BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Al-Jarh wa Ta’dil
الجَرْحُ عِنْدَ المُحَدِّثِينَ الطَعْنُ
فِيْ رَاوِي الحَدِيثِ بِمَا يَسْلُبُ أوْ يُخِلُّ بِعَدَالَتِهِ أوْ ضَبْتِهِ
Jarh
menurut muhadditsin adalah menunjukkan sifat-sifat cela rawi sehingga
mengangkat atau mencacatkan ‘adalah atau ke-dhabit-annya.
وَالتَعْدِيْلُ عَكْسُهُ وَهُوَ تَزْكِيَةُ
الرَّاوِى وَالحُكْمُ عَلَيْهِ بِأَنَّهُ عَدْلٌ أَوْ ضَابِطٌ
Ta’dil adalah kebalikan dari Jarh, yaitu
menilai bersih terhadap seorang rawi dan menghukuminya bahwa ia adalah adil
atau dhabith.
Ilmu al-jarh wa at-ta’dil adalah “timbangan” bagi para rawi
hadits. Rawi yang “berat” timbangannya, diterima riwayatnya; dan rawi yang
“ringan” timbangannya, ditolak riwayatnya. Dengan ilmu ini, kita bisa
mengetahui periwayat yang dapat diterima haditsnya dan kita dapat membedakannya
dengan periwayat yang tidak dapat diterima haditsnya.
Oleh karena itulah, para ulama hadits memperhatikan ilmu ini dengan
penuh perhatian dan mencurahkan segala pikirannya untuk menguasainya. Mereka
pun berijmak akan validitasnya, bahkan kewajibannya karena kebutuhan yang
mendesak akan ilmu ini.
Sebagian ulama’ tasawuf bertanya kepada Abdullah bin al-Mubarak,
“apakah engkau berbuat ghibah menggunjing orang lain?”
Abdullah menjawab, “Diamlah! Kalau tidak demikian kita tidak dapat
menjelaskan bagaimana cara mengetahui kebenaran dan kebatilan.”
Abu Turab al-Nakhsyubi al-Zahid berkata kepada Ahmad bin Hanbal,
“Ya Syaikh, jangan menggibah para ulama!” Imam Ahmad menjawab, “celakalah kamu.
Ini adalah nasihat. Ini bukan ghibah.”
Abu Bakar bin Khallad berkata kepada Yahya bin Sa’id, “Apakah
engkau tidak khawatir kalau orang-orang yang kau tinggalkan haditsnya itu
menjadi musuhmu di hadapan Allah nanti?”
Yahya menjawab, “Sungguh saya lebih senang mereka menjadi musuhku
daripada yang menjadi musuhku adalah Rasulullah Saw. Di mana beliau berkata,
‘Mengapa engkau tidak tumpas kedustaan dari haditsku?’”
Seandainya para tokoh kritikus rawi itu tidak mencurahkan segala
perhatiannya dalam masalah ini dengan meneliti keadilan para rawi, menguji
hafalan dan kekuatan ingatannya, hingga untuk itu mereka tempuh rihlah
yang panjang, menanggung kesulitan yang besar, mengingatkan masyarakat untuk
berhati-hati terhadap para rawi pendusta yang lemah dan kacau hafalannya,
seandainya bukan usaha mereka, niscaya akan menjadi kacau balaulah urusan
Islam, orang-orang zindik akan berkuasa, dan para Dajal akan bermunculan.[1]
B.
Syarat-syarat Ulama al-Jarh wa al-Ta’dil
Seorang
ulama al-jarh wa al-ta’dil harus memenuhi kriteria-kriteria yang menjadikannya
objektif dalam upaya mennguak karakteristik para periwayat. Syarat-syaratnya
yakni sebagai berikut :
1. Berilmu, bertakwa, wara’, dan jujur. Karena apabila ia tidak
memiliki sifat-sifat ini, maka bagaimana ia dapat menghukumi orang lain dengan al-jarh
wa al-ta’dil yang senantiasa membutuhkan keadilannya.
Al-Hafidz
berkata, “seyogyanya al-jarh wa al-ta’dil tidak diterima kecuali dari
orang yang adil dan kuat ingatannya, yakni orang yang mampu mengungkapkan hadits
dan kuat ingatannya sehingga menjadikannya berhati-hati dan ingat dengat tepat
terhadap hadits yang ia ucapkan.
2. Ia mengetahui sebab-sebab al-jarh wa al-ta’dil. Al-Hafizh
Ibnu Hajar menjelaskan dalam Syarh
al-nukhbah, “Tazkiyah (pembersihan terhadap diri orang lain) dapat diterima
apabila dilakukan oleh orang yang mengetahui sebab-sebabnya, bukan dari orang
yang tidak mengetahuinya, agar ia tidak memberikan tazkiyah hanya dengan
apa yang kelihatan olehnya dengan sepintas tanpa mendalami dan memeriksanya.”
3.
Ia mengetahui penggunaan kalimat-kalimat bahasa Arab, sehingga
suatu lafadz yang digunakan tidak dipakai untuk selain maknanya, atau men-jarh
dengan lafadz yang tidak sesuai untuk men-jarh.
C.
Tata Tertib Ulama al-Jarh wa al-Ta’dil
Ada
beberapa poin tata tertib yang perlu diperhatikan oleh ulama al-jarh wa
al-ta’dil. Diantaranya yang terpenting adalah sebagai berikut:
1.
Bersikap objektif dalam tazkiyah, sehingga ia tidak
meninggikan seorang rawi dari martabat yang sebenarnya atau merendahkannya sebagaimana
yang terjadi bagi kebanyakan manusia dewasa ini.
2.
Tidak boleh jarh melebihi kebutuhan, karena jarh itu
disyariatkan lantara darurat; sementara darurat itu ada batasnya.
3.
Tidak boleh hanya mengutip jarh saja sehubungan dengan orang
yang dinilai jarh oleh sebagian kritikus tetapi dinilai adil oleh
sebagian lainnya, karena sikap yang demikian berarti telah merampas hak rawi
yang bersangkutan dan para muhadditsin mencela sikap yang demikian.
4.
Tidak boleh jarh terhadap rawi yang tidak perlu di-jarh,
karena hukumnya disyariatkan lantaran darurat. Maka dalam kondisi tidak ada
daruratnya, jarh tidak dapat dilaksanakan. Para ulama mencela perbuatan
yang berlebihan dan melarang keras serta memperingatkan bahwa perbuatan itu
adalah sebuah kesalahan. Akan tetapi, sayangnya hal itu tidak memberi faedah
pada sebagian orang yang merasa berlebihan dalam berilmu dewasa ini. Mereka
beranggapan bahwa menjatuhkan lawan dengan mencela dan menuduh adalah tanda
kesempurnaan pengetahuan dan pemahaman mereka, sehingga terciptalah tradisi
yang jelek, ketika mereka berdiskusi dengan salah seorang yang alim dalam suatu
disiplin ilmu tertentu maka mereka akan berusaha mrncrla perbuatan-perbuatan
pribadinya, mencari-cari kesalahannya, menyertakan ribuan kedustaan kepada satu
kejujuran, mengemukakan kata-kata celaan kepadanya dengan cara membuat para
pengikutnya tercengang. Tujuannya semata-mata ingin membungkam lawannya dengan
cara mencerca seperti itu sehingga menjadikan forum diskusi sebagai forum
caci-maki, mencari kesalahan orang dan permusuhan.
Baca juga artikel yang lain;
- Konsep Dasar Psikologi
- Metode Kajian Psikologi
- Biografi Ibnu Thuffail
- Konsep Dasar Puasa Sunnah
- Pendidikan Wanita dalam Islam
- Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu-ilmu yang Lain
- Sejarah Pendidikan Islam
- Sejarah Perkembangan Psikologi
- Jarh wa Ta'dil
- Sosiolinguistik Amerika dan Indonesia
- Menonton Telivisi dan Pembentukan Karakter
- Budaya Membaca dan Budaya Menonton TV
[1] Tentang disyariatkannya al-jarh wa at-ta’dil dan pembahasan selengkapnya lihat kitab al-imam al-turmudzi wa as-muwasanah baina jam’ihi un ash-shahihaini, hlm. 235-237
Tidak ada komentar:
Posting Komentar