Sebagaimana dijelaskan di
atas, benturan-benturan antara islam dan kekuatan Eropa telah menyadarkan umat
islam bahwa mereka sudah jauh tertinggal dari Eropa. Pihak islam yang pertama
merasakannya adalah Turki uthmani, karna kerajaan ini yang pertama dan utama
yang menghadapi kekuatan Eropa. Kesadaran itu memaksakan penguasa dan
pejuang-pejuang Turki untuk banyak belajar dari Eropa.[1]
Usaha yang memulihkan kembali
kekuatan islam pada umumnya dikenal dengan gerakan pembaharuan, didorong oleh
dua faktor yang saling mendukung, pemurnian ajaran islam dari unsur-unsur asing
yang dipandang sebagai penyebab kemunduran islam dan menimba gagasan –gagasan
pembaharuan dari Barat.
Pembaharuan yang pertama
adalah seperti gerakan wahabiyah yang di pelopori oleh Muhammad Ibnu Abdu al-Wahhab
(1703-1787M) Di Arabiya. Dan Syah Waliyullah (1703-1762 M) di India. Dan
Gerakan Sanusiyah yang dipimpin oleh Said Muhammad Sanusi dari Aljazair. Di Afrika Utara.
Yang kedua dalam bentuk
pengiriman para pelajar muslim oleh penguasa Turki Uthmani dan Mesir ke
negara-negara Eropa untuk menimba ilmu pengetahuan dan dilanjutkan dengan
penerjemahan karya-karya barat ke dalam bahasa islam. Pelajar-pelajar muslim
india juga banyak yang menimaba ilmu ke inggris.
Gerakan pembaharuan itu dengan
segara memasuki dunia politik , karena islam memang tidak bisa dipisahakan dari
politik. Gagasan politik pertama kali muncul adalah gagasan pan-islamisme
(persatuan islam sedunia) yang mula-mula didengungkan oleh gerakan wahabiyah
dan sanusiah. Seperti disebutkan di atas, Namun gagasan ini baru disuarakan
dengan lantang oleh tokoh pemikir islam Jamaluddin al-Afghani. (1839-1897M),
yang di kenal sebagai bapak Nasionalisme dalam islam.
Gagasan Nasionalisme dari
barat itu masuk ke negeri-negeri muslim melalui persentuhan umat islam dengan
barat yang menjajah mereka dan dipercepat oleh banyaknya pelajar muslim yang
menuntut ilmu ke Eropa. Atau lembaga-lembaga barat yang didirikan di negeri
mereka. gagasan kebangsaan ini pada mulanya banyak mendapatkan tantangan dari
pemuka-pemuka islam karna dipandang tidak sejalan dengan semangat Ukhuwah
Islamiyah akan tetapi ia berkembang setelah gagasan pan-islamisme redup.[2]
1. Nasionalisme Di turki
Ketika beberapa kekuatan
eropa membagi-bagi kerajaan uthmani menjadi sejumlah negara nasional, identitas
idiologi dan organisasi institusional negara-negara baru tersebut terbentuk
melaui interaksi antara pengaruh eropa dan warisan kesejarahan beberapa masyarakat
timur tengah. Di dalam kerajaan uthmani akhir abad 19, dan dalam pemebntukan
negara Turki modern, pertimbangan utamanya adalah kontinuitas bentuk
kesejarahan intitusional dan kultural. Ketika kekuatan eropa memaksakan
pengaruhnya, pengaruh mereka terhadap evolusi internal periode akhir uthmani
dan periode awal masyarakat turki modern dimediasi oleh elite uthmani dan elite
turki. Berbeda dengan beberapa kerajaan muslim lainnya, uthmani dapat
mempertahankan pemerintahannya sehingga mampu menyusun program modernesasi dan
reformasi sendiri.[3]
Ide tentang kebangsaan turki
mulai terbentuk di era akhir uthmani. Loyalitas terhadap islam dan terhadap
uthmani dipandang sebagai bentuk patriotisme yang dinyatakan dalam kata Wathan
atau tanah air,. Identifikasi pan-islam juga telah membangkitkan semangat
penyatuan politik, demikian peristilahan muslim dan uthmani dapat
mengekpresikan sebuah konsep politik yang berdekatan dengan sebuah ideal
nasional, sekalipun tidak identik.kesadaran kultural turki juga mulai
terbentuk. Para penulis dari kalangan uthmani muda berkonsentrasi dengan
reformasi kebahasaan turki dan adaptasi pola kultural uthmani-turki untuk
digunakan oleh masyarakat umum. Pada dekade 1890-an, dengan stimulus pelajar-pelajar eropa yang
mendalami bahasa dan kultur turki, dan denga stimulus intelektual crimea dan
asia tengah yang tengah dalam persaingan atau yang tengah belajar di istambul,
pihak uthmani memperkenalkan gagasan tentang “ masyarakat turki”.[4]
Pada penghujung abad ini,
pihak pres memuji anatolia sebagai tanah air bangsa turki, dan kaum petani
sebagai tulang punggung kebangsaan turki. Gagasan tentang “turkish”
dipropagandakan oleh kelompok-kelompok terdidik seperti kelompok “Turkish
Homeland Society” dan kelompok “Turkish Heart” organisasi ini
menggelar kampanye “kebangsaan” untuk menyederhanakan bahasa turki,
menjadikannya lebih mudah diterapkan bagi masyarakat umum, dan menyadarkan masyarakat
umum atas nasionalitas (kebangsaan) turki-nya sendiri. Dengan juru bicara
nasionalime turki-nya ziya gokalp (1875-1824). Tanpa menyesali kemunduran
kerajaan uthmani, ia menyerukan kultur rakyat Turki, dan menyerukan reformasi
islam untuk menjadikan islam sebagai ekspresi dari etos Turki. Abdullah Jewdet (1869-1932)
menyampaikan landasan nasionalisme Turki. Gagasan kebangsaan Turki tersebut
memperkuat kecendrungan terhadap sekularisme dan modernitas, sebab gagasan
tersebut membuka kesempatan bagi bangsa Turki melepaskan diri dari islam tanpa
sikap kompromis terhadap identitas non Barat mereka. Konsep “Turkish”
memberi peluang gagasan tersebut menetapkan sebuah kewargaan yang baru yang
menumbuhkan identitas kesejarahan masyarakat turki dan bukan identitas
kesejarahan masyarakat muslim dan dengan demikian ia merupakan identitas modern
dan bukan identitas barat.[5]
Pada tahun 1898 M, muncul
lembaga persatuan dan pembangunan yang menyerukan kepada nasionalisme turki (thuroniyah)
dan penghapusan khalifah uthmaniyah yang didukung oleh yahudi dunamah. Pada
1910 M, sultan abdul hamid II dicopot dari jabatannya sebagai khalifah, dan
partai persatuan dan pembangunan menguasai keadaan. Pada tahun 1923
diumumkannya republik turki, dan menempatkan khalifah hanya pada urusan agama
saja. Seorang yahudi sekuler mustafa kamal sebagai pimpinan partai persatuan
pembangunan menjadi presiden republik ini. Pada 1924 M, penghapusan khilafah
untuk terakhir kalinya, dan pengusiran rumah para sultan dari turki. Maka
ditutuplah lembaran terakhir khilafa islamiah ini.[6]
Sejumlah peristiwa politik
yang terjadi antara tahun 1908-1918 mengakhiri kelangsungan sebuah kerajaan
uthmani multi-nasional, multi religius, dan membentuk ide Turki yang lebih
relevan. Pada tahu 1908 sebagian besar warga kristen telah independen
(merdeka). Albania memberontak pada tahun 1910M dan mereka mendapatkan hak
otonom pada tahun 1912M. Gerakan Balkan melepaskan kerajaan uthmani dari
seluruh wilayahnya di Eropa, dan dan selama perang dunia I warga Armenia di Anatolia
Timur berkurang secara drastis disebabkan oleh kekejaman perang, deportasi dan
disebabkan pembunuhan massal yang dilancarkan oleh Turki dan Kurdi. Sebaliknya
dikalangan muslim berkembang rasa kebangsan Turki dan Arab, dan terjadi
persekutuan Arab untuk melawan kerajaan uthmani. Pada akhir perang dunia I, apa
yang tersisa di dalam kerajaan uthmani hanyalah Anatolia, dengan Mayoritas warga
Turki dan sebagian kecil warga keturunan Yunani, Kurdi, dan Armenia. Realitas
kehidupan uthmani sekarang ini sejalan dengan kosep nasionalis tentang masyarakat
Turki. Perang yang memutuskan gordian mengakhiri loyalitas uthmani
dengan melepaskan sebagian besar penduduk turki yang non muslim.[7]
2.
Nasionalisme
di Aljazair
Ketika
perancis menduduki
Aljazair pada tahun 1830M, gerakan pelawanan datang dari Abdul Qadir. Melalui Tarekat
Qadiriyah yang dipimpinnya dari tahun 1832M samapai 1841M. juga pada tahu
1849M, Bu Zian Zatatsha, seorang Syeikh lokal yang merupakan pendukung Abdul
Qadir, melakukan pemeberontakan terhadap Perancis. Pada tahun 1858M, Sidi Sadok
Ibnu Al-hajj, pimpinan Zawiyah Rahmaniyah yang telah bersatu
dengan Bu Zian memlakukan gerakan Jihat, selanjutnya paga tahun 1860M
dan 1879M. Bu Khentash dan Muhammad Amzian memimpin pemberontakan terhadap Perancis.[8]
Pada
tahun 1870-1871 tajadi serangkaian pemeberontakan dalam sekala besar yang
dipimpin oleh kepala suku Aljazair al-Muqrani yang didukung oleh Tarekat
Rahmaniyah, walaupun mengalamin kegagalan. Oposisi dalam bentuk penentangan
terhadap imprialisme juga datang dari bangsa Maroko Abdul Kari seorang
intelektulal tampil melakukan gerakan pemberontakan.[9]
3.
Nasionalisme
di mesir
Dipimpin oleh Urabi Pasha,
seorang pejabat tinggi meliter memberontak terhadap pendudukan Inggris dan
membentuk kerajaan baru di Mesir, walaupun dapat di ambil alih kembali oleh Inggris.[10]
4.
Nasionalisme
di Arab
Sistem negara Arab modern dan
gerakan nasional Arab berasal dari sistem uthmani abad ke-19 dan berasal dari
wilayah Eropa di wilayah subur. Nasionalisme arab pertama lahir di Libanon. Di Libanon
modernisasi dan pembentukan kesadaran politik yang baru secara langsung
dipengaruhi oleh penetrasi pendidikan, politik, dan perdagangan bangsa Eropa.[11]
Di Arab lahirlah nesionalisme
Arab, begitu juga di Mesir, Syiria, Libanon, Palestina, Iraq, Hijaz, Afrika
Utara, Bahrein, dan Kuwait. Semangat persatuan Arab itu juga diperkuat pula
oleh usaha Barat untuk mendirikan negara Yahudi di tengah-tengah bangsa Arab dan
di negeri yang yang dihuni oleh mayoritas Arab.[12] Deangan
alasan berbeda belakangan nasionalisme Arab juga berkembang di kalangan
bangsawan muslim Damascus, faktor utamanya bukan alasan otonomi politik atau
penetrasi perdagangan, melainkan alasan yang lebih bersiafat operasional dari
sistem uthmani dan sebagai reaksi muslim terhadap kemajuan perdagangan Eropa (dan
warga kristen lokal) yang tengah berkembang.[13]
Nasionalisme Arab menyaksikan
tujuan-tujuan ideologi dan spiritual dengan mempertimbangkan kenyataan
pemerintahan Inggris dan Perancis dan konsolidasi pembagian negara-negara Arab yang mandiri.
Maka nasionalisme Arab praktis menjadi sebuah doktrin bagi Elite nasional
Konservatif dan sebuah doktrin bagi perjuangan masing-masing negara untuk
meraih kemerdekaan dari penjahahan Inggris dan perancis namun dalam latar belakang
ini bertahan sebuah semangat kesatuan Arab yang tak pernah lenyap dan sebuah kelangsungan keagamaan yang berguna bagi doktrin sekuler. Khususnya
dalam pandangan masyarakat umum, identitas Arab dan islam sesungguhnya tidak
dapat dipisahkan.[14]
5.
Nasionalisme
di India
Di india sebagaimana di Turki
dan Mesir, gagasan pan-islamisme yang dikenal dengan gerakan khilafat juga
mendapat pengikut, Syed Amir Ali (1848-1928M) adalah pelopornya. Namun gerakan
ini segera pudar setelah usaha menghidupkan kembali khilafah yang dihapus Mustafa
Kemal di Turki tidak mungkin lagi. yang terkenal adalah gerakan nasionalisme
yang diwakili oleh partai kongres nasional India. Namun gagasan nasionalisme
itu segera pula di tinggalkan sebagian besar tokoh-tokoh islam karena di
dalamnya kaum muslimin yang minoritas tertekan oleh kelompok hindu yang
mayoritas. Persatuan antara dua kelompok besar hindu dan islam sulit
diwujudkan. Oleh karena itu mulim di anak benua India tidak menganut
nasionalisme, tetapi islamisme, yang di India dikenal dengan komunalisme. Yang
disuarakan oleh liga muslimin yang merupakan saingan bagi partai kongres
nasional dukungan mayoritas penganut agama hindu. Benih-benih islamisme itu
sebenarnya sudah ada sebelum liga muslimin berdiri, dilontarkan oleh sayyid Ahmad
Khan (1817-1898M) kemudian memuncak pada masa Iqbal (1876-1938M) dan Muhammad
Ali Jinnah (1876-1948M).[15]
6.
Nasionalisme
di Indonesia
Di indonesia partai politik
besar yang menentang penjajahan adalah SI ( seriakat islam) didirikan tahun
1912 di bawah pimpinan Hos Tjokroaminoto, partai ini adalah kelanjutan dari
sarekat dagang islam yang didirikan oleh H. Samahudi tahun 1911, kemudian lahir
juga partai-partai politik lainnya, seperti paratai nasional indonesia (PNI)
didirikan oleh Sukarno,(1927M) pendidikan nasional indonesia (PNI baru)
didirikan oleh Muhammad Hatta (1931M) persatuan muslimin indonesia (Permi)
yang menjadi partai politi tahun 1932, dipelopori oleh Mukhtar Lutfi.[16]
Pada tahun 1821-1837 di Minangkabau
pecah perang Paderi, di Jawa terjadi perang Diponogro, merupakan perang
terbesar yang dihadapi belanda di Jawa. Di Kalimantan selatan pada priode tahun
1857-1862M, pecah perang Banjarmasin, dipimpin oleh pangeran Antasari. Di Aceh ketika
pemerintah belanda pada tanggal 26 maret 1873M, menyatakan perang terhadap Aceh,
akhirnya pecahlah perang Aceh wilayah Aceh sampai dengan menyerahnya Belanda kepada
jepang tidak pernah tunduk terhadap belanda. Itulah bentuk nasionalisme yang
terjadi di wialayh-wilayah islam sebagai bentuk perlawanan terhadap imprialisme
yang dilakukan bangsa Eropa.[17]
7.
Nasionalime
di Afrika
Perubahan politik dan ekonomi
di wilayah jajahan afrika barat dilajutkan dengan pembentukan kelas ekonomi dan
beberapa kelompok sosial dan politik yang baru, sebagaiman terjadi dibeberapa
negeri muslim lainnya. Perubaha pola pandangan dan administrasi mengantarkan
mereka menuju pusat kota dan beberapa kota pelabuhan. Dari penduduk pendatang
yang tidak berakar ini terbentuklah komonitas dan elit baru.
Di beberapa kota kelas
borjuis yang terdiri dari laki-laki dan wanita profesional membentuk sejenis
pendidikan barat yang melatih minoritas kecil untuk menjadi dokter, guru,
pengacara, jurnalis, penerjemah dan pegawai pemerintah. Namun kegiatan
pendidikan seperti ini sangat terbatas, dalam kerajaan prancis hanya ada 3
persen usia pelajar afrika yang bersekolah. Di negeria pendidikan inggris
melahirkan
elite kecil yang berpendidikan barat yang sebagian berasal dari afrika selatan.
Dalam dekade sebelum 1942 sekitar 300.000 usia pelajar masuk ke beberapa sekolah dasar, namun
hanya 2000 yang dapat melanjutkan ke sekolah mengah. Hampir semua sekolah-sekolah
tersebut terdsps di wilayah afriks selatan dan sebagian
besar diperuntukkan sebagai pendidikan missionaris kristen. Sebagai pengecualian, sekolah
missionari kristen dan sekolah barat tidak di izinkan berkembang di nigeria
utara.[18]
Administrasi dan pendidikan
kolonial juga melahirkan elite pekerja mekanik, transportasi, pekerja bangunan,
juru tulis, petani, dan elite bawahan lainnya. Para juru tulis secara khusus
berhubungan erat dengan pekerja administrasi dan perekonomian modern dan
merupakan pihak yang berpengaruh sebagai pengegah antar elite bawahan dengan
pejabat pemerinta yang lebih tinggi. Para juru tulis dan guru menjadi juru
bicara dalam gerakan politik.
Dengan munculnya beberap
elite baru memperkokoh afrika melalui asosiasi baru. Kelompok kesukuan, etnis,
kejasama, perserikatan dagang, kelompok diskusi, dan yang terpenting
perkumpulan politik, merupakan akibat dari migrasi dan urbanisasi dan merupakan
basis bagi lahirnya partai-partai politik, perkumpulan pelajar dan pemuda
secara khusus merupakan faktor penting bagi pembentukan gerakan nasionalis Afrika.[19]
Kemerosotan perang dunia II
membuka kesemapatan bagi elite baru ini untuk menegaskan tuntutan mereka.
Perang dunia secara fatal menghancurkan kekuata politik dan otritas moral
penguasa Eropa dan memungkinkan tokoh-tokoh Afrika menuntut hak untuk
menentukan nasib meraka sendiri dan menuntut kemerdekaan politik. Pendidikan
telah mengantarkan mereka pada keyakinan bahwa mereka dapat mengendalikan masyarakat,
maka elite tersebut menjadi nasionalis yang anti kolonial dan menuntut hak
berbicara demi kepentingan masyarakat umum, untuk kepentingan elite bawahan
mereka menuntut persamaan gaji dengan pekerja Eropa, persamaan dalam
berpartisipasi dalam rezim kolonial, dan yang lebih penting adalah menuntut
kemerdekaan.
Pembentukan majelis teritorial
melatar belakangi pembentukan
sejumalah partai
politik, diantaranya adalah Ressemblement Democratique Africain (R.D.A)
dibentuk pada tahu 1946. Di bawah kepemimpinan felix houphouet-boigny. Selama
pemerintahan perancis partai ini adalah yang terbesar di pesisir lvory, sudan,
niger dan guinea, yang pada akhirnay di gantikan oleh partai Union Progressiste
Senegalaise pada tahun 1931.[20]
Gagasan-gagasan nasioinalisme dan gerakan-garakan untuk membebaskan dari kekuasaan barat yang kafir juga bangkit di negeri-negeri lainnya.[21]
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN
- Letak Geografi Arab Pra-Islam
- Perjuangan Dakwah Nabi Muhammad
- Pembentukan Negara Madinah
- Khulafaur Rasyidin
- Renaisans Di Eropa
- Kedatangan Barat Di Berbagai Dunia Islam
- Kemunduran Kerajaan Utsmani Dan Ekspansi Barat Ke Timur Tengah
- Bangkitnya Nasionalisme Di Dunia Islam Untuk Kemerdekaan Negaranya
- Kemerdekaan Negara-Negara Islam Dari Penjajahan
- Teori Datangnya Islam Ke Indonesia
- Saluran Dan Cara Islamisasi Di Indonesia
[1] Badri yatim, Sejarah
Peradaban Islam (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2007).184
[2] Badri yatim, sjarah
peradaban islam, 185, lihat juga, Ading kusdiana, sejarah dan kebudayaan islam,
335
[3] Ira, m. Sejarah Sosial Umat Islam. Terj, Ghufron A.
Mas’adi(Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1999), 72
[4] Ibid., 82
[5] Ibid., 83
[6] Ahmad al-Usairy, Sejarah islam (Jakarta: Akbar media, 2013),
369
[7] Ira, M. Sejarah Sosial Umat Islam. Terj, Ghufron A.
Mas’adi(Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1999), 83
[8] Ading Kusdiana, Sejarah & Kebudayaan
Islam
(Bandung: Pustaka setia, 2013),
331
[9] Ibid., 332
[10] Ibid.,332
[11] Ira, M. Sejarah Sosial Umat Islam. Terj, Ghufron A.
Mas’adi(Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1999),138
[12] Badri yatim, Sejarah
Peradaban Islam, 187 lihat juga , Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam,
419
[13] Ira, M. Sejarah Sosial Umat Islam. Terj, Ghufron A.
Mas’adi(Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1999), 142
[14] Ibid., 150
[15] Badri yatim, Sejarah
Peradaban Islam, 187 lihat juga , Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam,
187
[16] Ibid., 187
[17] Ading kusdiana, Sejarah & Kebudayaan
Islam
(Bandung: Pustaka setia, 2013),
334
[18] Ira, M. Sejarah Sosial Umat Islam. Terj, Ghufron A.
Mas’adi(Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1999), 428
[19] Ira, M. Sejarah Sosial Umat Islam. Terj, Ghufron A.
Mas’adi(Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1999), 429
[20] Ibid., 430
[21] Badri yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 2007),
187
Tidak ada komentar:
Posting Komentar