HOME

26 Februari, 2022

Argumentasi Kehujjahan Hadis

Argumentasi Kehujjahan Hadis

Al-Qur’an dan Hadis disepakati untuk dijadikan sumber hukum walaupun kedudukannya berbeda. Kemudian, ada beberapa masalah yang muncul dalam hadis, apakah seluruh hadis ini bisa dijadikan hujjah?. Oleh karenanya sebelum membicarakan hadis manakah yang bisa dijadikan hujjah, ada baiknya mengetahui kehujjahan hadis itu sendiri. Ada beberapa alasan yang telah dijelaskan di bawah ini: 

a.    Argumentasi rasional

Sebagai utusan Allah SWT, tugas Nabi Muhammad SAW adalah menyampaikan wahyu kepada umat manusia. Adakalanya isi dan formulasinya sama seperti yang diwahyukan adakalanya dengan inisiatif sendiri tetapi tidak lepas dari bimbingan ilham Tuhan. Tidak jarang pula beliau berijtihad sendiri tanpa adanya wahyu maupun ilham. Hasil ijtihad tersebut berlaku hingga ada nash yang menghapusnya.[1] Jika seluruh umat Islam telah meyakini kerasulan Nabi Muhammad SAW maka wajib baginya untuk mematuhi segala peraturan yang di perintahkan olehnya.[2]

        b.      Argumentasi al-Qur’an

Banyak firman Allah SWT yang menyebutkan agar umat manusia mentaati  Rasulullah saw dan ajaran yang dibawanya. Seperti beberapa ayat di bawah ini:

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ[3]

Dan Kami telah menurunkan alquran kepadamu agar engkau menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan mudah-mudahan mereka memikirkan.[4]

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Wahai orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan ulil amri diantara kalian. Jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah SWT (al-Qur’an) dan Rasulullah SAW (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.[5]

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا[6]

Barang siapa mentaati Rasulullah SAW maka sesungguhnya dia telah mentaati Allah. Dan barang siapa berpaling, maka Kami tidak mengutusmu (Muhammad SAW) untuk menjadi pemelihara mereka.[7]

 

Ayat-ayat di atas menjelaskan agar umat manusia mentaati Rasulullah SAW yaitu mengikuti seluruh ajaran-ajarannya. Sudah menjadi tugas seorang utusan utuk menyampaikan segala ajaran dari Allah SWT yang termaktub dalam al-Qur’an baik dengan lisan ataupun perbuatan. Rasulullah SAW perlu menjelaskan isi dari al-Qur’an karena didalamnya banyak yang menggunakan makna global.[8]

c.     Argumentasi Sunah

Beberapa sabda Rasulullah SAW menyebutkan agar umatnya selalu berpegang teguh dengan sunahnya selain al-Qur’an. Diantaranya:

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ، تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ[9]

Tetaplah kalian pada sunnahku dan sunah al-Khulafa’ al-Rashidun yang telah mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dengan gigi gerahammu.

Selain menyuruh agar mentaati ajarannya, Rasulullah SAW juga mencela orang yang meninggalkan sunahnya seperti sabdanya:

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حَنْبَلٍ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ النُّفَيْلِيُّ، قَالَا: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي النَّضْرِ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي رَافِعٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :لَا أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيكَتِهِ يَأْتِيهِ الْأَمْرُ مِنْ أَمْرِي مِمَّا أَمَرْتُ بِهِ أَوْ نَهَيْتُ عَنْهُ فَيَقُولُ لَا نَدْرِي مَا وَجَدْنَا فِي كِتَابِ اللَّهِ اتَّبَعْنَاه[10]

Diceritakan oleh Ahmad Ibn Muhammmad Ibn Hanbal dan ‘Abd Allah Ibn Muhammad al-Nufailiyyu, mereka berkata: Sufyan menceritakan kepada kami dari Abi al-Nadr dari ‘Ubaid Allah Ibn Abi Rafi‘ dari ayahnya dari Rasulullah SAW. Ia berkata “Pastilah hampir ada seseorang di antara kamu yang duduk bersandar di tempat duduknya, yang datang kepadanya sebagian perkaraku, yang aku diperintahkan atau dilarang, lalu berkata: aku tidak tahu. Apa yang bisa kami temukan di dalam Kitabullah akan kami ikuti. (H. R. Abu Daud)

d.    Argumentasi ijma’

Semasa hidup Rasulullah SAW, para sahabat mengerjakan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang. Setelah Rasulullah SAW wafat pun, mereka tetap berpegang teguh pada sunahnya ketika menghadapai masalah yang tidak ditemukan dalam al-Qur’an.[11] Bahkan seluruh umat Islam sepakat menjadikan hadis sebagai sumber hukum setelah al-Qur’an. Selain itu, mereka semangat untuk mempelajarinya, menghafal dan menyebarkannya seperti para sahabat sehingga sunah hadis Nabi SAW sampailah kepada umat sesudahnya.[12] Allah SWT juga mengukuhkan bahwa Nabi hanya menyampaikan apa yang telah diwahyukan kepadanya. Seperti firman Allah SWT:

قُلْ لَا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلَا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَى إِلَيَّ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الْأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَفَلَا تَتَفَكَّرُون[13]

Katakanlah: aku tidak mengatakan kepadamu bahwa pembendaharaan Allah ada padaku, dan pula aku tidak mengetahuiyang gaib dan tidak pula aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah apakah sama orang yang buta dan yang melihat? Maka apakah kamu tidak memikirkannya?.[14]

 

Golongan yang Menolak Kehujjahan Hadis

Ada sebagian kelompok orang yang tidak menerima kehujjahan hadis. Golongan tersebut hanya menggunakan al-Qur’an sebagai sumber hukum dengan alasan bahwa al-Qur’an telah cukup untuk dijadikan rujukan. Ada beberapa alasan, antara lain:

a.    Firman Allah SWT yang telah terhimpun dalam al-Qur’an telah mencakup seluruh persoalan agama sehingga tidak membutuhkan penjelas seperti hadis Rasulullah SAW. Jika membutuhkan yang lain berarti Allah SWT telah melupakan sesuatu yang seharusnya disebutkan dalam al-Qur’an.[15] Adapun firman tersebut adalah:

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ[16]

Dan Kami telah turunkan kitab Allah (al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri (muslim).[17]

b.    Seandainya hadis memang bisa dijadikan hujjah, pasti Rasulullah saw telah memerintahkan untuk menulisnya agar terpelihara seperti halnya al-Qur’an. Jika demikian, maka bisa diterima oleh kaum muslimin secara pasti (qat‘i) karena yang masih bersifat zanny tidak bisa dijadikan hujjah.[18]

M. M Azami di dalam bukunya Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya mengatakan bahwa tidak semua orang yang dianggap menolak sunah dikatakan bahwa mereka ingkar sunah. Misalnya, kelompok Khawarij yang masih memprioritaskan hadis daripada qiyas. Sejak Dari masa lalu sudah ada sebagian orang yang menolak hadis namun hilang sekitar akhir abad ketiga. Golongan yang menolak sunah ini muncul kembali pada abad ketiga belas hijriyah karena pengaruh penjajahan Barat.[19]

 

Kehujjahan Hadis Ahad dan Mutawatir

Kehidupan Rasulullah SAW baik itu ketetapan, keputusan maupun perintah bersifat mengikat dan patut untuk diteladani. Bahkan M. Azami menyatakan bahwa kedudukan tersebut adalah mutlak, tidak bergantung pada penerimaan masyarakat, opini ahli hukum atau pakar-pakar tertentu.[20]

Kendati demikian, para ulama tidak menerima seluruh hadis untuk dijadikan hujjah namun mereka menyeleksi hadis-hadis tersebut. Oleh karenanya perlu diketahui kehujjahan dari hadis mutawatir dan hadis ahad.

a.    Hadis mutawatir

1)   Definisi hadis mutawatir

ما رواه عدد كثير تحيل العادة تواطئهم على الكذب[21]

Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang menurut adat tidak mungkin sepakat untuk berdusta.

 

2)   Syarat-syarat hadis mutawatir

a)    Khabar yang dibawa oleh perawi harus berdasarkan penglihatan atau pendengaran sendiri.

b)   Jumlah rawi harus banyak (ada yang mengatakan 4 orang, 10 orang, 20 orang dan sebagainya).

c)    Para periwayat hadis menurut adat tidak dimungkinkan untuk berbohong.

d)   Adanya keseimbangan jumlah rawi disetiap tingkatan.[22]

3)   Pembagian hadis mutawatir

a)    Mutawatir bi al-lafzi

Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi dengan susunan redaksi dan maknanya sesuai dengan benar antara satu riwayat dengan riwayat yang lain.

b)   Mutawatir bi al-ma‘na

Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi dengan beragagam redaksi tetapi memiliki makna yang sama.[23]

4)   Hukum hadis mutawatir

Hadis mutawatir memberi manfaat ilmu daruri yang harus diterima seluruhnya, tanpa harus meneliti para periwayatnya.[24]

b.    Hadis ahad

1)   Definisi hadis ahad

ما لم يجمع شروط المتواتر[25]

Hadis yang tidak mencapai syarat mutawatir.


2)   Klasifikasi hadis ahad

a)    Hadis mashhur

Hadis yang disetiap tabaqah diriwayatkan oleh tiga orang tau lebih (tidak mencapai mutawatir)

b)   Hadis ‘aziz

Hadis yang disetiap tabaqahnya diriwayatkan tidak kurang dari dua orang

c)    Hadis gharib

Hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi.[26]


3)   Kehujjahan hadis ahad

Terbaginya hadis ahad menjadi tiga hanya pada pembagian banyaknya rawi. Sedangkan tentang kehujjahnnya bergantung pada kualitas hadis yang terbagi menjadi tiga lagi yakni hadis sahih, hasan dan da‘if:

Pertama, Hadis sahih menurut Ibn Salah seperti yang dikutip Ahmad Izzan adalah hadis yang sanadnya bersambung melaui periwayatan orang yang adil dan dabit dari orang yang adil dan dabit pula sampai ujungnya, tidak shadh dan tidak ada cacat.[27]

Kedua, Hadis hasan adalah sanadnya bersambung yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan tingkat ke-dabit-annya di bawah hadis sahih juga tidak ada kejanggalan serta tidak ada cacat.[28]

Ketiga, Hadis da‘if adalah hadis yang kehilangan satu atau lebih dari syarat-syarat hadis sahih atau hasan.[29]

Adapun kehujjahan dari ketiganya akan dijelaskan sebagai berikut:

a)    Ke-hujjah-an hadis sahih

Ulama Usul dan para ahli fikih berpendapat bahwa seluruh hadis yang berkualitas sahih harus diamalkan karena, hadis sahih bisa dijadikan hujjah sebagai dalil syara’. Maksud hadis sahih disini ialah hadis yang sanad dan matannya berkualitas sahih sebab banyak peneliti yang memvonis sahih setelah meneliti sanadnya saja padahal menurut Muhammad Zuhri matan juga perlu diteliti agar terhindar dari kecacatan dan kejanggalan.[30] Sebagaimana ulama hadis berpendapat bahwa suatu hadis dinilai sahih tidak bergantung pada banyaknya sanad. Suatu hadis dinilai sahih kalau sanad dan matn-nya sahih, walaupun rawinya hanya seorang saja pada tiap-tiap tabaqat.[31]

b)   Ke-hujjah-an hadis hasan

Istilah hadis hasan dipopulerkan oleh Imam al-Tirmidhi dan status hadis hasan dibawah hadis sahih. Hal ini dikarenakan perbedaan tingkat kecermatan periwayat[32] tetapi, tanggapan ulama tentang kehujjahan hadis hasan sama halnya dengan hadis sahih yakni dapat dijadikan hujjah. Ada sebagian ulama semisal al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah yang mengutamakan hadis sahih daripada hadis hasan dengan alasan bahwa status hadis sahih sudah jelas dibandingkan hadis hasan. Sikap ini adalah bentuk kehatia-hatian mereka dalam mengambil hadis untuk dijadikan dalil hukum.[33]

c)    Ke-hujjah-an hadis da‘if

Para ulama sepakat untuk mengambil hadis sahih dan hadis hasan sebagai dalil hukum syara’ meskipun mereka masih memperdebatkan penempatan urutannya. Sebagian ulama hadis ada yang membedakan urutan antara keduanya, ada pula yang memasukkannya dalam satu kelompok yakni dimasukkan dalam kategori hadis sahih.[34] Begitu pula terhadap kehujjahan hadis da‘if, para ulama berbeda pendapat. Pertama, larangan secara mutlak untuk mengambil hadis da‘if sebagai hujjah walaupun hanya untuk member sugesti seperti penapat yang dikemukan oleh Abu Bakar Ibn al-‘Arabi. Kedua, dibolehkannya mengamalkan hadis da’if tetapi hanya sebatas untuk memberi sugesti, menerangkan keutamaan sebuah amalan, dan cerita-cerita yang tidak untuk menetapkan suatu hukum. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani tetapi dengan catatan;[35] Hadis tersebut tidak terlalu lemah, Dasar amalan yang terdapat dalam hadis tersebut bisa dibenarkan oleh dasar hadis yang dapat diamalkan (sahih dan hasan), Ketika mengamalkannya tidak beri’tikad bahwa hadis tersebut benar-benar bersumber dari Nabi.


Baca juga artikel yang lainya:


DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zainul. Studi Kitab Hadis. Surabaya: al-Muna, 2010.
Azami, M. M. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. Terj. Mustafa Ali Yaqub. tt: Pustaka Firdaus,             2000.
Metodologi Kritik Hadis, Terj.  A. Yamin (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996.
Bukhary (al), Muhammad Ibn Isma‘il Abu ‘Abd Allah. Sahih al-Bukhary. Juz. 8. tk: Dar Tuq al-Najah,         1442 H.
al-Jami’ al-Sahih, Juz. 3 (Kairo: al-Maktabah al-Salafiyah, 1400 H.
Hamadah, ‘Abbas Mutawalli. al-Sunnah al-Nabawiyah wa Makanatuhu fi al-Tashri‘. Kairo: Dar al-                Qawmiyyah, t.th.
‘Itr, Nuruddin. ‘Ulumul hadis. Terj. Mujiyo. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014.
Izzan, Ahmad, dan Saifuddin Nur. Ulumul Hadis. Bandung: Humaniora, 2011.
Kahlany (al), Muhammad Ibn Isma’il Ibn Salah Ibn Muhammad al-Hasany. Subul al-Salam. Juz. 2. t.t:         Dar al-Hadith, t.th.
Khathib (al), M. Ajaj. Hadits Nabi Sebelum dibukukan. Terj. AH. Akrom Fahmi. Jakarta: Gema Insani             Press, 1999.
Khathib (al), M. ‘Ajjaj. Ushul Al-Hadits, Pokok-pokok Ilmu Hadits. Terj. M. Qodirun dan Ahmad                 Musyafiq. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998.
Mudasir. Ilmu Hadis. Bandung: Pustaka Setia, 2005.
Naisabury (al), Abi al-Husain Muslim Ibn al-Hajjaj al-Qushairy. Sahih Muslim. Riyadh: Dar Taibah,             2006.
PL, M. Noor Sulaiman. Antologi Ilmu Hadis. Jakarta: Gaung Persada Press. 2008
Rahman, Fatchur. Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Bandung: al-Ma’arif, 1974.
Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadits. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Sijistany (al), Abi Daud Sulaiman Ibn al-Ash‘ath. Sunan Abi Daud. Riyadh: Maktabah al-Ma‘arif li al-            Nashri wa al-Tauzi‘, t.th.
Shiddieqy (ash), Teungku Muhammad Hasbi. Sejarah & pengantar Ilmu Hadits. Semarang: Pustaka                 Rizki Putra, 2009.
Sumbulah, Umi. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN-Maliki Press, 2010.
Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta: Rajawali Press, 2014.
Tahhan, Mahmud. Taisir Mustalah al-Hadith. tt: Markaz al-Huda li al-Dirasat, 1405 H.
Qardhawi, Yusuf. Studi Kritik as-Sunah. Terj. Bahrun Abu bakar. Cet. 1. Bandung: Trigenda Karya,                 1995.
Qazwini (al), Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Yazid. Sunan ibn Majah. juz. II. tt: Dar Ihya’ al-Kutub             al-‘Arabiyah. t.th.
Yuslem, Nawir. Ulumul Hadis. Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001.
Zahw, Muhammad Abu. al-Hadith wa al-Muhaddithun. Mesir: Matba‘ah Misra, t.th.
Zuhri, Muhammad. Hadis Nabi; Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,             2003.
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, Special for Women. Bandung: Syamil al-                    Qur’an, t.th.

[1] Ahmad Izzan dan Saifuddin Nur, Ulumul Hadis (Bandung: Humaniora, 2011), 28.

[2] Rahman, Ikhtisar Mushthalahul, 61.

[3] Al-Qur’an, 16:44.

[4] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Special for Women (Bandung: Syamil al-Qur’an, t. th),272.

[6] Ibid., 4: 80.

[7] Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, 91.

[8] M. M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (tt: Pustaka Firdaus, 2000), 27.

[9] al-Sijistany, Sunan Abi, 832. Diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dari Ahmad Ibn Hanbal dari al-Walid Ib Muslim dari Thaur Ibn Yazid dari Khalid Ibn Ma‘dan dari ‘Abd al-Rahman Ibn ‘Amr al-Sulamy dan Hujr Ibn Hujr.

[10] Ibid., 831.

[11] Rahman, Ikhtishar Mushthalahul,  62.

[12] Izzan, Ulumul Hadis, 27.

[13] Al-Qur’an, 6: 50.

[14] Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, 133.

[15] Rahman, Ikhtishar Mushthalahul, 63.

[16] Al-Qur’an, 16: 89.

[17] Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, 277.

[18] Rahman, Ikhtishar Mushthalahul, 63.

[19] Azami, Hadis Nabawi, 45-46.

[20]Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadis, terj.  A. Yamin (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), 24.

[21] Mahmud Tahhan, Taisir Mustalah al-Hadith (tt: Markaz al-Huda li al-Dirasat, 1405 H), 21.

[22] Ibid., 21-22.

[23] Izzan, Ulumul Hadis, 147.

[24] Tahhan, Taisir Mustalah, 22.

[25] Ibid., 23.

[26] Ibid., 24-27.

[27] Izzan, Ulumul Hadis, 149.

[28] Ibid., 152.

[29] Ibid., 155.

[30]Muhammad Zuhri, Hadis Nabi; Telaah Historis dan Metodologis (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003), 91.

[31] Rahman, Ikhtishar Mushthalahul, 119.

[32] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001), 229.

[33] Ibid., 233.

[34] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), 173.

[35] Ibid., 230.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...