Untuk menghindari penafsiran yang menyimpang, maka perlu rambu-rambu atau syarat-syarat bagi seorang mufassir baik dengan metode ra'yi maupun ma’thur. Berikut syarat-syaratnya:
1. Seorang mufassir harus mengetahui hadis Nabi baik dari sisi riwayah maupun dirayah.
2. Seorang mufassir harus mengetahui bahasa Arab. Sebab melalui bahasa Arab seorang mufassir dapat menjelaskan perbendaharaan lafaz dan dalil-dalilnya. Selain itu terkadang lafaz Alquran mengandung makna mushtarak (mengandung dua makna). Maka keharusan bagi mufassir mengetahui dua makna tersebut, karena bisa jadi makna yang tersembunyi justru makna yang dikehendaki.
3. Seorang mufassir harus menguasai ilmu nahwu, karena makna akan berubah dan berbeda disebabkan perbedaan i'rab.
4. Seorang mufassir harus menguasai ilmu sarf, karena dengan ilmu sarf akan diketahui bangunan dan timbangan kata. Misalnya jika ada kata yang mubham (tidak jelas maknanya), ketika dia mentasrifkan ke asal katanya, akan diketahui maknanya.
5. Seorang mufassir harus mengetahui sumber pengambilan kata. Seperti kata al-masih apakah diambil dari kata al-siyahah atau dari kata al-mashu? karena dua kata tersebut maknanya berbeda.
6. Seorang mufassir harus mengetahui ilmu balaghah baik bayan, ma‘ani, maupun badi‘. Dengan ilmu bayan dapat diketahui spesifikasi susunan kata dari segi perbedaannya berdasarkan kejelasan dalalah dan ketersembunyiannya. Dengan ilmu ma‘ani dapat diketahui spesifikasi susunan kata dari segi pemanfaatan makna. Dan dengan ilmu badi‘ dapat diketahui sisi-sisi keindahan kata. Dengan ketiga ilmu tersebut seorang mufassir dapat mengetahui i'jaz Alquran.
7. Seorang mufassir harus mengetaui ilmu qira‘at, karena dengan ilmu ini seorang mufassir dapat mengetahui perbedaan pemaknaan dan penafsiran berdasarkan perbedaan qira‘at yang ada.
8. Seorang mufassir harus paham tentang ilmu Ushuluddin (islamic theology), seperti ilmu Tauhid. Dengan ilmu tauhid, seorang mufassir dapat mengetahui sifat-sifat yang wajib, ja’iz dan yang mustah{il bagi Allah.
9. Seorang mufassir harus mengetahui ilmu ushul fiqh. Karena dengan menguasai ilmu tersebut dia mengetahui cara mengeluarkan hukum Islam dari ayat-ayat Alquran. Serta mengetahui umum dan khusus, mutlaq dan muqayyad, dalalah al-nas, isharah al-nas, dalalah al-amr nahi dan sebagainya.
10. Seorang mufassir haru mengetahui ilmu asbab al-nuzul, karena dengan mengetahui sebab-sebab turun ayat tersebut dapat membantu memahami maksud ayat menurut latar belakang turunnya.
11. Seorang mufassir harus mengetahui qasas Alquran. Dengan pengetahuan atas kisah-kisah ini secara rinci, akan memperjelas baginya apa yang masih global dari cerita tersebut di dalam Alquran.
12. Seorang mufassir harus mengetahui nasikh dan mansukh, karena dengan ilmu tersebut dia dapat mengetahui ayat yang sudah dihapus (mansukh) dalam Alquran dan yang belum.
13. Seorang mufasir harus mengamalkan apa yang dia ketahui. Ini akan melahirkan darinya ilmu mauhibah, yaitu ilmu yang dianugerahkan Allah kepada orang-orang yang mengamalkan ilmunya. Allah berfirman:
... وَٱتَّقُواْ
ٱللَّهَۖ وَيُعَلِّمُكُمُ ٱللَّهُۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ
… Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu [Al Baqarah 282][1]
Kode Etik Tafsir bi al-Ra'yi Antara Lain:
a. Menukil dari sunnah Nabi r dengan menghindari yang da‘if dan maudu‘.
b. Merujuk pendapat sahabat Nabi r yang memiliki otoritas marfu‘.
c. Merujuk pada makna bahasa Arab yang umum (tekstual).
d. Sesuai dengan makna kalam dan maksud syara’.[2]
Ketentuan-Ketentuan Tafsir bi al-Ra'yi
1. Mengetahui pertentangan (ta’arud) antara tafsir bi al-ra'yi dan tafsir bi ma’thur
Sebagai contoh: tafsir الصراط المستقيم . ada yang menafsirkan “Ajaran Alquran”, ada juga yang menafsirkan “Ajaran Islam”, “dengan cara ibadah”, serta “dengan taat kepada Allah dan Rasul-Nya”.
Makna tersebut jelas sekali, sekalipun berbeda, tetapi tidak saling menafikan dan tidak pula bertentangan.[3]
2. Mengetahui segi-segi pertentangan (ta’arud)antara ayat Alquran
3. Mengetahui pertentangan (ta’arud)antara ayat Alquran dan hadis Nabi
4. Mengetahui perbedaan (ikhtilaf) dan pertentangan (tanaqud)
5. Mengetahui muham ikhtilaf
6. Mengetahui sebab-sebab utama ikhtilaf
7. Mengetahui ilmu mubhamat
8. Menjelaskan makna tersirat Alquran
Selain Itu Dalam Menafsirkan Alquran bi al-Ra'yi Harus Menghindari Hal-Hal Berikut:
a. Interpretasi teks hanya mengandalkan pendapat pribadi, tanpa memperhatikan dari sisi linguistik ataupun sejarah.
b. Menetapkan makna pada teks untuk alasan atau tujuan pribadi.
c. Jika teks mempunyai makna ganda, penafsir hanya memilih satu tanpa memperhatikan konteks dan teks lain.
d. Memaksanakan makna tertentu pada teks, bukan mencari arti yang paling benar.[4]
Anshori menukil dari Khalid ‘Abdurrahman al-‘Ak menambahkan bagaimana kode etik seorang mufassir:
a. Seorang mufassir harus mengetahui hukum-hukum Allah mulai dari ibadah, mu‘amalah, sunnah-sunnah yang ada di dalamnya, agar mampu meletakkan ayat-ayat yang mengatur hukum ini sesuai dengan tempatnya.
b. Seorang mufassir harus baik tabi’atnya, cerdas pemahamnnya, kuat pikirannya.
c. Seorang mufassir harus memiliki sikap dan sifat zuhud (tidak rakus dunia) dan cinta terhadap akhirat. Karena dengan cinta dunia, seseorang akan mudah berpaling dari kitab Allah dan berpihak pada hawa nafus. Dengan begitu, dia akan mudah pula menyesatkan dirinya dan orang lain.[5]
Baca artikel lain yang berkaitan:
- Qisas Al-Tafsir, Dr. Ahmad Shurbashi
- Pengertian Aqsamul Qur’an Dan Bentuk-Bentuknya
- Macam-Macam Qasam
- Faedah Qasam Dalam Al-Quran
- Tinjauan Umum Tentang Tafsir bil Ra’yi
- Pendapat Para Ulama Tentang Tafsir Bil Ra’yi
- Bantahan Ulama Yang Melarang Terhadap Larangan Tafsir bi al-Ra'yi
- Macam-Macam Tafsir Bi Al-Ra’yi Dengan Contohnya
- Syarat-Syarat Menjadi Mufassir
[1] Anshori, Ulumul Qur’an, 182. Khalid ‘Abdurrahman al-‘Ak, Ushul al-Tafsir wa qawa‘iduhu (Beirut: Dar al-Nafais, 1406 H / 1986 M), 187.
[2] Ahmad Zuhdi, dkk, Studi al-Qur’an, 518.
[3] Anshori, Ulumul Qur’an, 183.
[4] Acmad Zuhdi, dkk, Studi al-Qur’an, 519
Zuhdi, Acmad, dkk, Studi al-Qur’an. Surabaya: UINSA Press, 2015.
[5] Khalid abdurrahman al-‘ak, Usul al-Tafsir, 188, Anshori, Ulumul Qur’an, 188.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar