Menurut pendapat jumhur Ulama,
perang Khandaq terjadi pada bulan Syawwal tahun lima hijriyah dan sebagian
Ulama yang lain menyebutkan bahwa peperangan ini berkecamuk pada bulan Syawwal
tahun keempat hijriyah. Al-Baihaqi memandang bahwa pada dasarnya kedua pendapat
ini tidak beda. Karena yang berpendapat perang ini terjadi pada tahun ke-4
maksudnya empat tahun setelah Rasûlullâh hijrah ke Madinah dan sebelum tahun
ke-5 berakhir.[1]
PEMICU PERANG[2]
Pemicu perang Khandaq ini
dendam lama orang-orang Yahudi yang di usir oleh Rasûlullâh dari Madinah dalam
perang Bani Nadhir. Mereka diusir karena mereka menghianati perjanjian yang
dibuat dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejumlah tokoh Yahudi
Bani Nadhir dan Bani Wa’il seperti Sallam bin abil Huqaiq, Hayyi bin Akhtab,
Kinanah bin abil Huqaiq, Hauzah bin Qais al-Wa’iliy dan Abu Ammar al-Wa’iliy
berangkat ke Mekah untuk mengajak kaum musyrikin Quraisy memerangi Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka berjanji, “Kami akan
bersama kalian berperang sampai berhasil menghancurkan kaum Muslimin.” Mereka
juga meyakinkan kaum Quraisy dengan mengatakan, “Agama kalian itu lebih baik
daripada agama Muhammad.” Tentang orang-orang inilah, Allâh Azza wa Jalla
turunkan firman-nya :
أَلَمْ تَرَ إِلَى
الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ
وَالطَّاغُوتِ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا هَٰؤُلَاءِ أَهْدَىٰ مِنَ
الَّذِينَ آمَنُوا سَبِيلًا
Apakah kamu tidak
memperthatikan orang orang yang diberi bagian dari kitab, mereka mengimani
sesembahan selain Allâh dan thagut, serta mengatakan kepada orang kafir(musyrik
Mekah) bahwa jalan mereka lebih benar dari pada orang orang beriman. [An-Nisâ’/4:51]
Setelah sepakat dengan kaum
Quraisy, tokoh tokoh Yahudi ini mendatangi suku Gathafan. Dalam pertemuan
dengan tokoh Gathafan mereka mencapai dua kesepakatan :
1. Suku Gathafan bersedia
mengirim pasukan sebanyak-banyak untuk bergabung dengan pasukan sekutu
menyerang kaum Muslimin.
2. Sebagai imbalannya, kaum
Yahudi akan menyerahkan hasil panen kurma Khaibar kepada suku Gathafan selama
setahun penuh.
KEKUATAN PASUKAN
Berkat kegigihan para tokoh
Yahudi Bani Nadhir dan Wa’il menggalang dukungan, akhirnya sebuah pasukan
sekutu berkekutan sangat besar pun terbentuk. Ibnu Ishâq[3] menyebutkan bahwa
jumlah pasukan sekutu adalah sepuluh ribu pasukan yang terdiri dari kaum
musyrik Quraisy, qabilah Gathafan beserta qabilah-qabilah yang ikut bergabung
bersama mereka. Oleh karena pasukan orang-orang kafir ini terdiri dari berbagai
kelompok, maka peperangan ini disebut juga dengan perang Ahzâb (beberapa
kelompok). Komando tertinggi dipegang oleh Abu sufyan. Sementara pasukan kaum
Muslimin hanya berjumlah tiga ribu saja dan bisa jadi jumlah musuh melebihi
jumlah seluruh Madinah kala itu.
PERSIAPAN KAUM MUSLIMIN DI
MADINAH
Ketika berita persekongkolan
dan rencana busuk orang-orang kafir ini sampai ke Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung meresponnya
dengan melakukan persiapan. Diantara persiapan itu adalah :
1. Musyawarah Diantara
kebiasaan Rasûlullâh yaitu mengajak para sahabat beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bermusyawarah tentang hal-hal yang tidak ada wahyunya dari Allâh, baik
berkaitan dengan peperangan atau yang semisalnya.[5] Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam meminta pendapat para sahabat tentang strategi dalam perang
ini. Salah seorang shahabat yang bernama Salmân al-Farisy mengusulkan agar kaum
Muslimin menggali khandaq (parit) di sebelah utara Madinah yang merupakan satu
satunya jalan terbuka yang bisa di lewati musuh apabila ingin memasuki kota
Madinah.[6] Ide brilian Salman Radhiyallahu anhu ini disetujui oleh Rasûlullâh
dan para sahabat lainnya. Setelah mencapai kata mufakat, akhirnya penggalian
khandaq (parit) pun dimulai. Inilah penggalian parit pertama dalam sejarah
Arab.
2. Menggali Parit Setelah
sepakat untuk menggali parit sesuai usul Salmân al-Fârisiy, kaum Muslimin pun
bergegas untuk melaksanakannya. Parit yang diharapkan bisa memisahkan kaum
Muslimin dengan musuh ini terus dikebut pengerjaannya supaya bisa selesai
sebelum musuh datang ke Madinah. Para Ulama ahli sirah berbeda pendapat tentang
waktu yang dibutuhkan untuk penggalian parit ini, berkisar antara enam sampai dua
puluh empat hari.[7]
Para shahabat sangat
bersemangat dan antusias menggali parit karena Rasûlullâh juga ikut bersama
mereka dan tidak jarang mereka meminta bantuan Rasûlullâh untuk memecahkan batu
batu besar yang tidak sanggup mereka pecahkan. Untuk memompa semangat para
shahabat, Rasûlullâh berkali kali melantunkan sya’ir yang kemudian dijawab oleh
para shahabat. Seorang shahabat al-Barrâ` bin Azib bercerita, “Pada waktu
perang Ahzâb atau Khandaq, aku melihat Rasûlullâh mengangkat tanah parit,
sehingga debu-debu itu menutupi kulit beliau dari (pandangan) ku. Saat itu
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersenandung dengan bait-bait syair yang
pernah diucapkan oleh Ibnu Rawâhah, sambil mengangkat tanah beliau bersenandung
:
اللّهُمَّ لَوْلَا أنت مَا اهْتَدَيْنَا وَلَا
تَصَدّقْنَا وَلَا صَلّيْنَا فَأَنْزِلَنْ سَكِينَةً عَلَيْنَا وَثَبّتْ
الْأَقْدَامَ إنْ لَاقَيْنَا إنّا الألى قد بَغَوْا عَلَيْنَا وَإِنْ أَرَادُوا
فِتْنَةً أَبَيْنَا
Ya Allah, seandainya bukan
karena-Mu, maka kami tidak akan mendapatkan petunjuk, tidak akan bersedekah dan
tidak akan melakukan shalat, Maka turunkanlah ketenangan kepada kami, serta
kokohkan kaki-kaki kami apabila bertemu dengan musuh. Sesungguhnya orang-orang
musyrik telah berlaku semena-mena kepada kami, apabila mereka menghendaki
fitnah, maka kami menolaknya.’ Beliau menyenandungkan bait-bait itu sambil
mengeraskan suara diakhir.”[8]
Mendengar Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam melantunkan bait syair, para shahabatpun tidak mau
tertinggal. Mereka mengatakan:
نَحْنُ الَّذِيْنَ
بَايَعُوْا مُحَمَّداً عَلَى اْلِإسَلاَمِ مَابَقَيْنَا أَبَداً
Kami adalah orang-orang yang
telah berbaiat kepada Muhammad untuk setia kepada Islam selama kami masih hidup
Ucapan ini di jawab oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan do’a :
اللَّهُمَّ إِنَّهُ
لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُ الآخِرَةِ فَبَارِكْ فِي الأَنْصَارِ وَ الْمُهَاجِرَةِ
Ya, Allah sesungguhnya tiada
kebaikan kecuali kebaikan akhirat maka berikanlah berkah kepada kaum Anshâr dan
Muhajirin[9]
Demikianlah semangat kaum
Muslimin ketika menggali parit yang bisa diselesaikan dalam waktu yang relatif
singkat untuk ukuran saat itu, dengan berbagai kendalaseperti kekurangan
peralatan, kurang makanan, cuaca Madinah yang sangat dingin ditambah lagi
dengan sikap orang-orang munafiq yang terus berusaha mengikis semangat para
shahabat.[10]
Meski demikian, semangat yang
didasari iman yang kuat membuat mereka tidak pernah surut membela agama Allâh
dan Rasul-Nya. Pasca penggalian parit Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan agar para wanita dan anak kecil ditempatkan di salah satu benteng
terkuat di Madinah milik Bani Haritsah[11] dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menunjuk Abdullah bin Ummi maktum untuk menggantikannya di Madinah
selama peperangan.
Kemudian Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam mulai menyusun setrategi untuk menghadapi musuh. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh para shahabat untuk membelakangi gunung
Sila’, menghadap khandaq yang sekaligus sebagai penghalang mereka dari pasukan
sekutu.[12]
- Pengertian Hadis, Sunnah, Khabar, & Atsar
- Pengertian & Bentuk-Bentuk Hadist
- Hadist Tentang Keringanan Siksa Abu Lahab Setiap Hari Senin
- Cara Menyikapi Hadis Rasulullah SAW
- Tata Cara Ruqyah
PELAJARAN DARI KISAH
1. Ketauladan dan contoh yang
baik dari seorang pemimpin sangat mempengaruhi pengikutnya. Sebagaimana para
shahabat yang terus semangat menggali parit bersama Rasûlullâh meski mereka
sangat lapar.
2. Di syari’atkan untuk
musyawarah demi mencari ide terbaik dalam perkara penting yang tidak ada
nashnya dari wahyu.
_______
Footnote
[1]. As-Sîratun Nabawiyah, Ibnu
Katsir, 3/180
[2]. Sumber yang sama dengan
yang sebelumnya.
[3]. As-Sîratun Nabawiyah fi
Dhau’il Mashâdiril Ashliyyah, hlm. 445
[4]. Ar-Rahîqul Makhtûm, hlm.
303 [5]. As-Siyâsah as-Syar’iyyah tentang pembahasan musyawarah
[6]. Madinah ibarat sebuah
benteng yang tertutup dan dikelilingi oleh bangunan, perkebunan, dan tanah
bebatuan yang sulit di lewati hewan tunggangan atau manusia sekalipun
(as-Sîratun Nabawiyah as-shahîhah, al-Umariy, hlm. 420, lihat juga Thabaqât
al-Qubra oleh Ibnu Sa’ad:2/66- 67)
[7]. As-Sîratun Nabawiyah fi
Dhau’il Mashâdiril Ashliyyah, hlm. 447
[8]. Fathul Bâri, (Ta’lîq
Syaikh Bin Baz, Bab Ghazwatil Khandaq:(6/46) dan Shahîh Muslim, Bab Ghazwatul
Ahzâb, 5/187
[9]. Fathul Bâri (Ta’lîq Syaikh
Bin Baz, Bab Ghazwatil Khandaq:(6/46)
[10]. Sikap kaum munafiq ini di
ceritakan oleh Allâh di Sembilan ayat pada QS. Al-Ahzâb/33:11-20
[11]. As-Sîratun Nabawiyah,
Ibnu Katsir, 3/1197, Zâdul Ma’âd, 3/240
[12]. Lihat Rujukan yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar