HOME

26 Februari, 2022

Kehujjahan, Kedudukan, & Sejarah Hadis

 

BAB I

PENDAHULUAN

Umat Islam sepakat bahwa al-Qur’an adalah sumber hukum yang pertama. Kedua, diisi oleh sunah Rasulullah SAW yang diutus oleh Allah SWT untuk menjelaskan isi al-Qur’an secara rinci. Rasulullah SAW sendiri adalah contoh praktis dalam mengamalkan ajaran agama Islam. Oleh karenanya, sejak zaman Nabi hingga sekarang kaum muslimin menjadikan sunah sebagai sumber hukum dan penuntun akhlak selain al-Qur’an.[1]

Sunah yang diwariskan Rasulullah SAW kepada umatnya memiliki kedudukan tersendiri untuk al-Qur’an. Apalagi fungsi sunah terhadap al-Qur’an yang menjadikannya istimewa tetapi tidak semua sunah bisa dijadikan hujjah. Hal ini karena banyak faktor semisal tingkat kecermatan perawi. Al-Qur’an diriwayatkan secara mutawatir sehingga tidak perlu lagi untuk menelitinya. Berbeda dengan hadis yang memiliki banyak varian sehingga terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang kehujjahannya.

Terlepas dari perbedaan tersebut jika muncul suatu masalah dikemudian hari yang tidak ditemukan dalam al-Qur’an atau sunah -hal ini mungkin terjadi karena perbedaan zaman- barulah menggunakan ijtihad baik itu secara personal atau kelompok. Demikian ini agar terhindar dari kevakuman suatu hukum atau kebekuan beramal.[2] Bahkan sejarah mencatat bahwa Rasulullah SAW sangat gembira dengan jawaban Mu‘adh Ibn Jabal ketika hedak diutus ke Yaman. Mu‘adh mengatakan bahwa apabila timbul suatu masalah maka ia akan mengembalikannya kepada al-Qur’an jika tidak ditemukan maka pada sunah. Jika dalam keduanya juga tidak ditemukan maka ia akan melakukan ijtihad. Lalu Rasulullah SAW bersabda:

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّه[3]

Segala puji bagi Allah yang telah membimbing duta Rasulullah SAW kepada yang telah diridai Rasulullah SAW. (H. R. Abu Daud)

Kemudian musuh Islam yang dari awal tidak senang dengan kemajuan umat Islam kemudian mencari cara untuk menggoyahkan keyakinan muslimin. Mereka menumbuhkan keraguan dalam diri muslimin dengan mengingkari sunah. Alasannya adalah sunah tidak ditulis saat Nabi SAW masih hidup seperti halnya al-Qur’an. Bahkan sunah diabaikan selama bera bad-abad tahun sehingga ada kemungkinan bahwa hadis yang ditulis dan yang ada di kalangan muslim saat ini sudah bercampur dengan hadis-hadis palsu. Pemikiran-pemikiran yang demikian ini, oleh kaum pengingkar sunah di sebarluaskan ke berbagai negara Islam. Fakta sejarah berbeda dengan apa yang dituduhkan para pengingkar sunah.[4] Oleh karenanya perlu untuk mempelajari sejarah munculnya hadis sehingga bisa sampai ke generasi selanjutnya.


BAB II

PEMBAHASAN 

1.    Argumentasi Kehujjahan Hadis

Al-Qur’an dan Hadis disepakati untuk dijadikan sumber hukum walaupun kedudukannya berbeda. Kemudian, ada beberapa masalah yang muncul dalam hadis, apakah seluruh hadis ini bisa dijadikan hujjah?. Oleh karenanya sebelum membicarakan hadis manakah yang bisa dijadikan hujjah, ada baiknya mengetahui kehujjahan hadis itu sendiri. Ada beberapa alasan yang telah dijelaskan di bawah ini: 

a.    Argumentasi rasional

Sebagai utusan Allah SWT, tugas Nabi Muhammad SAW adalah menyampaikan wahyu kepada umat manusia. Adakalanya isi dan formulasinya sama seperti yang diwahyukan adakalanya dengan inisiatif sendiri tetapi tidak lepas dari bimbingan ilham Tuhan. Tidak jarang pula beliau berijtihad sendiri tanpa adanya wahyu maupun ilham. Hasil ijtihad tersebut berlaku hingga ada nash yang menghapusnya.[5] Jika seluruh umat Islam telah meyakini kerasulan Nabi Muhammad SAW maka wajib baginya untuk mematuhi segala peraturan yang di perintahkan olehnya.[6]

        b.      Argumentasi al-Qur’an

Banyak firman Allah SWT yang menyebutkan agar umat manusia mentaati  Rasulullah saw dan ajaran yang dibawanya. Seperti beberapa ayat di bawah ini:

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ[7]

Dan Kami telah menurunkan alquran kepadamu agar engkau menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan mudah-mudahan mereka memikirkan.[8]

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Wahai orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan ulil amri diantara kalian. Jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah SWT (al-Qur’an) dan Rasulullah SAW (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.[9]

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا[10]

Barang siapa mentaati Rasulullah SAW maka sesungguhnya dia telah mentaati Allah. Dan barang siapa berpaling, maka Kami tidak mengutusmu (Muhammad SAW) untuk menjadi pemelihara mereka.[11]

Ayat-ayat di atas menjelaskan agar umat manusia mentaati Rasulullah SAW yaitu mengikuti seluruh ajaran-ajarannya. Sudah menjadi tugas seorang utusan utuk menyampaikan segala ajaran dari Allah SWT yang termaktub dalam al-Qur’an baik dengan lisan ataupun perbuatan. Rasulullah SAW perlu menjelaskan isi dari al-Qur’an karena didalamnya banyak yang menggunakan makna global.[12]

c.     Argumentasi Sunah

Beberapa sabda Rasulullah SAW menyebutkan agar umatnya selalu berpegang teguh dengan sunahnya selain al-Qur’an. Diantaranya:

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ، تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ[13]

Tetaplah kalian pada sunnahku dan sunah al-Khulafa’ al-Rashidun yang telah mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dengan gigi gerahammu.

Selain menyuruh agar mentaati ajarannya, Rasulullah SAW juga mencela orang yang meninggalkan sunahnya seperti sabdanya:

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حَنْبَلٍ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ النُّفَيْلِيُّ، قَالَا: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي النَّضْرِ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي رَافِعٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :لَا أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيكَتِهِ يَأْتِيهِ الْأَمْرُ مِنْ أَمْرِي مِمَّا أَمَرْتُ بِهِ أَوْ نَهَيْتُ عَنْهُ فَيَقُولُ لَا نَدْرِي مَا وَجَدْنَا فِي كِتَابِ اللَّهِ اتَّبَعْنَاه[14]

Diceritakan oleh Ahmad Ibn Muhammmad Ibn Hanbal dan ‘Abd Allah Ibn Muhammad al-Nufailiyyu, mereka berkata: Sufyan menceritakan kepada kami dari Abi al-Nadr dari ‘Ubaid Allah Ibn Abi Rafi‘ dari ayahnya dari Rasulullah SAW. Ia berkata “Pastilah hampir ada seseorang di antara kamu yang duduk bersandar di tempat duduknya, yang datang kepadanya sebagian perkaraku, yang aku diperintahkan atau dilarang, lalu berkata: aku tidak tahu. Apa yang bisa kami temukan di dalam Kitabullah akan kami ikuti. (H. R. Abu Daud)

d.    Argumentasi ijma’

Semasa hidup Rasulullah SAW, para sahabat mengerjakan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang. Setelah Rasulullah SAW wafat pun, mereka tetap berpegang teguh pada sunahnya ketika menghadapai masalah yang tidak ditemukan dalam al-Qur’an.[15] Bahkan seluruh umat Islam sepakat menjadikan hadis sebagai sumber hukum setelah al-Qur’an. Selain itu, mereka semangat untuk mempelajarinya, menghafal dan menyebarkannya seperti para sahabat sehingga sunah hadis Nabi SAW sampailah kepada umat sesudahnya.[16] Allah SWT juga mengukuhkan bahwa Nabi hanya menyampaikan apa yang telah diwahyukan kepadanya. Seperti firman Allah SWT:

قُلْ لَا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلَا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَى إِلَيَّ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الْأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَفَلَا تَتَفَكَّرُون[17]

Katakanlah: aku tidak mengatakan kepadamu bahwa pembendaharaan Allah ada padaku, dan pula aku tidak mengetahuiyang gaib dan tidak pula aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah apakah sama orang yang buta dan yang melihat? Maka apakah kamu tidak memikirkannya?.[18]

 

2.    Golongan yang Menolak Kehujjahan Hadis

Ada sebagian kelompok orang yang tidak menerima kehujjahan hadis. Golongan tersebut hanya menggunakan al-Qur’an sebagai sumber hukum dengan alasan bahwa al-Qur’an telah cukup untuk dijadikan rujukan. Ada beberapa alasan, antara lain:

a.    Firman Allah SWT yang telah terhimpun dalam al-Qur’an telah mencakup seluruh persoalan agama sehingga tidak membutuhkan penjelas seperti hadis Rasulullah SAW. Jika membutuhkan yang lain berarti Allah SWT telah melupakan sesuatu yang seharusnya disebutkan dalam al-Qur’an.[19] Adapun firman tersebut adalah:

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ[20]

Dan Kami telah turunkan kitab Allah (al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri (muslim).[21]

b.    Seandainya hadis memang bisa dijadikan hujjah, pasti Rasulullah saw telah memerintahkan untuk menulisnya agar terpelihara seperti halnya al-Qur’an. Jika demikian, maka bisa diterima oleh kaum muslimin secara pasti (qat‘i) karena yang masih bersifat zanny tidak bisa dijadikan hujjah.[22]

M. M Azami di dalam bukunya Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya mengatakan bahwa tidak semua orang yang dianggap menolak sunah dikatakan bahwa mereka ingkar sunah. Misalnya, kelompok Khawarij yang masih memprioritaskan hadis daripada qiyas. Sejak Dari masa lalu sudah ada sebagian orang yang menolak hadis namun hilang sekitar akhir abad ketiga. Golongan yang menolak sunah ini muncul kembali pada abad ketiga belas hijriyah karena pengaruh penjajahan Barat.[23]

 

3.    Kehujjahan Hadis Ahad dan Mutawatir

Kehidupan Rasulullah SAW baik itu ketetapan, keputusan maupun perintah bersifat mengikat dan patut untuk diteladani. Bahkan M. Azami menyatakan bahwa kedudukan tersebut adalah mutlak, tidak bergantung pada penerimaan masyarakat, opini ahli hukum atau pakar-pakar tertentu.[24]

Kendati demikian, para ulama tidak menerima seluruh hadis untuk dijadikan hujjah namun mereka menyeleksi hadis-hadis tersebut. Oleh karenanya perlu diketahui kehujjahan dari hadis mutawatir dan hadis ahad.

a.    Hadis mutawatir

1)   Definisi hadis mutawatir

ما رواه عدد كثير تحيل العادة تواطئهم على الكذب[25]

Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang menurut adat tidak mungkin sepakat untuk berdusta.

2)   Syarat-syarat hadis mutawatir

a)    Khabar yang dibawa oleh perawi harus berdasarkan penglihatan atau pendengaran sendiri.

b)   Jumlah rawi harus banyak (ada yang mengatakan 4 orang, 10 orang, 20 orang dan sebagainya).

c)    Para periwayat hadis menurut adat tidak dimungkinkan untuk berbohong.

d)   Adanya keseimbangan jumlah rawi disetiap tingkatan.[26]

3)   Pembagian hadis mutawatir

a)    Mutawatir bi al-lafzi

Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi dengan susunan redaksi dan maknanya sesuai dengan benar antara satu riwayat dengan riwayat yang lain.

b)   Mutawatir bi al-ma‘na

Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi dengan beragagam redaksi tetapi memiliki makna yang sama.[27]

4)   Hukum hadis mutawatir

Hadis mutawatir memberi manfaat ilmu daruri yang harus diterima seluruhnya, tanpa harus meneliti para periwayatnya.[28]

b.    Hadis ahad

1)   Definisi hadis ahad

ما لم يجمع شروط المتواتر[29]

Hadis yang tidak mencapai syarat mutawatir.

2)   Klasifikasi hadis ahad

a)    Hadis mashhur

Hadis yang disetiap tabaqah diriwayatkan oleh tiga orang tau lebih (tidak mencapai mutawatir)

b)   Hadis ‘aziz

Hadis yang disetiap tabaqahnya diriwayatkan tidak kurang dari dua orang

c)    Hadis gharib

Hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi.[30]

 

3)   Kehujjahan hadis ahad

Terbaginya hadis ahad menjadi tiga hanya pada pembagian banyaknya rawi. Sedangkan tentang kehujjahnnya bergantung pada kualitas hadis yang terbagi menjadi tiga lagi yakni hadis sahih, hasan dan da‘if:

Pertama, Hadis sahih menurut Ibn Salah seperti yang dikutip Ahmad Izzan adalah hadis yang sanadnya bersambung melaui periwayatan orang yang adil dan dabit dari orang yang adil dan dabit pula sampai ujungnya, tidak shadh dan tidak ada cacat.[31]

Kedua, Hadis hasan adalah sanadnya bersambung yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan tingkat ke-dabit-annya di bawah hadis sahih juga tidak ada kejanggalan serta tidak ada cacat.[32]

Ketiga, Hadis da‘if adalah hadis yang kehilangan satu atau lebih dari syarat-syarat hadis sahih atau hasan.[33]

Adapun kehujjahan dari ketiganya akan dijelaskan sebagai berikut:

a)    Ke-hujjah-an hadis sahih

Ulama Usul dan para ahli fikih berpendapat bahwa seluruh hadis yang berkualitas sahih harus diamalkan karena, hadis sahih bisa dijadikan hujjah sebagai dalil syara’. Maksud hadis sahih disini ialah hadis yang sanad dan matannya berkualitas sahih sebab banyak peneliti yang memvonis sahih setelah meneliti sanadnya saja padahal menurut Muhammad Zuhri matan juga perlu diteliti agar terhindar dari kecacatan dan kejanggalan.[34] Sebagaimana ulama hadis berpendapat bahwa suatu hadis dinilai sahih tidak bergantung pada banyaknya sanad. Suatu hadis dinilai sahih kalau sanad dan matn-nya sahih, walaupun rawinya hanya seorang saja pada tiap-tiap tabaqat.[35]

b)   Ke-hujjah-an hadis hasan

Istilah hadis hasan dipopulerkan oleh Imam al-Tirmidhi dan status hadis hasan dibawah hadis sahih. Hal ini dikarenakan perbedaan tingkat kecermatan periwayat[36] tetapi, tanggapan ulama tentang kehujjahan hadis hasan sama halnya dengan hadis sahih yakni dapat dijadikan hujjah. Ada sebagian ulama semisal al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah yang mengutamakan hadis sahih daripada hadis hasan dengan alasan bahwa status hadis sahih sudah jelas dibandingkan hadis hasan. Sikap ini adalah bentuk kehatia-hatian mereka dalam mengambil hadis untuk dijadikan dalil hukum.[37]

c)    Ke-hujjah-an hadis da‘if

Para ulama sepakat untuk mengambil hadis sahih dan hadis hasan sebagai dalil hukum syara’ meskipun mereka masih memperdebatkan penempatan urutannya. Sebagian ulama hadis ada yang membedakan urutan antara keduanya, ada pula yang memasukkannya dalam satu kelompok yakni dimasukkan dalam kategori hadis sahih.[38] Begitu pula terhadap kehujjahan hadis da‘if, para ulama berbeda pendapat. Pertama, larangan secara mutlak untuk mengambil hadis da‘if sebagai hujjah walaupun hanya untuk member sugesti seperti penapat yang dikemukan oleh Abu Bakar Ibn al-‘Arabi. Kedua, dibolehkannya mengamalkan hadis da’if tetapi hanya sebatas untuk memberi sugesti, menerangkan keutamaan sebuah amalan, dan cerita-cerita yang tidak untuk menetapkan suatu hukum. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani tetapi dengan catatan;[39] Hadis tersebut tidak terlalu lemah, Dasar amalan yang terdapat dalam hadis tersebut bisa dibenarkan oleh dasar hadis yang dapat diamalkan (sahih dan hasan), Ketika mengamalkannya tidak beri’tikad bahwa hadis tersebut benar-benar bersumber dari Nabi.

 

Baca artikel tentang Ilmu Hadis lainya :


4.    Posisi Hadis dengan al-Qur’an

Para ulama sepakat untuk menjadikan sunah sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an terlepas dari perdebatan mereka tentang kehujjahan sunah. Bahkan Imam Auza'i mengatakan bahwa al-Qur’an lebih memerlukan Sunnah (hadis) daripada sunnah terhadap al-Qur’an melihat fungsi sunah terhadap al-Qur’an.[40] Adapun fungsi sunah terhadap al-Qur’an adalah:

a.    Bayan taqrir

Sering kali bayan taqrir disebut juga dengan bayan ta’kid atau bayan ithbat. Maksudnya adalah fungsi hadis terhadap al-Qur’an hanya sebagai penguat dari kandungan ayat al-Qur’an. Adanya hadis tersebut bisa memperkokoh isi kandungan ayat.[41] Misalnya potongan hadis berikut:

فَإِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلَالَ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا[42]

Jika kalian melihat bulan maka berpuasalah, dan jika melihat bulan maka berbukalah. (H.R. Muslim).

Hadis ini memperkokoh kandungan ayat al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185:

فمن شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْه ...الاية

Maka barang siapa diantara kalian berada di bulan Ramadan maka berpuasalah.[43]

 

b.    Bayan tafsil

Hadis berfungsi sebagai penjelas atau merinci maksud dari ayat al-Qur’an yang global. Beberapa ayat al-Qur’an mengandung hukum yang dijelaskan secara global semisal shalat, puasa dan lain sebagainya. Teknik operasional dari kewajiban-kewajiban tersebut tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan hanya bisa ditemukan dalam hadis Rasulullah SAW.[44] Misalnya:

وأقيموا الصلاة وأتوا الزكاة وما تقدموا لأنفسكم من خير تجدوه عند الله ان الله بما تعملون بصير

Dan dirikanlah salat, dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan untuk dirimu maka kamu kan mendapatkan pahalanya disisi Allah. Sesungguhnya Allah melihat apa yang telah kamu kerjakan.

 

Ayat ini hanya memerintahkan salat tanpa menyebutkan tatacara dari salat itu sendiri. Maka hadis Rasulullah SAW akan menjelaskan tatacara tersebut seperti penjelasan hadis dibawah ini:

وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي[45]

Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku mengajarkan shalat. (H. R. Al-Bukhari)

 

c.    Bayan taqyid

Bayan taqyid adalah penjelasan hadis yang membatasi kandungan ayat al-Qur’an yang tidak terbatas (mutlak). Jadi fungsi hadis disini sebagai pembatas dari hukum yang mutlak.[46] Misalnya:

أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِسَارِقٍ فَقَطَعَ يَدَهُ مِنْ مَفْصِلِ الْكَفِّ[47]

Rasulullah SAW didatangi seseornag dengan membawa seorang pencuri, lalu beliau memotong tangan pencuri dari pergelangan tangan.

 

Hadis ini menjelaskan batasan yang dimaksud dari ayat berikut:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ[48]

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai balasan atas apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah SWT. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[49]

 

d.    Bayan takhsis

Bayan takhsis adalah penjelasan hadis yang mengkhususkan lafaz yang bersifat umum dalam al-Qur’an. Misalnya ayat yang menjelaskan tentang keharaman menikahi wanita-wanita yang bersuami kecuali budak yang dimiliki seperti dalam surat al-Nisa’ ayat 24:

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Dan diharamkan juga yaitu wanita yang bersuami, kecuali hamba sahaya yang kamu miliki sebagai ketetapa Allah atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain yang demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina. Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah mas kawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban. Tetapi tidak mengapa jika kamu telah saling merelakannya setelah ditetapkan. Sungguh Allah Maha Mengetahui dan Bijaksana.[50]

Ayat ini di-takhsis oleh hadis Rasulullah saw:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاللاَ يُجْمَعُ بَيْنَ المَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا، وَلاَ بَيْنَ المَرْأَةِ وَخَالَتِهَا[51]

‘Abd Allah ibn Yusuf menceritakan kepada kami, diceritakan oleh Malik dari Abi al-Zinad dari al-A‘raj dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: Tidak boleh mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan ‘ammah (bibi dari bapak) dan diantara seorang wanita dengan khalah (bibi dari ibu). (H. R. al-Bukhari)

 

e.    Bayan tashri‘

Bayan tashri‘ adalah mewujudkan suatu hukum yang tidak ditemukan dalam al-Qur’an, atau dalam al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya saja.[52] Sebenarnya bila dipahami, hadis Rasulullah saw tersebut adalah penjelasan yang disebutkan dalam al-Qur’an atau memperluas maksud dari ayat al-Qur’an.[53] Bayan tashri‘ ini juga disebut dengan zaid ‘ala al-qur’an al-karim oleh Abbas Mutawalli Hamadah.[54] Misalnya ayat yang menjelaskan tentang sesuatu yang haram dimakan seperti dalam surat al-Maidah: 3:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ...الاية

Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih tanpa nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih...

Kemudian Rasulullah SAW menambahkan sebagai penjelasan bahwa selain yang disebutkan dalam ayat tersebut, diharamkan juga yaitu binatang buas yang bertaring dan burung yang kukunya mencengkram karena tajam. Seperti sabda Rasulullah:

وحَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ يَعْنِي ابْنَ مَهْدِيٍّ، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي حَكِيمٍ، عَنْ عَبِيدَةَ بْنِ سُفْيَانَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: كُلُّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ[55]

Zuhair ibn Harb nenceritakan kepadaku, ‘Abd al-Rahman ibn Mahdi menceritakan kepada kami dari Malik dari Isma‘il ibn Abi Hakim dari ‘Abidah ibn Sufyan dari Abi Hurairah dari Nabi Muhammad SAW bersabda: Setiap hewan buas yang memiliki taring maka haram dimakan.

Sebenarnya larangan ini hanyalah perluasan dari penjelasan ayat diatas.[56] Bayan tashri‘ secara zahir seakan-akan Nabi membuat hukum baru yang tidak ada dalam al-Qur’an sehingga terjadi perbedaaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama yang setuju mendasarkan pendapatnya pada ‘ismah Nabi khususnya dalam masalah syariat. Sedangkan ulama yang menolak, mendasarkan pendapatnya bahwa sumber hukum hanya Allah, sehingga apabila hendak menetapkan hukum Rasulullah SAW juga harus merujuk kepada Allah (al-Qur’an).[57]

 

f.     Bayan nasakh

Bayan nasakh adalah hadis mengahapus hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’an. Fungsi hadis yang terakhir ini hanya dipakai oleh ulama yang berpendapat bahwa hadis bisa menasakh ayat al-Qur’an. Adapun kelompok yang menganggap adanya bayan nasakh adalah kelompok Mu’tazilah hanya saja berlaku bagi hadis yang mutawatir. Kelompok Hanafiyah dan mazhhab Ibn Hazm al-Dhahiri juga setuju dengan adanya bayan nasakh. Sedangkan yang menolak bayan nasakh adalah Imam Syafi’i dan pengikutnya dan madzhab Zhahiriyah serta kelompok Khawarij.[58]

Misalnya sabda Rasulullah:

حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ شُعَيْبِ بْنِ شَابُورَ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ، أَنَّهُ حَدَّثَهُ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: إِنِّي لَتَحْتَ نَاقَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسِيلُ عَلَيَّ لُعَابُهَا فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، أَلَا لَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ[59]

Hisham ibn ‘Ammar menceritakan kepada kami, dia berkata menceritakan kepada kami Shu‘aibibn Shabur, dia berkata menceritakan kepada kami ‘Abd al-Rahman ibn Yazid ibn Jabir dari Sa‘id ibn Abi Sa‘id bahwasanya dia bercerita dari Anas ibn Malik berkata: aku berada di bawah unta betinya Rasulullah kemudian ludah untanya mengalir padaku, aku mendengar Rausullah bersabda sesungguhnya Allah telah memberikan hak pada orang yang berhak, ingatlah tidak ada wasiat bagi ahli waris. (H. R. Ibn Majah)

Hadis ini menurut kelompok yang sepakat dengan adanya nasakh, maka hadis di atas bisa menasakh al-Qur’an yakni firman Allah SWT surat al-Baqarah ayat 180:

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ

Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) kematian, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiatlah untuk ibu bapak kerabat secara makruf, (ini adalah) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.[60]

 

5.    Sejarah Perkembangan Hadis

a.    Hadis pada masa Rasulullah SAW

Sejarah perkembangan hadis terbagi pada beberapa periode; pada periode Rasulullah SAW, periode sahabat dan periode tabiin. Para ulama menyebut periode pertama ini dengan عصر الوحي و التكوين (masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam). Periode pertama ini adalah periode yang paling istimewa karena, para sahabat bisa langsung menanyakan seluruh permasalahannya sendiri maupun masalah yang timbul di sekitarnya baik itu masalah duniawi atau ukhrawi. Semua yang dilakukan maupun yang dikatakan bahkan yang melekat pada Rasulullah dijadikan contoh dan pedoman dalam ‘amaliyyah dan ‘ubudiyyah para sahabat.[61]

Berkembangnya hadis sejalan dengan berkembangnya al-Qur’an karena ketika Rasulullah menyampaikan ayat-ayat al-Qur’an maka beliau juga menjelaskan kandungan ayat tersebut. Penjelasan-penjelasan inilah yang disebut dengan hadis karena apa-apa yang keluar dari Nabi selain al-Qur’an adalah hadis. maka perlu diketahui bagaimana Rasulullah menyampaikan hadis kepada para sahabatnya.

1)   Cara menyampaikan hadis kepada para sahabat

Adapun metode yang ditempuh Rasulullah dalam menyampaikan hadis kepada para sahabatnya, yaitu:

a)    para sahabat melakukan dialog langsung dengan Rasulullah SAW.

b)   Para sahabat menyaksikan perbuatan dan ketetapan Rasulullah SAW.

c)    Para sahabat mendengarkan perkataan sesama sahabat yang diperoleh dari Rasulullah SAW.

d)   Para sahabat menyaksikan perbuatan Rasulullah SAW atau sesama sahabat yang diperoleh dari Rasulullah SAW.[62]

Metode ini adalah metode yang dikutip oleh Umi Sumbulah dari Muhammad Abu Zahw dalam kitabnya al-Hadith wa al-Muhaddithun.[63] Begitu pula yang disampaikan M. Noor Sulaiman PL dalam bukunya Antologi Ilmu Hadis, hanya saja ia menjelaskan maksud dari keempat metode tersebut.[64] M ‘Ajaj al-Khathib dalam kitab Ushul al-Hadits-nya meringkas metode pengajaran Rasululah SAW terhadap para sahabatnya sebagai berikut:[65]

a)    Pengajaran secara bertahap

Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT memiliki kewajiban untuk menyampaikan risalah-Nya yang termaktub dalam al-Qur’an al-Karim. Al-Qur’an sendiri turun dengan bertahap agar para sahabat mudah memahami kandungannya. Maka Rasulullah SAW dituntut untuk memberi fatwa dan penjelasan dalam segala hal yang merupakan Sunnah.

b)   Pusat pengajaran

Dar al-Arqam ibn Abdi Manaf yang ada di Makkah atau yang lebih dikenal dengan Dar al-Islam adalah tempat Rasulullah SAW menyampaikan risalah-Nya secara diam-diam. Hal ini terjadi ketika awal mula Rasulullah SAW berdakwah. Kemudian para sahabat sering berkumpul dengan Rasulullah SAW untuk belajar dasar-dasar Islam serta menghafal al-Qur’an. Oleh karenanya rumah Rasulullah SAW menjadi pusat kegiatan kaum muslimin baik belajar al-Qur’an maupun hadis. selain belajar di tempat tersebut, sahabat sering berdiskusi dimanapun mereka berada. Hal ini menunjukkan bahwa para sahabat sudah mempelajari serta menghafal hadis dan al-Qur’an secara bersamaan.[66]

Masjid menjadi tempat belajar berikutnya untuk mendalami agama Islam, menghafal al-Qur’an dan menerima hadis. Hal ini tidak menunjukkan bahwa hanya di dalam masjid Rasulullah SAW memberikan fatwa. Tempat Rasulullah berdakwah tidak ditentukan bahkan tidak dibatasi oleh waktu. Seringkali dalam perjalanan Rasulullah SAW memberikan fatwa untuk menyelesaikan masalah.[67]

c)    pendidikan dan pengajaran  yang efektif

Sebagai utusan Allah SWT, Nabi Muhammad SAW dalam menyampaikan al-Qur’an maupun memberikan fatwa selalu ia lakukan dengan sangat baik. Walaupun ia sebagai public figur, namun ia tetap rendah hati bahkan ia duduk bersama dengan sahabat-sahabatnya. Sebelum mengajarkan suatu pelajaran, Rasulullah SAW selalu membukanya dengan kata-kata yang menyenangkan hati pendengarnya.[68] Selain menggunakan kata-kata yang halus, beliau juga menjelaskannya dengan sangat jelas hingga sahabat bisa memahaminya dan mengulangnya agar bisa dihafal.[69]

d)   Menggunakan metode yang menyenangkan

Cara mengajar Rasulullah selalu bervariasi, hal ini dikarenakan agar para sahabat tidak bosan untuk mendengarkan penjelasan yang panjang. Cara seperti ini adalah cara paling efektif dan dijadikan metode mengajar oleh lembaga pendidikan. Misalnya memberi jeda waktu belajar.[70]

e)    memberikan contoh praktis

Rasulullah tidak lupa untuk memberikan contoh praktis kepada para sahabat. Hal ini dilakukan agar sahabat cepat menangkap maksud dari hukum yang dijelaskan. Suatu ilmu akan lebih cepat dipahami apabila disertai dengan praktek.[71] Misalnya yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari kami datang kepada Nabi dan kami masih berusia setengah baya. Lalu kami tinggal selama dua puluh hari. Suatu ketika beliau mengira kami merindukan keluarga kami dan menanyakan orang-orang yang tinggal bersama kami. Kemudian beliau bersabda:

ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ، وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي، وَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ، فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ، ثُمَّ لِيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ[72]

Kembalilah kepada keluarga kalian, lalu ajarilah dan perintahlah mereka. Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku mengajarkan shalat. Dan bila waktu shalat tiba, maka hendaklah salah satu dari kalian mengumandangkan adzan untuk kalian. Kemudian hendaklah yang paling tua diantara kalian menjadi imam. (H. R. Al-Bukhari) 

f)    mempertimbangkan kecerdasan para sahabat

Rasulullah SAW sangat memperhatikan keadaaan sahabat-sahabatnya hingga mengetahui tingkat daya tangkap mereka. Hal ini perlu diketahui oleh para pengajar agar apa yag disampaikannya bisa dipahami oleh pendengar. Rasulullah selalu melihat para sahabat yang hadir apakah mereka orang pedalaman atau orang kota karena keduanya memiliki karakter yang berbeda.[73]

g)   Pengajaran yang tidak menakutkan

Hukum-hukum yang disebarkan oleh Rasulullah adalah hukum yang mudah karena ia adalah orang yang sangat toleran tetapi, beliau tidak lupa memberi ketentuan utama dan kemudahan. Rasulullah sering melarang sahabat yang berlebihan dalam beribadah dan yang mempersempit hukum.[74] 

h)   pengajaran bagi wanita

Rasulullah SAW tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan wanita. Beliau memberikan waktu khusus kepada kaum wanita untuk belajar Islam kepada Rasulullah SAW. Hal ini dikarenakan para wanita enggan untuk datang ke majlis rasul yang diikuti oleh kaum laki-laki.

2)   Cara sahabat menerima hadis dari Rasulullah SAW

Para sahabat menjadi saksi hidup turunnya wahyu, menyaksikan sendiri tentang mukjizat yang diterima oleh rasulullah. Oleh karenanya, iman mereka tak tergoyahkan. Mereka tidak pernah bosan untuk mempelajari tentang agama Islam dari Rasulullah SAW. Adapun cara sahabat mendapatkan hadis:

a)    Majlis Rasulullah SAW

b)   Peristiwa yang terjadi pada diri Rasulullah SAW

c)    Peristiwa yang terjadi pada kaum muslimin

d)   Peristiwa yang disaksikan oleh sahabat, bagaimana Rasulullah melaksanakannya

3)   Cara sahabat memelihara hadis Rasulullah SAW

Selama dua puluh tiga tahun Rasulullah menyampaikan risalahnya melalui banyak cara. Dalam kurun waktu yang sangat panjang ini pasti sangat banyak hal-hal yang telah disampaikan oleh Nabi. Oleh karenanya para sahabat harus gigih dalam mempelajarinya dan memeliharanya agar tidak hilang dimakan zaman. Adapun cara yag ditempuh sahabat adalah:

Pertama, menghafal. Orang arab dikenal dengan kemampuannya dalam menghafal. Maka tidak heran jika mereka bisa menghafal ayat al-Qur’an beserta tafsirnya. Sedangkan hadis selalu beriringan dengan keberadaan al-Qur’an. Penjelasan tentang suatu ayat termasuk hadis maka mereka juga menghafalnya.[75]

Kedua, dengan tulisan tetapi tidak semua sahabat memiliki kemampuan dalam menulis. Maka ketika mendengar hadis dari Nabi SAW hanya sebagian sahabat yang menulisnya.[76] 

4)   Cara sahabat menyampaikan hadis

Para sahabat dalam menyampaikan hadis baik kepada sahabat lain yang tidak menghadiri majlis ta’lim atau kepada generasi berikutnya berbeda ketika mereka menyampaikan ayat al-Qur’an. Hal ini dikarenakan ayat al-Qur’an mutlak tidak bisa diubah baik secara lafazh ataupun makna. Sedangkan hadis tidak mutlak persis dengan lafazh yang diterima dari Rasulullah. Maka penyampaian hadis bisa dilakukan dengan dua cara:

Pertama, diriwayatkan secara lafzhi artinya apa yang mereka sampaikan kepada yang lain menggunakan lafazh persis dari Nabi. Hal ini dikarenakan hafalan mereka yang kuat. Kedua, diriwayatkan secara makna artinya para sahabat meriwayatkan menggunakan lafazhnya masing-masing tidak seperti yang di ucapkan Rasulullah SAW tetapi memiliki makna yang sama. Periwayatan seperti ini dikenal dengan riwayah bi al-mana. [77]

5)   Sebab-sebab tidak sederajatnya para sahabat dalam mengetahui hadis

Para sahabat Rasulullah memiliki catatan hadis atau hafalan hadis yang berbeda. Begitu pula dalam segi pemahamannya terhadap hadis nabi. Hal ini dikarenakan beberapa faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut sebagaimana dibawah ini:[78]

a)    Tempat tinggal yang jauh

b)   Kesibukan sehari-hari

c)    Intelektual dan kecakapan

d)   Keakraban dalam bergaul dengan Nabi

e)    Masa cepat atau lambatnya masuk Islam

6)   Tersebarnya Sunnah pada masa Rasulullah SAW

Hadis Nabi tidak akan sampai kepada generasi berikutnya jika para sahabat tidak memeliharanya. Selain dengan menghafal atau menulis dalam rangka menjaga keutuhan hadis adapula faktor yang menyebabkan tersebar luasnya hadis Nabi SAW. Adapun faktor-faktor tersebut adalah:[79]

1)   Karena semangat dan kesungguhan Rasulullah SAW dalam berdakwah.

2)   Karakter Islam dan norma-norma barunya membuat orang penasaran dan ingin mempelajarinya.

3)   Semangat belajar para sahabat, kegigihannya dalam menghafal al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.

4)   Istri-istri Rasulullah SAW (ummahat al-mu’minin) juga ikut andil dalam menyebarkan agama Islam lebih-lebih kepada kaum perempuan.

5)   Para sahabat wanita juga ikut aktif dan semangat untuk menyebarkan berita tentang ajaran Islam lebih-lebih dalam masalah wanita dan hubungan suami istri.

6)   Para delegasi dan pejabat Rasulullah juga tak mau kalah untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam.

7)   Penaklukkan kota Makkah (fathu al-Makkah).

8)   Peristiwa haji wada’ menjadi salah satu hal yang besar karena pada saat wuquf di Arafah, beliau berpidato tentang berbagai persoalan.

9)   Utusan setelah haji wada’ mulai berdatangan kepada Rasulullah untuk membai’atnya dan bersatu di bawah panji-panji Islam.

 

b.    Masa sahabat (al-khulafa’ al-rashidun)

Para sahabat sangat semangat dalam mempelajari sunah Rasulullah SAW. Mereka juga giat menyebarkan hadis sejak Rasulullah masih hidup lebih-lebih kepada sahabat yang tidak menghadiri majlis ta’lim Rasul. Setelah Rasulullah wafat, para sahabat menyampaikan apa yang telah diajarkan Rasul kepada generasi berikutnya. Hal ini dikarenakan mereka mengindahkan sabda Rasulullah SAW:

نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا، فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ، فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ، وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيه[80]

Mudah-mudahan Allah mengindahkan seseorang yang mendengar ucapanku, lalu dihafalkan dan dipahamkan dan disampaikan kepada orang lain persis sebagaimana yang dia dengar karena banyak sekali orang yang disampaikan berita kepadanya lebih paham daripada yang mendengarnya sendiri. (H. R. Abu Daud)

Banyak peristiwa yang membuktikan bahwa sahabat sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadis. Misalnya ketika Abu Bakar didatangi seorang nenek yang menanyakan hak warisnya. Karena beliau tidak menemukannya dalam Kitabullah ia bertanya kepada sahabat yang lain. Al-Mughirah ibn Syu’bah menjawab bahwa ia pernah mendengar Rasulullah SAW menentukan bagian seperenam untuk nenek. Khalifah Abu Bakar tidak serta merta menerima hadis tersebut, ia menanyakan adanya saksi. Dengan adanya saksi itulah akhirnya Abu Bakar memutuskan hak waris bagi nenek tersebut.[81]

Pada masa Abu Bakar al-Siddiq lebih konsen terhadap al-Qur’an dan khawatir kepada orang yang banyak meriwayatkan hadis akan mudah tergelincir sehingga mereka berdusta atas nama Nabi Muhammad SAW.[82] Jadi pada masa khalifah yang pertama ini tidak banyak terjadi periwayatan hadis. Begitu pula pada masa khalifah kedua, Umar ibn Khattab karena keduanya sangat ketat dalam masalah periwayatan.[83] 

Para sahabat, terutama sahabat kecil mulai melakukan perjalanan dalam rangka mencari hadis. hal ini terjadi ketika masa khalifah Usman ibn Affan karena beliau memberi kebebasan kepada para sahabat untuk mempelajari hadis. banyak sahabat yang keluar dari Madinah dan bertempat tinggal di kota yang baru ditaklukkan oleh orang Islam. Maka keberadaan seorang sahabat menarik bagi tabi’in dalam belajar al-Qur’an hadis.[84]

 

c.    Masa sahabat kecil dan tabi‘in besar

Bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa ketika pemerintahan dibawah kedali khalifah Usman ibn Affan, maka para sahabat bebas untuk mempelajari, meriwayatkan hadis. banyak sahabat berpindah tempat demi untuk mencari hadis. pada masa ini ada beberapa sahabat yang dijuluki bendaharawan hadis seperti  Abu Hurairah, Aishah, Anas ibn Malik, dll.[85]

Pada akhir kepemimpinan Usman ibn Affan timbulah fitnah dan menjadi awal perpecahan umat Islam. Umat Islam saat itu terbagi menjadi tiga kelompok; pertama golongan yang membela ‘Ali ibn Talib yang dinamakan golongan shi‘ah. Kedua, golongan khawarij yang menentang ‘Ali dan Mu‘awiyah, terakhir golongan jumhur (golongan yang pro terhadap pemerintahan). Sejak munculnya golongan-gologan inilah kemudian muncul hadis-hadis palsu. Kemunculan hadis palsu ini sebagai penguat golongannya dan untuk mencari dukungan kepada masyarakat. Tahun 40 H adalah pembatas antara munculnya pemalsuan hadis dan terlepas dari pemalsuan.[86]

 

d.    Hadis pada masa penulisan dan kodifikasi

Penulisan hadis sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW meskipun tidak menyeluruh. Begitu pula ketika masa sahabat, bahkan periwayatan hadis sangat sedikit pada masa ini. Pada masa Rasulullah hingga sahabat masih mengandalkan hafalan. Baru pada akhir abad pertama, sejak dinobatkannya khalifah Umar ibn Abd Aziz (99 H) diumumkannya penulisan dan dibukukannya secara resmi oleh khalifah. Kemudian ia meminta kepada gubernur Madinah Abu Bakar ibn Muhammadibn Amr ibn Hazm untuk menulis hadis yang ada di salah satu murid Aisyah yakni Amrah binti Abd Rahman ibn Sa’ad ibn Zurarah ibn Ades (120 H).[87]

Selain kepada gubernur Madinah, ia juga mengirim surat kepada gubernur-gubernur yang ada di wilayah kekuasaannya agar membukukan hadis dari ulama yang ada di daerahnya masing-masing. Diantara ulama yang menulis adalah Abu Bakar Muhammad ibn Muslim ibn Ubaidillah ibn Syihab al-Zuhry. Pada masa ini para ulama berlomba-lomba menulis hadis tanpa menyaring antara hadis dan fatwa sahabat tetapi telah dipisah antara tafsir dan hadis, dan antara hadis sirah dan maghazinya. Pertama kali yang memisahkan hadis sirah ialah Muhammad ibn Ishaq ibn Yassar al-Mutaliby (151 H).[88]

Pada abad kedua ini pulalah pemalsuan hadis semakin meluas sehingga muncullah golongan zindiq (pura-pura Islam). Karena banyaknya muncul hadis palsu kemudian para ulama terdorong untuk mempelajari keadaan perawinya.[89]

 

e.    Pada masa awal-akhir abad ke III

Abad sebelumnya telah melakukan pembukuan hadis meskipun masih bercampur dengan fatwa sahabat. Maka pada abad ketiga ini pembukuan hadis diperbaiki dengan memisahkan hadis dan fatwa sahabat. Hadis yang ditulis masih bercampur antara yang sahih dan yang da‘if. Pada masa ini pula perluasan daerah guna mencari hadis dilakukan pertama kali oleh Imam al-Bukhary yang sebelumnya tak banyak yang melakukannya. Cara mereka menerima hadis sama seperti sebelumnya, ia mendengar lalu menulisnya tanpa mengaji perawi. Dengan pesatnya orang yang ingin mengacaukan pembukuan hadis akhirnya ulama mulai mengadakan penelitian terhadap rawi.[90]

Pertama kali yang terdorong untuk memisahkan hadis yang sahih dan tidak adalah Imam Ishaq Ruhawaih yang kemudian disempurnakan oleh Imam al-bukhary. Kemudian diikuti oleh Imam Muslim, begitu pula seterusnya seperti Imam Abu Daud, al-Tirmidhy, al-Nasa’iy yang dikenal dengan al-usul al-khamsah.[91]

 

f.     Pada abad IV-pertengahan abad VII

Ulama pada abad ke-2 dan ke-3 disebut ulama mutaqaddimin. Mereka mencari hadis dengan melakukan perjalanan ke berbagai daerah untuk menemui para penghafalnya. Pada abad ke-4 disebut ulama mutaakhkhirin. Pada abad ii sudah jarang ulama melakukan perjalanan untuk mencari hadis. Kebanyakan dari mereka  hanya menukil dari kitab sebelumnya. Pada abad ini juga sudah dianggap terkumpul semua hadis Rasulullah SAW. Maka pada abad ke-5 menitikberatkan pada memperbaiki susunan, mengumpulkan hadis-hadis dalam satu kitab besar.[92]

 

g.    Pada masa pertengahan abad VII-sekarang

Kegiatan perkembangan hadis kemudia berpusat di Mesir dan Idia setelah Hulagu Khan menghancurkan Baghdad. Maka banyak kitab hadis yang diterbitkan atas usaha ulama India. Mereka pulalah yang telah menerbitkan kitan ‘Ulum al-Hadith karya al-Hakim. Pada abad ketujuh ini adalah masa penertiban isi kitab hadis, menyaring dan menyusun kitab takhrij. Selain itu para ulama membuat kitab jami‘, kitab yang mengumpulkan hadis-hadis hukum , mentakhrij hadis yang ada di dalam beberapa kitab hadis dan menyusun kitab atraf.[93]

Pada abad ini ulama mulai mengumpulkan hadis yang tidak ada dalam kitab sebelumnya yang disebut kitab zawa’id seperti kitab zawa’id sunan Ibnu Majah. Selain itu mereka juga mengumpulkan hadis dari beberapa kitab kedalam kitab khusus semisal kitab jami‘ al-masanid wa sunan al-hadi li aqwam sanan karya Ibnu Kathir.

Pada abad ketujuh bermunculan kitab hadis seperti al-targhib karya Abd al-‘Azim ibn Abd al-Qawi ibn Abd al-Mundhiry (656 H). pada abad selanjutanya masih bermunculan kitab-kitab hadis sampai abad kesepuluh seperti yang dijelaskan Hasbi ash-Shiddieqy.[94]


Baca selanjutnya, artikel yang lainya :


BAB III

PENUTUP 

Kesimpulan

1.    Pada bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa hadis Rasulullah SAW bisa dijadikan hujjah berdasarkan firman Allah SWT, sabda Nabi sendiri, ijma’ maupun akal. Semua terlepas dari perdebatan para ulama bahwa tidak semua hadis bisa dijadikan hujjah.

2.    Hadis memiliki beberapa fungsi; menjadi bayan taqrir, bayan tafsir, bayan ta’qid, bayan takhsis, bayan tashri‘, dan bayan nasakh.

3.    Hadis muncul bersamaan dengan diwahyukan al-Qur’an tetapi pemeliharaannya berbeda karena dari awal Rasulullah menyuruh sahabat untuk menulis al-Qur’an berbeda halnya dengan hadis. Bahkan dalam suatu riwayat yang sahih, Rasulullah melarang sahabat untuk menulis hadis tetapi, ada sebagian sahabat  yang menulisnya. Maka hadis sudah ditulis sejak zaman Nabi oleh beberapa sahabat. Selain ditulis, para sahabat juga menghafalnya. Dengan hafalan dan tulisannya tersebut, hadis bisa sampai kepada kita semua.

 

DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zainul. Studi Kitab Hadis. Surabaya: al-Muna, 2010.
Azami, M. M. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. Terj. Mustafa Ali Yaqub. tt: Pustaka Firdaus,             2000.
Metodologi Kritik Hadis, Terj.  A. Yamin (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996.
Bukhary (al), Muhammad Ibn Isma‘il Abu ‘Abd Allah. Sahih al-Bukhary. Juz. 8. tk: Dar Tuq al-Najah,         1442 H.
al-Jami’ al-Sahih, Juz. 3 (Kairo: al-Maktabah al-Salafiyah, 1400 H.
Hamadah, ‘Abbas Mutawalli. al-Sunnah al-Nabawiyah wa Makanatuhu fi al-Tashri‘. Kairo: Dar al-                Qawmiyyah, t.th.
‘Itr, Nuruddin. ‘Ulumul hadis. Terj. Mujiyo. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014.
Izzan, Ahmad, dan Saifuddin Nur. Ulumul Hadis. Bandung: Humaniora, 2011.
Kahlany (al), Muhammad Ibn Isma’il Ibn Salah Ibn Muhammad al-Hasany. Subul al-Salam. Juz. 2. t.t:         Dar al-Hadith, t.th.
Khathib (al), M. Ajaj. Hadits Nabi Sebelum dibukukan. Terj. AH. Akrom Fahmi. Jakarta: Gema Insani             Press, 1999.
Khathib (al), M. ‘Ajjaj. Ushul Al-Hadits, Pokok-pokok Ilmu Hadits. Terj. M. Qodirun dan Ahmad                 Musyafiq. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998.
Mudasir. Ilmu Hadis. Bandung: Pustaka Setia, 2005.
Naisabury (al), Abi al-Husain Muslim Ibn al-Hajjaj al-Qushairy. Sahih Muslim. Riyadh: Dar Taibah,             2006.
PL, M. Noor Sulaiman. Antologi Ilmu Hadis. Jakarta: Gaung Persada Press. 2008
Rahman, Fatchur. Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Bandung: al-Ma’arif, 1974.
Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadits. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Sijistany (al), Abi Daud Sulaiman Ibn al-Ash‘ath. Sunan Abi Daud. Riyadh: Maktabah al-Ma‘arif li al-            Nashri wa al-Tauzi‘, t.th.
Shiddieqy (ash), Teungku Muhammad Hasbi. Sejarah & pengantar Ilmu Hadits. Semarang: Pustaka                 Rizki Putra, 2009.
Sumbulah, Umi. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN-Maliki Press, 2010.
Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta: Rajawali Press, 2014.
Tahhan, Mahmud. Taisir Mustalah al-Hadith. tt: Markaz al-Huda li al-Dirasat, 1405 H.
Qardhawi, Yusuf. Studi Kritik as-Sunah. Terj. Bahrun Abu bakar. Cet. 1. Bandung: Trigenda Karya,                 1995.
Qazwini (al), Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Yazid. Sunan ibn Majah. juz. II. tt: Dar Ihya’ al-Kutub             al-‘Arabiyah. t.th.
Yuslem, Nawir. Ulumul Hadis. Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001.
Zahw, Muhammad Abu. al-Hadith wa al-Muhaddithun. Mesir: Matba‘ah Misra, t.th.
Zuhri, Muhammad. Hadis Nabi; Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,             2003.
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, Special for Women. Bandung: Syamil al-                    Qur’an, t.th.


[1] M. Ajaj al-Khathib, Hadits Nabi Sebelum dibukukan, Terj. AH. Akrom Fahmi (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), 21.

[2] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits (Bandung: al-Ma’arif, 1974), 15.

[3] Abi Daud Sulaiman Ibn al-Ash‘ath al-Sijistany, Sunan Abi Daud (Riyadh: Maktabah al-Ma‘arif li al-Nashri wa al-Tauzi‘, t.th), 644. Diriwayatkan oleh Imam Abi Daud dari Hafs Ibn ‘Umar dari Shu‘bah dari Abi ‘Aun dari al-Harith Ibn ‘Amr Ibn Akhi al-Mughirah dari Unas dari sahabat-sahabat Mu‘adh Ibn Jabal.

[4] al-Khathib, Hadits Nabi, 23.

[5] Ahmad Izzan dan Saifuddin Nur, Ulumul Hadis (Bandung: Humaniora, 2011), 28.

[6] Rahman, Ikhtisar Mushthalahul, 61.

[7] Al-Qur’an, 16:44.

[8] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Special for Women (Bandung: Syamil al-Qur’an, t. th),272.

[10] Ibid., 4: 80.

[11] Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, 91.

[12] M. M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (tt: Pustaka Firdaus, 2000), 27.

[13] al-Sijistany, Sunan Abi, 832. Diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dari Ahmad Ibn Hanbal dari al-Walid Ib Muslim dari Thaur Ibn Yazid dari Khalid Ibn Ma‘dan dari ‘Abd al-Rahman Ibn ‘Amr al-Sulamy dan Hujr Ibn Hujr.

[14] Ibid., 831.

[15] Rahman, Ikhtishar Mushthalahul,  62.

[16] Izzan, Ulumul Hadis, 27.

[17] Al-Qur’an, 6: 50.

[18] Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, 133.

[19] Rahman, Ikhtishar Mushthalahul, 63.

[20] Al-Qur’an, 16: 89.

[21] Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, 277.

[22] Rahman, Ikhtishar Mushthalahul, 63.

[23] Azami, Hadis Nabawi, 45-46.

[24]Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadis, terj.  A. Yamin (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), 24.

[25] Mahmud Tahhan, Taisir Mustalah al-Hadith (tt: Markaz al-Huda li al-Dirasat, 1405 H), 21.

[26] Ibid., 21-22.

[27] Izzan, Ulumul Hadis, 147.

[28] Tahhan, Taisir Mustalah, 22.

[29] Ibid., 23.

[30] Ibid., 24-27.

[31] Izzan, Ulumul Hadis, 149.

[32] Ibid., 152.

[33] Ibid., 155.

[34]Muhammad Zuhri, Hadis Nabi; Telaah Historis dan Metodologis (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003), 91.

[35] Rahman, Ikhtishar Mushthalahul, 119.

[36] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001), 229.

[37] Ibid., 233.

[38] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), 173.

[39] Ibid., 230.

[40]Yusuf Qardhawi, Studi Kritik as-Sunah, ter. Bahrun Abu bakar, Cet. 1 (Bandung: Trigenda Karya, 1995), 43.

[41] Izzan, Ulumul Hadis, 30.

[42] Abi al-Husain Muslim Ibn al-Hajjaj al-Qushairy al-Naisabury, Sahih Muslim (Riyadh: Dar Taibah, 2006), 482. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Humaid Ibn Mas‘adah al-Bahily dari Bishr al-Mufaddal dari Salamah (Ibn ‘Alqamah) dari ‘Abd Allah Ibn ‘Umar yang langsung meriwayatkan dari Nabi SAW.

[43] Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, 28.

[44] Muhammad Abu Zahw, al-Hadith wa al-Muhaddithun (Mesir: Matba‘ah Misra, t.th), 37.

[45] Muhammad Ibn Isma‘il Abu ‘Abd Allah al-Bukhary, Sahih al-Bukhary, Juz. 8 (tk: Dar Tuq al-Najah, 1442 H), 9. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Muhammad Ibn al-Muthanna dari ‘Abd al-Wahhab, dari Ayyub, dari Abi Qalabah dari Malik Ibn al-Huraith yang menceritakan langsung dari Rasulullah SAW.

[46] Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), 27.

[47] Muhammad Ibn Isma’il Ibn Salah Ibn Muhammad al-Hasany al-Kahlany, Subul al-Salam, Juz. 2 (t.t: Dar al-Hadith, t.th), 440.

[48] Al-Qur’an, 5: 38.

[49] Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, 114.

[50] Ibid, 82.

[51] Abi ‘Abd Allah Muhammad Ibn Isma‘il al-Bukhary, al-Jami’ al-Sahih, Juz. 3 (Kairo: al-Maktabah al-Salafiyah, 1400 H), 365. Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhary dari ‘Abd Allah Ibn Yusuf dari Malik dari Abi al-Zinad dari al-A‘raj dari Abi Hurairah.

[52] Izzan, Ulumul Hadis, 33.

[53] Sumbulah, Kajian Kritis, 29.

[54] ‘Abbas Mutawalli Hamadah, al-Sunnah al-Nabawiyah wa Makanatuhu fi al-Tashri‘ (Kairo: Dar al-Qawmiyyah, t.th), 161.

[55] Abu al-Husain ibn al-Hajjaj al-Qushairy al-Naisabury, Sahih Muslim, Jil. 2 (Riyadh: Dar Taibah, 1426 H), 931. Hadis nomer indeks 1933.

[56] Sumbulah, Kajian Kritis, 30.

[57] Ibid., 30.

[58] Izzan, Ulumul Hadis, 35.

[59] Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Yazid al-Qazwini, Sunan ibn Majah, juz. II (tt: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, t.th), 906.

[60] Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, 27.

[61] Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2005), 87-88.

[62] Sumbulah, Kajian Kritis, 39.

[63] Zahw, Al-Hadith Wa al-Muhaddithun, 53.

[64] Sulaiman PL, Antologi Ilmu, 54-55.

[65] M. ‘Ajjaj al-Khathib, Ushul Al-Hadits, Pokok-pokok Ilmu Hadits, Terj. M. Qodirun dan Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), 49.

[66] Ibid., 49-50.

[67] Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis (Surabaya: al-Muna, 2010), 16.

[68] Al-Khathib, Ushul al-Hadits…, 50.

[69] Al-Khathib, Ushul al-Hadits…, 51.

[70] Ibid.

[71] Ibid., 51-52.

[72] al-Bukhary, Sahih al-Bukhary, 9.

[73] Al-Khathib, Ushul al-Hadits…, 53.

[74] Ibid., 54-55.

[75] Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: Rajawali Press, 2014), 75-76.

[76] Ibid., 76.

[77] Sulaiman PL, Antologi Ilmu…, 58-59.

[78] Ibid., 60-61.

[79] M. Ajaj al-Khathib, Hadits Nabi Sebelum Dibukukan, Terj. Akrom Fahmi (Jakarta: Gema Insani Press, 1981), 99-105.

[80]  al-Sijistany, Sunan Abi, 658.

[81] Azami, Hadis Nabawi, 33.

[82] Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul hadis, Terj. Mujiyo (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), 42.

[83] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & pengantar Ilmu Hadits (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), 38.

[84] Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis (Surabaya: al-Muna, 2010), 34.

[85] Ash-Siddieqy, Sejarah & Pengantar, 45-47.

[86] Ibid., 50.

[87] Ibid., 52.

[88] Ibid., 55.

[89] Ibid., 58.

[90] Ibid., 59-60.

[91] Ibid., 61.

[92] Ibid., 79-81.

[93] Ibid., 88.

[94] Ibid., 88-93.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...