HOME

06 Maret, 2022

KLASIFIKASI HADIS SECARA KUANTITAS

 

BAB I

PENDAHULUAN 

    A.    Latar Belakang

Hadis dan Sunnah telah disepakati oleh umat islam sebagai rujukan yang kedua setelah Alquran. Dan untuk menjaga kelestarian dan keutuhan sunnah dan hadis, para ulama telah melakukan dan mengerahkan segala daya upaya untuk menjaganya.

Salah satu kontribusi para ulama dalam menjaga kemurnian sunnah dan hadis Nabi adalah dengan menciptakan dan meletakkan dasar-dasar ilmu hadis yang bisa dijadikan alat dan sarana untuk menjaga dan melestarikan kemurnian sumber hukum islam yang kedua ini.

Sejak pencetusan ilmu hadis ini dimulai dan dibukukan, telah banyak usaha dari para ulama dari generasi ke generasi untuk mengembangkan dan terus membenahi ilmu ini hingga masa sekarang.

Maka adalah sangat pantas bagi kita khususnya para pecinta ilmu hadis untuk terus menggali dan mempelajari ilmu-ilmu keislaman khususnya ilmu hadis yang telah diwariskan oleh para ulama pendahulu kita sebagai upaya dalam ikut serta menjaga kelestarian dan kemurnian sunnah dan hadis nabi serta ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya.

    B.     Rumusan Masalah

Salah satu rumusan masalah yang menjadi titik tekan pembuatan makalah ini adalah tentang klasifikasi hadis dilihat dari empat segi:

1.      Klasifikasi hadis dari segi kuantitasnya

2.      Klasifikasi hadis dari segi posisinya dalam hujjah

3.      Klasifikasi hadis dari segi ketersambungan sanad

4.      Klasifikasi hadis dari segi penyandaran berita

    C.    Tujuan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:

1.      Mengetahui Klasifikasi hadis dari segi kuantitasnya

2.      Mengetahui Klasifikasi hadis dari segi posisinya dalam hujjah

3.      Mengetahui Klasifikasi hadis dari segi ketersambungan sanad

4.      Mengetahui Klasifikasi hadis dari segi penyandaran berita


BAB II

PEMBAHASAN

    A.    Klasifikasi hadis dari segi kuantitasnya

1.      Hadis Mutawattir

a.       Definisi

Menurut bahasa, kata Mutawattir merupakan bentuk isim fa’il dari "التواتر"  yang bermakna "التتابع" (berkesinambungan).[1]

Sedangkan menurut istilah, hadis Mutawattir adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang (rawi) pada setiap tingkatan sanad, dimana menurut kebiasaan, mustahil mereka untuk berdusta atau bersepakat untuk membuat hadis tersebut, dan akhir periwayatannya harus disandarkan pada panca indra.[2]

b.      Syarat-Syarat Hadis Mutawattir

Dari definisi yang telah dipaparkan di atas, bisa kita pahami bahwa suatu hadis bisa dikatakan Mutawattir apabila telah memenuhi empat syarat, yaitu:[3]

1)      Hadis tersebut harus diriwayatkan oleh orang yang banyak.

Adapun jumlah banyaknya bilangan orang (rawi) tersebut dikatakan banyak, para ulama hadis berbeda pendapat dalam hal tersebut.

Al-Baqillani berpendapat paling sedikit empat orang, al-Istikhri mengatakan paling sedikit sepuluh orang, menurut Abu al-Hudhail al-Mu’tazili paling sedikit dua puluh orang.[4] Namun pendapat yang lebih dipilih oleh mayoritas ulama hadis dan ulama fiqh adalah bahwa keMutawattiran suatu hadis tidak ditentukan oleh jumlah bilangan tertentu, yang menjadi tolak ukur adalah bahwa bilangan orang disetiap tingkatan sanad bisa menghasilkan keyakinan pasti terhadap kebenaran suatu berita.[5] 

2)      Jumlah rawi yang banyak tersebuat harus terdapat pada setiap tingkatan sanad.

3)      Menurut kebiasaan, mustahil para rawi yang banyak itu bersepakat untuk berdusta.

4)      Akhir periwayatan hadis tersebut haruslah disandarkan pada panca indera.  

c.       Pembagian Hadis Mutawattir

Hadis Mutawattir terbagi menjadi dua, Mutawattir lafdhi dan Mutawattir ma’nawi. Hadis Mutawattir lafdhi adalah hadis yang lafadz dan maknanya sama-sama Mutawattir. Contoh hadis Mutawattir lafdhi adalah hadis

مَنْ كَذَّبَ عَلَىَّ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Barang siapa yang berbuat dusta atas diriku, maka bersiaplah ia (menempati) tempatnya di neraka.”

hadis tersebut diriwayatkan oleh sejumlah besar sahabat

d.      Kehujjahan Hadis Mutawattir

Menurut Mahmud al-Tahhan, hadis Mutawattir memberikan keyakinan yang sangat pasti dan kuat. Sehingga tidak ada alasan untuk tidak mempercayainya. Dan tidak perlu lagi untuk membahas kondisi para perawinya.[6]  

e.       Kitab-kitab yang membahas dan menghimpun hadis-hadis Mutawattir

Di antara kitab-kitab yang membahas tentang hadis mutawatir adalah: Al-Athar al-Mutanathirah fi al-Akhbar al-Mutawattirah karya Imam al-Suyuti

2.      Hadis Ahad

a.       Definisi

Ahad merupakan bentuk jamak dari kata "أحد" yang mempunyai arti satu. Jadi hadis ahad secara bahasa adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang.[7]

Hadis ahad menurut istilah adalah hadis yang di dalamnya tidak memenuhi kriteria hadis Mutawattir. Dikatakan khabar ahad karena ia menyamai khabar ahad dalam hal memberikan kepastian yg bersifat zann bukan yaqin.[8]

b.      Pembagian Hadis Ahad

Ditinjau dari jumlah perawinya, hadis ahad terbagi menjadi tiga:

1)      Hadis Gharib

Secara bahasa merupakan sifat mushabbihah dari kata "الغربة" dan "الغرابة" dengan makna isim fa’il. Kata “Gharib” memiliki dua makna: pertama "المنفرد في الجماعة بشيء ما"  yang menyendiri atau terpisah dalam sebuah kelompok/golongan. Kedua "البعيد عن وطنه وأقاربه"  yang jauh dari negara dan kerabat.[9]

Menurut istilah, hadis gharib adalah hadis yang dalam sanadnya hanya terdapat satu rawi saja yang meriwayatkan. Satu rawi tersebut bisa saja berada pada salah satu tingkatan sanad atau pada keseluruhan sanad.[10]

Menurut Mahmud al-Tahhan, hadis gharib terbagi menjadi dua: gharib mutlaq dan gharib nisbi.

Gharib mutlaq adalah hadis yang pada pokok sanadnya hanya ada satu rawi yang meriwayatkan. Yang dimaksud dengan pokok sanad di sini adalah sahabat. Jadi, gharib mutlaq adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang sahabat saja. Contohnya adalah hadis "إنما الأعمال بالنيات" , di mana hanya Umar bin Khattab saja yang meriwayatkan hadis tersebut dari Nabi Muhammad SAW.

Gharib nisbi adalah hadis di mana ke gharibannya terletak di tengah-tengah sanad meskipun pada permulaan sanad diriwayatkan oleh banyak rawi. Contohnya adalah hadis "مالك عن الزهري عن أنس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم دخل مكة وعلى رأسه المغفر" ,

“Dari Malik, dari al-Zuhri, dari Anas RA. bahwa sesungguhya nabi muhammad SAW. memasuki kota mekkah dalam keadaa

dalam periwayatan hadis tersebut, hanya Malik yang meriwayatkan dari al-Zuhri. [11]

2)      Hadis Aziz

Dari segi bahasa, aziz bisa mempunyai dua makna: pertama merupakan sifat mushabbihah dari "عزّ يعِزّ" yang bermakna sedikit, atau yang kedua merupakan sifat mushabbihah dari "عزّ يعَزّ" yang bermakna kuat.[12]

Menurut istilah, hadis aziz adalah hadis yang dalam rangkaian sanadnya terdapat dua orang rawi. Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Hajar al-Asqalani dan merupakan pendapat yang mashhur. ada juga yang berpendapat bahwa hadis aziz adalah hadis yang dalam rangkaian sanadnya terdapat dua orang rawi atau tiga. Pendapat ini merupakan pendapat Ibnu Salah dan al-Baiquni.[13]

3)      Hadis Mashhur

Menurut bahasa, mashhur merupakan ism maf’ul dari "شهرت الأمر" yang bermakna aku mengumumkan dan menampakkan suatu perkara.

Sedangkan menurut istilah, hadis mashhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, dimana tidak sampai pada batas Mutawattir.[14]

Hadis mashhur non terminologis

Yang dimaksud dengan hadis mashhur non terminologis adalah hadis mashhur atau terkenal dikalangan masyarakat tanpa adanya syarat dan batasan yang mengikat. Terdapat bermacam-macam hadis mashhur seperti ini, di antaranya:

a)      Hadis yang Mashhur khusus di kalangan ahli hadis, seperti hadis

"عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا بَعْدَ الرُّكُوعِ يَدْعُو عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ"

Dari Anas ibn Malik ia berkata: Rasulullah SAW. melaksanakan doa qunut selama satu bulan untuk kabilah Ri’l dan Dhakwan”

b)      Hadis yang Mashhur di kalangan Ahli Hadis, Ulama, dan orang awam, contonhnya hadis

"الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ"

“Seorang Muslim (sesungguhnya) adalah orang yang orang islam lainnya selamat dari (kejelekan) lisan dan tangannya”

c)      Hadis yang Mashhur di kalangan Ahli Ushu al-Fiqh, seperti hadis

" رفع عن أمتى الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه "

“Dimaafkan (tidak disiksa) dari ummatku (perbuatan dikarenakan) tersalah, lupa, dan apa yang dipaksakan kepadanya”

d)     Hadis yang mashhur di kalangan ahli nahwu, seperti hadis

"نعم العبد صهيب، لو لم يخف الله لم يعصه"

“Sebaik-baik hamba adalah Suhaib, walupun ia tidak takut kepada Allah, ia tidak bermaksiat kepada-Nya” 

e)      Hadis yang Mashhur secara umum

" الْعَجَلَةُ مِنْ الشَّيْطَانِ "

“Terburu-buru termasuk dari (godaan) syaitan”

c.       Kehujjahan Hadis Ahad

Mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in, ahli hadis, ahli fiqh, dan ahli ushul berpendapat bahwa hadis ahad bisa dijadikan hujjah dengan syarat harus sahih.[15] 

    B.     Klasifikasi hadis dari segi posisinya dalam hujjah

1.      Hadis Maqbul

Hadis maqbul adalah hadis yang dapat diterima yang dikuatkan kebenaran pembawa beritanya. Hukumnya wajib dijadikan hujjah dan diamalkan.

Hadis maqbul terbagi menjadi dua bagian, yaitu hadis sahih dan hasan. Masing-masing bagian terbagi menjadi dua bagian, li dhatihi dan li ghairihi.[16]

a.    Hadis sahih

Secara etimologi hadis sahih adalah selamat (الصحيح) lawan dari sakit (السقيم).

Secara terminologi hadis sahih adalah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan dan diterima dari periwayat yang adil dan dabit, serta selamat dari kejanggalan dan illat.[17]

Dari definisi di atas, diketahui bahwa kriteria hadis sahih ada lima:

1)   Sanad bersambung (اتصال السند)

2)   Periwayat bersifat adil (عدالة الرواة)

3)   Periwayatan bersifat dabit.

4)   Terhindar dari shadh

5)   Terhindar dari illat

Hadis sahih dibagi menjadi dua:

1)   Hadis sahih li dhatihi, hadis yang memenuhi kriteria-kriteria hadis sahih yang lima.

2)   Hadis sahih li ghairihi, hadis yang ke-sahih-annya dibantu oleh adanya hadis lain. Hadis kategori ini memiliki kelemahan berupa periwayat yang kurang dabit, sehingga dinilai tidaak memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai hadis sahih. Tetapi setelah diketahui ada hadis lain dengan kandungan matan yang sama dan berkualitas sahih, maka hadis tersebut naik derajatnya menjadi sahih.[18]

b.    Hadis Hasan

Secara etimologi hadis hasan adalah sifat mushabbahah dari الحُسْنُ yang bermakna bagus.

Secara terminologi hadis hasan adalah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang adil, kurang kuat hafalannya, bersambung sanadnya, tidak mengandung illat dan syadh.

Jadi hadis hasan adalah hadis sahih yang ke-dabit-annya berkurang tidak sesempurna hadis sahih.[19]

Hadis hasan dibagi menjadi dua:

1)   Hadis hasan li dhatihi, hadis yang memenuhi kriteria-kriteria hadis hasan yang lima.

2)   Hadis hasan li ghairihi, hadis da’if yang mempunyai banyak jalur periwayatan dan penyebab ke-da’if-annya bukan karena perawi yang fasik atau pembohong.[20]

2.      Hadis Mardud

Hadis mardud adalah hadis yang tidak diterima dan tidak dikuatkan kebenaran pembawa beritanya. Hukumnya tidak wajib dijadikan hujjah dan tidak wajib diamalkan. Hadis mardud dibagi menjadi dua: mardud karena sanad hadis ada yang terputus dan mardud karena ada kecacatan pada perawi.[21]

a.    Hadis mardud karena terputusnya sanad

Terputusnya sanad adalah gugurnya satu orang atau lebih dari perawi hadis dalam sebuah sanad baik disengaja oleh sebagian perawi atau tanpa disengaja, gugurnya bisa di awal, tengah, atau akhir sanad. Terputusnya sanad ini dibagi menjadi dua:

1)   Terputus secara jelas dan tanpak (saqt zahir), yaitu sanad yang gugurnya dapat diketahui oleh ulama yang ahli hadis atau yang menyibukkan diri dengan ilmu hadis. Hal ini dapat diketahui dengan tidak adanya liqa’ antara guru dan murid, tidak satu zaman, berada dalam satu zaman tetapi tidak pernah bertemu. Penyebab terputusnya sanad secara jelas ini dibagi ke dalam empat istilah:

a)      Muallaq, hadis yang periwayatnya di awal sanad gugur seorang atau lebih secara berurut.

b)      Mursal, hadis yang disandarkan langsung oleh tabi’in kepada Nabi saw. tanpa terlebih dahulu disandarkan kepada sahabat. 

c)      Mu’dal, hadis yang dalam sanadnya gugur dua orang atau lebih secara berturut-turut.

d)     Munqati’, hadis yang sanadnya terputus di bagian mana saja. [22]

2)   Terputus secara tersembunyi (saqt khafi), yaitu terputusnya perawi dalam suatu sanad tidak dapat diketahui kecuali oleh mereka yang ahli dalam hadis dan ilmu hadis yang kritis tehadap jalur dan illat hadis. Saqt khafi ini terbagi dalam dua istilah:

a)      Mudallas, hadis yang diriwayatkan dengan cara yang diperkirakan bahwa hadis itu tidak bercacat.

b)      Mursal khafi, hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang sezaman dan penah bertemu tetapi tidak pernah mendengarnya dengan bentuk lafadz yang mengandung sima’ atau yang sejenisnya. [23]

b.    Hadis mardud karena perawi yang cacat

Mardud karena perawi yang cacat adalah cacatnya seorang perawi dalam keadilan atau ke-dabit-annya, atau dalam keduanya.

1)   Hal-hal yang berhubungan dengan cacatnya seorang perawi dalam hal keadilannya:

a)      Perawi pembohong, periwayatannya dikenal dengan maudu’

b)      Perawi yang dituduh pembohong atau pemalsu, periwayatannya dikenal dengan matruk

c)      Perawi yang fasik, periwayatannya dikenal dengan munkar

d)     Perawi yang suka mengajak pada bid’ah, periwayatannya terkenal dengan sangat da’if

e)      Perawi yang tidak diketahui identitasnya, periwayatannya dikenal dengan da’if atau majhul.

Semua sebab di atas tidak bisa membuat riwayatnya naik ke jenjang hadis hasan li ghairihi kecuali hadis majhul jika diriwayatkan dari jalur lain yang kualitasnya lebih baik

2)   Hal-hal yang berhubungan dengan cacatnya seorang perawi dalam hal ke-dabit-annya:

a)      Kekeliruan perawi sangat parah, hadisnya dinamakan munkar jika berbeda dari periwayatan perawi yang lain, jika tidak berbeda maka dinamakan da’if

b)      Banyak kelalaian, hadisnya juga dinamakan munkar jika berbeda dari periwayatan perawi yang lain, jika tidak berbeda maka dinamakan da’if

c)      Hafalannya buruk, hadisnya juga dinamakan munkar jika berbeda dari periwayatan perawi yang lain, jika tidak berbeda maka dinamakan da’if

d)     Keraguan dalam thiqqah, hadisnya dinamakan ma’lul, mu’allal, atau mu’all

e)      Bertentangan dengan rawi thiqqah, hadisnya dinamakan shadh jika lawan hadisnya thiqqah, dan dinamakan munkar jika lawan hadisnya da’if. Cacatnya perawi karena bertentangan dengan rawi thiqqah ini, juga mempunyai pembagian lain yaitu mudraj, maqlub, mudtarib, musahhaf, muharraf, dan mazid fi muttasil al-asanid.[24]


Baca artikel tentang Ilmu Hadis lainya :

    C.    Klasifikasi Hadis dari Segi Ketersambungan Sanad

1.      Hadis Muttasil

a.    Definisi hadis muttasil

Secara etimologi muttasil adalah isim fa’il dari lafadz اتّصل (bersambung) lawan dari kata انقطع (terputus). Hadis muttasil juga dikatakan sebagai hadis al-mausul.

Secara terminologi muttasil adalah hadis yang sanadnya bersambung baik sanad tersebut sampai kepada Nabi (marfu’) ataupun sahabat (mauquf) [25].

Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa ciri-ciri hadis muttasil adalah:

1)   Adanya ketersambungan sanad, setiap perawi dalam sanad tersebut mendengar langsung dari gurunya sampai akhir.

2)   Sanadnya berakhir pada Nabi atau sahabat[26].

b.    Contoh hadis muttasil

1)  Muttasil yang sanadnya bersambung kepada Nabi: مالك عن ابن شهاب عن سالم بن عبد الله عن أبيه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال: كذا.......

“Malik dari Ibn Shihab dari Salim, dari Abdullah dari bapaknya Abdullah dari Rasulullah SAW. bahwasanya beliua bersabda: …..

2)  Muttasil yang sanadnya bersambung kepada sahabat: مالك عن نافع عن ابن عمر أنه قال كذا.....

”Malik dari Nafi’ dari Ibn Umar bahwasanya sesungguhnya beliau berkata:….”

Menurut Ibn Salah, hadis muttasil hanya mencakup hadis marfu’ dan mauquf saja, sedangkan hadis maqtu’ (yang disandarkan kepada tabi’in) tidak termasuk dalam definisi muttasil. Menurut al-‘Iraqi, hadis maqtu’ tidak dinamakan muttasil secara mutlak, akan tetapi dapat dikatakan muttasil dengan adanya taqyid (ikatan) yang mengikatnya yaitu jika suatu sanad bersambung sampai tabi’in, maka diperbolehkan mengatakan sanad ini bersambung sampai kepada Fulan seperti هذا متصل إلى سعيد بن المسيب أو الزهري أو مالك.[27]

“hadis ini bersambung kepada Sa’id ibn al-Musayyab atau kepada al-Zuhri atau kepada Malik”

c.    Hukum hadis muttasil

Hukum hadis muttasil terkadang sahih, hasan, atau da’if

2.      Hadis Marfu’

a.    Definisi hadis marfu’

Secara etimologi marfu’ adalah isim maf’ul dari kata رفع (tinggi) lawan dari kata وضع (rendah, bawah). Dinamakan dengan marfu’ karena disandarkan kepada pemilik tempat yang tinggi yaitu Nabi Muhammad saw.

Secara terminologi marfu’ adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw dari segi perkataan, perbuatan, ketetapan, atau sifat.[28]

b.    Pembagian hadis marfu’

Hadis marfu’ dibagi menjadi dua, marfu’ tasrihi dan marfu’ hukmi:[29]

1)   Marfu’ tasrihi (yang jelas) yaitu perkataan, perbuatan, ketetapan disandarkan kepada Nabi saw secara jelas seperti perkataan sahabat سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول كذا، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم كذا، رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم فعل كذا، كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يفعل كذا.

“Aku mendengar Rasulullah SAW. bersabda demikian.. , atau (ungkapan) Rasulullah SAW. bersabda demikian, atau (ungkapan) aku melihat Rasulullah SAW. melakukan ini…, atau (ungkapan) Rasulullah SAW. pernah melakukan ini…”  

2)   Marfu’ hukmi (secara hukum) yaitu seorang sahabat tidak menyandarkan perkataan, perbuatan, atau ketetapan secara jelas kepada Nabi saw dengan tidak mengatakan قال رسول الله صلى الله عليه، فعل رسول الله صلى الله عليه وسلم.  Contoh marfu’ hukmi adalah perkataan sahabat tentang hal yang di dalamnya tidak mengandung ijtihad dan hanya Nabi saw-lah yang mengetahui akan hal itu seperti keterangan tentang zaman dahulu, hari kiamat, dan pahala dari Allah.

c.    Macam-macam hadis marfu’

Macam-macam hadis marfu’ ada empat:

1)   Marfu’ dari segi perkataan, seperti perkataan sahabat atau yang lainnya قال رسول الله صلى الله عليه  وسلم كذا.....

2)   Marfu’ dari segi perbuatan, seperti perkataan sahabat atau yang lainnya فعل رسول الله صلى الله عليه وسلم كذا......

3)   Marfu’ dari segi ketetapan, seperti perkataan sahabat atau yang lainnya فُعِلَ بحضرة النبي صلى الله عليه وسلم dan tidak ada periwayatan yang mengingkari akan ketetapan tersebut

4)   Marfu’ dari segi sifat, seperti perkataan sahabat atau yang lainnya كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أحسن الناس خلقا.[30]

d.   Hukum hadis marfu’

Hukum hadis marfu’ terkadang sahih, hasan, atau da’if

    D.    Klasifikasi Hadis dari Segi Penyandaran Berita

1.    Hadis marfu’. Pembahasan tentang hadis marfu’ sudah dijelaskan pada klasifikasi hadis dari segi ketersambungan sanad.

2.    Hadis mauquf

a.       Definisi hadis mauquf

Secara etimologi mauquf adalah isim maf’ul dari kata الوقف (berhenti) seakan-akan perawi meriwayatkan hadis hanya berhenti pada jenjang sahabat tidak sampai kepada Rasulullah saw.

Secara terminologi marfu’ adalah sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dari segi perkataan, perbuatan, dan ketetapan.[31]

b.      Contoh hadis mauquf

1)      Mauquf dari segi perkataan, seorang perawi mengatakan “قال علي بن أبي طالب رضي الله عنه: حدثوا الناس بما يعرفون، أتريدون أن يكذب الله ورسوله؟

“Ali ibn Abi Thalib RA. berkata: berbicaralah kepada manusia dengan bahasa yang mereka pahami, apakah kalian ingin berdusta kepada Allah dan Rasul-Nya?” 

2)      Mauquf dari segi perbuatan, seperti riwayat Sa’id “إن ابن عباس أصاب من جاريته، وأنه تيمّم فصلى بهم وهو متيمم

“sesungguhnya Ibn ‘Abbas menyentuh dengan budak perempuannya dan ia dalam keadaan bertayammum, kemudian ia sholat dengan mereka dalam keadaan bertayammum”

3)      Mauquf dari segi ketetapan, seperti riwayat Abdur Razzaq dari Ma’mar dari Ayyub dari Yusuf ibn Mahik “أن عيبد بن عمير رأى علي بن عمر قَمَلَةً في المسجد، فأخذها فدفنها، وابن عمر ينظر عليه ولم ينكر عليه ذلك[32]

“Sesungguhnya ‘Ubaid ibn ‘Umair meliahat Ali ibn Umar (membunuh) kutu rambut didalam masjid, kemuadian ia mengambilnya untuk dikubur,  sedangkan Ibnu Umar meliahat hal itu dan tidak mengingkarinya”

c.       Mauquf secara lafadz, marfu’ secara hukum

Ada beberapa kondisi hadis mauquf/ disandarkan kepada sahabat tetapi mempunyai hukum marfu’ sebagaimana pembagian hadis marfu’ pada pembahasan sebelumnya, yaitu:

1)      Seorang sahabat mengatakan suatu perkataan atau melakukan suatu perbuatan yang tidak ada ruang ijtihad di dalamnya seperti cerita israiliyyat, berita masa lalu (awal penciptaan dana cerita para Nabi), shalat gerhana yang dilakukan ‘Ali ibn Abi Talib yang setiap rakaatnya lebih dari dua ruku’.

2)      Perkataan sahabat “كنا نقول كذا، كنا نفعل كذا، كنا لانرى بأسا بكذا”. Hal ini terjadi dalam dua kemungkinan:

a)      Jika disandarkan pada zaman Nabi, maka hadis tersebut dikatakan marfu’ seperti perkataan Jabir ibn Abdullah “كنا نعزل على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم”, berbeda dengan jumhur, Abu Bakar al-Isma’ili mengatakan hal tersebut mauquf.

b)      Jika tidak disandarkan pada zaman Nabi, jumhur seperti al-Hakim, al-Nawawi, al-‘Iraqi, Ibn Hajar, dan al-Suyuti menghukuminya dengan marfu’, sebagian yang lain seperti Ibn  Salah dan al-Khatib al-Baghdadi menghukuminya dengan mauquf seperti perkataan Jabir ibn Abdullah “كنا إذا صعدنا كبّرنا، وإذا نزلنا سبحنا”.

3)      Perkataan sahabat “أمرنا بكذا، نهينا عن كذا، من السنة كذا” seperti perkataan sebagian sahabat “أُمر بلال أن يشفع الأذان ويوتر الإقامة

4)      Periwayatan sahabat tentang asbab al-nuzul dari sebuah ayat seperti perkataan Jabir “كانت اليهود تقول: من أتى امرأته من دبرها في قبلها جاء الولد أحول، فأنزل الله تعالى: نساءكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم

5)      Perkataan perawi di akhir hadis ketika menyebutkan nama sahabat “يرفعه، ينميه، يبلغ به، رواية” sebagai tanda kinayah bahwa sahabat tersebut memarfu’kan hadis pada Nabi saw. seperti riwayat al-Bukhari dari jalur Shu’bah dari Abi ‘Imran al-Juwani “عن أنس يرفعه: أن الله يقول لأهون أهل النار عذابا: لو أن لك ما في الأرض من شيء كنت تقتدي به؟ قال: نعم. قال: فقد سألتك ما هو أهون من هذا وأنت في صلب آدم، أن لا تشرك بي فأبيت إلا الشرك[33]

“Dari Anas, (dalam sebuah hadis) yang ia marfu’-kan kepada nabi bahwasanya Allah SWT. berkata kepada ahli neraka paling rendah siksaannya: seandainya engkau mendapati di bumi (sesuatu yang bisa kamu ikuti) apakah kamu kamu akan mengikutinya?, ahli neraka itu menjawab: iya. Kemudian Allah SWT. berkata: Sungguh aku telah menanyakan kepada kamu tentang sesuatu yang lebih ringan dari ini ketika kamu masih dalam kandungan, yaitu agar kamu tidak menyekutukanku, namun kamu menganaikannya (dengan menyekutukanku)”.    

d.      Kehujjahan hadis mauquf

Hadis mauquf terkadang hukum hadisnya sahih, hasan, atau da’if. Hadis mauquf yang tidak mempunyai hukum marfu’, pada dasarnya tidak bisa dijadikan hujjah karena hanya merupakan perkataan dan perbuatan sahabat. Akan tetapi, jika hadis mauquf tersebut hukumnya dapat diterima (sahih atau hasan), maka bisa menguatkan hadis yang da’if karena keberadaan sahabat adalah sebagai pelaku dari sunnah.[34]

3.    Hadis maqtu’

a.    Definisi hadis maqtu’

Secara etimologi hadis maqtu’ adalah isim maf’ul dari قطع (terputus) lawan dari kata وصل (bersambung).

Secara terminologi adalah sesuatu yang disandarkan kepada tabi’in atau yang di bawahnya berupa perkataan atau perbuatan.[35]

Sebagian ulama hadis seperti al-Shafi’i dan al-Tabrani memaknai hadis maqtu’ sebagai hadis munqati’ yang sanadnya tidak bersambung, namun istilah ini tidaklah masyhur. Al-Shafi’i menggunakan istilah tersebut sebelum munqati’ dijadikan sebuah istilah dalam ilmu hadis.[36]

b.    Contoh hadis maqtu’

1)      Hadis maqtu’ dari segi perkataan, seperti perkataan al-Hasan al-Basri tentang pembuat bid’ah yang menjadi imam shalat “صل وعليه بدعته

2)       Hadis maqtu’ dari segi perbuatan, seperti perkataan Ibrahim ibn Muhammad ibn al-Muntashir “كان مسروق يرخي الستر بينه وبين أهله، ويقبل على صلاته ويخليهم ودنياهم[37]

c.    Kehujjahan hadis maqtu’

Hadis maqtu’walaupun sahih tidak dapat dijadikan hujjah dalam hukum syariat karena hadis tersebut adalah perkataan atau perbuatan salah seorang muslim. Akan tetapi, jika ada qorinah (tanda) yang menandakan hadis itu marfu’, maka dapat dihukumi hadis marfu’ yang mursal seperti perkataan tabi’in “يرفعه”.[38]

d.   Kitab yang memuat hadis maqtu’         

Beberapa kitab yang memuat hadis maqtu’ adalah Musannaf Ibn Abi? Shaibah, Musannaf Abdurrazzaq,[39] kitab karangan Ibn Abi al-Dunya, Hilyah al-Auliya’ karya Abi Nu’aim, Tafsir Ibn Jarir, Tafsir Ibn Abi Hatim, al-Durr al-Manthur karya al-Suyuti.[40]

    E.     Hadis Qudsi

Hadis qudsi adalah setiap hadis di mana Rasulullah SAW. menyandarkanya langsung secara ucapan kepada Allah Azz wa Jalla.[41]

Ulama berbeda pendapat tentang hadis qudsi, di antara mereka ada yang berpendapat bahwa hadis qudsi lafadznya dari Allah, sementara kebanyakan ulama hadis mengatakan bahwa redaksi hadis qudsi merupakan dari nabi sedangkan maknanya berasal dari Allah SWT. Oleh karena itu, Abu al-Baqa’ berpendapat bahwa Alquran lafadz dan maknanya dari Allah SWT. dengan wahyu yang Jaliy (Jelas), sedangkan hadis lafadznya dari Rasulullah SAW. dan maknanya dari Allah. SWT. melalui perantara ilham atau mimpi.[42]

Hadis qudsi dinisbatkan pada “al-Quds” yang berarti suci dan dinisbatkan juga pada kata “al-Ilah” atau “al-Rabb” karena ia bersumber dari Allah azza wa jalla dari sisi bahwa Allah-lah yang mengatakan dan membuat. Sedangkan penyebutannya sebagai hadis dilihat dari dari sisi bahwa Rasulullah-lah yang menceritakannya. Berbeda dengan Alquran dimana penisbatannya langsung kepada Allah SWT.[43]

Salah satu contoh hadis qudsi adalah hadis yang diriwayatkan oleh imam Muslim:

عَنْ أَبِى ذَرٍّ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فِيمَا رَوَى عَنِ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَّهُ قَالَ: يَا عِبَادِى إِنِّى حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِى وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوا

“Dari Abu Dhar, dari Rasulullah SWT. dalam sebuah hadis yang diriwaytkan dari Allah SWT. bahwa sesungguhnya Allah SWT. bersabda: wahai hamba-hambaku, sesungguhnya aku mengharamkan (perbuatan) zalim atas diriku, dan aku mengharamkannya kepada kalian, maka janganlah kalian saling berbuat zalim”.  

Baca selanjutnya, artikel yang lainya :

DAFTAR PUSTAKA 

Idri, Studi Hadis, Jakarta: Kencana Media Group, 2010

Khaira Abadi (al), Muhammad Abu al-Laits, Ulum al-Hadis Ashiluha wa Mu’ashiruha, Malaysia: Dar al-Syakir, cet.7, 2011

Khatib (al), Muhammad ‘Ajjaj, Usul al-Hadith ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu .  Beirut: Dar al-Fikr, 1989.

Maliki (al), Muhammad ibn Alawi, al-Minhal al-Latif fi Usul al-Hadith al-Sharif, Beirut: Dar al-Fikr, 1978

Suyuti (al), Abd al-Rahman bin Abu Bakar, Tadrib al-Rawi, vol.2, Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah

Tahhan (al), Mahmud, Taisir Musthalah al-Hadis, Beirut: Dar al-Fikr

Salih (al), Subhi, Ulum al-Hadith wa Mustalahuhu, Beirut: Dar al-Ilmi li al-Malayin, 1984.


[1] Muhammad Abu al-Laits al-Khaira Abadi, Ulum al-Hadis Ashiluha wa Mu’ashiruha (Malaysia: Dar al-Syakir, cet.7, 2011),133.

[2] Ibid

[3] Mahmud al-Tahhan, Taisir Musthalah al-Hadis (Beirut: Dar al-Fikr), 14.

[4] Abd al-Rahman bin Abu Bakar al-Suyut, Tadrib al-RawiI (Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah, Juz 2), 104.,  Muhammad Abu al-Laits,Ulum al-Hadis Ashiluha wa Mu’ashiruha, 134.

[5] Muhammad Abu al-Laits, Ibid, dan  Idri,Studi Hadis, (Jakarta: Kencana Media Group, cet. 1, 2010), 133.

[6] Mahmud al-Tahhan, Taisir Musthalah al-Hadis, 20.

[7] Ibid, hal 21.

[8] Muhammad Abu al-Laits al-Khaira Abadi, Ulum al-Hadis Ashiluha wa Mu’ashiruha, 139.

[9] Ibid, hal. 140

[10] Ibid,

[11] Mahmud al-Tahhan, Taisir Musthalah al-Hadis, 26

[12] Muhammad ibn Alawi al-Maliki, al-Minhal al-Latif fi Usul al-Hadith al-Sharif (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), 95.

[13] Ibid.

[14] Mahmud al-Tahhan, Taisir Musthalah al-Hadis, 22.

[15] Idri, Studi Hadis, 154.

[16] Mahmud al-Tahhan, Taisir Mustalah al-Hadith, 29

[17] Ibid., 30

[18] Idri, Studi Hadis, 173

[19] Mahmud al-Tahhan, Taisir Mustalah al-Hadith, 38

[20] Ibid., 42-43

[21] Muhammad Abu al-Laith al-Khair Abadi, ‘Ulum al-Hadith Asiluha wa Mu’asiruha, 170

[22] Ibid, 170-180

[23] Ibid., 170, 181-189

[24] Ibid., 190-191

[25] Ibid, hal. 111

[26] Muhammad ibn Alawi al-Maliki, al-Minhal al-Latif fi Usul al-Hadith al-Sharif, 86.

[27] Ibid. 86

[28] Mahmud al-Tahhan, Taisir Mustalah al-Hadith, 105

[29] Muhammad ibn Alawi al-Maliki, al-Minhal al-Latif fi Usul al-Hadith al-Sharif, 77

[30] Mahmud al-Tahhan, Taisir Mustalah al-Hadith, 106

[31] Ibid. Hal. 107

[32] Muhammad Abu al-Laits al-Khaira Abadi, Ulum al-Hadis Ashiluha wa Mu’ashiruha , 125

[33] Muhammad Abu al-Laits al-Khaira Abadi, Ulum al-Hadis Ashiluha wa Mu’ashiruha, 126-128

[34] Mahmud al-Tahhan, Taisir Musthalah al-Hadis, 109

[35] Muhammad Abu al-Laits al-Khaira Abadi, Ulum al-Hadis Ashiluha wa Mu’ashiruha, 130

[36] Mahmud al-Tahhan, Taisir Musthalah al-Hadis , 110

[37] Muhammad Abu al-Laits al-Khaira Abadi, Ulum al-Hadis Ashiluha wa Mu’ashiruha, 130

[38] Mahmud al-Tahhan, Taisir Musthalah al-Hadis, 110

[39] Ibid., 110

[40] Muhammad Abu al-Laits al-Khaira Abadi, Ulum al-Hadith Ashiluha wa Mu’ashiruha, 130

[41] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadith ‘Ulumuhu wa Mustlahuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), 28.

[42] Subhi Salih, Ulum al-Hadith wa Mustalahuhu (Beirut: Dar al-Ilmi li al-Malayin, 1984), 11.

[43] al-Khatib, Usul al-Hadith, 29

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...