A. Konsep Dasar Pendidikan Wanita dalam Islam
Dalam bahasan Islam and Women’s Education,
Haiffa A. Jawad mengemukakan bahwa salah satu hak terpenting bagi kaum wanita
di dalam Islam adalah hak untuk memperoleh pendidikan.
Sebenarnya secara konseptual Islam tidak ada
persoalan yang layak diperdebatkan tentang pentingnya arti pendidikan bagi
kehidupan manusia baik itu bagi laki-laki maupun perempuan. Karena jelas
disebutkan bahwa menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan
perempuan. Pentingnya pendidikan bagi perempuan juga berkaitan erat dengan
peran penting mereka dalam peningkatan kualitas generasi muda. Dalam hal ini
diperlukan adanya peningkatan kesadaran pada seorang ibu terhadap tanggung
jawab dan perannya sebagai pendidik pertama dan utama. Merupakan suatu yang
kodrati bahwa perempuan yang melahirkan anak, membesarkan generasi bangsa yang
secara alamiah ia memiliki hubungan emosional yang paling dekat dengan anak.
Sesuai dengan harkat, martabat dan kodratnya, kaum perempuan mempunyai peran
yang sangat besar dan menentukan. Merekalah yang membentuk, menentukan, dan
memberi warna kualitas generasi muda bangsa. Karena itu tidaklah berlebihan
apabila dikatakan bahwa, berada ditangan perempuan kualitas generasi muda,
penerus cita-cita perjuangan itu ditentukan. Sebuah pepatah Arab mengatakan:
“Al-Mar’ah ‘Imad alBilad. Idza shaluhat shaluha al-Bilad, wa idza fasadat
fasada al-bilad” (perempuan adalah pilar negara, bila baik, maka negara akan
menjadi baik, bila ia rusak, maka hancurlah negara).[1]
Oleh karena itu perempuan yang notabenenya
adalah pemegang kualitas generasi penerus bangsa di masa yang akan datang
seharusnya mendapat perlakuan dalam hal pendidikan. Karena bagaimana seorang
ibu bisa mendidik anaknya menjadi lebih baik jika sang ibu masih kurang dalam
mengenyam pendidikannya.
Banyak yang mendukung untuk berlanjutnya
pendidikan wanita, mulai dari al-Qur’an, hadits, maqolah, dan banyak buku –
buku. sebab seperti yang sudah dijelaskan tadi bahwa generasi penerus bangsa
yang dibawah kendali seorang wanita, maka wanita tersebut haruslah
berpendidikan.
B. Eksistensi Pendidikan Wanita dalam Islam
Karena dalam islam tidak diajarkan untuk
berkumpul lain jenis, maka sekarang banyak terjadi pendidikan berbasis gender.
Jadi laki – laki dan perempuan dipisah tidak dalam satu kelas. Tapi dengan
adanya kegiatan tersebut maka cenderung akan terjadi diskriminasi terhadap satu
sama lain. Maka dari itu, dalam pendidikan berbasis gender, orang tua memiliki
peran yang sangat penting dalam mendidik dan mengarahkan anak-anaknya, karena
apabila dalam satu keluarga tersebut terjadi bias gender maka hal ini akan
sangat berpengaruh pada pola pikir anak-anaknya dimasa yang akan datang.
Ketidakadilan gender dalam keluarga sering kali termanifestasi dalam berbagai
bentuk, diantaranya adalah marginalisasi (peminggiran) perempuan, subordinasi
(penomorduaan) perempuan, stereotipe (pelabelan negatif) terhadap perempuan,
kekerasan (violence) terhadap perempuan serta beban kerja lebih banyak dan
panjang (doble burden). Dan anak akan sangat peka terhadap reaksi sosial yang
ditimbulkan oleh kedua orang tuanya tersebut.[2]
Anak yang sudah terpengaruh terhadap kebiasaan
orang tuanya yang kurang benar maka hal itu akan menjadikan seorang anak
tersebut anak yang nakal dan bisa berbuat lebih dari kebiasaan buruk orang
tuanya.
Betapa pentingnya pendidikan wanita dalam
islam, karena kebiasaan atau adat istiadat dari berbagai tempat yang mengesampingkan
pendidikan bagi perempuan yang kebanyakan berada di indonesia. Tapi dengan
mendapatkannya para perempuan hak – hak mereka maka lebih mungkin bisa masa
depan bangsa akan lebih baik, sebab anak – anak di masa depan akan mendapatkan
ibu – ibu mereka adalah seorang yang berilmu dan berpendidikan, yang mampu
mendidik mereka dan menasihati mereka. Dan pendidikan ini bukan hanya tentang
ilmu pengetahuan saja tapi juga tentang akhlak dan budi pekerti agar nantinya
bukan hanya otak – otak mereka terisi tapi akhlak dan tingkah laku mereka akan
selalu senantiasa terjaga.
C. Tokoh tokoh dan Konsep Pendidikan
Wanita dalam Islam
1. Syifa’ bint ‘Abd Allâh
Nama
lengkapnya adalah al-Syifa’ bint ‘Abd Allâh ibn ‘Abd
Syams ibn Khalaf ibn Shaddâd ibn ‘Abd Allâh ibn Qurth ibn Razâh ibn ‘Adi ibn Ka’b ibn Lu’ay. Dia adalah ibu
dari Sulaiman ibn Abû Hatsamah. Ibunya bernama Fâtimah bint Abû Wahab ibn ‘Amr ibn ‘Â’id ibn ‘Umar ibn Makhzûm.
Al-Syifâ’ termasuk golongan pertama yang masuk islam, turut berhijrah ke madinah,
ikut berbaiat kepada Rasulluah SAW., dan merupakan salah satu dari sedikit
perempuan yang cerdas dan mulia pada masanya. Dikisahkan Nabi SAW pernah
memberikan bagian rumah kepada al-Syifâ’ di daerah
penambang emas, yang kemudian dia tempati bersama anaknya, Sulaimân. ‘Umar ibn al-Khaththâb pun selalu berkonsultasi dengannya, selalu mendahulukan
pendapat – pendapatnya, dan pernah menjadikannya pegawai pasar, sebagaimana
diceritakan dalam kitab al-Isti’âb.
Oleh
karena itu, al-Syifâ’ merupakan salah satu wanita hebat pada masa
itu maka banyak hal atau kegiatan yang al-Syifâ’ lakukan dan berguna bagi yang lain, seperti merupakan salah satu perawi
hadits, seorang penawar luka, Guru dari Hafshah dan al-Syifâ’ adalah seorang yang rajin solat.
Perawi Hadits
Abû Bakar dan ‘Utsmân, putra Sulaimân ibn Hatsmah, meriwayatkan sebuah
hadits dari al-Syifâ’. Dalam musnad al-imâm Ahmad disebutkan sebuah hadits ‘Abd Allâh ibn ‘Umair, dari seorang lelaki dari keluarga Abû Hatsmah,dari al-Syifâ’ bint Abd Allah berkata.”Rasulullah saw.
pernah ditanya tentang perbuatan paling muliah.” Beliau menjawab, “Iman kepada
Allah, Berjihad di jalan-Nya, dan haji yang mabrur.”
Penawar luka
Menurut riwayat ‘Utsman ibn Sulaimân ibn Hatsmah, al Syifâ’ bint ‘Abd Allâh dikenal masyarakat Jahiliah sebagai pemilik jampi – jampi penyembuh luka.
Setelah berbaiat kepada nabi saw. di makkah dan sebelum berangkat ke madinah,
al Syifâ’ pergi menemui Nabi dan berkat, “Wahai
Rasulullah, dulu saya berprofesi sebagai peruqyah, dan aku ingin menunjukkan
ruqyah itu kepadamu.” Nabi saw. lalu berkata, “Coba tunjukkan!” Al-Syifâ’ lalu mempraktikkan ruqyah (jampi – jampi penawar luka) itu. Nabi saw.
bersabda, “Meruqyahlah dengan itu dan ajarkanlah kepada Hafshah. Dengan
nama Allah, shalwun, shalbun, jabrun, aku berlindung dari mulut- mulutnya
sehingga tidak membahayakan orang. Ya Allah, hilangkanlah penyakit ini, wahai
Penguasa manusia.” Al-Syifâ membacakan jampi – jampi itu kepada minyak
kasturi sebanyak tujuh kali, lalu minyak tersebut diletakkan di wadah yang
bersih dan dicampur dengan cuka merah Tsaqif, kemudian dioleskan di atas luka.
Guru Hafshah
Dalam
Sunan Abû Dâwud disebutkan, Rasulullah saw. berkata kepada al-Syifâ’, “Ajarkanlah ruqyah al-namilah kepada Hafshah, sebagaimana
engkau mengajarkan tulis-menulis kepadanya.” Hadis ini menjadi dalil
dibolehkannya mengajarkan ilmu tulis menulis kepada kaum perempuan. Menurut Abû sulaiman al-Khaththabi, hadis ini menjadi dalil bahwa bahwa hukum belajar
tulis – menulis bagi perempuan adalah mubah, tidak makruh.[3]
2. Rahmah el-Yunusiyah
Namanya Rahmah El-Yunusiah tidak tercatat sebagai salah satu nama pahlawan
nasional. Namanya juga masih asing didengar dan belum banyak dikenal di dunia
pendidikan. Tidak semasyhur nama besar pahlawan wanita seperti Cut Nyak Dien,
Dewi Sartika, ataupun Raden Ajeng Kartini. Meskipun begitu, perjuangannya dalam
dunia pendidikan tidak dapat diragukan lagi. Sebuah nama besar seorang Rahmah
El-Yunusiah yang lahir pada tanggal 1 Rajab 1318 Hijriyah atau 20 Desember 1900
di jalan Lubuk Mata Kucing, Kanagarian, Bukit Surungan, Padang Panjang, tanah
Minangkabau. Dia anak bungsu dari lima bersaudara, yaitu Zainuddin Labay
(1890-1924 M), Mariah (1893-1972 M), Muhammad Rasyad (1895-1956 M), dan Rihanah
(1898-1968 M)3 dan Rahmah masih mempunyai saudara lain ibu, yaitu Abdus Samad,
Hamidah, Pakih Bandaro, Liah, Aminuddin, Safiah, Samihah dan Kamsiah. Ayahnya
bernama Syaikh Muhammad Yunus (1846-1906 M) yang terkenal sebagai ulama besar
dan seorang qadhi/ hakim yang ahli ilmu falak dan hisab di Pandai Sikat.
Riwayat pendidikan ayahnya, Syaikh Muhammad Yunus pernah belajar selama 4 tahun
di tanah suci Mekkah. Sedangkan ibunya bernama Rafi’ah dari keturunan suku
Sikumbang yang berasal dari negeri
Langkat, Bukittinggi Kabupaten Agam. Ibunya Rafi’ah juga masih berdarah
keturunan ulama, empat tingkat diatasnya masih ada hubungan dengan mamak Haji
Miskin, sang pembaharu gerakan Paderi. Ibunya berhijrah ke bukit Surungan
Padang Panjang pada abad XVIII M yang lalu. Dan menikah dalam usia yang masih
belia, 16 tahun sedangkan Syaikh Muhammad Yunus sudah berusia 42 tahun.
Rahmah memang berasal dari keluarga atau keturunan yang pintar – pintar
serta taat beragama. Itu semua bisa dilihat dari riwayat hidup Ayahnya, Ibunya,
Kakeknya, Kakak – kakaknya yang mana banyak yang merupakan seorang ulama -
ulama terkenal.
Karena latar belakang dirinya yang taat beragama dan aktif dalam gerakan
pembaharuan, maka hal itu menjadikan dirinya lebih peka dan kritis terhadap
lingkungan sekitar. Pada awal abad ke-20 itu, Rahmah berfikir mengenai sebuah hadits yang berarti
bahwa Wanita adalah tiang negara. Dan dengan hadits yang seperti itu maka
seharusnya perempuan juga mendapat pendidikan sama seperti p ara kaum pria. Dan
ditambah sebuah hadits lagi yang berbunyi “mencari ilmu itu wajib bagi setiap
laki – laki dan perempuan. Tapi hal itu bertentangan dengan sistem pendidikan
di tempat tinggalnya tersebut, yang mana sistem pendidikannya yang bercorak
tradisional itu tidak mendukung perempuan untuk ikut mengenyam pendidikan sama
seperti laki – laki.
Meskipun Rahmah El-Yunusiah sempat mengenyam pendidikan agama dari model
Surau, namun tetap saja perempuan memiliki keterbatasan dalam lingkungan
pendidikan ini. Perempuan tidak bisa sebebas kaum laki-laki dalam menuntut ilmu
di Surau. Meskipun dalam kebudayaan minang seorang perempuan berhak memiliki
keutamaan khusus tertentu tapi akses perempuan dalam mendapat ilmu dan
pendidikan masihlah terbatas.
Keterbatasan dalam hal akses keilmuan inilah yang nampaknya mendorong
Rahmah ikut terlibat dalam arus “pembaharuan” bagi kaum perempuan. Pijakan awal
pembaharuan yang dibawa oleh Rahmah dalam konsepnya tentang pendidikan kaum
perempuan jelas berbeda dengan asumsi dasar kaum
feminis yang menganggap bahwa kaum perempuan mengalami diskriminasi.
Kajian ilmiah modern dan data-data akurat telah mengungkapkan bahwa ibu
memegang peranan sangat penting dalam perkembangan anak-anak. Pada wilayah
inilah nampaknya Rahmah El-Yunusiah bergerak, tentu saja terlepas dari fakta
hasil kajian ilmiah modern dan data-data terkait yang baru ada setelah masa
sesudahnya. Inilah jalan pendidikan yang menjadi pemikiran Rahmah, tidak hanya
terpaku dalam kebudayaan dan tradisi masyarakatnya yang tertutup bagi perempuan
tapi bagaimana konsep pendidikan yang berdasarkan Islam dapat menyesuaikan dan
menjadi solusi untuk perkembangan pendidikan perempuan. Dipadukan lagi dengan
sistem pendidikan tradisional surau yang mulai tergantikan dengan sistem
pendidikan madrasah yang selangkah lebih modern. Dan terus ada upaya dari
Rahmah untuk melakukan pembaharuan di bidang pendidikan khususnya pendidikan
bagi perempuan.
Dilihat dari aktivitas yang dilakukannya, nampaknya Rahmah El-Yunusiah
ingin menerapkan “pembelajaran sepanjang hayat” dalam konsep pendidikan yang
digagasnya. Hal ini tercermin dalam model pendidikan yang dimulai dari masa
anak-anak sampai perguruan tinggi. Dan dari madrasah-madrasah yang dibangun dan
dikembangkannya yang dimulai dari jenjang taman kanak-kanak hingga perguruan
tinggi. Pendidikan yang tidak mengenal usia baik yang masih anak-anak maupun
yang sudah renta. Hal ini berlaku selama manusia masih bernafas maka masih
dianjurkan menuntut ilmu.[4]
3.
Khadijah binti Khuwailid
Beliau adalah Ummul Mukminin pemimpin kaum wanita seluruh alam pada
masanya. Ummul Qasim binti Khuwailid bin Asab bin Abdul Uzza bin Qushai bin
Kilab al_Quraisyiyah al-Asadiyah. Ibu anak – anak Rasulullah SAW. Orang pertama
yang beriman dan percaya kepada beliau sebelum siapapun juga.
Ia memiliki banyak sekali keutamaan,
dan termasuk diantara wanita sempurna. Ia wanita berakhlak mulia, patuh
beragama, terjaga, dan mulia. Ia termasuk salah satu penghuni surga. Nabi SAW
memuji dan melebihkannya diantara seluruh Ummahatul mukminin (istri –
istri beliau).
Memilih Nabi sebagai suami yang kala
itu miskin, sementara ia sendiri kaya raya yang menjadi incaran para lelaki
kaya dan terhormat di tengah – tengah kaumnya namun enggan menerima mereka,
sudah cukup menunjukkan kebijaksanaan dan kekuatan akal, ia tahu bahwa
kejantanan sempurna, kemuliaan sifat ksatria, dan watak yang lurus tidak berada
di dalam kekayaan materi dan harta benda yang pasti akan lenyap.
Ia mencari kekayaan jenis lain!
Kekayaan jiwa, nurani, dan
kelembutan perangai! Di mana gerangan ia bias menemukan semua itu secara
sempurna pada sosok selain Muhammad? Meski demikian, sebagian referensi
menyebut salah satu alasan Khadijah mendekati nabi SAW adalah keahlian beliau
dalam berjual beli, kejujuran, dan amanah dalam berdagang, atau factor – factor
lain seperti yang didengar Khadijah.
Namun kami sampaikan, meski faktor
tersebut menjadi salah satu penyebab wanita menginginkan lelaki—terlebih bagi
wanita berharta seperti Khadijah RA yang menginginkan seorang lelaki yang bias
memperdagangkan harta miliknya.
Mungkin pertimbangan tersebut
menjadi salah satu faktor utama yang membenarkan alasan Khadijah menikah dengan
Muhammad yang lima belas tahun lebih muda. Karena beliau kala itu berusia dua
puluh lima tahun, sementara ia sendiri berusia empat puluh tahun.
Terlebih kala itu beliau minim
harta, tidak memiliki kedudukan dan kepemimpinan. Namun Khadijah menemukan
sesuatu di balik kejujuran, amanat, keahlian dalam berdagang, dan nasab
terhormat yang membenarkan alasannya menikahi Muhammad SAW di hadapan kaumnya.
Hanya saja saat mencari tahu faktor
hakiki pernikahan sang wanita yang sudah menginjak usia empat puluh tahun ini
dengan Muhammad SAW artinya usia kematangan akal dan kedewasaan, bukan lagi
sebagai gadis dungu ataupun wanita tua yang sudah lapuk. Faktor hakiki pendorong pernikahan ini adalah upaya Khadijah
untuk mencari kejantanan sempurna. Kejantanan yang dimaksud mencakup akhlak,
sifat ksatria, kekuatan masa muda, sikap mengalah (mementingkan orang lain),
dan sifat – sifat mulia.
Muhammad SAW tidak akan mau menikah
dengan Khadijah RA meski memiliki harta benda sepenuh bumi, dan meski ia wanita
tercantik di dunia, andai saja bukan karena kekuatan akal, kecerdasan, dan
pengakuan kaumnya akan kemuliaan sifat, perilaku terpuji, menjaga diri, hati
nan lurus dan nasab terhormat yang beliau ketahui.
Karena semua alasan inilah, keinginan
Khadijah selaras dengan keinginan Muhammad SAW untuk hidup berdampingan.
Benar dugaan Muhammad SAW terkait
Khadijah, karena ia adalah seorang istri dan sandaran terbaik. Kekuatan akal
dan kecerdasannya mendorong untuk beriman kepada apa yang disampaikan Muhammad
SAW mengikuti segala perilaku keimanan dan ketaatan.
Suatu ketika, Nabi SAW pulang ke
rumah Khadijah setelah diajari Jibril tata cara shalat. Beliau kemudian
menyampaikan hal itu kepada Khadijah lalu Khadijah pun berkata, “Ajarkan
kepadaku ( tata cara shalat ) yang Jibril ajarkan kepadamu.”
Nabi SAW kemudian mengajarkan shalat
kepada Khadijah. Khadijah berwudlu seperti beliau, kemudian shalat bersama
beliau dan berkata, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah.”[5]
4.
Asma’ binti Abu Bakar
Asma’ lahir di mekah 27 tahun
sebelum kenabian. Ayahnya lebih baik dari seluruh manusia setelah para nabi dan
rasul. Ia adalah orang pertama dari sepuluh sahabat yang dijamin surge, yakni
Abu Bakar Ash-Shiddiq RA.
Suami saudarinya adalah pemimpin
orang-orang terdahulu dan kemudian, yakni Muhammad bin Abdullah SAW.
Saudarinya seayah adalah Ummul
Mukminin, yakni Aisyah RA.
Kakek dari jalur ayahnya adalah Abu
Quhafah yang masuk islam dan meraih kemuliaan mendampingi Rasulullah SAW.
Nenek dari jalur ayahnya adalah Ummul
Khair, Sulma binti Sakhr yang masuk islam dan meraih kemuliaan mendampingi
Rasulullah SAW.
Tiga bibinya adalah para sahabat
wanita, mereka adalah; Ummu Amir, Qaribah, Ummu Farwah. Mereka adalah putri –
putri Abu Quhafah.
Suaminya adalah pembela Rasulullah
SAW yang tidak lain adalah sepupu beliau. Ia satu diantara sepuluh sahabat yang
dijamin surge, dan orang pertama yang menghunus pedang di jalan Allah; Zubair
bin Awwam RA.
Anaknya adalah khalufah Abdullah bin
Zubair, salah satu panji ibadah dan jihad.
Saudara kandungnya, Abdullah, salah
satu sahabat mulia.
Saudara seayahnya,
Abdurrahman—saudara sekandung Aisyah—termasuk salah satu pemberani dan pemanah
jitu.
Oleh karena itu, ada yang
mengatakan; diantara rumah-rumah para sahabat, tidak satupun diantaranya yang
memiliki empat anggota keluarga yang semuanya melihat Nabi SAW, tidak juga
mereka semua berstatus sahabat, atau sebagian diantaranya melahirkan yang lain,
kecuali rumah Abu Bakar. Sebab Asma’, ayahnya, kakeknya, dan anaknya (Ibnu
Zubair), mereka semua selama empat generasi adalah para sahabat.
Asma’ tumbuh berkembang di rumah
ayahnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq. Abu Bakar menyatukan segala perangai baik
sehingga menjadi manusia terbaik setelah Rasulullah SAW. Asma’ tinggal di rumah
ayahnya mempelajari segala akhlak luhur darinya, dan tumbuh dewasa mencintai
keutamaan.
Diriwayatkan dari Asma’ RA, ia
berkata, “Aku membuat makanan musafir untuk Nabi SAW dan Abu Bakar saat
keduanya hendak pergi menuju Madinah. Aku kemudian berkata kepada ayahku, ‘Aku
tiak punya tali untuk mengikat rangsel selain ikat pinggangku.’ Ayah berkata,
‘Sobeklah ikat pinggangmu itu.’ Aku kemudian menyobek ikat pinggangku, karena
itulah aku disebut Dzatun Nithaqain’.”
Zubair bin Bakkar menuturkan terkait
kisah ini; Rasulullah SAW berkata kepada Asma’, “Allah mengganti ikat
pinggangmu ini dengan dua ikat pinggang di surga.” Karena itulah ia disebut Dzatun
Nithaqain.
Balasan disesuaikan dengan amal.[6]
D. Konsep al-Qur’an dan Hadis tentang Pendidikan Wanita dalam Islam
Islam adalah agama yang sangat memuliakan wanita. Aturan – aturan dalam
agama islam senantiasa memuaskan akal dan sesuai dengan fitrah manusia. Sebab,
islam lahir dari zat yang menciptakan manusia. Islam memandang bahwa
kebahagiaan dan kemuliaan seseorang tidak diukur dari materi, golongan
tertentu, ataupun kekuasaan, namun lebih kepada tingkat iman dan takwa seseorang sebagai umat
manusia. Dalam al-Qur’an serta hadis sudah banyak dijelaskan tentang masalah
pendidikan wanita. Seperti dalam surat an-Nahl yang artinya “Barang siapa yang
mengerjakan amal soleh, baik laki – laki maupun perempuandalam keadaan beriman.
Sesungguhnya akan kami berikan kepadanyakehidupan yang baik dan sesungguhnya
akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan.”
Berdeasarkan ayat tersebut maka seorang perempuan yang ingin mengajar atau
ingin belajar itu bukanlah sebuah masalah. Sebab kedua hal tersebut juga
termasuk amal soleh / baik. Seorang mengajar yang bertujuan untuk mendidik
murid – muridnya agar menjadi orang – orang yang berpendidikan itu termasuk
amal soleh, dan seseorang yang ingin belajar agar dia mendapat ilmu lebih
banyak untuk kemudian diamalkan kepada yang lain itu juga termasuk amal soleh.
Maka kurang benar jika seorang perempuan harus dibatasi dalam mengenyam
pendidikan. Karena pendidikan yang dia dapat itu yang nantinya akan membuat
seorang anak lebih nurut dan mengerti akan arti dari pendidikan.
Baca juga artikel yang lain;
- Konsep Dasar Psikologi
- Metode Kajian Psikologi
- Biografi Ibnu Thuffail
- Konsep Dasar Puasa Sunnah
- Pendidikan Wanita dalam Islam
- Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu-ilmu yang Lain
- Sejarah Pendidikan Islam
- Sejarah Perkembangan Psikologi
- Jarh wa Ta'dil
- Sosiolinguistik Amerika dan Indonesia
- Menonton Telivisi dan Pembentukan Karakter
- Budaya Membaca dan Budaya Menonton TV
[1] Isnaini, Rohmatun lukluk. “Ulama perempuan dan dedikasinya dalam pendidikan islam (Telaah Pemikiran Rahmah El-Yunusiyah)”. Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol 4, no. 1, (mei 2016)
[2] Rusydiyah, Eva Fatimatur. “PENDIDIKAN ISLAM DAN KESETARAAN GENDER
(Konsepsi Sosial tentang Keadilan Berpendidikan dalam
Keluarga)”. Jurnal pendidikan
Agama Islam. Vol 4, no. 1 (mei 2016)
[3] ‘Abd al-Qadir Manshur, Fiqh Wanita,
(jakarta: zaman, 2012) h. 71-73
[4] Isnaini, Rohmatun lukluk. “Ulama perempuan
dan dedikasinya dalam pendidikan islam (Telaah Pemikiran Rahmah El-Yunusiyah)”.
Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol 4, no. 1, (mei 2016)
[5] Mahmud AL-Mishri Abu Ammar, Shahabiyat haula Ar-rasul, (Jakarta: Ummul Qura, 2014) h.47-48
[6] Mahmud AL-Mishri Abu Ammar, Shahabiyat haula Ar-rasul, (Jakarta: Ummul Qura, 2014) h.452-456
Tidak ada komentar:
Posting Komentar