BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Dinasti
‘Abbasiyah telah meletakkan tinta emas dalam sejarah umat Islam. Dengan
berbagai kekurangan yang dimiliki dinasti ini, kekhalifahan ‘Abbasiyah
mempunyai peran sangat vital dalam perkembangan berbagai macam bidang ilmu pada
masa tersebut.
Umat
Muslim dari dulu sampai sekarang pasti akan sangat kenal bangga dengan khalifah
‘Abbasiyah yang memimpin kejayaan umat Islam waktu itu, yaitu Harun al-Rasyid
dan putranya al-Ma’mun. kerajaan yang mempunyai daerah kekuasaan yang sangat
luas dari timur sampai barat, perpustakaan yang sangat besar, lembaga
pendidikan yang sangat terorganisir dan keilmuan yang dijadikan rujukan oleh
seluruh dunia.
Berawal
dari pengambilan kekuasaan dari dinasti Umayyah, dinasti ‘Abbasiyah mengalami
kisah serupa, bahkan lebih tragis ketika pasukan Tatar yang dipimpin Hulaku
Khan membumi hanguskan kerajaan ini.
Konflik
internal yang kompleks, ditambah perang suci atau yang biasa dikenal dengan
perang salib menjadikan dinasti ‘Abbasiyah porak-poranda. Pastinya hal tersebut
sangat menarik untuk kita kaji lebih dalam.
B. RUMUSAN
MASALAH
1.
Pendiri dinasti
‘Abbasiyah
2.
Kehidupan
masyarakat pada dinasti ‘Abbasiyah
3.
Kemajuan ilmu
pengetahuan
4.
Sebab
kemunduran pemerintah dinasti ‘Abbasiyah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendirian
Dinasti Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah merupakan kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di Baghdad (sekarang ibu kota Iraq). Kekhalifahan ini berkuasa setelah merebutnya dari Bani Umayyah dan menundukkan semua wilayahnya kecuali Andalusia.
Bani Abbasiyah
dinisbatkan kepada paman Rasulullah, yaitu ‘Abbasibn ‘Abdul Muttalib ibn Hashim
ibn ‘Abd Manaf (15 SH – 32 H / 573 M – 653 M).[1]pendiri dinasi ‘Abbasiyah
adalah ’Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn ‘Ali ibn ’Abdullah ibn ‘Abbas
ibn ’Abdul Muttalib. Ia lebih dikenal dengan Abu al-’Abbasal-Saffah.[2]
Untuk julukan al-Saffah, merupakan klaim dari ’Abdullah ibn Muhammad sendiri, yaitu ketika khutbah penobatannya pada salah satu masjid di Kufah, Iraq. al-Saffah yang berarti adalah penumpah darah. Kemudian julukan ini akhirnya sangat melekat kepadanya.[3]
Dinasti ‘Abbasiyah
berdiri pada tahun 132 H / 750 M, dan Abu al-’Abbasal-Saffah adalah khalifah
pertamanya. Dinasti ini berlangsung sekitar lima abad, yaitu 132 – 656 H /
750 – 1258 M. pada masa dinasti ‘Abbasiyah inilah Islam mencapai puncak
kejayaannya dan Baghdad sebagai pusat peradabannya.[4]
1. Propaganda Dinasti ’Abbasiyah
Menurut
Raghib al-Sirjaniy asal mula dinasti ‘Abbasiyah adalah sebuah propaganda yang
dihembuskan ’Abdullah ibn Muhammad. Mulanya Bani Umayyah menghormati keluarga
Ali. Hanya saja beberapa penguasa Bani Umayyah memperlakukan keluarga Ali
dengan buruk. salah satunya al-Walid yang mengisolasi ‘Ali ibn ’Abdillah ibn ‘Abbas
di al-Humaimah (wilayah di Yordania).[5]
Al-Humaimah
merupakan kota yang tenang, di kota ini bermukim bani Hashim, baik dari
kalangan pendukung ‘Ali ibn Abi Talib
maupun pendukung bani ‘Abbas. Dari keterangan yang dipaparkan Syafi’i Antonio
di dalam Ensiklopedinya, penulis mengambil kesimpulan bahwa antara pendukung ‘Ali
bin AbiTalib
dan pendukung bani ‘Abbas adalah kelompok yang berbeda, meskipun mempunyai
ideologi yang sama yaitu Shi‘ah.[6]
Suatu
ketika ’Abdullah ibn Muhammad atau yang dikenal dengan Abul Hashim (sepupu ‘Ali
ibn ’Abdillah) pernah melakukan kunjungan ke Khalifah Sulaiman ibn ’Abdil
Malik, khalifah pun menyambutnya dengan penuh penghormatan. Pasca kunjungan
tersebut, Abdul Hashim jatuh sakit dan merasa ajalnya hampir tiba, menebar isu
bahwa khalifah Sulaiman telah meracuninya. Diinformasikanlah isu tersebut ke
Muhammad ibn ‘Ali ibn ’Abdillah ibn ‘Abbas dan memohon agar melancarkan balas
dendam kepada Bani Umayyah. Muhammad ibn ‘Ali yang ambisius pun termakan dengan
isu tersebut dan memimpin pemberontakan kepada Bani Umayyah. Peristiwa ini
terjadi pada tahun 99 H.[7]
Sedangkan
dijelaskan di dalam “Enslikopedi Peradaban Islam” karya Syafi’i Antonio dkk.
bahwa awal berdirinya dinasti ‘Abbasiyah adalah sebuah doktrin yang
dikumandangkan oleh Bani Hashim sepeninggal Rasulullah, bahwa yang berhak
berkuasa adalah keturunan Nabi
Muhammad .
Pemikiran ini sebenarnya tidak terlalu terlihat pada era khulafa rashidin.
Tetapi pada era kepemimpinan Umar ibn ’Abdul ’Aziz, propaganda ini mulai menguat,
karena pada masa terebut pemerintah tidak memusuhi bani Hashim, serta kehidupan
negara yang aman dan tentram sehingga memberikan kesempatan pada gerakan bani ‘Abbas
untuk menyusun rencana menggulingkan kekuasaan. Propaganda itupun ibarat bom
waktu, pada era ke khalifahan setelahnya semakin membesar dan timbullah
pemberontakan.[8]
Gerakan
perlawanan ini awalnya dipimpin oleh ‘Ali ibn ’Abdullah ibn ‘Abbas. lalu
dilanjutkan anaknya Muhammad ibn ‘Ali. Sepeninggal Muhammad, Ibrahim (anaknya)
memimpin gerakan perlawanan dengan bantuan Abu Muslim al-Khurasaniy.[9]
2. Strategi Penggulingan Dinasti Umayyah
Pada
awalnya propaganda bani ‘Abbas hanya berpusat di Humaimah, lalu pada masa
kepemimpinan Muhammad ibn ‘Ali propaganda berhasil
disebarkan ke berbagai kota, yaitu Kufah dan Khurasan. Oleh karenanya tiga kota
tersebut menjadi poros utama kekuatan bani ‘Abbas. Kufah, karena letaknya yang
strategis berfungsi sebagai kota
penghubung. Di kota ini tinggal para penganut Shi‘ah, yang selalu bergolak dan
menjadi korban penindasan dinasti Umayyah. Adapun Khurasan berfungsi sebagai
pusat gerakan praktis dan pembinaan pasukan. Karena Khurasan memiliki warga
yang pemberani dan kuat secara fisik, teguh pendirian, tidak mudah terpengaruh
nafsu dan tidak mudah bingung terhadap kepercayaan yang menyimpang. Untuk
menyukseskan rencananya, Muhammad ibn ‘Ali
dibantu oleh 150 juru da’wah yang dipimpin oleh 12 orang terdekat. Dan salah
satu panglima perangnya yang berasal dari Khurasan, yaitu Abu Muslim
al-Khurasani.[10]
Di
Khurasan Abu Muslim dapat mengalahkan kekuatan Nasar ibn Siyar dari Dinasti ‘Abbasiyah.
Abu Muslim menerapkan trik halus untuk menguasai keadaan, ia mengirimkan surat
kepada Arab Yamaniyah bergabung dengannya. Demikian juga kepada Arab Mudariyah.
Akhirnya seluruh Khurasan tunduk kepada Abu Muslim.[11]
Muhammad
ibn ‘Ali
meninggal tahun 125 H / 742 M. Kepemimpinan bani ‘Abbas kemudian dipegang oleh
anaknya, Ibrahim ibn Muhammad atau lebih dikenal dengan Ibrahim al-Imam. Pada
masa kepemimpinannya, propaganda bani ‘Abbas dilakukan cukup matang dan
dilakukan di bawah tanah. Namun pada akhirnya gerakan ini diketahui oleh khalifah
terakhir dinasti Umayyah, Marwa ibn Muhammad.[12]
Suasana
semakin tegang saat Marwan ibn Muhammad mengirim utusan untuk menahan Ibrahim
ibn Muhammad di al-Humaimah, Damaskus.[13]Tahun 132 Ibrahim ibn
Muhammad wafat di penjara Marwan ibn Muhammad. Sedangkan dalam Ensiklopedi Syafi’i
Antonia disebutkan bahwa Ibrahim ibn Muhammad meninggal karena dieksekusi mati.[14]
Sebelum
dieksekusi ia berpesan agar adiknya ‘Abdullah ibn Muhammad (al-Saffah)
menggantikannya sebagai pemimpin.[15] Abu ‘Abbas al-Saffah
segera pindah ke Kufah bersama para pembesar bani ‘Abbas yan lain, seperti Abu
Ja’far, ‘Isa ibn Musa dan ‘Abdullah ibn ‘Ali.
Sedangkan kepemimpinan di Humaimah diserahkan kepada Abu Salamah. Pada tahun
132 H, pasukan bani ‘Abbas berhasil mengalahkan Yazid ibn ‘Umar
ibn Hubairah, penguasa Umayyah di Kufah. Khurasan pun berhasil ditaklukkan oleh
pasukan bani ‘Abbas dari tangan Umayyah.[16]
3. Kekalahan Khalifah Terakhir Bani Umayyah, Marwan ibn Muhammad
Abu
al-’Abbas al-Saffah pun mempimpin peperangan melawan Umayyah di Zab Hulu
(sebuah anak sungai Tigris, di sebelah timur Mosul, Irak). Pihak ‘Abbasiyah
berhasil memenangkan perang tersebut dan terus menuju Sham (Suriah).[17] Sedangkan menurut versi Syafi’i
Antonio di dalam Ensiklopedi peradaban Islam Baghdad, yaitu ketika Khalifah
bani Umayyah yang terakhir, Marwan ibn Muhammad bersama pasukannya memutuskan
untuk melarikan diri, al-Saffah memerintahkan pamannya, ‘Abdullah ibn ‘Ali
untuk mengejar khalifah Umayyah hingga sampai di dataran rendah sungai
Zab. Kedua pasukan akhirnya bertempur dan kemenangan berada di tangan bani
‘Abbas. pengejaran kemudian dilanjutkan ke Mosu, Haran dan menyeberangi sungai
Eufrat sampai ke Damaskus (Suriah).[18]
Dari
sana, kota demi kota kemudian dapat mereka kuasai. Sementara pengejaran
terhadap khalifah Marwan terus dilakukan hingga Fustat, Mesir. Khalifah
Marwan akhirnya terbunuh di Busir, wilayah Fayyum pada 132 H / 750 M oleh
pasukan yang dipimpin Salih ibn ‘Ali,
paman al-Saffah.[19]
Selanjutnya
Abu al-’Abbas naik takhta menjadi khalifah pertama ‘Abbasiyah pada tahun
750 M, dengan Kufah sebagai ibu kotanya.[20]Ibn al-Athir mengatakan bahwa ia dibaiat pada bulan Rabi’
al-Awwal, tetapi ada juga yang mengatakan pada bulan Rabi‘ al-Akhir, atau Jumad
al-Ula.[21]Pada
tahun yang sama (tahun 132 H), Abu Muslim memperoleh kemenangan melawan
kekuatan Umayyah di Iraq, lalu ia bergerak ke arah Kufah sembari
mengkampanyekan Bani ‘Abbas.[22]
Ketika berhasil merebut kekuasaan, orang ‘Abbasiyah
mengklaim dirinya sebagai pengusung konsep sejati kekhalifahan, yaitu
gagasan negara teokrasi, yang
menggantikan pemerintahan sekuler (mulk) Dinasti Umayyah. Sebagai
ciri khas keagamaan dalam istana kerajaannya, dalam berbagai kesempatan seremonial,
seperti ketika dinobatkan sebagai khalifah. Begitu juga pada saat shalat
Jum‘at, khalifah mengenakan jubah (burdah).[23]
Sejak
awal, dibangun gagasan bahwa kekuasaan selamanya harus dipegang oleh orang ‘Abbasiyah,
hingga akhirnya diserahkan kepada ‘Isa, sang juru selamat. bahkan belakangan
dikembangkan sebuah teori bahwa jika kekhalifahan ini runtuh, seluruh
dunia akan kacau.[24]
Seluruh
anggota keluarga bani ‘Abbas dan pemimpin Islam menyatakan setia kepada Abu
al-‘Abbas al-Saffah. al-Saffah kemudian pindah ke Anbar, sebelah
barat sungai Eufrat, dekat Baghdad. sebagian besar masa kepemimpinannya
digunakan untuk memerangi para pemimpin Arab yang membantu bani Umayyah. Dia
menghancurkan keluarga bani Umayyah dan pendukungnya, kecuali ’Abdurrahman
yang berhasil melarikan diri ke Andalusia, Spanyol dan mendirikan dinasti
Umayyah disana.[25]
Tetapi
sayang kekhalifahan yang baru ini tidak diakui oleh sebagian daerah,
seperti: Spanyol, Afrika Utara, Oman, Sind dan bahkan Khurasan. pengakuran
mesir hanyalah formalitas. Wasir, ibukota Dinasti Umayyah di Iraq, tetap tidak
mau mengakui pemerintah selama sebelas bulan.[26] Dijelaskan oleh Albert Hourani bahwa tidak mudah untuk
menguasai Maroko. Selain itu negeri ini pun dianggap tidak terlampau penting.
Oleh karenanya bani ‘Abbas tidak meluaskan daerah kekuasannya sampai kesana.[27]
4. Abu al-‘Abbas al-Saffah Meninggal
Kepempipinan
Abu al-‘Abbas al-Saffah tidak berlangsung lama, hanya bertahan selama 4
tahun 9 bulan. Dia meninggal pada tahun 136 H di Anbar pada usia tidak lebih
dari 33 tahun, bahkan ada yang mengatakan 29 tahun. Meskipun dalam sejarahnya al-Saffah
merupakan khalifah pertama dinasti ’Abbasiyah, tetapi tidak bisa
dipungkiri sebagian sejarawan mengatakan bahwa Abu Ja‘far al-Mansur sebagai
pembangun sejati dinasti ’Abbasiyah.[28]
B.
Khalifah pasca Abu al-‘Abbas al-Saffah
1. Abu Ja‘far al-Mansur,
Khalifah Kedua Bani ‘Abbas
Sepeninggal al-Saffah,
kekuasaan tertinggi dinasti ’Abbasiyah dipegang oleh Abu Ja‘far al-Mansur. Khalifah
yang bari ini mendapat perlawanan dari sisa-sisa kekuatan bani Umayyah, kaum
Khawarij dan kelompok Shi‘ah – yang merasa dikucilkan. Demi mengamankan
kekuasannya, tokoh-tokoh besar yang sezaman dengannya – yang mungkin akan
menjadi pesaingnya – satu persatu mulai
disingkirkan dengan berbagai cara. ‘Abdullah ibn ‘Ali dan
Salih ibn ‘Ali - keduanya adalah pamannya sendiri –yang
masing-masing telah ditunjuk sebagai gubernur Suriah dan Mesir oleh al-Saffah,
dibunuh oleh Abu Muslim al-Khurasani, karena tidak bersedia membaiat al-Mansur.
Abu Muslim sendiri, karena dianggap membahayakan oleh al-Mansur, akhirnya
dihukum mati pada tahun 755 M.[29]
Pada mulanya, ibu kota negara
adalah al-Hashimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga
stabilitas negara al-Mansur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru
dibangunnya, Baghdad – dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon – tahun 762. Di
ibu kota yang baru ini al-Mansur melakukan konsolidasi dan peneriban
pemerintahannya. Diantaranya:
a. Dia
mengangkat sejumlah personal untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan
yudikatif.
b. Menciptakan tradisi
baru dengan mengankat wazir sebagai koordinator departemen, wazir
pertama yang diangkat adalah Khalid ibn Barmak, dari Balkh, Persia.
c. Membentuk lembaga
protokol negara, sekretaris negara dan kepolisian negara.
d. Menunjuk Muhammad ibn Abd
al-Rahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara
e. Jawatan pos yang
sudah ada sejak dinasti Umayyah ditingkatkan peranannya, yang dulu hanya sekedar
mengantar surat, pada masa ini juga ditugaskan untuk menghimpun seluruh
informasi di daerah-daerah, sehingga administrasi negara berjalan lancar.
Selain itu direktur jawatan pos juga bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.[30]
2.
Masa kejayaan Islam khalifah Harun
al-Rashid dan Al-Ma’mun
Kejayaan ‘Abbasiyah mencapai puncaknya pada masa khalifah Harun
al-Rashid dan al-Ma’mun. Pada masa Harun al-Rashid kesejahteraan sosial,
kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan dan kesusastraan berada
pada zaman keemasannya. Pada masa inilah Islam menjadi negara terkuat dan tak
tertandingi.[31]
Sepeninggal al-Rashid terjadi perang saudara antara kedua putranya, al-Amin dan
al-Ma’mun. Amin dinyatakan sebagai khalifah dan tentara Baghdad bertempur
untuknya, tetapi ia akhirnya kalah.[32]Akhirnya
al-Ma’mun menjadi khalifah dinasti ‘Abbasiyah, dan para masa inilah gerakan
intelektual dan ilmu pengetahun sangat menonjol, dengan didirikannya Baitul
Hikmah, sehingga Baghdad menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.[33]
Tetapi disisi lain pemerintahan ini juga tak segan untuk
menindak ideologi masyarakat yang tidak sejalan dengan pemerintah. Sebagaimana
ketika masa kekhalifahan al-Ma’mun yang membawa paham Mu‘tazilah
dengan mengatakan bahwa al-Qur’an itu makhluk. Ahmad ibn Hanbal pun tak lepas
dari hukuman pemerintah pada waktu itu dengan dijadikan tahanan rumah.[34]
أبا هاشم زياد بن أيوب قال قلت لأبي عبد الله أحمد بن حنبل يا أبا عبد الله رجل قال القرآن مخلوق فقلت له يا كافر
Diriwayatkan oleh Abu Hasyim ibn Ziyad ibn Ayyub: Aku berkata kepada Abu ‘Abdullah Ahmad ibn hanbal: ‘Wahai Abu ‘Abdullah (apabila ada) orang berkata Al-Qur’an Makhluk’, maka aku (Imam Ahmad) berkata: ‘Ya Kafir’[35]
Secara umum dasar-dasar pemerintahan dinasti ‘Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu al-‘Abbas al-Saffah dan Abu Ja‘far al-Mansur. Tetapi puncak keemasan dinasti itu berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu al-Mahdi (775 – 785 M), al-Hadi (785 – 785 M), Harun al-Rashid (786 – 809 M), al-Ma’mun (813 – 833 M), al-Mu‘tasim (833 – 842 M), al-Wathiq (842 – 847) dan al-Mutawakkil (847 – 861 M).[36]
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN
- KHULAFAUR RASYIDIN
- PERADABAN ISLAM PADA MASA DINASTI UMAYYAH
- DINASTI ABBASIYAH
- ISLAM DI SPANYOL
- DINASTI FATIMIYAH
- TURKI UTSMANI
- DINASTI SAFAWI DI PERSIA
- DINASTI MUGHAL
- ERA PENJAJAHAN DUNIA ISLAM
- ISLAM DI INDONESIA
C.
Periode
Pemerintahan Dinasti ’Abbasiyah
Selama masa kekuasaan dinasti ’Abbasiyah yang begitu panjang, sistem
pemerintahan yang diterapkan tidaklah tunggal, tetapi disesuaikan dengan
perubahan politik, sosial dan budaya. Pergantian khalifah juga bisa
menimbulkan perubahan sistem pemerintahan.[37]
Syafi’i Antonio dalam Ensiklopedinya membagia
periode dinasti ’Abbasiyah sebagai berikut:
1. Dari
pemerintahan Abu al-‘Abbas al-Saffah sampai meninggalnya khalifah al-Wathiq (132 – 232 H / 750 – 847 M). Raghib al-Sirjani dalam
Ensiklopedinya mengistilahkan periode penghimpunan kekuatan.[38]
Sedangkan Badri Yatim dan Ade Armando lebih cenderung mengistilahkan periode
ini dengan era pengaruh Persia, [39]
karena dinasti ’Abbasiyah mengalami banyak kemajuan dan mencapai masa keemasan.
Hal ini disebabkan adanya asimilasi unsur-unsur non-Arab (terutama bangsa
Persia) ke dalam pemerintahan yang lebih berorientasi pada pembangunan
peradaban daripada perluasan wilayah.[40]Masuknya
keluarga non-Arab ke dalam pemerintahan merupakan unsur pembeda antara dinasti
‘Abbasiyah dan Umayyah yang berorientasi
ke Arab. Namun saat kekuasaan khalifah al-Mu‘tasim, orang-orang Turki yang
diberi kesempatan dalam pemerintahan dan ketentaraan mulai mencoba mendominasi
dan mempengaruhi kebijakan khalifah. Sedangkan pada periode setelahnya, yaitu
pada masa khalifah al-Wathiq pusat pemerintahan dipindah dari Baghad ke Samarra
– yang terletak agak jauh ke utara di dekat sungai Tigris.[41]
Tetapi Hourani berpendapat bahwa yang memindahkan ibu kota Baghdad ke Samarra
adalah al-Mu‘tasim (833 – 842 M), hal ini bertujuan untuk mengurangi dominasi
tentara Turki dalam pemerintahan. Tahta pemerintahan tetap berada disana selama
setengah abad. Meskipun telah terbebas dari tekanan para penduduk, khalifahtetap
jatuh di bawah pengaruh para komandan prajurit Turki, yang kemudian mendominasi
pemerintahannya. Pada masa ini juga para gubernur provinsi menjadi independen.[42]
2. Masa
pemerintahan khalifah al-Mutawakkil sampai berkuasanya bani
Buwaihi di Baghdad (232 – 334 H / 847 – 946 M). Raghib al-Sirjani dan Ade
Armando menamakan periode ini dengan masa kekuatan militer turki[43],
hampir senada Badri Yatim menamakan masa pengaruh Turki pertama.[44]Kepemimpinan
al-Mutawakkil dan para penggantinya sangat lemah, sehingga orang Turki yang
berada dalam unsur militer dapat mengambil alih kekuasaan. Meskipun kemajuan
intelektual dan kebudayaan terus berjalan, tetapi secara politik kekuasaan
’Abbasiyah sudah mundur. Hal ini dikarenakan wilayah kekuasaan yang harus
dikendalikan semakin kecil, komunikasi yang lambat, ketergantungan terhadap
militer yang sangat tinggi, kesulitan keuangan karena beban untuk membiayai
tentara sangat besar dan munculnya beberapa pemberontakan, seperti Zanj (868 –
883 M) dan Qaramitah.[45]
Beberapa tahun kemudian khalifah al-Mu‘tadid kembali memindahkan pemerintahan
ke Baghdad (892 M).[46]
3. Berdirinya
dinasti Buwaihi hingga masuknya bani Seljuk ke Baghdad (334 – 447 H / 946 –
1055 M). Badri Yatim menamakan periode pengaruh
Persia kedua.[47]
Sedangkan Ade Armando di dalam Ensiklopedinya dengan menamakan periode ini masa
kekuasaan dinasti Buwaihi penganut Shi‘ah[48].
Pada periode ini lebih parah, salah satu penyebabnya adalah karena penguasa
dinasti Buwaihi menganut ajaran Shi‘ah. Sedangkan khalifah dianggap sebagai
pegawai pemerintah yang diperintah dan diberi gaji. Selain itu pusat
pemerintahan Islam tidak lagi di Baghdad, tetapi dipindahkan ke Shiraz, tempat ‘Ali ibn Buwaihi berkuasa. Meskipun begitu ilmu pengetahuan mengalami kemajuan
pesat dengan munculnya para pemikir besar seperti al-Farabi, ibn Sina,
al-Biruni dan ibn Miskawaih. Sementara itu bidang ekonomi, pertanian dan
perdagangan terus mengalami kemajuan yang sangat pesat.[49]
4. Berlangsung
selama berkuasanya orang-orang dari bani seljuk (1055 – 1199 M).[50]Sedangkan
Badri yatim menamakan periode ini dengan masa pengaruh Turki kedua.[51]Bani
Seljuk berhasil melumpuhkan bani Buwaihi. Pada periode ini kewibaan khalifah sedikit
ada peningkatan, khususnya di bidang agama, setelah beberapa lama dikuasai
orang-orang Shi‘ah.[52]Kekuasaan
Seljuk kemudian melemah setelah adanya konflik-konflik internal, sementara
kekuasaan khalifah mulai kuat kembali, terutama di dalam negeri Irak.[53]
5. Sejak
melemahnya kekuasaan bani Seljuk hingga jatuhnya Baghdad ke tangan Hulagu Khan
dari Mongol (1199 – 1258 M). Raghib
al-Sirjani menyebutkan bahwa pada periode
ini dinasti ’Abbasiyah pindah ke Mesir.[54]Pada
periode ini dinasti ’Abbasiyah tidak lagi di bawah kekuasaan bani tertentu.[55]
Kekuasaan khalifah kembali menguat, tetapi hanya di sekitar Baghdad. Kekuasaan
dinasti ’Abbasiyah akhirnya benar-benar berakhir setelah Mongol menghancurkan
Baghdad tanpa perlawanan berarti.[56]
D.
Sistem
Pemerintahan Dinasti ‘Abbasiyah
Administrasi pemerintahan dibagi menjadi sejumlah
kantor (diwan), pembagian ini banyak ditiru oleh dinasti-dinasti lain.
Sebagai contoh diwan untuk urusan militer, seseorang ada yang ditugaskan
untuk mengarsipkan surat-surat dan dokumen dalam sebuah tempat khusus. Selain
itu ada seorang bendahara yang memantau dan menjaga catatan-catatan pendapatan
dan pengeluaran. Sebagai pemerintahan hierarki selalu memastikan pejabat yang
tersebar di berbagai wilayah tidak terlampau kuat atau menyalahgunakan kekuasaan
meraka. Selain itu sistem inteligen berguna untuk memperoleh informasi tentang
apa yang sedang terjadi di provinsi-provinsi.[57]
Pada dinasti ini juga sudah dikenal sistem
perpajakan. Pajak pada dinasti ‘Abbasiyah
dibagi menjadi dua:
1. Pajak
atas tanah atau hasilnya (kharaj). Ada perbedaan antara jumlah dan jenis
pajak yang dibayarkan oleh para pemilik tanah Muslim dan non-Muslim.
2. Pajak
pungutan yang ditarik dari non-Muslim yang secara umum berbeda menurut kekayaan
yang dimilikinya (jizyah).
Selain itu juga dikenal bea cukai, yaitu iuran yang
diambil dari barang-barang impor ataupun ekspor.[58]
E. Kemajuan Dinasti ‘Abbasiyah
1. Kemajuan Sosial
Ekonomi Dan Ilmu Pengetahuan
Pada era al-Mansur mendirikan lembaga eksekutif dan
yudikatif, mengangkat wazir sebagai koordinator departemen, membentuk
lembaga protokol negara, sekretaris negara, kepolisian negara dan meningkatkan
jawatan pos.[59]
Pada masa al-Mahdi pertanian semakin maju, melalui irigasi. Juga
peningkatan hasil tambang seperti perak, emas, tembaga dan besi. Selain itu
Basrah juga menjadi pelabuhan yang penting sebagai tempat transit pedagang dari
wilayah Timur dan Barat.[60]
Pada masa Harun al-Rashid kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu
pengetahuan, kebudayaan dan kesusastraan berada pada zaman keemasannya. Pada
masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Di samping itu,
pemandian-pemandian umum juga dibangun.[61]
Al-Ma’mun, khalifah
setelah Harun al-Rashid yang dikenal cinta ilmu menggalakkan terjemah buku
asing. Untuk menerjemahkan buku-buku
Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut
agama lain yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah. Selain itu tersedianya
fasilitas dan transportasi memudahkan para pencari ilmu dan penulis. Pada masa al-Ma’mun
inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Dan salah
satu karyanya yang fenomenal adalah Bait al-Hikmah, yaitu pusat
penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang
besar.[62]
Namun Ahmad Amin
mengatakan bahwa sebenarnya Bait al-Hikmah sudah ada sejak zaman Harun al-Rashid.
Ia sudah memprakarsai sebelumnya, lalu al-Ma’mun mengembangkannya. Hal tersebut
berdasarkan perkataan ibn al-Nadim bahwa Abu Sahl al-Fadl ibn Nubkhat dulu di Bait
al-Hikmah kepunyaan Harun al-Rashid.[63]
2.
Ulama Yang Hidup Pada Masa Dinasti ‘Abbasiyah
Imam-imam mazhab hidup
pada pemerintahan ‘Abbasiyah pertama. Imam Abu Hanifah dalam pendapat hukumnya
dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di Kufah. Karena itu, madhhab ini lebih
banyak menggunakan pemikiran rasional daripada hadis. Berbeda dengan Abu Hanifah, Imam Malik – yang hidup pada masa dinasti ‘Abbasiyah – banyak
menggunakan hadis karena berada di Madinah. Pendapat kedua imam tersebut
ditengahi oleh Imam Shafi’i dan Imam Ahmad ibn Hanbal.[64]
Pada awal masa pemerintahan bani ‘Abbasiyah hadis mengalami masa seleksi ketat. Masa
ini dimulai sekitar akhir abad II ketika pemerintahan dipegang al-Ma’mun sampai masa al-Muqtadir. Para ulama hadis pun bermunculan seperti
Muhammad ibn Isma‘il al-Bukhari, Muslim ibn Hajjaj, ibn Majah, Abu Dawud,
al-Tirmidhi, dan al-Nasa’i.[65]
Aliran-aliran teologi sudah ada pada masa bani Umayyah, seperti Khawarij, Murji’ah dan
Mu‘tazilah. Namun, pemikiran Mu‘tazilah yang lebih kompleks baru dirumuskan
pada masa pemerintahan bani ‘Abbas periode pertama. Tokoh perumus pemikiran Mu‘tazilah
yang terbesar adalah Abu al-Huzail al-Allaf (135 – 235 H / 752 – 849 M) dan
al-Nazzam (185 – 221 H / 801 – 835 M). Ashairah, aliran teologi yang dicetuskan
Abu al-Hasan al-Ash‘ari(873 – 935 M) juga hidup pada dinasti ‘Abbasiyah.[66]
Pengaruh gerakan terjemah juga terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan
umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah.
Dalam bidang astronomi muncullah Al-Fazari, astronom Islam yang pertama kali
menyusun astrolobe dan Al-Fargani, yang dikenal di Barat dengan al-Faragnus.
Dalam bidang kedokteran dikenal al-Razi – tokoh pertama yang membedakan antara
penyakit cacar dan measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku
mengenai kedokteran anak – dan ibn Sina - penemu sistem peredaran darah pada
manusia dan karyanya al-Qanun fi al-Tibb. Di bidang Optika muncul Abu‘Ali al-Hasan ibn al-Haythami – di barat
dikenal dengan Alhazen – ia menemukan
bahwa bendalah yang mengirim cahaya ke mata. Di bidang kimia muncul Jabir ibn
Hayyan, ia berpendapat bahwa logam seperti timah, besi dan tembaga bisa diubah
menjadi emas atau perak dengan mencampurkan suatu zat tertentu. Di bidang
Matematika muncul Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, penemu Aljabar. Dalam
bidang sejarah dikenal al-Mas‘udi. Dalam filsafat dikenal al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rushd (dikenal di Barat dengan Averroes).[67]
F.
Kehancuran
Dinasti ’Abbasiyah
Pada hakekatnya kehancuran dinasti ‘Abbasiyah bisa dibagi menjadi dua faktor, yaitu faktor
internal dan eksternal. Berikut penjelasannya.
1. Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor
penyebab kehancuran dinasti ‘Abbasiyah
yang muncul dari dalam (intern), diantaranya:
a. Adanya
persaingan tidak sehat antara beberapa bangsa yang terhimpun di dalamnya,
terutama Arab, Persia dan Turki.[68]
Pada awalnya dinasti ‘Abbasiyah dipimpin
oleh bangsa Arab. Namun para periode kedua, kekuasaan tersebut diambil oleh
orang-orang Turki. Di tangan mereka khalifah bagaikan boneka yang tidak bisa
berbuat apa-apa. Bahkan merekalah yang memilih dan menjatuhkan khalifah sesuai
dengan keinginan politik mereka. Sedangkan para periode ketiga kekuasaan
dipegang oleh bani Buwaih yang notabennya adalah bangsa Persia. Kemudian
dikuasai oleh Seljuk yang merupakan bangsa Turki.[69]
b. Adanya
konflik aliran pemikiran Islam yang sering menyebabkan pertumpahan darah.[70]Konflik
yang dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara Muslim dan
zindiq atau Ahlussunnah dan Shi‘ah saja, tetapi juga antara aliran dalam Islam,
yaitu Mu’tazilah.[71]
c. Munculnya
dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan dari dari kekuasaan pusat di Baghdad.[72]
Benih-benih ini sebenarnya muncul sejak awal berdirinya dinasti ‘Abbasiyah.
Kekuasaan dinasti ini tidak pernah diakui di Spanyol dan seluruh Afrika Utara,
kecuali Mesir – meskipun hanya formalitas. Secara riil, daerah-daerah itu
berada di bawah kekuasaan gubernur-gubernur provinsi bersangkutan. Hubungannya
dengan ‘Abbasiyah ditandai dengan
pembayaran upeti. Ada kemungkinan ‘Abbasiyah
sudah cukup puas dengan pengakuan dan pembayaran upeti tersebut, dengan
dua alasan:
· Mungkin
para khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk kepadanya.
· Penguasa
bani ‘Abbas lebih menitikberatkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada
politik dan ekspansi.
Dari
situ sangatlah mudah bagi provinsi-provinsi untuk memisahkan diri, hingga
lahirlah dinasti-dinasti kecil, diantaranya: Tahiriyyah di Khurasan, Safariyyah
di Fars, Sajiyyah di Azerbaijan, Buwaihilah (bahkan sampai menguasai Baghdad),
Tuluniyyah di Mesir, Ghaznawiyah di Afghanistan dan lain sebagainya.[73]
d.
Kemerosotan
ekonomi akibat kemunduran politik.[74]
Hal ini disebabkan semakin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi
kerusuhan, diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang
memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak,
antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah,
jenis pengeluaran semakin beragam dan para pejabat melakukan korupsi.[75]
2.
Faktor Eksternal
Selain faktor internal yang sudah dipaparkan
sebelumnya, terdapat faktor eksternal, yaitu yang berasal dari luar kerajaan
yang sangat mempengaruhi kehancuran dinasi ‘Abbasiyah, diantaranya:
a. Perang
salib yang terjadi antara kaum Muslim dan kafir.[76]Badri
Yatim menjelaskan periode perang salib tersebut sebagai berikut:
· Periode
pertama: musim semi tahun 1095 M. Sebanyak 150.000 orang Eropa, sebagian besar
besar bangsa Prancis dan Norman berangkat menuju Konstantinopel, kemudian ke
Palestina. Mereka berhasil menduduki Bait al-Maqdis pada 15 Juli 1099 M
dan mendirikan kerajaan Latin III dengan rajanya Godfrey.
· Periode
kedua: Imaduddin Zanki, penguasa Moshul dan Irak berhasil menaklukkan Aleppo,
Hamimah dan Edessa dari pasukan salib. Namun ia wafat tahun 1146 M dan
digantikan putranya Nuruddin Zanki, ia berhasil merebut Antiochea tahun 1149 M
dan seluruh Edessa tahun 1151 M. Pada tahun 1174 M Nuruddin wafat dan
digantikan Salahuddin al-Ayyubi. Hasil peperangan Salahuddin yang terbesar
adalah merebut kembali Yerussalem tahun 1187 M. Dengan demikian kerajaan latin
di Yerussalam yang berlangsung selama 88 tahun berakhir. Pertempuran terus
berlanjut sampai akhirnya Salahuddin dan pasukan salib membuat perjanjian pada
2 November 1192 M yang dikenal dengan Sulh al-Ramlah. Dalam perjanjian
disebutkan bahwa orang-orang Kristen yang pergi berziarah ke Bait al-Maqdis
tidak akan diganggu.
· Periode
ketiga: Tentara salib yang dimpimpin raja Jerman, Frederick II berhasil
menduduki Dimyat tahun 1219 M. Lalu khalifah dinasti Ayyubiyah, al-Malik
al-Kamil membuat perjanjian dengan Frederick yang isinya Frederick bersedia
melepaskan Dimyat, sementara al-Malik al-Kamil melepaskan Palestina. Dalam
perkembangan berikutnya Palestina dapat direbut kembali oleh kaum Muslimin tahun 1247 M, di masa pemerintahan al-Malik
al-Salih.[77]
b. Hadirnya
tentara Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan yang kemudian menguasa kota
Baghdad.[78]
G.
Kronologi
Hancurnya Dinasti ‘Abbasiyah
Kejayaan dinasti ’Abbasiyah yang dianggap sebagai
masa keemasan Islam berakhir setelah serbuan bangsa Mongol pada tahun 1258 M.
Kota Baghdad sebagai pusat kebudayaan dan peradaban Islam luluh lantak oleh
kebengisan tentara Mongol yang dipimpin Hulagu Khan.
1. Khalifah
Yang Lemah
Kehancuran ini sesungguhnya telah
dimulai oleh pemerintah ’Abbasiyah sendiri, yang terlalu lemah dalam mengontrol
pemerintahannya, yaitu sejak khalifah al-Mutawakkil yang diikuti oleh 27 khalifah
berikutnya. Khalifah pada masa itu menjadi alat bagi para menteri yang ambisius
dan korup untuk memperkaya diri. Selain itu kondisi ini juga dimanfaatkan oleh
gubernur provinsi untuk melepaskan diri. Maka bermunculanlah dinasti-dinasti
kecil, diantaranya bani Tulun, bani Ikhsidiyah dan bani Tahir.[79] Yang kalah penting, hal yang menjadikan khalifah semakin lemah karena
munculnya berbagai pertikaian yang tak berkesudahan dan persaingan untuk
menjadi pewaris tahta yang tidak pernah bisa dipastikan.[80]
2.
Konflik Mongol dan Kerajaan Islam
Kondisi dinasti ’Abbasiyah yang
sedang lemah dimanfaatkan oleh bangsa Mongol untuk menyerang dan menghancurkan
Baghdad. Penyerangan ini sebenarnya adalah puncak dari permusuhan antara bangsa
Mongol dan negeri-negeri Islam yang berawal pada tahun 1212 M. Waktu itu ada
tiga orang saudagar Bukhara bersama puluhan rombongannya tiba di wilayah Mongol
dan menuju ibu kota Karakorum. Para saudagar muslim ini ditangkap orang-orang
Mongol, mereka disiksa dan dagangannya dirampas. Setelah peristiwa itu, Jengis
Khan (kakek Hulagu Khan) mengirim 50 orang saudagar Mongol untuk membeli barang
di Bukhara. Pemimpin Bukhara ketika itu, Gayur Khan, menangkap mereka dan
menjatuhkan hukuman mati. Kejadian ini membuat Jengis Khan marah dan merancang
penyerbuan terhadap kerjaan Khawarizmi dan negeri-negeri mulsim lainnya di Asia
Tengah.[81]
3.
Mangu dan Hulagu
Jengis Khan meninggal tahun 1227
M. Dia digantikan puteranya, Ogatai (1229 – 1241 M). Ditangan Ogatai wilayah
jajahan Mongol mencapai Sungai Volga dan Polandia. Ketiga itu sebagian besar
orang Mongol telah memeluk agama Budha, namun beberapa bangsawan dan istri
mereka ada yang memeluk Kristen. Ogatai diganti Kuyuk (1246 – 1249 M).
Sepeninggal Kuyuk, kekuasan Mongol dipegang oleh Mangu (1251 – 1264 M). Mangu
adalah putra sulung Tulut, yang tak lain adalah adik bungsu Ogatai. Pada masa
kepemimpinan Mangu inilah terjadi penyerbuan terhadap Baghdad. Sebab Hulagu
menyerang ’Abbasiyah sebagai berikut:
1. Mangu
memerintahkan saudaranya, Hulagu untuk memusnahkan istana benteng Alamut – yang
membentang sepanjang pegunungan di timur laut Iran dan Afghanistan – dan
wilayah yang dikuasai oleh orang-orang Assasin, cabang Shi‘ah Isma‘iliyah
(Shi‘ah Imam Tujuh).
2. Selain
itu Hulagu juga menerima pesan khusus dari istrinya, Dokuz Khatun – yang
beragama Kristen dan mempunyai hubungan erat dengan pemimpin pasukan salib yang
sedang berperang melawan tentara Islam di Yerussalem – agar menyerang Iran dan
Irak setelah berhasil menghancurkan benteng Alamut.[82]
4.
Hulagu Menyerang Istana Kerajaan ‘Abbasiyah
Menurut Philip K. Hitt Hulagu
yang merupakan cucu dari Jengis Khan, bergerak dari Mongol memimpin pasukan
berkekuatan besar untuk membasmi kelompok Pembunuh Hasyasyin (Syafi’i Antonio
di dalam Ensiklopedinya menggunakan istilah Assasin) dan menyerang kekhalifahan
‘Abbasiyah. Dalam strateginya Hulagu mengundang khalifah al-Musta‘sim untuk
bekerjasama menghancurkan kelompok Hasyasyin Ismailiyah, tetapi undangan
tersebut tidak mendapat jawaban.[83]
Setelah menghancurkan Istana
benteng Alamut serta membinasakan ribuan pengikut Hasyasyin, Hulagu bersama
pasukannya bergerak ke arah selatan dan memasuki wilayah al-Jazirah. Di tempat
inilah dia beristirahat agak lama untuk mengatur strategi perang. Dia mengirim
mata-mata untuk mengamati kekuatan ’Abbasiyah dan pada bulan November 1257
pasukannya tiba di dekat Baghdad. Hulagu mengirim utusan kepada khalifah al-Musta‘sim
agar menyerah dan mendesak agar tembok kota sebelah luar diruntuhkan. Tetapi khalifah
menolak dan memberi peringatan bahwa mereka akan menghadapi murka Allah I jika tetap menyerang kekhalifahan yang
dipimpinnya.[84]
Pada tahun berikutnya tepatnya 13
Februari 1258, Pasukan Mongol mulai memasuki Baghdad. Anak buah Hulagu bergerak
dengan efektif meruntuhkan tembok ibu kota. Tak lama kemudian upaya mereka
membuahkan hasil dengan runtuhnya salah satu menara benteng.Wazir
‘Abbasiyah saat itu Ibn al-‘Alqami
ditemani seorang katolik Geraja Nestor datang untuk memohon tenggang waktu.
Tetapi Hulagu menolaknya. Lalu pasukan Mongol merengsek masuk ke dalam kota.
Sang khalifah beserta tiga ratus pejabat dan qadi menyerahkan diri tanpa syarat. Sepuluh hari kemudian mereka semua dibunuh.
Kota itu sendiri dijarah dan dibakar. Mayoritas penduduknya, termasuk keluarga khalifah
dibantai habis.[85]
Sedangan Syafi’i Antonio dalam
Ensiklopedinya menjelaskan dalam versi yang sedikit berbeda, Hulagu membagi
pasukannya menjadi dua, satu bagian menyerbu Baghdad dari Barat sungai Tigris
dan satu lagi menyerbu dari Timur.[86]Pasukan
Muslim jumlahnya sangat sedikit, bahkan ibn Kathir mengatakan kurang dari
10.000 tentara berkuda – dikarenakan perang salib, sementara
Hulagu datang dengan tentaranya yang berjumlah 200.000 pasukan.[87]Pada
awalnya pasukan muslim berhasil memukul mundur serbuan dari Barat, tetapi
meraka berhasil dikalahkan di pertempuran berikutnya. Serangan bangsa Mongol
akhirnya berhasil menyusup ke garis belakang pasukan muslim dan tanpa ampun
membantai mereka dan sebagian mati tenggelam.Khalifah al-Musta‘sim
ditangkap dan disuruh melihat raknyatnya yang disembelih di jalan-jalan dan
hartanya dirampas. Setelah itu khalifah dibunuh dengan cara dibungkus permadani
dan diinjak-injak dengan kuda sampai mati. Semua anaknya dibunuh, kecuali satu
yang masih kecil, ia dijadikan budak dan dibawah ke Mongol.[88]
Ibn Kathir mempunyai versi
berbeda yang menjelaskan kehancuran dinasti ‘Abbasiyah di dalam Bidayah wa al-Nihayah:
1.
Bahwa
semua ini adalah tipu muslihat dari wazir Ibn al-‘Alqami al-Rafidi.
Dimana pada tahun sebelumnya terjadi perang antara sunni dan Shi‘ah
Rafidah, sehingga kerabat dekat wazir juga menjadi korban. Dari
situlah wazir mulai bersekongkol dengan Tatar dan mengatur siasat. Lalu
pulanglah wasir ke kerajaan ‘Abbasiyah dengan mengemban tugas untuk mengatur
cara khalifah keluar menemui Hulaku Khan, yaitu dengan berpura-pura
mengadakan musalahah. Sehingga sebagian pajak tanah daerah Iraq untuk
Hulaku Khan dan sebagiannya lagi untuk khalifah. Maka keluarlah khalifah dengan
700 orang terdiri dari hakim, fuqaha’, orang sufi dan pejabat pemerintahan.
Ketika khalifah bersama rombongan sudah mendekati tempat
Hulaku Khan, rombongan tersebut dicegah untuk ikut khalifah kecuali 17 orang
saja. Khalifah Musta’sim menyetujui hal tersebut. Rombongan yang tidak
bersama khalifah dipaksa turun dari tunggangan, lalu dirampok dan dibunuh.
Sedangkan khalifah yang bertemu Hulaku Khan dihujani dengan berbagai macam
pertanyaan, bentakan dan hinaan. Kembalilah khalifah ke Baghdad untuk
menyerahkan harta benda kerajaan, guna musalahah. Wazir dan para
petinggi membuat tipu muslihat lagi dengan mengusulkan agar Hulaku tidak
melakukan perdamaian dengan Musta’shim, melainkan membunuhnya. Maka
sekembalinya khalifah ke tempat Hulaku, ia dibunuh. Ada yang mengatakan bahwa
yang mengusulkan membunuh adalah wazir al-‘Alqami dan Nasirudin al-Tusi.[89]
2.
Ibn Alqami ingin bersekongkol menipu khalifah. la
mengatakan kepada khalifah, "Saya telah menemui mereka untuk
perjanjian damai. Hulagu Khan ingin mengawinkan anak
perempuannya dengan Abu Bakr Ibn Mu'tasim, putera khalifah. Dengan demikian,
Hulagu Khan akan menjamin posisimu. la tidak menginginkan sesuatu kecuali
kepatuhan, sebagaimana kakek-kakekmu terhadap sultan-sultan Seljuk". Khalifah
menerima usul itu, la keluar bersama beberapa orang pengikut dengan membawa
mutiara, permata dan hadiah-hadiah berharga lainnya untuk diserahkan kepada
Hulagu Khan.
Keberangkatan
khalifah bersama pembesar
istana yang terdiri dari ahli fikih dan orang-orang terpandang. Tetapi,
sambutan Hulagu Khan sungguh di luar dugaan, apa yang dikatakan wazir-nya tenyata
tidak benar. Mereka semua, termasuk wazir sendiri, dibunuh dengan leher
dipancung secara bergiliran.[90]
Lebih
bengis lagi, Hulaku dan pasukannya membunuh lelaki, perempuan, anak-anak, orang
tua. Maka orang-orang masuk ke sumur, kebun dan selokan untuk sembunyi. Mereka
bersembunyi berhari-hari. Diantara mereka ada yang bersembunyi di ruangan
tertutup. Pasukan Tatar pun merusak paksa dengan memukulnya ataupun dengan api.
Masuklah pasukan Tatar, sehingga orang-orang kabur ke atap rumah, sampai
akhirnya mereka terbunuh disana.[91]
Selama 40 hari mereka membunuh, memperkosa dan membakar apa saja. Mereka menghancurkan rumah-rumah ibadah dan membumihanguskan madrasah, perpustakaan, istana, rumah sakit dan banyak bangunan bersejarah. Perpustakaan Baitul Hikmah yang penuh dengan buku-buku sejarah, kedokteran, astronomi dan lain sebagainya dijarah dan dilempar ke sungai Tigris. Para saksi mata mengatakan bahwa air sungai Tigris berubah menjadi hitam dikarenakan banyaknya buku yang terendam di sungai tersebut.[92]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Dari gambaran
di atas Bani Abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan pembinaan
peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah. Inilah perbedaan
pokok antara Bani Abbas dan Bani Umayyah. Di samping itu, ada pula ciri-ciri
menonjol dinasti Bani Abbas yang tak terdapat pada zaman Bani Umayyah.
2.
Dengan
berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbas menjadi jauh dari
pengaruh Arab Islam. Sedangkan dinasti Bani Umayyah sangat berorientasi kepada
Arab Islam. Dalam periode pertama dan ketiga pemerintahan Abbasiyah, pengaruh
kebudayaan Persia sangat kuat, dan pada periode kedua dan keempat bangsa Turki
sangat dominan dalam politik dan pemerintahan dinasti ini.
3.
Dalam
penyelenggaraan negara, pada masa Bani Abbas ada jabatan wazir, yang membawahi
kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan Bani
Umayyah.
4.
Ketentaraan
profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas. Sebelumnya, belum
ada tentara khusus yang profesional.
5.
Daulah ‘Abbasiyah
dikenal dengan kerajaan yang mecintai ilmu (terlepas dari ideologinya yang
berseberangan dengan sunni). Itulah budaya yang harus kita lestarikan untuk
kemajuan Islam dimasa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Ahmad, Duha al-Islam, juz 2. Kairo: Maktabah
al-Usrah, 1935.
Antonio, Syafi’i dkk., Enslikopedi Peradaban Islam
Baghdad,. Jakarta: Tazkia Publishing, 2012.
Armando, Ade, dkk., Ensiklopedi Islam Pelajar. Jakarta:
PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2005., 1.
‘Asiri (al), Ahmad Ma’mur, Mujaz al-Tarikh
al-Islamy. t.t.: t.p., 1996
M / 1417 H.
Athir, Ibn, Al-Kamil fi al-Tarikh,.Beirut:
Daral-Kutub al-Islamiyah,1987 M / 1407 H.
Basawi (al), Abu Yusuf Ya’qub ibn Sufyan, Kitab
al-Ma’rifah al-Tarikh. Madinah: Maktabah al-Dar, 1410 H.
Hitti, Philip K., History of The Arabs, terj.
Cecep Lukman Yasin dkk.. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010.
Hourani, Albert, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim,
terj. Irfan Abu Bakar. Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2004.
Idri, Hadis dan
Politik. Surabaya: CV. Putra Media Nusantara, 2011., 113
Kathir, Ibn, al-Bidayah wa al-Nihayah.
Kairo: Dar al-Hadith, 2006 M / 1427 H.
Khalil,
Shauqi
Abu, Atlasu al-Tarikh al-‘Arabi al-Islamy,. Suriah: Darul Fikr, cetakan
5, 2009 M / 1430 H.
_________, Syauqi Abu, Atlas al-Hadithal-Nabawi.
Suriah: Darul Fikr, 2007 M / 1428 H.
Sirjaniy (al), Raghib, Enslikopedi Sejarah Islam,
terj. M. Taufik dkk.. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2013.
Warson,
Ahmad, Kamus al-Munawwir, Surabaya, Penerbit Pustaka Progressif
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam. Depok: PT. Raja Grafindo Persada, 2013.
Id.wikipedia.org
[1] Khalil, DR. Syauqi Abu, Athlasu
al-Tarikh al-‘Arabi al-Islamy, (Suriah: Darul Fikr, cetakan 5, 2009 M /
1430 H), hal. 169
[2] Syafi’i Antonio dkk.,Ensiklopedi
Peradaban Islam Baghdad,(Jakarta: Tazkia Publishing, 2012), 51.
[3] Philip K. Hitti, History of
The Arabs, terj. Cecep Lukman Yasin dkk. (Jakarta: PT. Serambi Ilmu
Semesta, 2010), 358.
[4] Syafi’i Antonio dkk., Ensiklopedi
Peradaban Islam Baghdad, 51
[5] Raghib al-Sirjaniy, Ensiklopedi
Sejarah Islam, Terj. M. Taufik dkk.(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2013),
238.
[6] Syafi’i Antonio dkk.,Ensiklopedi
Peradaban Islam Baghdad, 53.
[7] Raghib al-Sirjaniy, Ensiklopedi
Sejarah Islam, Terj. M. Taufik dkk.(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2013),
238.
[8] Syafi’i Antonio dkk.,Ensiklopedi
Peradaban Islam Baghdad, 52. Lihat juga: Ade Armando dkk.,Ensiklopedi
Islam Pelajar, jilid 1(Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), 1.
[9] Ade Armando dkk.,Ensiklopedi
Islam Pelajar(Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2005), 1.
[10] Syafi’i Antonio dkk.,Ensiklopedi
Peradaban Islam Baghdad, 52.
[11] Raghib al-Sirjaniy, Ensiklopedi
Sejarah Islam, 242.
[12] Syafi’i Antonio dkk.,Ensiklopedi
Peradaban Islam Baghdad, 52.
[13] Raghib al-Sirjaniy, Ensiklopedi
Sejarah Islam, 242.
[14] Syafi’i Antonio dkk.,Ensiklopedi
Peradaban Islam Baghdad, 54.
[15] Raghib al-Sirjaniy, Ensiklopedi
Sejarah Islam, 242.
[16] Syafi’i Antonio dkk.,Ensiklopedi
Peradaban Islam Baghdad, 54.
[17] Raghib al-Sirjaniy, Ensiklopedi
Sejarah Islam, 242.
[18] Syafi’i Antonio dkk.,Ensiklopedi
Peradaban Islam Baghdad, 54.
[19] Raghib al-Sirjaniy, Ensiklopedi
Sejarah Islam, 242. Lihat juga: Syafi’i
Antonio dkk.,Ensiklopedi Peradaban Islam Baghdad, 54.
[20] Ade Armando dkk.,Ensiklopedi
Islam Pelajar, 1. Lihat juga: Syafi’i Antonio dkk.,Ensiklopedi Peradaban
Islam Baghdad, 55.
[21]Ibn
al-Athir, Al-Kamil fi al-Tarikh, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, cetakan 1,
1987 M / 1407 H), 63.
[22] Raghib al-Sirjaniy, Ensiklopedi
Sejarah Islam, 242.
[23] Philip K. Hitti, History of
The Arabs, 358.
[24]Ibid., 359.
[25] Syafi’i Antonio dkk.,Ensiklopedi
Peradaban Islam Baghdad, 55.
[26] Philip K. Hitti, History of
The Arabs, 359.
[27]Albert
Hourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, terj. Irfan Abu Bakar(Bandung:
PT. Mizan Pustaka, 2004), 92.
[28] Syafi’i Antonio dkk.,Ensiklopedi
Peradaban Islam Baghdad, 55.
[29]Albert
Hourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, 92. Lihat juga: Syafi’i Antonio
dkk., Ensiklopedi Peradaban Islam Baghdad, 56.
[30]Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 51.
[31] Ade Armando dkk.,Ensiklopedi
Islam Pelajar, 2.
[32]Albert
Hourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, 96.
[33] Ade Armando dkk.,Ensiklopedi
Islam Pelajar, 2.
[34] Al-‘Asiri, Ahmad Ma’mur, Mujaz
al-Tarikh al-Islamy (cetakan 1996 M / 1417 H), hal. 190
[35]Al-Basawi,
Abu Yusuf Ya’qub ibn Sufyan, Kitab al-Ma’rifah al-Tarikh (Madinah:
Maktabah al-Dar, 1410 H), jilid 3, hal. 377
[36]Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 52.
[37]Syafi’i
Antonio dkk., Ensiklopedi Peradaban Islam Baghdad, 56.
[38] Raghib al-Sirjaniy, Ensiklopedi
Sejarah Islam, 238.
[39]Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Depok: PT. Raja Grafindo Persada, 2013),
49. Lihat juga: Ade
Armando dkk., Ensiklopedi Islam Pelajar, 1.
[40]Syafi’i
Antonio dkk., Ensiklopedi Peradaban Islam Baghdad, 57. Lihat juga: Ade
Armando dkk., Ensiklopedi Islam Pelajar, 2.
[41] Ade Armando dkk.,Ensiklopedi
Islam Pelajar, 2.
[42]Albert
Hourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, 97.
[43] Raghib al-Sirjaniy, Ensiklopedi
Sejarah Islam, 238.Lihat juga: Ade
Armando dkk., Ensiklopedi Islam Pelajar, 1.
[44]Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 50.
[45]Syafi’i
Antonio dkk., Ensiklopedi Peradaban Islam Baghdad, 57
[46]Albert
Hourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, 97.
[47]Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 50.
[48] Raghib al-Sirjaniy, Ensiklopedi
Sejarah Islam, 238.Lihat juga: Ade
Armando dkk., Ensiklopedi Islam Pelajar, 1.
[49]Syafi’i
Antonio dkk., Ensiklopedi Peradaban Islam Baghdad, 57. Lihat juga: Ade
Armando dkk., Ensiklopedi Islam Pelajar, 3.
[50] Ade Armando dkk.,Ensiklopedi
Islam Pelajar, 1. Lihat juga: Raghib
al-Sirjaniy, Ensiklopedi Sejarah Islam, 238.
[51]Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 50.
[52]Syafi’i
Antonio dkk., Ensiklopedi Peradaban Islam Baghdad, 58.
[53]Ade Armando
dkk., Ensiklopedi Islam Pelajar, 5.
[54] Raghib al-Sirjaniy, Ensiklopedi
Sejarah Islam, 238.
[55]Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 50. Lihat juga: Ade Armando dkk., Ensiklopedi
Islam Pelajar, 1.
[56]Syafi’i
Antonio dkk., Ensiklopedi Peradaban Islam Baghdad, 58. Lihat juga: Ade
Armando dkk., Ensiklopedi Islam Pelajar, 5.
[57]Albert
Hourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, 95.
[58]Albert
Hourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, 96.
[59]Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 51.
[60]Ibid., 52.
[61]Ibid. 52.
[62]Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 53.
[63]AhmadAmin, Duha
al-Islam, juz 2(Kairo: Maktabah al-Usrah, 1935), 69.
[64]Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 56.
[65]Idri, Hadis
dan Politik (Surabaya: CV. Putra Media Nusantara, 2011), 113. Lihat juga: Khalil, Shauqi Abu, Atlas al-Hadits
al-Nabawi (Suriah: Darul Fikr, 2007 M / 1428 H), hal. 11
[66]Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 57.
[67]Ibid., 58.
[68]Ade Armando
dkk., Ensiklopedi Islam Pelajar, 5.
[69]Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Depok: PT. Raja Grafindo Persada, 2013),
67.
[70]Ade Armando
dkk., Ensiklopedi Islam Pelajar, 5.
[71]Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 84.
[72]Ade Armando
dkk., Ensiklopedi Islam Pelajar, 5.
[73]Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Depok: PT. Raja Grafindo Persada, 2013),
65.
[74]Ade Armando
dkk., Ensiklopedi Islam Pelajar, 5.
[75]Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 82.
[76]Ade Armando
dkk., Ensiklopedi Islam Pelajar, 5.
[77]Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 77.
[78]Ade Armando
dkk., Ensiklopedi Islam Pelajar, 5.
[79]Syafi’i
Antonio dkk., Ensiklopedi Peradaban Islam Baghdad, 230.
[80]Philip
K. Hitti, History of The Arabs, 618.
[81]Syafi’i
Antonio dkk., Ensiklopedi Peradaban Islam Baghdad, 230.
[82]Syafi’i
Antonio dkk., Ensiklopedi Peradaban Islam Baghdad, 231.
[83]Philip K.
Hitti, History of The Arabs, 619.
[84]Syafi’i
Antonio dkk., Ensiklopedi Peradaban Islam Baghdad, 232.
[85]Philip K.
Hitti, History of The Arabs, 620.
[86]Syafi’i
Antonio dkk., Ensiklopedi Peradaban Islam Baghdad, 233.
[87]Ibn Kathir,
al-Bidayah wa al-Nihayah, jilid 13 (Kairo:
Darul Hadits, 2006 M / 1427 H), 180.
[88]Syafi’i
Antonio dkk., Ensiklopedi Peradaban Islam Baghdad, 233.
[89]Ibn Kathir, al-Bidayah wa al-Nihayah, jilid 13, 180
[90]Ibid., 179.
[91]Ibid., 179.
[92]Syafi’i
Antonio dkk., Ensiklopedi Peradaban Islam Baghdad, 233.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar