HOME

08 Februari, 2022

Ibnu Thuffail

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar belakang

Mendengar kata filsafat, tentu akan langsung tergambar tentang pemikiran dan segala bentuknya. Di mana awal adanya filsafat yakni bermula dari orang-orang yunani kuno yang mulai menelusuri bagaimana dunia ini dan ada apa dengan dunia ini. Tidak hanya satu yang mempunyai pemikiran tentang dunia ini maka dari itu muncul banyak orang yang memiliki pendapat/pemikiran baik yang sama maupun berbeda.

Terdapat beragam pemikiran yang telah dikemukakan oleh para filsuf terdahulu, hal ini akan terus berlanjut sampai muncul pemikiran yang dapat diterima oleh semua orang. Karena filsafat berbicara tentang segala ilmu, maka semua yang dianggap memiliki dimensi keilmuan akan masuk ke dalam filsafat, hal ini termasuk juga sisi empiris yang telah dijelaskan pada materi-materi sebelumya.

Selama pemikiran filsafat belum dianggap paling sesuai, maka terus menerus akan disempurnakan. Saat islam muncul, pemikiran-pemikiran yang sudah berkembang tidak bisa langsung diterima, karena tidak semuanya sesuai dengan syariat islam. Hal ini tidak bisa dihindari karena islam juga membutuhkan pemikiran-pemikiran yang telah ada namun disempurnakan kembali dengan sentuhan akidah dan ajaran islam.

Dalam pemikiran (filsafat) islam juga tidak hanya terdapat satu pendapat, banyak filsuf islam yang mengemukakan pendapatnya masing masing, sedikit banyaknya telah mengadopsi filsafat terdahulu. Perbedaan ini lah yang memunculkan banyak nama filsuf-filsuf besar islam. Keberagaman pemikiran mereka ini yang menjadikannya unik. Di antara filsuf-filsuf islam yang terkenal tersebut, ada satu nama filsuf yang akan kita ungkap pada pembahasan kali ini.

Yaitu pemikiran dari Ibnu Thuffail yang akan kami sampaikan dalam makalah ini, selain pemikirannya akan kami bahas juga biografi serta karyanya.


B.     Rumusan masalah

a.       Jelaskan biografi Ibnu Thufail

b.      Jelaskan mengenai karya Ibnu Thufail

c.       Bagaimana pemikiran-pemikiran Ibnu Thufail


C.    Tujuan

a.       Mengetahui biografi Ibnu Thufail

b.      Mengetahui karya Ibnu Thufail

c.       Mengetahui pemikiran-pemikiran Ibnu Thufail


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Biografi Ibnu Thufa’il

Nama lengkap ibnu Thufail ialah Abu Bakar Muhammad ibnu Abd Al-Malik ibn Muhammad ibnu Muhammad  ibnu Thufail. Ia dilahirkan di Guadix (Arab : Wadi Asy), provinsi Granada, Spanyol pada tahun 506 H/1110 M. dalam bahasa latin ibnu Thufail populer dengan sebutan Abubacer.[1]

Dia memulai karirnya sebagai dokter praktik di Granada dan lewat ketenarannya dalam jabatan itu, dia diangkat menjadi sekretaris gubernur di propinsi Granada. Kemudian pada tahun 549 H/1154 M, dia menjadi sekretaris pribadi Gubernur Ceuta dan Tangier, putra Abdul al-Mu’min, penguasa Muwahhidin Spanyol pertama yang merebut Maroko pada tahun 542 H/1147 M. Akhirnya, Thufail menduduki jabatan dokter tinggi dan menjadi qadhi di pengadilan serta wazir khalifah Muwahhid Abu Ya’qub Yusuf (558 H/1163 M-580 H/1184 M).

Sebagaimana filosof-filosof muslim, Ibnu Thufail juga memiliki disiplin ilmu dalam berbagai bidang. Selain sebagai seorang filosof, ia juga ahli dalam ilmu kedokteran, matematika, astronomi, dan penyair yang sangat terkenal dari Dinasti Al-Muwahhid di Spanyol. Ibnu Thufail juga dikenal sebagai filsuf muslim yang gemar menuangkan pemikiran kefilsafatannya melalui kisah-kisah yang penuh kebenaran. Ibnu Thufayl mengembuskan napas terakhir di Maroko pada tahun 1185 M dan dimakamkan di sana.[2]


B.     Karya-karya Ibnu Thufa’il

Terdapat dua versi tulisan dengan judul Hayy ibnu Yaqzan, yaitu  yaitu versi Ibnu Sina dan versi Ibnu Thufail. Kendati judulnya sama, ternyata versinya berbeda. Versi Ibnu Thufail melukiskan Hayy Ibnu Yaqzan itu sebagai seseorang yang pada awalnya muncul sebagai bayi laki-laki yang berada di sebuah pulau yang belum pernah dihuni manusia. Pulau itu adalah salah satu saja dari pulau-pulau hindi yang terletak di bawah garis Khatulistiwa. Disebutkan bahwa bayi itu boleh jadi muncul secara alamiah sebagai hasil perpaduan unsur-unsur yang terdapat pada tanah di pulau tersebut dan perpaduan itu mengambil bentuk sedemikian rupa sehingga layak untuk dimasuki oleh jiwa manusia, atau boleh jadi juga bayi itu hasil perkawinan sah, tapi secara diam-diam, antara seorang wanita (seorang raja yang berkuasa di pulau lain) dengan laki-laki di lingkungan istana juga. Perkawinan sah yang tidak diketahui raja itu membuahkan bayi dan diberi nama Hayy Ibnu Yaqzan. Karena takut diketahui raja, bayi itu diletakkan pada sebuah peti oleh ibunya, kemudian diapungkan di laut dengan harapan dapat dihanyutkan oleh arus laut ke tempat lain, mirip seperti peti berisi musa, yang dihanyutkan oleh ibunya di sungai Nil. Arus dan pasang-naik laut menyebabkan peti bayi Hayy Ibnu Yaqzan itu terdampar di pulau seberang yang tidak dihuni manusia. Tangis bayi yang terdampar itu mengundang rasa kasihan pada seekor unta yang baru kehilangan anak dan bahkan menyangka bahwa bayi manusia itulah anaknya. Ia susukan dan rawat bayi itu sehingga dapat terus hidup dalam lingkungan binatang, dan bahkan dapat berkembang baik menjadi manusia dewasa, yang berbeda dari binatang. Akal sehatnya berkembang sedemikian rupa, menurut sunnatullah, sehingga ia bukan saja mampu berpikir tentang dunia fenomena, melainkan juga dapat menangkap hal-hal abstrak dan mengetahui adanya tuhan, pencipta sekalian alam. Ia bahkan dengan mata batinnya dapat melihat tuhan, merasa dekat denganNya, dan merasa berbahagia.

Tidak jauh dari pulau itu terdapat pulau lain yang dihuni oleh satu masyarakat manusia. Absal dan Salaman, yang termasuk pemuka dalam masyarakat itu, adalah penganut agama wahyu, tapi memiliki kecenderungan yang berbeda. Absal banyak tertarik pada pengertian-pengertian metaforis dari teks-teks wahyu, sedang Salaman lebih cenderung kepada makna-makna lahiriahnya, dan sikap masyarakat pada umumnya seperti sikap Salaman. Absal kemudian cenderung untuk mengasingkan diri dari masyarakat. Pada suatu hari ia menyebrang ke pulau yang dihuni oleh Hayy Ibnu Yaqzan. Keduanya berjumpa, dan setelah Hayy Ibnu Yaqzan diajari oleh Absal berbicara, keduanya dapat berdialog dan saling berkisah. Ternyata Hayy Ibnu Yaqzan dapat dengan mudah memahami dan menyetujui keterangan-keteragan Absal tentang tuhan, surga, neraka, hari berbangkit, timbangan, jalan lurus, dan lain-lain, sebagaimanayang diajarkan oleh wahyu. Absal juga mudah memahami keterangan Hayy Ibnu Yaqzan tentang hasil renungan dan pengalaman rohaniyahnya dengan tuhan. Kedua insan itu, yakni Hayy Ibnu Yaqzan dan Absal, saling membenarkan.

Keduanya bersepakat untuk menyebrang ke pulau yang dihuni oleh Salaman dan masyarakatnya dengan maksud mengajak Salaman dan masyarakatnya itu supaya beragama dengan pemahaman-pemahaman yang berkembang pada kedua insan itu. Ternyata Salaman dan masyarakatnya tidaktertarik pada pemahaman keduanya. Akhirnya keduanya sadar bahwa masyarakat seharusnya dibiarkan beragama dengan pemahaman seperti yang berkembang pada mereka dan tak perlu diajak  memahami agama seperti yang dipahami Hayy dan Absal. Kedua tokoh ini kembali ke pula yang tidak dihuni oleh manusia lain, melanjutkan ibadah dan tafakur pada tuhan seperti sebelumya.[3]


C.    Pemikiran Ibnu Thufai’il

1.      Tentang Tuhan

Alam ini ada penciptanya, yang tiada lain adalah Tuhan. Dia yang mengeluarkan dari “ketiadaan” ke maujud (creatia ex nihili) dan tidak mungkin keluar (tercipta) dengan sendirinya. Dari itu pasti ada pelaku penciptaan tersebut. Pelaku ini tidak diketahui dengan indera, sebab bila diketahui dengan indera berarti ia berupa materi (bendawi). Kalau berupa materi, berarti masih merupakan elemen dari alam dan itu tentunya diciptakan. Dengan demikian memerlukan pencipta. Andaikata pencipta kedua juga berupa materi, tentu juga membutuhkan pencipta ketiga, keempat, dan seterusnya. Bila demikian, maka terjadi tasalsul. Proses seperti ini berarti absurd, tidak dapat diterima akal sehat.

Gambaran sifat-sifat Tuhan adalah Tuhan itu jauh dari sifat kekurangan, karena kekurangan itu tidak lain kecuali “ketiadaan murni” (adam al-mahad) atau yang berkaitan dengan ketiadaan  dan bagaimana mungkin “ketiadaan” tergantung pada wujud murni (wujud al-mahd) yang wajib wujudnya dengan zatnya, yang memberikan ada kepada setiap yang wujud, dalam kesempurnaan, Dialah kebaika, Dialah pengetahuan dan Dialah sumber segala yang wujud. (Q.S. al-Qasas:88).[4]


2.      Tentang Dunia Kosmologi

Pertama, apabila alam ini diyakini kekal, maka akan menimbulkan kontradisi yang banyak, dengan alasan bahwa tidak mungkin wujud sesuatu yang tidak ada akhirnya tidak mungkinnya wujud materi yang tidak ada lepas dari penciptaan, dan tidak mungkin mendahului penciptanya, berarti diciptakan. Kedua, apabila diyakini bahwa alam ini baru (diciptakan), maka akan timbul masalah lain, karena pengertian baru setelah tiada tidak mungkin dipahami kecuali bahwa didahului oleh waktu, sedang itu sendiri adalah bagian dari alam dan tidak terpisah. Oleh karena itu tidak dapat dipahami bahwa alam ini datang sesudah adanya waktu. Namun Ibnu Thufail dalam pernyataannya menegaskan bahwa apabila alam ini baru diciptakan, berarti pasti ada yang menciptakan tidak dari dulu.


3.      Tentang Akal dan Wahyu

Pandangan Ibnu Thufail mengenai kedudukan akal dan wahyu ia tampilkan dalam risalah Hayyu bin Yaqdzan yang hanya menggunakan rasio dalam memahami realitas kehidupannya, mengambil konsep-konsep yang tidak bertentangan, bahkan sejalan dengan informasi wahyu yang dibawah oleh Asal sang “teolog”. Apa yang diperintahkan oleh syari’at Islam dan apa yang diketahui oleh akal sehat dengan sendirinya, berupa kebenaran, kebaikan dan keindahan dapat tertemu dalam satu titik, tanpa diperselisihkan lagi. Dengan kata lain, hakikat  kebenaran yang dilakukan oleh filsafat sejalan dengan apa yang ada dalam wahyu.


4.      Tentang Epistimologi

Bagi Ibnu Thufail, pengalaman merupakan suatu proses pengenalan lingkungan melalui indera. Organ-organ indera berfungsi berkat jiwa yang ada dalam hati. Dari situ berbagai data indera yang kacau mencapai otak yang menyebarkan ke seluruh tubuh lewat jalur syaraf, yang selanjutnya diproses menjadi kesatuan persetif.[5]


5.      Tentang Derajat Manusia

Pada tokoh pelaku dalam risalah Hayyu bin Yaqdzan oleh Ibnu Thufail dimaksudkan sebagai symbol keanekaragaman derajat intelektual manusia. Mereka terbagi dalam tiga kelompak utama, yaitu: (1) filosof, yang dalam cerita itu diperankan oleh Hayyu bin Yaqdzan, yang memperoleh kebenaran dari perenungannya atas realitas alam; (2) agamawan, yang dalam cerita diperankan oleh Asal, yang berpegang dengan wahyu dalam beragama; (3) masyarakat awam, yang dalam cerita diperankan oleh Salman dan masyarakat. Mereka dalam beragama hanya berdasarkan tradisi dan taqlid, serta menerima agama hanya dalam bentuk zahirnya saja.[6]

Baca juga artikel yang lain;

  1. Konsep Dasar Psikologi
  2. Metode Kajian Psikologi
  3. Biografi Ibnu Thuffail
  4. Konsep Dasar Puasa Sunnah
  5. Pendidikan Wanita dalam Islam
  6. Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu-ilmu yang Lain
  7. Sejarah Pendidikan Islam
  8. Sejarah Perkembangan Psikologi
  9. Jarh wa Ta'dil
  10. Sosiolinguistik Amerika dan Indonesia
  11. Menonton Telivisi dan Pembentukan Karakter
  12. Budaya Membaca dan Budaya Menonton TV

BAB III

KESIMPULAN

Ibnu Thufail ialah seorang filsuf muslim yang berasal dari spanyol yang gemar menuangkan pemikiran kefilsafatannya melalui kisah-kisah yang penuh kebenaran. Karyanya yang paling terkenal ialah Hayy Ibnu Yaqzan, terdapat dua versi tulisan dengan judul Hayy ibnu Yaqzan, yaitu  yaitu versi Ibnu Sina dan versi Ibnu Thufail. Kendati judulnya sama, ternyata versinya berbeda.

Ibnu thufail mempunyai pemikiran tentang tuhan sebagai pencipta alam, lalu tentang dunia baru ini yang didahului oleh waktu, tentang menggunakan rasio atau akal dalam memahami realitas serta mengambil konsep-konsep yang tidak bertentangan, lalu tentang pengalaman yang merupakan suatu proses pengenalan lingkungan oleh indera, serta tentang derajat manusia yang kesemua pemikiran tersebut terkumpul dalam cerita Hayy Ibnu Yaqzan karya Ibnu Thufail.


BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

Zar, Sirajuddin, 2007. Filsafat Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

Dedi, Supriyadi, 2009. Pengantar Filsafat Islam, Bandung: CV PUSTAKA SETIA

Dahlan, Abdul aziz, 2003. pemikiran falsafi dalam islam, Jakarta: djambatan

Maftukhin, 2012. Filsafat Islam, Yogyakarta: Teras

Sharif, M, 1963. A. History of muslim Philosophy, Wasbaden:otto Harroswits


[1]Sirajuddin. Zar, Filsafat Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2007). hal. 205

[2] Supriyadi Dedi, Pengantar Filsafat Islam (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2009) hlm.212

[3] Prof. dr. Abdul aziz dahlan pemikiran falsafi dalam islam (Jakarta: djambatan, 2003) hlm. 123-126

[4] Maftukhin, Filsafat Islam (Yogyakarta: Teras, 2012) hlm. 186

[5] M.M. Sharif, A. History of muslim Philosophy(Wasbaden:otto Harroswits,1963),h.526

[6] Maftukhin, Filsafat Islam …hlm. 188-191

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...