HOME

30 Maret, 2022

Khulafaur Rasyidin

 

Khalifah dalam bahasa Indonesia dapat diartikan pengganti atau orang yang berada di belakang seseorang. Khalifah adalah bentuk tunggal, bentuk jamaknya adalah Khulafâ’, sedangkan Rashidun dalam bahasa Indonesia berarti benar, pintar, atau lurus.

Dalam sejarah Islam Khulafâ’ Rashidun diartikan: penggganti Rasul yang benar dan lurus, dan diterima oleh seluruh umat. Empat Khalifah yang mendapatkan julukan Khulafâ’ Rashidun adalah empat khalifah awal yang berturut-turut menggantikan Rasulullah. mereka adalah :

a.         Abu Bakar (memimpin tahun 11 s/d 13 H)

b.       Umar bin Khattab (memimpin tahun 13 s/d 23 H)

c.        Uthman bin Affan (memimpin tahun 23 s/d 35 H)

d.       Ali bin Abi T{alib (memimpin tahun 35 s/d 40 H)

Ketika Nabi Muhammad SAW. wafat, cukup menggemparkan segenap umat Islam dan sekaligus menandakan telah berakhirnya otoritas seorang pemimpin spiritual dan duniawi yang mendapatkan tuntunan langsung wahyu Ilahi, serta menunjukkan pula bahwa risalah kenabian telah sempurna. Beliau pun tidak mewariskan siapa penggantinya yang akan meneruskan missi sucinya.

Pada saat itu untuk memutuskan mengenai siapa pengganti Nabi dalam memimpin umat Islam dalam rangka mengemban amanah-Nya tersebut telah menimbulkan interpretasi umat yang beraneka-ragam, yang pada gilirannya menjadi pemicu konflik tajam yang berkesudahan antar sesama muslim. Padahal beliau telah berusaha keras menanamkan persaudaraan sejati yang kokoh diantara pengikutnya, misalnya antara kaum Ansar dengan kaum Muhajirin. Terlambatnya pemakaman jenazah Nabi mengilustrasikan betapa gawatnya krisis suksesi saat itu. Sejarah mencatat terdapat tiga golongan yang terlibat konflik dalam persaingan perebutan kekuasaan itu, yaitu kaum Ansar, kaum Muhajirin, dan kaum Bani Hashim.

Mereka ini merupakan para sahabat nabi yang terpercaya dan terkemuka. Jasa mereka sangat besar dalam membantu tugas Nabi Muhammad dalam menyiarkan Agama Islam. Dalam kurun waktu 29 tahun, mereka dapat memperluas Islam sampai ke wilayah Syam, Irak Mesir, Sudan, Palestina, dan beberapa daerah di Benua Afrika. Oleh sebab itu, mereka sangat pantas mendapat sebutan Khulafâ’ Rashidun.

Sifat Utama yang dapat dijadikan ciri seorang Khulafâ’ Rashidun adalah ia merupakan pemimpin arif dan bijaksana. Sebab dalam menjalankan kepemimpinannya selalu mengacu pada keteladanan Nabi Muhammad saw dalam memimpin umat Islam maupun dalam mengelola negara dan kepemerintahan. Sifat-­sifat lain yang dimiliki oleh seorang Khulafâ’ Rashidun antara lain : 1. memiliki sifat arif dan bijaksana. 2. memiliki kewibawaan dan rasa kedisiplinan yang tinggi. 3. memiliki wawasan dan pengetahuan agama yang luas dan mendalam. 4. Berani, tegas dalam menegakkan kebenaran. 5. memiliki kemauan yang keras.

Tugas Rasulullah meliputi dua hal, yaitu tugas kenabian dan tugas kenegaraan. Tugas kenabian atau tugas kerasulan yaitu tugas sebagai penerima dan penyampai wahyu. Tugas kenegaraan adalah tugas sebagai kepala negara, kepala pemerintahan, dan pemimpin umat. Khalifah hanya menggantikan tugas sebagai kepala negara, kepala pemerintahan, dan pemimpin umat. Tugas kenabian tidak dapat digantikan karena tugas itu khusus untuk nabi dan nabi Muhammad adalah rasul dan Nabi terakhir.

    A.  Watak dan Prestasi Khulafâ’ Râshidun

Abu Bakar adalah salah seorang dari pemimpin Quraish dan anggota majelis permusyawaratan. Dia dikenal sebagai seorang yang berperangi lembut dan dicintai oleh kaumnya[1]

Abu Bakar menjadi khalifah selama dua tahun. Pada tahun 634 M ia meninggal dunia. Masa sesingkat itu habis untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri terutama tantangan yang ditimbulkan oleh suku-suku bangsa Arab yang tindak mau tunduk lagi kepada pemerintah Madinah. Mereka menganggap, bahwa perjanjian yang dibuat dengan Nabi Muhammad, dengan sendirinya batal setelah nabi wafat. Karena sikap keras kepala dan penentangan mereka yang dapat membahayakan agama dan pemerintah, Abu Bakar menyelesaikan persoalan ini dengan apa yang disebut Perang Riddah (perang Melawan Kemurtadan). Khalid bin Walid adalah jenderal yang banyak berjasa dalam Perang Riddah ini.[2]

Ketika Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam[3]

Umar adalah seorang berwatak tegas dalam hak. Sebelum masuk Islam ia terkenal sebagai orang Quraish yang paling berbahaya bagi kaum muslimin. Tetepi ketika masuk Islam ia berubah drastic menjadi orang Islam yang paling berani menyatakan pendapatnya dan yang paling gigih membela agama ini[4]

Di zaman Umar gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan) pertama tejadi, ibu kota Syria, Damaskus, jatuh tahun 635 M dan setahun kemudian, setelah tentara Bizantium kalah di pertempran Yarmuk, seluruh daerah Syiria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. dengan memakai Syria sebagai basis, ekspansi diteruskan di Mesir di bawah pimpinan ‘Amr bin ‘Ash dan di Irak di bawah pimpinan Sa’ad bin Abi Waqqash. Dengan demikian, pada masa kepemimpinan Umar, wilayah kekuasaan Islam sedah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syiria, sebagian wilayah Persia dan mesir.[5]

Pada masanya mulai di atur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, jawatan kepolisian dibentuk. Demikian pula jawatan pekerjaan umum.[6] Umar juga mendirikan Bait al-Mal dan menciptakan tahun hijrah.[7]

Setelah Umar wafat, ia di gantikan oleh Uthman bin Affan. Khalifah Uthman adalah seorang yang takwa wara’, selalu menjalankan puasa sepanjang tahun dan berhaji setiap tahun.[8] Uthman juga terkenal sebagai seorang baik budi, penyantun, rendah hati, dan sangat kasih kepada sesama[9]

Di masa pemerintahan Uthman, Armenia, Tunisia, Cyprus, Phodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania dan Tabarista berhasil direbut. Ekspansi Islam pertama berhenti disini.[10] Pada masanya, Uthman berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid, dan memperluas masjid nabi di Madinah.[11]

Setelah Uthman wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali bin Abi T{alib sebagai khalifah. Ia adalah seorang yang mengiaskan budi pakerti terpuji. Dia tumbuh ditengah kehidupan rumah tangga Rasulullah saw sehingga ia terdidik dengan pendidikan yang sangat etis dan berakhlak dengan akhlak yang sangat baik.[12]

   Ali adalah figur seorang yang petah lidah dan selalu berbahasa Arab dengan baik dan benar. Dalam berbicara ia selalu menggunakan kata-kata yang sederhana dengan tidak dibuat-buat sehingga diterima oleh jiwa yang mendengar dan terpengaruh karenanya. Begitu juga ia pun seorang yang paling pandai bersyair di antara Khulafâ’ Râshidun.[13]

            Adapun prestasi-prestasi yang ia peroleh ketika menjalankan pemerintahan adalah:

a.   Mengganti Pejabat yang Kurang Cakap.

     Khalifah Ali bin Abi T{alib menginginkan sebuah pemerintahan yang efektif dan efisien. Oleh karena itu, beliau kemudian mengganti pejabat-pejabat yang kurang cakap dalam bekerja. Akan tetapi, pejabat-pejabat tersebut ternyata banyak yang berasal dari keluarga Khalifah Uthman bin Affan (Bani Umaiyah). Akibatnya, makin banyak kalangan Bani Umayah yang tidak  menyukai Khalifah Ali bin Abi T{alib.

b.  Membenahi Keuangan Negara (Bait al-Mal).

     Setelah mengganti para pejabat yang kurang cakap, Khalifah Ali bin Abi Tahlib kemudian menyita harta para pejabat tersebut yang diperoleh secara tidak  benar. Harta tersebut kemudian disimpan di Bait al-Mal dan digunakan untuk kesejahteraan rakyat.

c.  Memajukan Bidang Ilmu Bahasa.

    Pada saat Khalifah Ali bin Abi T{alib memegang pemerintahan , Wilayah Islam sudah mencapai India. Pada saat itu, penulisan huruf hijriyah belum dilengkapi dengan tanda baca, seperti kasrah, fathah, dammah dan shaddah. hal itu menyebabkan banyaknya kesalahan bacaan teks al-Quran dan Hadis di daerah-daerah yang jauh dari Jazirah Arab.

    Untuk menghindari kesalahan fatal dalam bacaan al-Qur’an dan Hadis. Khalifah Ali bin Abi T{alib memerintahkan Abu Aswad al-Duali untuk mengembangkan pokok-pokok ilmu nahwuyaitu ilmu yang mempelajari tata bahasa Arab. Keberadaan ilmu nahwu diharapkan dapat membantu orang-orang non  Arab dalam mempelajari sumber utama ajaran Islam, yaitu al-Quran dan hadis.

d.   Bidang Pembangunan

     Salah satu pembangunan yang mendapat perhatian khusus dari Khalifah Ali bin Abi T{alib adalah pembangunan Kota Kufah. Pada awalnya kota Kufah disiapkan sebagai pusat pertahanan oleh Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Akan tetapi, kota Kufah kemudian berkembang  menjadi pusat ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu nahwu dan ilmu pengetahuan lainya.

     Pada waktu itu , perselisihan antara pendukung Khalifah Ali bin Abi T{alib dan Mua'wiyah bin Abu Sufyan makin membesar. Perselisihan itulah yang menjadi awal berakhirnya pemerintahan Islam dibawah Khulafa’ Rashidun. meskipun memiliki kelemahan-kelemahan, para ahli sejarah menyatakan bahwa pemerintahan Islam masa Khulafa’ Rashidun merupakan masa pemerintahan Islam yang paling mendekati masa pemerintahan Rasulullah saw.

 

    B.  Sistem Pemilihan al-Khulafâ’ al-Râshidun

Satu hal tentang suksesi yang pertama kali muncul dan mengusik jiwa masyarakat jazirah Arab setelah ditinggal Muhammad saw di hampir separuh abad ke-7 M adalah siapakah yang akan menggantikannya, baik sebagai pengemban amanah keagamaan maupun sebagai kepala pemerintahaan. Ketika dihadapkan masalah agama, adakah sosok yang kompeten? Sementara tidak ada lagi risalah atau misi kenabian seperti sebelumnya, karena Muhammad saw adalah nabi terakhir. Dan apabila soal pemerintahan, siapa yang akan dipilih sementara secara spesifik Nabi tidak menunjuk pengganti dan begitu banyak yang harus di tangani?[14]

Apapun masalahnya, diperlukan tokoh tertentu yang mempunyai otoritas keislaman yang kuat ditengah masyarakat. Ia pun diakui publik untuk sebuah terobosan besar peradaban Islam dalam waktu yang dibatasi. Maka suksesi kepemimpinan mesti dilakukan dengan cara-cara yang baik dan demokratis serta diterima masyarakat.[15]

Masalah kepemimpinan pasca Muhammad saw. Kemudian menjadi otoritas umat Islam. siapapun yang menggantikan nabi tersebut, ia harus disepakati lalu di baiat oleh masyarakat. Suatu prinsip bernegara yang seringkali di ajarkan adalah musyawarah, sesuai dengan ajaran Islam. prinsip musyawarah dapat dibuktikan dengan beberapa peristiwa yang terjadi disetiap pergantian pemimpin dari empat khalifah periode Khulafa’ Rashidun, meski dengan versi yag beragam. Upaya ke arah positif selalu ditegakkan oleh para sahabat ketika itu, sehingga umat Islam memberikan respons positif pula. Tidak ada konflik besar ditegakkannya prinsip musyawarah tersebut.[16]

Abu Bakar memangku jabatan khalifah berdasarkan pilihan yang berlangsung secara demokratis di Thaqifah Bani Sa’idah, memenuhi tata cara perundingan yang dikenal dunia modern. Kaum Ansar menekankan persyaratan jasa (merit), mereka mengajukan calon Sa’ad bin Ubadah. Kaum Muhajirin menekankan aspek kesetiaan, mereka mengajukan calon Abu Ubaidah bin Jarrrah. Sementara Pihak Ahl Bait mengiginkan agar Ali bin Abi T{alib atas pertimbangan kedudukannya dalam Islam, juga sebagai menantu serta karib nabi. Hampir saja terjadi pergolokan antar kelompok-kelompok berkepentingan tersebut. Melalui perdebatan panjang, akhirnya Abu Bakar disetujui untuk menduduki jabatan khalifah.[17] Dalam sistem musyawarah bila sejumlah orang tidak menyetujui, maka mereka di anggap itba’ dan terkelompokkan ke mayoritas.[18]

Pendapat lain menyebutkan bahwa ketika para sahabat disibukkan dengan urusan jenazah Nabi Muhammad saw, pagi harinya Umar bin Khattab mendengar ada pertemuan kelompok Ansar di saqifah Bani Sa’idah untuk mengangkat Sa’ad bin Ubadah, seorang tokoh Ansar dari suku Khazraj sebagai khalifah. Kemudian Umar bergegas ke kediaman Nabi, menyuruh seseorang untuk memanggil Abu Bakar yang berada di situ. Awalnya Abu Bakar menolak, namun akhirnya memaklumi. Kedua sahabat terebut bergegas menuju pertemuan dimaksud  bersama Abu Ubaidah bin Jarrah, tokoh senior dari kaum Muhajirin. Perdebatan sengit tak dapat dihindari antara kaum Muhajirin dan Ansar. Sa’ad bin Ubaidah berpidato tentang kedekatan Ansar dengan Rasulullah, maka menurutnya utusan mereka berhak dipilih. Spontan kaum Ansar memilih Sa’ad bin Ubaidah sebagai representasi mereka.[19]

Di pihak lain, kaum Muhajirin mengutus Abu Bakar. Seraya menegaskan bahwa pihak mereka lebih awal dekat dengan Nabi dan kepemimpinan adalah milik kabilah Quraish. Ketika Kaum Ansar mengusulkan ada utusan dari masing-masing kelompok, baik Ansar maupun Muhajirin, tapi tidak disetujui oleh Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah serta sebagian sahabat. Umar dengan kelihaiannya menyakinkan forum-membaiat Abu Bakar sebagai Khalifah. Spontan keputusan tersebut diikuti mayoritas umat Islam. Dalam pembaiatan yang dilakukan oleh mereka, keluarga nabi tidak ikut serta karena disibukkan dengan urusan jenazah Nabi.[20] Namun demikian, Ali bin Abi T{alib akhirnya ikut membaiat kekhalifahan Abu Bakar. Sikap Ali tersebut di nilai beragam dan di kemudian hari menjadi konsumsi politik. Namun apa pun persepsi yang dimunculkan, pembaiatan Abu Bakar sudah sangat demokratis karena merepsentasikan keinginan mayoritas umat Islam.[21]

Agak sedikit berbeda dengan suksesi sudahnya, bukan melalui musyawarah karena Umar bin Khattab di angkat dan dipilih oleh tokoh tertentu di masyarakat, kemudian disetujui oleh umat Islam. menjelang waktu wafatnya, Abu Bakar menderita sakit dan situasi negara tidak stabil walaupun sepenuhnya dapat di kendalikan, dan pasukan Islam pada waktu itu bertempur di medan perang. Dukungan moral dan politik dari pusat pemerintah di Madinah tentu sangat dibutuhkan. Maka kemunculan pemimpin pengganti pasca Abu Bakar adalah solusi terbaik. Akhirnya Umar bin Khattab terpilih menggantikannya tentu dengan dukungan politik dan persetujuan para pemuka masyarakat. Seandainya khalifah pertama tersebut membiarkan situasi sebagaimana yang telah disikapi Muhammdah saw. Sangat dimungkinkan terjadi pertumpahan darah apalagi jumlah penduduk di akhir kepemimpinan cukup besar.[22]

Munawir Sjadzali menegaskan, bahwa pengangkatan Umar bin Khattab sebagai khalifah pengganti Abu Bakar berdasarkan penunjukan oleh Abu Bakar. Kebijakan tersebut di ambil cepat untuk mengantisipasi kemungkinan terulangnya kasus Thaqifah Bani Sa’idah. Sebagai khalifah yang berpengalaman dan memiliki kematangan diri, Abu Bakar tersebut mengkonsultasikan masalah tersebut kepada para sahabat senior. Di Antaranya, Abdurrahman bin ‘Auf dan Uthman bin ‘Affan dari kelompok muhajirin serta Asid bin Khudair dari golongan Ansar. Selanjutnya, Abu Bakar meminta Utsman bin Affan untuk menulis pesan tertulis tentang pengganti Abu Bakar yaitu Umar bin Khattab. Sesuai dengan pesan tertulis tersebut, sepeninggal Abu Bakar, Umar bin Khattab di baiat sebagai khalifah kedua dalam satu peristiwa pembaiatan umum dan terbuka di Masjid Nabawi.[23]

Dalam rangka pembaiatan khalifah ketiga, umat Islam harus mencari calon pemimpin. Terlebih tokoh bijak seperti Umar bin Khattab telah wafat, sudah bisa dipastikan mereka bingung. Namun demikian, sebelum kepergiannya, khalifah kedua tersebut telah membuat tim khusus sebagai persiapan politik. Umar bin Khattab menunjuk enam orang calon, dan diperkirakan dalam pandangan masyarakat kesemuanya pantas menduduki jabatan khalifah. Mereka adalah Ali bin Abi T{alib, Uthman bin Affan, Sa’ad bin Abi Waqqas, Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam, dan  T{alhah bin Ubaidillah. Alasan khalifah memilih mereka, secara kebetulan mereka semua dari golongan muhajirin adalah bukan karena faktor kelompok atau keturunan, namun karena mereka berenam pernah dinyatakan oleh Nabi sebagai calon-calon penghuni surga. Pertimbangan Umar, dalam hal ini lebih ditekankan pada integritas kepribadian dan loyalitas pada agama, bukan yang lainnya.[24]

Lembaga tersebut adalah: Ahl al-Hal wa al-Aqd -lembaga pertama semacam DPR yang dibentuk dalam pemerintahan Islam. Mereka yang direkrut di lembaga tersebut bermusyawarah untuk menentukan siapa bakal menjadi khalifah. Agar proses berjalan dengan lancar dan tidak menimbulkan kekacauan, maka putranya Abdullah bin Umar diminta bergabung dengan tokoh-tokoh tim tersebut dengan syarat tidak diperkenankan untuk dipilih sebagai khalifah. Dalam pemilihan, Utsman mendapatkan suara lebih banyak, yaitu 3 suara untuk Ali dan 4 suara untuk Uthman.[25]

Dalam proses pemilihan tersebur, menurut versi yang lain diceritakan bahwa dalam sebuah pertemuan yang tidak dihadiri T{alhah bin Ubaidillah, Abdurrahman bin Auf mengusulkan ada yang mengundurkan diri dari pencalonan khalifah. Peserta rapat diam, akhirnya Abdurrahman mengambil sikap tegas mundur dari pencalonan tersebut. Ali bin Abi T{alib mengikuti dengan syarat Abdurrahman jujur dan tidak memilih Utsman karena alasan kedekatan hubungan kekerabatan. Kemudian diputuskan melalui musyawarah umat Islam dan para sahabat yang ditunjuk oleh Khalifah Umar. Tersaring menjadi dua orang, yaitu Utsman dan Ali. Keputusan pilihan jatuh ketangan Uthman, karena ia dianggap lebih senior dan perilakunya lebih lembut.[26]

Setelah Uthman bin Affan, berkuasalah Ali bin Abi T{alib. Khalifah Ali dipilih dan di angkat oleh komunitas muslim di Madinah. Meskipun ada pihak tertentu tidak menyukai Ali, tetapi tidak ada orang yang berminat menjadi khalifah selagi kekuasaan masih ditangan Ali bin Abi T{alib. Begitulah prosses pemilihan para Khulafâ’ Râshidun di sela-sela tiga puluh tahun berkuasa sangat demokratis dan apa yang telah mereka tunjukkan mencerminkan nilai tersendiri bagi upaya pengembangan politik dimasa depan. Apa yang telah dicontohkan para sahabat di negara Madinah, ternyata tidak serta merta dipraktikkan umat Islam dalam aktivitas politik mereka.[27]

BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN

DAFTAR PUSTAKA

Hasan, Ibrahim Hasan. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2001.

Haekal, Muhammad Husain. Abu Bakr Al-Siddi. terj. Ali Audah. Bogor :  PT. Pustaka Litera AntarNUsa, 2012.

Hisam, Abi Muhammad Abd al-Malik ibn. al-Si<rah al-Nabawi. Bairut: Dar ibn Hazm, 2009.

Hitti, Philip K. Histori of the Arabs. terj. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. Jakarta  : PT Serambi Ilmu Semesta, 2002.

Mubarakfuri (al), Safi al-Rahman. al-Rahi<q al-Makhtum. Kairo: Dar al-Wafa’, 2010.

Nadwy (al), Abul Hasan Ali Al Hasani. Riwayat Hidup Rasulullah. Surabaya: PT Bina Ilmu, 1983.

Shiddiq ,Nouruzzaman. Tamaddun Muslim. Jakarta: Bulan Bintang, 1986.

Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara. Jakarta: UI Press, 2003.

Sulaiman, Rusydi. Pengantar Metodologi Studi Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2014.

Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992.

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta Rajawali pers, 2011.


[1] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), 398.

[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 36.

[3] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, 408.

[4] Ibid., 469.

[5] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 1985), 58.

[6] Syibli Nu’man, Umar Yang Agung (Bandung: Penerbit Pustaka, 1981), 264.

[7] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1987), 263.

[8] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, 500.

[9] Ibid., 501.

[10] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 38.

[11] Ibid., 39.

[12] Hasan Ibrahim Hasan, sejarah Kebudayaan Islam, 516.

[13] Ibid., 518.

[14] Rusydi Sulaiman, Pengantar Metodologi Studi Sejarah Peradaban Islam, 216.

[15]Ibid.

[16] Ibid.

[17] Nouruzzaman Shiddiq, Tamaddun Muslim (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), 117.

[18] Rusydi Sulaiman, Pengantar Metodologi Studi Sejarah Peradaban Islam, 217.

[19] Ibid., 217.

[20] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara (Jakarta: UI Press,2003), 22.

[21] Rusydi Sulaiman, Pengantar Metodologi Studi Sejarah Peradaban Islam,  218.

[22] Ibid., 218.

[23] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, 25.

[24] Ibid.

[25] Rusydi Sulaiman, Pengantar Metodologi Studi Sejarah Peradaban Islam, 219.

[26] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, 268

[27] Rusydi Sulaiman,  Pengantar Metodologi Studi Sejarah Peradaban Islam , 220.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...