HOME

19 April, 2022

MUHAMMAD NASIR AL-DIN AL-ALBANI

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang

Kajian hadis memang menarik hati sebagian sarjana muslim. Meski terhitung ilmu tua, hadis dan ilmunya masih relevan menjadi perhatian khusus oleh para ulama zaman ini. Hal ini dikarenakan kedudukan hadis yang menjadi sumber hukum Islam kedua.

Di antara ulama yang memiliki semangat dan sumbangsih besar dalam dunia hadis kontemporer ialah Muhammad Nasir al-Din al-Albani. Ulama yang menetap lama di Saudi Arabia ini sukses menuliskan namanya dalam sejarah dunia hadis.

Dalam makalah ini, penulis akan membahas biografi singkat al-Albani dan pemikirannya terhadap dunia hadis.

 

B.       Rumusan Masalah

Berkenaan dengan latar belakang yang tersebut di atas, maka penulis menguraikan beberapa rumusan masalah yakni sebagai berikut:

1.    Bagaimana biografi al-Albani?

2.    Bagaimanakah pemikiran dan kritik nalar al-Albani terhadap hadis dan ilmu hadis?

C.      Tujuan Pembahasan

Adapun tujuan pembahasan dari makalah ini adalah sebagai berikut:

1.    Untuk mengetahui sejarah hidup al-Albani.

2.    Untuk mengetahui pemikiran dan kritik nalar al-Albani terhadap hadis dan ilmu hadis.

BAB II

PEMBAHASAN

    A.    Biografi Al-Albani:

1.      Nama dan Tanggal Lahir

Nama lengkap al-Albani ialah Muhammad Nasir al-Din al-Albani bin Nuh Najati bin Adam. Nama al-Albani merupakan penisbatan ke tempat asalnya yaitu Albania. Al-Albani juga dipanggil (kuniyah) Abu ‘Abd al-Rahman,  sebab ‘Abd al-Rahman anak pertama al-Albani.[1]

Al-Albani dilahirkan pada tahun 1332 H/1914 M. di kota Shkoder. Shkoder dulunya menjadi Ibukota Albania sebelum dipindahkan ke kota Tirana.[2] Kondisi keluarga al-Albani sangat jauh dari garis kecukupan. Ayahnya, Nuh Najati al-Albani, merupakan salah satu tokoh agama di perkampungannya setelah pulang dari Istanbul mencari ilmu di madrasah-madrasah dan ma’had Islam.[3]

2.      Hijrah ke Suriah

Pada saat pemerintahan dipimpin oleh raja Ahmed Zaghu yang merupakan kaki tangan dari Mustafa Kemal Atatruk[4], Albania berubah menjadi negara sekuler. Nilai-nilai Islam diberantas dan diganti dengan budaya dan gaya hidup kebarat-baratan.[5] Perempuan dipaksa untuk melepas jilbab, kaum laki-laki dilarang memakai pakaian khas Arab dan hanya diperbolehkan mengenakan baju dan celana ala Eropa. Hal demikian terjadi semenjak runtuhnya kekhalifaan Turki Ustmani pada tahun 1922 M.[6]

Hadirnya Ahmed Zaghu inilah yang mendasari sebagian umat Islam Albania untuk hijrah dan mencari tempat yang aman dalam menjalani syariat Islam. Nuh Najati salah satunya. Ia meninggalkan Albania dengan sembunyi-sembunyi dan memilih Damaskus sebagai masa depannya. Ia takut jika anak-anaknya terkena imbas fitnah yang sedang bergejolak di negara asalnya.[7]

Ayah al-Albani memilih Suriah karena pernah singgah di negeri tersebut saat melaksanakan ibadah haji. Selain itu, Suriah juga mendapatkan doa khusu dari Rasulullah Saw.[8] Saat itu al-Albani berusia 9 tahun.[9]

3.      Mencari Ilmu

Setelah menetap di Suriah, al-Albani memulai perjalanan ilmunya dengan mempelajari Bahasa Arab. Bahasa Arab menjadi ilmu yang benar-benar baru bagi Al-Albani karena sebelumnya ia tidak pernah mengenal Bahasa Arab sama sekali.[10]

Kemudian al-Albani terdaftar sebagai murid Madrasah Ibtidaiyah Al-Is’af al-Khairiyah, kota Damaskus. Madrasah terseut terletak berdampingan dengan Istana tempo dulu yang menjadi tempat bersejarah bangsa Suriah di bilangan al-Bazuriyah. Namun akibat revolusi yang digalakkan orang-orang Prancis di Suriah, madrasah al-Albani terbakar dan al-Albani meneruskan strata ibtidaiyahnya di sekolah lain di sekitar pasar Sarujah. Ia pun memperoleh ijazah ibtidaiyah dari madrasah tersebut.[11]

  Al-Albani tidak menyempurnakan sekolahnya karena ayahnya beranggapan sekolah-sekolah yang ada campur tangan rezim pemerintahan tidak baik dan tidak bebas dalam mengupas permasalahan agama. Akhirnya ayahnya membuat kurikulum sendiri untuk al-Albani dan mengajari al-Albani Alquran, ilmu Tajwid, Saraf, dan fikih Hanafi.[12]

Ia juga berguru ke beberapa teman ayahnya, seperti Syekh Sa’id al-Burhani. Al-Albani membaca kitab Maraqi al-Falah pada Syekh al-Burhani. Ia juga menghadiri majelis taklim Syekh Muhammad Bahjah al-Bitor, ulama besar Suriah.[13] Al-Albani juga mendapatkan ijazah di bidang hadis dari Syekh Raghib al-Tabbakh, yang merupakan ulama besar di Halab. Syekh al-Tabbakh melihat al-Albani sangat cocok dan pas mendalami ilmu hadis.[14]

4.      Mendalami Ilmu Hadis

Awal mula al-Albani menaruh rasa dan ingin menggeluti hadis beserta ilmunya saat ia hendak membeli kitab Alfu Laila wa Laila. Waktu itu mata al-Albani tertuju pada sebuah majalah yang bernama Al-Manar. dalam majalah itu terdapat tulisan Muhammad Rashid Rido. Rashid Rido menulis tentang keistimewaan kitab al-Ghazali yakni Ihya ‘Ulum al-Din. tidak hanya kelebihan kitab itu, Rashid Rido juga membeberkan kekurangan, kritik tentang beberapa dunia kesufian dan hadis-hadis palsu yang berada di kitab al-Ghazali tersebut. Rashid Rido juga menyebutkan bahwa Abu al-Fad Zain al-Din al-‘Iraqi mentakhrij hadis-hadis Ihya  dan memilah antara hadis sahih dan hadis daif. Al-‘Iraqi memberi nama kitabnya dengan Al-Mughni ‘an Haml al-Asfar fi Takhrij ma fi al-Ihya min al-Akhbar.[15]

Dengan rasa penasaran, al-Albani yang saat itu berusia 17 tahun mencari buku al-‘Iraqi di toko-toko buku. Akhirnya ia menemukan kitab tersebut di toko al-Halabi. Karena tidak memiliki uang, ia memutuskan untuk meminjam buku tersebut. Saat mendekati waktu pengembalian buku, ia belum rampung membaca karya al-‘Iraqi tersebut. Akhirnya ia memutuskan untuk menyalinnya di kardus-kardus bekas buku setebal 2011 itu. Kemudian menelaahnya perkata dengan bantuan kamus-kamus yang dimilikinya.[16]

Semenjak itulah al-Albani tertarik dengan dunia hadis, menelaah hadis-hadis yang tertulis dalam kitab-kitab klasik, lalu menentukan hukumnya. Hal ini terbukti dengan beberapa karangannya tentang penilaian hadis menurut telaah kritisnya, di antaranya Silsilah al-Ahadith al-Da’ifah wa al-Maudu’ah wa Atharuha al-Sayyi fi al-Ummah dan Silsilah al-Ahadith al-Sahihah wa Shaiun min Fiqhiha wa Fawaidiha.

Pada dasarnya ayah al-Albani tidak setuju anaknya mengambil konsentrasi hadis, karena baginya menyelami hadis dan ilmunya hanyalah pekerjaan orang-orang yang tak memiliki uang dan fakir. Sebab uang mereka habis hanya untuk bepergian mencari hadis dan menelitinya.[17]

Al-Albani terkenal sebagai kutubuku. Ia betah membaca berjam-jam. Setiap memiliki waktu luang, ia selalu menggunakannya membaca buku.[18] Bahkan ia kuat tidak makan dan minum selama 12 jam hanya untuk membaca, belajar, dan berkarya di sebuah toko buku.[19] Akhirnya pemilik toko buku menyediakan satu ruangan khusus al-Albani untuk belajar dan berkarya.[20] Belajar autodidaknya berhasil dan ia memiliki banyak karya ilmiyah khusunya di bidang penelitian dan analisa hadis.


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;


5.      Bekerja

 Al-Albani merupakan sosok mandiri dan pekerja keras. Ia memutuskan mencari pekerjaan untuk menghidupi dirinya. Ia pun memutuskan belajar dunia mebel kayu dari pamannya dan seseorang bernama Abu Muhammad. Setelah piawai mengolah kayu, al-Albani bekerja merenovasi rumah-rumah tua. Hal demikian bertahan hingga 2 tahun. Akhirnya al-Albani merasa bosan karena waktunya tersita banyak untuk bekerja.[21]

Kemudian ayahnya menawarinya untuk bekerja sebagai tukang jam. Ayahnya cukup lama menekuni pekerjaan tersebut. Di toko ayahnya, al-Albani belajar dengan teliti cara memperbaiki jam. Ia pun cepat piawai dan mampu menyervis jam. Banyak orang yang mengenalkan sebagai tukang jam. Pada akhirnya ia memutuskan untuk membuka toko sendiri untuk lebih mengembangkan pekerjaannya tersebut.[22]

     al-Albani mengaku bahwa ia bersyukur diberi keahlian menyervis jam karena pekerjaan ini tidak berat dan menyita waktunya dalam menggeluti kajian hadis. Dari servis jam itulah, ia menghidupi keluarganya.[23]

6.      Keluarga

Berikut nama putra-putri al-Albani yang ditulis ‘Abd al-‘Aziz bin Muhammad al-Sadhan dalam kitabnya Al-Imam al-Albani Durus wa Mawaqif wa ‘Ibar:[24]

a.       Dari istri pertama: ‘Abd al-Rahman, ‘Abd al-Latif, ‘Abd al-Razzaq.

b.      Dari istri kedua: ‘Abd al-Musawwir, ‘Abd al-A’la, Muhammad, ‘Abd al-Muhaimin, Anisah, Asiah, Salamah, Hassanah, Sakinah.

c.       Dari istri ketiga: Hibbatullah.

d.      Dari istri keempat: -.

7.      Majelis Ilmu

     Sebagai seorang ulama yang menjadi rujukan para pencari ilmu, al-Albani memiliki beberapa majelis taklim yang digelar setiap minggunya. Di antara kitab-kitab yang dikaji al-Albani dalam majelis-majelisnya ialah:[25]

a)      Al-Raudah al-Nadiyah, karya Sadiq Hassan Khan.

b)      Minhaj al-Islam fi al-Hukm, Muhammad Asad.

c)      Usul al-Fiqh, ‘Abd al-Wahhab Khalaf.

d)     Mustalah al-Tarikh, Asad Rustum.

e)      Fiqh al-Sunnah, Sayyid Sabiq.

f)       Al-Halal wa al-Haram, Yusuf al-Qardawi.

g)      Al-Targhib wa al-Tarhib, al-Hafidh al-Mundhiri.

h)      Riyad al-Salihin, al-Nawawi.

i)        Al-Ilmam fi Ahadith al-Ahkam, Ibn Daqiq al-Id.

j)        Al-Adab al-Mufrad, al-Bukhari.

k)      Al-Baith al-Hathith, Ahmad Shakir.

Di Damaskus ia mengajar kitab-kitab fikih semisal Fiqh al-Sunnah, Al-Raudah al-Nadiyah, Minhaj al-Islam.

8.      Karya

Al-Albani salah satu ulama modern yang produktif dalam menulis. Banyak karyanya yang tercetak dan tersebar luas di khalayak. Di antara karya-karyanya yang fenomenal, yaitu:[26]

a.       Sahih al-Targhib wa al-Tarhib.

b.      Al-Lihyah fi Nadzar al-Din.

c.       Salat al-‘Idain fi al-Musalla Fahiya al-Sunnah.

d.      Naqd Nusus al-Hadithiyyah fi al-Thaqafah al-‘Ammah.

e.       Manasik al-Haj wa al-‘Umrah.

f.       Al-Hadith Hujjatun bi Nafsih fi al-‘Aqaid wa al-Ahkam.

g.      Manzilat al-Sunnah fi al-Islam.

h.      Silsilat al-Ahadith al-Da’ifah wa al-Maudu’ah wa Atharuha al-Sayyi fi al-Ummah.

i.        Silsilah al-Ahadith al-Sahihah wa Shaiun min Fiqhiha.

j.        Tasdid al-Isabah.

k.      Mukhtasar Sahih al-Bukhari.

l.        Difa’un ‘an al-Hadith al-Nabawi wa al-Sirah.

m.    Wujub al-Akhdhi bi Hadith al-Ahad fi al-‘Aqidah.

n.      Sifat Salat al-Nabi.

o.      Qiyam al-Ramadan wa Bahthun ‘an al-I’tikaf.

p.      Ahkam al-Janaiz.

q.      Tahdhir al-Sajid min Ittikhadh al-Qubur Masajid.

9.      Ideologi

Dalam hal teologi dan ideologi, al-Albani terinspirasi oleh 3 tokoh besar, yaitu Ibn Taimiyah, Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, dan Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab.[27] Ketiga tokoh tersebut dikenal sebagai pembaharu dalam Islam. Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab merupakan pelopor dan pendiri kelompok Wahabi atau Salafi. Oleh karenanya, al-Albani dikenal sebagai tokoh besar kelompok Wahabi/Salafi.

Menurut al-Albani Salafi ialah metode generasi pertama Islam dalam menjalankan syariat Islam, keimanan, ibadah, dan suluk.[28]

10.  Pujian Ulama

Tak bisa terelakkan, al-Albani salah satu ulama abad 20 yang diperhitungkan. Pujian para ulama menghujani sosok al-Albani yang tekun dan gigih dalam memberikan sumbangsihnya dalam dunia keilmuan Islam.

Ulama sohor tanah al-Haramain, ‘Abd al-‘Aziz bin Baz mengakui keistimewaan al-Albani dengan mengatakan, “Tidak ada di bumi ini seseorang yang lebih alim dari al-Albani di bidang hadis. Ia merupakan pembaharu ilmu hadis abad ini.” Muhammad bin Saleh al-‘Uthaimin memuji al-Albani sebagai ahli hadis abad ini dan al-Albani memiliki ilmu yang sangat mendalam dalam ilmu hadis baik dirayah maupun riwayah.[29]

Hammad al-Ansari juga takjub dengan sosok al-Albani. Ia berkata, “Al-AlBani mempunyai analisa tajam dan dalam tentang ilmu hadis.”[30] 

11.  Murid

Nama al-Albani tidak asing lagi bagi para pencari ilmu abad ini, khususnya di negara Saudi Arabia. Mayoritas para pencari ilmu yang menetap di negara tersebut pernah duduk mendengarkan kuliah al-Albani.[31]

Al-Munjid mengklasifikasikan murid-murid al-Albani menjadi tiga tingkatan: pertama, mereka yang selalu menghadiri majelis al-Albani dan mengikuti jejaknya dalam berdakwah. Jumlah mereka tidak lebih dari 10 orang, di antaranya Muhammad al-Rifa’i, Muhammad Iid al-‘Abbasi, dan lainnya. Mereka mempunyai kelas esklusif dengan al-Albani. Kedua, mereka yang selalu menghadiri kuliah al-Albani, terobsesi dengan cara pandangnya, dan berdakwah dengan metode al-Albani, hanya saja mereka tidak bermental seperti al-Albani. Ketiga, mereka yang beberapa kali menghadiri majelis al-Albani, membaca buku-bukunya dan tersentuh dengan ulasan-ulasan al-Albani.

12.  Wafat

Al-Albani meninggal dunia sebelum maghrib pada hari Sabtu, 2 Oktober 1999 M dan dimakamkan setelah isya. Al-Albani sendiri yang berwasiat agar dimakamkan secepatnya.[32]

 

B.     Pemikiran Al-Albani dalam Dinamika Kajian Hadis

            Al-Albani adalah salah satu ulama yang masyhur mengajak umat untuk kembali kepada Alquran dan sunah/hadis. Ia menolak mengikuti mazhab fikih dan memilih untuk langsung merujuk kepada hadis. Ada beberapa alasan yang sangat relevan, menurut al-Albani, para ulama dan dai harus mengajak umat  untuk merujuk langsung hadis, di antara alasan tersebut ialah:[33]

1.      Hadis merupakan sumber hukum Islam kedua setelah Alquran.

2.      Hadis terhindar dari kesalahan dan aman dijadikan landasan hukum.

3.      Hadis merupakan hujjah yang disepakati seluruh umat Islam.

4.      Seorang pelajar muslim tidak akan menjadi ahli fikih tanpa menguasai dan mengerti hadis.

5.      Hadis adalah solusi dalam menangkal bidah dan hawa nafsu dalam beribadah.

6.      Perpecahan umat Islam sekarang semakin meruncing hanya karena perbedaan mazhab dan kelompok. Hadis merupakan juru kunci untuk menyatukan mereka kembali menjadi satu barisan yang kokoh.

7.      Orang yang berpegang teguh kepada hadis, ia akan merasakan keyakinan yang utuh dalam menjalankan syariat Islam. Hal ini berbeda bagi mereka yang hanya bisa mengekor pada pendapat orang lain. Mereka akan dengan mudah sesat dan salah dalam menjalankan syariat Islam.

Dalam bukunya Al-Hadith Hujjatun bi Nafsihi, al-Albani menolak qiyas dan seluruh sumber hukum Islam kecuali Alquran dan hadis. Menurutnya seluruh umat Islam sepakat bahwa Alquran dan hadis menjadi sumber hukum Islam. Adapun selainnya masih diperdebatkan.[34]

            Hadis Ahad

                   Sebagian ulama membedakan hukum hadis ahad. Hadis ahad hanya diperuntukkan untuk hukum Islam. Adapun masalah teologi hanya hadis mutawatir yang pantas menjadi sandaran hujjah. Al-Albani menentang pendapat tersebut. Baginya hadis ahad bisa dijadikan hujjah dalam permasalahan teologi. Tidak ada ayat Alquran yang membedakan antara ranah hukum dan teologi. Perintah-perintah Allah Swt. kepada umat Islam supaya mengikuti Rasulullah Saw. tidak terkotakkan dalam hukum saja, namun meliputi akidah juga. Sesungguhnya mengkhususkan hadis ahad hanya untuk hukum merupakan takhsis tanpa Mukhasis.[35]

Hadis Daif

                Al-Albani sangat menyangkan tersebarnya hadis daif dan palsu di kalangan para generasi Islam terdahulu. Bahkan “penyakit” hadis daif dan palsu tersebut tidak hanya menjangkiti orang awam saja, namun juga sebagian ulama telah tertipu dengan hadis-hadis tersebut kecuali mereka yang dijaga oleh Allah Swt dan diberi karunia yang lebih semisal al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Ibn Ma’in, Abu Hatim al-Razi, dan lain-lainnya.[36]

                Pada dasarnya adalah hadis daif ditolak dan tidak boleh diamalkan, namun para ulama  melakukan pengkajian terhadap ulang apakah hadis daif masih bisa diamalkan atau tidak. Oleh karenanya para ulama berbeda pendapat. Setidaknya ada tiga pendapat di kalangan ulama mengenai penggunaan hadis daif:

1.      Hadis daif tidak bisa diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadail al-a’mal maupun tentang hukum. Para ulama yang setuju dan condong dengan pendapat ini  adalah Yahya bin Ma’in, al-Bukhari, Muslim, Ibn Hazm, Abu Bakar ibn ‘Arabi.

2.      Hadis daif bisa digunakan secara mutlak dalam bidang apapun, pendapat ini dinisbatkan kepada Abu Daud dan Imam Ahmad.

3.      Sebagian ulama berpendapat bahwa hadis daif bisa digunakan dalam masalah fadail al-a’mal jika hadis tersebut memenuhi beberapa syarat[37].[38]

            Al-Albani salah satu ulama yang menolak mengamalkan hadis daif dalam hal apapun termasuk fadail a’mal. Ia mengikuti pendapat al-Qasimi yang mengatakan bahwa ini pendapat al-Bukhari, Muslim dan Ibn Hazm. Dalam Tamam al-Minnah fi Ta’liq ‘ala Fiqh al-Sunnah al-Albani mengulas alasannya mengapa menolak hadis daif dalam permasalahan fadail al-A’mal:[39]

a.       Hadis daif bersifat tidak pasti atau paten dalam menentukan hukum dan juga cacat. Tidak boleh diamalkan dalam hal apapun.

b.       Fadail al-A’mal -boleh diamalkan dengan hadis daif- yang dimaksud adalah perbuatan atau amal yang sudah mempunyai dalil kuat sebelumnya. Dan hadis daif juga menjelaskan perbuatan tersebut. Bukan mensyariatkan perbuatan baru yang tidak ada dalil yang lebih kuat dari hadis daif tersebut.

Menurut al-Albani hadis daif yang tidak mempunyai penguat atau hadis yang senada namun dari riwayat yang lain, maka bisa dihukumi sebagai hadis palsu.[40] Oleh karenanya, al-Albani menolak dengan tegas mengamalkan hadis daif dalam hal apapun.


Metode Al-Albani Menghukumi Hadis

            Al-Albani memilik metode sendiri dalam menghukumi sebuah hadis. Ia banyak mentakrij hadis-hadis dalam kitab-kitab hadis klasik. Ketika meneliti sebuah hadis, al-Albani tidak bertaklid kepada ulama terdahulu. Ia menggunakan analisa tajam dan telitinya lalu merujuk kitab-kitab al-Jarh wa al-Ta’dil.[41]

            Oleh karenanya tak jarang ia mengkritisi hadis-hadis sahih yang berada di kitab al-Bukhari dan Muslim. Al-Albani juga mengkritik syarat al-Bukhari dalam kitab Sahihnya. Menurutnya al-Bukhari berlebihan dan menyalahi pendapat mayoritas ulama. Muslim dan mayoritas ulama hanya mencukupkan seorang perawi semasa dengan gurunya. Syarat al-Bukhari sangat memberatkan dan menggugurkan banyak hadis Rasulullah Saw.[42]

            Salah satu contoh hadis riwayat Muslim yang dianggap daif oleh al-Albani karena ‘an’anah Abi Zubair,[43]

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَإِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ جَمِيعًا عَنْ سُلَيْمَانَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ حَجَّاجٍ الصَّوَّافِ عَنْ أَبِى الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ الطُّفَيْلَ بْنَ عَمْرٍو الدَّوْسِىَّ أَتَى النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ لَكَ فِى حِصْنٍ حَصِينٍ وَمَنَعَةٍ قَالَ حِصْنٌ كَانَ لِدَوْسٍ فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَأَبَى ذَلِكَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم لِلَّذِى ذَخَرَ اللَّهُ لِلأَنْصَارِ فَلَمَّا هَاجَرَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم إِلَى الْمَدِينَةِ هَاجَرَ إِلَيْهِ الطُّفَيْلُ بْنُ عَمْرٍو وَهَاجَرَ مَعَهُ رَجُلٌ مِنْ قَوْمِهِ فَاجْتَوَوُا الْمَدِينَةَ فَمَرِضَ فَجَزِعَ فَأَخَذَ مَشَاقِصَ لَهُ فَقَطَعَ بِهَا بَرَاجِمَهُ فَشَخَبَتْ يَدَاهُ حَتَّى مَاتَ فَرَآهُ الطُّفَيْلُ بْنُ عَمْرٍو فِى مَنَامِهِ فَرَآهُ وَهَيْئَتُهُ حَسَنَةٌ وَرَآهُ مُغَطِّيًا يَدَيْهِ فَقَالَ لَهُ مَا صَنَعَ بِكَ رَبُّكَ فَقَالَ غَفَرَ لِى بِهِجْرَتِى إِلَى نَبِيِّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ مَا لِى أَرَاكَ مُغَطِّيًا يَدَيْكَ قَالَ قِيلَ لِى لَنْ نُصْلِحَ مِنْكَ مَا أَفْسَدْتَ فَقَصَّهَا الطُّفَيْلُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم اللَّهُمَّ وَلِيَدَيْهِ فَاغْفِرْ[44]

            Tak hanya al-Bukhari dan Muslim, pemilik 4 kitab sunan pun menjadi objek kritikan al-Albani dalam menghukumi sebuah hadis. Ia mengatakan, “Salah satu hal yang biasa dalam kegiatan intelektual jika saya mengkritisi kitab al-Bukhari dan Muslim juga kitab 4 al-Sunan dan kitab lainnya yang memang belum jelas status hadis-hadis di dalamnya, apakah sahih atau daif.”[45]


            Kekurangan Al-Albani

        Menurut Ali ‘Abd al-Basit Mazid, ada beberapa kekurangan al-Albani dalam analisa dan mentakhrij hadis-hadisnya:[46]

1.      Terkadang al-Albani tidak mampu mencari sebuah hadis.

2.      Penilainnya terkadang kontradiktif.

3.      Hadis-hadisnya ada yang tidak dicantumkan sumbernya.

4.      Terkadang ia kurang teliti dan hati-hati dalam mentakhrij dan menentukan hukum sebuah hadis.

5.      Meragukan pendapat para ulama hadis terdahulu.

6.      Terkadang Menyepelehkan ilmu ta’dil.

 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

1.      Nama lengkap al-Albani ialah Muhammad Nasir al-Din al-Albani bin Nuh Najati bin Adam. Nama al-Albani merupakan penisbatan ke tempat asalnya yaitu Albania. Al-Albani dilahirkan pada tahun 1332 H/1914 M. di kota Shkoder. Shkoder dulunya menjadi Ibukota Albania.

2.      Ia hijrah ke Damaskus berserta ayahnya karena kelaliman Ahmed Zaghou, pengendali Albania, yang mengikuti pemahaman sekuler.

3.      Di Damaskus al-Albani memulai pengembaraan ilmunya. Ia mencari ilmu mulai nol dengan belajar bahasa Arab. Lalu ia melanjutkan ke madrasah ibdtidaiyah. Setelah lulus, ia dididik sendiri oleh ayahnya dan mengaji di beberapa teman ayahnya.

4.      Ketertarikannya di dunia hadis karena ia membaca tulisan Muhammad Rashid Rido dalam majalah Al-Manar yang mengupas tentang tulisan al-‘Iraqi yang mentakhrij kitab al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din.

5.      Al-Albani bekerja sebagai tukang kayu selama 2 tahun lalu beralih profesi menjadi tukang servis jam.

6.      Pemikirannya dalam hadis terkenal kontroversial dan fenomenal. Ia berani menyelisihi atau berbeda pandangan dengan ulama-ulama klasik. Bahkan ia tidak jarang mengkritik para penulis al-Sunan, termasuk juga al-Bukhari dan Muslim menjadi objek kritiknya.


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;


DAFTAR PUSTAKA

‘Ali, Ibrahim Muhammad. Muhammad Nasir al-Din al-Albani Muhaddith al-‘Asr wa Nasir al-Sunnah. Damaskus: Dar al-Qalam, 2001.

Albani (al), Muhammad Nasir al-Din. Al-Hadith Hujjatun bi Nafsihi. Riyad: Maarif, 2005.

_______. Silsilah al-Ahadith al-Da’ifah wa al-Maudu’ah wa Atharuha al-Sayyi fi al-Ummah. Riyad: Maktabah al-Ma’arif, 1992.

________. Tamam al-Minnah fi Ta’liq ‘ala Fiqh al-Sunnah. Oman: Dar al-Rayah, t.th.

Fattah (al), Ibrahim ‘Abd. Al-Qaul al-Hasif fi Bayan al-Hadith al-Da’if. Kairo: Dar Thiba’ah al-Muhammadiyah, 1992.

Mazid,  ‘Ali ‘Abd al-Basit. Al-Ta’aqqubat al-Hadithiyah ‘ala al-Shaikh al-Albani. Asyut: Al-Jamiah al-Azhariyah, 2013.

Muslim. Al-Sahih. Stturgart: Maknaz al-Islami Digital, 2010.

Munjid (al), Muhammad Saleh. Ahdath al-Muthirah fi Hayat al-Shaikh al-Albani. San’a: Dar al-Quds, 2000.

Salim, ‘Amr ‘Abd al-Mun’im. Al- Manhaj al-Salafi ‘inda al-Shaikh Nasir al-Din al-Albani. t.th.

Sadhan (al), Abd al-‘Aziz bin Muhammad. Al-Imam al-Albani Durus wa Mawaqif wa ‘Ibar . Riyad: al-Malik Fahd al-Wataniyyah, 2008.

Shada, Ibrahim Abu. Al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyah li al-Imam al-Albani. Mansurah: Dar al-Ghod al-Jadid, 2006.

Shaibani (al), Muhammad Ibrahim. Hayat al-Albani Atharuhu wa Thanau al-‘Ulama alaih. t.tp: Sarrawi, 1987.

Talib, Nur al-Din. Maqalat al-Albani. Riyad: Dar al-Atlas, 2000.

Tanor, Bulen. “The Birt of Modern Nation Amid The Ruinsof The Ottoman Empire”The Unesco Courier. November 1981.

Qattan (al), Manna’ Khalil. Mabahith fi ‘Ulum al-Hadith diterjemahkan oleh Mifdol Abdurrahman. Jakarta: Pustaka al-Kautsar cet.II, 2006.


[1] Ibrahim Muhammad ‘Ali, Muhammad Nasir al-Din al-Albani Muhaddith al-‘Asr wa Nasir al-Sunnah (Damaskus: Dar al-Qalam, 2001), 11.

[2] Ibid., 11.

[3] Ibid., 11.

[4] Tokoh sekuler yang merubah Turki menjadi negara sekuler pasca runtuhnya kekhalifaan dinasti Usmaniyah. Sejarah mencatat namanya sebagai tokoh fenomenal abad 20 yang memimpin negara dengan misi imperialism dan kolonialisme. Ia memimpin Turki lebih dari 1 dekade (1922-1935). Dampak kepemimpinannya begitu besar. Turki mengalami babak baru yang sangat berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, dinasti Ustmaniyah. Lihat bulen Tanor, “The Birt of Modern Nation Amid The Ruinsof The Ottoman Empire”The Unesco Courier, November 1981, 4.

[5] Muhammad Ibrahim al-Shaibani, Hayat al-Albani Atharuhu wa Thanau al-‘Ulama alaih (t.tp: Sarrawi, 1987), 44.

[6] Ibid., 44.

[7] Ibid., 44.

[8] Ibid., 44.

[9] Muhammad Saleh al-Munjid, Ahdath al-Muthirah fi Hayat al-Shaikh al-Albani (San’a: Dar al-Quds, 2000), 8.

[10] Ibid., 8.

[11] Al-Shaibani, Hayat al-Albani…, 45.

[12] Ibid., 45.

[13] Ibrahim Muhammad ‘Ali, Muhammad Nasir al-Din..., 13.

[14] ‘Abd al-‘Aziz bin Muhammad al-Sadhan, Al-Imam al-Albani Durus wa Mawaqif wa ‘Ibar (Riyad: al-Malik Fahd al-Wataniyyah, 2008), 13.

[15] Al-Munjid, Ahdath al-Muthirah..., 10-11.

[16] Ibid., 10-11.

[17] Ibid., 11.

[18] Ibrahim Muhammad ‘Ali, Muhammad Nasir al-Din..., 13.

[19] Ibid., 17.

[20] Al-Shaibani, Hayat al-Albani…, 52.

[21] Al-Munjid, Ahdath al-Muthirah..., 11.

[22] Ibid., 11. Lihat juga Ibrahim Abu Shada, Al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyah li al-Imam al-Albani (Mansurah: Dar al-Ghod al-Jadid, 2006), 9.

[23] Ibrahim Muhammad ‘Ali, Muhammad Nasir al-Din..., 16.

[24] ‘Abd al-‘Aziz bin Muhammad al-Sadhan, Al-Imam al-Albani..., 23.

[25] Al-Shaibani, Hayat al-Albani…, 56-57.

[26] Ibid., 622-623.

[27] Ibrahim Muhammad ‘Ali, Muhammad Nasir al-Din..., 19.

[28] ‘Amr ‘Abd al-Mun’im Salim, Al- Manhaj al-Salafi ‘inda al-Shaikh Nasir al-Din al-Albani (t.th), 13.

[29] Ibid., 19.

[30] Ibid., 19.

[31] Al-Munjid, Ahdath al-Muthirah..., 33-34.

[32] Ibid., 42.

[33] Nur al-Din Talib, Maqalat al-Albani (Riyad: Dar al-Atlas, 2000), 34-36.

[34] Muhammad Nasir al-Din al-Albani, Al-Hadith Hujjatun bi Nafsihi (Riyad: Maarif, 2005), 25.

[35] Ibid., 49.

[36] Muhammad Nasir al-Din al-Albani, Silsilah al-Ahadith al-Da’ifah wa al-Maudu’ah wa Atharuha al-Sayyi fi al-Ummah (Riyad: Maktabah al-Ma’arif, 1992), 47.

[37] Beberapa syarat tersebut ialah 1. Kelemahan hadis tersebut tidak fatal dan akut. 2. Tidak meyakini secara penuh bahwa hadis tersebut benar-benar dari Nabi, hanya saja berniat untuk hati-hati. 3. Amal yang ditunjukkan pada hadis daif tersebut tidak bertentangan dengan dasar hukum yang lain. Lihat, Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahith fi ‘Ulum al-Hadith diterjemahkan oleh Mifdol Abdurrahman (Jakarta: Pustaka al-Kautsar cet.II, 2006), 131.

[38] Ibrahim ‘Abd al-Fattah, Al-Qaul al-Hasif fi Bayan al-Hadith al-Da’if (Kairo: Dar Thiba’ah al-Muhammadiyah, 1992), 17-18.

[39] Muhammad Nasir al-Din al-Albani, Tamam al-Minnah fi Ta’liq ‘ala Fiqh al-Sunnah (Oman: Dar al-Rayah, t.th), 34.

[40] Ibid., 37.

[41] ‘ali ‘Abd al-Basit Mazid, Al-Ta’aqqubat al-Hadithiyah ‘ala al-Shaikh al-Albani (Asyut: Al-Jamiah al-Azhariyah, 2013), 77.

[42] Ibid. 33.

[43] Ibid., 46.

[44] Muslim, Al-Sahih (Stturgart: Maknaz al-Islami Digital, 2010), hadis nomor 326.

[45] Mazid, Al-Ta’aqqubat..., 60.

[46] Ibid., 103-140.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...