HOME

28 April, 2022

Muhammad Hasyim Asy'ari

 


Hadratussyaikh Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy'ari adalah seorang ulama besar bergelar pahlawan nasional dan merupakan pendiri sekaligus Rais Akbar (pimpinan tertinggi pertama) Nahdlatul Ulama. Beliau memiliki julukan Hadratussyaikh yang berarti Maha Guru dan telah hafal Kutubus Sittah (Hadits 6 Riwayat), serta memiliki gelar Syaikhul Masyayikh yang berarti Gurunya Para Guru.[1] Beliau adalah putra dari pasangan KH. Asy'ari dengan Nyai Halimah, dilahirkan di Desa Tambakrejo, Jombang, Jawa Timur, dan memiliki anak bernama KH. A Wahid Hasyim yang merupakan salah satu pahlawan nasional perumus Piagam Jakarta, serta cucunya yakni KH. Abdurrahman Wahid, merupakan Presiden RI ke-4.

 

Keluarga

Sejak masa kecil, Kiai Hasyim Asy'ari hidup dalam lingkungan pesantren dan bahkan ayah beliau adalah pendiri pesantren yang masih populer hingga saat ini yakni Pesantren Keras, Diwek, Jombang. Sedangkan kakeknya dari jalur ibu (Kiai Utsman) dikenal sebagai pendiri Pesantren Gedang, dan kakek ibunya yang bernama Kiai Shihah dikenal luas sebagai pendiri dan pengasuh Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang.

Pada umur lima tahun Kiai Hasyim berpindah dari Gedang ke desa Keras, sebuah desa di sebelah selatan kota Jombang karena mengikuti ayah dan ibunya yang sedang membangun pesantren baru. Di sini, Kiai Hasyim menghabiskan masa kecilnya hingga berumur 15 tahun, sebelum akhirnya, meninggalkan Keras dan menjelajahi berbagai pesantren ternama saat itu hingga ke Makkah.

Kiai Hasyim menikah dengan Nyai Nafisah, salah seorang putri Kiai Ya’qub (Siwalanpanji, Buduran, Sidoarjo) pada tahun 1892 M. Tidak lama kemudian, Kiai Hasyim bersama istri dan mertuanya berangkat ke Makkah guna menunaikan ibadah haji. Bersama Nyai Nafisah, Kiai Hasyim melanjutkan tinggal di Makkah untuk menuntut ilmu. Tujuh bulan kemudian, Nyai Nafisah menninggal dunia setelah melahirkan seorang putra bernama 'Abdullah dan 40 hari kemudian, Abdullah menyusul ibu ke rahmatullah. Kematian dua orang yang sangat dicintainya itu, membuat Kiai Hasyim sangat terpukul. Kiai Hasyim akhirnya memutuskan tidak berlama-lama di Tanah Suci dan kembali ke Indonesia setahun kemudian.

Setelah beliau menduda, Kiai Hasyim menikah lagi dengan seorang gadis anak Kiai Romli dari desa Karangkates, Mojo, Kediri bernama Nyai Khadijah. Pernikahannya dilakukan sekembalinya dari Makkah pada tahun 1899 M. Pernikahannya dengan istri kedua juga tidak bertahan lama, karena dua tahun kemudian (1901), Nyai Khadijah wafat.

Untuk ketiga kalinya, Kiai Hasyim menikah lagi dengan perempuan nama Nyai Nafiqah, anak Kiai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan, Dagangan, Madiun dan dianugerahi 10 anak, yaitu: Hannah, Khoiriyah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid, Abdul Hakim, Abdul Karim, Ubaidillah, Mashurah, dan Muhammad Yusuf. Perkawinan Kiai Hasyim dengan Nyai Nafiqah juga berhenti di tengah jalan, karena Nyai Nafiqah wafat pada tahun 1920 M.

Sepeninggal Nyai Nafiqah, Kiai Hasyim memutuskan menikah lagi dengan Nyai Masrurah, putri Kiai Hasan yang juga pengasuh Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari hasil perkawinan keempatnya ini, Kiai Hasyim memiliki empat orang anak: Abdul Qadir, Fatimah, Khadijah, dan Muhammad Ya’qub. Perkawinan dengan Nyai Masrurah ini merupakan perkawinan terakhir bagi Kiai Hsyim hingga akhir hayatnya.

 

Pendidikan

KH. Hasyim Asy'ari dikenal sebagai tokoh yang haus akan pengetahuan agama Islam. Sejak masa kecilnya, Kiai Hasyim pergi menimba ilmu ke berbagai pondok pesantren terkenal di Jawa Timur saat itu. Tidak hanya itu, Kiai Hasyim juga menghabiskan waktu cukup lama untuk mendalami Islam di tanah suci (Makkah dan Madinah).

Karena berlatarbelakang keluarga pesantren, Kiai Hasyim secara serius dididik dan dibimbing mendalami pengetahuan Islam oleh ayahnya sendiri dalam jangka yang cukup lama yakni sejak anak-anak hingga berumur lima belas tahun. Melalu ayahnya, Kiai Hasyim mulai mengenal dan mendalami Tauhid, Tafsir, Hadits, Bahasa Arab, dan bidang kajian islam lainnya. Dalam bimbingan ayahnya, kecerdasan Kiai Hasyim cukup menonjol. Belum genap berumur 13 tahun, Kiai Hasyim telah mampu menguasai berbagai bidang kajian islam dan dipercaya membantu ayahnya mengajar santri yang lebih senior.

Belum puas atas pengetahuan yang didapatkan dari ayahnya, Kiai Hasyim mulai menjelajahi beberapa pesantren. Mula-mula, Kiai Hasyim belajar di pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian berpindah ke Pesantren Langitan, Tuban. Merasa belum cukup, Kiai Hasyim melanjutkan pengembaraan ilmunya ke Pesantren Tenggilis, Surabaya, dan kemudian berpindah ke Pesantren Kademangan, Bangkalan yang saat itu diasuh oleh Kiai Kholil. Setelah dari pesantren Kiai Kholil, Kiai Hasyim melanjutkan di Pesantren Siwalanpanji, Buduran, Sidoarjo yang diasuh oleh Kiai Ya’qub. Selama 3 tahun Kiai Hasyim berhasil mendalami berbagai bidang kajian islam, terutama tata bahasa arab, sastra, fiqh, dan tasawuf kepada Kiai Kholil. Sementara di bawah bimbingan Kiai Ya’qub, beliau berhasil mendalami ilmu tauhid, fiqih, Adab, tafsir, dan hadits.

Atas nasehat dan saran Kiai Ya’qub, Kiai Hasyim akhirnya meninggalkan tanah air untuk berguru pada ulama-ulama masyhur di Makkah sambil menunaikan ibadah haji untuk kali kedua. Di Makkah, Kiai Hasyim berguru pada Syaikh Ahmad Amin al-Attar, Sayyid Sultan bin Hasyim, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Attas, Syaikh Sa’id al-Yamani, Sayyid Alawi bin Ahmad al-Saqaf, Sayyid 'Abbas Maliki, Sayyid Abdullah al-Zawawi, Syaikh Salih Bafadal, dan Syaikh Sultan Hasim Dagastana, Syaikh Shuayb bin Abd al-Rahman, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Rahmatullah, Sayyid Alwi al-Saqaf, Sayyid Abu Bakr Shata al-Dimyati, dan Sayyid Husayn al-Habshi yang saat itu menjadi mufti di Makkah. Selain itu, Kiai Hasyim juga menimba pengetahuan dari Syaikh Ahmad Khatib Minangkabawi, Syaikh Nawawi al-Bantani, dan Syaikh Mahfuz al-Tarmas.

 

Presatasi belajar Kiai Hasyim yang menonjol, membuatnya kemudian juga memperoleh kepercayaan untuk mengajar di Masjidil Haram. Beberapa ulama terkenal dari berbagai negara tercatat pernah belajar kepadanya. Di antaranya ialah Syaikh Sa’dullah al-Maimani, Syaikh Umar Hamdan, Syekh Shihan Ahmad bin Abdullah, KH. Abdul Wahab Hasbullah (Tambakberas, Jombang), KH. R. Asnawi (Kudus), KH. Dahlan (Kudus), KH. Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), dan KH. Saleh (Tayu).

Sejak masih di Makkah, Kiai Hasyim sudah memiliki ketertarikan tersendiri dengan thariqah. Bahkan beliau juga sempat mempelajari dan mendapat ijazah tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah melalui salah melalui salah satu gurunya yakni Syaikh Mahfuz al-Tarmas.

 

Mendirikan NU

Terbentuknya Nahdlatul Ulama sebagai wadah Ahlussunnah wal Jama’ah bukan semata-mata karena KH. Hasyim Asy’ari dan ulama-ulama lainnya ingin melakukan inovasi, namun memang kondisi pada waktu itu sudah sampai pada kondisi genting dan wajib mendirikan sebuah wadah. Di mana saat itu, di Timur Tengah telah terjadi momentum besar yang dapat mengancam kelestarian Ahlussunnah wal Jama’ah terkait penghapusan sistem khalifah oleh Republik Turki Modern dan ditambah berkuasanya rezim Mazhab Wahabi di Arab Saudi yang sama sekali menutup pintu untuk berkembangnya mazhab lain di tanah Arab saat itu. Menjelang berdirinya NU, beberapa ulama masyhur berkumpul di Masjidil Haram dan sangat mendesak berdirinya orgasnisasi untuk menjaga kelestarian Ahlussunnah wal Jama’ah.[2]

Setelah melakukan istikharah, para ulama di Arab Saudi mengirimkan sebuah pesan kepada KH. Hasyim Asy’ari untuk sowan kepada dua ulama besar di Indonesia saat itu, apabila dua ulama besar ini merestui, maka akan sesegera mungkin dilakukan tindak lanjut, dua orang itu adalah Habib Hasyim, Pekalongan dan Syaikhona Kholil, Bangkalan. Maka KH Hasyim Asy’ari dengan didampingi Kiai Yasin, Kiai Sanusi, Kiai Irfan, dan KH. R. Asnawi datang sowan ke kediamannya Habib Hasyim di Pekalongan.[3] Selanjutnya dilanjutkan dengan sowan ke Syaikhona Kholil Bangkalan, maka KH. Hasyim dan ulama lainnya mendapatkan wasiat dari Syaikhona Kholil untuk segera melaksanakan niatnya itu sekaligus beliau merestuinya.[4]

Kemudian pada tahun 1924, Syaikhona Kholil mengutus Kiai As'ad yang saat itu berumur 27 tahun untuk mengantarkan sebuah tongkat ke Kiai Hasyim Asy'ari, Tebuireng, Jombang dan menghafalkan Surat Thaha ayat 17-23 untuk dibacakan di hadapan Kiai Hasyim. Berangkatlah Kiai As'ad dengan mengayuh sepeda, Kiai As'ad telah dibekali uang oleh Syaikhona Kholil untuk di perjalanan, namun ia justru berpuasa selama di perjalanan. Kemudian setibanya di Tebuireng, Kiai As’ad menghadap Kiai Hasyim Asy'ari dan menyerahkan tongkat itu. Kiai Hasyim bertanya “Apakah ada pesan dari Syaikhona?” Lalu Kiai As’ad membaca Surat Thaha ayat 17-23 yang arti terjemahannya :

 

“Apakah yang ada di tangan kananmu, wahai Musa ? Dia (Musa) berkata, “Ini adalah tongkatku, aku bertumpu padanya, dan aku merontokkan (daun-daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku masih ada lagi manfaat yang lain.” Allah berfirman, “Lemparkanlah ia, wahai Musa!” Lalu ia melemparkan tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Dia (Allah) berfirman, “Peganglah ia dan jangan takut, Kami (Allah) akan mengembalikannya kepada keadaannya semula, Dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia keluar menjadi putih (bercahaya) tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain, untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang sangat besar”.[5]

Berselang beberapa hari, Syaikhona Kholil kembali mengutus Kiai As'ad untuk mengantarkan sebuah tasbih kepada Kiai Hasyim. Ketika Syaikhona Kholil menyerahkan tasbihnya, Kiai As'ad enggan untuk menerima dengan tangannya, ia memohon kepada Syaikhona untuk mengalungkan tasbih itu ke lehernya. Syaikhona Kholil berpesan agar Kiai As'ad membaca "Yaa Jabbar Yaa Qahhar" hingga sampai Tebuireng dan membacanya di hadapan Kiai Hasyim. Selama di perjalanan, Kiai As'ad sama sekali tidak berani menyentuh tasbih itu, hingga sesampainya di Tebuireng, Kiai As'ad segera menghadap Kiai Hasyim dan memohon Kiai Hasyim untuk mengambil tasbih itu dari lehernya searaya ia membaca "Yaa Jabbar Ya Qahhar".

KH. Hasyim Asy'ari telah menangkap dua isyarat kuat tersebut yang mengartikan bahwasannya Syakhona Kholil telah memantapkan hati beliau dan merestui didirikannya Jam'iyah Nahdlatul Ulama. Setahun kemudian, pada tanggal 31 Januari 1926 M / 16 Rajab 1344 H di Surabaya berkumpul para ulama se-Jawa-Madura. Mereka bermusyawarah dan sepakat mendirikan organisasi Islam Nahdlatul Ulama.

 

Pemikiran

Pemikiran KH. Hasjim Asy'ari tentang Ahlussunnah wal Jama’ah adalah ulama dalam bidang tafsir Al Qur'an, Sunnah Nabi Muhammad, dan Fiqih yang tunduk pada tradisi Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin. Selanjutnya beliau menyatakan bahwa sampai sekarang ulama tersebut termasuk "mereka yang mengikuti Mazhab Imam Abu Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi'i, dan Imam Hambali". Pemikiran inilah yang diterapkan oleh Jam'iyah Nahdlatul Ulama yang menyatakan sebagai pengikut, penjaga, pelestari, dan penyebar paham Ahlussunnah wal Jama’ah

Ahlussunnah wal Jama’ah dalam pandangan KH. Hasyim Asy'ari tidak memiliki makna tunggal, tergantung perspektif yang digunakan. Paling tidak terdapat dua perspektif yang digunakan untuk mendefinisikan Ahlussunnah wal Jama’ah, yaitu teologi dan fiqih. Namun, jika ditelusuri lebih lanjut melalui karya-karya KH. Hasjim Asy'ari, maka sebenarnya dapat diambil sebuah kesimpulan yaitu bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah pada dasarnya lebih kepada pola keberagaman bermadzhab kepada generasi muslim masa lalu yang cukup otoritatif secara religius.[6]

 

Resolusi Jihad

Resolusi Jihad adalah suatu hasil dari perenungan dan penghayatan nilai-nilai Islam kebangsaan. Tak lama setelah merdeka, Indonesia kembali mendapat teror Belanda yang ingin kembali masuk menguasai Indonesia dari tangan Jepang. Presiden Soekarno mengutus Bung Tomo untuk menghadap KH Hasyim Asy’ari untuk meminta nasehat dan pendapat bagaimana kiranya hukumnya umat Islam menghadapi ancaman tersebut.

Menanggapi hal itulah KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa yang kemudian diputuskan dalam rapat para konsul NU se-Jawa Madura. Berikut isi teks asli fatwa tersebut.


Bismillahirrochmanir Rochim

Mendengar : Bahwa di tiap-tiap Daerah di seloeroeh Djawa-Madoera ternjata betapa besarnja hasrat Oemmat Islam dan ‘Alim Oelama di tempatnja masing-masing oentoek mempertahankan dan menegakkan AGAMA, KEDAOELATAN NEGARA REPOEBLIK INDONESIA MERDEKA.

 

Menimbang :

a. Bahwa oentoek mempertahankan dan menegakkan Negara Repoeblik Indonesia menurut hoekoem Agama Islam, termasoek sebagai satoe kewadjiban bagi tiap-tiap orang Islam.

b. Bahwa di Indonesia ini warga negaranja adalah sebagian besar terdiri dari Oemmat Islam.

 

Mengingat:

1. Bahwa oleh fihak Belanda (NICA) dan Djepang jang datang dan berada di sini telah banjak sekali didjalankan kedjahatan dan kekedjaman jang menganggoe ketentraman oemoem.

2. Bahwa semoea jang dilakoekan oleh mereka itu dengan maksoed melanggar kedaoelatan Negara Repoeblik Indonesia dan Agama, dan ingin kembali mendjadjah di sini maka beberapa tempat telah terdjadi pertempoeran jang mengorbankan beberapa banjak djiwa manoesia.

3. Bahwa pertempoeran2 itu sebagian besar telah dilakoekan oleh Oemmat Islam jang merasa wadjib menoeroet hoekoem Agamanja oentoek mempertahankan Kemerdekaan Negara dan Agamanja.

4. Bahwa di dalam menghadapai sekalian kedjadian2 itoe perloe mendapat perintah dan toentoenan jang njata dari Pemerintah Repoeblik Indonesia jang sesoeai dengan kedjadian terseboet.

 

Memoetoeskan :

1. Memohon dengan sangat kepada Pemerintah Repoeblik Indonesia soepaja menentoekan soeatoe sikap dan tindakan jang njata serta sepadan terhadap oesaha2 jang akan membahajakan Kemerdekaan dan Agama dan Negara Indonesia teroetama terhadap fihak Belanda dan kaki tangannja.

2. Seoapaja memerintahkan melandjoetkan perdjoeangan bersifat “sabilillah” oentoek tegaknja Negara Repoeblik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.

Soerabaja, 22 Oktober 1945

 

Karya

  1. Risalah Ahlussunnah wal Jama'ah: Fi Hadistil Mauta wa Asyrathissa'ah wa Bayani Mafhumissunnah wal Bid'ah (Paradigma Ahlussunah wal Jama'ah: Pembahasan tentang Orang-orang Mati, Tanda-tanda Zaman, Penjelasan Sunnah dan Bid'ah). Karya KH. Hasyim Asy’ari yang satu ini banyak membahas tentang bagaimana sebenarnya penegasan antara sunnah dan bid’ah. Secara tidak langsung, kitab tersebut banyak membahas persoalan-persoalan yang akanmuncul di kemudian hari, terutama saat ini.
  2. Muqaddimah Al Qanun Al Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (Anggaran Dasar Organisasi Nahdlatul Ulama). Kitab ini berisikan pemikiran KH. Hasyim Asy’ari yang berkaitan dengan NU. Dalam kitab tersebut, KH. Hasyim Asy’ari mengutip beberapa ayat dan hadits yang menjadi landasannya dalam mendirikan NU.
  3. Risalah fi Ta’kidul Akhdzi bi Mazhabil A’immatul Arba’ah (Risalah untuk memperkuat pegangan atas madzhab empat). Dalam kitab ini, KH. Hasyim Asy’ari tidak sekedar menjelaskan pemikiran empat imam madzhab (Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hanbal). Namun, beliau juga memaparkan alasan-alasan kenapa pemikiran di antara keempat imam itu patut kita jadikan rujukan.
  4. Arba’ina Haditsan Tata’allaqu bi Mabadi’ Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Sebagaimana judulnya, kitab ini berisi empat puluh hadits pilihan yang sangat tepat dijadikan pedoman oleh warga NU. Hadits yang dipilih oleh KH. Hasyim Asy’ari terutama berkaitan dengan hadits-hadits yang mejelaskan pentingnya memegang prinsip dalam kehidupan yang penuh dengan rintangan dan hambatan ini.
  5. Adabul 'alim wal Muta’alim fi ma Yahtaju Ilaihil Muta’allim fi Maqamati Ta’limihi (Etika Pengajar dan Pelajar dalam Hal-hal yang Perlu Diperhatikan oleh Pelajar Selama Belajar). Pada dasarnya, kitab ini merupakan ringkasan dari kitab Adab al-Mu’allim karya Syekh Muhamad bin Sahnun, Ta’limul Muta’allim fi Thariqah at-Ta’allum karya Syekh Burhanuddin az-Zarnuji, dan Tadzkiratus Syaml wal Mutakalli fi Adabil 'Alim wal Muta’allim karya Syekh Ibnu Jama'ah. Meskipun merupakan bentuk ringkasan dari kitab-kitab tersebut, tetapi dalam kitab tersebut kita dapat mengetahui betapa besar perhatian KH. Hasyim Asy’ari terhadap dunia pendidikan.

 

Wafat

Kiai Hasyim wafat pada tanggal 25 Juli 1947 M atau 7 Ramadan 1366 H, saat itu di Kiai Hasyim menerima kedatangan utusan Panglima Besar Jenderal Sudirman dan Bung Tomo yang hendak mengabarkan keadaan negara setelah terjadinya Agresi Militer I pada 21 Juli 1947. Kiai Hasyim kaget sebab mendengar cerita dari utusan tersebut bahwa Singosari telah direbut oleh Jenderal Spoor.

Mendengar kabar itu, Kiai Hasyim sangat kaget hingga ia jatuh pingsan, sempat didatangkan dokter namun nyawanya tak bisa diselamatkan lagi, ia dimakamkan di komplek Pondok Pesantren Tebuireng, Diwek, Jombang.[7]

 

BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:

Referensi

    1.       https://tebuireng.online/biografi-lengkap-kh-m-hasyim-asyari/

    2.       https://nu.or.id/

    3.       Nahdlatul Ulama

 

Footnoode

    1.       “KH Hasyim Asy'ari, Kisah Wafat dan Perjuangannya di Bulan Ramadhan". nu.or.id. Diakses tanggal 2022-01-16.

    2.        "NU Online". nu.or.id. Diakses tanggal 2021-12-03.

    3.        "NU Online". nu.or.id. Diakses tanggal 2021-12-03.

    4.        "Home". Tebuireng Online (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-12-03.

    5.        "Surat Thaha 17-23". Kementerian Agama RI. Diakses tanggal 14-01-2022.

    6.        "Teladan Ukhuwah Islamiyah dan Keilmuan KH Hasyim Asy'ari". nu.or.id. Diakses tanggal 2022-01-16.

    7.        "Detik-detik Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari Wafat pada Tanggal 7 Ramadhan". nu.or.id. Diakses tanggal 2022-01-16

Ahmad Dahlan

 

Kiai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis (bahasa Arab: أحمد دحلان; 1 Agustus 1868 – 23 Februari 1923) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia yang merupakan pendiri Muhammadiyah. Dia adalah putra keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa itu.


Latar belakang keluarga dan pendidikan

Nama kecil K.H. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Dia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Dia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa.[1] Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana 'Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, kiai Ilyas, kiai Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, K.H. Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan).[2]

Pada umur 15 tahun, dia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.

Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, dia sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.

Sepulang dari Mekkah, dia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak kiai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah.[1] Di samping itu K.H. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Dia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik kiai Munawwir Krapyak. K.H. Ahmad Dahlan juga mempunyai putra dari perkawinannya dengan Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Dia pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta.[3] [4]

KH. Ahmad Dahlan meninggal pada tahun 1923 dan dimakamkan di pemakaman Karangkajen, Yogyakarta.[5][6]

 

Pengalaman organisasi

Di samping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi wiraswasta yang cukup menggejala di masyarakat.

Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat, sehingga dia juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam'iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaruan Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaruan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Dia ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 November 1912. Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.

Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. la dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kiai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen, mengajar di sekolah Belanda, serta bergaul dengan tokoh-tokoh Budi Utomo yang kebanyakan dari golongan priyayi, dan bermacam-macam tuduhan lain. Saat itu Ahmad Dahlan sempat mengajar agama Islam di sekolah OSVIA Magelang, yang merupakan sekolah khusus Belanda untuk anak-anak priayi. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun ia berteguh hati untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaruan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.

Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Maka dari itu kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, Imogiri dan lain-Iain telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Ujung Pandang, Ahmadiyah[7] di Garut. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam.

Berbagai perkumpulan dan jama'ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, di antaranya ialah Ikhwanul-Muslimin,[8] Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta'awanu alal birri, Ta'ruf bima kanu wal- Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi.[9]

Dahlan juga bersahabat dan berdialog dengan tokoh agama lain seperti Pastur van Lith pada 1914-1918. Van Lith adalah pastur pertama yang diajak dialog oleh Dahlan. Pastur van Lith di Muntilan yang merupakan tokoh di kalangan keagamaan Katolik. Pada saat itu Kiai Dahlan tidak ragu-ragu masuk gereja dengan pakaian hajinya.[10]

Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, di samping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.

Sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, Dahlan juga memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan dua belas kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah AIgemeene Vergadering (persidangan umum).

 

Pahlawan Nasional

Atas jasa-jasa K.H. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa Indonesia melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut:

    1.       KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat;

    2.       Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam;

    3.       Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam; dan

    4.       Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.

 

Dalam budaya populer

Kisah hidup dan perjuangan Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah diangkat ke layar lebar dengan judul Sang Pencerah (2010) yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Tidak hanya menceritakan tentang sejarah kisah Ahmad Dahlan, film ini juga bercerita tentang perjuangan dan semangat patriotisme anak muda dalam merepresentasikan pemikiran-pemikirannya yang dianggap bertentangan dengan pemahaman agama dan budaya pada masa itu, dengan latar belakang suasana Kebangkitan Nasional. Naskah film ini kemudian dialihmediakan menjadi novel berjudul sama yang ditulis oleh Akmal Nasery Basral.

 

Silsilah

    ·         Ahmad Dahlan bin, nama asli beliau adalah Muhammad Darwis

    ·         Kyai Haji Abu Bakar bin

    ·         Kyai Ilyas bin

    ·         Kyai Sulaiman bin

    ·         Temang Juru Kapindo bin

    ·         Temang Jurung Sapisan bin

    ·         Kyai Grebek bin

    ·         Kyai Ishak

    ·         Husein Jamaluddin Akbar Bin

    ·         Ahmad Syah Jalaluddin Bin

    ·         Amir Abdullah Azmatkhan Bin

    ·         Abdul Malik Azmatkhan Bin

    ·         Alwi ‘Ammil Faqih Bin

    ·         Muhammad Shohib Mirbath Bin

    ·         Ali Khali' Qasam Bin

    ·         Alwi Shohib Baiti Jubair/'Alwi Ats Tsani Bin

    ·         Muhammad Shohibus Saumah Bin

    ·         Alawi Bin

    ·         Ubaidillah bin

    ·         Ahmad Al-Muhajir Bin

    ·         Isa Bin

    ·         Muhammad An-Naqib Bin

    ·         Ali Bin

    ·         Imam Ja’far Ash-Shadiq Bin

    ·         Imam Muhammad Al-Baqir Bin

    ·         Imam Ali Bin Husain Bin

    ·         Imam Husain Asy-Syahid Bin

    ·         Ali Bin Abi Thalib

 

BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:

Rujukan

1. Kutojo dan Safwan, 1991

2. Yunus Salam, 1968: 6

3. Yunus Salam, 1968: 9

4. Wahyudi, Jarot (2002). Burhanuddin, Jajat, ed. Nyai Ahmad Dahlan: Penggerak Perempuan Muhammadiyah. Ulama Perempuan Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hlm. 39–67. ISBN 978-979-686-644-1.

5. Syoedja', Muhammad (1993). Cerita Tentang Kiyai Haji Ahmad Dahlan Catatan Haji Muhammad Syoedja'. Jakarta: Rhineka Cipta.

6. Sartono. "KH. A Dahlan, Wong Agung Dengan Makam Sederhana". Diakses tanggal 1 February 2015.

7. Bukan Ahmadiyyah yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad. Lihat: Mubarok, Aceng Husni (2010), Menziarahi Batu Nisan Tajdid: Refleksi Jelang Seabad Muhammadiyah, dalam "Satu Abad Muhammadiyah: Mengkaji Ulang Arah Pembaharuan", Dawam Rahardjo, dkk.

8. Ini bukan Ikhwanul Muslimun Hasan al-Banna.

9. Kutojo dan Safwan, 1991: 33

10. Muhammadiyah Gerakan Pembaruan, Haedar Nashir, 2010

 

Daftar pustaka

    1.       Salam, Yunus (1968). Riwayat Hidup KHA. Dahlan. Amal dan perjuangannya. Jakarta: Depot Pengadjaran Muhammadijah.

    2.       Kutojo, Sutrisno, Mardanas Safwan (1991). K.H. Ahmad Dahlan: riwayat hidup dan perjuangannya. Bandung: Angkasa.

    3.       Ricklefs, M.C. (1994). A History of Modern Indonesia Since c. 1300, 2nd ed. Stanford: Stanford University Press.

    4.       Vickers, Adrian (2005). A History of Modern Indonesia. New York: Cambridge University Press. ISBN 0-521-54262-2.


27 April, 2022

Materi Khutbah Idul Fitri Tentang Saling Memaafkan, Saling Peduli dalam Kesulitan

Naskah khutbah Idul Fitri berikut ini mendorong segenap umat Islam untuk membuka pintu maaf kepada siapa saja di hari yang fitri. Lebih dari itu, sikap saling mengulurkan tangan kepada sesama juga penting dipupuk, terutama di masa sulit seperti sekarang ini  

Teks khutbah Idul Fitri berikut ini berjudul "Khutbah Idul Fitri: Saling Memaafkan, Saling Peduli dalam Kesulitan".

Khutbah I  

اللهُ أَكْبَرُ (×٣) اللهُ أَكْبَرُ (×٣) اللهُ أَكْبَرُ (×٣) وَ لِلّٰهِ اْلحَمْدُ اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا، وَالحَمْدُ لِلّٰهِ كَثِيْراً، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاَ، لاَإِلٰهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ لَاإِلٰهَ إِلاَّاللهُ وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيّاَهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْكَرِهَ الكاَفِرُوْنَ.

الحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ حَرَّمَ الصِّياَمَ أَيّاَمَ الأَعْياَدِ ضِيَافَةً لِعِباَدِهِ الصَّالِحِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَإِلٰهَ إِلاَّاللهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ الَّذِيْ جَعَلَ الجَّنَّةَ لِلْمُتَّقِيْنَ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَناَ وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ االدَّاعِيْ إِلىَ الصِّرَاطِ المُسْتَقِيْمِ. اللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَباَرِكْ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّـدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحاَبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلىَ يَوْمِ الدِّيْنَ. أَمَّا بَعْدُ .فَيَآأَيُّهَاالمُؤْمِنُوْنَ وَالمُؤْمِناَتِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ المُتَّقُوْنَ. وَاتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقاَتِهِ وَلاَتَمُوْتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

Ma'asyiral muslimin wal muslimat jamaah shalat Idul Fitri rahimakumullah,

Di pagi yang penuh kebahagiaan dan keberkahan, setelah satu bulan bersama Ramadhan, Idul Fitri pun tiba dalam kesucian dan ketakwaan. Hari di mana takbir berkumandang, semua diliputi rasa bahagia dan senang, setelah satu bulan di madrasah Ramadhan kita berjuang. Berjuang menahan haus dan dahaga, mengekang hawa nafsu yang membara, dan mendekatkan diri pada Yang Kuasa. Semua itu mampu kita lewati dengan penuh keikhlasan hati, untuk meraih ridha ilahi. Tentunya semua ini haruslah senantiasa kita syukuri sebagai hamba Allah yang tahu diri

Nikmat yang tak terhitung dalam setiap tarikan napas kita, menjadi bukti banyaknya rezeki yang kita terima. Bukan hanya rezeki lahir semata, namun rezeki batin pun terus mengalir dalam kehidupan kita. Kesehatan, kesempatan, Islam dan iman, serta nikmat yang tak kelihatan dalam kehidupan, janganlah sampai kita kufurkan

فَبِأَيِّ آَلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ 

Maka nikmat Tuhan manalagi yang akan kita dustakan? Semoga kita bisa menjadi hamba yang pandai bersyukur pada-Nya, dengan senantiasa mengucapkan Alhamdulillah di mulut kita, mewujudkan syukur ini dalam kehidupan nyata, dan menguatkan kesadaran bahwa Allah lah yang paling kuasa.   

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُ  

Ma'asyiral muslimin wal muslimat jamaah shalat Idul Fitri rahimakumullah,

Ramadhan telah mengajarkan kita untuk menjadi pribadi yang paripurna. Kemampuan kita untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas di bulan puasa, harus senantiasa kita pupuk dan jaga. Jangan sampai bulan Ramadhan berlalu, beriringan dengan itu intensitas ibadah kita pun ikut menjadi layu.

Oleh karena itu, mari kita jaga semua ini, Insya Allah kita termasuk hamba-hamba yang dosanya diampuni, karena kita telah berpuasa dengan iman dan kesadaran diri mengharap pahala dari ilahi rabbi. Rasulullah dalam haditsnya bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Artinya: "Siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan atas dasar keimanan dan dilaksanakan dengan benar, maka ia diampuni dosa-dosanya yang telah lalu".

Ma’asyiral muslimin wal muslimat jamaah shalat Idul Fitri rahimakumullah,

Idul Fitri ibarat lembaran awal kertas putih. Tak ada kotoran atau noda yang menempel sehingga senantiasa bersih. Seperti air dari sumber mata air yang mengalir jernih. Kesucian ini harus kita jaga sekuat tenaga agar kertas dan air ini tak ternoda. Mari hindari berbuat dosa, baik itu dosa antarsesama terlebih dosa kepada Allah subhanahu wata’ala.

Lalu bagaimana caranya? Jika kita berbuat kesalahan dan dosa pada Allah subhanahu wa ta’ala, bertaubat menjadi jalannya. Kita harus beristighfar sepenuh jiwa untuk tidak mengulangi lagi segala dosa. Sebagai wujudnya, kita harus mengiringi perbuatan dosa dengan perbuatan baik sebagai penggantinya.

Jika itu dosa pada sesama manusia, silaturahmi menjadi solusinya. Kata maaf harus terucap dari mulut kita dan bersama berkomitmen untuk memulai kehidupan bersama yang lebih bahagia.

Dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 134 Allah menegaskan, bahwa seorang Muslim yang memiliki ketakwaan dianjurkan mengambil paling tidak satu dari tiga sikap dari seseorang yang telah berbuat kesalahan. Sikap itu adalah amarah ditahan, memaafkan, dan berbuat baik terhadap orang yang berbuat kesalahan.

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ  

Artinya: “(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.” 

Kita perlu ingat bahwa sesama Muslim adalah bersaudara dalam naungan ridha ilahi. Sudah semestinya harus saling berbuat baik kepada sesama dengan sepenuh hati. Persaudaraan itu seperti hubungan tangan kanan dan tangan kiri. Walau berbeda dan tidak sama, namun harus saling membantu, tak kenal iri. Hubungan keduanya selalu harmonis dan saling berbagi peran sekaligus saling melengkapi. Tangan kiri tak akan menyakiti tangan kanan, begitu juga sebaliknya tangan kanan tak sampai hati menyakiti tangan kiri.

Apalagi di masa sulit seperti ini, kepekaan terhadap penderitaan orang lain harus terus disemai. Bantulah orang lain dari kesulitan yang mereka hadapi. Kepekaan sosial yang telah dilatih pada Ramadhan dengan merasakan lapar dan dahaga harus dilanjutkan kembali. Kita harus menjadikan Idul Fitri ini sebagai momentum kebahagiaan bersama yang hakiki. Dalam haditsnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan

مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يُعَزِّي أَخَاهُ بِمُصِيبَةٍ إِلا كَسَاهُ اللهُ سُبْحَانَهُ مِنْ حُلَلِ الكَرَامَةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ 

Maknanya: “Tidaklah seorang mukmin menghibur saudaranya karena musibah yang menimpanya, kecuali Allah akan mengenakan kepadanya pakaian-pakaian kemuliaan di hari kiamat” (HR Ibnu Majah)  

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُ  

Ma’asyiral muslimin wal muslimat jamaah shalat Idul Fitri rahimakumullah,

Saling memaafkan dan peka terhadap penderitaan orang lain tentunya tidak boleh sampai melupakan kepekaan pada orang yang ada dekat di sekitar kita. Terlebih sosok yang paling berjasa dalam kehidupan kita yaitu orang tua kita. Dalam ajaran agama, orang tua adalah sosok yang mulia dan harus kita hormati serta sayangi selamanya. Kita harus memperlakukan mereka dengan baik karena mereka adalah ‘Jimat’ kita di dunia.

Bagi mereka yang orang tuanya sudah meninggal dunia, ziarahilah makamnya. Panjatkan doa kepada yang kuasa semoga mereka diampuni dosanya dan amal ibadahnya diterima di sisi-Nya. Bagi yang orang tuanya masih dalam keadaan sehat dan masih bersama kita, jagalah dan kunjungilah mereka

Terlebih sosok ibu yang telah susah payah melahirkan kita kedunia ini. Ia adalah sosok yang paling berjasa dan dapat menghantarkan kita ke surga Allah yang abadi. Apa kabar Ia hari ini? Sudahkah kita bersilaturahmi? Sudahkah kita meraih tangannya yang sudah semakin lemah termakan hari? Ya Allah berilah kesehatan dan keberkahan pada orang tua kami. Jadikanlah kami anak-anak yang berbakti dan tahu berbalas budi.

Kita perlu sadari, sesukses apapun kita tak kan lepas dari doa orang tua. Sebanyak apapun materi yang kita miliki tak kan bisa membalas jasa-jasa mereka. Ridha orang tua akan menjadi sumber kesuksesan kita. Sebaliknya kemarahannya adalah merupakan sebuah bencana dalam kehidupan kita.

رِضَى اللهِ فِي رِضَى الْوَالِدَيْنِ وَسُخْطُ اللهِ فِي سُخْطِ الْوَالِدَيْنِ 

Artinya: "Keridhaan Allah tergantung kepada keridhaan orang tua dan kemarahan Allah tergantung kemarahan orang tua

Mari kita kenang perjuangan mereka, ketika kita masih kecil tak bisa berbuat apa-apa. Dengan kasih sayang, mereka menggendong kita, mencium kita dan membesarkan kita dengan penuh cinta. Bagaimana sebaliknya, ketika mereka tergeletak sakit tak berdaya? Sempatkah kita menjenguknya? Berapa kali kita mengusap keningnya, menyuapinya dan menggantikan pakaiannya ketika ia terbaring sakit di atas tempat tidurnya? Rutinkah kita memeluk tubuhnya yang semakin lemah tak berdaya sambil tersenyum sebagaimana ia lakukan di masa kecil kita

Oleh karenanya di hari yang penuh dengan kebahagiaan, mari kita bersama doakan, semoga orang tua kita senantiasa diberikan keberkahan. Semoga mereka senantiasa mendapatkan perlindungan dan kesehatan serta kemudahan. Semoga mereka akan tetap terjaga Islam dan iman saatnya nanti dipanggil oleh Tuhan.   

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُ  

Ma’asyiral muslimin wal muslimat jamaah shalat Idul Fitri rahimakumullah,

Demikianlah Khutbah Idul Fitri yang dapat saya sampaikan. Semoga dapat memberikan kemanfaatan. Dan marilah kita berdoa, semoga ibadah yang kita lakukan di Bulan Ramadhan diterima Allah SWT dan mendapatkan ganjaran. Semoga semua dosa kita kepada Allah dan dosa kepada sesama akan mendapatkan ampunan. Mari saling memaafkan dan raih keberkahan, sehingga kita akan menjadi insan yang kembali suci mendapatkan kemenangan, "Ja'alana-Llâhu minal 'âidîn wal fâizîn" senantiasa menjadi sebuah doa dan harapan.

جَعَلَناَ اللهُ وَإِياَّكُمْ مِنَ العاَئِدِيْنَ وَالفَآئِزِيْنَ وَأَدْخَلَناَ وَاِيَّاكُمْ فِيْ زُمْرَةِ عِباَدِهِ المُتَّقِيْنَ. قَالَ تَعَالَى فِيْ القُرْآنِ العَظِيْمِ أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ . يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ اليُسْرَ وَلاَ يُرِيْدُ بِكُمُ العُسْرَ وَلِتُكْمِلُوْاالعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوْاالله َعَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ  بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ القُرْآنِ العَظِيْمِ وَنَفَعَنيِ وَاِيّاَكُمْ بِمَافِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الحَكِيْمِ. وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ اِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ. وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَاَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ

 

Khutbah II  

اللهُ أَكْبَرُ (×٣) اللهُ أَكْبَرُ (×٣) اللهُ أَكْبَرُ وَ لِلّٰهِ اْلحَمْدُ

اللهُ أكْبَرُ كَبِيْرًا وَالحَمْدُ لِلّٰهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً لاَ إِلٰهَ إِلاّاللهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ لاَ إِلَهَ إِلاّاللهُ وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْكَرِهَ الكاَفِرُوْنَ.

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّـدٍ الْمُصْطَفَى وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا، أَمَّا بَعْدُ، اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقاَتِهِ وَلاَتَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيّ يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ . اللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ مِنْ مَشَارِقِ الْأَرْضِ إِلَى مَغَارِبِهَا بَرِّهَا وَبَحْرِهَا، خُصُوْصًا إِلَى آبَاءِنَا وَاُمَّهَاتِنَا وَأَجْدَادِنَا وَجَدَّاتِنَا وَأَسَاتِذَتِنَا وَمُعَلِّمِيْنَا وَلِمَنْ أَحْسَنَ إِلَيْنَا وَلِأَصْحَابِ الحُقُوْقِ عَلَيْنَا، اللّٰهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ .رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً، وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً، وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ.

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ، وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ، عِيْدٌ سَعِيْدٌ وَكُلُّ عَامٍ وَأَنْتُمْ بِخَيْرٍ  

BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:

Khutbah Jumat Spesial Akhir Ramadhan Sambut Idul Fitri: Semangat Tetap Membara Meski Di Akhir Ramadhan

 Khotbah Pertama

 

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ.

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ

أَشْهَدُ أَنْ لَاۧ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ .

اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلٰى مَحَمَّدِ نِالْمُجْتَبٰى، وَعَلٰى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَهْلِ التُّقٰى وَالْوَفٰى. أَمَّا بَعْدُ فَيَاأَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ! أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ فَقَدْ فَازَ مَنِ اتَّقَى

فَقَالَ اللهُ تَعَالٰى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

 

Ma’asyiral Muslimin, jemaah masjid yang dimuliakan oleh Allah.

Mengawali khotbah kali ini, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan para jemaah sekalian agar senantiasa meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan seluruh perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Terlebih lagi di bulan Ramadan yang mulia ini.

Tak lupa, puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah Ta’ala, Rabb semesta alam, atas semua limpahan nikmat dan rezeki yang telah Allah berikan kepada kita semua. Di antaranya adalah nikmat iman, nikmat kesehatan, dan yang tak kalah penting, nikmat menjalani ibadah puasa di bulan Ramadan.

Tak terasa, Alhamdulillah kita sudah melewati setengah awal dari bulan Ramadan, semoga Allah Ta’ala menerima seluruh amal ibadah yang selama ini telah kita lakukan. Layaknya seorang pelari yang sudah mendekati garis finis, pastinya ia akan menambah kecepatan larinya, memompa semangat juangnya, dan mengerahkan sisa nafasnya untuk meraih garis finis dengan hasil yang memuaskan. Seperti itulah yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim. Tentunya ia harus semakin bersemangat, semakin kencang di dalam melakukan ketaatan, dan tidak mau kalah dari saudaranya agar menjadi salah satu hamba yang sukses melewati tantangan bulan Ramadan.

Lihatlah bagaimana semangat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saat sudah memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadan,

 

عَنْ عَائِشَةَ رَضِي الله عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ أَحْيَا اللَّيْلَ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ وَشَدَّ الْمِئْزَرَ.

“Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, apabila memasuki sepuluh hari (yang terakhir di bulan Ramadan), beliau menghidupkan malam, membangunkan keluarganya, dan mengencangkan kainnya.’” (HR. Bukhari no. 2024 dan Muslim no. 1174)

 

An-Nawawi di dalam Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim menyebutkan, “Para ulama berbeda pendapat mengenai makna ‘mengencangkan kain’ ada yang berpendapat maknanya adalah bersungguh-sungguh dalam beribadah dengan meningkatkan (kualitas dan kuantitas) ibadahnya dari yang biasa beliau lakukan. Pendapat lainnya memaknainya sebagai at-tasymiir (bersegera) dalam ibadah. Sedangkan pendapat yang lainnya lagi adalah menjauhi istri-istrinya dalam rangka menyibukkan dirinya dalam beribadah.”

Di hadis yang lain disebutkan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan melebihi kesungguhan beliau di waktu yang lainnya.” (HR. Muslim no. 1175)

Jemaah salat Jumat yang dimuliakan oleh Allah.

Para sahabat, ulama terdahulu, dan orang-orang saleh mereka semua berusaha keras untuk bisa meniru apa yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Bahkan, apa yang dilakukan Rasulullah di dalam hadis tersebut merupakan kebiasaan ‘Umar bin Khattab yang beliau lakukan sehari-hari dan tidak hanya di bulan Ramadan saja. Dahulu kala beliau bangun terlebih dahulu untuk melakukan salat malam, barulah ketika masuk pertengahan malam, ia akan membangunkan seluruh keluarganya untuk melakukan salat malam, sembari beliau membaca ayat,

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقاً نَّحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى

“Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan salat dan sabar dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik di akhirat) adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Thaha: 132)

Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Aku sangat senang jika memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadan untuk bertahajud di malam hari dan giat ibadah pada malam-malam tersebut.” Sufyan pun mengajak keluarga dan anak-anaknya untuk melaksanakan salat jika mereka mampu. (Latha’if Al-Ma’arif, hal. 331)

Dahulu kala Qatadah, salah seorang tabi’in, beliau mengkhatamkan Al-Qur’an setiap tujuh hari sekali. Jika Ramadan tiba, maka beliau mengkhatamkannya setiap tiga hari sekali. Dan ketika telah memasuki sepuluh hari terakhir Ramadan, beliau mengkhatamkannya sekali setiap malam.

Jemaah Jumat yang dirahmati oleh Allah Ta’ala.

Dari dalil-dalil yang telah ada, para ulama bersepakat bahwa malam lailatul qadar adalah malam yang lebih baik dari seribu bulan. Malam yang penuh pengampunan ini terletak di antara malam-malam ganjil pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Di antara dalilnya adalah sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam,

تَحرّوْا لَيْلةَ القَدْرِ في الوتْرِ مِنَ العَشْرِ الأَواخِرِ منْ رمَضَانَ

“Carilah lailatul qadar itu dalam malam ganjil dari sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan (yakni malam ke 21, 23, 25, 27, dan 29).” (HR. Bukhari no. 2017)

Keutamaan malam lailatul qadar ini sangatlah agung. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَن  يَقُمْ  ليلةَ  القَدْرِ إيمانًا  واحتسابًا، غُفِرَ له ما تَقدَّمَ من ذَنبِه

“Barangsiapa berdiri salat dalam bulan Ramadan karena didorong keimanan dan keinginan memperoleh keridaan Allah, maka diampunkanlah untuknya dosa-dosanya yang terdahulu.” (HR. Bukhari no. 35 dan Muslim no. 760)

Oleh karenanya, jika kita mendapatkan malam lailatul qadar ini, Nabi menganjurkan umatnya untuk membaca doa, “Allahumma Innaka Afuwwun Tuhibbul Afwa Fa’fu Anni”. Berdasarkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

وَعَنْ عَائِشَة قَالَتْ : قُلْتُ : يا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِن عَلِمْتُ أَيَّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ القَدْرِ ما أَقُولُ فيها ؟ قَالَ : « قُولي : اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ العفْوَ فاعْفُ عنِّي ».

“Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, ‘Aku bertanya, ‘Ya Rasulullah jika aku mengetahui bahwa malam itu adalah lailatul qadar, apa yang harus aku ucapkan waktu itu?’ Rasulullah bersabda, “Ucapkanlah: (yang artinya) Ya Allah, sesungguhnya Engkau adalah Maha Pengampun, gemar memberikan pengampunan, maka ampunilah saya.” (HR. Tirmidzi no. 3513, Nasa’i di dalam As-Sunan Al-Kubraa no. 7712 dan Ibnu Majah no. 3850 dengan sedikit perbedaan)

 

Ma’asyiral Muslimin, jemaah masjid yang semoga dirahmati oleh Allah Ta’ala.

Agungnya 10 malam terakhir dan malam lailatul qadar inilah yang menjadi motivasi dan sebab disyariatkannya iktikaf. Yaitu niat berdiam diri di dalam masjid untuk beribadah kepada Allah yang dilakukan oleh orang tertentu dengan tata cara tertentu. Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beriktikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan hingga beliau wafat, kemudian para istri beliau beriktikaf sepeninggal beliau.” (HR. Bukhari no. 2026 dan Muslim no. 1172)

Apa keutamaannya?

Saat seorang muslim menjalankan sunah iktikaf di sepuluh malam terakhir bulan Ramadan ini, maka ia berpeluang besar mendapatkan malam lailatul qadar sedang ia dalam kondisi siaga.

Iktikaf juga akan memudahkan pelakunya di dalam mengerjakan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan. Sehingga insyaAllah ia tercatat sebagai salah satu hamba yang beruntung, hamba yang diberi keluasan ampunan oleh Allah subhanahu wa ta’ala karena konsistennya di dalam beramal hingga akhir Ramadan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

رغِمَ أَنفُ رجلٍ ذُكِرتُ عندَهُ فلم يصلِّ عليَّ ، ورَغِمَ أنفُ رجلٍ دخلَ علَيهِ رمضانُ ثمَّ انسلخَ قبلَ أن يُغفَرَ لَهُ ، ورغمَ أنفُ رجلٍ أدرَكَ عندَهُ أبواهُ الكبرَ فلم يُدْخِلاهُ الجنَّةَ.

“Celakalah seseorang, aku disebut-sebut di depannya dan ia tidak mengucapkan selawat kepadaku. Dan celakalah seseorang, (karena) bulan Ramadan menemuinya kemudian ia keluar sebelum ia mendapatkan ampunan. Dan celakalah seseorang yang kedua orang tuanya berusia lanjut, namun kedua orang tuanya tidak dapat memasukkannya ke dalam surga (karena kebaktiannya).” (HR. Tirmidzi no. 3545, hadits hasan shahih)

Akhir kata, ketahuilah wahai saudaraku, sepuluh malam terakhir merupakan penutup bulan Ramadan, sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

إنما الأعمال بالخواتيم

“Sesungguhnya amalan-amalan (seorang hamba) itu tergantung pada amalan-amalan penutupnya.” (HR. Ahmad (37: 488) dan Imam Ath-Thabrani di dalam Al-Kabiir (6: 143))

Jangan sampai di penghujung Ramadan nanti, setelah semua ibadah yang kita kerahkan, baik rajinnya kita menghadiri salat tarawih di awal-awal bulan, rajinnya kita tadarus Al-Qur’an, dan berbagai macam ibadah-ibadah lainnya, menjadi sia-sia hanya karena di akhir bulan ini kita menjadi bermalas-malasan, hilang semangat dan teralihkan dengan perkara dunia yang tidak bermanfaat. Sehingga tidak bisa menutup bulan Ramadan ini dengan sebaik-baiknya.

Semoga Allah Ta’ala menjauhkan kita dari perkara-perkara yang dapat melalaikan dan menyibukkan kita dari melakukan ketaatan di sisa-sisa bulan Ramadan ini.

Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita salah satu hambanya yang sukses mencapai garis akhir Ramadan ini dengan prestasi yang membanggakan. Yaitu mendapatkan ampunan-Nya yang sangatlah luas.

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

 

Khotbah Kedua.

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ،

فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا،

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ،

اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.

اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ

رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.

وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...