HOME

30 Maret, 2022

DINASTI ABBASIYAH

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Dinasti ‘Abbasiyah telah meletakkan tinta emas dalam sejarah umat Islam. Dengan berbagai kekurangan yang dimiliki dinasti ini, kekhalifahan ‘Abbasiyah mempunyai peran sangat vital dalam perkembangan berbagai macam bidang ilmu pada masa tersebut.

Umat Muslim dari dulu sampai sekarang pasti akan sangat kenal bangga dengan khalifah ‘Abbasiyah yang memimpin kejayaan umat Islam waktu itu, yaitu Harun al-Rasyid dan putranya al-Ma’mun. kerajaan yang mempunyai daerah kekuasaan yang sangat luas dari timur sampai barat, perpustakaan yang sangat besar, lembaga pendidikan yang sangat terorganisir dan keilmuan yang dijadikan rujukan oleh seluruh dunia.

Berawal dari pengambilan kekuasaan dari dinasti Umayyah, dinasti ‘Abbasiyah mengalami kisah serupa, bahkan lebih tragis ketika pasukan Tatar yang dipimpin Hulaku Khan membumi hanguskan kerajaan ini.

Konflik internal yang kompleks, ditambah perang suci atau yang biasa dikenal dengan perang salib menjadikan dinasti ‘Abbasiyah porak-poranda. Pastinya hal tersebut sangat menarik untuk kita kaji lebih dalam.

 

B.     RUMUSAN MASALAH

               1.            Pendiri dinasti ‘Abbasiyah

               2.            Kehidupan masyarakat pada dinasti ‘Abbasiyah

               3.            Kemajuan ilmu pengetahuan

               4.            Sebab kemunduran pemerintah dinasti ‘Abbasiyah

 

BAB II

PEMBAHASAN 

A.    Pendirian Dinasti Abbasiyah

Dinasti Abbasiyah merupakan kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di Baghdad (sekarang ibu kota Iraq). Kekhalifahan ini berkuasa setelah merebutnya dari Bani Umayyah dan menundukkan semua wilayahnya kecuali Andalusia.

Bani Abbasiyah dinisbatkan kepada paman Rasulullah, yaitu ‘Abbasibn ‘Abdul Muttalib ibn Hashim ibn ‘Abd Manaf (15 SH – 32 H / 573 M – 653 M).[1]pendiri dinasi ‘Abbasiyah adalah ’Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn ‘Ali ibn ’Abdullah ibn ‘Abbas ibn ’Abdul Muttalib. Ia lebih dikenal dengan Abu al-’Abbasal-Saffah.[2]

Untuk julukan al-Saffah, merupakan klaim dari ’Abdullah ibn Muhammad sendiri, yaitu ketika khutbah penobatannya pada salah satu masjid di Kufah, Iraq. al-Saffah yang berarti adalah penumpah darah. Kemudian julukan ini akhirnya sangat melekat kepadanya.[3]

Dinasti ‘Abbasiyah berdiri pada tahun 132 H / 750 M, dan Abu al-’Abbasal-Saffah adalah khalifah pertamanya. Dinasti ini berlangsung sekitar lima abad, yaitu 132 – 656 H / 750 – 1258 M. pada masa dinasti ‘Abbasiyah inilah Islam mencapai puncak kejayaannya dan Baghdad sebagai pusat peradabannya.[4]

 

1.      Propaganda Dinasti ’Abbasiyah

Menurut Raghib al-Sirjaniy asal mula dinasti ‘Abbasiyah adalah sebuah propaganda yang dihembuskan ’Abdullah ibn Muhammad. Mulanya Bani Umayyah menghormati keluarga Ali. Hanya saja beberapa penguasa Bani Umayyah memperlakukan keluarga Ali dengan buruk. salah satunya al-Walid yang mengisolasi ‘Ali ibn ’Abdillah ibn ‘Abbas di al-Humaimah (wilayah di Yordania).[5]

Al-Humaimah merupakan kota yang tenang, di kota ini bermukim bani Hashim, baik dari kalangan pendukung ‘Ali ibn Abi Talib maupun pendukung bani ‘Abbas. Dari keterangan yang dipaparkan Syafi’i Antonio di dalam Ensiklopedinya, penulis mengambil kesimpulan bahwa antara pendukung ‘Ali bin AbiTalib dan pendukung bani ‘Abbas adalah kelompok yang berbeda, meskipun mempunyai ideologi yang sama yaitu Shi‘ah.[6]

Suatu ketika ’Abdullah ibn Muhammad atau yang dikenal dengan Abul Hashim (sepupu ‘Ali ibn ’Abdillah) pernah melakukan kunjungan ke Khalifah Sulaiman ibn ’Abdil Malik, khalifah pun menyambutnya dengan penuh penghormatan. Pasca kunjungan tersebut, Abdul Hashim jatuh sakit dan merasa ajalnya hampir tiba, menebar isu bahwa khalifah Sulaiman telah meracuninya. Diinformasikanlah isu tersebut ke Muhammad ibn ‘Ali ibn ’Abdillah ibn ‘Abbas dan memohon agar melancarkan balas dendam kepada Bani Umayyah. Muhammad ibn ‘Ali yang ambisius pun termakan dengan isu tersebut dan memimpin pemberontakan kepada Bani Umayyah. Peristiwa ini terjadi pada tahun 99 H.[7]

Sedangkan dijelaskan di dalam “Enslikopedi Peradaban Islam” karya Syafi’i Antonio dkk. bahwa awal berdirinya dinasti ‘Abbasiyah adalah sebuah doktrin yang dikumandangkan oleh Bani Hashim sepeninggal Rasulullah, bahwa yang berhak berkuasa adalah keturunan Nabi Muhammad . Pemikiran ini sebenarnya tidak terlalu terlihat pada era khulafa rashidin. Tetapi pada era kepemimpinan Umar ibn ’Abdul ’Aziz, propaganda ini mulai menguat, karena pada masa terebut pemerintah tidak memusuhi bani Hashim, serta kehidupan negara yang aman dan tentram sehingga memberikan kesempatan pada gerakan bani ‘Abbas untuk menyusun rencana menggulingkan kekuasaan. Propaganda itupun ibarat bom waktu, pada era ke khalifahan setelahnya semakin membesar dan timbullah pemberontakan.[8]

Gerakan perlawanan ini awalnya dipimpin oleh ‘Ali ibn ’Abdullah ibn ‘Abbas. lalu dilanjutkan anaknya Muhammad ibn ‘Ali. Sepeninggal Muhammad, Ibrahim (anaknya) memimpin gerakan perlawanan dengan bantuan Abu Muslim al-Khurasaniy.[9]

 

2.      Strategi Penggulingan Dinasti Umayyah

Pada awalnya propaganda bani ‘Abbas hanya berpusat di Humaimah, lalu pada masa kepemimpinan Muhammad ibn ‘Ali propaganda berhasil disebarkan ke berbagai kota, yaitu Kufah dan Khurasan. Oleh karenanya tiga kota tersebut menjadi poros utama kekuatan bani ‘Abbas. Kufah, karena letaknya yang strategis  berfungsi sebagai kota penghubung. Di kota ini tinggal para penganut Shi‘ah, yang selalu bergolak dan menjadi korban penindasan dinasti Umayyah. Adapun Khurasan berfungsi sebagai pusat gerakan praktis dan pembinaan pasukan. Karena Khurasan memiliki warga yang pemberani dan kuat secara fisik, teguh pendirian, tidak mudah terpengaruh nafsu dan tidak mudah bingung terhadap kepercayaan yang menyimpang. Untuk menyukseskan rencananya, Muhammad ibn ‘Ali dibantu oleh 150 juru da’wah yang dipimpin oleh 12 orang terdekat. Dan salah satu panglima perangnya yang berasal dari Khurasan, yaitu Abu Muslim al-Khurasani.[10]

Di Khurasan Abu Muslim dapat mengalahkan kekuatan Nasar ibn Siyar dari Dinasti ‘Abbasiyah. Abu Muslim menerapkan trik halus untuk menguasai keadaan, ia mengirimkan surat kepada Arab Yamaniyah bergabung dengannya. Demikian juga kepada Arab Mudariyah. Akhirnya seluruh Khurasan tunduk kepada Abu Muslim.[11]

Muhammad ibn ‘Ali meninggal tahun 125 H / 742 M. Kepemimpinan bani ‘Abbas kemudian dipegang oleh anaknya, Ibrahim ibn Muhammad atau lebih dikenal dengan Ibrahim al-Imam. Pada masa kepemimpinannya, propaganda bani ‘Abbas dilakukan cukup matang dan dilakukan di bawah tanah. Namun pada akhirnya gerakan ini diketahui oleh khalifah terakhir dinasti Umayyah, Marwa ibn Muhammad.[12]

Suasana semakin tegang saat Marwan ibn Muhammad mengirim utusan untuk menahan Ibrahim ibn Muhammad di al-Humaimah, Damaskus.[13]Tahun 132 Ibrahim ibn Muhammad wafat di penjara Marwan ibn Muhammad. Sedangkan dalam Ensiklopedi Syafi’i Antonia disebutkan bahwa Ibrahim ibn Muhammad meninggal karena dieksekusi mati.[14]

Sebelum dieksekusi ia berpesan agar adiknya ‘Abdullah ibn Muhammad (al-Saffah) menggantikannya sebagai pemimpin.[15] Abu ‘Abbas al-Saffah segera pindah ke Kufah bersama para pembesar bani ‘Abbas yan lain, seperti Abu Ja’far, ‘Isa ibn Musa dan ‘Abdullah ibn ‘Ali. Sedangkan kepemimpinan di Humaimah diserahkan kepada Abu Salamah. Pada tahun 132 H, pasukan bani ‘Abbas berhasil mengalahkan Yazid ibn ‘Umar ibn Hubairah, penguasa Umayyah di Kufah. Khurasan pun berhasil ditaklukkan oleh pasukan bani ‘Abbas dari tangan Umayyah.[16]

 

3.      Kekalahan Khalifah Terakhir Bani Umayyah, Marwan ibn Muhammad

Abu al-’Abbas al-Saffah pun mempimpin peperangan melawan Umayyah di Zab Hulu (sebuah anak sungai Tigris, di sebelah timur Mosul, Irak). Pihak ‘Abbasiyah berhasil memenangkan perang tersebut dan terus menuju Sham (Suriah).[17] Sedangkan menurut versi Syafi’i Antonio di dalam Ensiklopedi peradaban Islam Baghdad, yaitu ketika Khalifah bani Umayyah yang terakhir, Marwan ibn Muhammad bersama pasukannya memutuskan untuk melarikan diri, al-Saffah memerintahkan pamannya, ‘Abdullah ibn ‘Ali untuk mengejar khalifah Umayyah hingga sampai di dataran rendah sungai Zab. Kedua pasukan akhirnya bertempur dan kemenangan berada di tangan bani ‘Abbas. pengejaran kemudian dilanjutkan ke Mosu, Haran dan menyeberangi sungai Eufrat sampai ke Damaskus (Suriah).[18]

Dari sana, kota demi kota kemudian dapat mereka kuasai. Sementara pengejaran terhadap khalifah Marwan terus dilakukan hingga Fustat, Mesir. Khalifah Marwan akhirnya terbunuh di Busir, wilayah Fayyum pada 132 H / 750 M oleh pasukan yang dipimpin Salih ibn ‘Ali, paman al-Saffah.[19]

Selanjutnya Abu al-’Abbas naik takhta menjadi khalifah pertama ‘Abbasiyah pada tahun 750 M, dengan Kufah sebagai ibu kotanya.[20]Ibn al-Athir mengatakan bahwa ia dibaiat pada bulan Rabi’ al-Awwal, tetapi ada juga yang mengatakan pada bulan Rabi‘ al-Akhir, atau Jumad al-Ula.[21]Pada tahun yang sama (tahun 132 H), Abu Muslim memperoleh kemenangan melawan kekuatan Umayyah di Iraq, lalu ia bergerak ke arah Kufah sembari mengkampanyekan Bani ‘Abbas.[22]

Ketika berhasil merebut kekuasaan, orang ‘Abbasiyah mengklaim dirinya sebagai pengusung konsep sejati kekhalifahan, yaitu gagasan negara teokrasi,  yang menggantikan pemerintahan sekuler (mulk) Dinasti Umayyah. Sebagai ciri khas keagamaan dalam istana kerajaannya, dalam berbagai kesempatan seremonial, seperti ketika dinobatkan sebagai khalifah. Begitu juga pada saat shalat Jum‘at, khalifah mengenakan jubah (burdah).[23]

Sejak awal, dibangun gagasan bahwa kekuasaan selamanya harus dipegang oleh orang ‘Abbasiyah, hingga akhirnya diserahkan kepada ‘Isa, sang juru selamat. bahkan belakangan dikembangkan sebuah teori bahwa jika kekhalifahan ini runtuh, seluruh dunia akan kacau.[24]

Seluruh anggota keluarga bani ‘Abbas dan pemimpin Islam menyatakan setia kepada Abu al-‘Abbas al-Saffah. al-Saffah kemudian pindah ke Anbar, sebelah barat sungai Eufrat, dekat Baghdad. sebagian besar masa kepemimpinannya digunakan untuk memerangi para pemimpin Arab yang membantu bani Umayyah. Dia menghancurkan keluarga bani Umayyah dan pendukungnya, kecuali ’Abdurrahman yang berhasil melarikan diri ke Andalusia, Spanyol dan mendirikan dinasti Umayyah disana.[25]

Tetapi sayang kekhalifahan yang baru ini tidak diakui oleh sebagian daerah, seperti: Spanyol, Afrika Utara, Oman, Sind dan bahkan Khurasan. pengakuran mesir hanyalah formalitas. Wasir, ibukota Dinasti Umayyah di Iraq, tetap tidak mau mengakui pemerintah selama sebelas bulan.[26] Dijelaskan oleh Albert Hourani bahwa tidak mudah untuk menguasai Maroko. Selain itu negeri ini pun dianggap tidak terlampau penting. Oleh karenanya bani ‘Abbas tidak meluaskan daerah kekuasannya sampai kesana.[27]


4.      Abu al-‘Abbas al-Saffah Meninggal

Kepempipinan Abu al-‘Abbas al-Saffah tidak berlangsung lama, hanya bertahan selama 4 tahun 9 bulan. Dia meninggal pada tahun 136 H di Anbar pada usia tidak lebih dari 33 tahun, bahkan ada yang mengatakan 29 tahun. Meskipun dalam sejarahnya al-Saffah merupakan khalifah pertama dinasti ’Abbasiyah, tetapi tidak bisa dipungkiri sebagian sejarawan mengatakan bahwa Abu Ja‘far al-Mansur sebagai pembangun sejati dinasti ’Abbasiyah.[28]

 

B.     Khalifah pasca Abu al-‘Abbas al-Saffah

1.      Abu Ja‘far al-Mansur, Khalifah Kedua Bani ‘Abbas

Sepeninggal al-Saffah, kekuasaan tertinggi dinasti ’Abbasiyah dipegang oleh Abu Ja‘far al-Mansur. Khalifah yang bari ini mendapat perlawanan dari sisa-sisa kekuatan bani Umayyah, kaum Khawarij dan kelompok Shi‘ah – yang merasa dikucilkan. Demi mengamankan kekuasannya, tokoh-tokoh besar yang sezaman dengannya – yang mungkin akan menjadi pesaingnya – satu  persatu mulai disingkirkan dengan berbagai cara. ‘Abdullah ibn ‘Ali dan Salih ibn ‘Ali - keduanya adalah pamannya sendiri –yang masing-masing telah ditunjuk sebagai gubernur Suriah dan Mesir oleh al-Saffah, dibunuh oleh Abu Muslim al-Khurasani, karena tidak bersedia membaiat al-Mansur. Abu Muslim sendiri, karena dianggap membahayakan oleh al-Mansur, akhirnya dihukum mati pada tahun 755 M.[29]

Pada mulanya, ibu kota negara adalah al-Hashimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara al-Mansur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, Baghdad – dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon – tahun 762. Di ibu kota yang baru ini al-Mansur melakukan konsolidasi dan peneriban pemerintahannya. Diantaranya:

a. Dia mengangkat sejumlah personal untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif.

b. Menciptakan tradisi baru dengan mengankat wazir sebagai koordinator departemen, wazir pertama yang diangkat adalah Khalid ibn Barmak, dari Balkh, Persia. 

c.  Membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara dan kepolisian negara.

d. Menunjuk Muhammad ibn Abd al-Rahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara

e. Jawatan pos yang sudah ada sejak dinasti Umayyah ditingkatkan peranannya, yang dulu hanya sekedar mengantar surat, pada masa ini juga ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah, sehingga administrasi negara berjalan lancar. Selain itu direktur jawatan pos juga bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.[30]

 

2.      Masa kejayaan Islam khalifah Harun al-Rashid dan Al-Ma’mun

Kejayaan ‘Abbasiyah  mencapai puncaknya pada masa khalifah Harun al-Rashid dan al-Ma’mun. Pada masa Harun al-Rashid kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan dan kesusastraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah Islam menjadi negara terkuat dan tak tertandingi.[31] Sepeninggal al-Rashid terjadi perang saudara antara kedua putranya, al-Amin dan al-Ma’mun. Amin dinyatakan sebagai khalifah dan tentara Baghdad bertempur untuknya, tetapi ia akhirnya kalah.[32]Akhirnya al-Ma’mun menjadi khalifah dinasti ‘Abbasiyah, dan para masa inilah gerakan intelektual dan ilmu pengetahun sangat menonjol, dengan didirikannya Baitul Hikmah, sehingga Baghdad menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.[33]

Tetapi disisi lain pemerintahan ini juga tak segan untuk menindak ideologi masyarakat yang tidak sejalan dengan pemerintah. Sebagaimana ketika masa kekhalifahan al-Ma’mun yang membawa paham Mutazilah dengan mengatakan bahwa al-Qur’an itu makhluk. Ahmad ibn Hanbal pun tak lepas dari hukuman pemerintah pada waktu itu dengan dijadikan tahanan rumah.[34]

أبا هاشم زياد بن أيوب قال قلت لأبي عبد الله أحمد بن حنبل يا أبا عبد الله رجل قال القرآن مخلوق فقلت له يا كافر

Diriwayatkan oleh Abu Hasyim ibn Ziyad ibn Ayyub: Aku berkata kepada Abu ‘Abdullah Ahmad ibn hanbal: ‘Wahai Abu ‘Abdullah (apabila ada) orang berkata Al-Qur’an Makhluk’, maka aku (Imam Ahmad) berkata: ‘Ya Kafir’[35]

 

Secara umum dasar-dasar pemerintahan dinasti ‘Abbasiyah  diletakkan dan dibangun oleh Abu al-‘Abbas al-Saffah dan Abu Ja‘far al-Mansur. Tetapi puncak keemasan dinasti itu berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu al-Mahdi (775 – 785 M), al-Hadi (785 – 785 M), Harun al-Rashid (786 – 809 M), al-Ma’mun (813 – 833 M), al-Mu‘tasim (833 – 842 M), al-Wathiq (842 – 847) dan al-Mutawakkil (847 – 861 M).[36]


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN


C.    Periode Pemerintahan Dinasti ’Abbasiyah

Selama masa kekuasaan dinasti ’Abbasiyah yang begitu panjang, sistem pemerintahan yang diterapkan tidaklah tunggal, tetapi disesuaikan dengan perubahan politik, sosial dan budaya. Pergantian khalifah juga bisa menimbulkan perubahan sistem pemerintahan.[37]

Syafi’i Antonio dalam Ensiklopedinya membagia periode dinasti ’Abbasiyah sebagai berikut:

1. Dari pemerintahan Abu al-‘Abbas al-Saffah sampai meninggalnya khalifah al-Wathiq (132 – 232 H / 750 – 847 M). Raghib al-Sirjani dalam Ensiklopedinya mengistilahkan periode penghimpunan kekuatan.[38] Sedangkan Badri Yatim dan Ade Armando lebih cenderung mengistilahkan periode ini dengan era pengaruh Persia, [39] karena dinasti ’Abbasiyah mengalami banyak kemajuan dan mencapai masa keemasan. Hal ini disebabkan adanya asimilasi unsur-unsur non-Arab (terutama bangsa Persia) ke dalam pemerintahan yang lebih berorientasi pada pembangunan peradaban daripada perluasan wilayah.[40]Masuknya keluarga non-Arab ke dalam pemerintahan merupakan unsur pembeda antara dinasti ‘Abbasiyah  dan Umayyah yang berorientasi ke Arab. Namun saat kekuasaan khalifah al-Mu‘tasim, orang-orang Turki yang diberi kesempatan dalam pemerintahan dan ketentaraan mulai mencoba mendominasi dan mempengaruhi kebijakan khalifah. Sedangkan pada periode setelahnya, yaitu pada masa khalifah al-Wathiq pusat pemerintahan dipindah dari Baghad ke Samarra – yang terletak agak jauh ke utara di dekat sungai Tigris.[41] Tetapi Hourani berpendapat bahwa yang memindahkan ibu kota Baghdad ke Samarra adalah al-Mu‘tasim (833 – 842 M), hal ini bertujuan untuk mengurangi dominasi tentara Turki dalam pemerintahan. Tahta pemerintahan tetap berada disana selama setengah abad. Meskipun telah terbebas dari tekanan para penduduk, khalifahtetap jatuh di bawah pengaruh para komandan prajurit Turki, yang kemudian mendominasi pemerintahannya. Pada masa ini juga para gubernur provinsi menjadi independen.[42]

2.  Masa pemerintahan khalifah al-Mutawakkil sampai berkuasanya bani Buwaihi di Baghdad (232 – 334 H / 847 – 946 M). Raghib al-Sirjani dan Ade Armando menamakan periode ini dengan masa kekuatan militer turki[43], hampir senada Badri Yatim menamakan masa pengaruh Turki pertama.[44]Kepemimpinan al-Mutawakkil dan para penggantinya sangat lemah, sehingga orang Turki yang berada dalam unsur militer dapat mengambil alih kekuasaan. Meskipun kemajuan intelektual dan kebudayaan terus berjalan, tetapi secara politik kekuasaan ’Abbasiyah sudah mundur. Hal ini dikarenakan wilayah kekuasaan yang harus dikendalikan semakin kecil, komunikasi yang lambat, ketergantungan terhadap militer yang sangat tinggi, kesulitan keuangan karena beban untuk membiayai tentara sangat besar dan munculnya beberapa pemberontakan, seperti Zanj (868 – 883 M) dan Qaramitah.[45] Beberapa tahun kemudian khalifah al-Mu‘tadid kembali memindahkan pemerintahan ke Baghdad (892 M).[46]

3.  Berdirinya dinasti Buwaihi hingga masuknya bani Seljuk ke Baghdad (334 – 447 H / 946 – 1055 M). Badri Yatim menamakan periode pengaruh Persia kedua.[47] Sedangkan Ade Armando di dalam Ensiklopedinya dengan menamakan periode ini masa kekuasaan dinasti Buwaihi penganut Shi‘ah[48]. Pada periode ini lebih parah, salah satu penyebabnya adalah karena penguasa dinasti Buwaihi menganut ajaran Shi‘ah. Sedangkan khalifah dianggap sebagai pegawai pemerintah yang diperintah dan diberi gaji. Selain itu pusat pemerintahan Islam tidak lagi di Baghdad, tetapi dipindahkan ke Shiraz, tempat ‘Ali ibn Buwaihi berkuasa. Meskipun begitu ilmu pengetahuan mengalami kemajuan pesat dengan munculnya para pemikir besar seperti al-Farabi, ibn Sina, al-Biruni dan ibn Miskawaih. Sementara itu bidang ekonomi, pertanian dan perdagangan terus mengalami kemajuan yang sangat pesat.[49]

4.  Berlangsung selama berkuasanya orang-orang dari bani seljuk (1055 – 1199 M).[50]Sedangkan Badri yatim menamakan periode ini dengan masa pengaruh Turki kedua.[51]Bani Seljuk berhasil melumpuhkan bani Buwaihi. Pada periode ini kewibaan khalifah sedikit ada peningkatan, khususnya di bidang agama, setelah beberapa lama dikuasai orang-orang Shi‘ah.[52]Kekuasaan Seljuk kemudian melemah setelah adanya konflik-konflik internal, sementara kekuasaan khalifah mulai kuat kembali, terutama di dalam negeri Irak.[53]

5. Sejak melemahnya kekuasaan bani Seljuk hingga jatuhnya Baghdad ke tangan Hulagu Khan dari Mongol (1199 – 1258 M). Raghib al-Sirjani menyebutkan bahwa pada periode ini dinasti ’Abbasiyah pindah ke Mesir.[54]Pada periode ini dinasti ’Abbasiyah tidak lagi di bawah kekuasaan bani tertentu.[55] Kekuasaan khalifah kembali menguat, tetapi hanya di sekitar Baghdad. Kekuasaan dinasti ’Abbasiyah akhirnya benar-benar berakhir setelah Mongol menghancurkan Baghdad tanpa perlawanan berarti.[56]

 

D.    Sistem Pemerintahan Dinasti ‘Abbasiyah

Administrasi pemerintahan dibagi menjadi sejumlah kantor (diwan), pembagian ini banyak ditiru oleh dinasti-dinasti lain. Sebagai contoh diwan untuk urusan militer, seseorang ada yang ditugaskan untuk mengarsipkan surat-surat dan dokumen dalam sebuah tempat khusus. Selain itu ada seorang bendahara yang memantau dan menjaga catatan-catatan pendapatan dan pengeluaran. Sebagai pemerintahan hierarki selalu memastikan pejabat yang tersebar di berbagai wilayah tidak terlampau kuat atau menyalahgunakan kekuasaan meraka. Selain itu sistem inteligen berguna untuk memperoleh informasi tentang apa yang sedang terjadi di provinsi-provinsi.[57]

Pada dinasti ini juga sudah dikenal sistem perpajakan. Pajak pada dinasti ‘Abbasiyah  dibagi menjadi dua:

1.  Pajak atas tanah atau hasilnya (kharaj). Ada perbedaan antara jumlah dan jenis pajak yang dibayarkan oleh para pemilik tanah Muslim dan non-Muslim.

2.  Pajak pungutan yang ditarik dari non-Muslim yang secara umum berbeda menurut kekayaan yang dimilikinya (jizyah).

Selain itu juga dikenal bea cukai, yaitu iuran yang diambil dari barang-barang impor ataupun ekspor.[58]

 

E.     Kemajuan Dinasti ‘Abbasiyah

1.      Kemajuan Sosial Ekonomi Dan Ilmu Pengetahuan

Pada era al-Mansur mendirikan lembaga eksekutif dan yudikatif, mengangkat wazir sebagai koordinator departemen, membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, kepolisian negara dan meningkatkan jawatan pos.[59]

Pada masa al-Mahdi pertanian semakin maju, melalui irigasi. Juga peningkatan hasil tambang seperti perak, emas, tembaga dan besi. Selain itu Basrah juga menjadi pelabuhan yang penting sebagai tempat transit pedagang dari wilayah Timur dan Barat.[60]

Pada masa Harun al-Rashid kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan dan kesusastraan berada pada zaman keemasannya. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Di samping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun.[61]

Al-Ma’mun, khalifah setelah Harun al-Rashid yang dikenal cinta ilmu menggalakkan terjemah buku asing. Untuk menerjemahkan  buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah. Selain itu tersedianya fasilitas dan transportasi memudahkan para pencari ilmu dan penulis. Pada masa al-Ma’mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Dan salah satu karyanya yang fenomenal adalah Bait al-Hikmah, yaitu pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar.[62]

Namun Ahmad Amin mengatakan bahwa sebenarnya Bait al-Hikmah sudah ada sejak zaman Harun al-Rashid. Ia sudah memprakarsai sebelumnya, lalu al-Ma’mun mengembangkannya. Hal tersebut berdasarkan perkataan ibn al-Nadim bahwa Abu Sahl al-Fadl ibn Nubkhat dulu di Bait al-Hikmah kepunyaan Harun al-Rashid.[63]

2.      Ulama Yang Hidup Pada Masa Dinasti ‘Abbasiyah

Imam-imam mazhab hidup pada pemerintahan ‘Abbasiyah pertama. Imam Abu Hanifah dalam pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di Kufah. Karena itu, madhhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional daripada hadis. Berbeda dengan Abu Hanifah, Imam Malik – yang hidup pada masa dinasti ‘Abbasiyah – banyak   menggunakan hadis karena berada di Madinah. Pendapat kedua imam tersebut ditengahi oleh Imam Shafi’i dan Imam Ahmad ibn Hanbal.[64]

Pada awal masa pemerintahan bani ‘Abbasiyah hadis mengalami masa seleksi ketat. Masa ini dimulai sekitar akhir abad II ketika pemerintahan dipegang al-Ma’mun sampai masa al-Muqtadir. Para ulama hadis pun bermunculan seperti Muhammad ibn Isma‘il al-Bukhari, Muslim ibn Hajjaj, ibn Majah, Abu Dawud, al-Tirmidhi, dan al-Nasa’i.[65]

Aliran-aliran teologi sudah ada pada masa bani Umayyah, seperti Khawarij, Murji’ah dan Mu‘tazilah. Namun, pemikiran Mu‘tazilah yang lebih kompleks baru dirumuskan pada masa pemerintahan bani ‘Abbas periode pertama. Tokoh perumus pemikiran Mu‘tazilah yang terbesar adalah Abu al-Huzail al-Allaf (135 – 235 H / 752 – 849 M) dan al-Nazzam (185 – 221 H / 801 – 835 M). Ashairah, aliran teologi yang dicetuskan Abu al-Hasan al-Ash‘ari(873 – 935 M) juga hidup pada dinasti ‘Abbasiyah.[66]

Pengaruh gerakan terjemah juga terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dalam bidang astronomi muncullah Al-Fazari, astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe dan Al-Fargani, yang dikenal di Barat dengan al-Faragnus. Dalam bidang kedokteran dikenal al-Razi – tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dan measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak – dan ibn Sina - penemu sistem peredaran darah pada manusia dan karyanya al-Qanun fi al-Tibb. Di bidang Optika muncul Abu‘Ali al-Hasan ibn al-Haythami – di barat dikenal dengan Alhazen – ia  menemukan bahwa bendalah yang mengirim cahaya ke mata. Di bidang kimia muncul Jabir ibn Hayyan, ia berpendapat bahwa logam seperti timah, besi dan tembaga bisa diubah menjadi emas atau perak dengan mencampurkan suatu zat tertentu. Di bidang Matematika muncul Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, penemu Aljabar. Dalam bidang sejarah dikenal al-Mas‘udi. Dalam filsafat dikenal al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rushd (dikenal di Barat dengan Averroes).[67]

 

F.     Kehancuran Dinasti ’Abbasiyah

Pada hakekatnya kehancuran dinasti ‘Abbasiyah  bisa dibagi menjadi dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Berikut penjelasannya.

1.      Faktor Internal

Faktor internal adalah faktor penyebab kehancuran dinasti ‘Abbasiyah  yang muncul dari dalam (intern), diantaranya:

a. Adanya persaingan tidak sehat antara beberapa bangsa yang terhimpun di dalamnya, terutama Arab, Persia dan Turki.[68] Pada awalnya dinasti ‘Abbasiyah  dipimpin oleh bangsa Arab. Namun para periode kedua, kekuasaan tersebut diambil oleh orang-orang Turki. Di tangan mereka khalifah bagaikan boneka yang tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan merekalah yang memilih dan menjatuhkan khalifah sesuai dengan keinginan politik mereka. Sedangkan para periode ketiga kekuasaan dipegang oleh bani Buwaih yang notabennya adalah bangsa Persia. Kemudian dikuasai oleh Seljuk yang merupakan bangsa Turki.[69]

b. Adanya konflik aliran pemikiran Islam yang sering menyebabkan pertumpahan darah.[70]Konflik yang dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara Muslim dan zindiq atau Ahlussunnah dan Shi‘ah saja, tetapi juga antara aliran dalam Islam, yaitu Mu’tazilah.[71]

c.  Munculnya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan dari dari kekuasaan pusat di Baghdad.[72] Benih-benih ini sebenarnya muncul sejak awal berdirinya dinasti ‘Abbasiyah. Kekuasaan dinasti ini tidak pernah diakui di Spanyol dan seluruh Afrika Utara, kecuali Mesir – meskipun hanya formalitas. Secara riil, daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaan gubernur-gubernur provinsi bersangkutan. Hubungannya dengan ‘Abbasiyah  ditandai dengan pembayaran upeti. Ada kemungkinan ‘Abbasiyah  sudah cukup puas dengan pengakuan dan pembayaran upeti tersebut, dengan dua alasan:

·   Mungkin para khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk kepadanya.

·    Penguasa bani ‘Abbas lebih menitikberatkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi.

Dari situ sangatlah mudah bagi provinsi-provinsi untuk memisahkan diri, hingga lahirlah dinasti-dinasti kecil, diantaranya: Tahiriyyah di Khurasan, Safariyyah di Fars, Sajiyyah di Azerbaijan, Buwaihilah (bahkan sampai menguasai Baghdad), Tuluniyyah di Mesir, Ghaznawiyah di Afghanistan dan lain sebagainya.[73]

d.      Kemerosotan ekonomi akibat kemunduran politik.[74] Hal ini disebabkan semakin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan, diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak, antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah, jenis pengeluaran semakin beragam dan para pejabat melakukan korupsi.[75]

 

2.      Faktor Eksternal

Selain faktor internal yang sudah dipaparkan sebelumnya, terdapat faktor eksternal, yaitu yang berasal dari luar kerajaan yang sangat mempengaruhi kehancuran dinasi ‘Abbasiyah, diantaranya:

a. Perang salib yang terjadi antara kaum Muslim dan kafir.[76]Badri Yatim menjelaskan periode perang salib tersebut sebagai berikut:

·  Periode pertama: musim semi tahun 1095 M. Sebanyak 150.000 orang Eropa, sebagian besar besar bangsa Prancis dan Norman berangkat menuju Konstantinopel, kemudian ke Palestina. Mereka berhasil menduduki Bait al-Maqdis pada 15 Juli 1099 M dan mendirikan kerajaan Latin III dengan rajanya Godfrey.

· Periode kedua: Imaduddin Zanki, penguasa Moshul dan Irak berhasil menaklukkan Aleppo, Hamimah dan Edessa dari pasukan salib. Namun ia wafat tahun 1146 M dan digantikan putranya Nuruddin Zanki, ia berhasil merebut Antiochea tahun 1149 M dan seluruh Edessa tahun 1151 M. Pada tahun 1174 M Nuruddin wafat dan digantikan Salahuddin al-Ayyubi. Hasil peperangan Salahuddin yang terbesar adalah merebut kembali Yerussalem tahun 1187 M. Dengan demikian kerajaan latin di Yerussalam yang berlangsung selama 88 tahun berakhir. Pertempuran terus berlanjut sampai akhirnya Salahuddin dan pasukan salib membuat perjanjian pada 2 November 1192 M yang dikenal dengan Sulh al-Ramlah. Dalam perjanjian disebutkan bahwa orang-orang Kristen yang pergi berziarah ke Bait al-Maqdis tidak akan diganggu.

·  Periode ketiga: Tentara salib yang dimpimpin raja Jerman, Frederick II berhasil menduduki Dimyat tahun 1219 M. Lalu khalifah dinasti Ayyubiyah, al-Malik al-Kamil membuat perjanjian dengan Frederick yang isinya Frederick bersedia melepaskan Dimyat, sementara al-Malik al-Kamil melepaskan Palestina. Dalam perkembangan berikutnya Palestina dapat direbut kembali oleh kaum Muslimin tahun 1247 M, di masa pemerintahan al-Malik al-Salih.[77]

b. Hadirnya tentara Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan yang kemudian menguasa kota Baghdad.[78]

 

G.    Kronologi Hancurnya Dinasti ‘Abbasiyah

Kejayaan dinasti ’Abbasiyah yang dianggap sebagai masa keemasan Islam berakhir setelah serbuan bangsa Mongol pada tahun 1258 M. Kota Baghdad sebagai pusat kebudayaan dan peradaban Islam luluh lantak oleh kebengisan tentara Mongol yang dipimpin Hulagu Khan.

1.      Khalifah Yang Lemah

Kehancuran ini sesungguhnya telah dimulai oleh pemerintah ’Abbasiyah sendiri, yang terlalu lemah dalam mengontrol pemerintahannya, yaitu sejak khalifah al-Mutawakkil yang diikuti oleh 27 khalifah berikutnya. Khalifah pada masa itu menjadi alat bagi para menteri yang ambisius dan korup untuk memperkaya diri. Selain itu kondisi ini juga dimanfaatkan oleh gubernur provinsi untuk melepaskan diri. Maka bermunculanlah dinasti-dinasti kecil, diantaranya bani Tulun, bani Ikhsidiyah dan bani Tahir.[79] Yang kalah penting, hal yang menjadikan khalifah semakin lemah karena munculnya berbagai pertikaian yang tak berkesudahan dan persaingan untuk menjadi pewaris tahta yang tidak pernah bisa dipastikan.[80]

 

2.      Konflik Mongol dan Kerajaan Islam

Kondisi dinasti ’Abbasiyah yang sedang lemah dimanfaatkan oleh bangsa Mongol untuk menyerang dan menghancurkan Baghdad. Penyerangan ini sebenarnya adalah puncak dari permusuhan antara bangsa Mongol dan negeri-negeri Islam yang berawal pada tahun 1212 M. Waktu itu ada tiga orang saudagar Bukhara bersama puluhan rombongannya tiba di wilayah Mongol dan menuju ibu kota Karakorum. Para saudagar muslim ini ditangkap orang-orang Mongol, mereka disiksa dan dagangannya dirampas. Setelah peristiwa itu, Jengis Khan (kakek Hulagu Khan) mengirim 50 orang saudagar Mongol untuk membeli barang di Bukhara. Pemimpin Bukhara ketika itu, Gayur Khan, menangkap mereka dan menjatuhkan hukuman mati. Kejadian ini membuat Jengis Khan marah dan merancang penyerbuan terhadap kerjaan Khawarizmi dan negeri-negeri mulsim lainnya di Asia Tengah.[81]

 

3.      Mangu dan Hulagu

Jengis Khan meninggal tahun 1227 M. Dia digantikan puteranya, Ogatai (1229 – 1241 M). Ditangan Ogatai wilayah jajahan Mongol mencapai Sungai Volga dan Polandia. Ketiga itu sebagian besar orang Mongol telah memeluk agama Budha, namun beberapa bangsawan dan istri mereka ada yang memeluk Kristen. Ogatai diganti Kuyuk (1246 – 1249 M). Sepeninggal Kuyuk, kekuasan Mongol dipegang oleh Mangu (1251 – 1264 M). Mangu adalah putra sulung Tulut, yang tak lain adalah adik bungsu Ogatai. Pada masa kepemimpinan Mangu inilah terjadi penyerbuan terhadap Baghdad. Sebab Hulagu menyerang ’Abbasiyah sebagai berikut:

1. Mangu memerintahkan saudaranya, Hulagu untuk memusnahkan istana benteng Alamut – yang membentang sepanjang pegunungan di timur laut Iran dan Afghanistan – dan wilayah yang dikuasai oleh orang-orang Assasin, cabang Shi‘ah Isma‘iliyah (Shi‘ah Imam Tujuh).

2.  Selain itu Hulagu juga menerima pesan khusus dari istrinya, Dokuz Khatun – yang beragama Kristen dan mempunyai hubungan erat dengan pemimpin pasukan salib yang sedang berperang melawan tentara Islam di Yerussalem – agar menyerang Iran dan Irak setelah berhasil menghancurkan benteng Alamut.[82]

 

4.      Hulagu Menyerang Istana Kerajaan ‘Abbasiyah

Menurut Philip K. Hitt Hulagu yang merupakan cucu dari Jengis Khan, bergerak dari Mongol memimpin pasukan berkekuatan besar untuk membasmi kelompok Pembunuh Hasyasyin (Syafi’i Antonio di dalam Ensiklopedinya menggunakan istilah Assasin) dan menyerang kekhalifahan ‘Abbasiyah. Dalam strateginya Hulagu mengundang khalifah al-Musta‘sim untuk bekerjasama menghancurkan kelompok Hasyasyin Ismailiyah, tetapi undangan tersebut tidak mendapat jawaban.[83]

Setelah menghancurkan Istana benteng Alamut serta membinasakan ribuan pengikut Hasyasyin, Hulagu bersama pasukannya bergerak ke arah selatan dan memasuki wilayah al-Jazirah. Di tempat inilah dia beristirahat agak lama untuk mengatur strategi perang. Dia mengirim mata-mata untuk mengamati kekuatan ’Abbasiyah dan pada bulan November 1257 pasukannya tiba di dekat Baghdad. Hulagu mengirim utusan kepada khalifah al-Musta‘sim agar menyerah dan mendesak agar tembok kota sebelah luar diruntuhkan. Tetapi khalifah menolak dan memberi peringatan bahwa mereka akan menghadapi murka Allah I jika tetap menyerang kekhalifahan yang dipimpinnya.[84]

Pada tahun berikutnya tepatnya 13 Februari 1258, Pasukan Mongol mulai memasuki Baghdad. Anak buah Hulagu bergerak dengan efektif meruntuhkan tembok ibu kota. Tak lama kemudian upaya mereka membuahkan hasil dengan runtuhnya salah satu menara benteng.Wazir ‘Abbasiyah  saat itu Ibn al-‘Alqami ditemani seorang katolik Geraja Nestor datang untuk memohon tenggang waktu. Tetapi Hulagu menolaknya. Lalu pasukan Mongol merengsek masuk ke dalam kota. Sang khalifah beserta tiga ratus pejabat dan qadi menyerahkan diri tanpa syarat. Sepuluh hari kemudian mereka semua dibunuh. Kota itu sendiri dijarah dan dibakar. Mayoritas penduduknya, termasuk keluarga khalifah dibantai habis.[85]

Sedangan Syafi’i Antonio dalam Ensiklopedinya menjelaskan dalam versi yang sedikit berbeda, Hulagu membagi pasukannya menjadi dua, satu bagian menyerbu Baghdad dari Barat sungai Tigris dan satu lagi menyerbu dari Timur.[86]Pasukan Muslim jumlahnya sangat sedikit, bahkan ibn Kathir mengatakan kurang dari 10.000 tentara berkuda – dikarenakan perang salib,  sementara  Hulagu datang dengan tentaranya yang berjumlah 200.000 pasukan.[87]Pada awalnya pasukan muslim berhasil memukul mundur serbuan dari Barat, tetapi meraka berhasil dikalahkan di pertempuran berikutnya. Serangan bangsa Mongol akhirnya berhasil menyusup ke garis belakang pasukan muslim dan tanpa ampun membantai mereka dan sebagian mati tenggelam.Khalifah al-Musta‘sim ditangkap dan disuruh melihat raknyatnya yang disembelih di jalan-jalan dan hartanya dirampas. Setelah itu khalifah dibunuh dengan cara dibungkus permadani dan diinjak-injak dengan kuda sampai mati. Semua anaknya dibunuh, kecuali satu yang masih kecil, ia dijadikan budak dan dibawah ke Mongol.[88]

Ibn Kathir mempunyai versi berbeda yang menjelaskan kehancuran dinasti ‘Abbasiyah  di dalam Bidayah wa al-Nihayah:

1.      Bahwa semua ini adalah tipu muslihat dari wazir Ibn al-‘Alqami al-Rafidi. Dimana pada tahun sebelumnya terjadi perang antara sunni dan Shi‘ah Rafidah, sehingga kerabat dekat wazir juga menjadi korban. Dari situlah wazir mulai bersekongkol dengan Tatar dan mengatur siasat. Lalu pulanglah wasir ke kerajaan ‘Abbasiyah dengan mengemban tugas untuk mengatur cara khalifah keluar menemui Hulaku Khan, yaitu dengan berpura-pura mengadakan musalahah. Sehingga sebagian pajak tanah daerah Iraq untuk Hulaku Khan dan sebagiannya lagi untuk khalifah. Maka keluarlah khalifah dengan 700 orang terdiri dari hakim, fuqaha’, orang sufi dan pejabat pemerintahan. Ketika khalifah bersama rombongan sudah mendekati tempat Hulaku Khan, rombongan tersebut dicegah untuk ikut khalifah kecuali 17 orang saja. Khalifah Musta’sim menyetujui hal tersebut. Rombongan yang tidak bersama khalifah dipaksa turun dari tunggangan, lalu dirampok dan dibunuh. Sedangkan khalifah yang bertemu Hulaku Khan dihujani dengan berbagai macam pertanyaan, bentakan dan hinaan. Kembalilah khalifah ke Baghdad untuk menyerahkan harta benda kerajaan, guna musalahah. Wazir dan para petinggi membuat tipu muslihat lagi dengan mengusulkan agar Hulaku tidak melakukan perdamaian dengan Musta’shim, melainkan membunuhnya. Maka sekembalinya khalifah ke tempat Hulaku, ia dibunuh. Ada yang mengatakan bahwa yang mengusulkan membunuh adalah wazir al-‘Alqami dan Nasirudin al-Tusi.[89]

2.      Ibn Alqami ingin bersekongkol menipu khalifah. la mengatakan kepada khalifah, "Saya telah menemui mereka untuk perjanjian damai. Hulagu Khan ingin mengawinkan anak perempuannya dengan Abu Bakr Ibn Mu'tasim, putera khalifah. Dengan demikian, Hulagu Khan akan menjamin posisimu. la tidak menginginkan sesuatu kecuali kepatuhan, sebagaimana kakek-kakekmu terhadap sultan-sultan Seljuk". Khalifah menerima usul itu, la keluar bersama beberapa orang pengikut dengan membawa mutiara, permata dan hadiah-hadiah berharga lainnya untuk diserahkan kepada Hulagu Khan. Keberangkatan khalifah bersama pembesar istana yang terdiri dari ahli fikih dan orang-orang terpandang. Tetapi, sambutan Hulagu Khan sungguh di luar dugaan, apa yang dikatakan wazir-nya tenyata tidak benar. Mereka semua, termasuk wazir sendiri, dibunuh dengan leher dipancung secara bergiliran.[90]

 

Lebih bengis lagi, Hulaku dan pasukannya membunuh lelaki, perempuan, anak-anak, orang tua. Maka orang-orang masuk ke sumur, kebun dan selokan untuk sembunyi. Mereka bersembunyi berhari-hari. Diantara mereka ada yang bersembunyi di ruangan tertutup. Pasukan Tatar pun merusak paksa dengan memukulnya ataupun dengan api. Masuklah pasukan Tatar, sehingga orang-orang kabur ke atap rumah, sampai akhirnya mereka terbunuh disana.[91]

Selama 40 hari mereka membunuh, memperkosa dan membakar apa saja. Mereka menghancurkan rumah-rumah ibadah dan membumihanguskan madrasah, perpustakaan, istana, rumah sakit dan banyak bangunan bersejarah. Perpustakaan Baitul Hikmah yang penuh dengan buku-buku sejarah, kedokteran, astronomi dan lain sebagainya dijarah dan dilempar ke sungai Tigris. Para saksi mata mengatakan bahwa air sungai Tigris berubah menjadi hitam dikarenakan banyaknya buku yang terendam di sungai tersebut.[92]


BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

      1.            Dari gambaran di atas Bani Abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah. Inilah perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani Umayyah. Di samping itu, ada pula ciri-ciri menonjol dinasti Bani Abbas yang tak terdapat pada zaman Bani Umayyah.

      2.            Dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbas menjadi jauh dari pengaruh Arab Islam. Sedangkan dinasti Bani Umayyah sangat berorientasi kepada Arab Islam. Dalam periode pertama dan ketiga pemerintahan Abbasiyah, pengaruh kebudayaan Persia sangat kuat, dan pada periode kedua dan keempat bangsa Turki sangat dominan dalam politik dan pemerintahan dinasti ini.

      3.            Dalam penyelenggaraan negara, pada masa Bani Abbas ada jabatan wazir, yang membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan Bani Umayyah.

      4.            Ketentaraan profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas. Sebelumnya, belum ada tentara khusus yang profesional.

      5.            Daulah ‘Abbasiyah dikenal dengan kerajaan yang mecintai ilmu (terlepas dari ideologinya yang berseberangan dengan sunni). Itulah budaya yang harus kita lestarikan untuk kemajuan Islam dimasa mendatang.


DAFTAR PUSTAKA

Amin, Ahmad, Duha al-Islam, juz 2. Kairo: Maktabah al-Usrah, 1935.

Antonio, Syafi’i dkk., Enslikopedi Peradaban Islam Baghdad,. Jakarta: Tazkia Publishing, 2012.

Armando, Ade, dkk., Ensiklopedi Islam Pelajar. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2005., 1.

‘Asiri (al), Ahmad Ma’mur, Mujaz al-Tarikh al-Islamy. t.t.: t.p., 1996 M / 1417 H.

Athir, Ibn, Al-Kamil fi al-Tarikh,.Beirut: Daral-Kutub al-Islamiyah,1987 M / 1407 H.

Basawi (al), Abu Yusuf Ya’qub ibn Sufyan, Kitab al-Ma’rifah al-Tarikh. Madinah: Maktabah al-Dar, 1410 H.

Hitti, Philip K., History of The Arabs, terj. Cecep Lukman Yasin dkk.. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010.

Hourani, Albert, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, terj. Irfan Abu Bakar. Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2004.

Idri, Hadis dan Politik. Surabaya: CV. Putra Media Nusantara, 2011., 113

Kathir, Ibn, al-Bidayah wa al-Nihayah. Kairo: Dar al-Hadith, 2006 M / 1427 H.

Khalil, Shauqi Abu, Atlasu al-Tarikh al-‘Arabi al-Islamy,. Suriah: Darul Fikr, cetakan 5, 2009 M / 1430 H.

_________, Syauqi Abu, Atlas al-Hadithal-Nabawi. Suriah: Darul Fikr, 2007 M / 1428 H.

Sirjaniy (al), Raghib, Enslikopedi Sejarah Islam, terj. M. Taufik dkk.. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2013.

Warson, Ahmad, Kamus al-Munawwir, Surabaya, Penerbit Pustaka Progressif

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam. Depok: PT. Raja Grafindo Persada, 2013.

Id.wikipedia.org


[1] Khalil, DR. Syauqi Abu, Athlasu al-Tarikh al-‘Arabi al-Islamy, (Suriah: Darul Fikr, cetakan 5, 2009 M / 1430 H),  hal. 169

[2] Syafi’i Antonio dkk.,Ensiklopedi Peradaban Islam Baghdad,(Jakarta: Tazkia Publishing, 2012), 51.

[3] Philip K. Hitti, History of The Arabs, terj. Cecep Lukman Yasin dkk. (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010), 358.

[4] Syafi’i Antonio dkk., Ensiklopedi Peradaban Islam Baghdad, 51

[5] Raghib al-Sirjaniy, Ensiklopedi Sejarah Islam, Terj. M. Taufik dkk.(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2013), 238.

[6] Syafi’i Antonio dkk.,Ensiklopedi Peradaban Islam Baghdad, 53.

[7] Raghib al-Sirjaniy, Ensiklopedi Sejarah Islam, Terj. M. Taufik dkk.(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2013), 238.

[8] Syafi’i Antonio dkk.,Ensiklopedi Peradaban Islam Baghdad, 52. Lihat juga: Ade Armando dkk.,Ensiklopedi Islam Pelajar, jilid 1(Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), 1.

[9] Ade Armando dkk.,Ensiklopedi Islam Pelajar(Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2005), 1.

[10] Syafi’i Antonio dkk.,Ensiklopedi Peradaban Islam Baghdad, 52.

[11] Raghib al-Sirjaniy, Ensiklopedi Sejarah Islam,  242.

[12] Syafi’i Antonio dkk.,Ensiklopedi Peradaban Islam Baghdad, 52.

[13] Raghib al-Sirjaniy, Ensiklopedi Sejarah Islam,  242.

[14] Syafi’i Antonio dkk.,Ensiklopedi Peradaban Islam Baghdad, 54.

[15] Raghib al-Sirjaniy, Ensiklopedi Sejarah Islam,  242.

[16] Syafi’i Antonio dkk.,Ensiklopedi Peradaban Islam Baghdad, 54.

[17] Raghib al-Sirjaniy, Ensiklopedi Sejarah Islam,  242.

[18] Syafi’i Antonio dkk.,Ensiklopedi Peradaban Islam Baghdad, 54.

[19] Raghib al-Sirjaniy, Ensiklopedi Sejarah Islam,  242. Lihat juga: Syafi’i Antonio dkk.,Ensiklopedi Peradaban Islam Baghdad, 54.

[20] Ade Armando dkk.,Ensiklopedi Islam Pelajar, 1. Lihat juga: Syafi’i Antonio dkk.,Ensiklopedi Peradaban Islam Baghdad, 55.

[21]Ibn al-Athir, Al-Kamil fi al-Tarikh, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, cetakan 1, 1987 M / 1407 H), 63.

[22] Raghib al-Sirjaniy, Ensiklopedi Sejarah Islam,  242.

[23] Philip K. Hitti, History of The Arabs, 358.

[24]Ibid., 359.

[25] Syafi’i Antonio dkk.,Ensiklopedi Peradaban Islam Baghdad, 55.

[26] Philip K. Hitti, History of The Arabs, 359.

[27]Albert Hourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, terj. Irfan Abu Bakar(Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2004), 92.

[28] Syafi’i Antonio dkk.,Ensiklopedi Peradaban Islam Baghdad, 55.

[29]Albert Hourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, 92. Lihat juga: Syafi’i Antonio dkk., Ensiklopedi Peradaban Islam Baghdad, 56.

[30]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 51.

[31] Ade Armando dkk.,Ensiklopedi Islam Pelajar, 2.

[32]Albert Hourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, 96.

[33] Ade Armando dkk.,Ensiklopedi Islam Pelajar, 2.

[34] Al-‘Asiri, Ahmad Ma’mur, Mujaz al-Tarikh al-Islamy (cetakan 1996 M / 1417 H), hal. 190

[35]Al-Basawi, Abu Yusuf Ya’qub ibn Sufyan, Kitab al-Ma’rifah al-Tarikh (Madinah: Maktabah al-Dar, 1410 H), jilid 3, hal. 377

[36]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 52.

[37]Syafi’i Antonio dkk., Ensiklopedi Peradaban Islam Baghdad, 56.

[38] Raghib al-Sirjaniy, Ensiklopedi Sejarah Islam, 238.

[39]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Depok: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), 49. Lihat juga: Ade Armando dkk., Ensiklopedi Islam Pelajar, 1.

[40]Syafi’i Antonio dkk., Ensiklopedi Peradaban Islam Baghdad, 57. Lihat juga: Ade Armando dkk., Ensiklopedi Islam Pelajar, 2.

[41] Ade Armando dkk.,Ensiklopedi Islam Pelajar, 2.

[42]Albert Hourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, 97.

[43] Raghib al-Sirjaniy, Ensiklopedi Sejarah Islam, 238.Lihat juga: Ade Armando dkk., Ensiklopedi Islam Pelajar, 1.

[44]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 50.

[45]Syafi’i Antonio dkk., Ensiklopedi Peradaban Islam Baghdad, 57

[46]Albert Hourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, 97.

[47]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 50.

[48] Raghib al-Sirjaniy, Ensiklopedi Sejarah Islam, 238.Lihat juga: Ade Armando dkk., Ensiklopedi Islam Pelajar, 1.

[49]Syafi’i Antonio dkk., Ensiklopedi Peradaban Islam Baghdad, 57. Lihat juga: Ade Armando dkk., Ensiklopedi Islam Pelajar, 3.

[50] Ade Armando dkk.,Ensiklopedi Islam Pelajar, 1. Lihat juga: Raghib al-Sirjaniy, Ensiklopedi Sejarah Islam, 238.

[51]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 50.

[52]Syafi’i Antonio dkk., Ensiklopedi Peradaban Islam Baghdad, 58.

[53]Ade Armando dkk., Ensiklopedi Islam Pelajar, 5.

[54] Raghib al-Sirjaniy, Ensiklopedi Sejarah Islam, 238.

[55]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 50. Lihat juga: Ade Armando dkk., Ensiklopedi Islam Pelajar, 1.

[56]Syafi’i Antonio dkk., Ensiklopedi Peradaban Islam Baghdad, 58. Lihat juga: Ade Armando dkk., Ensiklopedi Islam Pelajar, 5.

[57]Albert Hourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, 95.

[58]Albert Hourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, 96.

[59]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 51.

[60]Ibid., 52.

[61]Ibid. 52.

[62]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 53.

[63]AhmadAmin, Duha al-Islam, juz 2(Kairo: Maktabah al-Usrah, 1935), 69.

[64]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 56.

[65]Idri, Hadis dan Politik (Surabaya: CV. Putra Media Nusantara, 2011), 113. Lihat juga: Khalil, Shauqi Abu, Atlas al-Hadits al-Nabawi (Suriah: Darul Fikr, 2007 M / 1428 H), hal. 11

[66]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 57.

[67]Ibid., 58.

[68]Ade Armando dkk., Ensiklopedi Islam Pelajar, 5.

[69]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Depok: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), 67.

[70]Ade Armando dkk., Ensiklopedi Islam Pelajar, 5.

[71]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 84.

[72]Ade Armando dkk., Ensiklopedi Islam Pelajar, 5.

[73]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Depok: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), 65.

[74]Ade Armando dkk., Ensiklopedi Islam Pelajar, 5.

[75]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 82.

[76]Ade Armando dkk., Ensiklopedi Islam Pelajar, 5.

[77]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 77.

[78]Ade Armando dkk., Ensiklopedi Islam Pelajar, 5.

[79]Syafi’i Antonio dkk., Ensiklopedi Peradaban Islam Baghdad, 230.

[80]Philip K. Hitti, History of The Arabs, 618.

[81]Syafi’i Antonio dkk., Ensiklopedi Peradaban Islam Baghdad, 230.

[82]Syafi’i Antonio dkk., Ensiklopedi Peradaban Islam Baghdad, 231.

[83]Philip K. Hitti, History of The Arabs, 619.

[84]Syafi’i Antonio dkk., Ensiklopedi Peradaban Islam Baghdad, 232.

[85]Philip K. Hitti, History of The Arabs, 620.

[86]Syafi’i Antonio dkk., Ensiklopedi Peradaban Islam Baghdad, 233.

[87]Ibn Kathir, al-Bidayah wa al-Nihayah, jilid 13 (Kairo: Darul Hadits, 2006 M / 1427 H), 180.

[88]Syafi’i Antonio dkk., Ensiklopedi Peradaban Islam Baghdad, 233.

[89]Ibn Kathir, al-Bidayah wa al-Nihayah, jilid 13, 180

[90]Ibid., 179.

[91]Ibid., 179.

[92]Syafi’i Antonio dkk., Ensiklopedi Peradaban Islam Baghdad, 233.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...