BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sesungguhnya pendidikan
adalah masalah besar dan sangat penting yang aktual sepanjang zaman, karena
pendidikan orang dapat menjadi maju, dengan bekal ilmu pengetahuan dan
teknologi manusia mampu mengolah alam yang di karuniai oleh sang pencipta yaitu
Allah Swt kepada insan di dunia, setiap insan dianjurkan untuk terus belajar
dari ayunan hingga ke liang lahad.
Berbicara mengenai
pendidikan Islam tentulah sangat luas yaitu baik pendidikan dari ruang maupun
waktu, yang di mulai dari penanaman nyawa hingga pada pencabutan nyawa, adapun
pendidikan yang di peroleh di dunia ini melalui pendidikan formal, informal dan
non formal. Bertitik tolak dari itu seperti yang kita
ketahui perkembangan pendidikan Islam di Indonesia yang penuh dengan sekelumit
persoalan dalam keberadaan di kancah persaingan globalisasi yang semakin pesat.
Yang membuka sudut pandang para pemikir pendidikan Islam mengalami perkembangan
yang tidak hanya larut dengan tuntutan keagamaan karena seseorang yang hidup
didunia harus mampu memberikan peran pada alam hidupnya, jika para pemikir
pendidikan Islam di masa klasik khususnya di Indonesia yang ironisnya ilmu itu
akan datang sendiri dengan hidayahnya konon tanpa harus mencari hanya cukup
dengan pengamalan dan pendekatan kepada sang pencipta dengan mengesampingkan
pendidikan umum.
Dengan perkembangan
pendidikan yang melaju cepat dan signifikan, yang diawali dengan pendidikan
dari keluarga, berkumpul di masjid sehingga muncul minat yang tinggi dari
masyarakat untuk mendirikan sebuah pendidikan yang berdomisili langsung di
tempat pendidikan tersebut hingga pada pengkolaborasian pendidikan keagamaan
dengan pendidikan umum yang dapat menciptakan ulama –ulama intelekual hingga
pada jenjang perguruan tinggi. Maka pada makalah ini penulis tertarik membahas
pendidikan Islam yang berkembang dan melakukan pembaharuan dimulai dari pondok
pasantren dan sekolah hingga penyatuan antara sekolah dengan pesantren di
dalam madrasah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah sistem sekolah?
2. Bagaimana sejarah sistem madrasah?
3. Bagaimana Perbedaan sistem sekolah dan madrasah?
4. Apa kelebihan dan kekurangan sistem sekolah dan madrasah?
C. Tujuan
1.
Agar mengetahui sejarah sistem
sekolah
2.
Agar mengetahui sejarah sistem
madrasah
3.
Agar mengetahui Perbedaan
sistem sekolah dan madrasah
4.
Agar mengetahui kelebihan dan
kekurangan sistem sekolah dan madrasah
A. Sejarah
Sistem
Pendidikan
Sekolah
di Indonesia
Sekolah
dapat diartikan sebagai bangunan atau lembaga tempat menyalurkan ilmu
pengetahuan. Dapat diartikan juga sebagai usaha menuntut kepandaian (ilmu
pengetahuan); pelajaran; pengajaran. Sedangkan secara khusus, sekolah agama
diartikan sebagai sekolah yang memberikan pendidikan dalam bidang keagamaan.[1]
Sekolah dalam Bahasa Inggris disebut school yang berarti sekolah. Dari
pengertian tersebut dapat diartikan bahwa pendidikan sekolah
diselenggarakan tidak hanya dikhususkan untuk mempelajari ilmu pengetahuan umum
saja. Akan tetapi sebuah usaha untuk menuntun kepandaian dan pembelajaran pada
semua aspek ilmu pengetahuan, termasuk agama.
WJS.
Poerwadarminto dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia menerangkan bahwa sekolah
adalah bangunan atau lembaga untuk belajar dan memberi pelajaran.Selain itu,
dia juga menambahkan dua makna lain dari sekolah, yaitu waktu atau pertemuan
ketika murid-murid diberi pelajaran dan usaha menuntut ilmu pengetahuan.
Sekolah
berfokus pada pendidikan formal, dengan prosedur pendidikan yang telah diatur
sedemikian rupa agar terdapat guru, siswa, jadwal pelajaran yang berpedoman
kepada kurikulum dan silabus, jam-jam tertentu waktu belajar serta dilengkapi dengan
sarana dan fasilitas pendidikan serta perlengkapan-perlengkapan dan
peraturan-peraturan lainnya.[2]
Pada
zaman kolonial pemerintah Belanda menyediakan sekolah yang beraneka ragam bagi
orang Indonesia untuk memenuhi kebutuhan berbagai lapisan masyarakat. Ciri yang
khas dari sekolah-sekolah ini ialah tidak adanya hubungan berbagai ragam
sekolah itu. Namun lambat laun terdapat suatu sistem yang menunjukkan
kebulatan. Pendidikan bagi anak-anak Indonesia semula terbatas pada pendidikan
rendah, akan tetapi kemudian berkembang secara vertikal sehingga anak-anak
Indonesia, melalui pendidikan menengah dapat mencapai pendidikan tinggi,
sekalipun melalui jalan yang sulit dan sempit. Lahirnya suatu sistem pendidikan
(sekolah) bukanlah hasil suatu perencanaan menyeluruh melainkan langkah demi
langkah melalui eksperimentasi dan didorong oleh kebutuhan praktis di bawah
pengaruh kondisi sosial, ekonomi, dan politik di Netherland maupun Hindia
Belanda.
Dapat
disimpulkan bahwa sekolah bukanlah produk sistem pendidikan asli Nusantara.
Akan tetapi merupakan warisan dan hasil reproduksi dari kolonialsime Belanda.
1. Pendidikan Sesudah Kemerdekaan
a. Kondisi
Pendidikan Periode 1945 – 1969
Pendidikan yang terendah di Indonesia sejak awal kemerdekaan yang
disebut dengan Sekolah Rakyat (SR) lama pendidikan semula 3 tahun menjadi 6
tahun. Tujuan pendirian SR adalah selain meningkatkan taraf pendidikan pada
masa sebelum kemerdekaan juga dapat menampung hasrat yang besar dari mereka
yang hendak bersekolah.
Mengingat kurikulum SR diatur sesuai dengan putusan Menteri PK & K
tanggal 19 November 1946 No 1153/Bhg A yang menetapkan daftar pelajaran SR
menekankan terhadap pelajaran Bahasa dan berhitung. Hal ini dapat telihat bahwa
dari 38 jam pelajaran seminggu, 8 jam adalah untuk bahasa Indonesia, 4 jam
untuk bahasa daerah dan 17 jam untuk berhitung (kelas IV, V dan VI). Tercatat
sejumlah 24.775 buah SR pada akhir tahun 1949 di seluruh Indonesia
1) Zaman
Revolusi Fisik Kemerdekaan
Jenjang
pendidikan disempurnakan menjadi SMTP dan SMTA dan mulai mempersiapkan sistem
pendidikan nasional sesuai dengan amanat UUD 1945. Menteri pendidikan,
pengajaran dan kebudayaan mengintruksikan agar membuang sistem pendidikan
kolonial dan mengutamakan patriotisme. Rancangan UU yang dihasilkan : UU RI no.
4 tahun 1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah.
2) Peletakan
Dasar Pendidikan Nasional
Mulai tanggal 18
Agustus 1945, sejak PPKI menetapkan UUD 1945 sebagai konstitusi negara yang
didalamnya memuat pancasila, implikasinya bahwa sejak saat itu dasar sistem
pendidikan nasional kita adalah Pancasila dan UUD 1945.
3) Demokrasi
Pendidikan
Sesuai amanat
UUD 1945 dan UU RI No. 4 tahun 1950 pemerintah mengusahakan terselenggaranya
pendidikan yang bersifat demokratis yaitu kewajiban belajar sekolah bagi anak-anak
yang berumur 8 tahun.
4) Lahirnya
LPTK pada Tingkat Universitas
Dalam rangka
meningkatkan mutu pendidikan mendorong Prof. Moh. Yamin mendirikan Perguruan
Tinggi Pendidikan Guru (PTPG). Atas dasar konferensi antar FKIP negeri seluruh
Indonesia maka lembaga pendidikan tenaga guru ( PGSLP, Kursus BI, BII, dan
PTPG) diintegrasikan dalam FKIP pada Universitas. Kemudian didirkan IKIP yang
berdiri sendiri sebagai pindahan dari PTPG sesuai dengan UU PT No. 22 tahun
1961.
5) Lahirnya
Perguruan Tinggi
Pada tanggal 4 Desember 1961 lahir UU
No. 22 tentang perguruan tinggi dengan prinsip Tridharma Perguruan Tinggi.
b. Kondisi
Pendidikan Pada Orde Baru
Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998, dan dapat dikatakan
sebagai era pembangunan nasional. Dalam bidang pembangunan pendidikan,
khususnya pendidikan dasar, terjadi suatu loncatan yang sangat signifikan
dengan adanya Instruksi Presiden (Inpres) Pendidikan Dasar. Namun, yang
disayangkan adalah pengaplikasian inpres ini hanya berlangsung dari segi
kuantitas tanpa diimbangi dengan perkembangan kualitas. Yang terpenting pada
masa ini adalah menciptakan lulusan terdidik sebanyak-banyaknya tanpa
memperhatikan kualitas pengajaran dan hasil didikan.
1) Pelaksaan
Sistem Pendidikan di Indonesia Pada Masa Orde Baru
Pelaksanaan pendidikan pada masa Orde Baru ternyata banyak menemukan
kendala, karena pendidikan Orde Baru mengusung ideologi “keseragaman” sehingga
memampatkan kemajuan dalam bidang pendidikan. EBTANAS, UMPTN, menjadi seleksi
penyeragaman intelektualitas peserta didik.
Pada pendidikan Orde Baru kesetaraan dalam pendidikan tidak dapat
diciptakan karena unsur dominatif dan submisif masih sangat kental dalam pola
pendidikan Orde Baru. Pada masa ini, peserta didik diberikan beban materi
pelajaran yang banyak dan berat tanpa memperhatikan keterbatasan alokasi
kepentingan dengan faktor-faktor kurikulum yang lain untuk menjadi peka
terhadap lingkungan.
Beberapa hal negatif lain yang tercipta pada masa ini di antaranya
a) Produk-produk
pendidikan diarahkan untuk menjadi pekerja, Sehingga berimplikasi pada
hilangnya eksistensi manusia yang hidup dengan akal pikirannya (tidak
memanusiakan manusia).
b) Lahirnya kaum
terdidik yang tumpul akan kepekaan sosial, dan banyaknya anak muda yang
berpikiran positivistik.
c) Hilangnya kebebasan
berpendapat.
Pemerintah Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto mengedepankan motto
“Membangun Manusia Indonesia Seutuhnya dan Masyarakat Indonesia”. Pada masa ini
seluruh bentuk pendidikan ditujukan untuk memenuhi hasrat penguasa, terutama
untuk pembangunan nasional.
Siswa sebagai peserta didik, dididik untuk menjadi manusia “pekerja”
yang kelak akan berperan sebagai alat penguasa dalam menentukan arah
kebijakan negara. Pendidikan bukan ditujukan untuk mempertahankan eksistensi
manusia, namun untuk mengeksploitasi intelektualitas mereka demi hasrat
kepentingan penguasa.
Yang lebih menyedihkan dari kebijakan pemerintahan Orde Baru terhadap
pendidikan adalah sistem doktrinisasi. Yaitu sebuah sistem yang memaksakan
paham-paham pemerintahan Orde Baru agar mengakar pada benak anak-anak. Bahkan
dari sejak sekolah dasar sampai pada tingkat perguruan tinggi, diwajibkan untuk
mengikuti penetaran P4 yang berisi tentang hapalan butir-butir Pancasila.
Proses indoktrinisasi ini tidak hanya menanamkan paham-paham Orde Baru,
tetapi juga sistem pendidikan masa Orde Baru yang menolak segala bentuk budaya
asing, baik itu yang mempunyai nilai baik ataupun mempunyai nilai buruk. Paham
Orde Baru yang membuat kita takut untuk melangkah lebih maju.
Dengan demikian, pendidikan pada masa Orde Baru bukan untuk meningkatkan
taraf kehidupan rakyat, apalagi untuk meningkatkan sumber daya manusia
Indonesia, tetapi malah mengutamakan orientasi politik agar semua rakyat itu
selalu patuh pada setiap kebijakan pemerintah. Bahwa putusan pemerintah adalah
putusan yang adiluhung yang tidak boleh dilanggar. Itulah doktrin Orde Baru
pada sistem pendidikan kita.
Indoktrinisasi pada masa kekuasaan Soeharto ditanamkan dari jenjang
sekolah dasar sampai pada tingkat pendidikan tinggi, pendidikan yang seharusnya
mempunyai kebebasan dalam pemikiran. Pada masa itu, pendidikan diarahkan pada
pengembangan militerisme yang militan sesuai dengan tuntutan kehidupan suasana
perang dingin .Semua serba kaku dan berjalan dalam sistem yang otoriter.
Akhirnya, kebijakan pendidikan pada masa Orde Baru mengarah pada
penyeragaman. Baik cara berpakaian maupun dalam segi pemikiran. Hal ini
menyebabkan generasi bangsa kita adalah generasi yang mandul. Maksudnya, miskin
ide dan takut terkena sanksi dari pemerintah karena semua tindakan bisa-bisa
dianggap subversif. Tindakan dan kebijakan pemerintah Orde Baru lah yang paling
benar.
Semua wadah-wadah organisasi baik yang tunggal maupun yang majemuk,
dibentuk pada budaya homogen. Bahkan partai politik pun dibatasi. Hanya tiga
partai yang berhak mengikuti Pemilu. Bukankah kebijakan ini sudah melanggar
undang-undang dasar 45 yang menjadi dasar dari berdirinya negara ini?
Namun pada waktu itu tak ada yang berani bicara. Pada masa itu tidak ada
lagi perbedaan pendapat sehingga melahirkan disiplin ilmu yang semu dan
melahirkan generasi yang latah dan penakut. Pada masa pemerintahan Orde Baru
pertumbuhan ekonomi tidak berakar pada ekonomi rakyat dan sumber daya domestik,
melainkan bergantung pada utang luar negeri sehingga menghasilkan sistem
pendidikan yang tidak peka terhadap daya saing dan tidak produktif.
Pendidikan tidak mempunyai akuntabilitas sosial karena masyarakat tidak
diikutsertakan dalam merancang sistem pendidikan karena semua serba terpusat.
Dengan demikian, pendidikan pada masa itu mengingkari pluralisme masyarakat
sehingga sikap toleransi semakin berkurang, yang ada adalah sikap egoisme.
Sebagai akibat dari kebijakan pemerintah tersebut, pendidikan yang maju
hanya di pulau Jawa sementara di daerah lain sistem pendidikannya kurang maju
karena kurangnya keberterimaan masyarakat terhadap sistem pendidikan. Akhirnya,
penerapan pendidikan tidak diarahkan pada kualitas melainkan pada kuantitas.
Hal ini menimbulkan peningkatan pengangguran dari berbagai jenjang. Banyak
lulusan, tetapi tidak punya pekerjaan. Pada masa itu akuntabilitas pendidikan
masih sangat rendah.
2) Kurikulum-kurikulum
yang digunakan pada masa Orde Baru
a) Kurikulum 1968
Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran:
kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Muatan
materi pelajaran bersifat teoritis, tidak mengaitkan dengan permasalahan
faktual di lapangan.
Pada masa ini siswa hanya berperan sebagai pribadi yang masif, dengan
hanya menghapal teori-teori yang ada, tanpa ada pengaplikasian dari teori
tersebut. Aspek afektif dan psikomotorik tidak ditonjolkan pada kurikulum ini.
Praktis, kurikulum ini hanya menekankan pembentukan peserta didik hanya dari
segi intelektualnya saja.
b) Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efektif dan
efisien berdasar MBO (management by objective). Metode,
materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem
Instruksional (PPSI), yang dikenal dengan istilah “satuan pelajaran”, yaitu
rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci
menjadi : tujuan instruksional umum (TIU), tujuan instruksional khusus
(TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan
evaluasi.
Pada kurikulum ini peran guru menjadi lebih penting, karena setiap guru
wajib untuk membuat rincian tujuan yang ingin dicapai selama proses
belajar-mengajar berlangsung. Tiap guru harus detail dalam perencanaan
pelaksanaan program belajar mengajar. Setiap tatap muka telah di atur dan dijadwalkan
sedari awal. Dengan kurikulum ini semua proses belajar mengajar menjadi
sistematis dan bertahap.
c) Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung “process skill approach”.
Proses menjadi lebih penting dalam pelaksanaan pendidikan. Peran siswa dalam
kurikulum ini menjadi mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga
melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). CBSA memposisikan
guru sebagai fasilitator, sehingga bentuk kegiatan ceramah tidak lagi ditemukan
dalam kurikulum ini.
Pada kurikulum ini siswa diposisikan sebagai subjek dalam proses belajar
mengajar. Siswa juga diperankan dalam pembentukan suatu pengetahuan dengan
diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat, bertanya, dan mendiskusikan
sesuatu.
d) Kurikulum 1994
Kurikulum 1994 merupakan hasil upaya untuk memadukan kurikulum-kurikulum
sebelumnya, terutama kurikulum 1975 dan 1984. Pada kurikulum ini bentuk opresi
kepada siswa mulai terjadi dengan beratnya beban belajar siswa, dari muatan
nasional sampai muatan lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan
daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan
lain-lain.
Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesak agar
isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Akhirnya, Kurikulum 1994 menjelma
menjadi kurikulum super padat. Siswa dihadapkan dengan banyaknya beban belajar
yang harus mereka tuntaskan, dan mereka tidak memiliki pilihan untuk menerima
atau tidak terhadap banyaknya beban belajar yang harus mereka hadapi.
Berikut rincian sistem pendidikan yang berlaku di masa itu:
1) Taman
Kanak-Kanak
Pendidikan
di TK mengalami perkembangan yang cukup mengesankan, hal ini menunjukkan bahwa
masyarakat khususnya orang tua semakin menyadari akan pentingnya pendidikan
prasekolah sebagai wahana untuk menyiapkan anak dari segi sikap, pengetahuan,
ketrampilan guna memasuki SD.
2) Pendidikan
Dasar
Prestasi yang
sangat mengesankan yang dicapai selama PJOPI ialah melonjaknya jumlah peserta
didik pada SD dan MI. Kendala yang dihadapi adalah banyaknya siswa putus
sekolah dan angka tinggal kelas cukup tinggi. Untuk meningkatkan mutu sumber
daya manusia Indonesia hingga minimal berpendidikan SLTP maka pada tanggal 2
Mei 1994 program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun dicanangkan.
3) Pendidikan
Menengah
Persoalan yang
menonjol pada SLTA umum selama pelita V adalah tentang mutu kelulusan yang
terutama diukur dari kesiapannya untuk memasuki jenjang perguruan tinggi. NEM
dan UMPTN menunjukkan keragaman dalam mutu SLTA antara sekolah dan lokasi
geografis yang berbeda-beda. Maka pada Repelita VI upaya memperbanyak jumlah SLTA Umum yang
bermutu menjadi prioritas melalui pengembangan SMU Plus yang dilakukan melalui
pengerahan peran serta masyarakat.
4) Pendidikan
Tinggi
PTN dan PTS sama-sama menghadapi tantangan
mengenai rendahnya proporsi mahasiswa yang mempelajari bidang teknologi dan
MIPA yang menimbulkan dampak negatif pada dunia kerja. Mengingat dosen memegang
peranan kunci dalam peningkatan mutu maka peningkatan kualifikasi dosen
merupakan prioritas pengembangan pendidikan tinggi di Indonesia saat ini.
5) Pendidikan
Luar Sekolah
Pembangunan pendidikan luar sekolah
diprioritaskan pada pemberantasan buta aksara melalui perluasan jangkauan kejar
paket A. Hasilnya adalah semakin menurunnya jumlah warga masyarakat yang buta
huruf.
A. Pendidikan Pada Masa Sekarang / Era Global
Memasuki abad
ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan
disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak
disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di
Indonesia. Perasaan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar.
Salah satunya
adalah memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan terbuka.
Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa
Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia
yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan
Negara lain. Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan di dalam
mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Oleh karena itu, kita
seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah
bersaing dengan sumber daya manusia di Negara-negara lain.
Setelah diamati,
nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam peningkatan mutu pendidikan di
Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik
pendidikan formal maupun informal. Dan hal itulah yang menyebabkan rendahnya
mutu pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya manusia yang mempunyai
keahlian dan keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang.
Ada banyak penyabab mengapa mutu pendidikan di Indonesia, baik pendidikan
formal maupun informal, dinilai rendah. Penyebab rendahnya mutu pendidikan yang
akan kami paparkan kali ini adalah masalah pemerataan pendidikan, masalah mutu
pendidikan, masalah efesiensi pendidikan, dan masalah relevansi pendidkan.
Indonesia sekarang menganut sistem pendidikan nasional.
Namun, sistem pendidikan nasional masih belum dapat dilaksanakan sebagaimana
mestinya. Ada beberapa sistem di Indonesia yang telah dilaksanakan, di
antaranya:
1. Sistem Pendidikan Indonesia yang
berorientasi pada nilai.
Sistem pendidikan ini telah diterapkan sejak sekolah dasar.
Disini peserta didik diberi pengajaran kejujuran, tenggang rasa, kedisiplinan,
dsb. Nilai ini disampaikan melalui pelajaran Pkn, bahkan nilai ini juga
disampaikan di tingkat pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.
2. Indonesia menganut sistem pendidikan
terbuka.
Menurut sistem pendidikan ini, peserta didik di tuntut untuk
dapat bersaing dengan teman, berfikir kreatif dan inovatif
3. Sistem pendidikan beragam.
Di Indonesia terdiri dari beragam suku, bahasa, daerah,
budaya, dll. Serta pendidikan Indonesia yang terdiri dari pendidikan formal,
non-formal dan informal.
4. Sistem pendidikan yang efisien dalam
pengelolaan waktu.
Di dalam KBM, waktu di atur sedemikian rupa agar peserta
didik tidak merasa terbebani dengan materi pelajaran yang disampaikan karena
waktunya terlalu singkat atau sebaliknya.
5. Sistem pendidikan yang disesuaikan
dengan perubahan zaman.
Dalam sistem ini, bangsa Indonesia harus menyesuaikan
kurikulum dengan keadaan saat ini. Oleh karena itu, kurikulum di Indonesia
sering mengalami perubahan / pergantian dari waktu ke waktu, hingga sekarang
Indonesia menggunakan kurikulum KTSP.
1. Kualitas pendidikan di Indonesia
saat ini
Kualitas
pendidikan di Indonesia masih menjadi perhatian. Hal ini terlihat dari
banyaknya kendala yang mempengaruhi peningkatan kualitas pendidikan di
Indonesia. Sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin
terpuruknya pendidikan di Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah
terbelakang. Namun, bagi penduduk di daerah terbelakang tersebut, yang
terpenting adalah ilmu terapan yang benar-benar dipakai buat hidup dan kerja.
Ada banyak masalah yang menyebabkan mereka tidak belajar secara normal seperti
kebanyakan siswa pada umumnya, antara lain guru dan sekolah.
Sehingga perlu diteliti dan dicermati agar
kelak bangsa Indonesia dapat meningkatkan kualitas pendidikan dengan lancar dan
dapat bersaing di Era Globalisasi.
2. Penyebab
rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia
Yang menjadi penyebab rendahnya kualitas pendidikan di
Indonesia secara umum, yaitu:
a. Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan yang efektif adalah suatu
pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah,
menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan
demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat
meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.
b. Efisiensi Pengajaran Di Indonesia
Efisien adalah bagaimana menghasilkan
efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses
pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh
hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang
kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya,
hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati.
Beberapa masalah efisiensi pengajaran
di dindonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam
proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang
efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam
peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.
c. Standardisasi Pendidikan Di Indonesia
Seperti yang kita lihat sekarang ini,
standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat hanya
keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh
standard dan kompetensi
di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk
melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi
Nasional Pendidikan (BSNP).
Peserta didik Indonesia terkadang hanya
memikirkan bagaimana agar mencapai
standar pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif
dan dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau
lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpentinga adalah memenuhi nilai
di atas standar saja.
d. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak
sekali sekolah dan
perguruan
tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar
rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar,
pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak
sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak
memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003)
menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898
siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut
sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami
kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat.
Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi
MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs,
SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
e. Rendahnya Kualitas Guru / Pengajar
Keadaan guru di Indonesia juga amat
memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai
untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003
yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian
dan melakukan pengabdian masyarakat.
f. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai
peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia.
g. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu
(rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian
prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan.
h. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih
terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan
Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan
Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4%
(28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka
Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta
siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas.
Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan
sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan
dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah
ketidakmerataan tersebut.
i. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari
banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak
tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU
sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada
periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing
tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang
Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak
memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan
tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia
kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap
keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
j.
Mahalnya Biaya
Pendidikan
3.
Solusi dari
Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah di
atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi
dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Sistem
pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi
kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan
peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan
pendidikan.
Maka sistem
kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam
yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan
pendidikan negara.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang
menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini
misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa dengan
peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan
ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan
untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa dengan
meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat
peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.
B. Sejarah Sistem Pendidikan Madrasah di Indonesia
1. Pengertian
Madrasah
Secara etimologis, kataمدرسة merupakan dari kata درس
yang berarti “tempat duduk untuk belajar”. Kata madrasah jika diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia berarti “sekolah”, dengan konotasi yang khusus, yaitu
sekolah-sekolah agama Islam. Dalam arti tempat belajar, madrasah memang berasal
dari dunia Islam. Sebagai tempat mengajarkan dan mempelajari ajaran-ajaran
agama Islam, ilmu pengetahuan dan keahlian lainnya yang berkembang pada
zamannya.[3]
Madrasah dapat dikatakan sebagai lembaga
pendidikan yang sangat menonjol dalam sejarah Islam. Madrasah merupakan
kelanjutan dari pendidikan masjid dan pendidikan di lembaga Khan, yaitu mesjid
yang dilengkapi dengan asrama. Penggunaan nama madrasah untuk lembaga
pendidikan Islam pada awal-awal Islam mempunyai pengertian yang berbeda dengan
pengertian madrasah pada masa sekarang. Pengertian madrasah pada masa klasik
Islam disebut sebagai pendidikan akademi (college). Pemberian nama
lembaga pendidikan Islam untuk berbagai jenjang dengan nama madrasah ini dapat
dipahami mengingat pemberian nama lebih cenderung pada fungsi esensialnya
sebagai lembaga pendidikan Islam, yaitu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan
Islam dan sekaligus menyebarluaskan paham keagamaan.[4]
2.
Asal – usul Madrasah di Indonesia
Madrasah yang pertama kali didirikan
di Indonesia, adalah Madrasah Adabiyah di Padang ( Sumatera Barat ), yang
didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad pada tahun 1909. Nama resminya pada masa
itu adalah Adabiyah School. Masa itu memang pengertian madrasah dan sekolah
sama saja, tetapi penggunaan istilah madrasah nampaknya belum dikenal secara
umum. Madrasah Adabiyah pada mulanya bercorak agama semata-mata, tetapi
kemudian pada tahun 1915 berubah coraknya menjadi H.I.S Adabiyah, merupakan
sekolah pertama yang memasukkan pelajaran agama kedalamnya.[5]
Setelah itu Madrasah Diniyah hampir
berkembang di seluruh Indonesia, baik merupakan bagian dari pesantren maupun
surau, atau berdiri di luarnya. Pada tahun 1916 di lingkungan Pondok Pesantren
Tebuireng Jombang (Jawa Timur), telah didirikan Madrasah Salafiyah oleh KH.
Hasyim Asy’ari, sebagai persiapan untuk melanjutkan pelajaran ke pesantren.
Pada tahun 1929 atas usaha Kyai Ilyas, diadakan pembaharuan dengan memasukan
pengetahuan umum pada madrasah tersebut. Kemudian pada tahun 1918 di Yogyakarta
berdiri Madrasah Muhammadiyah (Kweekchool Muhammadiyah) yang kemudian menjadi
Madrasah Muallimin Muhammadiyah sebagai realisasi dari cita-cita pembaharuan
pendidikan Islam yang diperoleh oleh K. H. Ahmad Dahlan.[6]
3.
Perkembangan Madrasah di Indonesia[7]
a.
Masa Penjajahan
Pada masa pemerintah kolonial
Belanda Madrasah tumbuh atas dasar semangat pembaharuan dikalangan umat Islam.
Pertumbuhan Madrasah menunjukkan adanya pola respon umat Islam yang lebih
progresif, tidak semata- mata bersifat defensif terhadap pendidikan
Hindia Belanda, kebijakan pemerintah Hindia Belanda sendiri terhadap pendidikan
Islam pada dasarnya bersifat menekan karena kekhawatiran akan timbulnya
militansi kaum muslimin terpelajar. Dalam banyak kasus sering terjadi guru-guru
agama dipersalahkan ketika menghadapi gerakan kristenisasi dengan alasan
ketertiban dan keamanan.
Madrasah pada masa Hindia Belanda
mulai tumbuh meskipun memperoleh pengakuan yang setengah-setengah dari
pemerintah Belanda. Tetapi pada umumnya madrasah- madrasah itu, baik di
Minangkabau, Jawa dan Kalimantan, berdiri semata-mata karena kreasi tokoh dan
organisasi tertentu tanpa dukungan dan legitimasi dari pemerintah.
Pemerintah Kolonial menolak
eksistensi pondok pesantren dalam sistem pendidikan yang hendak dikembangkan di
Hindia Belanda. Kurikulum maupun metode pembelajaran keagamaan yang
dikembangkan di pondok pesantren bagi pemerintah kolonial, tidak kompatibel
dengan kebijakan politik etis dan modernisasi di Hindia Belanda. Di balik itu,
pemerintah kolonial mencurigai peran penting pondok pesantren dalam mendorong
gerakan-gerakan nasionalisme dan prokemerdekaan di Hindia Belanda.
Menyikapi kebijakan tersebut,
tokoh-tokoh muslim di Indonesia akhirnya mendirikan dan mengembangkan madrasah
di Indonesia didasarkan pada tiga kepentingan utama, yaitu:
1)
Penyesuaian dengan politik
pendidikan pemerintah kolonial.
2)
Menjembatani perbedaan sistem
pendidikan keagamaan dengan sistem pendidikan modern.
3)
Agenda modernisasi Islam itu
sendiri.
Kebijakan
yang kurang menguntungkan terhadap pendidikan Islam masih berlanjut pada masa
penjajahan Jepang, meskipun terdapat beberapa modifikasi. Berbeda dengan
pemerintahan Hindia Belanda, pemerintahan Jepang membiarkan dibukanya kembali
madrasah-madrasah yang pernah ditutup pada masa sebelumnya. Namun demikian,
pemerintah Jepang tetap mewaspadai bahwa madrasah-madrasah itu memiliki potensi
perlawanan yang membahayakan bagi pendidikan Jepang di Indonesia.
Dalam
Undang- undang No. 4 tahun 1950 Jo No. 12 tahun 1954 tentang dasar-dasar
pendidikan dan pengajaran di sekolah dalam pasal 2 ditegaskan bahwa
Undang-undang ini tidak berlaku untuk pendidikan dan pengajaran di
sekolah-sekolah agama. Dan dalam pasal 20 ayat 1 disebutkan bahwa pendidikan
agama di sekolah bukan masa pelajaran wajib dan bergantung pada persetujuan
orang tua siswa. Dengan rekomendasi ini, madrasah tetap berada di luar sistem
pendidikan nasional, tetapi sudah merupakan langkah pengakuan akan eksistensi
madrasah dalam kerangka pendidikan nasional.
b.
Madrasah pada Masa Orde Lama
Madrasah pada Awal Masa Kemerdekaan.
Di awal kemerdekaan, tidak dengan sendirinya madrasah dimasukkan kedalam system
pendidikan nasional. Madrasah memang tetap hidup, tetapi tidak memperoleh
bantuan sepenuhnya dari pemerintahan. Adanya perhatian pemerintah baru
diwujudkan denagan PP No. 33 Tahun 1949 dan PP No. 8 Tahun 1950, yang
sebelumnya telah dikeluarkan peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1946, No. 7
Tahun 1952, No. 2 Tahun 1960 dan terakhir No. 3 Tahun 1979 tentang pemberian
bantuan kepada madrasah. Ditinjau dari segi jenis madrasah berdasarkan
kurikulum dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu: Madrasah Diniyah, Madrasah
SKB 3 Mentri dan Madrasah Pesantren. Madrasah Diniyah adalah suatu bentuk
madrasah yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama (diniyah).
Memasuki awal orde lama, pemerintah
membentuk departemen agama yang resmi berdiri pada Tanggal 3 Januari 1946.
Lembaga inilah yang secara intensif memperjuangkan pendidikan islam di
Indonesia. Orientasi usaha departemen agama dalam bidang pendidikan islam
bertumpu pada aspirasi umat islam agar pendidikan agama diajarkan di
sekolah-sekolah. Disamping Pada pengembangan madrasah itu sendiri.
Salah satu perkembangan madrasah
yang cukup menonjol pada masa orde lama ialah: Didirikan dan dikembangkannya
pendidikan guru agama dan pendidikan hakim islam negri. madrasah ini menandai
perkembangan yang sangat penting di mana madrasah dimaksudkan untuk mencetak
tenaga-tenaga professional keagamaan, disamping mempersiapkan tenaga-tenaga
yang siap mengembangkan madrasah.
Pada Tanggal 3 Desember 1960 keluar
ketetapan MPRS no II/MPRS/1960 tentanng “garis-garis besar pola pembangunan
nasional semesta berencana, tahapan pertama tahun 1961-1969” ketetapan ini
menyebutkan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah
mulai di sekolah rakyat sampai universitas-universitas negri dengan pengertian
bahwa murid-murid berhak tidak ikut serta, apabila wali murid atau murid dewasa
menyatakan keberatannya. Namun demikian, dalam kaitannya dengan madrasah
ketetapan ini telah memberi perhatian meskipun tidak terlalu berarti, dengan
merekomondasikan agar madrasah hendaknya berdiri sendiri sebagai badan otonom
dibawah pengawasan departemen pendidikan dan kebudayaan.
c.
Madrasah pada Masa Orde Baru
Pembinaan
Pemerintah Terhadap Madrasah
Usaha peningkatan dan pembinaan
dalam pendidikan madrasah ini kembali terwujud dengan adanya Surat Keputusan
Besama (SKB) pada tahun 1975 yang menegaskan bahwa : yang dimaksud madrasah
adalah lembaga pendidikan yang menjadikan agama
Islam sebagai mata pelajaran dasar, yang diberikan sekurang-kurangnya
30% di samping matapelajaran umum.
1)
Madarasah Ibtidaiyah setingkat
dengan pendidikan dasar.
2)
Madrsah Tsanawiyah setingkat dengan
Sekolah Menengah Pertama
3)
Madrasah Aliyah setingkat dengan
Sekolah Menengah Atas
Pembinaan dan pengembangan madrasah
versi SKB Tiga menteri terus berlangsung
dengan tujuan mencapai mutu yang dicita-citakan. Penyamaan madrasah
dengan sekolah umum tidak hanya dalam hal penjenjangan saja, namun juga dalam
hal struktur program dan kurikulum juga mengalami pembakuan dan penyeragaman
setidaknya itu diperkuat dengan terbitnya Keputusan Besama Menteri Pendidian
dan kebudayaan dengan Menteri Agama No.
0299/U/1984 dan No. 45 Tahun 1984, tentang Pengaturan Pembakuan Kurikulum
Sekolah Umum dan Kurikulum Madrasah. Perbedaan terlihat pada identitas
madrasah, yang menjadikan pendidikan dengan pelajaran agama sebagai mata
pelajaran dasar sekurang-kurangnya 30% di samping mata pelajaran umum.
Pada masa orde baru pemerintah mulai
memikirkan kemungkinan mengintegrasikan madrasah ke dalam pendidikan nasional.
Berdasarkan SKB (Surat Keputusan Bersama) tiga dimensi, yaitu Menteri Agama,
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1975,
Nomor 037/4 1975 dan Nomor 36 tahun 1975 tentang peningkatan mutu pendidikan
pada madrasah ditetapkan bahwa standar pendidikan madrasah sama dengan sekolah
umum, ijazahnya mempunyai nilai yang sama dengan sekolah umum dan lulusannya
dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas dan siswa madrasah dapat
berpindah ke sekolah umum yang setingkat. Lulusan Madrasah Aliyah dapat
melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi umum dan agama.
Pemerintah orde baru melakukan
langkah konkrit berupa penyusunan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang
sistem pendidikan nasional. Dalam konteks ini, penegasan definitif tentang
madrasah diberikan melalui keputusan-keputusan yang lebih operasional dan
dimasukkan dalam kategori pendidikan sekolah tanpa menghilangkan karakter
keagamaannya. Melalui upaya ini dapat dikatakan bahwa Madrasah berkembang
secara terpadu dalam sistem pendidikan nasional. Pada masa orde baru ini
madrasah mulai dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat mulai dari
masyarakat kelas rendah sampai masyarakat menengah keatas.
Sedangkan pertumbuhan jenjangnya
menjadi 5 (jenjang) pendidikan yang secara berturut-turut sebagai berikut :
1)
Raudatul Atfal (Bustanul Atfal).
Raudatul
Atfal atau Bustanul Atfal terdiri dari 3 tingkat :
a)
Tingkat A untuk anak umur 3-4 tahun
b)
Tingkat B untuk anak umur 4-5 tahun
c)
Tingkat C untuk anak umur 5-6 tahun
2)
Madrasah Ibtidaiyah.
Madrasah Ibtidaiyah ialah lembaga
pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran rendah serta menjadikan
mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang sekurang-kurangnya
30% disamping mata pelajaran umum.
3)
Madrasah Tsanawiyah
Madrasah Tsanawiyah ialah lembaga
pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran tingkat menengah pertama
dan menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang
sekurang-kurangnya 30% disamping mata pelajaran umum.
4)
Madrasah Aliyah
Madrasah Aliyah ialah lembaga
pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran tingkat menengah keatas
dan menjadikan mata pelajaran agama Islam. Sebagai mata pelajaran dasar yang
sekurang-kurangnya 30% disamping mata pelajaran umum. Dewasa ini Madrasah
Aliyah memiliki jurusan-jurusan : Ilmu Agama, Fisika, Biologi, Ilmu Pengetahuan
Sosial dan Budaya.
5)
Madrasah Diniyah
Madrasah Diniyah ialah lembaga
pendidikan dan pelajaran agama Islam, yang berfungsi terutama untuk memenuhi
hasrat orang tua agar anak-anaknya lebih banyak mendapat pendidikan agama
Islam. Madrasah Diniyah ini terdiri 3 tingkat :
(1)
Madrasah Diniyah Awaliyah ialah
Madrasah Diniyah tingkat permulaan dengan kelas 4 dengan jam belajar sebanyak
18 jam pelajaran dan seminggu.
(2)
Madrasah Diniyah Wusta ialah
Madrasah Diniyah tingkat pertama dengan masa belajar 2 (dua) tahun dari kelas I
sampai kelas II dengan jam belajar sebanyak 18 jam pelajaran dalam seminggu.
(3)
Madrasah Diniyah Ula ialah Madrasah
Diniyah tingkat menengah atas dengan masa belajar 2 tahun dari kelas I sampai
kelas II dengan jumlah jam pelajaran 18 jam pelajaran dalam seminggu.
Pengajaran pendidikan agama atau
Madrasah Diniyah itu banyak didominasi oleh pengajaran ala pesantren baik dari
Diniyatul Ula, Wustha, dan Ulya. Yang mungkin tidak terlepas dari ciri khas dan
sifat independen lembaga atau pesantren tersebut.
4.
Sistem dan Pengajaran di Madrasah
Sistem yang digunakan yakni
perpaduan antara system pendidikan pada pondok pesantren atau pendidikan
dilanggar dengan system yang berlaku pada sekolah-sekolah modern, merupakan
system pendidikan dan pengajaran yang dipergunakan dimadrasah. Proses perpaduan
tersebut berlangsung secara berangsur-angsur, mulai dan mengikuti system klasikal. System pengajian
kitab yang selama ini dilakukan, diganti dengan kitab-kita yang lama. Sementara
itu kenaikan tingkat pun ditentukan oleh penguasaan terhadap sejumlah bidang
pelajaran.
Dikarenakan pengaruh dari ide-ide
pembaharuan yang berkembang didunia Islam dan kebangkitan nasional bangsa
Indonesia, sedikit demi sedikit pelajaran umum masuk kedalam kurikulum
madrasah. Buku-buku pelajaran agam mulai disusun khusus sesuai dengan tingkatan
madrasah, sebagaimana halnya dengan buku-buku pengetahuan umum. Bahkan kemudian
lahirlah madrasah, sebagaimana halnya dengan buku-buku pengetahuan umum yang
berlaku disekolah-sekolah umum. Bahkan kemudian lahirlah madrasah-madrasah yang
mengikuti system penjenjangan dan bentuk-bentuk sekolah modern, seperti
Madrasah Ibtidaiyah sama dengan Sekolah Dasar, Madrasah Tsanawiyah sama dengan
sekolah Menengah Pertama, dan Madrasah Aliyah sama dengan sekolah Menengah
Atas.
Perkembangan berikutnya,
pengadaptasian tersebut demikian terpadunya, sehingga boleh dikatakan hampir
kabur perbedaannya, kecuali pada kurikulum dan nama madrasah yang diambil
dengan nama Islam. Kurikulum madrasah dan sekolah-sekolah agama, masih
mempertahankan agama sebagai mata pelajaran pokok, walaupun dengan persentase
yang berbeda. Pada waktu pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini
Kementerian Agama mulai mengadakan pembianaan dan pengembangan terhadap system
pendidikan madrasah melalui kementerian Agama, merasa perlu menentukan kriteria
madrasah. Kriteria yang ditetapkan oleh Menteri Agama untuk madrasah-madrasah
yang berada dalam wewenangnya adalah harus memberikan pelajaran agama sebagai
mata pelajaran pokok, paling sedikit 6 jam seminggu.
Pengetahuan umum yang diajarkan di
madrasah adalah:
a.
Membaca dan menulis (huruf Latin)
Bahasa Indonesia
b.
Berhitung
c.
Ilmu Bumi
d.
Sejarah Indonesia dan Dunia
e.
Olahraga dan Kesehatan
Selain mata pelajaran agama dan
Bahasa Arab serta yang disebutkan diatas, juga diajarkan berbagai keterampilan
sebagai bekal para lulusanya terjun dimasyarakat.
C. Perbedaan Sistem Sekolah dan Madrasah
1. Sistem Sekolah
Sistem pendidikan formal pada umumnya
dianut oleh seluruh negara yang ada didunia, bahkan sistem pendidikan formal
bersifat wajib dalam hal ini adalah bentuk pemaksaan atau keharusan bagi setiap
anak yang dimaksud telah dianut oleh sebagian besar negara didunia. Sebagai
contoh Indonesia sendiri memiliki program pendidikan Wajar 9 tahun atau wajib
belajar 9 tahun.
Sistem pendidikan formal di setiap
negara hampir sama dalam hal tingkatan pendidikan, tetap dibagi menjadi tiga
bagian utama yakni pendidikan dasar (elementary), pendidikan menengah (High
School) dan Perguruan tinggi. Selain sekolah-sekolah inti, siswa di negara
tertentu juga mungkin memiliki akses dan mengikuti sekolah-sekolah baik sebelum
dan sesudah pendidikan dasar dan menengah. TK atau pra-sekolah menyediakan
sekolah beberapa anak-anak yang sangat muda (biasanya umur 3-5 tahun).
Universitas, sekolah kejuruan, perguruan tinggi atau seminari mungkin tersedia
setelah sekolah menengah. Sebuah sekolah mungkin juga didedikasikan untuk satu
bidang tertentu, seperti sekolah ekonomi atau sekolah tari. Alternatif sekolah
dapat menyediakan kurikulum dan metode non-tradisional.
Sekolah adalah bentuk tanggung jawab
pemerintah yang tujuannya adalah melanjutkan kehidupan bangsa dan negara agar
dapat mengatasi tantangan dan masalah yang dihadapi oleh negara. Oleh
karenanya, sekolah haru didesain sedemikian rupa agar produk keluaran dari
sekolah dapat digunakan untuk saat ini dan dapat juga mengatasi masalah yang
akan datang.
Ada juga sekolah non-pemerintah, yang
disebut sekolah swasta. Sekolah swasta mungkin untuk anak-anak dengan kebutuhan
khusus ketika pemerintah tidak bisa memberi sekolah khusus bagi mereka;
keagamaan, seperti sekolah Islam, sekolah Kristen, hawzas, yeshivas dan
lain-lain, atau sekolah yang memiliki standar pendidikan yang lebih tinggi atau
berusaha untuk mengembangkan prestasi pribadi lainnya. Sekolah untuk orang
dewasa meliputi lembaga-lembaga pelatihan perusahaan dan pendidikan dan
pelatihan militer.
Saat ini, kata sekolah berubah arti
menjadi: merupakan bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta
tempat menerima dan memberi pelajaran. Sekolah dipimpin oleh seorang Kepala
Sekolah. Kepala sekolah dibantu oleh wakil kepala sekolah. Jumlah wakil kepala
sekolah di setiap sekolah berbeda tergantung dengan kebutuhannya. Bangunan
sekolah disusun meninggi untuk memanfaatkan tanah yang tersedia dan dapat diisi
dengan fasilitas yang lain. Ketersediaan sarana dalam suatu sekolah mempunyai
peran penting dalam terlaksananya proses pendidikan.
Ukuran dan jenis sekolah bervariasi
tergantung dari sumber daya dan tujuan penyelenggara pendidikan. Sebuah sekolah
mungkin sangat sederhana di mana sebuah lokasi tempat bertemu seorang pengajar
dan beberapa peserta didik, atau mungkin, sebuah kompleks bangunan besar dengan
ratusan ruang dengan puluhan ribu tenaga kependidikan dan peserta didiknya.
Berikut ini adalah sarana prasarana yang sering ditemui pada institusi yang ada
di Indonesia, berdasarkan kegunaannya:
a.
Ruang
Belajar
Ruang belajar adalah suatu
ruangan tempat kegiatan belajar mengajar dilangsungkan. Ruang belajar terdiri
dari beberapa jenis sesuai fungsinya yaitu :
1)
Ruang kelas atau ruang
Tatap Muka, ruang ini berfungsi sebagai ruangan tempat siswa menerima pelajaran
melalui proses interaktif antara peserta didik dengan pendidik, ruang belajar
terdiri dari berbagai ukuran, dan fungsi. Sistem kelas terbagi 2 jenis yaitu
kelas berpindah (moving class) dan kelas tetap.
2)
Ruang Praktik/Laboratorium
ruang yang berfungsi sebagai ruang tempat peserta didik menggali ilmu
pengetahuan dan meningkatkan keahlian melalui praktik, latihan, penelitian,
percobaan. Ruang ini mempunyai kekhususan dan diberi nama sesuai kekhususannya
tersebut, diantaranya:
a) Laboratorium
Fisika/Kimia/Biologi,
b) Laboratorium
bahasa,
c) Laboratorium
komputer,
d) Ruang
keterampilan
b.
Ruang
Kantor
Ruang kantor adalah suatu
tempat dimana tenaga kependidikan melakukan proses administrasi sekolah
tersebut, pada institusi yang lebih besar ruang kantor merupakan sebuah gedung
yang terpisah.
c.
Perpustakaan
Sebagai satu institusi yang
bergerak dalam bidang keilmuan, maka keberadaan perpustakaan sangat penting.
Untuk meminjam buku, murid terlebih dahulu harus mempunyai kartu peminjaman
agar dapat meminjam sebuah buku.
d.
Halaman /
Lapangan
Merupakan area umum yang mempunyai berbagai
fungsi diantaranya:
1)
tempat upacara
2)
tempat olahraga
3)
tempat kegiatan luar
ruangan
4)
tempat latihan
5)
tempat bermain/beristirahat
e.
Lain-lain
1)
Kantin/cafetaria
2)
Ruang organisasi peserta didik
(OSIS, Pramuka, Senat Mahasiswa, dll)
3)
Ruang Komite
4)
Ruang keamanan
5)
Ruang produksi, penyiaran
dll.
6)
Ruang Unit Kesehatan
Sekolah (UKS)
Di Indonesia, sekolah menurut statusnya dibagi
menjadi 2 macam yaitu:
·
Sekolah negeri, yaitu
sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah, mulai dari sekolah dasar, sekolah
menengah pertama, sekolah menengah atas, dan perguruan tinggi.
·
Sekolah swasta, yaitu
sekolah yang diselenggarakan oleh non-pemerintah/swasta, penyelenggara berupa
badan berupa yayasan pendidikan yang sampai saat ini badan hukum penyelenggara
pendidikan masih berupa rancangan peraturan pemerintah.[8]
2. Sistem Madrasah
Lembaga pendidikan islam bentuk madrasah sudah ada sejak
agama islam berkembang di Indonesia. Madrasah itu tumbuh dan berkembang dari
bawah dalam arti masyarakat yang di dasari oleh rasa tanggung jawab untuk
menyampaikan ajaran islam kepada generasi penerus. Oleh karena itu madrasah
pada waktu itu lebih di tekankan pada pendalaman-pendalaman ilmu Islam.
Madrasah dalam bentuk ini tercatat dalam sejarah bahwa keberadaannya telah
berperan serta dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Setelah kemerdekaan RI
pemerintah mengambil langkah-langkah untuk mengadakan penyempurnaan dan
peningkatan mutu pendidikan madrasah sejalan dengan laju perkembangan dan
aspirasi masyarakat.[9]
Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa pada periode H.A
Mukti Ali (Mantan Menteri Agama RI), ia menawarkan konsep alternative
pengembangan madrasah melalui kebijakan SKB 3 menteri yang berusaha
mensejajarkan kualitas madrasah dengan non madrasah, dengan porsi kurikulum 70%
umum dan 30% agama. Pada periode Menteri Agama Munawir Sadzali menawarkan
konsep Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK). Dan pada periode Menteri Agama RI
H.Tarmizi Taher menawarkan konsep madrasah sebagai sekolah umum yang berciri
khas agama islam, yang sedang berjalan hingga sekarang. Dengan munculnya SKB 3
menteri pada tahun 1975 tentang “Peningkatan Mutu Pendidikan Madrasah” ,
rupanya masyarakat mulai memahami eksistensi madrasah tersebut dalam konteks
pendidikan nasional. Di dalam bab II pasal 2 di nyatakan bahwa:
a.
Ijazah madrasah dapat
mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat.
b.
Lulusan madrasah dapat
melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas.
c.
Siswa madrasah dapat pindah
ke sekolah umum setingkat.[10]
Sistem pendidikan madrasah mulai tersebar di
mana-mana sistem itu terbagi menjadi dua, yaitu: mdrasah yang khusus memberikan
pendidikan dan pengajaran agama disebut madrasah diniyah kemudian madrasah yang
di samping memberikan pengajaran agama juga memberi pelajaran umum. Untuk
tingkat dasar disebut madrasah ibtidaiyah, untuk tingkat menengah pertama
disebut madrasah tsanawiyah, dan untuk tingkat menengah atas disebut madrasah
aliyah.
Didorong oleh keinginan memberi bekal pada anak-anak agar
dapat menyesuaikan diri dalam dunia modern maka selain di madrasah diajarkan
agama seperti di atas juga diajarkan ilmu pengetahuan umum.
Perlu pemberian pengetahuan umum pada lembaga-lembaga
pendidikan agama nampak menjadi satu kebutuhan yang mendesak sejalan dengan
pembangunan yang semakian meningkat sejalan dengan kemajuan yang telah dicapai,
maka dari itu agar lulusan sekolah agama khususnya madrasah dapat menyesuaiakan
diri di alam yang telah maju maka timbul usaha dari pihak pemerintah untuk lebih
meningkatkan mutu madrasah ini agar sejajar dengan sekolah umum yang sederajat.
Untuk mencapai tujuan itu di keluarkanlah SKB3M surat
keputusan 3 menteri yaitu menteri agama, menteri P dan K dan menteri dalam
negeri mengenai peningkatan mutu madrasah.
Berdasarkan SKB3M ini, pengetahuan umum dan pengetahua
agama di berikan di madrasah berbanding 70% (umum) dan 30% (agama). Adapun
tujuan pokok dari SKB3M ini agar mutu pengetahuan umum di madrasah sama
dengan di sekolah umum sederajat, oleh karena itu ijazah dari madrasah
disamakan dengan ijazah sekolah umum yang sederajat yaitu ijazah madrasah
ibtidaiyah= SD, madrasah tsanawiyah= SMP madrasah aliyah= SMA.[11]
Madrasah tumbuh berkembang di tengah masyarakat dan tetap
eksis di tengah gelombang modernisasi dan globalisasi dan dapat menyaingi
sekolah-sekolah umum. Salah satu faktornya adalah karakteristik madrasah di
lihat dari muatan materi pelajaran yang di ajarkan lebih bernuansa keagamaan.
Karakteristik inilah yang kemudian dipupuk, dikembangkan dan dipertahankan
sampai sekarang.
D. Kelebihan Sistem Madrasah
1. Tinjauan
historis
Madrasah tumbuh dan berkembang dari, oleh dan untuk
rakyat (masyarakat), berbeda dengan sistem pendidikan sekolah. Hal ini terbukti
bahwa jumlah madrasah swasta lebih banyak daripada sekolah (hampir 80%), belum
lagi madrasah swasta yang dinegerikan oleh pemerintah (Depag RI, 2000). Hal ini
membuktikan bahwa peran serta masyarakat pada madrasah sangat tinggi, karena
masyarakat Islam mempunyai beban moral dan kewajiban pada generasi penerusnya untuk
mendidik dan membinanya agar terwujud anak sholeh baik dalam lingkungan
keluarga dan masyarakat.
Penyelenggaraan madrasah didasari oleh faktor
teologis yang mendalam bahwa, “Barang siapa yang memberi kemudahan jalan
mencari ilmu maka Allah akan memudahkan jalan menuju surga”, sehingga tidak
terdengar madrasah yang gulung tikar sebagaimana yang terjadi pada sekolah umum
(Sholeh, 2004: 72).
2. Tinjauan
Subject matter
Pendidikan Agama Islam (PAI) pada sekolah-sekolah
umum hanya diajarkan dua jam pelajaran dalam satu minggu, namun pada madrasah
terinci menjadi beberapa mata pelajaran sepetri Qur’an Hadist, Fiqih, Aqidah
Akhlak, Bahasa Arab dan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Pemecahan mata
pelajaran pendidikan agama Islam pada madrasah diharapkan mampu memperkuat
keimanan dan ketaqwaan pada Tuhan Yang Maha Esa (Allah), sehingga tujuan
pendidikan Islam dapat terwujud yakni membentuk manusia seutuhnya atau
kepribadian muslim.
E. Kekurangan Sistem Madrasah
1. Kesenjangan
antara madrasah negeri dengan madrasah swasta. Ada perbedaan perlakuan yang
diberikan untuk madrasah negeri dan swasta. Pemberian bantuan pendidikan untuk
madrasah swasta selalu dinomor-duakan. Contohnya saja, dalam hal pemberian
beasiswa baik untuk siswa maupun untuk guru. Sarana dan prasarana pun masih
kurang memadai.
2. Hambatan
terbesar yang dihadapi madrasah adalah rendahnya kualitas proses pendidikan
yang ada didalamnya. Hal ini terjadi karena aspek manajemen, aspek kurikulum
dan aspek kualitas tenaga pendidiknya yang dinilai masih rendah. Persoalan yang
dihadapi madrasah terutama pada pencapaian mutu dipicu karena tidak
terpenuhinya standar-standar tertentu, seperti infrastruktur, pendidik dan
tenaga kependidikan, kurikulum, calon siswa, proses pembelajaran, dan manajemen
kelembagaannya. Pendirian madrasah sering kurang mempertimbangkan pemenuhan
aspek mutu baik standar pelayanan pendidikan maupun standar nasional
pendidikan.[12]
3. Beban
kurikulum di madrasah yang cukup berat. Kurikulum yang diterapkan di madrasah
adalah 100% kurikulum sekolah umum ditambah dengan kurikulum berciri khas
agama. Mata pelajaran keislaman menjadi tambahan dengan proporsi sepenuhnya
diserahkan kepada madrasah dan persentasi kurikulumnya 100% agama dan 100% umum
(Arief, 2012:257). Hal ini mengakibatkan beban belajar siswa madrasah lebih
berat dibandingkan dengan siswa sekolah umum.
F. Kelebihan Sistem Sekolah
1.
Kurikulum di sekolah pada umumnya berorientasi pada penguasaan ilmu
pengetahuan, material dan fisikal.[13]
2.
Mampu bersaing dengan tuntutan percepatan kelimuan Global.
3.
Pendidikan yang berbasis kognitif.
4.
Metode pembelajaran yang di tawarkan sangat beragam tidak hanya itu
strategi pembelajaran muali dari Quantum Learning, CTL, SCL, Aktive Learning
dll.
G. Kekurangan Sistem Sekolah
1. Berkaitan
dengan mutu lulusan dari sekolah secara umum mereka kurang matang dalam
pemahaman keagamaan, karena memang porsi jam mata pelajaran agama mereka sangat
terbatas.
2. Di
sekolah umum masih banyak ditemukan guru yang mengajar tanpa melengkapi
perangkat pembelajaran yang dibutuhkan dan juga masih menggunakan metode
konvesional. Selain itu terkait penerapan kurikulum 2013 banyak guru yang belum
bisa menerapkan model pembelajaran berupa tematik-integratif, pendekatan
saintifik, strategi aktif dan juga masih kesulitan dalam menerapkan penilaian
autentik.[14]
Baca juga artikel yang lain;
- Konsep Dasar Psikologi
- Metode Kajian Psikologi
- Konsep Dasar Puasa Sunnah
- Menonton Telivisi dan Pembentukan Karakter
- Budaya Membaca dan Budaya Menonton TV
- Perbedaan Sekolah dan Madrasah
- Gejala Kejiwaan Manusia
- Penelitian Kuantitatif
- Memiliki Wawasan dan Kreatifitas Dalam Pemilihan Metode, Media dan Alat Evaluasi Pembelajaran PAI
- Konsep Dasar Statistik Pendidikan
- Data Statistik Pendidikan
[1] Mohammad Ali, “Pengembangan Pendidikan
Islam di Sekolah,” dalam http://www.ispi.or.id/2010/09/19/pengembangan-pendidikan-agama-islam-di-sekolah/, diakses tgl 09 Maret 2020, 17.21 WIB.
[2] Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenda Media Group, 2007), 63.
[3] http://afifulikhwan.blogspot.com/2010/01/lahir-dan-berkembangnya-madrasah-di.html
(diakses pada 10 maret 2020 pukul 15.10).
[4]
Ninik Masrorah dan Umiarso, Modernisasi Pendidikan Islam Ala Azyumardi Azra
(Jakarta: Ar Ruzz Media, 2011), 129.
[5] Mahmud Yunus, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1985), 63.
[6] Hasbullah, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, Lintasan Sejarah, Pertumbuhan dan Perkembangan (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1995), 169.
[7] http://marifudin.wordpress.com/2011/06/18/sejarah-madrasah-di-indonesia/
(diakses pada 12 Maret 2020 pukul 13.15).
[8]
https://www.eurekapendidikan.com/2015/02/pengertian-dan-sejarah-sistem-sekolah.html?m=1
(diakses pada hari Kamis tanggal 12 Maret 2020 pukul 21.45).
[9]
M.
arifin, kapita selekta pendidikan (Jakarta: bumi aksara,
2000). h. 107-108.
[10]
Muhaimin, wacana
pengembangan pendidikan islam (Surabaya: pusat studi agama, 2003). h.
175.
[11]
Zuhairini,dkk, sejarah
pendidikan islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011) h. 226-231.
[12] Dr. Minnah El Widdah, M.Ag., Dr.
Asep Suryana, M.Pd., dkk, KEPEMIMPINAN BERBASIS NILAI DAN PENGEMBANGAN MUTU
MADRASAH, (Bandung: Alfabeta, 2012), h. 5.
[13] Ahmad Janan Asifuddin, Mengungkit
Pilar-Pilar Pendidikan Islam, (Yogyakarta: SUKA –Press UIN Sunan Kalijaga,
2010), h. 172.
[14] Fata Asyrofi Yahya, PROBLEM MANAJEMEN PESANTREN, SEKOLAH, MADRASAH: PROBLEM MUTU DAN KUALITAS INPUT-PROSES-OUTPUT, Jurnal El-Tarbawi, Vol. 8 No.1, 2015, h. 111.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar