HOME

31 Maret, 2022

Bangkitnya Nasionalisme Di Dunia Islam Untuk Kemerdekaan Negaranya

 

Sebagaimana dijelaskan di atas, benturan-benturan antara islam dan kekuatan Eropa telah menyadarkan umat islam bahwa mereka sudah jauh tertinggal dari Eropa. Pihak islam yang pertama merasakannya adalah Turki uthmani, karna kerajaan ini yang pertama dan utama yang menghadapi kekuatan Eropa. Kesadaran itu memaksakan penguasa dan pejuang-pejuang Turki untuk banyak belajar dari Eropa.[1]

Usaha yang memulihkan kembali kekuatan islam pada umumnya dikenal dengan gerakan pembaharuan, didorong oleh dua faktor yang saling mendukung, pemurnian ajaran islam dari unsur-unsur asing yang dipandang sebagai penyebab kemunduran islam dan menimba gagasan –gagasan pembaharuan dari Barat.

Pembaharuan yang pertama adalah seperti gerakan wahabiyah yang di pelopori oleh Muhammad Ibnu Abdu al-Wahhab (1703-1787M) Di Arabiya. Dan Syah Waliyullah (1703-1762 M) di India. Dan Gerakan Sanusiyah yang dipimpin oleh Said Muhammad Sanusi dari Aljazair.  Di Afrika Utara.

Yang kedua dalam bentuk pengiriman para pelajar muslim oleh penguasa Turki Uthmani dan Mesir ke negara-negara Eropa untuk menimba ilmu pengetahuan dan dilanjutkan dengan penerjemahan karya-karya barat ke dalam bahasa islam. Pelajar-pelajar muslim india juga banyak yang menimaba ilmu ke inggris.

Gerakan pembaharuan itu dengan segara memasuki dunia politik , karena islam memang tidak bisa dipisahakan dari politik. Gagasan politik pertama kali muncul adalah gagasan pan-islamisme (persatuan islam sedunia) yang mula-mula didengungkan oleh gerakan wahabiyah dan sanusiah. Seperti disebutkan di atas, Namun gagasan ini baru disuarakan dengan lantang oleh tokoh pemikir islam Jamaluddin al-Afghani. (1839-1897M), yang di kenal sebagai bapak Nasionalisme dalam islam.

Gagasan Nasionalisme dari barat itu masuk ke negeri-negeri muslim melalui persentuhan umat islam dengan barat yang menjajah mereka dan dipercepat oleh banyaknya pelajar muslim yang menuntut ilmu ke Eropa. Atau lembaga-lembaga barat yang didirikan di negeri mereka. gagasan kebangsaan ini pada mulanya banyak mendapatkan tantangan dari pemuka-pemuka islam karna dipandang tidak sejalan dengan semangat Ukhuwah Islamiyah akan tetapi ia berkembang setelah gagasan pan-islamisme redup.[2]

1. Nasionalisme Di turki

Ketika beberapa kekuatan eropa membagi-bagi kerajaan uthmani menjadi sejumlah negara nasional, identitas idiologi dan organisasi institusional negara-negara baru tersebut terbentuk melaui interaksi antara pengaruh eropa dan warisan kesejarahan beberapa masyarakat timur tengah. Di dalam kerajaan uthmani akhir abad 19, dan dalam pemebntukan negara Turki modern, pertimbangan utamanya adalah kontinuitas bentuk kesejarahan intitusional dan kultural. Ketika kekuatan eropa memaksakan pengaruhnya, pengaruh mereka terhadap evolusi internal periode akhir uthmani dan periode awal masyarakat turki modern dimediasi oleh elite uthmani dan elite turki. Berbeda dengan beberapa kerajaan muslim lainnya, uthmani dapat mempertahankan pemerintahannya sehingga mampu menyusun program modernesasi dan reformasi sendiri.[3]

Ide tentang kebangsaan turki mulai terbentuk di era akhir uthmani. Loyalitas terhadap islam dan terhadap uthmani dipandang sebagai bentuk patriotisme yang dinyatakan dalam kata Wathan atau tanah air,. Identifikasi pan-islam juga telah membangkitkan semangat penyatuan politik, demikian peristilahan muslim dan uthmani dapat mengekpresikan sebuah konsep politik yang berdekatan dengan sebuah ideal nasional, sekalipun tidak identik.kesadaran kultural turki juga mulai terbentuk. Para penulis dari kalangan uthmani muda berkonsentrasi dengan reformasi kebahasaan turki dan adaptasi pola kultural uthmani-turki untuk digunakan oleh masyarakat umum. Pada dekade 1890-an, dengan stimulus pelajar-pelajar eropa yang mendalami bahasa dan kultur turki, dan denga stimulus intelektual crimea dan asia tengah yang tengah dalam persaingan atau yang tengah belajar di istambul, pihak uthmani memperkenalkan gagasan tentang “ masyarakat turki”.[4]

Pada penghujung abad ini, pihak pres memuji anatolia sebagai tanah air bangsa turki, dan kaum petani sebagai tulang punggung kebangsaan turki. Gagasan tentang “turkish” dipropagandakan oleh kelompok-kelompok terdidik seperti kelompok “Turkish Homeland Society” dan kelompok “Turkish Heart” organisasi ini menggelar kampanye “kebangsaan” untuk menyederhanakan bahasa turki, menjadikannya lebih mudah diterapkan bagi masyarakat umum, dan menyadarkan masyarakat umum atas nasionalitas (kebangsaan) turki-nya sendiri. Dengan juru bicara nasionalime turki-nya ziya gokalp (1875-1824). Tanpa menyesali kemunduran kerajaan uthmani, ia menyerukan kultur rakyat Turki, dan menyerukan reformasi islam untuk menjadikan islam sebagai ekspresi dari etos Turki. Abdullah Jewdet (1869-1932) menyampaikan landasan nasionalisme Turki. Gagasan kebangsaan Turki tersebut memperkuat kecendrungan terhadap sekularisme dan modernitas, sebab gagasan tersebut membuka kesempatan bagi bangsa Turki melepaskan diri dari islam tanpa sikap kompromis terhadap identitas non Barat mereka. Konsep “Turkish” memberi peluang gagasan tersebut menetapkan sebuah kewargaan yang baru yang menumbuhkan identitas kesejarahan masyarakat turki dan bukan identitas kesejarahan masyarakat muslim dan dengan demikian ia merupakan identitas modern dan bukan identitas barat.[5]

Pada tahun 1898 M, muncul lembaga persatuan dan pembangunan yang menyerukan kepada nasionalisme turki (thuroniyah) dan penghapusan khalifah uthmaniyah yang didukung oleh yahudi dunamah. Pada 1910 M, sultan abdul hamid II dicopot dari jabatannya sebagai khalifah, dan partai persatuan dan pembangunan menguasai keadaan. Pada tahun 1923 diumumkannya republik turki, dan menempatkan khalifah hanya pada urusan agama saja. Seorang yahudi sekuler mustafa kamal sebagai pimpinan partai persatuan pembangunan menjadi presiden republik ini. Pada 1924 M, penghapusan khilafah untuk terakhir kalinya, dan pengusiran rumah para sultan dari turki. Maka ditutuplah lembaran terakhir khilafa islamiah ini.[6]

Sejumlah peristiwa politik yang terjadi antara tahun 1908-1918 mengakhiri kelangsungan sebuah kerajaan uthmani multi-nasional, multi religius, dan membentuk ide Turki yang lebih relevan. Pada tahu 1908 sebagian besar warga kristen telah independen (merdeka). Albania memberontak pada tahun 1910M dan mereka mendapatkan hak otonom pada tahun 1912M. Gerakan Balkan melepaskan kerajaan uthmani dari seluruh wilayahnya di Eropa, dan dan selama perang dunia I warga Armenia di Anatolia Timur berkurang secara drastis disebabkan oleh kekejaman perang, deportasi dan disebabkan pembunuhan massal yang dilancarkan oleh Turki dan Kurdi. Sebaliknya dikalangan muslim berkembang rasa kebangsan Turki dan Arab, dan terjadi persekutuan Arab untuk melawan kerajaan uthmani. Pada akhir perang dunia I, apa yang tersisa di dalam kerajaan uthmani hanyalah Anatolia, dengan Mayoritas warga Turki dan sebagian kecil warga keturunan Yunani, Kurdi, dan Armenia. Realitas kehidupan uthmani sekarang ini sejalan dengan kosep nasionalis tentang masyarakat Turki. Perang yang memutuskan gordian mengakhiri loyalitas uthmani dengan melepaskan sebagian besar penduduk turki yang non muslim.[7]

2.      Nasionalisme  di Aljazair

Ketika perancis menduduki Aljazair pada tahun 1830M, gerakan pelawanan datang dari Abdul Qadir. Melalui Tarekat Qadiriyah yang dipimpinnya dari tahun 1832M samapai 1841M. juga pada tahu 1849M, Bu Zian Zatatsha, seorang Syeikh lokal yang merupakan pendukung Abdul Qadir, melakukan pemeberontakan terhadap Perancis. Pada tahun 1858M, Sidi Sadok Ibnu Al-hajj, pimpinan Zawiyah Rahmaniyah yang telah bersatu dengan Bu Zian memlakukan gerakan Jihat, selanjutnya paga tahun 1860M dan 1879M. Bu Khentash dan Muhammad Amzian memimpin pemberontakan terhadap Perancis.[8]

Pada tahun 1870-1871 tajadi serangkaian pemeberontakan dalam sekala besar yang dipimpin oleh kepala suku Aljazair al-Muqrani yang didukung oleh Tarekat Rahmaniyah, walaupun mengalamin kegagalan. Oposisi dalam bentuk penentangan terhadap imprialisme juga datang dari bangsa Maroko Abdul Kari seorang intelektulal tampil melakukan gerakan pemberontakan.[9]

3.      Nasionalisme di mesir

Dipimpin oleh Urabi Pasha, seorang pejabat tinggi meliter memberontak terhadap pendudukan Inggris dan membentuk kerajaan baru di Mesir, walaupun dapat di ambil alih kembali oleh Inggris.[10]

4.      Nasionalisme di Arab

Sistem negara Arab modern dan gerakan nasional Arab berasal dari sistem uthmani abad ke-19 dan berasal dari wilayah Eropa di wilayah subur. Nasionalisme arab pertama lahir di Libanon. Di Libanon modernisasi dan pembentukan kesadaran politik yang baru secara langsung dipengaruhi oleh penetrasi pendidikan, politik, dan perdagangan bangsa Eropa.[11]

Di Arab lahirlah nesionalisme Arab, begitu juga di Mesir, Syiria, Libanon, Palestina, Iraq, Hijaz, Afrika Utara, Bahrein, dan Kuwait. Semangat persatuan Arab itu juga diperkuat pula oleh usaha Barat untuk mendirikan negara Yahudi di tengah-tengah bangsa Arab dan di negeri yang yang dihuni oleh mayoritas Arab.[12] Deangan alasan berbeda belakangan nasionalisme Arab juga berkembang di kalangan bangsawan muslim Damascus, faktor utamanya bukan alasan otonomi politik atau penetrasi perdagangan, melainkan alasan yang lebih bersiafat operasional dari sistem uthmani dan sebagai reaksi muslim terhadap kemajuan perdagangan Eropa (dan warga kristen lokal) yang tengah berkembang.[13]

Nasionalisme Arab menyaksikan tujuan-tujuan ideologi dan spiritual dengan mempertimbangkan kenyataan pemerintahan Inggris dan Perancis dan konsolidasi  pembagian negara-negara Arab yang mandiri. Maka nasionalisme Arab praktis menjadi sebuah doktrin bagi Elite nasional Konservatif dan sebuah doktrin bagi perjuangan masing-masing negara untuk meraih kemerdekaan dari penjahahan Inggris dan perancis namun dalam latar belakang ini bertahan sebuah semangat kesatuan Arab yang tak pernah lenyap  dan sebuah kelangsungan keagamaan  yang berguna bagi doktrin sekuler. Khususnya dalam pandangan masyarakat umum, identitas Arab dan islam sesungguhnya tidak dapat dipisahkan.[14]

5.      Nasionalisme di India

Di india sebagaimana di Turki dan Mesir, gagasan pan-islamisme yang dikenal dengan gerakan khilafat juga mendapat pengikut, Syed Amir Ali (1848-1928M) adalah pelopornya. Namun gerakan ini segera pudar setelah usaha menghidupkan kembali khilafah yang dihapus Mustafa Kemal di Turki tidak mungkin lagi. yang terkenal adalah gerakan nasionalisme yang diwakili oleh partai kongres nasional India. Namun gagasan nasionalisme itu segera pula di tinggalkan sebagian besar tokoh-tokoh islam karena di dalamnya kaum muslimin yang minoritas tertekan oleh kelompok hindu yang mayoritas. Persatuan antara dua kelompok besar hindu dan islam sulit diwujudkan. Oleh karena itu mulim di anak benua India tidak menganut nasionalisme, tetapi islamisme, yang di India dikenal dengan komunalisme. Yang disuarakan oleh liga muslimin yang merupakan saingan bagi partai kongres nasional dukungan mayoritas penganut agama hindu. Benih-benih islamisme itu sebenarnya sudah ada sebelum liga muslimin berdiri, dilontarkan oleh sayyid Ahmad Khan (1817-1898M) kemudian memuncak pada masa Iqbal (1876-1938M) dan Muhammad Ali Jinnah (1876-1948M).[15]

6.      Nasionalisme di Indonesia

Di indonesia partai politik besar yang menentang penjajahan adalah SI ( seriakat islam) didirikan tahun 1912 di bawah pimpinan Hos Tjokroaminoto, partai ini adalah kelanjutan dari sarekat dagang islam yang didirikan oleh H. Samahudi tahun 1911, kemudian lahir juga partai-partai politik lainnya, seperti paratai nasional indonesia (PNI) didirikan oleh Sukarno,(1927M) pendidikan nasional indonesia (PNI baru) didirikan oleh Muhammad Hatta (1931M) persatuan muslimin indonesia (Permi) yang menjadi partai politi tahun 1932, dipelopori oleh Mukhtar Lutfi.[16]

Pada tahun 1821-1837 di Minangkabau pecah perang Paderi, di Jawa terjadi perang Diponogro, merupakan perang terbesar yang dihadapi belanda di Jawa. Di Kalimantan selatan pada priode tahun 1857-1862M, pecah perang Banjarmasin, dipimpin oleh pangeran Antasari. Di Aceh ketika pemerintah belanda pada tanggal 26 maret 1873M, menyatakan perang terhadap Aceh, akhirnya pecahlah perang Aceh wilayah Aceh sampai dengan menyerahnya Belanda kepada jepang tidak pernah tunduk terhadap belanda. Itulah bentuk nasionalisme yang terjadi di wialayh-wilayah islam sebagai bentuk perlawanan terhadap imprialisme yang dilakukan bangsa Eropa.[17]

7.      Nasionalime di Afrika

Perubahan politik dan ekonomi di wilayah jajahan afrika barat dilajutkan dengan pembentukan kelas ekonomi dan beberapa kelompok sosial dan politik yang baru, sebagaiman terjadi dibeberapa negeri muslim lainnya. Perubaha pola pandangan dan administrasi mengantarkan mereka menuju pusat kota dan beberapa kota pelabuhan. Dari penduduk pendatang yang tidak berakar ini terbentuklah komonitas dan elit baru.

Di beberapa kota kelas borjuis yang terdiri dari laki-laki dan wanita profesional membentuk sejenis pendidikan barat yang melatih minoritas kecil untuk menjadi dokter, guru, pengacara, jurnalis, penerjemah dan pegawai pemerintah. Namun kegiatan pendidikan seperti ini sangat terbatas, dalam kerajaan prancis hanya ada 3 persen usia pelajar afrika yang bersekolah. Di negeria pendidikan inggris melahirkan elite kecil yang berpendidikan barat yang sebagian berasal dari afrika selatan. Dalam dekade sebelum 1942 sekitar 300.000 usia pelajar masuk ke beberapa sekolah dasar, namun hanya 2000 yang dapat melanjutkan ke sekolah mengah. Hampir semua sekolah-sekolah tersebut terdsps di wilayah afriks selatan dan sebagian besar diperuntukkan sebagai pendidikan missionaris kristen. Sebagai pengecualian, sekolah missionari kristen dan sekolah barat tidak di izinkan berkembang di nigeria utara.[18]

Administrasi dan pendidikan kolonial juga melahirkan elite pekerja mekanik, transportasi, pekerja bangunan, juru tulis, petani, dan elite bawahan lainnya. Para juru tulis secara khusus berhubungan erat dengan pekerja administrasi dan perekonomian modern dan merupakan pihak yang berpengaruh sebagai pengegah antar elite bawahan dengan pejabat pemerinta yang lebih tinggi. Para juru tulis dan guru menjadi juru bicara dalam gerakan politik.

Dengan munculnya beberap elite baru memperkokoh afrika melalui asosiasi baru. Kelompok kesukuan, etnis, kejasama, perserikatan dagang, kelompok diskusi, dan yang terpenting perkumpulan politik, merupakan akibat dari migrasi dan urbanisasi dan merupakan basis bagi lahirnya partai-partai politik, perkumpulan pelajar dan pemuda secara khusus merupakan faktor penting bagi pembentukan gerakan nasionalis Afrika.[19]

Kemerosotan perang dunia II membuka kesemapatan bagi elite baru ini untuk menegaskan tuntutan mereka. Perang dunia secara fatal menghancurkan kekuata politik dan otritas moral penguasa Eropa dan memungkinkan tokoh-tokoh Afrika menuntut hak untuk menentukan nasib meraka sendiri dan menuntut kemerdekaan politik. Pendidikan telah mengantarkan mereka pada keyakinan bahwa mereka dapat mengendalikan masyarakat, maka elite tersebut menjadi nasionalis yang anti kolonial dan menuntut hak berbicara demi kepentingan masyarakat umum, untuk kepentingan elite bawahan mereka menuntut persamaan gaji dengan pekerja Eropa, persamaan dalam berpartisipasi dalam rezim kolonial, dan yang lebih penting adalah menuntut kemerdekaan.

Pembentukan majelis teritorial melatar belakangi pembentukan sejumalah partai politik, diantaranya adalah Ressemblement Democratique Africain (R.D.A) dibentuk pada tahu 1946. Di bawah kepemimpinan felix houphouet-boigny. Selama pemerintahan perancis partai ini adalah yang terbesar di pesisir lvory, sudan, niger dan guinea, yang pada akhirnay di gantikan oleh partai Union Progressiste Senegalaise pada tahun 1931.[20]

Gagasan-gagasan nasioinalisme dan gerakan-garakan untuk membebaskan dari kekuasaan barat yang kafir juga bangkit di negeri-negeri lainnya.[21]


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN


[1] Badri yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2007).184

[2] Badri yatim, sjarah peradaban islam, 185, lihat juga, Ading kusdiana, sejarah dan kebudayaan islam, 335

[3] Ira, m. Sejarah Sosial Umat Islam. Terj, Ghufron A. Mas’adi(Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1999), 72

[4] Ibid., 82

[5] Ibid., 83

[6] Ahmad al-Usairy, Sejarah islam (Jakarta: Akbar media, 2013), 369

[7] Ira, M. Sejarah Sosial Umat Islam. Terj, Ghufron A. Mas’adi(Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1999), 83

[8] Ading Kusdiana, Sejarah & Kebudayaan Islam (Bandung: Pustaka setia, 2013), 331

[9] Ibid., 332

[10] Ibid.,332

[11] Ira, M. Sejarah Sosial Umat Islam. Terj, Ghufron A. Mas’adi(Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1999),138

[12] Badri yatim, Sejarah Peradaban Islam, 187 lihat juga , Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam, 419

[13] Ira, M. Sejarah Sosial Umat Islam. Terj, Ghufron A. Mas’adi(Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1999), 142

[14] Ibid., 150

[15] Badri yatim, Sejarah Peradaban Islam, 187 lihat juga , Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam, 187

[16] Ibid., 187

[17] Ading kusdiana, Sejarah & Kebudayaan Islam (Bandung: Pustaka setia, 2013), 334

[18] Ira, M. Sejarah Sosial Umat Islam. Terj, Ghufron A. Mas’adi(Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1999), 428

[19] Ira, M. Sejarah Sosial Umat Islam. Terj, Ghufron A. Mas’adi(Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1999), 429

[20] Ibid., 430

[21] Badri yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2007), 187

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...