Argumentasi Kehujjahan Hadis
Al-Qur’an
dan Hadis disepakati untuk dijadikan sumber hukum walaupun kedudukannya
berbeda. Kemudian, ada beberapa masalah yang muncul dalam hadis, apakah seluruh
hadis ini bisa dijadikan hujjah?. Oleh karenanya sebelum membicarakan
hadis manakah yang bisa dijadikan hujjah, ada baiknya mengetahui kehujjahan
hadis itu sendiri. Ada beberapa alasan yang telah dijelaskan di bawah ini:
a.
Argumentasi
rasional
Sebagai
utusan Allah SWT, tugas Nabi Muhammad SAW adalah menyampaikan wahyu kepada umat
manusia. Adakalanya isi dan formulasinya sama seperti yang diwahyukan
adakalanya dengan inisiatif sendiri tetapi tidak lepas dari bimbingan ilham
Tuhan. Tidak jarang pula beliau berijtihad sendiri tanpa adanya wahyu maupun
ilham. Hasil ijtihad tersebut berlaku hingga ada nash yang menghapusnya.[1]
Jika seluruh umat Islam telah meyakini kerasulan Nabi Muhammad SAW maka wajib
baginya untuk mematuhi segala peraturan yang di perintahkan olehnya.[2]
b.
Argumentasi
al-Qur’an
Banyak
firman Allah SWT yang menyebutkan agar umat manusia mentaati Rasulullah saw dan ajaran yang dibawanya.
Seperti beberapa ayat di bawah ini:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ[3]
Dan Kami telah menurunkan alquran kepadamu agar engkau menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan mudah-mudahan mereka memikirkan.[4]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Wahai orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya)
dan ulil amri diantara kalian. Jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu
maka kembalikanlah kepada Allah SWT (al-Qur’an) dan Rasulullah SAW (sunahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama dan lebih baik akibatnya.[5]
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا[6]
Barang siapa
mentaati Rasulullah SAW maka sesungguhnya dia telah mentaati Allah. Dan barang
siapa berpaling, maka Kami tidak mengutusmu (Muhammad SAW) untuk menjadi
pemelihara mereka.[7]
Ayat-ayat
di atas menjelaskan agar umat manusia mentaati Rasulullah SAW yaitu mengikuti
seluruh ajaran-ajarannya. Sudah menjadi tugas seorang utusan utuk menyampaikan
segala ajaran dari Allah SWT yang termaktub dalam al-Qur’an baik dengan lisan
ataupun perbuatan. Rasulullah SAW perlu menjelaskan isi dari al-Qur’an karena
didalamnya banyak yang menggunakan makna global.[8]
c.
Argumentasi
Sunah
Beberapa sabda Rasulullah SAW menyebutkan agar umatnya selalu berpegang teguh dengan sunahnya selain al-Qur’an. Diantaranya:
فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِي
وَسُنَّةِ
الْخُلَفَاءِ
الْمَهْدِيِّينَ
الرَّاشِدِينَ،
تَمَسَّكُوا
بِهَا
وَعَضُّوا
عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِذِ[9]
Tetaplah kalian pada sunnahku dan sunah al-Khulafa’ al-Rashidun yang telah mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dengan gigi gerahammu.
Selain menyuruh agar mentaati ajarannya, Rasulullah
SAW juga mencela orang yang meninggalkan sunahnya seperti sabdanya:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حَنْبَلٍ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ النُّفَيْلِيُّ، قَالَا: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي النَّضْرِ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي رَافِعٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :لَا أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيكَتِهِ يَأْتِيهِ الْأَمْرُ مِنْ أَمْرِي مِمَّا أَمَرْتُ بِهِ أَوْ نَهَيْتُ عَنْهُ فَيَقُولُ لَا نَدْرِي مَا وَجَدْنَا فِي كِتَابِ اللَّهِ اتَّبَعْنَاه[10]
Diceritakan oleh Ahmad Ibn Muhammmad Ibn Hanbal dan ‘Abd
Allah Ibn Muhammad al-Nufailiyyu, mereka berkata: Sufyan menceritakan kepada
kami dari Abi al-Nadr dari ‘Ubaid Allah Ibn Abi Rafi‘ dari ayahnya dari
Rasulullah SAW. Ia berkata “Pastilah hampir ada seseorang di antara kamu yang
duduk bersandar di tempat duduknya, yang datang kepadanya sebagian perkaraku,
yang aku diperintahkan atau dilarang, lalu berkata: aku tidak tahu. Apa yang
bisa kami temukan di dalam Kitabullah akan kami ikuti. (H. R. Abu Daud)
d.
Argumentasi
ijma’
Semasa hidup
Rasulullah SAW, para sahabat mengerjakan apa yang diperintahkan dan menjauhi
apa yang dilarang. Setelah Rasulullah SAW wafat pun, mereka tetap berpegang
teguh pada sunahnya ketika menghadapai masalah yang tidak ditemukan dalam
al-Qur’an.[11]
Bahkan seluruh umat Islam sepakat menjadikan hadis sebagai sumber hukum setelah
al-Qur’an. Selain itu, mereka semangat untuk mempelajarinya, menghafal dan
menyebarkannya seperti para sahabat sehingga sunah hadis Nabi SAW sampailah
kepada umat sesudahnya.[12]
Allah SWT juga mengukuhkan bahwa Nabi hanya menyampaikan apa yang telah
diwahyukan kepadanya. Seperti firman Allah SWT:
قُلْ لَا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلَا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَى إِلَيَّ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الْأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَفَلَا تَتَفَكَّرُون[13]
Katakanlah: aku tidak mengatakan kepadamu bahwa pembendaharaan
Allah ada padaku, dan pula aku tidak mengetahuiyang gaib dan tidak pula aku
mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang
diwahyukan kepadaku. Katakanlah apakah sama orang yang buta dan yang melihat?
Maka apakah kamu tidak memikirkannya?.[14]
Golongan
yang Menolak Kehujjahan Hadis
Ada
sebagian kelompok orang yang tidak menerima kehujjahan hadis. Golongan
tersebut hanya menggunakan al-Qur’an sebagai sumber hukum dengan alasan bahwa
al-Qur’an telah cukup untuk dijadikan rujukan. Ada beberapa alasan, antara
lain:
a.
Firman Allah
SWT yang telah terhimpun dalam al-Qur’an telah mencakup seluruh persoalan agama
sehingga tidak membutuhkan penjelas seperti hadis Rasulullah SAW. Jika
membutuhkan yang lain berarti Allah SWT telah melupakan sesuatu yang seharusnya
disebutkan dalam al-Qur’an.[15]
Adapun firman tersebut adalah:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ[16]
Dan Kami telah turunkan kitab Allah (al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri (muslim).[17]
b.
Seandainya
hadis memang bisa dijadikan hujjah, pasti Rasulullah saw telah
memerintahkan untuk menulisnya agar terpelihara seperti halnya al-Qur’an. Jika
demikian, maka bisa diterima oleh kaum muslimin secara pasti (qat‘i) karena
yang masih bersifat zanny tidak bisa dijadikan hujjah.[18]
M.
M Azami di dalam bukunya Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya
mengatakan bahwa tidak semua orang yang dianggap menolak sunah dikatakan bahwa
mereka ingkar sunah. Misalnya, kelompok Khawarij yang masih memprioritaskan
hadis daripada qiyas. Sejak Dari masa lalu sudah ada sebagian orang yang
menolak hadis namun hilang sekitar akhir abad ketiga. Golongan yang menolak
sunah ini muncul kembali pada abad ketiga belas hijriyah karena pengaruh penjajahan
Barat.[19]
Kehujjahan
Hadis Ahad dan Mutawatir
Kehidupan
Rasulullah SAW baik itu ketetapan, keputusan maupun perintah bersifat mengikat
dan patut untuk diteladani. Bahkan M. Azami menyatakan bahwa kedudukan tersebut
adalah mutlak, tidak bergantung pada penerimaan
masyarakat, opini ahli hukum atau pakar-pakar tertentu.[20]
Kendati
demikian, para ulama tidak menerima seluruh hadis untuk dijadikan hujjah
namun mereka menyeleksi hadis-hadis tersebut. Oleh karenanya perlu diketahui kehujjahan
dari hadis mutawatir dan hadis ahad.
a. Hadis mutawatir
1) Definisi hadis mutawatir
ما رواه عدد كثير تحيل العادة تواطئهم على الكذب[21]
Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah
perawi yang menurut adat tidak
mungkin sepakat untuk
berdusta.
2) Syarat-syarat hadis mutawatir
a) Khabar yang dibawa oleh perawi
harus berdasarkan penglihatan atau pendengaran sendiri.
b) Jumlah rawi harus banyak (ada
yang mengatakan 4 orang, 10 orang, 20 orang dan sebagainya).
c) Para periwayat hadis menurut adat
tidak dimungkinkan untuk berbohong.
d) Adanya keseimbangan jumlah rawi
disetiap tingkatan.[22]
3) Pembagian hadis mutawatir
a) Mutawatir bi al-lafzi
Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi dengan susunan redaksi dan maknanya sesuai dengan benar antara satu riwayat dengan
riwayat yang lain.
b) Mutawatir bi al-ma‘na
Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi dengan beragagam redaksi
tetapi memiliki makna yang sama.[23]
4) Hukum hadis mutawatir
Hadis mutawatir memberi manfaat ilmu daruri yang harus diterima seluruhnya, tanpa harus meneliti para periwayatnya.[24]
b. Hadis ahad
1)
Definisi hadis ahad
ما لم يجمع شروط المتواتر[25]
Hadis yang tidak mencapai syarat mutawatir.
2)
Klasifikasi hadis ahad
a)
Hadis mashhur
Hadis yang disetiap tabaqah diriwayatkan oleh tiga orang
tau lebih (tidak mencapai mutawatir)
b)
Hadis ‘aziz
Hadis yang disetiap tabaqahnya diriwayatkan tidak kurang
dari dua orang
c)
Hadis gharib
Hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi.[26]
3) Kehujjahan hadis ahad
Terbaginya hadis ahad
menjadi tiga hanya pada pembagian banyaknya rawi. Sedangkan tentang kehujjahnnya
bergantung pada kualitas hadis yang terbagi menjadi tiga lagi yakni hadis sahih,
hasan dan da‘if:
Pertama, Hadis sahih
menurut Ibn Salah seperti yang dikutip Ahmad Izzan adalah hadis yang
sanadnya bersambung melaui periwayatan orang yang adil dan dabit
dari orang yang adil dan dabit pula sampai ujungnya, tidak shadh
dan tidak ada cacat.[27]
Kedua, Hadis hasan adalah
sanadnya bersambung yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan tingkat
ke-dabit-annya di bawah hadis sahih juga tidak ada kejanggalan
serta tidak ada cacat.[28]
Ketiga, Hadis da‘if
adalah hadis yang kehilangan satu atau lebih dari syarat-syarat hadis sahih
atau hasan.[29]
Adapun kehujjahan dari
ketiganya akan dijelaskan sebagai berikut:
a) Ke-hujjah-an
hadis sahih
Ulama Usul dan para ahli fikih berpendapat bahwa
seluruh hadis yang berkualitas sahih harus diamalkan karena, hadis sahih
bisa dijadikan hujjah sebagai dalil syara’. Maksud hadis sahih
disini ialah hadis yang sanad dan matannya berkualitas sahih sebab banyak
peneliti yang memvonis sahih setelah meneliti sanadnya saja padahal menurut
Muhammad Zuhri matan juga perlu diteliti agar terhindar dari kecacatan
dan kejanggalan.[30]
Sebagaimana ulama hadis berpendapat bahwa suatu hadis dinilai sahih
tidak bergantung pada banyaknya sanad. Suatu hadis dinilai sahih kalau
sanad dan matn-nya sahih, walaupun rawinya hanya seorang saja
pada tiap-tiap tabaqat.[31]
b) Ke-hujjah-an
hadis hasan
Istilah hadis hasan dipopulerkan oleh Imam
al-Tirmidhi dan status hadis hasan dibawah hadis sahih. Hal ini
dikarenakan perbedaan tingkat kecermatan periwayat[32]
tetapi, tanggapan ulama tentang kehujjahan hadis hasan sama
halnya dengan hadis sahih yakni dapat dijadikan hujjah. Ada sebagian ulama semisal al-Hakim, Ibnu Hibban, dan
Ibnu Khuzaimah yang mengutamakan hadis sahih daripada hadis hasan
dengan alasan bahwa status hadis sahih sudah jelas dibandingkan hadis hasan.
Sikap ini adalah bentuk kehatia-hatian mereka dalam mengambil hadis untuk
dijadikan dalil hukum.[33]
c) Ke-hujjah-an
hadis da‘if
Para ulama sepakat untuk mengambil hadis sahih dan hadis hasan sebagai dalil hukum syara’ meskipun mereka masih memperdebatkan penempatan urutannya. Sebagian ulama hadis ada yang membedakan urutan antara keduanya, ada pula yang memasukkannya dalam satu kelompok yakni dimasukkan dalam kategori hadis sahih.[34] Begitu pula terhadap kehujjahan hadis da‘if, para ulama berbeda pendapat. Pertama, larangan secara mutlak untuk mengambil hadis da‘if sebagai hujjah walaupun hanya untuk member sugesti seperti penapat yang dikemukan oleh Abu Bakar Ibn al-‘Arabi. Kedua, dibolehkannya mengamalkan hadis da’if tetapi hanya sebatas untuk memberi sugesti, menerangkan keutamaan sebuah amalan, dan cerita-cerita yang tidak untuk menetapkan suatu hukum. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani tetapi dengan catatan;[35] Hadis tersebut tidak terlalu lemah, Dasar amalan yang terdapat dalam hadis tersebut bisa dibenarkan oleh dasar hadis yang dapat diamalkan (sahih dan hasan), Ketika mengamalkannya tidak beri’tikad bahwa hadis tersebut benar-benar bersumber dari Nabi.
- Pengertian Hadis, Sunnah, Khabar, & Atsar
- Pengertian & Bentuk-Bentuk Hadist
- Hadist Tentang Keringanan Siksa Abu Lahab Setiap Hari Senin
- Perang Khandaq
- Tata Cara Ruqyah
- Cara Menyikapi Hadis Rasulullah SAW
- Teori Kesahihan Hadist
- Argumentasi Kehujjahan Hadis
- Fungsi Hadis Terhadap Al-Qur'an
- Sejarah Perkembangan Hadis
- Pengertian, Objek, Dan Kegunaan Ilmu Hadist
- Pembagian & Cabang Ilmu Hadist
- Sejarah Pertumbuhan & Penghimpunan Ilmu Hadist
- Kitab-Kitab Ilmu Hadist
[1] Ahmad Izzan dan Saifuddin Nur, Ulumul Hadis (Bandung: Humaniora, 2011), 28.
[2] Rahman, Ikhtisar Mushthalahul, 61.
[3] Al-Qur’an, 16:44.
[4] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Special for Women (Bandung: Syamil al-Qur’an, t. th),272.
[6] Ibid., 4: 80.
[7] Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, 91.
[8] M. M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (tt: Pustaka Firdaus, 2000), 27.
[9] al-Sijistany, Sunan Abi, 832. Diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dari Ahmad Ibn Hanbal dari al-Walid Ib Muslim dari Thaur Ibn Yazid dari Khalid Ibn Ma‘dan dari ‘Abd al-Rahman Ibn ‘Amr al-Sulamy dan Hujr Ibn Hujr.
[10] Ibid., 831.
[11] Rahman, Ikhtishar Mushthalahul, 62.
[12] Izzan, Ulumul Hadis, 27.
[13] Al-Qur’an, 6: 50.
[14] Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, 133.
[15] Rahman, Ikhtishar Mushthalahul, 63.
[16] Al-Qur’an, 16: 89.
[17] Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, 277.
[18] Rahman, Ikhtishar Mushthalahul, 63.
[19] Azami, Hadis Nabawi, 45-46.
[20]Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadis, terj. A. Yamin (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), 24.
[21] Mahmud Tahhan, Taisir Mustalah al-Hadith (tt: Markaz al-Huda li al-Dirasat, 1405 H), 21.
[22] Ibid., 21-22.
[23] Izzan, Ulumul Hadis, 147.
[24] Tahhan, Taisir Mustalah, 22.
[25] Ibid., 23.
[26] Ibid., 24-27.
[27] Izzan, Ulumul Hadis, 149.
[28] Ibid., 152.
[29] Ibid., 155.
[30]Muhammad Zuhri, Hadis Nabi; Telaah Historis dan Metodologis (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003), 91.
[31] Rahman, Ikhtishar Mushthalahul, 119.
[32] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001), 229.
[33] Ibid., 233.
[34] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), 173.
[35] Ibid., 230.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar