BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Hadis dan Sunnah telah disepakati
oleh umat islam sebagai rujukan yang kedua setelah Alquran. Dan untuk menjaga
kelestarian dan keutuhan sunnah dan hadis, para ulama telah melakukan
dan mengerahkan segala daya upaya untuk menjaganya.
Salah satu kontribusi para ulama
dalam menjaga kemurnian sunnah dan hadis Nabi adalah dengan menciptakan
dan meletakkan dasar-dasar ilmu hadis yang bisa dijadikan alat dan sarana
untuk menjaga dan melestarikan kemurnian sumber hukum islam yang kedua ini.
Sejak pencetusan ilmu hadis
ini dimulai dan dibukukan, telah banyak usaha dari para ulama dari generasi ke
generasi untuk mengembangkan dan terus membenahi ilmu ini hingga masa sekarang.
Maka adalah sangat pantas bagi
kita khususnya para pecinta ilmu hadis untuk terus menggali dan
mempelajari ilmu-ilmu keislaman khususnya ilmu hadis yang telah
diwariskan oleh para ulama pendahulu kita sebagai upaya dalam ikut serta
menjaga kelestarian dan kemurnian sunnah dan hadis nabi serta ilmu-ilmu
yang berkaitan dengannya.
B. Rumusan
Masalah
Salah satu rumusan masalah yang
menjadi titik tekan pembuatan makalah ini adalah tentang klasifikasi hadis
dilihat dari empat segi:
1. Klasifikasi
hadis dari segi kuantitasnya
2. Klasifikasi
hadis dari segi posisinya dalam hujjah
3. Klasifikasi
hadis dari segi ketersambungan sanad
4. Klasifikasi
hadis dari segi penyandaran berita
C. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan
makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui
Klasifikasi hadis dari segi kuantitasnya
2. Mengetahui
Klasifikasi hadis dari segi posisinya dalam hujjah
3. Mengetahui
Klasifikasi hadis dari segi ketersambungan sanad
4. Mengetahui
Klasifikasi hadis dari segi penyandaran berita
BAB II
PEMBAHASAN
A. Klasifikasi
hadis dari segi kuantitasnya
1. Hadis Mutawattir
a. Definisi
Menurut
bahasa, kata Mutawattir merupakan bentuk isim fa’il dari "التواتر" yang bermakna "التتابع" (berkesinambungan).[1]
Sedangkan
menurut istilah, hadis Mutawattir adalah hadis yang diriwayatkan
oleh banyak orang (rawi) pada setiap tingkatan sanad, dimana
menurut kebiasaan, mustahil mereka untuk berdusta atau bersepakat untuk membuat
hadis tersebut, dan akhir periwayatannya harus disandarkan pada
panca indra.[2]
b. Syarat-Syarat
Hadis Mutawattir
Dari
definisi yang telah dipaparkan di atas, bisa kita pahami bahwa suatu hadis
bisa dikatakan Mutawattir apabila telah memenuhi empat syarat, yaitu:[3]
1) Hadis tersebut harus diriwayatkan
oleh orang yang banyak.
Adapun
jumlah banyaknya bilangan orang (rawi) tersebut dikatakan banyak, para
ulama hadis berbeda pendapat dalam hal tersebut.
Al-Baqillani
berpendapat paling sedikit empat orang, al-Istikhri mengatakan paling sedikit
sepuluh orang, menurut Abu al-Hudhail al-Mu’tazili paling sedikit dua puluh
orang.[4]
Namun pendapat yang lebih dipilih oleh mayoritas ulama hadis dan ulama
fiqh adalah bahwa keMutawattiran suatu hadis tidak ditentukan
oleh jumlah bilangan tertentu, yang menjadi tolak ukur adalah bahwa bilangan
orang disetiap tingkatan sanad bisa menghasilkan keyakinan pasti
terhadap kebenaran suatu berita.[5]
2) Jumlah rawi
yang banyak tersebuat harus terdapat pada setiap tingkatan sanad.
3) Menurut
kebiasaan, mustahil para rawi yang banyak itu bersepakat untuk berdusta.
4) Akhir periwayatan
hadis tersebut haruslah disandarkan pada panca indera.
c. Pembagian Hadis
Mutawattir
Hadis Mutawattir terbagi
menjadi dua, Mutawattir lafdhi dan Mutawattir ma’nawi. Hadis
Mutawattir lafdhi adalah hadis yang lafadz dan maknanya sama-sama
Mutawattir. Contoh hadis Mutawattir lafdhi adalah hadis
مَنْ
كَذَّبَ عَلَىَّ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barang siapa yang
berbuat dusta atas diriku, maka bersiaplah ia (menempati) tempatnya di neraka.”
hadis tersebut diriwayatkan oleh sejumlah besar sahabat
d. Kehujjahan
Hadis Mutawattir
Menurut
Mahmud al-Tahhan, hadis Mutawattir memberikan keyakinan
yang sangat pasti dan kuat. Sehingga tidak ada alasan untuk tidak
mempercayainya. Dan tidak perlu lagi untuk membahas kondisi para perawinya.[6]
e. Kitab-kitab
yang membahas dan menghimpun hadis-hadis Mutawattir
Di antara
kitab-kitab yang membahas tentang hadis mutawatir adalah: Al-Athar
al-Mutanathirah fi al-Akhbar al-Mutawattirah karya Imam al-Suyuti
2. Hadis Ahad
a. Definisi
Ahad
merupakan
bentuk jamak dari kata "أحد" yang mempunyai arti satu. Jadi hadis ahad secara
bahasa adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang.[7]
Hadis ahad menurut istilah
adalah hadis yang di dalamnya tidak memenuhi kriteria hadis Mutawattir.
Dikatakan khabar ahad karena ia menyamai khabar ahad dalam hal
memberikan kepastian yg bersifat zann bukan yaqin.[8]
b. Pembagian Hadis
Ahad
Ditinjau
dari jumlah perawinya, hadis ahad terbagi menjadi tiga:
1) Hadis Gharib
Secara
bahasa merupakan sifat mushabbihah dari kata "الغربة" dan "الغرابة" dengan makna isim fa’il. Kata “Gharib” memiliki
dua makna: pertama "المنفرد في
الجماعة بشيء ما" yang menyendiri atau
terpisah dalam sebuah kelompok/golongan. Kedua "البعيد
عن وطنه وأقاربه" yang jauh dari negara
dan kerabat.[9]
Menurut
istilah, hadis gharib adalah hadis yang dalam sanadnya
hanya terdapat satu rawi saja yang meriwayatkan. Satu rawi tersebut bisa
saja berada pada salah satu tingkatan sanad atau pada keseluruhan sanad.[10]
Menurut
Mahmud al-Tahhan, hadis gharib terbagi menjadi dua: gharib mutlaq
dan gharib nisbi.
Gharib
mutlaq adalah hadis
yang pada pokok sanadnya hanya ada satu rawi yang meriwayatkan.
Yang dimaksud dengan pokok sanad di sini adalah sahabat. Jadi, gharib
mutlaq adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang sahabat
saja. Contohnya adalah hadis "إنما
الأعمال بالنيات" , di mana hanya Umar bin Khattab saja yang meriwayatkan hadis
tersebut dari Nabi Muhammad SAW.
Gharib
nisbi adalah hadis
di mana ke gharibannya terletak di tengah-tengah sanad meskipun
pada permulaan sanad diriwayatkan oleh banyak rawi. Contohnya
adalah hadis "مالك عن
الزهري عن أنس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم دخل مكة وعلى رأسه
المغفر" ,
“Dari
Malik, dari al-Zuhri, dari Anas RA. bahwa sesungguhya nabi muhammad SAW.
memasuki kota mekkah dalam keadaa
dalam
periwayatan hadis tersebut, hanya Malik yang meriwayatkan
dari al-Zuhri. [11]
2) Hadis Aziz
Dari
segi bahasa, aziz bisa mempunyai dua makna: pertama merupakan sifat mushabbihah
dari "عزّ يعِزّ" yang
bermakna sedikit, atau yang kedua merupakan sifat mushabbihah dari "عزّ
يعَزّ" yang bermakna kuat.[12]
Menurut
istilah, hadis aziz adalah hadis yang dalam rangkaian sanadnya
terdapat dua orang rawi. Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Hajar al-Asqalani
dan merupakan pendapat yang mashhur. ada juga yang berpendapat bahwa hadis
aziz adalah hadis yang dalam rangkaian sanadnya terdapat
dua orang rawi atau tiga. Pendapat ini merupakan pendapat Ibnu Salah dan
al-Baiquni.[13]
3) Hadis Mashhur
Menurut
bahasa, mashhur merupakan ism maf’ul dari "شهرت
الأمر" yang bermakna aku mengumumkan dan menampakkan suatu perkara.
Sedangkan
menurut istilah, hadis mashhur adalah hadis yang diriwayatkan
oleh tiga orang atau lebih, dimana tidak sampai pada batas Mutawattir.[14]
Hadis mashhur non terminologis
Yang
dimaksud dengan hadis mashhur non terminologis adalah hadis
mashhur atau terkenal dikalangan masyarakat tanpa adanya syarat dan batasan
yang mengikat. Terdapat bermacam-macam hadis mashhur seperti ini,
di antaranya:
a) Hadis yang Mashhur khusus di kalangan
ahli hadis, seperti hadis
"عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا بَعْدَ الرُّكُوعِ يَدْعُو عَلَى
رِعْلٍ وَذَكْوَانَ"
“Dari Anas ibn Malik ia berkata:
Rasulullah SAW. melaksanakan doa qunut selama satu bulan untuk kabilah Ri’l dan
Dhakwan”
b) Hadis yang Mashhur di kalangan Ahli Hadis,
Ulama, dan orang awam, contonhnya hadis
"الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ
وَيَدِهِ"
“Seorang Muslim (sesungguhnya)
adalah orang yang orang islam lainnya selamat dari (kejelekan) lisan dan
tangannya”
c) Hadis yang Mashhur di kalangan Ahli
Ushu al-Fiqh, seperti hadis
"
رفع عن أمتى الخطأ والنسيان وما
استكرهوا عليه
"
“Dimaafkan
(tidak disiksa) dari ummatku (perbuatan dikarenakan) tersalah, lupa, dan apa
yang dipaksakan kepadanya”
d) Hadis yang mashhur di kalangan
ahli nahwu, seperti hadis
"نعم العبد
صهيب، لو لم يخف الله لم يعصه"
“Sebaik-baik
hamba adalah Suhaib, walupun ia tidak takut kepada Allah, ia tidak bermaksiat
kepada-Nya”
e) Hadis yang Mashhur secara umum
"
الْعَجَلَةُ مِنْ الشَّيْطَانِ
"
“Terburu-buru
termasuk dari (godaan) syaitan”
c. Kehujjahan Hadis
Ahad
Mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in, ahli hadis, ahli fiqh, dan ahli ushul berpendapat bahwa hadis ahad bisa dijadikan hujjah dengan syarat harus sahih.[15]
B. Klasifikasi
hadis dari segi posisinya dalam hujjah
1.
Hadis Maqbul
Hadis maqbul adalah hadis yang
dapat diterima yang dikuatkan kebenaran pembawa beritanya. Hukumnya wajib
dijadikan hujjah dan diamalkan.
Hadis maqbul
terbagi menjadi dua bagian, yaitu hadis sahih dan hasan.
Masing-masing bagian terbagi menjadi dua bagian, li dhatihi dan li
ghairihi.[16]
a.
Hadis sahih
Secara etimologi hadis sahih adalah selamat
(الصحيح) lawan dari sakit (السقيم).
Secara terminologi hadis sahih adalah hadis
yang bersambung sanadnya, diriwayatkan dan diterima dari periwayat
yang adil dan dabit, serta selamat dari kejanggalan dan illat.[17]
Dari definisi di atas, diketahui bahwa kriteria hadis
sahih ada lima:
1)
Sanad bersambung (اتصال السند)
2)
Periwayat
bersifat adil (عدالة الرواة)
3)
Periwayatan
bersifat dabit.
4)
Terhindar dari shadh
5)
Terhindar dari illat
Hadis sahih dibagi
menjadi dua:
1)
Hadis sahih li
dhatihi, hadis yang memenuhi kriteria-kriteria hadis sahih
yang lima.
2)
Hadis sahih li
ghairihi, hadis yang ke-sahih-annya dibantu oleh adanya hadis
lain. Hadis kategori ini memiliki kelemahan berupa periwayat yang
kurang dabit, sehingga dinilai tidaak memenuhi syarat untuk
dikategorikan sebagai hadis sahih. Tetapi setelah diketahui ada hadis
lain dengan kandungan matan yang sama dan berkualitas sahih, maka hadis
tersebut naik derajatnya menjadi sahih.[18]
b.
Hadis Hasan
Secara etimologi hadis hasan adalah sifat mushabbahah
dari الحُسْنُ yang bermakna
bagus.
Secara terminologi hadis hasan adalah hadis
yang diriwayatkan oleh periwayat yang adil, kurang kuat
hafalannya, bersambung sanadnya, tidak mengandung illat dan syadh.
Jadi hadis hasan adalah hadis sahih
yang ke-dabit-annya berkurang tidak sesempurna hadis sahih.[19]
Hadis hasan
dibagi menjadi dua:
1)
Hadis hasan li
dhatihi, hadis yang memenuhi kriteria-kriteria hadis hasan
yang lima.
2)
Hadis hasan li
ghairihi, hadis da’if yang mempunyai banyak jalur periwayatan
dan penyebab ke-da’if-annya bukan karena perawi yang fasik atau
pembohong.[20]
2.
Hadis Mardud
Hadis mardud adalah hadis yang
tidak diterima dan tidak dikuatkan
kebenaran pembawa beritanya. Hukumnya tidak wajib dijadikan hujjah dan tidak
wajib diamalkan. Hadis mardud dibagi menjadi dua: mardud
karena sanad hadis ada yang terputus dan mardud karena ada
kecacatan pada perawi.[21]
a.
Hadis mardud
karena terputusnya sanad
Terputusnya sanad adalah gugurnya satu orang atau
lebih dari perawi hadis dalam sebuah sanad baik disengaja oleh
sebagian perawi atau tanpa disengaja, gugurnya bisa di awal, tengah, atau akhir
sanad. Terputusnya sanad ini dibagi menjadi dua:
1)
Terputus secara
jelas dan tanpak (saqt zahir), yaitu sanad yang gugurnya dapat
diketahui oleh ulama yang ahli hadis atau yang menyibukkan diri dengan
ilmu hadis. Hal ini dapat diketahui dengan tidak adanya liqa’
antara guru dan murid, tidak satu zaman, berada dalam satu zaman tetapi tidak
pernah bertemu. Penyebab terputusnya sanad secara jelas ini dibagi ke
dalam empat istilah:
a)
Muallaq, hadis
yang periwayatnya di awal sanad gugur seorang atau lebih secara
berurut.
b)
Mursal, hadis
yang disandarkan langsung oleh tabi’in kepada Nabi saw. tanpa terlebih dahulu
disandarkan kepada sahabat.
c)
Mu’dal, hadis
yang dalam sanadnya gugur dua orang atau lebih secara berturut-turut.
d)
Munqati’, hadis
yang sanadnya terputus di bagian mana saja. [22]
2)
Terputus secara tersembunyi
(saqt khafi), yaitu terputusnya perawi dalam suatu sanad tidak
dapat diketahui kecuali oleh mereka yang ahli dalam hadis dan ilmu hadis
yang kritis tehadap jalur dan illat hadis. Saqt khafi ini
terbagi dalam dua istilah:
a)
Mudallas, hadis
yang diriwayatkan dengan cara yang diperkirakan bahwa hadis itu
tidak bercacat.
b)
Mursal khafi, hadis
yang diriwayatkan oleh perawi yang sezaman dan penah bertemu tetapi
tidak pernah mendengarnya dengan bentuk lafadz yang mengandung sima’ atau
yang sejenisnya. [23]
b.
Hadis mardud karena
perawi yang cacat
Mardud karena perawi yang cacat adalah
cacatnya seorang perawi dalam keadilan atau ke-dabit-annya, atau dalam
keduanya.
1)
Hal-hal yang
berhubungan dengan cacatnya seorang perawi dalam hal keadilannya:
a)
Perawi pembohong, periwayatannya
dikenal dengan maudu’
b)
Perawi yang
dituduh pembohong atau pemalsu, periwayatannya dikenal dengan matruk
c)
Perawi yang fasik,
periwayatannya dikenal dengan munkar
d)
Perawi yang suka
mengajak pada bid’ah, periwayatannya terkenal dengan sangat da’if
e)
Perawi yang tidak diketahui identitasnya, periwayatannya
dikenal dengan da’if atau majhul.
Semua sebab di atas tidak bisa membuat riwayatnya
naik ke jenjang hadis hasan li ghairihi kecuali hadis majhul
jika diriwayatkan dari jalur lain yang kualitasnya lebih baik
2)
Hal-hal yang
berhubungan dengan cacatnya seorang perawi dalam hal ke-dabit-annya:
a)
Kekeliruan perawi
sangat parah, hadisnya dinamakan munkar jika berbeda dari periwayatan
perawi yang lain, jika tidak berbeda maka dinamakan da’if
b)
Banyak kelalaian, hadisnya
juga dinamakan munkar jika berbeda dari periwayatan perawi yang
lain, jika tidak berbeda maka dinamakan da’if
c)
Hafalannya buruk, hadisnya
juga dinamakan munkar jika berbeda dari periwayatan perawi yang
lain, jika tidak berbeda maka dinamakan da’if
d)
Keraguan dalam thiqqah,
hadisnya dinamakan ma’lul, mu’allal, atau mu’all
e)
Bertentangan
dengan rawi thiqqah, hadisnya dinamakan shadh jika
lawan hadisnya thiqqah, dan dinamakan munkar jika lawan hadisnya
da’if. Cacatnya perawi karena bertentangan dengan rawi thiqqah
ini, juga mempunyai pembagian lain yaitu mudraj, maqlub, mudtarib, musahhaf,
muharraf, dan mazid fi muttasil al-asanid.[24]
Baca artikel tentang Ilmu Hadis lainya :
C. Klasifikasi
Hadis dari Segi Ketersambungan Sanad
1.
Hadis Muttasil
a.
Definisi hadis
muttasil
Secara etimologi muttasil adalah isim fa’il
dari lafadz اتّصل (bersambung) lawan dari kata انقطع
(terputus). Hadis muttasil juga dikatakan sebagai hadis al-mausul.
Secara terminologi muttasil adalah hadis
yang sanadnya bersambung baik sanad tersebut sampai kepada Nabi (marfu’)
ataupun sahabat (mauquf) [25].
Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa ciri-ciri hadis
muttasil adalah:
1)
Adanya
ketersambungan sanad, setiap perawi dalam sanad tersebut
mendengar langsung dari gurunya sampai akhir.
2)
Sanadnya berakhir pada
Nabi atau sahabat[26].
b.
Contoh hadis
muttasil
1)
Muttasil yang sanadnya
bersambung kepada Nabi: مالك عن ابن شهاب عن سالم بن عبد الله عن أبيه عن رسول الله صلى الله عليه
وسلم أنه قال: كذا.......
“Malik dari Ibn Shihab dari Salim, dari
Abdullah dari bapaknya Abdullah dari Rasulullah SAW. bahwasanya beliua
bersabda: …..
2)
Muttasil yang sanadnya
bersambung kepada sahabat: مالك عن نافع عن ابن عمر أنه قال كذا.....
”Malik dari Nafi’ dari Ibn Umar bahwasanya sesungguhnya beliau berkata:….”
Menurut Ibn Salah, hadis muttasil hanya
mencakup hadis marfu’ dan mauquf saja, sedangkan hadis
maqtu’ (yang disandarkan kepada tabi’in) tidak termasuk dalam
definisi muttasil. Menurut al-‘Iraqi, hadis maqtu’ tidak
dinamakan muttasil secara mutlak, akan tetapi dapat dikatakan muttasil
dengan adanya taqyid (ikatan) yang mengikatnya yaitu jika suatu sanad
bersambung sampai tabi’in, maka diperbolehkan mengatakan sanad ini
bersambung sampai kepada Fulan seperti هذا متصل إلى سعيد بن المسيب أو الزهري أو مالك.[27]
“hadis ini bersambung kepada Sa’id ibn al-Musayyab
atau kepada al-Zuhri atau kepada Malik”
c.
Hukum hadis
muttasil
Hukum hadis
muttasil terkadang sahih, hasan, atau da’if
2.
Hadis Marfu’
a.
Definisi hadis
marfu’
Secara etimologi marfu’ adalah isim maf’ul
dari kata رفع (tinggi) lawan
dari kata وضع (rendah, bawah).
Dinamakan dengan marfu’ karena disandarkan kepada pemilik tempat yang
tinggi yaitu Nabi Muhammad saw.
Secara terminologi marfu’ adalah sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi saw dari segi perkataan, perbuatan, ketetapan, atau
sifat.[28]
b.
Pembagian hadis
marfu’
Hadis marfu’ dibagi menjadi dua, marfu’
tasrihi dan marfu’ hukmi:[29]
1)
Marfu’ tasrihi (yang jelas)
yaitu perkataan, perbuatan, ketetapan disandarkan kepada Nabi saw secara jelas
seperti perkataan sahabat سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول كذا، قال رسول الله صلى الله عليه
وسلم كذا، رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم فعل كذا، كان رسول الله صلى الله
عليه وسلم يفعل كذا.
“Aku mendengar Rasulullah SAW. bersabda
demikian.. , atau (ungkapan) Rasulullah SAW. bersabda demikian, atau (ungkapan)
aku melihat Rasulullah SAW. melakukan ini…, atau (ungkapan) Rasulullah SAW.
pernah melakukan ini…”
2)
Marfu’ hukmi (secara hukum)
yaitu seorang sahabat tidak menyandarkan perkataan, perbuatan, atau ketetapan
secara jelas kepada Nabi saw dengan tidak mengatakan قال رسول الله صلى
الله عليه، فعل رسول الله صلى الله عليه وسلم. Contoh marfu’ hukmi adalah perkataan
sahabat tentang hal yang di dalamnya tidak mengandung ijtihad dan hanya Nabi
saw-lah yang mengetahui akan hal itu seperti keterangan tentang zaman dahulu,
hari kiamat, dan pahala dari Allah.
c.
Macam-macam hadis
marfu’
Macam-macam hadis
marfu’ ada empat:
1)
Marfu’ dari segi
perkataan, seperti perkataan sahabat atau yang lainnya قال رسول الله صلى الله عليه وسلم كذا.....
2)
Marfu’ dari segi
perbuatan, seperti perkataan sahabat atau yang lainnya فعل رسول الله صلى الله عليه وسلم كذا......
3)
Marfu’ dari segi
ketetapan, seperti perkataan sahabat atau yang lainnya فُعِلَ بحضرة النبي صلى الله عليه وسلم
dan tidak ada periwayatan
yang mengingkari akan ketetapan tersebut
4)
Marfu’ dari segi sifat,
seperti perkataan sahabat atau yang lainnya كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أحسن الناس خلقا.[30]
d.
Hukum hadis
marfu’
Hukum hadis
marfu’ terkadang sahih, hasan, atau da’if
D. Klasifikasi
Hadis dari Segi Penyandaran Berita
1.
Hadis marfu’.
Pembahasan tentang hadis marfu’ sudah dijelaskan pada klasifikasi
hadis dari segi ketersambungan sanad.
2.
Hadis mauquf
a.
Definisi hadis
mauquf
Secara etimologi mauquf adalah isim maf’ul
dari kata الوقف (berhenti)
seakan-akan perawi meriwayatkan hadis hanya berhenti pada jenjang
sahabat tidak sampai kepada Rasulullah saw.
Secara terminologi
marfu’ adalah sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dari segi
perkataan, perbuatan, dan ketetapan.[31]
b.
Contoh hadis
mauquf
1)
Mauquf dari segi
perkataan, seorang perawi mengatakan “قال علي بن أبي طالب رضي الله عنه: حدثوا الناس بما يعرفون،
أتريدون أن يكذب الله ورسوله؟”
“Ali
ibn Abi Thalib RA. berkata: berbicaralah kepada manusia dengan bahasa yang
mereka pahami, apakah kalian ingin berdusta kepada Allah dan Rasul-Nya?”
2)
Mauquf dari segi
perbuatan, seperti riwayat Sa’id “إن ابن عباس أصاب من جاريته، وأنه تيمّم فصلى بهم وهو متيمم”
“sesungguhnya
Ibn ‘Abbas menyentuh dengan budak perempuannya dan ia dalam keadaan
bertayammum, kemudian ia sholat dengan mereka dalam keadaan bertayammum”
3)
Mauquf dari segi
ketetapan, seperti riwayat Abdur Razzaq dari Ma’mar dari Ayyub dari
Yusuf ibn Mahik “أن عيبد بن عمير رأى علي بن عمر قَمَلَةً في المسجد، فأخذها فدفنها، وابن عمر
ينظر عليه ولم ينكر عليه ذلك”[32]
“Sesungguhnya ‘Ubaid ibn ‘Umair
meliahat Ali ibn Umar (membunuh) kutu rambut didalam masjid, kemuadian ia mengambilnya
untuk dikubur, sedangkan Ibnu Umar
meliahat hal itu dan tidak mengingkarinya”
c.
Mauquf secara lafadz, marfu’
secara hukum
Ada beberapa kondisi hadis mauquf/
disandarkan kepada sahabat tetapi mempunyai hukum marfu’ sebagaimana
pembagian hadis marfu’ pada pembahasan sebelumnya, yaitu:
1)
Seorang sahabat
mengatakan suatu perkataan atau melakukan suatu perbuatan yang tidak ada ruang
ijtihad di dalamnya seperti cerita israiliyyat, berita masa lalu (awal
penciptaan dana cerita para Nabi), shalat gerhana yang dilakukan ‘Ali ibn Abi
Talib yang setiap rakaatnya lebih dari dua ruku’.
2)
Perkataan sahabat
“كنا نقول كذا،
كنا نفعل كذا، كنا لانرى بأسا بكذا”.
Hal ini terjadi dalam dua kemungkinan:
a)
Jika disandarkan
pada zaman Nabi, maka hadis tersebut dikatakan marfu’ seperti
perkataan Jabir ibn Abdullah “كنا نعزل على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم”,
berbeda dengan jumhur, Abu Bakar al-Isma’ili mengatakan hal tersebut mauquf.
b)
Jika tidak
disandarkan pada zaman Nabi, jumhur seperti al-Hakim, al-Nawawi, al-‘Iraqi, Ibn
Hajar, dan al-Suyuti menghukuminya dengan marfu’, sebagian yang lain
seperti Ibn Salah dan al-Khatib
al-Baghdadi menghukuminya dengan mauquf seperti perkataan Jabir ibn
Abdullah “كنا إذا صعدنا
كبّرنا، وإذا نزلنا سبحنا”.
3)
Perkataan sahabat
“أمرنا بكذا،
نهينا عن كذا، من السنة كذا”
seperti perkataan sebagian sahabat “أُمر بلال أن يشفع الأذان ويوتر الإقامة”
4)
Periwayatan
sahabat tentang asbab al-nuzul dari sebuah ayat seperti perkataan Jabir
“كانت اليهود
تقول: من أتى امرأته من دبرها في قبلها جاء الولد أحول، فأنزل الله تعالى: نساءكم
حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم”
5)
Perkataan perawi
di akhir hadis ketika menyebutkan nama sahabat “يرفعه، ينميه، يبلغ به، رواية”
sebagai tanda kinayah bahwa sahabat tersebut memarfu’kan hadis
pada Nabi saw. seperti riwayat al-Bukhari dari jalur Shu’bah dari Abi
‘Imran al-Juwani “عن أنس يرفعه: أن الله يقول لأهون أهل النار عذابا: لو أن لك ما في الأرض من
شيء كنت تقتدي به؟ قال: نعم. قال: فقد سألتك ما هو أهون من هذا وأنت في صلب آدم،
أن لا تشرك بي فأبيت إلا الشرك”[33]
“Dari Anas, (dalam sebuah hadis) yang
ia marfu’-kan kepada nabi bahwasanya Allah SWT. berkata kepada ahli neraka
paling rendah siksaannya: seandainya engkau mendapati di bumi (sesuatu yang
bisa kamu ikuti) apakah kamu kamu akan mengikutinya?, ahli neraka itu menjawab:
iya. Kemudian Allah SWT. berkata: Sungguh aku telah menanyakan kepada kamu
tentang sesuatu yang lebih ringan dari ini ketika kamu masih dalam kandungan,
yaitu agar kamu tidak menyekutukanku, namun kamu menganaikannya (dengan
menyekutukanku)”.
d.
Kehujjahan hadis
mauquf
Hadis mauquf
terkadang hukum hadisnya sahih, hasan, atau da’if. Hadis mauquf
yang tidak mempunyai hukum marfu’, pada dasarnya tidak bisa dijadikan
hujjah karena hanya merupakan perkataan dan perbuatan sahabat. Akan tetapi,
jika hadis mauquf tersebut hukumnya dapat diterima (sahih
atau hasan), maka bisa menguatkan hadis yang da’if karena
keberadaan sahabat adalah sebagai pelaku dari sunnah.[34]
3.
Hadis maqtu’
a.
Definisi hadis
maqtu’
Secara etimologi hadis maqtu’
adalah isim maf’ul dari قطع
(terputus) lawan dari kata وصل (bersambung).
Secara terminologi adalah sesuatu yang
disandarkan kepada tabi’in atau yang di bawahnya berupa perkataan atau
perbuatan.[35]
Sebagian ulama hadis seperti
al-Shafi’i dan al-Tabrani memaknai hadis maqtu’ sebagai hadis
munqati’ yang sanadnya tidak bersambung, namun istilah ini
tidaklah masyhur. Al-Shafi’i menggunakan istilah tersebut sebelum munqati’
dijadikan sebuah istilah dalam ilmu hadis.[36]
b.
Contoh hadis
maqtu’
1)
Hadis maqtu’
dari segi perkataan, seperti perkataan al-Hasan al-Basri tentang pembuat bid’ah
yang menjadi imam shalat “صل وعليه بدعته”
2)
Hadis maqtu’ dari segi
perbuatan, seperti perkataan Ibrahim ibn Muhammad ibn al-Muntashir “كان مسروق يرخي الستر بينه وبين أهله، ويقبل على صلاته
ويخليهم ودنياهم”[37]
c.
Kehujjahan hadis
maqtu’
Hadis maqtu’walaupun sahih tidak dapat dijadikan hujjah dalam hukum syariat karena hadis tersebut adalah perkataan atau perbuatan salah seorang muslim. Akan tetapi, jika ada qorinah (tanda) yang menandakan hadis itu marfu’, maka dapat dihukumi hadis marfu’ yang mursal seperti perkataan tabi’in “يرفعه”.[38]
d.
Kitab yang memuat hadis maqtu’
Beberapa
kitab yang memuat hadis maqtu’ adalah Musannaf Ibn Abi? Shaibah,
Musannaf Abdurrazzaq,[39]
kitab karangan Ibn Abi al-Dunya, Hilyah al-Auliya’ karya Abi Nu’aim,
Tafsir Ibn Jarir, Tafsir Ibn Abi Hatim, al-Durr al-Manthur
karya al-Suyuti.[40]
E.
Hadis Qudsi
Hadis qudsi adalah setiap hadis di mana Rasulullah
SAW. menyandarkanya langsung secara ucapan kepada Allah Azz wa Jalla.[41]
Ulama berbeda pendapat tentang hadis
qudsi, di antara mereka ada yang berpendapat bahwa hadis qudsi
lafadznya dari Allah, sementara kebanyakan ulama hadis mengatakan bahwa
redaksi hadis qudsi merupakan dari nabi sedangkan maknanya
berasal dari Allah SWT. Oleh karena itu, Abu al-Baqa’ berpendapat bahwa Alquran
lafadz dan maknanya dari Allah SWT. dengan wahyu yang Jaliy (Jelas),
sedangkan hadis lafadznya dari Rasulullah SAW. dan maknanya dari Allah.
SWT. melalui perantara ilham atau mimpi.[42]
Hadis qudsi dinisbatkan pada “al-Quds” yang berarti suci
dan dinisbatkan juga pada kata “al-Ilah” atau “al-Rabb” karena ia
bersumber dari Allah azza wa jalla dari sisi bahwa Allah-lah yang mengatakan
dan membuat. Sedangkan penyebutannya sebagai hadis dilihat dari dari
sisi bahwa Rasulullah-lah yang menceritakannya. Berbeda dengan Alquran dimana
penisbatannya langsung kepada Allah SWT.[43]
Salah satu contoh hadis qudsi
adalah hadis yang diriwayatkan oleh imam Muslim:
عَنْ أَبِى ذَرٍّ عَنِ النَّبِىِّ
-صلى الله عليه وسلم- فِيمَا رَوَى عَنِ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَّهُ
قَالَ: يَا عِبَادِى إِنِّى حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِى وَجَعَلْتُهُ
بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوا
“Dari Abu Dhar, dari Rasulullah SWT. dalam sebuah hadis yang
diriwaytkan dari Allah SWT. bahwa sesungguhnya Allah SWT. bersabda: wahai
hamba-hambaku, sesungguhnya aku mengharamkan (perbuatan) zalim atas diriku, dan
aku mengharamkannya kepada kalian, maka janganlah kalian saling berbuat zalim”.
Baca selanjutnya, artikel yang lainya :
- Teori Kesahihan Hadist
- Kehujjahan, Kedudukan, & Sejarah Hadis
- Makalah Terminologi Hadist Nabi
- Ilmu Hadist & Sejarah Penghimpunannya
- Kodifikasi Hadist Nabi
- Telaah Hadis-Hadis Berpolemik Melalui Kashaf Ibn ‘Arabi
- Hadis Sahih Dan Problematikanya
- Hadis Hasan dan Problematikanya
- Hadis Dhaif dan Problematikanya
- Klasifikasi Hadis Secara Kuantitas
- Kehujjahan Hadist Ahad Menurut Ulama' Empat Mazhab
DAFTAR PUSTAKA
Idri, Studi Hadis, Jakarta: Kencana Media Group, 2010
Khaira Abadi (al), Muhammad Abu al-Laits, Ulum al-Hadis Ashiluha wa Mu’ashiruha, Malaysia: Dar al-Syakir, cet.7, 2011
Khatib (al), Muhammad ‘Ajjaj, Usul al-Hadith ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu . Beirut: Dar al-Fikr, 1989.
Maliki (al), Muhammad ibn Alawi, al-Minhal al-Latif fi Usul al-Hadith al-Sharif, Beirut: Dar al-Fikr, 1978
Suyuti (al), Abd al-Rahman bin Abu Bakar, Tadrib al-Rawi, vol.2, Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah
Tahhan (al), Mahmud, Taisir Musthalah al-Hadis, Beirut: Dar al-Fikr
Salih (al), Subhi, Ulum al-Hadith wa Mustalahuhu, Beirut: Dar al-Ilmi li al-Malayin, 1984.[1] Muhammad Abu al-Laits al-Khaira
Abadi, Ulum al-Hadis Ashiluha wa Mu’ashiruha (Malaysia: Dar al-Syakir,
cet.7, 2011),133.
[2] Ibid
[3] Mahmud al-Tahhan, Taisir
Musthalah al-Hadis (Beirut: Dar al-Fikr), 14.
[4] Abd al-Rahman bin Abu Bakar
al-Suyut, Tadrib al-RawiI (Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah, Juz 2),
104., Muhammad Abu al-Laits,Ulum al-Hadis
Ashiluha wa Mu’ashiruha, 134.
[5] Muhammad Abu al-Laits, Ibid,
dan Idri,Studi Hadis,
(Jakarta: Kencana Media Group, cet. 1, 2010), 133.
[6] Mahmud al-Tahhan, Taisir
Musthalah al-Hadis, 20.
[7] Ibid, hal 21.
[8] Muhammad Abu al-Laits al-Khaira
Abadi, Ulum al-Hadis Ashiluha wa Mu’ashiruha, 139.
[9] Ibid, hal. 140
[10] Ibid,
[11] Mahmud al-Tahhan, Taisir
Musthalah al-Hadis, 26
[12] Muhammad
ibn Alawi al-Maliki, al-Minhal al-Latif fi Usul al-Hadith al-Sharif
(Beirut: Dar al-Fikr, 1978),
95.
[13] Ibid.
[14] Mahmud al-Tahhan, Taisir
Musthalah al-Hadis, 22.
[15] Idri, Studi Hadis, 154.
[16]
Mahmud al-Tahhan, Taisir Mustalah al-Hadith, 29
[17]
Ibid., 30
[18]
Idri, Studi Hadis, 173
[19]
Mahmud al-Tahhan, Taisir Mustalah al-Hadith, 38
[20] Ibid.,
42-43
[21] Muhammad
Abu al-Laith al-Khair Abadi, ‘Ulum al-Hadith Asiluha wa Mu’asiruha, 170
[22] Ibid, 170-180
[23] Ibid., 170, 181-189
[24] Ibid.,
190-191
[25] Ibid, hal. 111
[26] Muhammad
ibn Alawi al-Maliki, al-Minhal al-Latif fi Usul al-Hadith al-Sharif, 86.
[27]
Ibid. 86
[28]
Mahmud al-Tahhan, Taisir Mustalah al-Hadith, 105
[29] Muhammad
ibn Alawi al-Maliki, al-Minhal al-Latif fi Usul al-Hadith al-Sharif, 77
[30]
Mahmud al-Tahhan, Taisir Mustalah al-Hadith, 106
[31] Ibid. Hal. 107
[32] Muhammad Abu al-Laits al-Khaira
Abadi, Ulum al-Hadis Ashiluha wa Mu’ashiruha , 125
[33] Muhammad Abu al-Laits al-Khaira
Abadi, Ulum al-Hadis Ashiluha wa Mu’ashiruha, 126-128
[34] Mahmud al-Tahhan, Taisir
Musthalah al-Hadis, 109
[35] Muhammad Abu al-Laits al-Khaira
Abadi, Ulum al-Hadis Ashiluha wa Mu’ashiruha, 130
[36] Mahmud al-Tahhan, Taisir
Musthalah al-Hadis , 110
[37] Muhammad Abu al-Laits al-Khaira
Abadi, Ulum al-Hadis Ashiluha wa Mu’ashiruha, 130
[38] Mahmud al-Tahhan, Taisir
Musthalah al-Hadis, 110
[39] Ibid., 110
[40] Muhammad Abu al-Laits al-Khaira
Abadi, Ulum al-Hadith Ashiluha wa Mu’ashiruha, 130
[41] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Usul
al-Hadith ‘Ulumuhu wa Mustlahuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), 28.
[42] Subhi Salih, Ulum al-Hadith
wa Mustalahuhu (Beirut: Dar al-Ilmi li al-Malayin, 1984), 11.
[43] al-Khatib, Usul al-Hadith, 29
Tidak ada komentar:
Posting Komentar