah bentuk
tunggal, bentuk jamaknya adalah Khulafâ’, sedangkan Rashidun dalam bahasa Indonesia
berarti benar, pintar, atau lurus.
Dalam sejarah Islam Khulafâ’ Rashidun diartikan: penggganti
Rasul yang benar dan lurus, dan diterima oleh seluruh umat. Empat Khalifah yang
mendapatkan julukan Khulafâ’ Rashidun adalah empat khalifah
awal yang berturut-turut menggantikan Rasulullah. mereka adalah :
a.
Abu Bakar (memimpin tahun 11 s/d 13 H)
b. Umar bin Khattab (memimpin tahun 13 s/d 23 H)
c.
Uthman bin Affan (memimpin tahun 23 s/d 35 H)
d. Ali bin Abi T{alib (memimpin tahun 35 s/d 40 H)
Ketika Nabi Muhammad SAW. wafat, cukup
menggemparkan segenap umat Islam dan sekaligus menandakan telah berakhirnya
otoritas seorang pemimpin spiritual dan duniawi yang mendapatkan tuntunan
langsung wahyu Ilahi, serta menunjukkan pula bahwa risalah kenabian telah
sempurna. Beliau pun tidak mewariskan siapa penggantinya yang akan
meneruskan missi sucinya.
Pada saat itu untuk memutuskan mengenai siapa
pengganti Nabi dalam memimpin umat Islam dalam rangka mengemban amanah-Nya
tersebut telah menimbulkan interpretasi umat yang beraneka-ragam, yang pada
gilirannya menjadi pemicu konflik tajam yang berkesudahan antar sesama muslim.
Padahal beliau telah berusaha keras menanamkan persaudaraan sejati yang kokoh
diantara pengikutnya, misalnya antara kaum Ansar dengan kaum Muhajirin.
Terlambatnya pemakaman jenazah Nabi mengilustrasikan betapa gawatnya krisis
suksesi saat itu. Sejarah mencatat terdapat tiga golongan yang terlibat konflik
dalam persaingan perebutan kekuasaan itu, yaitu kaum Ansar, kaum Muhajirin, dan
kaum Bani Hashim.
Mereka
ini merupakan para sahabat nabi yang terpercaya dan terkemuka. Jasa mereka
sangat besar dalam membantu tugas Nabi Muhammad dalam menyiarkan Agama Islam.
Dalam kurun waktu 29 tahun, mereka dapat memperluas Islam sampai ke wilayah
Syam, Irak Mesir, Sudan, Palestina, dan beberapa daerah di Benua Afrika. Oleh
sebab itu, mereka sangat pantas mendapat sebutan Khulafâ’ Rashidun.
Sifat
Utama yang dapat dijadikan ciri seorang Khulafâ’ Rashidun adalah ia
merupakan pemimpin arif dan bijaksana. Sebab dalam menjalankan kepemimpinannya
selalu mengacu pada keteladanan Nabi Muhammad saw dalam memimpin umat Islam
maupun dalam mengelola negara dan kepemerintahan. Sifat-sifat lain yang
dimiliki oleh seorang Khulafâ’ Rashidun antara lain : 1. memiliki sifat
arif dan bijaksana. 2. memiliki kewibawaan dan rasa kedisiplinan yang tinggi.
3. memiliki wawasan dan pengetahuan agama yang luas dan mendalam. 4. Berani,
tegas dalam menegakkan kebenaran. 5. memiliki kemauan yang keras.
Tugas Rasulullah
meliputi dua hal, yaitu tugas kenabian dan tugas kenegaraan. Tugas kenabian
atau tugas kerasulan yaitu tugas sebagai penerima dan penyampai wahyu. Tugas
kenegaraan adalah tugas sebagai kepala negara, kepala pemerintahan, dan
pemimpin umat. Khalifah hanya menggantikan tugas sebagai kepala negara, kepala
pemerintahan, dan pemimpin umat. Tugas kenabian tidak dapat digantikan karena tugas
itu khusus untuk nabi dan nabi Muhammad adalah rasul dan Nabi terakhir.
A. Watak dan Prestasi Khulafâ’
Râshidun
Abu Bakar adalah salah
seorang dari pemimpin Quraish dan anggota majelis permusyawaratan. Dia dikenal
sebagai seorang yang berperangi lembut dan dicintai oleh kaumnya[1]
Abu Bakar menjadi khalifah
selama dua tahun. Pada tahun 634 M ia meninggal dunia. Masa sesingkat itu habis
untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri terutama tantangan yang ditimbulkan
oleh suku-suku bangsa Arab yang tindak mau tunduk lagi kepada pemerintah Madinah.
Mereka menganggap, bahwa perjanjian yang dibuat dengan Nabi Muhammad, dengan
sendirinya batal setelah nabi wafat. Karena sikap keras kepala dan penentangan
mereka yang dapat membahayakan agama dan pemerintah, Abu Bakar menyelesaikan
persoalan ini dengan apa yang disebut Perang Riddah (perang Melawan
Kemurtadan). Khalid bin Walid adalah jenderal yang banyak berjasa dalam Perang Riddah
ini.[2]
Ketika Abu Bakar sakit dan
merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan pemuka sahabat, kemudian
mengangkat Umar sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan
terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam[3]
Umar adalah seorang berwatak
tegas dalam hak. Sebelum masuk Islam ia terkenal sebagai orang Quraish yang
paling berbahaya bagi kaum muslimin. Tetepi ketika masuk Islam ia berubah
drastic menjadi orang Islam yang paling berani menyatakan pendapatnya dan yang
paling gigih membela agama ini[4]
Di zaman Umar gelombang
ekspansi (perluasan daerah kekuasaan) pertama tejadi, ibu kota Syria, Damaskus,
jatuh tahun 635 M dan setahun kemudian, setelah tentara Bizantium kalah di
pertempran Yarmuk, seluruh daerah Syiria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. dengan
memakai Syria sebagai basis, ekspansi diteruskan di Mesir di bawah pimpinan
‘Amr bin ‘Ash dan di Irak di bawah pimpinan Sa’ad bin Abi Waqqash. Dengan
demikian, pada masa kepemimpinan Umar, wilayah kekuasaan Islam sedah meliputi
Jazirah Arabia, Palestina, Syiria, sebagian wilayah Persia dan mesir.[5]
Pada masanya mulai di atur
dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan
dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk
menjaga keamanan dan ketertiban, jawatan kepolisian dibentuk. Demikian pula
jawatan pekerjaan umum.[6]
Umar juga mendirikan Bait al-Mal dan
menciptakan tahun hijrah.[7]
Setelah Umar wafat, ia di
gantikan oleh Uthman bin Affan. Khalifah Uthman adalah seorang yang takwa
wara’, selalu menjalankan puasa sepanjang tahun dan berhaji setiap tahun.[8] Uthman
juga terkenal sebagai seorang baik budi, penyantun, rendah hati, dan sangat
kasih kepada sesama[9]
Di masa pemerintahan Uthman,
Armenia, Tunisia, Cyprus, Phodes, dan bagian yang tersisa dari Persia,
Transoxania dan Tabarista berhasil direbut. Ekspansi Islam pertama berhenti
disini.[10]
Pada masanya, Uthman berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang
besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan,
jembatan-jembatan, masjid-masjid, dan memperluas masjid nabi di Madinah.[11]
Setelah Uthman wafat,
masyarakat beramai-ramai membaiat Ali bin Abi T{alib sebagai khalifah. Ia
adalah seorang yang mengiaskan budi pakerti terpuji. Dia tumbuh ditengah
kehidupan rumah tangga Rasulullah saw sehingga ia terdidik dengan pendidikan
yang sangat etis dan berakhlak dengan akhlak yang sangat baik.[12]
Ali adalah figur seorang yang petah lidah
dan selalu berbahasa Arab dengan baik dan benar. Dalam berbicara ia selalu menggunakan
kata-kata yang sederhana dengan tidak dibuat-buat sehingga diterima oleh jiwa
yang mendengar dan terpengaruh karenanya. Begitu juga ia pun seorang yang
paling pandai bersyair di antara Khulafâ’ Râshidun.[13]
Adapun prestasi-prestasi yang ia
peroleh ketika menjalankan pemerintahan adalah:
a. Mengganti Pejabat yang Kurang Cakap.
Khalifah Ali bin Abi T{alib menginginkan sebuah pemerintahan yang
efektif dan efisien. Oleh karena itu, beliau kemudian mengganti pejabat-pejabat
yang kurang cakap dalam bekerja. Akan tetapi, pejabat-pejabat tersebut ternyata
banyak yang berasal dari keluarga Khalifah Uthman bin Affan (Bani Umaiyah).
Akibatnya, makin banyak kalangan Bani Umayah yang tidak menyukai Khalifah
Ali bin Abi T{alib.
b. Membenahi Keuangan Negara (Bait al-Mal).
Setelah
mengganti para pejabat yang kurang cakap, Khalifah Ali bin Abi Tahlib kemudian
menyita harta para pejabat tersebut yang diperoleh secara tidak benar.
Harta tersebut kemudian disimpan di Bait al-Mal dan digunakan
untuk kesejahteraan rakyat.
c. Memajukan Bidang Ilmu Bahasa.
Pada saat Khalifah Ali bin Abi T{alib memegang pemerintahan , Wilayah
Islam sudah mencapai India. Pada saat itu, penulisan huruf hijriyah belum
dilengkapi dengan tanda baca, seperti kasrah, fathah, dammah dan shaddah. hal
itu menyebabkan banyaknya kesalahan bacaan teks al-Quran dan Hadis di daerah-daerah
yang jauh dari Jazirah Arab.
Untuk menghindari kesalahan fatal dalam bacaan al-Qur’an dan Hadis. Khalifah
Ali bin Abi T{alib memerintahkan Abu Aswad al-Duali untuk mengembangkan
pokok-pokok ilmu nahwu, yaitu ilmu yang mempelajari
tata bahasa Arab. Keberadaan ilmu nahwu diharapkan dapat membantu
orang-orang non Arab dalam mempelajari sumber utama ajaran Islam,
yaitu al-Quran dan hadis.
d. Bidang Pembangunan
Salah
satu pembangunan yang mendapat perhatian khusus dari Khalifah Ali bin Abi
T{alib adalah pembangunan Kota Kufah. Pada awalnya kota Kufah disiapkan
sebagai pusat pertahanan oleh Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Akan
tetapi, kota Kufah kemudian berkembang menjadi pusat ilmu tafsir,
ilmu hadis, ilmu nahwu dan ilmu pengetahuan lainya.
Pada waktu itu , perselisihan antara pendukung Khalifah Ali bin Abi
T{alib dan Mua'wiyah bin Abu Sufyan makin membesar. Perselisihan itulah yang
menjadi awal berakhirnya pemerintahan Islam dibawah Khulafa’ Rashidun.
meskipun memiliki kelemahan-kelemahan, para ahli sejarah menyatakan bahwa pemerintahan
Islam masa Khulafa’ Rashidun merupakan masa pemerintahan Islam yang
paling mendekati masa pemerintahan Rasulullah saw.
B. Sistem Pemilihan
al-Khulafâ’ al-Râshidun
Satu hal
tentang suksesi yang pertama kali muncul dan mengusik jiwa masyarakat jazirah
Arab setelah ditinggal Muhammad saw di hampir separuh abad ke-7 M adalah
siapakah yang akan menggantikannya, baik sebagai pengemban amanah keagamaan
maupun sebagai kepala pemerintahaan. Ketika dihadapkan masalah agama, adakah
sosok yang kompeten? Sementara tidak ada lagi risalah atau misi kenabian
seperti sebelumnya, karena Muhammad saw adalah nabi terakhir. Dan apabila soal
pemerintahan, siapa yang akan dipilih sementara secara spesifik Nabi tidak
menunjuk pengganti dan begitu banyak yang harus di tangani?[14]
Apapun
masalahnya, diperlukan tokoh tertentu yang mempunyai otoritas keislaman yang kuat
ditengah masyarakat. Ia pun diakui publik untuk sebuah terobosan besar
peradaban Islam dalam waktu yang dibatasi. Maka suksesi kepemimpinan mesti dilakukan
dengan cara-cara yang baik dan demokratis serta diterima masyarakat.[15]
Masalah
kepemimpinan pasca Muhammad saw. Kemudian menjadi otoritas umat Islam. siapapun
yang menggantikan nabi tersebut, ia harus disepakati lalu di baiat oleh
masyarakat. Suatu prinsip bernegara yang seringkali di ajarkan adalah musyawarah,
sesuai dengan ajaran Islam. prinsip musyawarah dapat dibuktikan dengan beberapa
peristiwa yang terjadi disetiap pergantian pemimpin dari empat khalifah periode
Khulafa’ Rashidun, meski dengan versi yag beragam. Upaya ke arah positif
selalu ditegakkan oleh para sahabat ketika itu, sehingga umat Islam memberikan
respons positif pula. Tidak ada konflik besar ditegakkannya prinsip musyawarah
tersebut.[16]
Abu
Bakar memangku jabatan khalifah berdasarkan pilihan yang berlangsung secara
demokratis di Thaqifah Bani Sa’idah, memenuhi tata cara perundingan yang
dikenal dunia modern. Kaum Ansar menekankan persyaratan jasa (merit), mereka mengajukan calon Sa’ad
bin Ubadah. Kaum Muhajirin menekankan aspek kesetiaan, mereka mengajukan calon
Abu Ubaidah bin Jarrrah. Sementara Pihak Ahl Bait mengiginkan agar Ali
bin Abi T{alib atas pertimbangan kedudukannya dalam Islam, juga sebagai menantu
serta karib nabi. Hampir saja terjadi pergolokan antar kelompok-kelompok
berkepentingan tersebut. Melalui perdebatan panjang, akhirnya Abu Bakar
disetujui untuk menduduki jabatan khalifah.[17]
Dalam sistem musyawarah bila sejumlah orang tidak menyetujui, maka mereka di
anggap itba’ dan terkelompokkan ke
mayoritas.[18]
Pendapat
lain menyebutkan bahwa ketika para sahabat disibukkan dengan urusan jenazah Nabi
Muhammad saw, pagi harinya Umar bin Khattab mendengar ada pertemuan kelompok Ansar
di saqifah Bani Sa’idah untuk mengangkat Sa’ad bin Ubadah, seorang tokoh Ansar
dari suku Khazraj sebagai khalifah. Kemudian Umar bergegas ke kediaman Nabi,
menyuruh seseorang untuk memanggil Abu Bakar yang berada di situ. Awalnya Abu
Bakar menolak, namun akhirnya memaklumi. Kedua sahabat terebut bergegas menuju
pertemuan dimaksud bersama Abu Ubaidah
bin Jarrah, tokoh senior dari kaum Muhajirin. Perdebatan sengit tak dapat
dihindari antara kaum Muhajirin dan Ansar. Sa’ad bin Ubaidah berpidato tentang
kedekatan Ansar dengan Rasulullah, maka menurutnya utusan mereka berhak
dipilih. Spontan kaum Ansar memilih Sa’ad bin Ubaidah sebagai representasi
mereka.[19]
Di pihak
lain, kaum Muhajirin mengutus Abu Bakar. Seraya menegaskan bahwa pihak mereka
lebih awal dekat dengan Nabi dan kepemimpinan adalah milik kabilah Quraish.
Ketika Kaum Ansar mengusulkan ada utusan dari masing-masing kelompok, baik Ansar
maupun Muhajirin, tapi tidak disetujui oleh Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah
serta sebagian sahabat. Umar dengan kelihaiannya menyakinkan forum-membaiat Abu
Bakar sebagai Khalifah. Spontan keputusan tersebut diikuti mayoritas umat
Islam. Dalam pembaiatan yang dilakukan oleh mereka, keluarga nabi tidak ikut
serta karena disibukkan dengan urusan jenazah Nabi.[20]
Namun demikian, Ali bin Abi T{alib akhirnya ikut membaiat kekhalifahan Abu
Bakar. Sikap Ali tersebut di nilai beragam dan di kemudian hari menjadi
konsumsi politik. Namun apa pun persepsi yang dimunculkan, pembaiatan Abu Bakar
sudah sangat demokratis karena merepsentasikan keinginan mayoritas umat Islam.[21]
Agak sedikit
berbeda dengan suksesi sudahnya, bukan melalui musyawarah karena Umar bin
Khattab di angkat dan dipilih oleh tokoh tertentu di masyarakat, kemudian disetujui
oleh umat Islam. menjelang waktu wafatnya, Abu Bakar menderita sakit dan situasi
negara tidak stabil walaupun sepenuhnya dapat di kendalikan, dan pasukan Islam
pada waktu itu bertempur di medan perang. Dukungan moral dan politik dari pusat
pemerintah di Madinah tentu sangat dibutuhkan. Maka kemunculan pemimpin
pengganti pasca Abu Bakar adalah solusi terbaik. Akhirnya Umar bin Khattab
terpilih menggantikannya tentu dengan dukungan politik dan persetujuan para
pemuka masyarakat. Seandainya khalifah pertama tersebut membiarkan situasi
sebagaimana yang telah disikapi Muhammdah saw. Sangat dimungkinkan terjadi
pertumpahan darah apalagi jumlah penduduk di akhir kepemimpinan cukup besar.[22]
Munawir
Sjadzali menegaskan, bahwa pengangkatan Umar bin Khattab sebagai khalifah
pengganti Abu Bakar berdasarkan penunjukan oleh Abu Bakar. Kebijakan tersebut
di ambil cepat untuk mengantisipasi kemungkinan terulangnya kasus Thaqifah Bani
Sa’idah. Sebagai khalifah yang berpengalaman dan memiliki kematangan diri, Abu
Bakar tersebut mengkonsultasikan masalah tersebut kepada para sahabat senior.
Di Antaranya, Abdurrahman bin ‘Auf dan Uthman bin ‘Affan dari kelompok
muhajirin serta Asid bin Khudair dari golongan Ansar. Selanjutnya, Abu Bakar
meminta Utsman bin Affan untuk menulis pesan tertulis tentang pengganti Abu
Bakar yaitu Umar bin Khattab. Sesuai dengan pesan tertulis tersebut,
sepeninggal Abu Bakar, Umar bin Khattab di baiat sebagai khalifah kedua dalam
satu peristiwa pembaiatan umum dan terbuka di Masjid Nabawi.[23]
Dalam
rangka pembaiatan khalifah ketiga, umat Islam harus mencari calon pemimpin.
Terlebih tokoh bijak seperti Umar bin Khattab telah wafat, sudah bisa
dipastikan mereka bingung. Namun demikian, sebelum kepergiannya, khalifah kedua
tersebut telah membuat tim khusus sebagai persiapan politik. Umar bin Khattab
menunjuk enam orang calon, dan diperkirakan dalam pandangan masyarakat kesemuanya
pantas menduduki jabatan khalifah. Mereka adalah Ali bin Abi T{alib, Uthman bin
Affan, Sa’ad bin Abi Waqqas, Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam, dan T{alhah bin Ubaidillah. Alasan khalifah
memilih mereka, secara kebetulan mereka semua dari golongan muhajirin adalah
bukan karena faktor kelompok atau keturunan, namun karena mereka berenam pernah
dinyatakan oleh Nabi sebagai calon-calon penghuni surga. Pertimbangan Umar,
dalam hal ini lebih ditekankan pada integritas kepribadian dan loyalitas pada
agama, bukan yang lainnya.[24]
Lembaga
tersebut adalah: Ahl al-Hal wa al-Aqd -lembaga pertama semacam DPR yang
dibentuk dalam pemerintahan Islam. Mereka yang direkrut di lembaga tersebut
bermusyawarah untuk menentukan siapa bakal menjadi khalifah. Agar proses
berjalan dengan lancar dan tidak menimbulkan kekacauan, maka putranya Abdullah
bin Umar diminta bergabung dengan tokoh-tokoh tim tersebut dengan syarat tidak
diperkenankan untuk dipilih sebagai khalifah. Dalam pemilihan, Utsman
mendapatkan suara lebih banyak, yaitu 3 suara untuk Ali dan 4 suara untuk Uthman.[25]
Dalam
proses pemilihan tersebur, menurut versi yang lain diceritakan bahwa dalam
sebuah pertemuan yang tidak dihadiri T{alhah bin Ubaidillah, Abdurrahman bin
Auf mengusulkan ada yang mengundurkan diri dari pencalonan khalifah. Peserta
rapat diam, akhirnya Abdurrahman mengambil sikap tegas mundur dari pencalonan
tersebut. Ali bin Abi T{alib mengikuti dengan syarat Abdurrahman jujur dan tidak
memilih Utsman karena alasan kedekatan hubungan kekerabatan. Kemudian
diputuskan melalui musyawarah umat Islam dan para sahabat yang ditunjuk oleh
Khalifah Umar. Tersaring menjadi dua orang, yaitu Utsman dan Ali. Keputusan
pilihan jatuh ketangan Uthman, karena ia dianggap lebih senior dan perilakunya
lebih lembut.[26]
Setelah
Uthman bin Affan, berkuasalah Ali bin Abi T{alib. Khalifah Ali dipilih dan di angkat
oleh komunitas muslim di Madinah. Meskipun ada pihak tertentu tidak menyukai
Ali, tetapi tidak ada orang yang berminat menjadi khalifah selagi kekuasaan
masih ditangan Ali bin Abi T{alib. Begitulah prosses pemilihan para Khulafâ’ Râshidun di sela-sela tiga
puluh tahun berkuasa sangat demokratis dan apa yang telah mereka tunjukkan
mencerminkan nilai tersendiri bagi upaya pengembangan politik dimasa depan. Apa
yang telah dicontohkan para sahabat di negara Madinah, ternyata tidak serta
merta dipraktikkan umat Islam dalam aktivitas politik mereka.[27]
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN
- Letak Geografi Arab Pra-Islam
- Perjuangan Dakwah Nabi Muhammad
- Pembentukan Negara Madinah
- Khulafaur Rasyidin
- Renaisans Di Eropa
- Kedatangan Barat Di Berbagai Dunia Islam
- Kemunduran Kerajaan Utsmani Dan Ekspansi Barat Ke Timur Tengah
- Bangkitnya Nasionalisme Di Dunia Islam Untuk Kemerdekaan Negaranya
- Kemerdekaan Negara-Negara Islam Dari Penjajahan
- Teori Datangnya Islam Ke Indonesia
- Saluran Dan Cara Islamisasi Di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, Ibrahim Hasan. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2001.
Haekal, Muhammad Husain. Abu Bakr Al-Siddi. terj.
Ali Audah. Bogor : PT. Pustaka
Litera AntarNUsa, 2012.
Hisam, Abi Muhammad Abd al-Malik ibn. al-Si<rah
al-Nabawi. Bairut: Dar ibn Hazm, 2009.
Hitti, Philip
K. Histori of the Arabs. terj. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet
Riyadi. Jakarta : PT Serambi Ilmu
Semesta, 2002.
Mubarakfuri (al), Safi
al-Rahman. al-Rahi<q al-Makhtum. Kairo: Dar al-Wafa’, 2010.
Nadwy (al), Abul Hasan Ali Al Hasani. Riwayat Hidup Rasulullah. Surabaya: PT
Bina Ilmu, 1983.
Shiddiq
,Nouruzzaman. Tamaddun Muslim.
Jakarta: Bulan Bintang, 1986.
Sjadzali,
Munawir. Islam dan Tata Negara.
Jakarta: UI Press, 2003.
Sulaiman, Rusydi. Pengantar Metodologi Studi
Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992.
[1] Hasan Ibrahim
Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta:
Kalam Mulia, 2001), 398.
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 36.
[3] Hasan Ibrahim
Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, 408.
[4] Ibid., 469.
[5] Harun
Nasution, Islam Ditinjau dari berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press,
1985), 58.
[6] Syibli Nu’man,
Umar Yang Agung (Bandung: Penerbit Pustaka, 1981), 264.
[7] A. Syalabi, Sejarah
dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1987), 263.
[8] Hasan Ibrahim
Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, 500.
[9] Ibid., 501.
[10] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 38.
[11] Ibid., 39.
[12] Hasan Ibrahim
Hasan, sejarah Kebudayaan Islam, 516.
[13] Ibid., 518.
[14] Rusydi
Sulaiman, Pengantar Metodologi Studi Sejarah
Peradaban Islam, 216.
[15]Ibid.
[16] Ibid.
[17] Nouruzzaman
Shiddiq, Tamaddun Muslim (Jakarta:
Bulan Bintang, 1986), 117.
[18] Rusydi
Sulaiman, Pengantar Metodologi Studi
Sejarah Peradaban Islam, 217.
[19] Ibid., 217.
[20] Munawir
Sjadzali, Islam dan Tata Negara (Jakarta:
UI Press,2003), 22.
[21] Rusydi
Sulaiman, Pengantar Metodologi Studi
Sejarah Peradaban Islam, 218.
[22] Ibid., 218.
[23] Munawir
Sjadzali, Islam dan Tata Negara, 25.
[24] Ibid.
[25] Rusydi
Sulaiman, Pengantar Metodologi Studi
Sejarah Peradaban Islam, 219.
[26] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, 268
[27] Rusydi
Sulaiman, Pengantar Metodologi Studi
Sejarah Peradaban Islam , 220.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar