BAB I
Konsep Dasar Puasa Sunnah
A. Latar Belakang
Ibadah puasa adalah ibadah yang agung dan sudah ada sebelum Nabi Muhammad SAW diutus sebagai rasul, sebagaimana firman Allah SWT dalam al- Qur’an:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al- Baqarah : 183)
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa kewajiban puasa bagi setiap muslim yang sudah baligh dan berakal sehat. Dengan adanya perintah ini, tidak ada alasan seorang muslim yang sudah memnuhi syarat sah menunaikan ibadah puasa untuk tidak melaksanakan kewajiban tersebut.
Puasa merupakan ibadah yang mampu menjadi sarana latihan yang luar biasa, baik secara jasmani maupun rohani. Seorang muslim yang sedang berpuasa mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan Allah SWT. Kedekatan itulah yang mendorong seseorang mampu memenuhi perintah Allah SWT dengan meninggalkan sesuatu yang dalam kehidupan sehari-hari dibolehkan, seperti makan, minum, dan berhubungan intim dengan istrinya, sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja macam-macam puasa sunnah?
2. Apa dalil puasa sunnah?
3. Apa saja keutamaan puasa sunnah?
4. Siapa yang diperbolehkan rukhsoh puasa wajib?
5. Apa pengertian qadha dan fidyah?
C. Tujuan
1. Mampu mengetahui macam-macam puasa sunnah.
2. Mampu mengetahui dalil-dalil puasa sunnah.
3. Mampu mengetahui keutamaan melaksanakan puasa sunnah.
4. Mampu mengetahui siapa yang diperbolehkan rukhsoh puasa wajib.
5. Mampu mengetahui pengertian qadha dan fidyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Macam-macam puasa sunnah
Dalam islam puasa adalah salah satu rukun islam, yaitu rukun islam yang ke-4. Banyak disebutkan dalam Al- Qur’an anjuran wajib menunaikan ibadah puasa bagi setiap muslim yang telah memenuhi syarat sah puasa.
Dalam islam pula, puasa dibagi menjadi 2 bagian, yaitu puasa wajib dan puasa sunnah. Puasa sunnah juga bisa dikatakan puasa tathawwu’ yang artinya mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan ibadah yang tidak wajib. Adapun puasa sunnah yang disepakati oleh para ulama adalah:
1. Puasa 6 hari di bulan Syawwal
Puasa syawwal yaitu puasa yang dilakukan setelah selesai mengerjakan puasa Ramadhan. Hukum puasa ini adalah sunnah. Tata cara melakukan puasa sunnah ini adalah boleh dilakukan secara urut atau tidak (acak) tetapi lebih afdhol apabila dilakukan secara berurutan. Pahala melakukan puasa ini akan dilipat gandakan sepuluh kali lipat. Sebulan senilai dengan sepuluh bulan, enam hari senilai dengan enam puluh hari sehingga totalnya setahun penuh.
2. Puasa 10 hari pertama dibulan Dzulhijjah
Puasa ini hukumnya sunnah. Jumlah puasa yang dikerjakan yaitu selama 9 hari. Adapun tata cara melaksanaknnya adalah boleh dilakukan selama 9 hari atau hanya sampai pada hari kedelapan (hari Tarwiyah) dan hari kesembilan (hari Arafah).
3. Puasa Arafah
Puasa ini dilakukan pada hari kesembilan dari bulan Dzulhijjah bagi orang yang tidak berhaji. Hukum puasa Arafah adalah sunnah. Puasa arafah bagi orang yang menunaikan ibadah haji adalah tidak dianjurkan agar tersedia kekuatan untuk berdo’a dan juga demi mengikuti sunnah sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Akan tetapi, menurut madzhab Hanafi, orang yang sedang berhaji boleh melakukan puasa di hari Arafah, jika puasa tersebut tidak membuat nya lemah dalam melaksanakan ibadah haji.
4. Puasa Muharram
Puasa ini dikerjakan pada bulam Muharram dan hukum puasa ini adalah sunnah. Jumlah waktu untuk berpuasa Muharram adalah tidak dibatasi atau semampunya terutama pada tanggal 10 Muharram (hari Asyuro).
5. Puasa hari Tasu’a dan Asyura’
Puasa yang dikerjakan pada tanggal 9 dan 10 bulan Muharram. Hukum puasa ini adalah sunnah. Jumlah waktu untuk berpuasa adalah 2 hari.[1]
Hikmah puasa Asyura dijelaskan oleh Ibnu Abbas dengan perkataanya “ketika tiba di Madinah, Nabi Muhammad SAW melihat kaum yahudi berpuasa Asyura. Beliau lantas bertanya, apa sebabnya kalian berpuasa pada hari ini? Mereka menjawab, ini adalah hari yang agung sebab pada hari inilah Allah menyelamatkan Musa dari Bani Israil dari muisuh mereka, lalu Musa berpuasa pada hari ini. Mendengar penejlasan itu Nabi Muhammad SAW bersabda : aku lebih berhak atas Musa daripada kalian. Kemudia beliau berpuasa pada hari itu dan menyuruh kaum Muslimin berpuasa pula.
Menurut madzhab Syafi’i apabila kita hanya melakukan puasa Asyura tanpa Tasu’a maka disunnahkan untuk berpuasa pada tanggal 11 pula. Bahkan Imam Syafi’i menyebutkan dalam kitab al-Umm dan al-Imlaa’ yang menyatakan tengntang kesunnahan berpuasa pada tiga hari tersebut sekaligus. Sementara Madzhab Hambali mengatakan bahwa jika seorang Muslim tidak dapat memastikan awal bulan, hendaknya dia berpuasa tiga hari agar dia bisa yakin telah melaksanakan puasa ini. Tasu’a dan Asyuro adalah hari dibulan Muharram yang paling dianjurkan untuk di isi dengan puasa atau hal-hal kebaikan.
Menurut jumhur, tidak makruh kecuali mengkhususkan puasa hanya pada tanggal 10.
6. Puasa Sya’ban
Puasa ini adalah puasa yang dikerjakan pada bulan Sya’ban selama satu bulan. Hukum puasa ini adalah sunnah.
7. Puasa pada bulan-bulan haram
Puasa ini dikerjakan pada bulan haram yakni: Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Hukum puasa ini adalah sunnah.
Kesunnahan berpuasa pada bulan-bulan ini adalah menurut madzhab Maliki dan madzhab Syafi’i. Sementara madzhab Hambali hanya menyunnahkan pada bulan Muharram. Menurut madzhab Hambali puasa ini adala puasa yang paling utama setelah puasa bulan Ramadhan. Sedangkan menurut madzhab Hanafi yang disunnahkan dalam empat bulan yang suci itu adalah berpuasa tiga hari pada masing-masingnya, yaitu: hari Kamis, Jum’at, Sabtu.
8. Puasa Senin-Kamis
Puasa senin kamis ini dilakukan sebagaimana Rasulullah yang berpuasa pada hari senin atau hari kelahirannya.
9. Puasa Ayyamul Bidh (hari-hari putih)
Puasa ini dikatakan ayyamul bidh karena hari-hari tersebut terang, malamnya dengan bulan dan siangnya dengan matahari. Puasa ini dilakukan setiap pada tanggal 13,14, dan 15 pada bulan Hijriah. Jumlah waktu dalam melaksanakan puasa ini adalah 3 hari. Hukum puasa ini adalah sunnah. Pahala mengerjakan puasa ini setara dengan puasa dahr, karena pahala dilipat gandakan (satu kebajikan diberi pahala sepuluh kali lipat) tanpa ada mudharat atau aspek negatif seperti yang ada dalam puasa dahr.
10. Puasa Daud
Puasa daud adalah sehari berpuasa dan sehari berbuka. Waktu melaksanakan puasa ini adalah tidak ditentukan atau kapan saja bisa dilakukan. Hukum puasa ini adalah sunnah.[2]
B. Dalil-dalil tentang puasa sunnah
Puasa adalah amalan yang sangat utama. Di antara ganjaran puasa disebutkan dalam hadits berikut,
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ
“Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi” (HR. Muslim no. 1151).
Adapun puasa sunnah adalah amalan yang dapat melengkapi kekurangan amalan wajib. Selain itu pula puasa sunnah dapat meningkatkan derajat seseorang menjadi wali Allah yang terdepan (as saabiqun al muqorrobun). Lewat amalan sunnah inilah seseorang akan mudah mendapatkan cinta Allah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi,
وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ
“Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya” (HR. Bukhari no. 2506).[3]
a. Puasa daud
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أحَبُّ الصِّيَامِ إلى اللهِ صِيَامُ دَاوُدَ، وَأحَبُّ الصَّلاةِ إِلَى اللهِ صَلاةُ دَاوُدَ: كَانَ يَنَامُ نِصْفَ الليل، وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ، وَكَانَ يُفْطِرُ يَوْمًا وَيَصُوْمُ يَوْمًا
“Puasa yang paling disukai oleh Allah adalah puasa Nabi Daud. Shalat yang paling disukai Allah adalah Shalat Nabi Daud. Beliau biasa tidur separuh malam, dan bangun pada sepertiganya, dan tidur pada seperenamnya. Beliau biasa berbuka sehari dan berpuasa sehari.” (HR. Bukhari no. 3420 dan Muslim no. 1159).
b. Puasa senin-kamis
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تُعْرَضُ الأَعْمَالُ يَوْمَ الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِى وَأَنَا صَائِمٌ
“Berbagai amalan dihadapkan (pada Allah) pada hari Senin dan Kamis, maka aku suka jika amalanku dihadapkan sedangkan aku sedang berpuasa.” (HR. Tirmidzi no. 747. Shahih dilihat dari jalur lainnya).
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَتَحَرَّى صِيَامَ الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menaruh pilihan berpuasa pada hari senin dan kamis.” (HR. An Nasai no. 2360 dan Ibnu Majah no. 1739. Shahih).
c. Puasa ayyamul bidh
Dianjurkan berpuasa tiga hari setiap bulannya, pada hari apa saja.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
أَوْصَانِى خَلِيلِى بِثَلاَثٍ لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَصَلاَةِ الضُّحَى ، وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ
“Kekasihku (yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mewasiatkan padaku tiga nasehat yang aku tidak meninggalkannya hingga aku mati: berpuasa tiga hari setiap bulannya, mengerjakan shalat Dhuha, mengerjakan shalat witir sebelum tidur.”( HR. Bukhari no. 1178).
Namun, hari yang utama untuk berpuasa adalah pada hari ke-13, 14, dan 15 dari bulan Hijriyah yang dikenal dengan ayyamul biid. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُفْطِرُ أَيَّامَ الْبِيضِ فِي حَضَرٍ وَلَا سَفَرٍ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada ayyamul biidh ketika tidak bepergian maupun ketika bersafar.” (HR. An Nasai no. 2345. Hasan).
Dari Abu Dzar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya,
يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا صُمْتَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَصُمْ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ
“Jika engkau ingin berpuasa tiga hari setiap bulannya, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15 (dari bulan Hijriyah).” (HR. Tirmidzi no. 761 dan An Nasai no. 2424. Hasan).[4]
d. Puasa Sya’ban
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
لَمْ يَكُنِ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak biasa berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.” (HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim no. 1156).
Dalam lafazh Muslim, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya. Namun beliau berpuasa hanya sedikit hari saja.” (HR. Muslim no. 1156)
Yang dimaksud di sini adalah berpuasa pada mayoritas harinya (bukan seluruh harinya)sebagaimana diterangkan oleh Az Zain ibnul Munir. Para ulama berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyempurnakan berpuasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan agar tidak disangka puasa selain Ramadhan adalah wajib.[5]
e. Puasa Enam Hari di Bulan Syawal
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164).
f. Puasa di Awal Dzulhijah
Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ ». يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ « وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ ».
"Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah)." Para sahabat bertanya: "Tidak pula jihad di jalan Allah?" Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: "Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun." (HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968. Shahih). Keutamaan sepuluh hari awal Dzulhijah berlaku untuk amalan apa saja, tidak terbatas pada amalan tertentu, sehingga amalan tersebut bisa shalat, sedekah, membaca Al Qur’an, dan amalan sholih lainnya. Di antara amalan yang dianjurkan di awal Dzulhijah adalah amalan puasa.
Dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya...” (HR. Abu Daud no. 2437. Shahih).
g. Puasa ‘Arafah
Puasa ‘Arofah ini dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah. Abu Qotadah Al Anshoriy berkata,
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ
“Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa ‘Arofah? Beliau menjawab, ”Puasa ‘Arofah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu” (HR. Muslim no. 1162).
Sedangkan untuk orang yang berhaji tidak dianjurkan melaksanakan puasa ‘Arofah. Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَفْطَرَ بِعَرَفَةَ وَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ أُمُّ الْفَضْلِ بِلَبَنٍ فَشَرِبَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa ketika di Arofah. Ketika itu beliau disuguhkan minuman susu, beliau pun meminumnya.” (HR. Tirmidzi no. 750. Hasan shahih).
h. Puasa ‘Asyura
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah - Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163). An Nawawi -rahimahullah- menjelaskan, “Hadits ini merupakan penegasan bahwa sebaik-baik bulan untuk berpuasa adalah pada bulan Muharram”.[6]
C. Keutamaan puasa sunnah
1. Puasa 6 hari di bulan Syawwal
Adapun keutamaan melaksanakan puasa ini adalah seperti puasa selama setahun.
2. Puasa 10 hari pertama dibulan Dzulhijjah
Adapun keutamaan puasa ini adalah tidak ada hari-hari yang amalan shaleh didalamnya itu lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari tersebut.
3. Puasa Arafah
Adapun keutamaan dari puasa ini adalah menghapus dosa-dosa kecil selama dua tahun, satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang.
4. Puasa Muharram
Adapun keutamaan dari puasa ini adalah puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan.
5. Puasa hari Tasu’a dan Asyura’
Adapun keutamaan dari puasa ini adalah menghapus dosa-dosa pada tahun sebelumnya.
6. Puasa Sya’ban
Adapun keutamaan dari puasa ini adalah sebagai latihan atau pemanasan sebelum memasuki bulan Ramadhan. Jika seseorang sudah terbiasa berpuasa sebelum puasa Ramadhan, tentu dia akan lebih kuat dan lebih bersemangat untuk melakukan puasa wajib di bulan Ramadhan.
7. Puasa pada bulan-bulan haram
Adapun keutamaan dari puasa ini adalah sangat dianjurkan beramal shaleh pada bulan-bulan haram.
8. Puasa senin-kamis
Adapun keutamaan dari puasa ini adalah hari amal diangkat kepada Allah.
Adapun dibawanya amal-amal tersebut oleh Malaikat, adalah satu kali malam dan satu kali siang hari; dan tentang dibawanya pada bulan sya’ban adalah dibelokkan pada pengertian, dibawanya amal satu tahun secara keseluruhan. Puasa hari senin lebih Afdhal dari pada kamis, karena adanya kekhususan-kekhususan yang banyak dikemukakan oleh para Ulama.
9. Puasa Ayyamul Bidh (hari-hari putih)
Adapun keutamaan dari puasa ini adalah seperti berpuasa sepanjang masa.
10. Puasa daud
Adapun keutamaan dari puasa ini adalah puasa yang paling disukai oleh Allah.[7]
D. Rukhsoh puasa wajib
Ibadah puasa adalah wajib untuk dilakukan terutama bagi setiap muslim yang telah memenuhi syarat sah ibadah puasa. Puasa Ramadhan adalah puasa wajib bagi setiap muslim dimanapun berada. Barang siapa yang meninggalkan puasa di bulan Ramadhan dengan sengaja maka akan mendapat dosa. Akan tetapi, agama islam adalah agama yang sungguh memudahkan bagi siapapun yang memeluknya.
Dalam ajaran islam ada istilah rukhsoh (keringanan) bagi setiap muslim. Dalam hal ini rukhsoh puasa diberikan bagi orang-orang tertentu. Berikut orang yang diberi rukhsoh (keringanan) tidak berpuasa:
1. Orang sakit
Orang yang sedang sakit boleh tidak melaksanakan puasa wajib di bulan Ramadhan seperti dijelaskan dalam firman Allah SWT :
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
Barang siapa yang meninggalkan atau tidak melaksanakan puasa dikarenakan sakit maka hukumnya wajib untuk mengqadha atau mengganti puasa yang ditinggalkan pada hari yang lain.
2. Musafir
Orang yang sedang dalam perjalanan atau bepergian mendapat rukhsoh ketika sedang menjalankan puasa wajib. Akan tetapi orang yang meninggalkan puasa karena bepergian atau musafir maka wajib untuk mengqadha atau mengganti puasa yang ditinggalkan pada hari yang lain. Adapun syarat untuk bisa dikenai hukum rukshoh ini adalah ia melakukan perjalanan sebelum terbit fajar.
3. Orang yang lanjut usia dan pekerja berat
Orang yang telah lanjut usia dan pekerja berat boleh untuk tidak melaksanakan ibadaha puasa akan tetapi ia wajib untuk membayar fidyah yaitu memberi makan orang miskin sebanyak satu mud (sekitar 544 gram) makanan pokok.
4. Wanita hamil dan menyusui
Menurut madzhab Hanafi wanita yang hamil atau menyusui boleh untuk tidak melaksanakan ibadah puasa akan tetapi ia wajib untuk mengqadha dan tidak wajib membayar fidyah.
Adapun menurut madzhab Syafi’i adalah wajib mengqadha dan membayar fidyah apabila berbuka karena khawatir terhadap keselmatan anak, wajib mengqadha saja jika berbuka karena khawatit terhadap keselamatan diri sendiri atau keselamatan diri dan anaknya.
5. Wanita haid dan nifas
Wanita yang mengalami haid atau nifas diberi rukshoh untuk tidak melaksanakan ibadah puasa dengan wajib mengqadha atau mengganti puasa yang ditinggalkan pada hari yang lain.[8]
6. Rasa lapar dan haus yang luar biasa
Boleh untuk tidak melaksanakan puasa bagi yang memiliki rasa lapar dan haus yang luar biasa akan tetapi wajib untuk mengqadha pada hari yang lain. Hal ini diperbolehkan karena dikhawatirkan akan mati, atau kecerdasannya menurun, atau salah satu indranya tidak bisa berfungsi dengan baik.
7. Pemaksaan
Boleh untuk tidak melaksnakan puasa bagi orang yang dipaksa orang lain, akan tetapi menurut para jumhur wajib untuk mengqadha pada hari lain. Sedangkan menurut Imam Syafi’i puasa orang yang dipaksa itu hukumnya tidak batal.
8. Menyelamatkan orang lain yang hampir tenggelam dan sejenisnya
Madzhab Hambali mengatakan bahwa wajib berbuka bagi setiap orang yang dibutuhkan bantuannya oleh orang lain untuk menyelamatkan manusia lain dari kematian (tenggelam dan sejenisnya) dan ia tidak perlu membayar fidyah.[9]
E. Qadha puasa dan fidyah
1. Qadha puasa
Pertama: hal-hal yang berkaitan dengan pembatalan puasa
Madzhab Maliki mengatakan ada 7 hal yang terjadi akibat pembatalan puasa, yaiyu qadha, kafarat besar, kafarat kecil (fidyah) imsak (menjauhi pembatal puasa), terputusnya keberlanjutan, saknsi, dan terputusnya niat.
Kedua: hukum qadha
Para fuqaha sepakat bahwa wajib mengqadha atas orang yang batal puasanya sehari atau lebih dibulan Ramadhan baik karena adanya udzur atau tidak.
Puasa yang wajib di qadha adalah puasa Ramadhan, puasa kafarat, puasa nadzar serta puasa sunnah yang dimulai (menurut madzhab hanafi dan Maliki). Hanya saja menurut madzahb Maliki mewajibkan qadha atas orang yang sengaja membatalkan puasa sunnahnya. Adapun orang membatalkan puasanya karena lupa diperbolehkan meneruskan puasanya tanpa ada kewajiban untuk mengqadha nya dan ini adalah ijma’ karena tidak ada hukum bagi orang yang lupa. Jika dia membatalkan puasa sunnah karena udzur maka dia tidak wajib untuk mengqadha.
Waktu qadha
Qadha puasa bulan Ramadhan dilakukan setelah habisnya bulan itu sampai datangnya bulan Ramadhan berikutnya. Disunnahkan menyegerakan qadha agar cepat bebas tanggungannya dan gugur kewajibannya.
Madzhab Syafi’i memandang wajib melaksanakan qadha dengan segera apabila pembatalan puasa di bulan Ramadhan itu terjadi tanpa ada udzur syar’i. Bagi orang yang punya tanggungan puasa Ramadhan makruh hukumnya apabila mengerjakan puasa sunnah. Jika seseorang menunda mengqadha puasa hingga tiba Ramadhan berikutnya maka ia wajib emngqadha dan membayar kafarat (fidyah). Sedangkan madzhab Hanafi, berpendapat bahwa tidak ada kewajiban membayar fidyah atsnya, baik penundaan qadha terjadi karena ada udzur maupun tidak adanya udzur. Menurut madzhab Syafi’i, fidyah berulang-ulang seiring bergantian tahun.
Qadha secara berturut-turut
Mayoritas fuqoha sepakat bahwa disunnhakan qadha secara berturut-turut (berkelanjutan). Akan tetapi qadha puasa Ramadhan tidak disyari’atkan berturut-turut maupun segera.
Wali berpuasa qadha atas nama kerabatnya yang meninggal
Bagi orang yang meninggal dengan memiliki tanggungan puasa bulan Ramadhan ada dua kondisi:
Pertama, dia mati sebelum memungkinakan untuk berpuasa baik karena semptnya waktu atau karena adanya udzur (sakit, perjalanan, tidak mampu berpuasa). Dalam kondisi demikian, dia tidak wajib menebus apapun, menurut mayoritas ulama. Sebab dia tidak melakukan kelalaian juga tidak berdosa karena itu adalah kewajiabn yang tidak sempat ditunaikannya karena dia terburu meninggal dunia. Maka, hukumnya gugur tanpa harus diganti amalan lain seperti haji.
Kedua, dia meninggal setelah memungkinkan untuk mengqadha. Dalam kondisi ini walinya tidak berpuasa atas namanya, yakni puasanya tidak wajib menurut para fuqoha. Menurut madzhab Syafi’i hal diatas hukumnya tidak sah. Karena hal itu adalah ibadah badaniyah mahdhah yang wajib berdasarkan dalil syara’. Maka ia tidak dapat diwakilkan semasa masih hidup maupun sesudah meninggal dunia sama seperti sholat.
Menurut madzhab Hambali, wali disunnahkan berpuasa atas nama kerabatnya yang meninggal dunia sebab yang demikian itu lebih ihtiyath untuk terbebasnya tanggungan si mayit.
Mengqodho Puasa Menurut Empat Imam Madzhab
Empat imam madzhab sepakat bahwa puasa ramadhan adala fardu atas segenap kaum Muslim. Ia merupakan salah satu dari rukun Islam. Mereka juga sepakat bahwa puasa Ramadhan wajib dilasnakan oleh setiap Muslim yang telah baig, berakal seahat, suci(tidak sedang haid atau nifas), bermukim ( tidak dalam perjalanan), dan sanggup mengerjakannya.
Perempuan yang sedang haid dan nifas haram berpuasa. Apabila mereka tetap mengerjakannya, maka puasanya tidak sah dan tetap berkewajiban mengqadhanya.
Perempuan yang sedang hamil dan perempuan yang sedang menyusui anaknya boleh tidak beruasa jika mereka khawatir terhadap kesehatan dirinya dan kesehatan anaknya.Tetapi, jika mereka tetap berpuasa maka puasaya sah. Adapun jika mereka tidak berpuasa lantaran khawatir terhadap kesehatan anaknya maka ia wajib mengqadhanya serta membayar kafarah, yaitu untuk setiap harinya satu mud. Demikian menurut pendapat Syafi’iyang paling kuat dan Hambali. Hanafiberpendapat : Tidak ada kafarah atas keduanya. Dari Malikidiperoleh dua riwayat. Pertama, wajib kafarah bagi perempuan yang sedang menyusui anaknya,tidak bagi yang sedang hamil. Kedua, tidak ada kafarah atas keduanya.
Ibn ‘Umar dan Ibn Abbas r.a. menyatakan, “ Wajib kafarah, tetapi tidak wajib mengqadha”.
Puasa bagi Musafir
Empat imam mazhab sepakat bahwa orang yang sedang bepergian (musafir) dan penderita sakit yang tidak bisa disembuhkan boleh tidak berpuasa. Tetapi, jika mereka tetap berpuasa maka puasanya sah.Sementara itu jika mereka berpuasa, padahal puasa itu membahayakan diri mereka, maka hukumnya adalah makruh.
Sebagian ulama ahli zahir mengatakan : tidak sah puasa dalam safar.
Al- Awza’i berpendapat: Tidak berpuasa bagi orang yang bepergian adalah lebih utama secara mutlak.
Menurut tiga imam mazhab: barang siapa yang berpuasa pada pagi hari, lalu ia melakukan perjalanan, maka ia tidak boleh membatalkan puasa nya.Hambali: Ia membatalkan puasanya. Inilah pendapat al-Muzni.
Apabila musafir yang tidak berpuasa telah sampai di tempat tujuannya, orang sakit sudah sembuh, anak-anak sudah balig, orang kafir masuk Islam, atau perempuan haid telah suci pada pertengahan siang, mereka wajib imsak, yaitu menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa pada sisa hari itu. Demikian menurut Hanafi dan Hambali. Maliki berpendapat: Disukai imsak. Ini juga pendapat paling saih dari Syafi’i.
Apabila orang murtad kembali masuk Islam maka ia wajib mengsadha puasa yang ditinggalkannya ketika murtad. Demikian menurut tiga imam mazhab. Hanafi berpendapat: Tidak wajib mengqadhanya.
Puasa Anak kecil, Orang Gila, Orang Sakit
Empat Imam Mazhab sepakat bahwa anak kecil yang belum mampu berpuasa dan orang gila yang terus-menerus tidak dikenai kewajiban puasa. Tetapi, anak kecil itu hendaknya diperintah mengerjakannya jika sudah berumur tujuh tahun dan dipukul jika (tidak berpuasa) pada umur sepuluh tahun.
Hanafi berpendapat: tidak sah puasa anak kecil. Jika orang gila sembuh dari gilanya maka ia tidak wajib mengqadha puasa yang ditinggalkannya. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Syafi’i. Maliki berpendapat: Wajib qadha. Hambali memiliki dua riwayat. Orang sakit yang tidak bisa disembuhkan dan orang tua renta tidak wajib berpuasa, tetapi diwajibkan membayar fidyah. Demikian pendapatHanafi. Seperti itu juga pendapat aling sahih dari Safi’i.
Hanafi : Fidyah terseut adalah setengah sha’ gandum setiap hari.Sedangkan menurut Syafi’i: Satu mud .
Maliki: Tidak wajib berpuasa dan tidak wajib membayar fidyah.Demikian juga salah satu pendapat Syafi’i.
Hambali: Ia harus memberi makan 1 sha’ kurma atau 1 mud gandum.[10]
2. Fidyah
Hukum fidyah adalah wajib dengan dalil firman Allah
...وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُونَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامٌ مِسْكِيْنٍ184
“...dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin..” (al-Baqarah:184)
Yakni, wajib membayar fidyah bagi orang-orang yang menjalani puasa dengan susah payah. Menurut madzhab Hanafi, fidyah adalah berupa setengah Sha’ gandum, yakni uang seharga itu, dengan syarat berlanjutnya ketidakmampuan orang yang tua renta itu sampai kematiannya. Sedangkan menurut jumhur, fidyah itu berupa satu mudd makanan pokok untuk tiap hari puasa yang ditinggalkannya. Alokasi distribusi fidyah, nadzar yang mutlak, kafarat dan sedekah yang wajib adalah sama dengan alokasi distribusi zakat.
Sebab fidyah antara lain:
a. Tidak mampu berpuasa. Semua fuqaha sepakat bahwa fidyah wajib atas orang yang sama sekali tidak mampu menjalani puasa, yaitu lelaki atau wanita yang tua renta. Apabila mereka sukar sekali menunaikan puasa, mereka boleh tidak berpuasa, melainkan harus memberi makan seorang miskin untuk tiap hari puasanya, seperti dalam surah al-Baqarah ayat 184.
b. Semua fuqaha sepakat bahwa fidyah juga wajib atas orang sakit yang tidak punya harapan untuk sembuh. Sebab, puasa tidak wajib atasnya, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dengan dalil firman allah azza wa jalla.
“..dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama..” (al-Hajj : 78)
c. Fidyah juga wajib, menurut jumhur (selain madzhab Hanafi), di samping mengqadha atas wanita yang hamil dan yang menyusui apabila mereka khawatir atas anak mereka. Adapun jika mereka khawatir atas diri mereka sendiri, mereka boleh tidak berpuasa, tapi hanya wajib mengqadha saja; dan hal ini disepakati semua fuqaha. Dalilnya yakni al-Baqarah ayat 184.
d. Fidyah juga wajib disamping mengqadha (menurut jumhur, selain madzhab Hanafi) atas orang yang lalai dalam mengqadha puasa ramdhan; yakni dia menunda-nundanya sampai datang bulan ramadhan tahun berikutnya. Besarnya fidyah sesuai dengan jumlah hari yang ditinggalkannya. Hal ini dibiaskan kepada orang yang sengaja membatalkan puasanya, karena kedua-duanya menyepelekan kesucian puasa. Fidyah tidak wajib atas orang yang uzurnya berlangsung terus, entah uzur itu adalah sakit, perjalanan, gila, haid, atau nifas.
BAB III
STUDI KASUS
Terdapat banyak masalah di kehidupan sehari-hari kita mengenai puasa sunnah, berikut kami sebutkan beberapa studi kasus tentang puasa sunnah :
1. Seorang remaja sedang berpuasa daud, kemudian tiba saatnya dia berpuasa daud di hari senin. Pada hari senin itu remaja tersebut juga ingin mengerjakan puasa sunnah. Bagaimana hukum menggabungkan puasa?
2. ??
3. ??
Berdasarkan hasil diskusi kelompok kami, berikut jawaban atau solusi dari beberapa studi kasus di atas :
1. Menggabungkan puasa itu diperbolehkan selama itu sama sama puasa sunnah. Menggabungkan puasa tidak diperbolehkan jika menggabungkan antara puasa sunnah dengan puasa wajib, seperti puasa hari senin dengan qadha puasa ramadhan.
Baca juga artikel yang lain;
- Konsep Dasar Psikologi
- Metode Kajian Psikologi
- Biografi Ibnu Thuffail
- Konsep Dasar Puasa Sunnah
- Pendidikan Wanita dalam Islam
- Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu-ilmu yang Lain
- Sejarah Pendidikan Islam
- Sejarah Perkembangan Psikologi
- Jarh wa Ta'dil
- Sosiolinguistik Amerika dan Indonesia
- Menonton Telivisi dan Pembentukan Karakter
- Budaya Membaca dan Budaya Menonton TV
BAB IV
KESIMPULAN
Puasa ada 2, yakni puasa wajib dan puasa sunnah. Puasa sunnah ada banyak macamnya, dan kelompok kami menyebutkan 10 macam yaitu, puasa Puasa 6 hari di bulan Syawwal, Puasa 10 hari pertama dibulan Dzulhijjah, Puasa Arafah, Puasa Muharram, Puasa hari Tasu’a dan Asyura’, Puasa Sya’ban, Puasa pada bulan-bulan haram, Puasa Senin-Kamis, Puasa Ayyamul Bidh (hari-hari putih), Puasa Daud. Adapun setiap puasa sunnah tersebut mempunyai keutamaannya masing-masing.
Dalam ajaran islam ada istilah rukhsoh (keringanan) bagi setiap muslim. Dalam hal ini rukhsoh puasa diberikan bagi orang-orang tertentu. Yaitu : Orang sakit, Musafir, Orang yang lanjut usia dan pekerja berat, Wanita hamil dan menyusui, Wanita haid dan nifas, Rasa lapar dan haus yang luar biasa, Pemaksaan, Menyelamatkan orang lain yang hampir tenggelam dan sejenisnya
Para fuqaha sepakat bahwa wajib mengqadha atas orang yang batal puasanya sehari atau lebih dibulan Ramadhan baik karena adanya udzur atau tidak. Puasa yang wajib di qadha adalah puasa Ramadhan, puasa kafarat, puasa nadzar serta puasa sunnah yang dimulai (menurut madzhab hanafi dan Maliki).
Hukum fidyah itu wajib bagi oarang-orang yang termasuk dalam sebab-sebab fidyah antara lain, orang yang tidak mampu berpuasa, orang sakit yang tidak mempunyai harapan untuk sembuh, wanita hamil dan menyusui, serta orang yang lalai dalam mengqadha puasa ramadhan.s
[1] Fachrur Mu’is, Puasa A-Z (Solo: Tinta Medina, 2011), 137.
[2] Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu 3 (Jakarta: Gema Insani, 2011), 45.
[3] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah (Bandung: Alma’arif, 2007), 3.
[4] Helmi Basri, Fiqih Ibadah (Pekanbaru: Suska press, 2010), 105.
[5] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/37, (Dar Ihya’ At Turots,.)
[6] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/55.
[7] Fachrur Mu’is, Puasa A-Z (Solo: Tinta Medina, 2011), 133-141.
[8] Fachrur Mu’is, Puasa A-Z (Solo: Tinta Medina, 2011), 45.
[9] Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu 3 (Jakarta: Gema Insani, 2011), 96.
[10] Syaikh al-“allamah muhammad, Fiqih Empat Mazhab (Bandung: Hasyimi, 2001), 154.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar