BAB
I
PENDAHULUAN
Umat Islam sepakat bahwa al-Qur’an adalah sumber hukum
yang pertama. Kedua, diisi oleh sunah Rasulullah SAW yang diutus oleh Allah SWT
untuk menjelaskan isi al-Qur’an secara rinci. Rasulullah SAW sendiri adalah
contoh praktis dalam mengamalkan ajaran agama Islam. Oleh karenanya, sejak
zaman Nabi hingga sekarang kaum muslimin menjadikan sunah sebagai sumber hukum
dan penuntun akhlak selain al-Qur’an.[1]
Sunah yang diwariskan Rasulullah SAW kepada umatnya
memiliki kedudukan tersendiri untuk al-Qur’an. Apalagi fungsi sunah terhadap
al-Qur’an yang menjadikannya istimewa tetapi tidak semua sunah bisa dijadikan hujjah.
Hal ini karena banyak faktor semisal tingkat kecermatan perawi. Al-Qur’an diriwayatkan
secara mutawatir sehingga tidak perlu lagi untuk menelitinya. Berbeda dengan
hadis yang memiliki banyak varian sehingga terjadi perbedaan pendapat
dikalangan ulama tentang kehujjahannya.
Terlepas dari perbedaan tersebut jika muncul suatu masalah dikemudian hari yang tidak ditemukan dalam al-Qur’an atau sunah -hal ini mungkin terjadi karena perbedaan zaman- barulah menggunakan ijtihad baik itu secara personal atau kelompok. Demikian ini agar terhindar dari kevakuman suatu hukum atau kebekuan beramal.[2] Bahkan sejarah mencatat bahwa Rasulullah SAW sangat gembira dengan jawaban Mu‘adh Ibn Jabal ketika hedak diutus ke Yaman. Mu‘adh mengatakan bahwa apabila timbul suatu masalah maka ia akan mengembalikannya kepada al-Qur’an jika tidak ditemukan maka pada sunah. Jika dalam keduanya juga tidak ditemukan maka ia akan melakukan ijtihad. Lalu Rasulullah SAW bersabda:
الْحَمْدُ لِلَّهِ
الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّه[3]
Segala puji bagi Allah yang telah membimbing duta Rasulullah SAW kepada yang telah diridai Rasulullah SAW. (H. R. Abu Daud)
Kemudian musuh Islam yang dari awal tidak senang dengan
kemajuan umat Islam kemudian mencari cara untuk menggoyahkan keyakinan
muslimin. Mereka menumbuhkan keraguan dalam diri muslimin dengan mengingkari
sunah. Alasannya adalah sunah tidak ditulis saat Nabi SAW masih hidup seperti
halnya al-Qur’an. Bahkan sunah diabaikan selama bera bad-abad tahun sehingga
ada kemungkinan bahwa hadis yang ditulis dan yang ada di kalangan muslim saat
ini sudah bercampur dengan hadis-hadis palsu. Pemikiran-pemikiran yang demikian
ini, oleh kaum pengingkar sunah di sebarluaskan ke berbagai negara Islam. Fakta
sejarah berbeda dengan apa yang dituduhkan para pengingkar sunah.[4] Oleh karenanya perlu untuk mempelajari sejarah munculnya
hadis sehingga bisa sampai ke generasi selanjutnya.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Argumentasi
Kehujjahan Hadis
Al-Qur’an
dan Hadis disepakati untuk dijadikan sumber hukum walaupun kedudukannya
berbeda. Kemudian, ada beberapa masalah yang muncul dalam hadis, apakah seluruh
hadis ini bisa dijadikan hujjah?. Oleh karenanya sebelum membicarakan
hadis manakah yang bisa dijadikan hujjah, ada baiknya mengetahui kehujjahan
hadis itu sendiri. Ada beberapa alasan yang telah dijelaskan di bawah ini:
a.
Argumentasi
rasional
Sebagai
utusan Allah SWT, tugas Nabi Muhammad SAW adalah menyampaikan wahyu kepada umat
manusia. Adakalanya isi dan formulasinya sama seperti yang diwahyukan
adakalanya dengan inisiatif sendiri tetapi tidak lepas dari bimbingan ilham
Tuhan. Tidak jarang pula beliau berijtihad sendiri tanpa adanya wahyu maupun
ilham. Hasil ijtihad tersebut berlaku hingga ada nash yang menghapusnya.[5]
Jika seluruh umat Islam telah meyakini kerasulan Nabi Muhammad SAW maka wajib
baginya untuk mematuhi segala peraturan yang di perintahkan olehnya.[6]
b.
Argumentasi
al-Qur’an
Banyak
firman Allah SWT yang menyebutkan agar umat manusia mentaati Rasulullah saw dan ajaran yang dibawanya.
Seperti beberapa ayat di bawah ini:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ[7]
Dan Kami telah menurunkan alquran kepadamu agar engkau menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan mudah-mudahan mereka memikirkan.[8]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Wahai orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya)
dan ulil amri diantara kalian. Jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu
maka kembalikanlah kepada Allah SWT (al-Qur’an) dan Rasulullah SAW (sunahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama dan lebih baik akibatnya.[9]
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا[10]
Barang siapa mentaati Rasulullah SAW maka sesungguhnya dia telah mentaati Allah. Dan barang siapa berpaling, maka Kami tidak mengutusmu (Muhammad SAW) untuk menjadi pemelihara mereka.[11]
Ayat-ayat
di atas menjelaskan agar umat manusia mentaati Rasulullah SAW yaitu mengikuti
seluruh ajaran-ajarannya. Sudah menjadi tugas seorang utusan utuk menyampaikan
segala ajaran dari Allah SWT yang termaktub dalam al-Qur’an baik dengan lisan
ataupun perbuatan. Rasulullah SAW perlu menjelaskan isi dari al-Qur’an karena
didalamnya banyak yang menggunakan makna global.[12]
c.
Argumentasi
Sunah
Beberapa sabda Rasulullah SAW menyebutkan agar umatnya selalu berpegang teguh dengan sunahnya selain al-Qur’an. Diantaranya:
فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِي
وَسُنَّةِ
الْخُلَفَاءِ
الْمَهْدِيِّينَ
الرَّاشِدِينَ،
تَمَسَّكُوا
بِهَا
وَعَضُّوا
عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِذِ[13]
Tetaplah kalian pada sunnahku dan sunah al-Khulafa’ al-Rashidun yang telah mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dengan gigi gerahammu.
Selain menyuruh agar mentaati ajarannya, Rasulullah
SAW juga mencela orang yang meninggalkan sunahnya seperti sabdanya:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حَنْبَلٍ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ النُّفَيْلِيُّ، قَالَا: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي النَّضْرِ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي رَافِعٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :لَا أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيكَتِهِ يَأْتِيهِ الْأَمْرُ مِنْ أَمْرِي مِمَّا أَمَرْتُ بِهِ أَوْ نَهَيْتُ عَنْهُ فَيَقُولُ لَا نَدْرِي مَا وَجَدْنَا فِي كِتَابِ اللَّهِ اتَّبَعْنَاه[14]
Diceritakan oleh Ahmad Ibn Muhammmad Ibn Hanbal dan ‘Abd
Allah Ibn Muhammad al-Nufailiyyu, mereka berkata: Sufyan menceritakan kepada
kami dari Abi al-Nadr dari ‘Ubaid Allah Ibn Abi Rafi‘ dari ayahnya dari
Rasulullah SAW. Ia berkata “Pastilah hampir ada seseorang di antara kamu yang
duduk bersandar di tempat duduknya, yang datang kepadanya sebagian perkaraku,
yang aku diperintahkan atau dilarang, lalu berkata: aku tidak tahu. Apa yang
bisa kami temukan di dalam Kitabullah akan kami ikuti. (H. R. Abu Daud)
d.
Argumentasi
ijma’
Semasa hidup
Rasulullah SAW, para sahabat mengerjakan apa yang diperintahkan dan menjauhi
apa yang dilarang. Setelah Rasulullah SAW wafat pun, mereka tetap berpegang
teguh pada sunahnya ketika menghadapai masalah yang tidak ditemukan dalam
al-Qur’an.[15]
Bahkan seluruh umat Islam sepakat menjadikan hadis sebagai sumber hukum setelah
al-Qur’an. Selain itu, mereka semangat untuk mempelajarinya, menghafal dan
menyebarkannya seperti para sahabat sehingga sunah hadis Nabi SAW sampailah
kepada umat sesudahnya.[16]
Allah SWT juga mengukuhkan bahwa Nabi hanya menyampaikan apa yang telah
diwahyukan kepadanya. Seperti firman Allah SWT:
قُلْ لَا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلَا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَى إِلَيَّ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الْأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَفَلَا تَتَفَكَّرُون[17]
Katakanlah: aku tidak mengatakan kepadamu bahwa pembendaharaan
Allah ada padaku, dan pula aku tidak mengetahuiyang gaib dan tidak pula aku
mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang
diwahyukan kepadaku. Katakanlah apakah sama orang yang buta dan yang melihat?
Maka apakah kamu tidak memikirkannya?.[18]
2.
Golongan
yang Menolak Kehujjahan Hadis
Ada
sebagian kelompok orang yang tidak menerima kehujjahan hadis. Golongan
tersebut hanya menggunakan al-Qur’an sebagai sumber hukum dengan alasan bahwa
al-Qur’an telah cukup untuk dijadikan rujukan. Ada beberapa alasan, antara
lain:
a.
Firman Allah
SWT yang telah terhimpun dalam al-Qur’an telah mencakup seluruh persoalan agama
sehingga tidak membutuhkan penjelas seperti hadis Rasulullah SAW. Jika
membutuhkan yang lain berarti Allah SWT telah melupakan sesuatu yang seharusnya
disebutkan dalam al-Qur’an.[19]
Adapun firman tersebut adalah:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ[20]
Dan Kami telah turunkan kitab Allah (al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri (muslim).[21]
b.
Seandainya
hadis memang bisa dijadikan hujjah, pasti Rasulullah saw telah
memerintahkan untuk menulisnya agar terpelihara seperti halnya al-Qur’an. Jika
demikian, maka bisa diterima oleh kaum muslimin secara pasti (qat‘i) karena
yang masih bersifat zanny tidak bisa dijadikan hujjah.[22]
M.
M Azami di dalam bukunya Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya
mengatakan bahwa tidak semua orang yang dianggap menolak sunah dikatakan bahwa
mereka ingkar sunah. Misalnya, kelompok Khawarij yang masih memprioritaskan
hadis daripada qiyas. Sejak Dari masa lalu sudah ada sebagian orang yang
menolak hadis namun hilang sekitar akhir abad ketiga. Golongan yang menolak
sunah ini muncul kembali pada abad ketiga belas hijriyah karena pengaruh penjajahan
Barat.[23]
3.
Kehujjahan
Hadis Ahad dan Mutawatir
Kehidupan
Rasulullah SAW baik itu ketetapan, keputusan maupun perintah bersifat mengikat
dan patut untuk diteladani. Bahkan M. Azami menyatakan bahwa kedudukan tersebut
adalah mutlak, tidak bergantung pada penerimaan
masyarakat, opini ahli hukum atau pakar-pakar tertentu.[24]
Kendati
demikian, para ulama tidak menerima seluruh hadis untuk dijadikan hujjah
namun mereka menyeleksi hadis-hadis tersebut. Oleh karenanya perlu diketahui kehujjahan
dari hadis mutawatir dan hadis ahad.
a. Hadis mutawatir
1) Definisi hadis mutawatir
ما رواه عدد كثير تحيل العادة تواطئهم على الكذب[25]
Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang menurut adat tidak mungkin sepakat untuk berdusta.
2) Syarat-syarat hadis mutawatir
a) Khabar yang dibawa oleh perawi
harus berdasarkan penglihatan atau pendengaran sendiri.
b) Jumlah rawi harus banyak (ada
yang mengatakan 4 orang, 10 orang, 20 orang dan sebagainya).
c) Para periwayat hadis menurut adat
tidak dimungkinkan untuk berbohong.
d) Adanya keseimbangan jumlah rawi
disetiap tingkatan.[26]
3) Pembagian hadis mutawatir
a) Mutawatir bi al-lafzi
Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi dengan susunan redaksi dan maknanya sesuai dengan benar antara satu riwayat dengan
riwayat yang lain.
b) Mutawatir bi al-ma‘na
Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi dengan beragagam redaksi
tetapi memiliki makna yang sama.[27]
4) Hukum hadis mutawatir
Hadis mutawatir memberi manfaat ilmu daruri yang harus diterima seluruhnya, tanpa harus meneliti para periwayatnya.[28]
b. Hadis ahad
1)
Definisi hadis ahad
ما لم يجمع شروط المتواتر[29]
Hadis yang tidak mencapai syarat mutawatir.
2)
Klasifikasi hadis ahad
a)
Hadis mashhur
Hadis yang disetiap tabaqah diriwayatkan oleh tiga orang
tau lebih (tidak mencapai mutawatir)
b)
Hadis ‘aziz
Hadis yang disetiap tabaqahnya diriwayatkan tidak kurang
dari dua orang
c)
Hadis gharib
Hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi.[30]
3) Kehujjahan hadis ahad
Terbaginya hadis ahad
menjadi tiga hanya pada pembagian banyaknya rawi. Sedangkan tentang kehujjahnnya
bergantung pada kualitas hadis yang terbagi menjadi tiga lagi yakni hadis sahih,
hasan dan da‘if:
Pertama, Hadis sahih
menurut Ibn Salah seperti yang dikutip Ahmad Izzan adalah hadis yang
sanadnya bersambung melaui periwayatan orang yang adil dan dabit
dari orang yang adil dan dabit pula sampai ujungnya, tidak shadh
dan tidak ada cacat.[31]
Kedua, Hadis hasan adalah
sanadnya bersambung yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan tingkat
ke-dabit-annya di bawah hadis sahih juga tidak ada kejanggalan
serta tidak ada cacat.[32]
Ketiga, Hadis da‘if
adalah hadis yang kehilangan satu atau lebih dari syarat-syarat hadis sahih
atau hasan.[33]
Adapun kehujjahan dari
ketiganya akan dijelaskan sebagai berikut:
a) Ke-hujjah-an
hadis sahih
Ulama Usul dan para ahli fikih berpendapat bahwa
seluruh hadis yang berkualitas sahih harus diamalkan karena, hadis sahih
bisa dijadikan hujjah sebagai dalil syara’. Maksud hadis sahih
disini ialah hadis yang sanad dan matannya berkualitas sahih sebab banyak
peneliti yang memvonis sahih setelah meneliti sanadnya saja padahal menurut
Muhammad Zuhri matan juga perlu diteliti agar terhindar dari kecacatan
dan kejanggalan.[34]
Sebagaimana ulama hadis berpendapat bahwa suatu hadis dinilai sahih
tidak bergantung pada banyaknya sanad. Suatu hadis dinilai sahih kalau
sanad dan matn-nya sahih, walaupun rawinya hanya seorang saja
pada tiap-tiap tabaqat.[35]
b) Ke-hujjah-an
hadis hasan
Istilah hadis hasan dipopulerkan oleh Imam
al-Tirmidhi dan status hadis hasan dibawah hadis sahih. Hal ini
dikarenakan perbedaan tingkat kecermatan periwayat[36]
tetapi, tanggapan ulama tentang kehujjahan hadis hasan sama
halnya dengan hadis sahih yakni dapat dijadikan hujjah. Ada sebagian ulama semisal al-Hakim, Ibnu Hibban, dan
Ibnu Khuzaimah yang mengutamakan hadis sahih daripada hadis hasan
dengan alasan bahwa status hadis sahih sudah jelas dibandingkan hadis hasan.
Sikap ini adalah bentuk kehatia-hatian mereka dalam mengambil hadis untuk
dijadikan dalil hukum.[37]
c) Ke-hujjah-an
hadis da‘if
Para ulama sepakat untuk mengambil hadis sahih dan hadis hasan sebagai dalil hukum syara’ meskipun mereka masih memperdebatkan penempatan urutannya. Sebagian ulama hadis ada yang membedakan urutan antara keduanya, ada pula yang memasukkannya dalam satu kelompok yakni dimasukkan dalam kategori hadis sahih.[38] Begitu pula terhadap kehujjahan hadis da‘if, para ulama berbeda pendapat. Pertama, larangan secara mutlak untuk mengambil hadis da‘if sebagai hujjah walaupun hanya untuk member sugesti seperti penapat yang dikemukan oleh Abu Bakar Ibn al-‘Arabi. Kedua, dibolehkannya mengamalkan hadis da’if tetapi hanya sebatas untuk memberi sugesti, menerangkan keutamaan sebuah amalan, dan cerita-cerita yang tidak untuk menetapkan suatu hukum. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani tetapi dengan catatan;[39] Hadis tersebut tidak terlalu lemah, Dasar amalan yang terdapat dalam hadis tersebut bisa dibenarkan oleh dasar hadis yang dapat diamalkan (sahih dan hasan), Ketika mengamalkannya tidak beri’tikad bahwa hadis tersebut benar-benar bersumber dari Nabi.
Baca artikel tentang Ilmu Hadis lainya :
4.
Posisi Hadis dengan al-Qur’an
Para ulama sepakat untuk menjadikan sunah sebagai sumber ajaran Islam yang
kedua setelah al-Qur’an terlepas dari perdebatan mereka tentang kehujjahan
sunah. Bahkan Imam Auza'i mengatakan bahwa al-Qur’an lebih memerlukan Sunnah (hadis)
daripada sunnah terhadap al-Qur’an melihat fungsi sunah terhadap al-Qur’an.[40]
Adapun fungsi sunah terhadap al-Qur’an adalah:
a.
Bayan
taqrir
Sering
kali bayan taqrir disebut juga dengan bayan ta’kid atau bayan
ithbat. Maksudnya adalah fungsi hadis terhadap al-Qur’an hanya sebagai
penguat dari kandungan ayat al-Qur’an. Adanya hadis tersebut bisa memperkokoh
isi kandungan ayat.[41]
Misalnya potongan hadis berikut:
فَإِذَا
رَأَيْتُمُ
الْهِلَالَ
فَصُومُوا،
وَإِذَا
رَأَيْتُمُوهُ
فَأَفْطِرُوا[42]
Jika
kalian melihat bulan maka berpuasalah, dan jika melihat bulan
maka berbukalah. (H.R. Muslim).
Hadis ini memperkokoh kandungan ayat
al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185:
فمن شَهِدَ
مِنْكُمُ
الشَّهْرَ
فَلْيَصُمْه
...الاية
Maka barang siapa diantara kalian berada di bulan Ramadan
maka berpuasalah.[43]
b.
Bayan
tafsil
Hadis
berfungsi sebagai penjelas atau merinci maksud dari ayat al-Qur’an yang global. Beberapa ayat al-Qur’an mengandung hukum yang dijelaskan
secara global semisal shalat, puasa dan lain sebagainya. Teknik operasional dari
kewajiban-kewajiban tersebut tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan hanya bisa
ditemukan dalam hadis Rasulullah SAW.[44] Misalnya:
وأقيموا
الصلاة وأتوا الزكاة وما تقدموا لأنفسكم من خير تجدوه عند الله ان الله بما تعملون بصير
Dan
dirikanlah salat, dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan
untuk dirimu maka kamu kan mendapatkan pahalanya disisi Allah. Sesungguhnya Allah
melihat apa yang telah kamu kerjakan.
Ayat ini hanya memerintahkan salat tanpa menyebutkan
tatacara dari salat itu sendiri. Maka hadis Rasulullah SAW akan menjelaskan
tatacara tersebut seperti penjelasan hadis dibawah ini:
وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي[45]
Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku mengajarkan shalat. (H. R. Al-Bukhari)
c.
Bayan taqyid
Bayan taqyid adalah penjelasan hadis yang membatasi kandungan ayat al-Qur’an yang tidak
terbatas (mutlak). Jadi fungsi hadis disini sebagai pembatas dari hukum yang
mutlak.[46] Misalnya:
أُتِيَ
النَّبِيُّ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
بِسَارِقٍ
فَقَطَعَ
يَدَهُ
مِنْ
مَفْصِلِ
الْكَفِّ[47]
Rasulullah
SAW didatangi
seseornag dengan membawa seorang pencuri, lalu beliau memotong tangan pencuri
dari pergelangan tangan.
Hadis ini menjelaskan batasan yang dimaksud
dari ayat berikut:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ[48]
Laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
sebagai balasan atas apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah
SWT. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[49]
d.
Bayan takhsis
Bayan takhsis adalah
penjelasan hadis yang mengkhususkan lafaz yang bersifat umum dalam
al-Qur’an. Misalnya ayat yang menjelaskan tentang keharaman menikahi
wanita-wanita yang bersuami kecuali budak yang dimiliki seperti dalam surat
al-Nisa’ ayat 24:
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ
النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ
تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا
اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلَا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ
كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Dan diharamkan juga yaitu wanita yang bersuami, kecuali hamba sahaya yang kamu miliki sebagai ketetapa Allah atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain yang demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina. Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah mas kawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban. Tetapi tidak mengapa jika kamu telah saling merelakannya setelah ditetapkan. Sungguh Allah Maha Mengetahui dan Bijaksana.[50]
Ayat ini di-takhsis oleh hadis Rasulullah saw:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاللاَ
يُجْمَعُ
بَيْنَ
المَرْأَةِ
وَعَمَّتِهَا،
وَلاَ
بَيْنَ
المَرْأَةِ
وَخَالَتِهَا[51]
‘Abd Allah ibn Yusuf menceritakan kepada kami,
diceritakan oleh Malik dari Abi al-Zinad dari al-A‘raj dari Abi Hurairah bahwa
Rasulullah saw bersabda: Tidak boleh
mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan ‘ammah (bibi dari bapak) dan
diantara seorang wanita dengan khalah (bibi dari ibu). (H. R. al-Bukhari)
e.
Bayan tashri‘
Bayan tashri‘ adalah mewujudkan suatu hukum yang tidak ditemukan dalam al-Qur’an, atau
dalam al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya saja.[52] Sebenarnya bila dipahami, hadis Rasulullah saw tersebut
adalah penjelasan yang disebutkan dalam al-Qur’an atau memperluas maksud dari
ayat al-Qur’an.[53] Bayan tashri‘ ini juga disebut dengan zaid
‘ala al-qur’an al-karim oleh Abbas Mutawalli Hamadah.[54] Misalnya ayat yang menjelaskan tentang sesuatu yang
haram dimakan seperti dalam surat al-Maidah: 3:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ...الاية
Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih tanpa nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih...
Kemudian Rasulullah SAW menambahkan sebagai penjelasan
bahwa selain yang disebutkan dalam ayat tersebut, diharamkan juga yaitu
binatang buas yang bertaring dan burung yang kukunya mencengkram karena tajam.
Seperti
sabda Rasulullah:
وحَدَّثَنِي زُهَيْرُ
بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ يَعْنِي
ابْنَ مَهْدِيٍّ، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي حَكِيمٍ، عَنْ
عَبِيدَةَ بْنِ سُفْيَانَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: كُلُّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ[55]
Zuhair ibn Harb nenceritakan kepadaku, ‘Abd al-Rahman ibn Mahdi menceritakan kepada kami dari Malik dari Isma‘il ibn Abi Hakim dari ‘Abidah ibn Sufyan dari Abi Hurairah dari Nabi Muhammad SAW bersabda: Setiap hewan buas yang memiliki taring maka haram dimakan.
Sebenarnya larangan ini hanyalah perluasan dari
penjelasan ayat diatas.[56] Bayan tashri‘ secara zahir seakan-akan
Nabi membuat hukum baru yang tidak ada dalam al-Qur’an sehingga terjadi perbedaaan
pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama yang setuju mendasarkan pendapatnya
pada ‘ismah Nabi khususnya dalam masalah syariat. Sedangkan ulama yang
menolak, mendasarkan pendapatnya bahwa sumber hukum hanya Allah, sehingga
apabila hendak menetapkan hukum Rasulullah SAW juga harus merujuk kepada Allah
(al-Qur’an).[57]
f.
Bayan nasakh
Bayan nasakh adalah hadis mengahapus hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’an. Fungsi hadis
yang terakhir ini hanya dipakai oleh ulama yang berpendapat bahwa hadis bisa
menasakh ayat al-Qur’an. Adapun kelompok yang menganggap adanya bayan nasakh
adalah kelompok Mu’tazilah hanya saja berlaku bagi hadis yang mutawatir.
Kelompok Hanafiyah dan mazhhab Ibn Hazm al-Dhahiri juga setuju dengan adanya bayan
nasakh. Sedangkan yang menolak bayan nasakh adalah Imam Syafi’i dan
pengikutnya dan madzhab Zhahiriyah serta kelompok Khawarij.[58]
Misalnya
sabda Rasulullah:
حَدَّثَنَا
هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ شُعَيْبِ بْنِ شَابُورَ
قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ، عَنْ سَعِيدِ
بْنِ أَبِي سَعِيدٍ، أَنَّهُ حَدَّثَهُ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: إِنِّي
لَتَحْتَ نَاقَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسِيلُ
عَلَيَّ لُعَابُهَا فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ إِنَّ
اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، أَلَا لَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ[59]
Hisham ibn ‘Ammar menceritakan kepada kami, dia berkata menceritakan kepada kami Shu‘aibibn Shabur, dia berkata menceritakan kepada kami ‘Abd al-Rahman ibn Yazid ibn Jabir dari Sa‘id ibn Abi Sa‘id bahwasanya dia bercerita dari Anas ibn Malik berkata: aku berada di bawah unta betinya Rasulullah kemudian ludah untanya mengalir padaku, aku mendengar Rausullah bersabda sesungguhnya Allah telah memberikan hak pada orang yang berhak, ingatlah tidak ada wasiat bagi ahli waris. (H. R. Ibn Majah)
Hadis ini menurut kelompok yang sepakat dengan adanya nasakh, maka hadis di atas bisa menasakh al-Qur’an yakni firman Allah SWT surat al-Baqarah ayat 180:
كُتِبَ
عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ
لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Diwajibkan
atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) kematian,
jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiatlah untuk ibu bapak kerabat
secara makruf, (ini adalah) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.[60]
5.
Sejarah Perkembangan Hadis
a.
Hadis pada masa Rasulullah SAW
Sejarah
perkembangan hadis terbagi pada beberapa periode; pada periode Rasulullah SAW,
periode sahabat dan periode tabi‘in. Para ulama
menyebut periode pertama ini dengan عصر الوحي و التكوين (masa turunnya wahyu dan pembentukan
masyarakat Islam). Periode pertama ini adalah periode yang paling istimewa
karena, para sahabat bisa langsung menanyakan seluruh permasalahannya sendiri
maupun masalah yang timbul di sekitarnya baik itu masalah duniawi atau ukhrawi.
Semua yang dilakukan maupun yang dikatakan bahkan yang melekat pada Rasulullah
dijadikan contoh dan pedoman dalam ‘amaliyyah dan ‘ubudiyyah para
sahabat.[61]
Berkembangnya
hadis sejalan dengan berkembangnya al-Qur’an karena ketika Rasulullah
menyampaikan ayat-ayat al-Qur’an maka beliau juga menjelaskan kandungan ayat
tersebut. Penjelasan-penjelasan inilah yang disebut dengan hadis karena apa-apa
yang keluar dari Nabi selain al-Qur’an adalah hadis. maka perlu diketahui bagaimana
Rasulullah menyampaikan hadis kepada para sahabatnya.
1)
Cara menyampaikan
hadis kepada para sahabat
Adapun metode yang ditempuh Rasulullah
dalam menyampaikan hadis kepada para sahabatnya, yaitu:
a)
para sahabat melakukan dialog langsung dengan Rasulullah SAW.
b)
Para sahabat menyaksikan perbuatan dan ketetapan Rasulullah SAW.
c)
Para sahabat mendengarkan perkataan sesama sahabat yang
diperoleh dari Rasulullah SAW.
d)
Para sahabat menyaksikan perbuatan Rasulullah SAW
atau sesama sahabat yang diperoleh dari
Rasulullah SAW.[62]
Metode ini adalah metode yang dikutip oleh Umi Sumbulah dari Muhammad Abu Zahw dalam kitabnya al-Hadith
wa al-Muhaddithun.[63]
Begitu pula yang disampaikan M. Noor Sulaiman PL dalam bukunya Antologi Ilmu
Hadis,
hanya saja ia menjelaskan maksud dari keempat metode tersebut.[64] M ‘Ajaj al-Khathib dalam kitab Ushul
al-Hadits-nya
meringkas metode pengajaran Rasululah SAW terhadap para sahabatnya sebagai
berikut:[65]
a)
Pengajaran secara bertahap
Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT memiliki kewajiban untuk menyampaikan
risalah-Nya yang termaktub dalam al-Qur’an al-Karim. Al-Qur’an sendiri turun
dengan bertahap agar para sahabat mudah memahami kandungannya. Maka Rasulullah SAW dituntut untuk memberi fatwa dan
penjelasan dalam segala hal yang merupakan Sunnah.
b)
Pusat pengajaran
Dar al-Arqam ibn ‘Abdi Manaf yang ada di Makkah atau yang lebih
dikenal dengan Dar al-Islam
adalah tempat Rasulullah SAW menyampaikan risalah-Nya secara diam-diam. Hal ini terjadi
ketika awal mula Rasulullah SAW berdakwah. Kemudian para sahabat sering berkumpul dengan
Rasulullah SAW untuk belajar dasar-dasar Islam serta menghafal al-Qur’an. Oleh
karenanya rumah Rasulullah SAW menjadi pusat kegiatan kaum muslimin baik
belajar al-Qur’an maupun hadis. selain belajar di tempat tersebut, sahabat
sering berdiskusi dimanapun mereka berada. Hal ini menunjukkan bahwa para
sahabat sudah mempelajari serta menghafal hadis dan al-Qur’an secara bersamaan.[66]
Masjid menjadi
tempat belajar berikutnya untuk mendalami agama Islam, menghafal al-Qur’an dan
menerima hadis. Hal ini tidak menunjukkan bahwa hanya di dalam masjid
Rasulullah SAW memberikan fatwa.
Tempat Rasulullah berdakwah tidak ditentukan bahkan tidak dibatasi oleh waktu.
Seringkali dalam perjalanan Rasulullah SAW memberikan fatwa untuk menyelesaikan masalah.[67]
c)
pendidikan dan pengajaran yang efektif
Sebagai utusan Allah SWT, Nabi Muhammad
SAW dalam menyampaikan al-Qur’an maupun memberikan fatwa selalu ia lakukan
dengan sangat baik. Walaupun ia sebagai public figur, namun ia tetap rendah
hati bahkan ia duduk bersama dengan sahabat-sahabatnya. Sebelum mengajarkan
suatu pelajaran, Rasulullah SAW selalu membukanya dengan kata-kata yang
menyenangkan hati pendengarnya.[68] Selain menggunakan kata-kata yang
halus, beliau juga menjelaskannya dengan sangat jelas hingga sahabat bisa
memahaminya dan mengulangnya agar bisa dihafal.[69]
d)
Menggunakan metode
yang menyenangkan
Cara mengajar Rasulullah selalu
bervariasi, hal ini dikarenakan agar para sahabat tidak bosan untuk
mendengarkan penjelasan yang panjang. Cara seperti ini adalah cara paling
efektif dan dijadikan metode mengajar oleh lembaga pendidikan. Misalnya memberi
jeda waktu belajar.[70]
e)
memberikan contoh praktis
Rasulullah tidak lupa untuk memberikan
contoh praktis kepada para sahabat. Hal ini dilakukan agar sahabat cepat
menangkap maksud dari hukum yang dijelaskan. Suatu ilmu akan lebih cepat
dipahami apabila disertai dengan praktek.[71]
Misalnya yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari “kami datang kepada Nabi dan kami masih berusia setengah baya. Lalu kami tinggal selama
dua puluh hari. Suatu ketika beliau mengira kami merindukan keluarga kami dan
menanyakan orang-orang yang tinggal bersama kami. Kemudian beliau bersabda:
ارْجِعُوا
إِلَى
أَهْلِيكُمْ،
فَعَلِّمُوهُمْ
وَمُرُوهُمْ،
وَصَلُّوا
كَمَا
رَأَيْتُمُونِي
أُصَلِّي،
وَإِذَا
حَضَرَتِ
الصَّلاَةُ،
فَلْيُؤَذِّنْ
لَكُمْ
أَحَدُكُمْ،
ثُمَّ
لِيَؤُمَّكُمْ
أَكْبَرُكُمْ[72]
“Kembalilah kepada keluarga kalian, lalu ajarilah dan perintahlah mereka. Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku mengajarkan shalat. Dan bila waktu shalat tiba, maka hendaklah salah satu dari kalian mengumandangkan adzan untuk kalian. Kemudian hendaklah yang paling tua diantara kalian menjadi imam”. (H. R. Al-Bukhari)
f)
mempertimbangkan
kecerdasan para sahabat
Rasulullah SAW sangat memperhatikan keadaaan
sahabat-sahabatnya hingga mengetahui tingkat daya tangkap mereka. Hal ini perlu
diketahui oleh para pengajar agar apa yag disampaikannya bisa dipahami oleh
pendengar. Rasulullah selalu melihat para sahabat yang hadir apakah mereka
orang pedalaman atau orang kota karena keduanya memiliki karakter yang berbeda.[73]
g)
Pengajaran yang
tidak menakutkan
Hukum-hukum yang disebarkan oleh Rasulullah adalah hukum yang mudah karena ia adalah orang yang sangat toleran tetapi, beliau tidak lupa memberi ketentuan utama dan kemudahan. Rasulullah sering melarang sahabat yang berlebihan dalam beribadah dan yang mempersempit hukum.[74]
h)
pengajaran bagi wanita
Rasulullah SAW tidak
membeda-bedakan antara laki-laki dan wanita. Beliau memberikan waktu khusus
kepada kaum wanita untuk belajar Islam kepada Rasulullah SAW. Hal ini dikarenakan para wanita
enggan untuk datang ke majlis rasul yang diikuti oleh kaum laki-laki.
2)
Cara sahabat
menerima hadis dari Rasulullah SAW
Para sahabat
menjadi saksi hidup turunnya wahyu, menyaksikan sendiri tentang mukjizat yang
diterima oleh rasulullah. Oleh karenanya, iman mereka tak tergoyahkan. Mereka
tidak pernah bosan untuk mempelajari tentang agama Islam dari Rasulullah SAW.
Adapun cara sahabat mendapatkan hadis:
a)
Majlis Rasulullah
SAW
b)
Peristiwa yang
terjadi pada diri Rasulullah SAW
c)
Peristiwa yang
terjadi pada kaum muslimin
d)
Peristiwa yang
disaksikan oleh sahabat, bagaimana Rasulullah melaksanakannya
3)
Cara sahabat
memelihara hadis Rasulullah SAW
Selama dua puluh
tiga tahun Rasulullah menyampaikan risalahnya melalui banyak cara. Dalam kurun
waktu yang sangat panjang ini pasti sangat banyak hal-hal yang telah
disampaikan oleh Nabi. Oleh karenanya para sahabat harus gigih dalam
mempelajarinya dan memeliharanya agar tidak hilang dimakan zaman. Adapun cara yag
ditempuh sahabat adalah:
Pertama, menghafal. Orang arab dikenal dengan
kemampuannya dalam menghafal. Maka tidak heran jika mereka bisa menghafal ayat
al-Qur’an beserta tafsirnya. Sedangkan hadis selalu beriringan dengan
keberadaan al-Qur’an. Penjelasan tentang suatu ayat termasuk hadis maka mereka
juga menghafalnya.[75]
Kedua, dengan tulisan tetapi tidak
semua sahabat memiliki kemampuan dalam menulis. Maka ketika mendengar hadis dari Nabi
SAW hanya sebagian sahabat yang menulisnya.[76]
4)
Cara sahabat
menyampaikan hadis
Para sahabat dalam
menyampaikan hadis baik kepada sahabat lain yang tidak menghadiri majlis
ta’lim atau kepada generasi berikutnya berbeda ketika mereka menyampaikan
ayat al-Qur’an. Hal ini dikarenakan ayat al-Qur’an mutlak tidak bisa diubah baik
secara lafazh ataupun makna. Sedangkan hadis tidak mutlak persis dengan lafazh
yang diterima dari Rasulullah. Maka penyampaian hadis bisa dilakukan dengan dua
cara:
Pertama,
diriwayatkan secara lafzhi artinya apa yang mereka sampaikan kepada yang lain
menggunakan lafazh persis dari Nabi. Hal ini dikarenakan hafalan mereka yang
kuat. Kedua, diriwayatkan secara makna artinya para sahabat meriwayatkan
menggunakan lafazhnya masing-masing tidak seperti yang di ucapkan Rasulullah
SAW tetapi memiliki makna yang sama. Periwayatan seperti ini dikenal dengan riwayah
bi al-ma‘na.
[77]
5)
Sebab-sebab tidak
sederajatnya para sahabat dalam mengetahui hadis
Para sahabat
Rasulullah memiliki catatan hadis atau hafalan hadis yang berbeda. Begitu pula
dalam segi pemahamannya terhadap hadis nabi. Hal ini dikarenakan beberapa
faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut sebagaimana dibawah ini:[78]
a)
Tempat tinggal
yang jauh
b)
Kesibukan
sehari-hari
c)
Intelektual dan
kecakapan
d)
Keakraban dalam
bergaul dengan Nabi
e)
Masa cepat atau
lambatnya masuk Islam
6)
Tersebarnya Sunnah pada masa Rasulullah SAW
Hadis Nabi tidak akan sampai kepada
generasi berikutnya jika para sahabat tidak memeliharanya. Selain dengan
menghafal atau menulis dalam rangka menjaga keutuhan hadis adapula faktor yang menyebabkan tersebar luasnya
hadis Nabi SAW. Adapun faktor-faktor tersebut adalah:[79]
1)
Karena semangat dan kesungguhan Rasulullah SAW dalam
berdakwah.
2)
Karakter Islam dan norma-norma barunya membuat orang
penasaran dan ingin mempelajarinya.
3)
Semangat belajar para sahabat, kegigihannya dalam menghafal
al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.
4)
Istri-istri Rasulullah SAW (ummahat al-mu’minin) juga
ikut andil dalam menyebarkan agama Islam lebih-lebih kepada kaum perempuan.
5)
Para sahabat wanita juga ikut aktif dan semangat untuk
menyebarkan berita tentang ajaran Islam lebih-lebih dalam masalah wanita dan
hubungan suami istri.
6)
Para delegasi dan pejabat Rasulullah
juga tak mau kalah untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam.
7)
Penaklukkan kota Makkah (fathu al-Makkah).
8)
Peristiwa haji wada’ menjadi salah satu hal yang besar
karena pada saat wuquf di Arafah, beliau berpidato tentang berbagai persoalan.
9)
Utusan setelah haji wada’ mulai berdatangan kepada
Rasulullah untuk membai’atnya dan bersatu di bawah panji-panji Islam.
b.
Masa sahabat (al-khulafa’ al-rashidun)
Para sahabat sangat semangat dalam
mempelajari sunah Rasulullah SAW. Mereka juga giat menyebarkan hadis sejak
Rasulullah masih hidup lebih-lebih kepada sahabat yang tidak menghadiri majlis
ta’lim Rasul. Setelah Rasulullah wafat, para sahabat menyampaikan apa yang
telah diajarkan Rasul kepada generasi berikutnya. Hal ini dikarenakan mereka
mengindahkan sabda Rasulullah SAW:
نَضَّرَ اللَّهُ
امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا، فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ، فَرُبَّ حَامِلِ
فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ، وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيه[80]
Mudah-mudahan Allah mengindahkan seseorang yang mendengar ucapanku, lalu dihafalkan dan dipahamkan dan disampaikan kepada orang lain persis sebagaimana yang dia dengar karena banyak sekali orang yang disampaikan berita kepadanya lebih paham daripada yang mendengarnya sendiri. (H. R. Abu Daud)
Banyak peristiwa yang membuktikan
bahwa sahabat sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadis. Misalnya ketika Abu
Bakar didatangi seorang nenek yang menanyakan hak warisnya. Karena beliau tidak
menemukannya dalam Kitabullah ia bertanya kepada sahabat yang lain. Al-Mughirah
ibn Syu’bah menjawab bahwa ia pernah mendengar Rasulullah SAW menentukan bagian
seperenam untuk nenek. Khalifah Abu Bakar tidak serta merta menerima hadis
tersebut, ia menanyakan adanya saksi. Dengan adanya saksi itulah akhirnya Abu
Bakar memutuskan hak waris bagi nenek tersebut.[81]
Pada masa Abu Bakar al-Siddiq lebih
konsen terhadap al-Qur’an dan khawatir kepada orang yang banyak meriwayatkan
hadis akan mudah tergelincir sehingga mereka berdusta atas nama Nabi Muhammad
SAW.[82] Jadi pada masa khalifah yang
pertama ini tidak banyak terjadi periwayatan hadis. Begitu pula pada masa
khalifah kedua, Umar ibn Khattab karena keduanya sangat ketat dalam masalah
periwayatan.[83]
Para sahabat, terutama sahabat kecil
mulai melakukan perjalanan dalam rangka mencari hadis. hal ini terjadi ketika
masa khalifah Usman ibn Affan karena beliau memberi kebebasan kepada para
sahabat untuk mempelajari hadis. banyak sahabat yang keluar dari Madinah dan
bertempat tinggal di kota yang baru ditaklukkan oleh orang Islam. Maka
keberadaan seorang sahabat menarik bagi tabi’in dalam belajar al-Qur’an hadis.[84]
c.
Masa sahabat kecil dan
tabi‘in besar
Bab
sebelumnya telah dijelaskan bahwa ketika pemerintahan dibawah kedali khalifah
Usman ibn Affan, maka para sahabat bebas untuk mempelajari, meriwayatkan hadis.
banyak sahabat berpindah tempat demi untuk mencari hadis. pada masa ini ada
beberapa sahabat yang dijuluki bendaharawan hadis seperti Abu Hurairah, Aishah, Anas ibn Malik, dll.[85]
Pada
akhir kepemimpinan Usman ibn Affan timbulah fitnah dan menjadi awal perpecahan umat
Islam. Umat Islam saat itu terbagi menjadi tiga kelompok; pertama golongan yang
membela ‘Ali ibn Talib yang dinamakan golongan shi‘ah. Kedua, golongan khawarij
yang menentang ‘Ali dan Mu‘awiyah, terakhir golongan jumhur (golongan yang pro
terhadap pemerintahan). Sejak munculnya golongan-gologan inilah kemudian muncul
hadis-hadis palsu. Kemunculan hadis palsu ini sebagai penguat golongannya dan
untuk mencari dukungan kepada masyarakat. Tahun 40 H adalah pembatas antara
munculnya pemalsuan hadis dan terlepas dari pemalsuan.[86]
d.
Hadis pada masa penulisan
dan kodifikasi
Penulisan
hadis sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW meskipun tidak menyeluruh. Begitu
pula ketika masa sahabat, bahkan periwayatan hadis sangat sedikit pada masa
ini. Pada masa Rasulullah hingga sahabat masih mengandalkan hafalan. Baru pada
akhir abad pertama, sejak dinobatkannya khalifah Umar ibn Abd Aziz (99 H)
diumumkannya penulisan dan dibukukannya secara resmi oleh khalifah. Kemudian ia
meminta kepada gubernur Madinah Abu Bakar ibn Muhammadibn Amr ibn Hazm untuk
menulis hadis yang ada di salah satu murid Aisyah yakni Amrah binti Abd Rahman
ibn Sa’ad ibn Zurarah ibn Ades (120 H).[87]
Selain
kepada gubernur Madinah, ia juga mengirim surat kepada gubernur-gubernur yang
ada di wilayah kekuasaannya agar membukukan hadis dari ulama yang ada di
daerahnya masing-masing. Diantara ulama yang menulis adalah Abu Bakar Muhammad
ibn Muslim ibn Ubaidillah ibn Syihab al-Zuhry. Pada masa ini para ulama
berlomba-lomba menulis hadis tanpa menyaring antara hadis dan fatwa sahabat
tetapi telah dipisah antara tafsir dan hadis, dan antara hadis sirah dan
maghazinya. Pertama kali yang memisahkan hadis sirah ialah Muhammad ibn Ishaq
ibn Yassar al-Mutaliby (151 H).[88]
Pada
abad kedua ini pulalah pemalsuan hadis semakin meluas sehingga muncullah
golongan zindiq (pura-pura Islam). Karena banyaknya muncul hadis palsu kemudian
para ulama terdorong untuk mempelajari keadaan perawinya.[89]
e.
Pada masa awal-akhir abad
ke III
Abad
sebelumnya telah melakukan pembukuan hadis meskipun masih bercampur dengan
fatwa sahabat. Maka pada abad ketiga ini pembukuan hadis diperbaiki dengan
memisahkan hadis dan fatwa sahabat. Hadis yang ditulis masih bercampur antara
yang sahih dan yang da‘if. Pada masa ini pula perluasan daerah guna mencari
hadis dilakukan pertama kali oleh Imam al-Bukhary yang sebelumnya tak banyak
yang melakukannya. Cara mereka menerima hadis sama seperti sebelumnya, ia
mendengar lalu menulisnya tanpa mengaji perawi. Dengan pesatnya orang yang
ingin mengacaukan pembukuan hadis akhirnya ulama mulai mengadakan penelitian
terhadap rawi.[90]
Pertama
kali yang terdorong untuk memisahkan hadis yang sahih dan tidak adalah Imam Ishaq
Ruhawaih yang kemudian disempurnakan oleh Imam al-bukhary. Kemudian diikuti
oleh Imam Muslim, begitu pula seterusnya seperti Imam Abu Daud, al-Tirmidhy,
al-Nasa’iy yang dikenal dengan al-usul al-khamsah.[91]
f.
Pada abad IV-pertengahan
abad VII
Ulama
pada abad ke-2 dan ke-3 disebut ulama mutaqaddimin. Mereka mencari hadis dengan
melakukan perjalanan ke berbagai daerah untuk menemui para penghafalnya. Pada
abad ke-4 disebut ulama mutaakhkhirin. Pada abad ii sudah jarang ulama
melakukan perjalanan untuk mencari hadis. Kebanyakan dari mereka hanya menukil dari kitab sebelumnya. Pada
abad ini juga sudah dianggap terkumpul semua hadis Rasulullah SAW. Maka pada
abad ke-5 menitikberatkan pada memperbaiki susunan, mengumpulkan hadis-hadis
dalam satu kitab besar.[92]
g.
Pada masa pertengahan abad
VII-sekarang
Kegiatan perkembangan hadis kemudia
berpusat di Mesir dan Idia setelah Hulagu Khan menghancurkan Baghdad. Maka
banyak kitab hadis yang diterbitkan atas usaha ulama India. Mereka pulalah yang
telah menerbitkan kitan ‘Ulum al-Hadith karya al-Hakim. Pada abad ketujuh ini
adalah masa penertiban isi kitab hadis, menyaring dan menyusun kitab takhrij.
Selain itu para ulama membuat kitab jami‘, kitab yang mengumpulkan hadis-hadis
hukum , mentakhrij hadis yang ada di dalam beberapa kitab hadis dan menyusun
kitab atraf.[93]
Pada abad ini ulama mulai mengumpulkan
hadis yang tidak ada dalam kitab sebelumnya yang disebut kitab zawa’id seperti
kitab zawa’id sunan Ibnu Majah. Selain itu mereka juga mengumpulkan hadis dari
beberapa kitab kedalam kitab khusus semisal kitab jami‘ al-masanid wa sunan
al-hadi li aqwam sanan karya Ibnu Kathir.
Pada abad ketujuh bermunculan kitab
hadis seperti al-targhib karya Abd al-‘Azim ibn Abd al-Qawi ibn Abd al-Mundhiry
(656 H). pada abad selanjutanya masih bermunculan kitab-kitab hadis sampai abad
kesepuluh seperti yang dijelaskan Hasbi ash-Shiddieqy.[94]
Baca selanjutnya, artikel yang lainya :
- Teori Kesahihan Hadist
- Kehujjahan, Kedudukan, & Sejarah Hadis
- Makalah Terminologi Hadist Nabi
- Ilmu Hadist & Sejarah Penghimpunannya
- Kodifikasi Hadist Nabi
- Telaah Hadis-Hadis Berpolemik Melalui Kashaf Ibn ‘Arabi
- Hadis Sahih Dan Problematikanya
- Hadis Hasan dan Problematikanya
- Hadis Dhaif dan Problematikanya
- Klasifikasi Hadis Secara Kuantitas
- Kehujjahan Hadist Ahad Menurut Ulama' Empat Mazhab
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Pada bab
sebelumnya telah dijelaskan bahwa hadis Rasulullah SAW bisa dijadikan hujjah
berdasarkan firman Allah SWT, sabda Nabi sendiri, ijma’ maupun akal.
Semua terlepas dari perdebatan para ulama bahwa tidak semua hadis bisa
dijadikan hujjah.
2.
Hadis memiliki beberapa fungsi; menjadi bayan taqrir,
bayan tafsir, bayan ta’qid, bayan takhsis, bayan
tashri‘, dan bayan nasakh.
3.
Hadis muncul bersamaan dengan diwahyukan al-Qur’an tetapi
pemeliharaannya berbeda karena dari awal Rasulullah menyuruh sahabat untuk menulis
al-Qur’an berbeda halnya dengan hadis. Bahkan dalam suatu riwayat yang sahih,
Rasulullah melarang sahabat untuk menulis hadis tetapi, ada sebagian
sahabat yang menulisnya. Maka hadis sudah ditulis sejak zaman Nabi oleh beberapa
sahabat. Selain ditulis, para sahabat juga menghafalnya. Dengan hafalan dan tulisannya tersebut,
hadis bisa sampai kepada kita semua.
[1] M. Ajaj al-Khathib, Hadits Nabi Sebelum dibukukan, Terj. AH. Akrom Fahmi (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), 21.
[2] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits (Bandung: al-Ma’arif, 1974), 15.
[3] Abi Daud Sulaiman Ibn
al-Ash‘ath al-Sijistany, Sunan Abi Daud (Riyadh: Maktabah al-Ma‘arif li
al-Nashri wa al-Tauzi‘, t.th), 644. Diriwayatkan oleh Imam Abi Daud dari Hafs Ibn
‘Umar dari Shu‘bah dari Abi ‘Aun dari al-Harith Ibn ‘Amr Ibn Akhi al-Mughirah
dari Unas dari sahabat-sahabat Mu‘adh Ibn Jabal.
[4] al-Khathib, Hadits Nabi, 23.
[5] Ahmad Izzan dan Saifuddin Nur, Ulumul Hadis (Bandung: Humaniora, 2011), 28.
[6] Rahman, Ikhtisar Mushthalahul, 61.
[7] Al-Qur’an, 16:44.
[8] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Special for Women (Bandung: Syamil al-Qur’an, t. th),272.
[10] Ibid., 4: 80.
[11] Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, 91.
[12] M. M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (tt: Pustaka Firdaus, 2000), 27.
[13] al-Sijistany, Sunan Abi, 832. Diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dari Ahmad Ibn Hanbal dari al-Walid Ib Muslim dari Thaur Ibn Yazid dari Khalid Ibn Ma‘dan dari ‘Abd al-Rahman Ibn ‘Amr al-Sulamy dan Hujr Ibn Hujr.
[14] Ibid., 831.
[15] Rahman, Ikhtishar Mushthalahul, 62.
[16] Izzan, Ulumul Hadis, 27.
[17] Al-Qur’an, 6: 50.
[18] Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, 133.
[19] Rahman, Ikhtishar Mushthalahul, 63.
[20] Al-Qur’an, 16: 89.
[21] Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, 277.
[22] Rahman, Ikhtishar Mushthalahul, 63.
[23] Azami, Hadis Nabawi, 45-46.
[24]Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadis, terj. A. Yamin (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), 24.
[25] Mahmud Tahhan, Taisir Mustalah al-Hadith (tt: Markaz al-Huda li al-Dirasat, 1405 H), 21.
[26] Ibid., 21-22.
[27] Izzan, Ulumul Hadis, 147.
[28] Tahhan, Taisir Mustalah, 22.
[29] Ibid., 23.
[30] Ibid., 24-27.
[31] Izzan, Ulumul Hadis, 149.
[32] Ibid., 152.
[33] Ibid., 155.
[34]Muhammad Zuhri, Hadis Nabi; Telaah Historis dan Metodologis (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003), 91.
[35] Rahman, Ikhtishar Mushthalahul, 119.
[36] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001), 229.
[37] Ibid., 233.
[38] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), 173.
[39] Ibid., 230.
[40]Yusuf Qardhawi, Studi Kritik as-Sunah, ter. Bahrun Abu bakar, Cet. 1 (Bandung: Trigenda Karya, 1995), 43.
[41] Izzan, Ulumul Hadis, 30.
[42] Abi al-Husain Muslim Ibn al-Hajjaj al-Qushairy al-Naisabury, Sahih Muslim (Riyadh: Dar Taibah, 2006), 482. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Humaid Ibn Mas‘adah al-Bahily dari Bishr al-Mufaddal dari Salamah (Ibn ‘Alqamah) dari ‘Abd Allah Ibn ‘Umar yang langsung meriwayatkan dari Nabi SAW.
[43] Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, 28.
[44] Muhammad Abu Zahw, al-Hadith wa al-Muhaddithun (Mesir: Matba‘ah Misra, t.th), 37.
[45]
Muhammad Ibn Isma‘il Abu ‘Abd Allah al-Bukhary, Sahih al-Bukhary, Juz. 8
(tk: Dar Tuq al-Najah, 1442 H), 9. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari
dari Muhammad Ibn al-Muthanna dari ‘Abd al-Wahhab, dari Ayyub, dari Abi Qalabah
dari Malik Ibn al-Huraith yang menceritakan langsung dari Rasulullah SAW.
[46] Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), 27.
[47] Muhammad Ibn Isma’il Ibn Salah Ibn Muhammad al-Hasany al-Kahlany, Subul al-Salam, Juz. 2 (t.t: Dar al-Hadith, t.th), 440.
[48] Al-Qur’an, 5: 38.
[49] Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, 114.
[50] Ibid, 82.
[51]
Abi ‘Abd Allah Muhammad Ibn Isma‘il al-Bukhary, al-Jami’ al-Sahih, Juz.
3 (Kairo: al-Maktabah al-Salafiyah, 1400 H), 365. Diriwayatkan oleh Imam
al-Bukhary dari ‘Abd Allah Ibn Yusuf dari Malik dari Abi al-Zinad dari al-A‘raj
dari Abi Hurairah.
[52] Izzan, Ulumul Hadis, 33.
[53] Sumbulah, Kajian Kritis, 29.
[54] ‘Abbas Mutawalli Hamadah, al-Sunnah al-Nabawiyah wa Makanatuhu fi al-Tashri‘ (Kairo: Dar al-Qawmiyyah, t.th), 161.
[55] Abu al-Husain ibn al-Hajjaj al-Qushairy al-Naisabury, Sahih Muslim, Jil. 2 (Riyadh: Dar Taibah, 1426 H), 931. Hadis nomer indeks 1933.
[56] Sumbulah, Kajian Kritis, 30.
[57] Ibid., 30.
[58] Izzan, Ulumul Hadis, 35.
[59] Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Yazid al-Qazwini, Sunan ibn Majah, juz. II (tt: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, t.th), 906.
[60] Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, 27.
[61] Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2005), 87-88.
[62] Sumbulah, Kajian Kritis, 39.
[63] Zahw, Al-Hadith Wa al-Muhaddithun, 53.
[64] Sulaiman PL, Antologi Ilmu, 54-55.
[65] M. ‘Ajjaj al-Khathib, Ushul Al-Hadits, Pokok-pokok Ilmu Hadits, Terj. M. Qodirun dan Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), 49.
[66] Ibid., 49-50.
[67] Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis (Surabaya: al-Muna, 2010), 16.
[68] Al-Khathib, Ushul al-Hadits…, 50.
[69] Al-Khathib, Ushul al-Hadits…, 51.
[70] Ibid.
[71] Ibid., 51-52.
[72] al-Bukhary, Sahih al-Bukhary, 9.
[73] Al-Khathib, Ushul al-Hadits…, 53.
[74] Ibid., 54-55.
[75] Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: Rajawali Press, 2014), 75-76.
[76] Ibid., 76.
[77] Sulaiman PL, Antologi Ilmu…, 58-59.
[78] Ibid., 60-61.
[79] M. Ajaj al-Khathib, Hadits Nabi Sebelum Dibukukan, Terj. Akrom Fahmi (Jakarta: Gema Insani Press, 1981), 99-105.
[80] al-Sijistany, Sunan Abi, 658.
[81] Azami, Hadis Nabawi, 33.
[82] Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul hadis, Terj. Mujiyo (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), 42.
[83] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & pengantar Ilmu Hadits (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), 38.
[84] Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis (Surabaya: al-Muna, 2010), 34.
[85] Ash-Siddieqy, Sejarah & Pengantar, 45-47.
[86] Ibid., 50.
[87] Ibid., 52.
[88] Ibid., 55.
[89] Ibid., 58.
[90] Ibid., 59-60.
[91] Ibid., 61.
[92] Ibid., 79-81.
[93] Ibid., 88.
[94] Ibid., 88-93.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar