HOME

07 Februari, 2022

Pendidikan Wanita dalam Islam

 

A.    Konsep Dasar Pendidikan Wanita dalam Islam

Dalam bahasan Islam and Women’s Education, Haiffa A. Jawad mengemukakan bahwa salah satu hak terpenting bagi kaum wanita di dalam Islam adalah hak untuk memperoleh pendidikan.

Sebenarnya secara konseptual Islam tidak ada persoalan yang layak diperdebatkan tentang pentingnya arti pendidikan bagi kehidupan manusia baik itu bagi laki-laki maupun perempuan. Karena jelas disebutkan bahwa menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan. Pentingnya pendidikan bagi perempuan juga berkaitan erat dengan peran penting mereka dalam peningkatan kualitas generasi muda. Dalam hal ini diperlukan adanya peningkatan kesadaran pada seorang ibu terhadap tanggung jawab dan perannya sebagai pendidik pertama dan utama. Merupakan suatu yang kodrati bahwa perempuan yang melahirkan anak, membesarkan generasi bangsa yang secara alamiah ia memiliki hubungan emosional yang paling dekat dengan anak. Sesuai dengan harkat, martabat dan kodratnya, kaum perempuan mempunyai peran yang sangat besar dan menentukan. Merekalah yang membentuk, menentukan, dan memberi warna kualitas generasi muda bangsa. Karena itu tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa, berada ditangan perempuan kualitas generasi muda, penerus cita-cita perjuangan itu ditentukan. Sebuah pepatah Arab mengatakan: “Al-Mar’ah ‘Imad alBilad. Idza shaluhat shaluha al-Bilad, wa idza fasadat fasada al-bilad” (perempuan adalah pilar negara, bila baik, maka negara akan menjadi baik, bila ia rusak, maka hancurlah negara).[1]

Oleh karena itu perempuan yang notabenenya adalah pemegang kualitas generasi penerus bangsa di masa yang akan datang seharusnya mendapat perlakuan dalam hal pendidikan. Karena bagaimana seorang ibu bisa mendidik anaknya menjadi lebih baik jika sang ibu masih kurang dalam mengenyam pendidikannya.

Banyak yang mendukung untuk berlanjutnya pendidikan wanita, mulai dari al-Qur’an, hadits, maqolah, dan banyak buku – buku. sebab seperti yang sudah dijelaskan tadi bahwa generasi penerus bangsa yang dibawah kendali seorang wanita, maka wanita tersebut haruslah berpendidikan.

B.     Eksistensi Pendidikan Wanita dalam Islam

Karena dalam islam tidak diajarkan untuk berkumpul lain jenis, maka sekarang banyak terjadi pendidikan berbasis gender. Jadi laki – laki dan perempuan dipisah tidak dalam satu kelas. Tapi dengan adanya kegiatan tersebut maka cenderung akan terjadi diskriminasi terhadap satu sama lain. Maka dari itu, dalam pendidikan berbasis gender, orang tua memiliki peran yang sangat penting dalam mendidik dan mengarahkan anak-anaknya, karena apabila dalam satu keluarga tersebut terjadi bias gender maka hal ini akan sangat berpengaruh pada pola pikir anak-anaknya dimasa yang akan datang. Ketidakadilan gender dalam keluarga sering kali termanifestasi dalam berbagai bentuk, diantaranya adalah marginalisasi (peminggiran) perempuan, subordinasi (penomorduaan) perempuan, stereotipe (pelabelan negatif) terhadap perempuan, kekerasan (violence) terhadap perempuan serta beban kerja lebih banyak dan panjang (doble burden). Dan anak akan sangat peka terhadap reaksi sosial yang ditimbulkan oleh kedua orang tuanya tersebut.[2]

Anak yang sudah terpengaruh terhadap kebiasaan orang tuanya yang kurang benar maka hal itu akan menjadikan seorang anak tersebut anak yang nakal dan bisa berbuat lebih dari kebiasaan buruk orang tuanya. 

Betapa pentingnya pendidikan wanita dalam islam, karena kebiasaan atau adat istiadat dari berbagai tempat yang mengesampingkan pendidikan bagi perempuan yang kebanyakan berada di indonesia. Tapi dengan mendapatkannya para perempuan hak – hak mereka maka lebih mungkin bisa masa depan bangsa akan lebih baik, sebab anak – anak di masa depan akan mendapatkan ibu – ibu mereka adalah seorang yang berilmu dan berpendidikan, yang mampu mendidik mereka dan menasihati mereka. Dan pendidikan ini bukan hanya tentang ilmu pengetahuan saja tapi juga tentang akhlak dan budi pekerti agar nantinya bukan hanya otak – otak mereka terisi tapi akhlak dan tingkah laku mereka akan selalu senantiasa terjaga.

C.      Tokoh tokoh dan Konsep Pendidikan Wanita dalam Islam

1.       Syifa’ bint ‘Abd Allâh

            Nama lengkapnya adalah al-Syifa’ bint ‘Abd Allâh ibn ‘Abd Syams ibn Khalaf ibn Shaddâd ibn ‘Abd Allâh ibn Qurth ibn Razâh ibn ‘Adi ibn Ka’b ibn Lu’ay. Dia adalah ibu dari Sulaiman ibn Abû Hatsamah. Ibunya bernama Fâtimah bint Abû Wahab ibn ‘Amr ibn ‘Â’id ibn ‘Umar ibn Makhzûm.

            Al-Syifâ’ termasuk golongan pertama yang masuk islam, turut berhijrah ke madinah, ikut berbaiat kepada Rasulluah SAW., dan merupakan salah satu dari sedikit perempuan yang cerdas dan mulia pada masanya. Dikisahkan Nabi SAW pernah memberikan bagian rumah kepada al-Syifâ’ di daerah penambang emas, yang kemudian dia tempati bersama anaknya, Sulaimân. ‘Umar ibn al-Khaththâb pun selalu berkonsultasi dengannya, selalu mendahulukan pendapat – pendapatnya, dan pernah menjadikannya pegawai pasar, sebagaimana diceritakan dalam kitab al-Isti’âb.

            Oleh karena itu, al-Syifâ’ merupakan salah satu wanita hebat pada masa itu maka banyak hal atau kegiatan yang al-Syifâ’ lakukan dan berguna bagi yang lain, seperti merupakan salah satu perawi hadits, seorang penawar luka, Guru dari Hafshah dan al-Syifâ’ adalah seorang yang rajin solat.

Perawi Hadits

Abû Bakar dan ‘Utsmân, putra Sulaimân ibn Hatsmah, meriwayatkan sebuah hadits dari al-Syifâ’. Dalam musnad al-imâm Ahmad disebutkan sebuah hadits ‘Abd Allâh ibn ‘Umair, dari seorang lelaki dari keluarga Abû Hatsmah,dari al-Syifâ’ bint Abd Allah berkata.”Rasulullah saw. pernah ditanya tentang perbuatan paling muliah.” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah, Berjihad di jalan-Nya, dan haji yang mabrur.”

Penawar luka

Menurut riwayat ‘Utsman ibn Sulaimân ibn Hatsmah, al Syifâ’ bint ‘Abd Allâh dikenal masyarakat Jahiliah sebagai pemilik jampi – jampi penyembuh luka. Setelah berbaiat kepada nabi saw. di makkah dan sebelum berangkat ke madinah, al Syifâ’ pergi menemui Nabi dan berkat, “Wahai Rasulullah, dulu saya berprofesi sebagai peruqyah, dan aku ingin menunjukkan ruqyah itu kepadamu.” Nabi saw. lalu berkata, “Coba tunjukkan!” Al-Syifâ’ lalu mempraktikkan ruqyah (jampi – jampi penawar luka) itu. Nabi saw. bersabda, “Meruqyahlah dengan itu dan ajarkanlah kepada Hafshah. Dengan nama Allah, shalwun, shalbun, jabrun, aku berlindung dari mulut- mulutnya sehingga tidak membahayakan orang. Ya Allah, hilangkanlah penyakit ini, wahai Penguasa manusia.” Al-Syifâ membacakan jampi – jampi itu kepada minyak kasturi sebanyak tujuh kali, lalu minyak tersebut diletakkan di wadah yang bersih dan dicampur dengan cuka merah Tsaqif, kemudian dioleskan di atas luka.

Guru Hafshah

            Dalam Sunan Abû Dâwud disebutkan, Rasulullah saw. berkata kepada al-Syifâ’, “Ajarkanlah ruqyah al-namilah kepada Hafshah, sebagaimana engkau mengajarkan tulis-menulis kepadanya.” Hadis ini menjadi dalil dibolehkannya mengajarkan ilmu tulis menulis kepada kaum perempuan. Menurut Abû sulaiman al-Khaththabi, hadis ini menjadi dalil bahwa bahwa hukum belajar tulis – menulis bagi perempuan adalah mubah, tidak makruh.[3]

2.      Rahmah el-Yunusiyah

Namanya Rahmah El-Yunusiah tidak tercatat sebagai salah satu nama pahlawan nasional. Namanya juga masih asing didengar dan belum banyak dikenal di dunia pendidikan. Tidak semasyhur nama besar pahlawan wanita seperti Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, ataupun Raden Ajeng Kartini. Meskipun begitu, perjuangannya dalam dunia pendidikan tidak dapat diragukan lagi. Sebuah nama besar seorang Rahmah El-Yunusiah yang lahir pada tanggal 1 Rajab 1318 Hijriyah atau 20 Desember 1900 di jalan Lubuk Mata Kucing, Kanagarian, Bukit Surungan, Padang Panjang, tanah Minangkabau. Dia anak bungsu dari lima bersaudara, yaitu Zainuddin Labay (1890-1924 M), Mariah (1893-1972 M), Muhammad Rasyad (1895-1956 M), dan Rihanah (1898-1968 M)3 dan Rahmah masih mempunyai saudara lain ibu, yaitu Abdus Samad, Hamidah, Pakih Bandaro, Liah, Aminuddin, Safiah, Samihah dan Kamsiah. Ayahnya bernama Syaikh Muhammad Yunus (1846-1906 M) yang terkenal sebagai ulama besar dan seorang qadhi/ hakim yang ahli ilmu falak dan hisab di Pandai Sikat. Riwayat pendidikan ayahnya, Syaikh Muhammad Yunus pernah belajar selama 4 tahun di tanah suci Mekkah. Sedangkan ibunya bernama Rafi’ah dari keturunan suku Sikumbang yang berasal  dari negeri Langkat, Bukittinggi Kabupaten Agam. Ibunya Rafi’ah juga masih berdarah keturunan ulama, empat tingkat diatasnya masih ada hubungan dengan mamak Haji Miskin, sang pembaharu gerakan Paderi. Ibunya berhijrah ke bukit Surungan Padang Panjang pada abad XVIII M yang lalu. Dan menikah dalam usia yang masih belia, 16 tahun sedangkan Syaikh Muhammad Yunus sudah berusia 42 tahun.

Rahmah memang berasal dari keluarga atau keturunan yang pintar – pintar serta taat beragama. Itu semua bisa dilihat dari riwayat hidup Ayahnya, Ibunya, Kakeknya, Kakak – kakaknya yang mana banyak yang merupakan seorang ulama - ulama terkenal.

Karena latar belakang dirinya yang taat beragama dan aktif dalam gerakan pembaharuan, maka hal itu menjadikan dirinya lebih peka dan kritis terhadap lingkungan sekitar. Pada awal abad ke-20 itu, Rahmah  berfikir mengenai sebuah hadits yang berarti bahwa Wanita adalah tiang negara. Dan dengan hadits yang seperti itu maka seharusnya perempuan juga mendapat pendidikan sama seperti p ara kaum pria. Dan ditambah sebuah hadits lagi yang berbunyi “mencari ilmu itu wajib bagi setiap laki – laki dan perempuan. Tapi hal itu bertentangan dengan sistem pendidikan di tempat tinggalnya tersebut, yang mana sistem pendidikannya yang bercorak tradisional itu tidak mendukung perempuan untuk ikut mengenyam pendidikan sama seperti laki – laki.

Meskipun Rahmah El-Yunusiah sempat mengenyam pendidikan agama dari model Surau, namun tetap saja perempuan memiliki keterbatasan dalam lingkungan pendidikan ini. Perempuan tidak bisa sebebas kaum laki-laki dalam menuntut ilmu di Surau. Meskipun dalam kebudayaan minang seorang perempuan berhak memiliki keutamaan khusus tertentu tapi akses perempuan dalam mendapat ilmu dan pendidikan masihlah terbatas.

Keterbatasan dalam hal akses keilmuan inilah yang nampaknya mendorong Rahmah ikut terlibat dalam arus “pembaharuan” bagi kaum perempuan. Pijakan awal pembaharuan yang dibawa oleh Rahmah dalam konsepnya tentang pendidikan kaum perempuan jelas berbeda dengan asumsi dasar kaum feminis yang menganggap bahwa kaum perempuan mengalami diskriminasi.

Kajian ilmiah modern dan data-data akurat telah mengungkapkan bahwa ibu memegang peranan sangat penting dalam perkembangan anak-anak. Pada wilayah inilah nampaknya Rahmah El-Yunusiah bergerak, tentu saja terlepas dari fakta hasil kajian ilmiah modern dan data-data terkait yang baru ada setelah masa sesudahnya. Inilah jalan pendidikan yang menjadi pemikiran Rahmah, tidak hanya terpaku dalam kebudayaan dan tradisi masyarakatnya yang tertutup bagi perempuan tapi bagaimana konsep pendidikan yang berdasarkan Islam dapat menyesuaikan dan menjadi solusi untuk perkembangan pendidikan perempuan. Dipadukan lagi dengan sistem pendidikan tradisional surau yang mulai tergantikan dengan sistem pendidikan madrasah yang selangkah lebih modern. Dan terus ada upaya dari Rahmah untuk melakukan pembaharuan di bidang pendidikan khususnya pendidikan bagi perempuan. 

Dilihat dari aktivitas yang dilakukannya, nampaknya Rahmah El-Yunusiah ingin menerapkan “pembelajaran sepanjang hayat” dalam konsep pendidikan yang digagasnya. Hal ini tercermin dalam model pendidikan yang dimulai dari masa anak-anak sampai perguruan tinggi. Dan dari madrasah-madrasah yang dibangun dan dikembangkannya yang dimulai dari jenjang taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Pendidikan yang tidak mengenal usia baik yang masih anak-anak maupun yang sudah renta. Hal ini berlaku selama manusia masih bernafas maka masih dianjurkan menuntut ilmu.[4]

3.      Khadijah binti Khuwailid

Beliau adalah Ummul Mukminin  pemimpin kaum wanita seluruh alam pada masanya. Ummul Qasim binti Khuwailid bin Asab bin Abdul Uzza bin Qushai bin Kilab al_Quraisyiyah al-Asadiyah. Ibu anak – anak Rasulullah SAW. Orang pertama yang beriman dan percaya kepada beliau sebelum siapapun juga.

Ia memiliki banyak sekali keutamaan, dan termasuk diantara wanita sempurna. Ia wanita berakhlak mulia, patuh beragama, terjaga, dan mulia. Ia termasuk salah satu penghuni surga. Nabi SAW memuji dan melebihkannya diantara seluruh Ummahatul mukminin (istri – istri beliau).

Memilih Nabi sebagai suami yang kala itu miskin, sementara ia sendiri kaya raya yang menjadi incaran para lelaki kaya dan terhormat di tengah – tengah kaumnya namun enggan menerima mereka, sudah cukup menunjukkan kebijaksanaan dan kekuatan akal, ia tahu bahwa kejantanan sempurna, kemuliaan sifat ksatria, dan watak yang lurus tidak berada di dalam kekayaan materi dan harta benda yang pasti akan lenyap.

Ia mencari kekayaan jenis lain!

Kekayaan jiwa, nurani, dan kelembutan perangai! Di mana gerangan ia bias menemukan semua itu secara sempurna pada sosok selain Muhammad? Meski demikian, sebagian referensi menyebut salah satu alasan Khadijah mendekati nabi SAW adalah keahlian beliau dalam berjual beli, kejujuran, dan amanah dalam berdagang, atau factor – factor lain seperti yang didengar Khadijah.

Namun kami sampaikan, meski faktor tersebut menjadi salah satu penyebab wanita menginginkan lelaki—terlebih bagi wanita berharta seperti Khadijah RA yang menginginkan seorang lelaki yang bias memperdagangkan harta miliknya.

Mungkin pertimbangan tersebut menjadi salah satu faktor utama yang membenarkan alasan Khadijah menikah dengan Muhammad yang lima belas tahun lebih muda. Karena beliau kala itu berusia dua puluh lima tahun, sementara ia sendiri berusia empat puluh tahun.

Terlebih kala itu beliau minim harta, tidak memiliki kedudukan dan kepemimpinan. Namun Khadijah menemukan sesuatu di balik kejujuran, amanat, keahlian dalam berdagang, dan nasab terhormat yang membenarkan alasannya menikahi Muhammad SAW di hadapan kaumnya.

Hanya saja saat mencari tahu faktor hakiki pernikahan sang wanita yang sudah menginjak usia empat puluh tahun ini dengan Muhammad SAW artinya usia kematangan akal dan kedewasaan, bukan lagi sebagai gadis dungu ataupun wanita tua yang sudah lapuk. Faktor hakiki  pendorong pernikahan ini adalah upaya Khadijah untuk mencari kejantanan sempurna. Kejantanan yang dimaksud mencakup akhlak, sifat ksatria, kekuatan masa muda, sikap mengalah (mementingkan orang lain), dan sifat – sifat mulia.

Muhammad SAW tidak akan mau menikah dengan Khadijah RA meski memiliki harta benda sepenuh bumi, dan meski ia wanita tercantik di dunia, andai saja bukan karena kekuatan akal, kecerdasan, dan pengakuan kaumnya akan kemuliaan sifat, perilaku terpuji, menjaga diri, hati nan lurus dan nasab terhormat yang beliau ketahui.

Karena semua alasan inilah, keinginan Khadijah selaras dengan keinginan Muhammad SAW untuk hidup berdampingan.

Benar dugaan Muhammad SAW terkait Khadijah, karena ia adalah seorang istri dan sandaran terbaik. Kekuatan akal dan kecerdasannya mendorong untuk beriman kepada apa yang disampaikan Muhammad SAW mengikuti segala perilaku keimanan dan ketaatan.

Suatu ketika, Nabi SAW pulang ke rumah Khadijah setelah diajari Jibril tata cara shalat. Beliau kemudian menyampaikan hal itu kepada Khadijah lalu Khadijah pun berkata, “Ajarkan kepadaku ( tata cara shalat ) yang Jibril ajarkan kepadamu.”

Nabi SAW kemudian mengajarkan shalat kepada Khadijah. Khadijah berwudlu seperti beliau, kemudian shalat bersama beliau dan berkata, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah.”[5]

4.      Asma’ binti Abu Bakar

Asma’ lahir di mekah 27 tahun sebelum kenabian. Ayahnya lebih baik dari seluruh manusia setelah para nabi dan rasul. Ia adalah orang pertama dari sepuluh sahabat yang dijamin surge, yakni Abu Bakar Ash-Shiddiq RA.

Suami saudarinya adalah pemimpin orang-orang terdahulu dan kemudian, yakni Muhammad bin Abdullah SAW.

Saudarinya seayah adalah Ummul Mukminin, yakni Aisyah RA.

Kakek dari jalur ayahnya adalah Abu Quhafah yang masuk islam dan meraih kemuliaan mendampingi Rasulullah SAW.

Nenek dari jalur ayahnya adalah Ummul Khair, Sulma binti Sakhr yang masuk islam dan meraih kemuliaan mendampingi Rasulullah SAW.

Tiga bibinya adalah para sahabat wanita, mereka adalah; Ummu Amir, Qaribah, Ummu Farwah. Mereka adalah putri – putri Abu Quhafah.

Suaminya adalah pembela Rasulullah SAW yang tidak lain adalah sepupu beliau. Ia satu diantara sepuluh sahabat yang dijamin surge, dan orang pertama yang menghunus pedang di jalan Allah; Zubair bin Awwam RA.

Anaknya adalah khalufah Abdullah bin Zubair, salah satu panji ibadah dan jihad.

Saudara kandungnya, Abdullah, salah satu sahabat mulia.

Saudara seayahnya, Abdurrahman—saudara sekandung Aisyah—termasuk salah satu pemberani dan pemanah jitu.

Oleh karena itu, ada yang mengatakan; diantara rumah-rumah para sahabat, tidak satupun diantaranya yang memiliki empat anggota keluarga yang semuanya melihat Nabi SAW, tidak juga mereka semua berstatus sahabat, atau sebagian diantaranya melahirkan yang lain, kecuali rumah Abu Bakar. Sebab Asma’, ayahnya, kakeknya, dan anaknya (Ibnu Zubair), mereka semua selama empat generasi adalah para sahabat.

Asma’ tumbuh berkembang di rumah ayahnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq. Abu Bakar menyatukan segala perangai baik sehingga menjadi manusia terbaik setelah Rasulullah SAW. Asma’ tinggal di rumah ayahnya mempelajari segala akhlak luhur darinya, dan tumbuh dewasa mencintai keutamaan.

Diriwayatkan dari Asma’ RA, ia berkata, “Aku membuat makanan musafir untuk Nabi SAW dan Abu Bakar saat keduanya hendak pergi menuju Madinah. Aku kemudian berkata kepada ayahku, ‘Aku tiak punya tali untuk mengikat rangsel selain ikat pinggangku.’ Ayah berkata, ‘Sobeklah ikat pinggangmu itu.’ Aku kemudian menyobek ikat pinggangku, karena itulah aku disebut Dzatun Nithaqain’.”

Zubair bin Bakkar menuturkan terkait kisah ini; Rasulullah SAW berkata kepada Asma’, “Allah mengganti ikat pinggangmu ini dengan dua ikat pinggang di surga.” Karena itulah ia disebut Dzatun Nithaqain.

Balasan disesuaikan dengan amal.[6]

D.    Konsep al-Qur’an dan Hadis tentang Pendidikan Wanita dalam Islam

Islam adalah agama yang sangat memuliakan wanita. Aturan – aturan dalam agama islam senantiasa memuaskan akal dan sesuai dengan fitrah manusia. Sebab, islam lahir dari zat yang menciptakan manusia. Islam memandang bahwa kebahagiaan dan kemuliaan seseorang tidak diukur dari materi, golongan tertentu, ataupun kekuasaan, namun lebih kepada tingkat  iman dan takwa seseorang sebagai umat manusia. Dalam al-Qur’an serta hadis sudah banyak dijelaskan tentang masalah pendidikan wanita. Seperti dalam surat an-Nahl yang artinya “Barang siapa yang mengerjakan amal soleh, baik laki – laki maupun perempuandalam keadaan beriman. Sesungguhnya akan kami berikan kepadanyakehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.

Berdeasarkan ayat tersebut maka seorang perempuan yang ingin mengajar atau ingin belajar itu bukanlah sebuah masalah. Sebab kedua hal tersebut juga termasuk amal soleh / baik. Seorang mengajar yang bertujuan untuk mendidik murid – muridnya agar menjadi orang – orang yang berpendidikan itu termasuk amal soleh, dan seseorang yang ingin belajar agar dia mendapat ilmu lebih banyak untuk kemudian diamalkan kepada yang lain itu juga termasuk amal soleh.

Maka kurang benar jika seorang perempuan harus dibatasi dalam mengenyam pendidikan. Karena pendidikan yang dia dapat itu yang nantinya akan membuat seorang anak lebih nurut dan mengerti akan arti dari pendidikan.

Sedangkan haditsnya yakni adalah “ibu itu adalah sekolah yang pertama”. Berhubungan dengan ayat al-Quran diatas serta penjelasannya maka seorang ibu (perempuan) adalah sekolah pertama bagi anak – anak mereka. Sebelum masuk sekolah formal memang kebanyakan anak – anak mengenyam ilmu – ilmu sekolah dari ibunya. Dan anak yang mendapat pendidikan itu tidak ada batasan laki atau perempuan yang berarti bahwa anak laki – laki maupun perempuan sama dan boleh dalam hal pendidikan. Kalau laki – laki bisa mengenyam pendidikan seharusnya perempuan juga bisa.

Baca juga artikel yang lain;

  1. Konsep Dasar Psikologi
  2. Metode Kajian Psikologi
  3. Biografi Ibnu Thuffail
  4. Konsep Dasar Puasa Sunnah
  5. Pendidikan Wanita dalam Islam
  6. Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu-ilmu yang Lain
  7. Sejarah Pendidikan Islam
  8. Sejarah Perkembangan Psikologi
  9. Jarh wa Ta'dil
  10. Sosiolinguistik Amerika dan Indonesia
  11. Menonton Telivisi dan Pembentukan Karakter
  12. Budaya Membaca dan Budaya Menonton TV

[1] Isnaini, Rohmatun lukluk. “Ulama perempuan dan dedikasinya dalam pendidikan islam (Telaah Pemikiran Rahmah El-Yunusiyah)”. Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol 4, no. 1, (mei 2016)

[2] Rusydiyah, Eva Fatimatur. “PENDIDIKAN ISLAM DAN KESETARAAN GENDER 

(Konsepsi Sosial tentang Keadilan Berpendidikan dalam Keluarga)”. Jurnal pendidikan Agama Islam. Vol 4, no. 1 (mei 2016)

[3] ‘Abd al-Qadir Manshur, Fiqh Wanita, (jakarta: zaman, 2012) h. 71-73

[4] Isnaini, Rohmatun lukluk. “Ulama perempuan dan dedikasinya dalam pendidikan islam (Telaah Pemikiran Rahmah El-Yunusiyah)”. Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol 4, no. 1, (mei 2016)

[5] Mahmud AL-Mishri Abu Ammar, Shahabiyat haula Ar-rasul, (Jakarta: Ummul Qura, 2014) h.47-48

[6] Mahmud AL-Mishri Abu Ammar, Shahabiyat haula Ar-rasul, (Jakarta: Ummul Qura, 2014) h.452-456

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...