HOME

26 Februari, 2022

Fungsi Hadis Terhadap Al-Qur'an

 Posisi Hadis dengan al-Qur’an

Para ulama sepakat untuk menjadikan sunah sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an terlepas dari perdebatan mereka tentang kehujjahan sunah. Bahkan Imam Auza'i mengatakan bahwa al-Qur’an lebih memerlukan Sunnah (hadis) daripada sunnah terhadap al-Qur’an melihat fungsi sunah terhadap al-Qur’an.[1] Adapun fungsi sunah terhadap al-Qur’an adalah:

a.    Bayan taqrir

Sering kali bayan taqrir disebut juga dengan bayan ta’kid atau bayan ithbat. Maksudnya adalah fungsi hadis terhadap al-Qur’an hanya sebagai penguat dari kandungan ayat al-Qur’an. Adanya hadis tersebut bisa memperkokoh isi kandungan ayat.[2] Misalnya potongan hadis berikut:

فَإِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلَالَ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا[3]

Jika kalian melihat bulan maka berpuasalah, dan jika melihat bulan maka berbukalah. (H.R. Muslim).

Hadis ini memperkokoh kandungan ayat al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185:

فمن شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْه ...الاية

Maka barang siapa diantara kalian berada di bulan Ramadan maka berpuasalah.[4]

 

b.    Bayan tafsil

Hadis berfungsi sebagai penjelas atau merinci maksud dari ayat al-Qur’an yang global. Beberapa ayat al-Qur’an mengandung hukum yang dijelaskan secara global semisal shalat, puasa dan lain sebagainya. Teknik operasional dari kewajiban-kewajiban tersebut tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan hanya bisa ditemukan dalam hadis Rasulullah SAW.[5] Misalnya:

وأقيموا الصلاة وأتوا الزكاة وما تقدموا لأنفسكم من خير تجدوه عند الله ان الله بما تعملون بصير

Dan dirikanlah salat, dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan untuk dirimu maka kamu kan mendapatkan pahalanya disisi Allah. Sesungguhnya Allah melihat apa yang telah kamu kerjakan.

Ayat ini hanya memerintahkan salat tanpa menyebutkan tatacara dari salat itu sendiri. Maka hadis Rasulullah SAW akan menjelaskan tatacara tersebut seperti penjelasan hadis dibawah ini:

وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي[6]

Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku mengajarkan shalat. (H. R. Al-Bukhari)

 

c.    Bayan taqyid

Bayan taqyid adalah penjelasan hadis yang membatasi kandungan ayat al-Qur’an yang tidak terbatas (mutlak). Jadi fungsi hadis disini sebagai pembatas dari hukum yang mutlak.[7] Misalnya:

أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِسَارِقٍ فَقَطَعَ يَدَهُ مِنْ مَفْصِلِ الْكَفِّ[8]

Rasulullah SAW didatangi seseornag dengan membawa seorang pencuri, lalu beliau memotong tangan pencuri dari pergelangan tangan.

Hadis ini menjelaskan batasan yang dimaksud dari ayat berikut:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ[9]

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai balasan atas apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah SWT. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[10]

 

d.    Bayan takhsis

Bayan takhsis adalah penjelasan hadis yang mengkhususkan lafaz yang bersifat umum dalam al-Qur’an. Misalnya ayat yang menjelaskan tentang keharaman menikahi wanita-wanita yang bersuami kecuali budak yang dimiliki seperti dalam surat al-Nisa’ ayat 24:

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Dan diharamkan juga yaitu wanita yang bersuami, kecuali hamba sahaya yang kamu miliki sebagai ketetapa Allah atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain yang demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina. Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah mas kawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban. Tetapi tidak mengapa jika kamu telah saling merelakannya setelah ditetapkan. Sungguh Allah Maha Mengetahui dan Bijaksana.[11] 

Ayat ini di-takhsis oleh hadis Rasulullah saw:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاللاَ يُجْمَعُ بَيْنَ المَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا، وَلاَ بَيْنَ المَرْأَةِ وَخَالَتِهَا[12]

‘Abd Allah ibn Yusuf menceritakan kepada kami, diceritakan oleh Malik dari Abi al-Zinad dari al-A‘raj dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: Tidak boleh mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan ‘ammah (bibi dari bapak) dan diantara seorang wanita dengan khalah (bibi dari ibu). (H. R. al-Bukhari)

 

e.    Bayan tashri‘

Bayan tashri‘ adalah mewujudkan suatu hukum yang tidak ditemukan dalam al-Qur’an, atau dalam al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya saja.[13] Sebenarnya bila dipahami, hadis Rasulullah saw tersebut adalah penjelasan yang disebutkan dalam al-Qur’an atau memperluas maksud dari ayat al-Qur’an.[14] Bayan tashri‘ ini juga disebut dengan zaid ‘ala al-qur’an al-karim oleh Abbas Mutawalli Hamadah.[15] Misalnya ayat yang menjelaskan tentang sesuatu yang haram dimakan seperti dalam surat al-Maidah: 3:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ...الاية

Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih tanpa nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih...

Kemudian Rasulullah SAW menambahkan sebagai penjelasan bahwa selain yang disebutkan dalam ayat tersebut, diharamkan juga yaitu binatang buas yang bertaring dan burung yang kukunya mencengkram karena tajam. Seperti sabda Rasulullah:

وحَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ يَعْنِي ابْنَ مَهْدِيٍّ، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي حَكِيمٍ، عَنْ عَبِيدَةَ بْنِ سُفْيَانَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: كُلُّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ[16]

Zuhair ibn Harb nenceritakan kepadaku, ‘Abd al-Rahman ibn Mahdi menceritakan kepada kami dari Malik dari Isma‘il ibn Abi Hakim dari ‘Abidah ibn Sufyan dari Abi Hurairah dari Nabi Muhammad SAW bersabda: Setiap hewan buas yang memiliki taring maka haram dimakan.

Sebenarnya larangan ini hanyalah perluasan dari penjelasan ayat diatas.[17] Bayan tashri‘ secara zahir seakan-akan Nabi membuat hukum baru yang tidak ada dalam al-Qur’an sehingga terjadi perbedaaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama yang setuju mendasarkan pendapatnya pada ‘ismah Nabi khususnya dalam masalah syariat. Sedangkan ulama yang menolak, mendasarkan pendapatnya bahwa sumber hukum hanya Allah, sehingga apabila hendak menetapkan hukum Rasulullah SAW juga harus merujuk kepada Allah (al-Qur’an).[18]

 

f.     Bayan nasakh

Bayan nasakh adalah hadis mengahapus hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’an. Fungsi hadis yang terakhir ini hanya dipakai oleh ulama yang berpendapat bahwa hadis bisa menasakh ayat al-Qur’an. Adapun kelompok yang menganggap adanya bayan nasakh adalah kelompok Mu’tazilah hanya saja berlaku bagi hadis yang mutawatir. Kelompok Hanafiyah dan mazhhab Ibn Hazm al-Dhahiri juga setuju dengan adanya bayan nasakh. Sedangkan yang menolak bayan nasakh adalah Imam Syafi’i dan pengikutnya dan madzhab Zhahiriyah serta kelompok Khawarij.[19]

Misalnya sabda Rasulullah:

حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ شُعَيْبِ بْنِ شَابُورَ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ، أَنَّهُ حَدَّثَهُ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: إِنِّي لَتَحْتَ نَاقَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسِيلُ عَلَيَّ لُعَابُهَا فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، أَلَا لَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ[20]

Hisham ibn ‘Ammar menceritakan kepada kami, dia berkata menceritakan kepada kami Shu‘aibibn Shabur, dia berkata menceritakan kepada kami ‘Abd al-Rahman ibn Yazid ibn Jabir dari Sa‘id ibn Abi Sa‘id bahwasanya dia bercerita dari Anas ibn Malik berkata: aku berada di bawah unta betinya Rasulullah kemudian ludah untanya mengalir padaku, aku mendengar Rausullah bersabda sesungguhnya Allah telah memberikan hak pada orang yang berhak, ingatlah tidak ada wasiat bagi ahli waris. (H. R. Ibn Majah)

Hadis ini menurut kelompok yang sepakat dengan adanya nasakh, maka hadis di atas bisa menasakh al-Qur’an yakni firman Allah SWT surat al-Baqarah ayat 180:

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ

Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) kematian, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiatlah untuk ibu bapak kerabat secara makruf, (ini adalah) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.[21]

Baca juga artikel yang lainya:

 DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Zainul. Studi Kitab Hadis. Surabaya: al-Muna, 2010.
Azami, M. M. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. Terj. Mustafa Ali Yaqub. tt: Pustaka Firdaus,             2000.
Metodologi Kritik Hadis, Terj.  A. Yamin (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996.
Bukhary (al), Muhammad Ibn Isma‘il Abu ‘Abd Allah. Sahih al-Bukhary. Juz. 8. tk: Dar Tuq al-Najah,         1442 H.
al-Jami’ al-Sahih, Juz. 3 (Kairo: al-Maktabah al-Salafiyah, 1400 H.
Hamadah, ‘Abbas Mutawalli. al-Sunnah al-Nabawiyah wa Makanatuhu fi al-Tashri‘. Kairo: Dar al-                Qawmiyyah, t.th.
‘Itr, Nuruddin. ‘Ulumul hadis. Terj. Mujiyo. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014.
Izzan, Ahmad, dan Saifuddin Nur. Ulumul Hadis. Bandung: Humaniora, 2011.
Kahlany (al), Muhammad Ibn Isma’il Ibn Salah Ibn Muhammad al-Hasany. Subul al-Salam. Juz. 2. t.t:         Dar al-Hadith, t.th.
Khathib (al), M. Ajaj. Hadits Nabi Sebelum dibukukan. Terj. AH. Akrom Fahmi. Jakarta: Gema Insani             Press, 1999.
Khathib (al), M. ‘Ajjaj. Ushul Al-Hadits, Pokok-pokok Ilmu Hadits. Terj. M. Qodirun dan Ahmad                 Musyafiq. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998.
Mudasir. Ilmu Hadis. Bandung: Pustaka Setia, 2005.
Naisabury (al), Abi al-Husain Muslim Ibn al-Hajjaj al-Qushairy. Sahih Muslim. Riyadh: Dar Taibah,             2006.
PL, M. Noor Sulaiman. Antologi Ilmu Hadis. Jakarta: Gaung Persada Press. 2008
Rahman, Fatchur. Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Bandung: al-Ma’arif, 1974.
Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadits. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Sijistany (al), Abi Daud Sulaiman Ibn al-Ash‘ath. Sunan Abi Daud. Riyadh: Maktabah al-Ma‘arif li al-            Nashri wa al-Tauzi‘, t.th.
Shiddieqy (ash), Teungku Muhammad Hasbi. Sejarah & pengantar Ilmu Hadits. Semarang: Pustaka                 Rizki Putra, 2009.
Sumbulah, Umi. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN-Maliki Press, 2010.
Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta: Rajawali Press, 2014.
Tahhan, Mahmud. Taisir Mustalah al-Hadith. tt: Markaz al-Huda li al-Dirasat, 1405 H.
Qardhawi, Yusuf. Studi Kritik as-Sunah. Terj. Bahrun Abu bakar. Cet. 1. Bandung: Trigenda Karya,                 1995.
Qazwini (al), Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Yazid. Sunan ibn Majah. juz. II. tt: Dar Ihya’ al-Kutub             al-‘Arabiyah. t.th.
Yuslem, Nawir. Ulumul Hadis. Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001.
Zahw, Muhammad Abu. al-Hadith wa al-Muhaddithun. Mesir: Matba‘ah Misra, t.th.
Zuhri, Muhammad. Hadis Nabi; Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,             2003.
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, Special for Women. Bandung: Syamil al-                    Qur’an, t.th.



[1]Yusuf Qardhawi, Studi Kritik as-Sunah, ter. Bahrun Abu bakar, Cet. 1 (Bandung: Trigenda Karya, 1995), 43.

[2] Izzan, Ulumul Hadis, 30.

[3] Abi al-Husain Muslim Ibn al-Hajjaj al-Qushairy al-Naisabury, Sahih Muslim (Riyadh: Dar Taibah, 2006), 482. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Humaid Ibn Mas‘adah al-Bahily dari Bishr al-Mufaddal dari Salamah (Ibn ‘Alqamah) dari ‘Abd Allah Ibn ‘Umar yang langsung meriwayatkan dari Nabi SAW.

[4] Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, 28.

[5] Muhammad Abu Zahw, al-Hadith wa al-Muhaddithun (Mesir: Matba‘ah Misra, t.th), 37.

[6] Muhammad Ibn Isma‘il Abu ‘Abd Allah al-Bukhary, Sahih al-Bukhary, Juz. 8 (tk: Dar Tuq al-Najah, 1442 H), 9. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Muhammad Ibn al-Muthanna dari ‘Abd al-Wahhab, dari Ayyub, dari Abi Qalabah dari Malik Ibn al-Huraith yang menceritakan langsung dari Rasulullah SAW.

[7] Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), 27.

[8] Muhammad Ibn Isma’il Ibn Salah Ibn Muhammad al-Hasany al-Kahlany, Subul al-Salam, Juz. 2 (t.t: Dar al-Hadith, t.th), 440.

[9] Al-Qur’an, 5: 38.

[10] Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, 114.

[11] Ibid, 82.

[12] Abi ‘Abd Allah Muhammad Ibn Isma‘il al-Bukhary, al-Jami’ al-Sahih, Juz. 3 (Kairo: al-Maktabah al-Salafiyah, 1400 H), 365. Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhary dari ‘Abd Allah Ibn Yusuf dari Malik dari Abi al-Zinad dari al-A‘raj dari Abi Hurairah.

[13] Izzan, Ulumul Hadis, 33.

[14] Sumbulah, Kajian Kritis, 29.

[15] ‘Abbas Mutawalli Hamadah, al-Sunnah al-Nabawiyah wa Makanatuhu fi al-Tashri‘ (Kairo: Dar al-Qawmiyyah, t.th), 161.

[16] Abu al-Husain ibn al-Hajjaj al-Qushairy al-Naisabury, Sahih Muslim, Jil. 2 (Riyadh: Dar Taibah, 1426 H), 931. Hadis nomer indeks 1933.

[17] Sumbulah, Kajian Kritis, 30.

[18] Ibid., 30.

[19] Izzan, Ulumul Hadis, 35.

[20] Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Yazid al-Qazwini, Sunan ibn Majah, juz. II (tt: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, t.th), 906.

[21] Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, 27.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...