HOME

10 Maret, 2022

Contoh Kontradiksi Hadis Dengan Al-Qur’an Dan Solusinya

 Berikut contoh kontradiksi hadis dengan al-Qur’an dan Solusinya;

Hadis yang terdapat di dalam Kitab al-T{ibb (76) bab as-Sihr (50) nomor 5766

حَدَّثَنَا عُبَيْدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سُحِرَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – حَتَّى إِنَّهُ لَيُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ يَفْعَلُ الشَّىْءَ وَمَا فَعَلَهُ ، حَتَّى إِذَا كَانَ ذَاتَ يَوْمٍ وَهْوَ عِنْدِى دَعَا اللَّهَ وَدَعَاهُ ، ثُمَّ قَالَ « أَشَعَرْتِ يَا عَائِشَةُ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَفْتَانِى فِيمَا اسْتَفْتَيْتُهُ فِيهِ » . قُلْتُ وَمَا ذَاكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « جَاءَنِى رَجُلاَنِ ، فَجَلَسَ أَحَدُهُمَا عِنْدَ رَأْسِى وَالآخَرُ عِنْدَ رِجْلَىَّ ، ثُمَّ قَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ مَا وَجَعُ الرَّجُلِ قَالَ مَطْبُوبٌ . قَالَ وَمَنْ طَبَّهُ قَالَ لَبِيدُ بْنُ الأَعْصَمِ ، الْيَهُودِىُّ مِنْ بَنِى زُرَيْقٍ . قَالَ فِيمَا ذَا قَالَ فِى مُشْطٍ وَمُشَاطَةٍ ، وَجُفِّ طَلْعَةٍ ذَكَرٍ . قَالَ فَأَيْنَ هُوَ قَالَ فِى بِئْرِ ذِى أَرْوَانَ » . قَالَ فَذَهَبَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – فِى أُنَاسٍ مِنْ أَصْحَابِهِ إِلَى الْبِئْرِ ، فَنَظَرَ إِلَيْهَا وَعَلَيْهَا نَخْلٌ ، ثُمَّ رَجَعَ إِلَى عَائِشَةَ فَقَالَ « وَاللَّهِ لَكَأَنَّ مَاءَهَا نُقَاعَةُ الْحِنَّاءِ ، وَلَكَأَنَّ نَخْلَهَا رُءُوسُ الشَّيَاطِينِ » . قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَأَخْرَجْتَهُ قَالَ « لاَ ، أَمَّا أَنَا فَقَدْ عَافَانِى اللَّهُ وَشَفَانِى ، وَخَشِيتُ أَنْ أُثَوِّرَ عَلَى النَّاسِ مِنْهُ شَرًّا » . وَأَمَرَ بِهَا فَدُفِنَتْ .[1]

Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaid bin Isma’il telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Hisyam dari Ayahnya dari Aisyah dia berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam disihir hingga seakan-akan beliau mengangan-angan telah berbuat sesuatu, padahal beliau tidak melakukannya, hingga ketika beliau berada di sampingku, beliau berdo’a kepada Allah dan selalu berdo’a, kemudian beliau bersabda: “Wahai ‘Aishah, apakah kamu telah merasakan bahwa Allah telah memberikan fatwa (menghukumi) dengan apa yang telah aku fatwakan (hukumi)? Jawabku; “Apa itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Dua orang laki-laki telah datang kepadaku, lalu salah seorang dari keduanya duduk di atas kepalaku dan satunya lagi di kakiku. Kemudian salah seorang berkata kepada yang satunya; “Menderita sakit apakah laki-laki ini?” temannya menjawab; “Terkena sihir.’ salah seorang darinya bertanya; “Siapakah yang menyihirnya?” temannya menjawab; “Lubid bin Al A’sam seorang Yahudi dari Bani Zuraiq.” Salah satunya bertanya; “Dengan benda apakah dia menyihir?” temannya menjawab; “Dengan rambut yang terjatuh ketika disisir dan seludang mayang kurma.” Salah seorang darinya bertanya; “Di manakah benda itu di letakkan?” temannya menjawab; “Di dalam sumur Dhi Arwan.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi sumur tersebut bersama beberapa orang sahabatnya, beliau pun melihat ke dalam ternyata di dalamnya terdapat pohon kurma, lalu beliau kembali menemui ‘Aishah bersabda: “Wahai ‘Aishah! seakan-akan airnya berubah bagaikan rendaman pohon inai atau seakan-akan pohon kurmanya bagaikan kepala syetan.” Aku bertanya; “Wahai Rasulullah, tidakkah anda mengeluarkannya?” beliau menjawab: “Tidak, sesungguhnya Allah telah menyembuhkanku dan aku hanya tidak suka memberikan kesan buruk kepada orang lain dari peristiwa itu.” Kemudian beliau memerintahkan seseorang membawanya (barang yang dipakai untuk menyihir) lalu menguburnya.”

 

Untuk diketahui hadis tentang disihirnya Nabi tersebut dicantumkan dalam tiga tempat oleh Bukhari dalam S{ahihnya. Menurut penelitian, Muqbil bin Hady al-Wad’y ada 14 (empat belas) jalur periwayatan hadis tersebut dari Hisyam bin ‘Urwah dari Bapaknya dari ‘Aishah ra. Hadis tersebut diriwayatkan oleh banyak ulama hadis selain Bukhari seperti Muslim, Nasai, Ahmad, Ibn Hibban, Baihaqy, Ibn Abi Shaibah, dll. Disamping itu terdapat shawahid dari hadis riwayat Ahmad, Nasai, Ibn Abi Syaibah, T{abrany, Ibn Sa’ad, dll.[2]

Kesahihan hadis ini diakui dan ditetapkan oleh para ulama senior baik dari aspek riwayat maupun dirayah-nya. Di antara ulama tersebut adalah Khattaby, Qadhi ‘Iyadh, Ibn Taimiyah, Ibn Qoyyim, Ibn Kathir, Nawawy, Ibn Hajar, Qurtuby, Alusi, dll.[3]

Muhammad Abduh, Mahmud Abu Rayyah,[4] dan  Muhibbin dalam disertasi doktoralnya menolak kesahihan hadis Nabi disihir dengan klaim bahwa hadis itu bertentangan dengan al-Qur’an.  Di antara ayat yang bertentangan dengan hadis di atas adalah:

1- Surat al-Furqan ayat 8 :

أَوْ يُلْقَى إِلَيْهِ كَنْزٌ أَوْ تَكُونُ لَهُ جَنَّةٌ يَأْكُلُ مِنْهَا وَقَالَ الظَّالِمُونَ إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلَّا رَجُلًا مَسْحُورًا [5]

Dan orang-orang yang zalim itu berkata: “Kamu sekalian tidak lain hanyalah mengikuti seorang lelaki yang kena sihir.

 

Hadis di atas dianggap membenarkan tuduhan orang-orang musyrik bahwa Nabi adalah adalah orang gila di bawah pengaruh sihir. Dengan demikian dapat menyebabkan adanya keraguan terhadap kebenaran ajaran yang dibawa oleh Nabi SAW, karena mungkin saja Nabi terkena pengaruh sihir pada saat menerima wahyu.

 

2. Surat Al-Hijr ayat 42:[6]

إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ إِلَّا مَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْغَاوِينَ  [7]

Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikut kamu, yaitu orang-orang yang sesat.

 

Hadis di atas bertentangan dengan ayat ini karena apabila sihir merupakan perbuatan setan, maka setan tidak memiliki kekuasaan atas hamba Allah. Apalagi kekuasaan atas diri seorang Rasul Allah.

 

3. Surat al-Maidah ayat 67:

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ[8]

Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.

 

Hadis di atas bertentangan dengan jaminan perlindungan (ismah) Allah kepada Nabi SAW.

Hal pertama yang perlu dilakukan adalah menelaah ulang apakah pertentangan itu benar-benar terbukti atau tidak. Apakah bisa diaplikasikan metode Jam’u antara hadis di atas dengan ayat yang diklaim kontradiktif?

1.      Firman Allah dalam surat Al-Furqan ayat 8 menjelaskan maksud orang-orang musyrik dengan perkataan meraka bahwa setanlah yang membisikkan ajaran-ajarannya kepada Rasulullah dan dituliskan untuknya, sebagaimana siyaq as-sibaq dari ayat sebelumnya di ayat 5:  “Dan mereka berkata: “Dongengan-dongengan orang-orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan, maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang.”

Mashuura artinya telah disihir sampai kerasukan seperti orang gila yang hilang dan rusak akalnya dan tidak menyadari apa yang dikatakannya sehingga tidak pantas untuk diikuti. Hal ini selaras dengan tuduhan mereka yang termaktub di ayat lain

ثُمَّ تَوَلَّوْا عَنْهُ وَقَالُوا مُعَلَّمٌ مَجْنُونٌ

Kemudian mereka berpaling daripadanya dan berkata: “Dia adalah seorang yang menerima ajaran (dari orang lain) lagi pula seorang yang gila.[9]

 

Tuduhan orang kafir dalam ayat dimaksud akibat sihir yang membuat gila, merancau dalam perkataan yang diklaim wahyu tidak sesuai dengan konteks makna hadis di atas yang menunjukkan bahwa akibat disihir itu berupa kondisi sakit yang menimpa fisik.[10]

Pengaruh maksimal dari sihir yang dialami oleh Nabi—menurut keterangan Sufyan bin ‘Uyainah yang menjadi salah seorang perawi hadis itu—hanya berbentuk halusinasi. Jadi, bukan dalam bentuk lepas kontrol kesadaran diri dan itupun hanya berkaitan dengan kondisi ketika beliau berinteraksi khusus dengan istri beliau sebagaimana disebutkan dalam hadis (كَانَ يَرَى أَنَّهُ يَأْتِي النِّسَاءَ وَلَا يَأْتِيهِنَّ).[11] Tidak ada data sejarah dan riwayat yang menjelaskan bahwa akibat sihir yang menimpa Nabi tersebut berpengaruh negatif terhadap aktivitas Nabi dalam penerimaan dan penyampaian wahyu, risalah, beribadah, berdakwah, tabligh, menyampaikan sunnah dan tashri’.

 Ibn Hajar menyebutkan bahwa peristiwa yang menimpa Rasulullah saw berupa sihir adalah bentuk musibah sakit yang bersifat manusiawi yang bisa dialami oleh manusia biasa. Musibah yang menimpa beliau bersifat sementara dan tidak berkaitan dengan wahyu dan risalah. Di antara dalil yang menunjukkan hal itu sebgai bentuk sakit yaitu bagian akhir hadits menyebutkan: “أَمَّا أَنَا فَقَدْ عَافَانِى اللَّهُ وَشَفَانِى” (adapun saya telah Allah sembuhkan).  Dalil ini diperkuat oleh hadis Ibn Abbas yang diriwayatkan oleh Ibn Sa’id : “Rasulullah SAW sakit dan terhalang dari menggauli istri-istrinya dan dari makan dan minum, maka dua Malaikat pun turun menemui beliau”.[12]

Demikian pula, upaya membenturkan hadis di atas dengan ayat dalam surat al-Furqan tersebut kurang relevan karena ayat dan surat tesebut adalah Makkiyah sementara hadis tersebut madany sehingga ada kesenjangan (gap) dalam konteks dan momentum.

2.      Maksud dari “Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka” adalah dalam konteks penyesatan. Kekuasaan yang diberikan kepada setan adalah kemampuan untuk melakukan aktivitas-aktivitas  penyesatan dengan memperindah perbuatan buruk sehingga tampak baik dan sebaliknya, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Hijr : 39-40.[13] Dengan demikian, ayat ini tidak sesuai dengan realitas pada diri Nabi SAW.

Adapun jika aktivitas setan yang berdampak negatif bagi fisik menimpa hamba yang sholeh tidak dinafikan al-Qur’an. Bahkan al-Qur’an menunjukkan terjadinya hal itu dalam kisah Nabi Ayyub AS.

وَاذْكُرْ عَبْدَنَا أَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الشَّيْطَانُ بِنُصْبٍ وَعَذَابٍ

Dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub ketika ia menyeru Tuhan-nya: “Sesungguhnya aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan.[14]

 

Demikian pula, pengaruh sihir dalam bentuk halusinasi pernah dialami oleh Nabi Musa AS sebagai Nabi ulul ‘azmi  ketika tukang sihir Fir’aun yang melempar tali-temali kemudian terlihat hidup seperti ular.

قَالَ بَلْ أَلْقُوا فَإِذَا حِبَالُهُمْ وَعِصِيُّهُمْ يُخَيَّلُ إِلَيْهِ مِنْ سِحْرِهِمْ أَنَّهَا تَسْعَى (66) فَأَوْجَسَ فِي نَفْسِهِ خِيفَةً مُوسَى (67)

Berkata Musa: “Silahkan kamu sekalian melemparkan.” Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka. (66) Maka Musa merasa takut dalam hatinya (67)[15]

 

Bentuk pengaruh sihir yang terjadi pada Nabi Musa berupa halusinasi tersebut serupa dengan yang terjadi atas diri Rasulullah SAW.  Pengaruh sihir pada para nabi tersebut tidak berdampak pada penerimaan wahyu, pengamalan dan penyampaiannya. Interaksi di alam sadar Nabi Musa dengan wahyu walau ada pengaruh sihir ini secara eksplisit ditegaskan dalam lanjutan ayat dari surat Thaha di atas: “Kami berkata: “janganlah kamu takut, sesungguhnya kamulah yang paling unggul (menang) (68) Dan lemparkanlah apa yang ada ditangan kananmu, niscaya ia akan menelan apa yang mereka perbuat. “Sesungguhnya apa yang mereka perbuat itu adalah tipu daya tukang sihir (belaka). Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang” (69).

Hadis tentang Nabi disihir tidaklah bertentangan dengan ayat ismah karena konteks jaminan penjagaan dimaksud adalah dari pembunuhan, bukan dalam bentuk gangguan fisik. Sebab gangguan fisik dari orang-orang kafir sering kali menimpa Nabi sejak Nabi berdakwah di Makkah dan dalam berbagai peperangan seperti dalam perang Uhud. Hal ini diperkuat dengan data dari konteks asbab al-nuzul dari surat al-Maidah: 67 yang berkaitan dengan pengawalan khusus yang dilakukan oleh para sahabat terhadap rumah Nabi SAW dan ditiadakan setelah turunnya ayat tersebut.[16]

Baca artikel tentang Hadis lainya :


[1] al-Bukhari. al-Jami’ al-S{ahih. Tahqiq Muhib al-Din al-Khatib. Juz 4 (Kairo: al-Maktabah al-Salafiyah, 1400 H), 49.

[2] Muqbil bin Hady al-Wad’y. Rudud Ahl al-‘Ilm ‘ala al-T{a’inin fi Hadith al-Sihr, Cet. 2 (S{an’a: Dar al-Athar, 1999), 87-96.

[3] Muhammad Muhammad Abu Shuhbah, Difa’ ‘an al-Sunnah (Kairo: Maktabah al-Sunnah, t.th), 362-364.

[4] Ibid., 223.

[5] al-Qur’an, 25: 8.

[6] Ayat yang semakna terdapat dalam QS. al-Nahl : 99, al-Isra’ : 65, Saba’ : 21.

[7] al-Qur’an, 15: 42.

[8] Ibid., 5: 67.

[9] al-Qur’an, 44: 14

[10]Muhammad al-Amin al-Shinqity. Adwa’ al-Bayan fi I<dah al-Qur’an bi al-Qur’an, vol. 4 (Jeddah: Dar ‘Alam al-Fawa’id, t.th), 587.

[11] al-Bukhari. al-Jami’ al-Sahih Vol. 4, 48-49. Hadis nomor 5765. Pengaruh sihir dalam kehidupan suami-istri semacam ini telah ditegaskan oleh al-Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat 102.

[12] al-Shinqity. Adwa’ al-Bayan..., 583-586.

[13] Ibid., 82-83.

[14] al-Qur’an, 38: 41.

[15] Ibid., 20: 66-67.

[16] Abu al-Hasan al-Wahidy, Asbab al-Nuzul (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), 135


DAFTAR PUSTAKA 

Bukhari(al).  al-Jami’ al-S{ahih. Tahqiq Muhibuddin al-Khatib. Juz 4. Kairo: al-Maktabah al-Salafiyah, 1400.

Hadithi(al), Abdullah Hasan. Athar al-H{adith al-Nabawy al-Sharif fi Ikhtilaf al-Fuqaha. Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2005.

Hasan, Uthman Ali. Qawa’id al-Istidlal ‘ala Masa’il al-I’tiqad. Riyadh: Dar al-Watn, 1413 H.

Khon, Abdul Majid. Pemikiran Modern Dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadis. Jakarta: Kencana, 2011.

Khatib, Muhammad ‘Ajjaj. Usul al-Hadith Ulumuhu Wa Mushtalahuhu. Beirut; Dar-al Fikr, 1983.

Manzur, Ibn. Lisan al-Arab. Kairo: Darul Hadits, 2003.

Naisaburi, Abu Abdillah Muhammad bin Abdullah Hakim. Ma‘rifat ‘Ulum al-Hadith. Madinah: Maktabah al-Ilmiyah, 1977.

Suyuti, Jalaluddin. Tadrib al-Rawi Sharh Taqrib al-Nawawi,. Kairo: Darul Hadits, 2004.

Shafi’i, Muhammad bin Idris. Ikhtilaf al-Hadith. Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 1986.

Shinqity, Muhammad Amin. Adwa’ al-Bayan fi I<dah al-Qur’an bi al-Qur’an, vol. 4Jeddah: Dar ‘Alam al-Fawa’id, ttp.

Suhbah, Muhammad Muhammad AbuDifa’ ‘an al-SunnahKairo: Maktabah al-Sunnah, t.th.

Turmusi, Mahfud. Manhaj Dzawi al-Nazhar Syarah Manzhumat ‘ilmi al-Atsar. Surabaya: Haramain, tt.

T{ahhan, Mahmud. Taisir Mustalah al-Hadith. Surabaya: Haramain, t.th.

Utsman, Ibn S{alah, Abu ‘Amr. ‘Ulum al-Hadith (Muqaddimah Ibn Al-S{alah), ed. Nur al-Din ‘ItrBeirut: Dar al-Fikr, 1418 H.

Wad’y, Muqbil bin Hady. Rudud Ahl al-‘Ilm ‘ala al-T{a’inin fi Hadith al-SihrS{an’a: Dar al-Athar, 1999.

Wahidy, Abu al-Hasan. Asbab al-NuzulBeirut: Dar al-Fikr, 1988.

Zuhaily, Wahbah. al-Wajiz fi Usul al-Fiqh. Beirut: Dar al-Fikr, 2002.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...