HOME

07 Februari, 2022

Jarh wa Ta'dil

 

BAB II

PEMBAHASAN 

A.    Pengertian Al-Jarh wa Ta’dil

الجَرْحُ عِنْدَ المُحَدِّثِينَ الطَعْنُ فِيْ رَاوِي الحَدِيثِ بِمَا يَسْلُبُ أوْ يُخِلُّ بِعَدَالَتِهِ أوْ ضَبْتِهِ

    Jarh menurut muhadditsin adalah menunjukkan sifat-sifat cela rawi sehingga mengangkat atau mencacatkan ‘adalah atau ke-dhabit-annya.

وَالتَعْدِيْلُ عَكْسُهُ وَهُوَ تَزْكِيَةُ الرَّاوِى وَالحُكْمُ عَلَيْهِ بِأَنَّهُ عَدْلٌ أَوْ ضَابِطٌ

Ta’dil adalah kebalikan dari Jarh, yaitu menilai bersih terhadap seorang rawi dan menghukuminya bahwa ia adalah adil atau dhabith.

Ilmu al-jarh wa at-ta’dil adalah “timbangan” bagi para rawi hadits. Rawi yang “berat” timbangannya, diterima riwayatnya; dan rawi yang “ringan” timbangannya, ditolak riwayatnya. Dengan ilmu ini, kita bisa mengetahui periwayat yang dapat diterima haditsnya dan kita dapat membedakannya dengan periwayat yang tidak dapat diterima haditsnya.

Oleh karena itulah, para ulama hadits memperhatikan ilmu ini dengan penuh perhatian dan mencurahkan segala pikirannya untuk menguasainya. Mereka pun berijmak akan validitasnya, bahkan kewajibannya karena kebutuhan yang mendesak akan ilmu ini.

Sebagian ulama’ tasawuf bertanya kepada Abdullah bin al-Mubarak, “apakah engkau berbuat ghibah menggunjing orang lain?”

Abdullah menjawab, “Diamlah! Kalau tidak demikian kita tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengetahui kebenaran dan kebatilan.”

Abu Turab al-Nakhsyubi al-Zahid berkata kepada Ahmad bin Hanbal, “Ya Syaikh, jangan menggibah para ulama!” Imam Ahmad menjawab, “celakalah kamu. Ini adalah nasihat. Ini bukan ghibah.”

Abu Bakar bin Khallad berkata kepada Yahya bin Sa’id, “Apakah engkau tidak khawatir kalau orang-orang yang kau tinggalkan haditsnya itu menjadi musuhmu di hadapan Allah nanti?”

Yahya menjawab, “Sungguh saya lebih senang mereka menjadi musuhku daripada yang menjadi musuhku adalah Rasulullah Saw. Di mana beliau berkata, ‘Mengapa engkau tidak tumpas kedustaan dari haditsku?’”

Seandainya para tokoh kritikus rawi itu tidak mencurahkan segala perhatiannya dalam masalah ini dengan meneliti keadilan para rawi, menguji hafalan dan kekuatan ingatannya, hingga untuk itu mereka tempuh rihlah yang panjang, menanggung kesulitan yang besar, mengingatkan masyarakat untuk berhati-hati terhadap para rawi pendusta yang lemah dan kacau hafalannya, seandainya bukan usaha mereka, niscaya akan menjadi kacau balaulah urusan Islam, orang-orang zindik akan berkuasa, dan para Dajal akan bermunculan.[1]

B.     Syarat-syarat Ulama al-Jarh wa al-Ta’dil

Seorang ulama al-jarh wa al-ta’dil harus memenuhi kriteria-kriteria yang menjadikannya objektif dalam upaya mennguak karakteristik para periwayat. Syarat-syaratnya yakni sebagai berikut :

1.  Berilmu, bertakwa, wara’, dan jujur. Karena apabila ia tidak memiliki sifat-sifat ini, maka bagaimana ia dapat menghukumi orang lain dengan al-jarh wa al-ta’dil yang senantiasa membutuhkan keadilannya.

Al-Hafidz berkata, “seyogyanya al-jarh wa al-ta’dil tidak diterima kecuali dari orang yang adil dan kuat ingatannya, yakni orang yang mampu mengungkapkan hadits dan kuat ingatannya sehingga menjadikannya berhati-hati dan ingat dengat tepat terhadap hadits yang ia ucapkan.

2.    Ia mengetahui sebab-sebab al-jarh wa al-ta’dil. Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan  dalam Syarh al-nukhbah, “Tazkiyah (pembersihan terhadap diri orang lain) dapat diterima apabila dilakukan oleh orang yang mengetahui sebab-sebabnya, bukan dari orang yang tidak mengetahuinya, agar ia tidak memberikan tazkiyah hanya dengan apa yang kelihatan olehnya dengan sepintas tanpa mendalami dan memeriksanya.”

3.      Ia mengetahui penggunaan kalimat-kalimat bahasa Arab, sehingga suatu lafadz yang digunakan tidak dipakai untuk selain maknanya, atau men-jarh dengan lafadz yang tidak sesuai untuk men-jarh.

C.     Tata Tertib Ulama al-Jarh wa al-Ta’dil

Ada beberapa poin tata tertib yang perlu diperhatikan oleh ulama al-jarh wa al-ta’dil. Diantaranya yang terpenting adalah sebagai berikut:

1.      Bersikap objektif dalam tazkiyah, sehingga ia tidak meninggikan seorang rawi dari martabat yang sebenarnya atau merendahkannya sebagaimana yang terjadi bagi kebanyakan manusia dewasa ini.

2.      Tidak boleh jarh melebihi kebutuhan, karena jarh itu disyariatkan lantara darurat; sementara darurat itu ada batasnya.

3.      Tidak boleh hanya mengutip jarh saja sehubungan dengan orang yang dinilai jarh oleh sebagian kritikus tetapi dinilai adil oleh sebagian lainnya, karena sikap yang demikian berarti telah merampas hak rawi yang bersangkutan dan para muhadditsin mencela sikap yang demikian.

4.      Tidak boleh jarh terhadap rawi yang tidak perlu di-jarh, karena hukumnya disyariatkan lantaran darurat. Maka dalam kondisi tidak ada daruratnya, jarh tidak dapat dilaksanakan. Para ulama mencela perbuatan yang berlebihan dan melarang keras serta memperingatkan bahwa perbuatan itu adalah sebuah kesalahan. Akan tetapi, sayangnya hal itu tidak memberi faedah pada sebagian orang yang merasa berlebihan dalam berilmu dewasa ini. Mereka beranggapan bahwa menjatuhkan lawan dengan mencela dan menuduh adalah tanda kesempurnaan pengetahuan dan pemahaman mereka, sehingga terciptalah tradisi yang jelek, ketika mereka berdiskusi dengan salah seorang yang alim dalam suatu disiplin ilmu tertentu maka mereka akan berusaha mrncrla perbuatan-perbuatan pribadinya, mencari-cari kesalahannya, menyertakan ribuan kedustaan kepada satu kejujuran, mengemukakan kata-kata celaan kepadanya dengan cara membuat para pengikutnya tercengang. Tujuannya semata-mata ingin membungkam lawannya dengan cara mencerca seperti itu sehingga menjadikan forum diskusi sebagai forum caci-maki, mencari kesalahan orang dan permusuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...