BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kajian hadis memang menarik hati sebagian sarjana
muslim. Meski terhitung ilmu tua, hadis dan ilmunya masih relevan menjadi
perhatian khusus oleh para ulama zaman ini. Hal ini dikarenakan kedudukan hadis
yang menjadi sumber hukum
Islam kedua.
Di antara ulama
yang memiliki semangat dan sumbangsih besar dalam dunia hadis kontemporer ialah
Muhammad Nasir al-Din al-Albani. Ulama yang menetap lama di Saudi Arabia ini sukses
menuliskan namanya dalam sejarah dunia hadis.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas biografi
singkat al-Albani
dan pemikirannya terhadap dunia hadis.
B.
Rumusan
Masalah
Berkenaan
dengan latar belakang yang tersebut di atas, maka penulis menguraikan beberapa
rumusan masalah yakni sebagai berikut:
1.
Bagaimana
biografi al-Albani?
2.
Bagaimanakah
pemikiran dan kritik nalar al-Albani
terhadap hadis dan ilmu hadis?
C.
Tujuan
Pembahasan
Adapun
tujuan pembahasan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk
mengetahui sejarah hidup al-Albani.
2.
Untuk
mengetahui pemikiran dan kritik nalar al-Albani terhadap hadis dan ilmu hadis.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Al-Albani:
1.
Nama
dan Tanggal Lahir
Nama
lengkap al-Albani ialah Muhammad Nasir
al-Din al-Albani bin Nuh Najati bin Adam. Nama
al-Albani merupakan penisbatan ke tempat asalnya yaitu Albania. Al-Albani juga
dipanggil (kuniyah) Abu ‘Abd al-Rahman,
sebab ‘Abd al-Rahman anak pertama al-Albani.[1]
Al-Albani
dilahirkan pada tahun 1332 H/1914 M. di kota Shkoder. Shkoder dulunya menjadi
Ibukota Albania sebelum dipindahkan ke kota Tirana.[2] Kondisi keluarga al-Albani
sangat jauh dari garis kecukupan. Ayahnya, Nuh Najati al-Albani, merupakan
salah satu tokoh agama di perkampungannya setelah pulang dari Istanbul mencari
ilmu di madrasah-madrasah dan ma’had Islam.[3]
2.
Hijrah
ke Suriah
Pada saat pemerintahan dipimpin oleh raja Ahmed Zaghu
yang merupakan kaki tangan dari Mustafa Kemal Atatruk[4], Albania berubah menjadi
negara sekuler. Nilai-nilai Islam diberantas dan
diganti dengan budaya dan gaya hidup kebarat-baratan.[5] Perempuan dipaksa untuk
melepas jilbab, kaum laki-laki dilarang memakai pakaian khas Arab dan hanya
diperbolehkan mengenakan baju dan celana ala Eropa. Hal demikian terjadi
semenjak runtuhnya kekhalifaan Turki Ustmani pada tahun 1922 M.[6]
Hadirnya
Ahmed Zaghu inilah yang mendasari sebagian umat Islam Albania untuk hijrah dan
mencari tempat yang aman dalam menjalani syariat Islam. Nuh Najati salah
satunya. Ia meninggalkan Albania dengan sembunyi-sembunyi dan memilih Damaskus
sebagai masa depannya. Ia takut jika anak-anaknya terkena imbas fitnah yang
sedang bergejolak di negara asalnya.[7]
Ayah
al-Albani memilih Suriah karena pernah singgah di negeri tersebut saat
melaksanakan ibadah haji. Selain itu, Suriah juga mendapatkan doa khusu dari
Rasulullah Saw.[8]
Saat itu al-Albani berusia 9 tahun.[9]
3.
Mencari
Ilmu
Setelah
menetap di Suriah, al-Albani memulai perjalanan ilmunya dengan mempelajari
Bahasa Arab. Bahasa Arab menjadi ilmu yang benar-benar baru bagi Al-Albani
karena sebelumnya ia tidak pernah mengenal Bahasa Arab sama sekali.[10]
Kemudian
al-Albani terdaftar sebagai murid Madrasah Ibtidaiyah Al-Is’af al-Khairiyah,
kota Damaskus. Madrasah terseut terletak berdampingan dengan Istana tempo dulu
yang menjadi tempat bersejarah bangsa Suriah di bilangan al-Bazuriyah. Namun
akibat revolusi yang digalakkan orang-orang Prancis di Suriah, madrasah
al-Albani terbakar dan al-Albani meneruskan strata ibtidaiyahnya di sekolah
lain di sekitar pasar Sarujah. Ia pun memperoleh ijazah ibtidaiyah dari
madrasah tersebut.[11]
Al-Albani
tidak menyempurnakan sekolahnya karena ayahnya beranggapan sekolah-sekolah yang
ada campur tangan rezim pemerintahan tidak baik dan tidak bebas dalam mengupas
permasalahan agama. Akhirnya ayahnya membuat kurikulum sendiri untuk al-Albani
dan mengajari al-Albani Alquran, ilmu Tajwid, Saraf, dan fikih Hanafi.[12]
Ia
juga berguru ke beberapa teman ayahnya, seperti Syekh Sa’id al-Burhani.
Al-Albani membaca kitab Maraqi al-Falah pada Syekh al-Burhani. Ia juga menghadiri majelis taklim Syekh Muhammad Bahjah
al-Bitor, ulama besar Suriah.[13] Al-Albani juga
mendapatkan ijazah di bidang hadis dari Syekh Raghib al-Tabbakh, yang merupakan
ulama besar di Halab. Syekh al-Tabbakh melihat al-Albani
sangat cocok dan pas mendalami ilmu hadis.[14]
4.
Mendalami
Ilmu Hadis
Awal mula al-Albani menaruh rasa dan ingin menggeluti
hadis beserta ilmunya saat ia hendak membeli kitab Alfu Laila wa Laila. Waktu
itu mata al-Albani tertuju pada sebuah majalah yang bernama Al-Manar.
dalam majalah itu terdapat tulisan Muhammad Rashid Rido. Rashid Rido menulis
tentang keistimewaan kitab al-Ghazali yakni Ihya ‘Ulum al-Din. tidak
hanya kelebihan kitab itu, Rashid Rido juga membeberkan kekurangan, kritik
tentang beberapa dunia kesufian dan hadis-hadis palsu yang berada di kitab
al-Ghazali tersebut. Rashid Rido juga menyebutkan bahwa Abu
al-Fad Zain al-Din al-‘Iraqi mentakhrij hadis-hadis Ihya dan memilah antara hadis sahih dan hadis daif.
Al-‘Iraqi memberi nama kitabnya dengan Al-Mughni ‘an Haml al-Asfar fi
Takhrij ma fi al-Ihya min al-Akhbar.[15]
Dengan
rasa penasaran, al-Albani yang
saat itu berusia 17 tahun mencari buku al-‘Iraqi di
toko-toko buku. Akhirnya ia menemukan kitab tersebut di toko al-Halabi. Karena tidak memiliki uang, ia memutuskan
untuk meminjam buku tersebut. Saat mendekati waktu pengembalian buku, ia belum
rampung membaca karya al-‘Iraqi tersebut. Akhirnya ia memutuskan untuk
menyalinnya di kardus-kardus bekas buku setebal 2011 itu. Kemudian menelaahnya
perkata dengan bantuan kamus-kamus yang dimilikinya.[16]
Semenjak itulah al-Albani tertarik dengan dunia hadis,
menelaah hadis-hadis yang tertulis dalam kitab-kitab klasik, lalu menentukan
hukumnya. Hal ini terbukti dengan beberapa karangannya tentang penilaian hadis
menurut telaah kritisnya, di antaranya Silsilah al-Ahadith al-Da’ifah wa
al-Maudu’ah wa Atharuha al-Sayyi fi al-Ummah dan Silsilah al-Ahadith
al-Sahihah wa Shaiun min Fiqhiha wa Fawaidiha.
Pada dasarnya ayah al-Albani tidak setuju anaknya
mengambil konsentrasi hadis, karena baginya menyelami hadis dan ilmunya
hanyalah pekerjaan orang-orang yang tak memiliki uang dan fakir. Sebab uang
mereka habis hanya untuk bepergian mencari hadis dan menelitinya.[17]
Al-Albani terkenal sebagai kutubuku. Ia betah membaca
berjam-jam. Setiap memiliki waktu luang, ia selalu menggunakannya membaca buku.[18] Bahkan ia kuat tidak
makan dan minum selama 12 jam hanya untuk membaca, belajar, dan berkarya di
sebuah toko buku.[19] Akhirnya pemilik toko
buku menyediakan satu ruangan khusus al-Albani untuk belajar dan berkarya.[20] Belajar autodidaknya
berhasil dan ia memiliki banyak karya ilmiyah khusunya di bidang penelitian dan
analisa hadis.
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;
- PERKEMBANGAN HADIS PADA KE IV HIJRIYAH
- SUNAN ABU DAWUD
- PEMBUKUAN HADIS
- SEJARAH PENYUSUNAN KITAB SAHIH BUKHARI
- PERKEMBANGAN HADIS PADA MASA SAHABAT KECIL DAN TABI‘IN BESAR (40 H-AKHIR ABAD 1 H)
- SEJARAH PENYUSUNAN MUSNAD AHMAD BIN HANBAL
- PERKEMBANGAN HADIS PADA MASA KHULAFAUR RASYIDIN
5.
Bekerja
Al-Albani merupakan sosok mandiri dan pekerja keras. Ia
memutuskan mencari pekerjaan untuk menghidupi dirinya. Ia pun memutuskan
belajar dunia mebel kayu dari pamannya dan seseorang bernama Abu Muhammad.
Setelah piawai mengolah kayu, al-Albani bekerja merenovasi rumah-rumah tua. Hal
demikian bertahan hingga 2 tahun. Akhirnya al-Albani merasa bosan karena
waktunya tersita banyak untuk bekerja.[21]
Kemudian ayahnya menawarinya untuk bekerja sebagai tukang
jam. Ayahnya cukup lama menekuni pekerjaan tersebut. Di toko ayahnya, al-Albani
belajar dengan teliti cara memperbaiki jam. Ia pun cepat piawai dan mampu
menyervis jam. Banyak orang yang mengenalkan sebagai tukang jam. Pada akhirnya
ia memutuskan untuk membuka toko sendiri untuk lebih mengembangkan pekerjaannya
tersebut.[22]
al-Albani mengaku bahwa ia bersyukur diberi keahlian
menyervis jam karena pekerjaan ini tidak berat dan menyita waktunya dalam
menggeluti kajian hadis. Dari servis jam itulah, ia menghidupi keluarganya.[23]
6.
Keluarga
Berikut nama putra-putri al-Albani yang ditulis ‘Abd al-‘Aziz
bin Muhammad al-Sadhan dalam kitabnya Al-Imam al-Albani Durus wa Mawaqif wa
‘Ibar:[24]
a. Dari istri pertama:
‘Abd al-Rahman, ‘Abd al-Latif, ‘Abd al-Razzaq.
b. Dari istri kedua:
‘Abd al-Musawwir, ‘Abd al-A’la, Muhammad, ‘Abd al-Muhaimin, Anisah, Asiah,
Salamah, Hassanah, Sakinah.
c. Dari istri ketiga:
Hibbatullah.
d. Dari istri
keempat: -.
7.
Majelis Ilmu
Sebagai seorang ulama yang menjadi rujukan para pencari ilmu, al-Albani
memiliki beberapa majelis taklim yang digelar setiap minggunya. Di antara
kitab-kitab yang dikaji al-Albani dalam majelis-majelisnya ialah:[25]
a)
Al-Raudah al-Nadiyah, karya Sadiq Hassan Khan.
b)
Minhaj al-Islam fi al-Hukm, Muhammad Asad.
c)
Usul al-Fiqh, ‘Abd al-Wahhab Khalaf.
d)
Mustalah al-Tarikh, Asad Rustum.
e)
Fiqh al-Sunnah, Sayyid Sabiq.
f)
Al-Halal wa al-Haram, Yusuf al-Qardawi.
g)
Al-Targhib wa al-Tarhib, al-Hafidh al-Mundhiri.
h)
Riyad al-Salihin, al-Nawawi.
i)
Al-Ilmam fi Ahadith al-Ahkam, Ibn Daqiq al-Id.
j)
Al-Adab al-Mufrad, al-Bukhari.
k)
Al-Baith al-Hathith, Ahmad Shakir.
Di Damaskus ia mengajar kitab-kitab fikih semisal Fiqh
al-Sunnah, Al-Raudah al-Nadiyah, Minhaj al-Islam.
8.
Karya
Al-Albani salah satu ulama modern yang produktif dalam
menulis. Banyak karyanya yang tercetak dan tersebar luas di khalayak. Di antara
karya-karyanya yang fenomenal, yaitu:[26]
a.
Sahih al-Targhib wa al-Tarhib.
b.
Al-Lihyah fi Nadzar al-Din.
c.
Salat al-‘Idain fi al-Musalla Fahiya al-Sunnah.
d.
Naqd Nusus al-Hadithiyyah fi al-Thaqafah al-‘Ammah.
e.
Manasik al-Haj wa al-‘Umrah.
f.
Al-Hadith Hujjatun bi Nafsih fi al-‘Aqaid wa al-Ahkam.
g.
Manzilat al-Sunnah fi al-Islam.
h.
Silsilat al-Ahadith al-Da’ifah wa al-Maudu’ah wa Atharuha
al-Sayyi fi al-Ummah.
i.
Silsilah al-Ahadith al-Sahihah wa Shaiun min Fiqhiha.
j.
Tasdid al-Isabah.
k.
Mukhtasar Sahih al-Bukhari.
l.
Difa’un ‘an al-Hadith al-Nabawi wa al-Sirah.
m.
Wujub al-Akhdhi bi Hadith al-Ahad fi al-‘Aqidah.
n.
Sifat Salat al-Nabi.
o.
Qiyam al-Ramadan wa Bahthun ‘an al-I’tikaf.
p.
Ahkam al-Janaiz.
q.
Tahdhir al-Sajid min Ittikhadh al-Qubur Masajid.
9.
Ideologi
Dalam hal teologi dan ideologi, al-Albani terinspirasi
oleh 3 tokoh besar, yaitu Ibn Taimiyah, Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, dan Muhammad
bin ‘Abd al-Wahhab.[27] Ketiga tokoh tersebut
dikenal sebagai pembaharu dalam Islam. Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab merupakan
pelopor dan
pendiri kelompok Wahabi
atau Salafi. Oleh karenanya,
al-Albani dikenal sebagai tokoh besar kelompok Wahabi/Salafi.
Menurut
al-Albani Salafi ialah metode generasi pertama Islam dalam menjalankan syariat
Islam, keimanan, ibadah, dan suluk.[28]
10.
Pujian Ulama
Tak bisa terelakkan, al-Albani salah satu ulama abad 20
yang diperhitungkan. Pujian para ulama menghujani sosok al-Albani yang tekun
dan gigih dalam memberikan sumbangsihnya dalam dunia keilmuan Islam.
Ulama sohor tanah al-Haramain, ‘Abd al-‘Aziz bin Baz
mengakui keistimewaan al-Albani dengan mengatakan, “Tidak ada di bumi ini
seseorang yang lebih alim dari al-Albani di bidang hadis. Ia merupakan
pembaharu ilmu hadis abad ini.” Muhammad bin Saleh al-‘Uthaimin memuji
al-Albani sebagai ahli hadis abad ini dan al-Albani memiliki ilmu yang sangat
mendalam dalam ilmu hadis baik dirayah maupun riwayah.[29]
Hammad al-Ansari juga takjub dengan sosok al-Albani. Ia berkata, “Al-AlBani mempunyai analisa tajam dan dalam tentang ilmu hadis.”[30]
11.
Murid
Nama al-Albani tidak asing lagi bagi para pencari ilmu
abad ini, khususnya di negara Saudi Arabia. Mayoritas para pencari ilmu yang
menetap di negara tersebut pernah duduk mendengarkan kuliah al-Albani.[31]
Al-Munjid mengklasifikasikan murid-murid al-Albani
menjadi tiga tingkatan: pertama, mereka yang selalu menghadiri majelis
al-Albani dan mengikuti jejaknya dalam berdakwah. Jumlah mereka tidak lebih
dari 10 orang, di antaranya Muhammad al-Rifa’i, Muhammad Iid al-‘Abbasi, dan
lainnya. Mereka mempunyai kelas esklusif dengan al-Albani. Kedua, mereka
yang selalu menghadiri kuliah al-Albani, terobsesi dengan cara pandangnya, dan
berdakwah dengan metode al-Albani, hanya saja mereka tidak bermental seperti
al-Albani. Ketiga, mereka yang beberapa kali menghadiri majelis
al-Albani, membaca buku-bukunya dan tersentuh dengan ulasan-ulasan al-Albani.
12.
Wafat
Al-Albani
meninggal dunia sebelum maghrib pada hari Sabtu, 2 Oktober 1999 M dan
dimakamkan setelah isya. Al-Albani sendiri yang berwasiat agar dimakamkan
secepatnya.[32]
B.
Pemikiran Al-Albani dalam Dinamika Kajian Hadis
Al-Albani
adalah salah satu ulama yang masyhur mengajak umat untuk kembali kepada Alquran dan
sunah/hadis. Ia menolak mengikuti mazhab fikih dan memilih untuk langsung
merujuk kepada hadis. Ada beberapa alasan yang sangat relevan, menurut
al-Albani, para ulama dan dai harus mengajak umat untuk merujuk langsung hadis, di antara
alasan tersebut ialah:[33]
1.
Hadis merupakan
sumber hukum Islam kedua setelah Alquran.
2.
Hadis terhindar
dari kesalahan dan aman dijadikan landasan hukum.
3.
Hadis merupakan
hujjah yang disepakati seluruh umat Islam.
4.
Seorang pelajar
muslim tidak akan menjadi ahli fikih tanpa menguasai dan mengerti hadis.
5.
Hadis adalah
solusi dalam menangkal bidah dan hawa nafsu dalam beribadah.
6.
Perpecahan umat
Islam sekarang semakin meruncing hanya karena perbedaan mazhab dan kelompok.
Hadis merupakan juru kunci untuk menyatukan mereka kembali menjadi satu barisan
yang kokoh.
7.
Orang yang
berpegang teguh kepada hadis, ia akan merasakan keyakinan yang utuh dalam
menjalankan syariat Islam. Hal ini berbeda bagi mereka yang hanya bisa mengekor
pada pendapat orang lain. Mereka akan dengan mudah sesat dan salah dalam
menjalankan syariat Islam.
Dalam
bukunya Al-Hadith Hujjatun bi Nafsihi, al-Albani menolak qiyas dan
seluruh sumber hukum Islam kecuali Alquran dan hadis. Menurutnya seluruh umat
Islam sepakat bahwa Alquran dan hadis menjadi sumber hukum Islam. Adapun
selainnya masih diperdebatkan.[34]
Hadis
Ahad
Sebagian
ulama membedakan hukum hadis ahad. Hadis ahad hanya diperuntukkan
untuk hukum Islam. Adapun masalah teologi hanya hadis mutawatir yang
pantas menjadi sandaran hujjah. Al-Albani menentang pendapat tersebut. Baginya
hadis ahad bisa dijadikan hujjah dalam permasalahan teologi. Tidak ada
ayat Alquran yang membedakan antara ranah hukum dan teologi. Perintah-perintah
Allah Swt. kepada umat Islam supaya mengikuti Rasulullah Saw. tidak terkotakkan
dalam hukum saja, namun meliputi akidah juga. Sesungguhnya mengkhususkan hadis ahad
hanya untuk hukum merupakan takhsis tanpa Mukhasis.[35]
Hadis Daif
Al-Albani sangat menyangkan tersebarnya hadis daif dan
palsu di kalangan para generasi Islam terdahulu. Bahkan “penyakit” hadis daif
dan palsu tersebut tidak hanya menjangkiti orang awam saja, namun juga sebagian
ulama telah tertipu dengan hadis-hadis tersebut kecuali mereka yang dijaga oleh
Allah Swt dan diberi karunia yang lebih semisal al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Ibn
Ma’in, Abu Hatim al-Razi, dan lain-lainnya.[36]
Pada
dasarnya adalah hadis daif ditolak dan tidak boleh diamalkan, namun para
ulama melakukan pengkajian terhadap ulang
apakah hadis daif masih bisa diamalkan atau tidak. Oleh karenanya para ulama
berbeda pendapat. Setidaknya ada tiga pendapat di kalangan ulama mengenai
penggunaan hadis daif:
1.
Hadis daif tidak bisa diamalkan secara mutlak, baik mengenai
fadail al-a’mal maupun tentang hukum. Para ulama yang setuju dan condong
dengan pendapat ini adalah Yahya bin
Ma’in, al-Bukhari, Muslim, Ibn Hazm, Abu Bakar ibn ‘Arabi.
2.
Hadis daif bisa digunakan secara mutlak dalam bidang
apapun, pendapat ini dinisbatkan kepada Abu Daud dan Imam Ahmad.
3.
Sebagian ulama berpendapat bahwa hadis daif bisa
digunakan dalam masalah fadail al-a’mal jika hadis tersebut memenuhi
beberapa syarat[37].[38]
Al-Albani salah satu ulama yang
menolak mengamalkan hadis daif dalam hal apapun termasuk fadail a’mal.
Ia mengikuti pendapat al-Qasimi yang mengatakan bahwa ini pendapat al-Bukhari,
Muslim dan Ibn Hazm. Dalam Tamam al-Minnah fi Ta’liq ‘ala Fiqh al-Sunnah
al-Albani mengulas alasannya mengapa menolak hadis daif dalam permasalahan fadail
al-A’mal:[39]
a.
Hadis daif bersifat tidak pasti atau paten dalam
menentukan hukum dan juga cacat. Tidak boleh diamalkan dalam hal apapun.
b.
Fadail al-A’mal
-boleh diamalkan dengan hadis daif- yang dimaksud adalah perbuatan atau amal
yang sudah mempunyai dalil kuat sebelumnya. Dan hadis daif juga menjelaskan
perbuatan tersebut. Bukan mensyariatkan perbuatan baru yang tidak ada dalil
yang lebih kuat dari hadis daif tersebut.
Menurut al-Albani hadis daif yang tidak mempunyai penguat
atau hadis yang senada namun dari riwayat yang lain, maka bisa dihukumi sebagai
hadis palsu.[40]
Oleh karenanya, al-Albani menolak dengan tegas mengamalkan hadis daif dalam hal
apapun.
Metode
Al-Albani Menghukumi Hadis
Al-Albani memilik metode sendiri dalam menghukumi sebuah
hadis. Ia banyak mentakrij hadis-hadis dalam kitab-kitab hadis klasik. Ketika meneliti
sebuah hadis, al-Albani tidak bertaklid kepada ulama terdahulu. Ia menggunakan
analisa tajam dan telitinya lalu merujuk kitab-kitab al-Jarh wa al-Ta’dil.[41]
Oleh karenanya tak jarang ia mengkritisi hadis-hadis
sahih yang berada di kitab al-Bukhari dan Muslim. Al-Albani juga mengkritik
syarat al-Bukhari dalam kitab Sahihnya. Menurutnya al-Bukhari berlebihan
dan menyalahi pendapat mayoritas ulama. Muslim dan mayoritas ulama hanya
mencukupkan seorang perawi semasa dengan gurunya. Syarat al-Bukhari sangat
memberatkan dan menggugurkan banyak hadis Rasulullah Saw.[42]
Salah satu contoh hadis riwayat
Muslim yang dianggap daif oleh al-Albani karena ‘an’anah Abi Zubair,[43]
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَإِسْحَاقُ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ جَمِيعًا عَنْ سُلَيْمَانَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ
بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ حَجَّاجٍ الصَّوَّافِ عَنْ أَبِى
الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ الطُّفَيْلَ بْنَ عَمْرٍو الدَّوْسِىَّ أَتَى النَّبِىَّ
صلى الله عليه وسلم فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ لَكَ فِى حِصْنٍ حَصِينٍ وَمَنَعَةٍ
قَالَ حِصْنٌ كَانَ لِدَوْسٍ فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَأَبَى ذَلِكَ النَّبِىُّ صلى الله
عليه وسلم لِلَّذِى ذَخَرَ اللَّهُ لِلأَنْصَارِ فَلَمَّا هَاجَرَ النَّبِىُّ صلى الله
عليه وسلم إِلَى الْمَدِينَةِ هَاجَرَ إِلَيْهِ الطُّفَيْلُ بْنُ عَمْرٍو وَهَاجَرَ
مَعَهُ رَجُلٌ مِنْ قَوْمِهِ فَاجْتَوَوُا الْمَدِينَةَ فَمَرِضَ فَجَزِعَ فَأَخَذَ
مَشَاقِصَ لَهُ فَقَطَعَ بِهَا بَرَاجِمَهُ فَشَخَبَتْ يَدَاهُ حَتَّى مَاتَ فَرَآهُ
الطُّفَيْلُ بْنُ عَمْرٍو فِى مَنَامِهِ فَرَآهُ وَهَيْئَتُهُ حَسَنَةٌ وَرَآهُ مُغَطِّيًا
يَدَيْهِ فَقَالَ لَهُ مَا صَنَعَ بِكَ رَبُّكَ فَقَالَ غَفَرَ لِى بِهِجْرَتِى إِلَى
نَبِيِّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ مَا لِى أَرَاكَ مُغَطِّيًا يَدَيْكَ قَالَ قِيلَ
لِى لَنْ نُصْلِحَ مِنْكَ مَا أَفْسَدْتَ فَقَصَّهَا الطُّفَيْلُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ
صلى الله عليه وسلم فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم اللَّهُمَّ وَلِيَدَيْهِ
فَاغْفِرْ[44]
Tak hanya al-Bukhari dan Muslim,
pemilik 4 kitab sunan pun menjadi objek kritikan al-Albani dalam
menghukumi sebuah hadis. Ia mengatakan, “Salah satu hal yang biasa dalam
kegiatan intelektual jika saya mengkritisi kitab al-Bukhari dan Muslim juga
kitab 4 al-Sunan dan kitab lainnya yang memang belum jelas status
hadis-hadis di dalamnya, apakah sahih atau daif.”[45]
Kekurangan
Al-Albani
Menurut ‘Ali ‘Abd al-Basit Mazid, ada beberapa kekurangan al-Albani
dalam analisa dan mentakhrij hadis-hadisnya:[46]
1.
Terkadang al-Albani tidak mampu mencari sebuah hadis.
2.
Penilainnya terkadang kontradiktif.
3.
Hadis-hadisnya ada yang tidak dicantumkan sumbernya.
4.
Terkadang ia kurang teliti dan hati-hati dalam mentakhrij
dan menentukan hukum sebuah hadis.
5.
Meragukan pendapat para ulama hadis terdahulu.
6.
Terkadang Menyepelehkan ilmu ta’dil.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Nama lengkap
al-Albani ialah Muhammad Nasir
al-Din al-Albani bin Nuh Najati bin Adam. Nama
al-Albani merupakan penisbatan ke tempat asalnya yaitu Albania. Al-Albani dilahirkan pada tahun 1332 H/1914 M. di kota
Shkoder. Shkoder dulunya menjadi Ibukota Albania.
2.
Ia hijrah ke Damaskus berserta ayahnya karena kelaliman
Ahmed Zaghou, pengendali Albania, yang mengikuti pemahaman sekuler.
3.
Di Damaskus al-Albani memulai pengembaraan ilmunya. Ia
mencari ilmu mulai nol dengan belajar bahasa Arab. Lalu ia melanjutkan ke
madrasah ibdtidaiyah. Setelah lulus, ia dididik sendiri oleh ayahnya dan
mengaji di beberapa teman ayahnya.
4.
Ketertarikannya di dunia hadis karena ia membaca tulisan
Muhammad Rashid Rido dalam majalah Al-Manar yang mengupas tentang tulisan
al-‘Iraqi yang mentakhrij kitab al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din.
5.
Al-Albani bekerja sebagai tukang kayu selama 2 tahun lalu
beralih profesi menjadi tukang servis jam.
6. Pemikirannya dalam hadis terkenal kontroversial dan fenomenal. Ia berani menyelisihi atau berbeda pandangan dengan ulama-ulama klasik. Bahkan ia tidak jarang mengkritik para penulis al-Sunan, termasuk juga al-Bukhari dan Muslim menjadi objek kritiknya.
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;
- PANDANGAN IMAM SHAFI'I TERHADAP HADIS
- HADIS PADA MASA RASULULLAH
- IMAM MALIK IBN ANAS DAN KITAB AL-MUWATTA’
- SUNNAH ANTARA WAHYU ILAHI DAN IJTIHAD NABI SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP TASYRI’
- PEMIKIRAN K. H. MUHAMMAD AHMAD SAHAL MAHFUZ AL-HAJINI TENTANG HADIS
- MUHAMMAD NASIR AL-DIN AL-ALBANI
- KAJIAN HADIS DI INDIA
- STUDI KRITIS PEMIKIRAN IBN HAJAR AL-‘ASQALANI DALAM KAJIAN ILMU HADIS
- IMAM NAWAWI
- HADIS DALAM PANDANGAN SYAIKH NAWAWI AL-BANTANI
DAFTAR PUSTAKA
‘Ali, Ibrahim Muhammad. Muhammad Nasir al-Din al-Albani Muhaddith al-‘Asr wa Nasir al-Sunnah. Damaskus: Dar al-Qalam, 2001.
Albani (al), Muhammad Nasir al-Din. Al-Hadith Hujjatun bi Nafsihi. Riyad: Maarif, 2005.
_______. Silsilah al-Ahadith al-Da’ifah wa al-Maudu’ah wa Atharuha al-Sayyi fi al-Ummah. Riyad: Maktabah al-Ma’arif, 1992.
________. Tamam al-Minnah fi Ta’liq ‘ala Fiqh al-Sunnah. Oman: Dar al-Rayah, t.th.
Fattah (al), Ibrahim ‘Abd. Al-Qaul al-Hasif fi Bayan al-Hadith al-Da’if. Kairo: Dar Thiba’ah al-Muhammadiyah, 1992.
Mazid, ‘Ali ‘Abd al-Basit. Al-Ta’aqqubat al-Hadithiyah ‘ala al-Shaikh al-Albani. Asyut: Al-Jamiah al-Azhariyah, 2013.
Muslim. Al-Sahih. Stturgart: Maknaz al-Islami Digital, 2010.
Munjid (al), Muhammad Saleh. Ahdath al-Muthirah fi Hayat al-Shaikh al-Albani. San’a: Dar al-Quds, 2000.
Salim, ‘Amr ‘Abd al-Mun’im. Al- Manhaj al-Salafi ‘inda al-Shaikh Nasir al-Din al-Albani. t.th.
Sadhan (al), Abd al-‘Aziz bin Muhammad. Al-Imam al-Albani Durus wa Mawaqif wa ‘Ibar . Riyad: al-Malik Fahd al-Wataniyyah, 2008.
Shada, Ibrahim Abu. Al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyah li al-Imam al-Albani. Mansurah: Dar al-Ghod al-Jadid, 2006.
Shaibani (al), Muhammad Ibrahim. Hayat al-Albani Atharuhu wa Thanau al-‘Ulama alaih. t.tp: Sarrawi, 1987.
Talib, Nur al-Din. Maqalat al-Albani. Riyad: Dar al-Atlas, 2000.
Tanor, Bulen. “The Birt of Modern Nation Amid The Ruinsof The Ottoman
Empire”The Unesco Courier. November 1981.
Qattan (al), Manna’ Khalil. Mabahith fi ‘Ulum al-Hadith diterjemahkan oleh Mifdol Abdurrahman. Jakarta: Pustaka al-Kautsar cet.II, 2006.
[1] Ibrahim Muhammad ‘Ali, Muhammad
Nasir al-Din al-Albani Muhaddith
al-‘Asr wa Nasir al-Sunnah (Damaskus:
Dar al-Qalam, 2001), 11.
[2] Ibid., 11.
[3] Ibid., 11.
[4]
Tokoh sekuler yang merubah
Turki menjadi negara sekuler pasca runtuhnya kekhalifaan dinasti Usmaniyah.
Sejarah mencatat namanya sebagai tokoh fenomenal abad 20 yang memimpin negara
dengan misi imperialism dan kolonialisme. Ia memimpin Turki lebih dari 1 dekade
(1922-1935). Dampak kepemimpinannya begitu besar. Turki mengalami babak baru
yang sangat berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, dinasti Ustmaniyah. Lihat bulen
Tanor, “The Birt of Modern Nation Amid The Ruinsof The Ottoman Empire”The
Unesco Courier, November 1981, 4.
[5] Muhammad Ibrahim al-Shaibani, Hayat
al-Albani Atharuhu wa Thanau al-‘Ulama alaih (t.tp: Sarrawi, 1987), 44.
[6] Ibid., 44.
[7] Ibid., 44.
[8] Ibid., 44.
[9] Muhammad Saleh al-Munjid, Ahdath
al-Muthirah fi Hayat al-Shaikh al-Albani (San’a: Dar al-Quds, 2000), 8.
[10] Ibid., 8.
[11] Al-Shaibani, Hayat al-Albani…, 45.
[12] Ibid., 45.
[13] Ibrahim Muhammad ‘Ali, Muhammad
Nasir al-Din..., 13.
[14] ‘Abd al-‘Aziz bin Muhammad al-Sadhan, Al-Imam
al-Albani Durus wa Mawaqif wa ‘Ibar (Riyad: al-Malik Fahd al-Wataniyyah,
2008), 13.
[15] Al-Munjid, Ahdath al-Muthirah...,
10-11.
[16] Ibid., 10-11.
[17] Ibid.,
11.
[18] Ibrahim Muhammad ‘Ali, Muhammad Nasir al-Din..., 13.
[19] Ibid.,
17.
[20] Al-Shaibani, Hayat al-Albani…, 52.
[21] Al-Munjid, Ahdath al-Muthirah..., 11.
[22] Ibid.,
11. Lihat juga Ibrahim Abu Shada, Al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyah li al-Imam
al-Albani (Mansurah: Dar al-Ghod al-Jadid, 2006), 9.
[23] Ibrahim Muhammad ‘Ali, Muhammad
Nasir al-Din..., 16.
[24] ‘Abd al-‘Aziz bin Muhammad
al-Sadhan, Al-Imam al-Albani..., 23.
[25] Al-Shaibani,
Hayat al-Albani…, 56-57.
[26] Ibid., 622-623.
[27] Ibrahim
Muhammad ‘Ali, Muhammad Nasir al-Din..., 19.
[28] ‘Amr ‘Abd al-Mun’im Salim, Al-
Manhaj al-Salafi ‘inda al-Shaikh Nasir al-Din al-Albani (t.th), 13.
[29] Ibid., 19.
[30] Ibid., 19.
[31] Al-Munjid,
Ahdath al-Muthirah..., 33-34.
[32] Ibid., 42.
[33] Nur al-Din Talib, Maqalat
al-Albani (Riyad: Dar al-Atlas, 2000), 34-36.
[34] Muhammad
Nasir al-Din al-Albani, Al-Hadith Hujjatun bi Nafsihi (Riyad: Maarif,
2005), 25.
[35] Ibid., 49.
[36] Muhammad Nasir al-Din al-Albani, Silsilah al-Ahadith
al-Da’ifah wa al-Maudu’ah wa Atharuha al-Sayyi fi al-Ummah (Riyad: Maktabah
al-Ma’arif, 1992), 47.
[37]
Beberapa syarat tersebut ialah 1. Kelemahan hadis tersebut tidak fatal dan
akut. 2. Tidak meyakini secara penuh bahwa hadis tersebut benar-benar dari
Nabi, hanya saja berniat untuk hati-hati. 3. Amal yang ditunjukkan pada hadis
daif tersebut tidak bertentangan dengan dasar hukum yang lain. Lihat, Manna’
Khalil al-Qattan, Mabahith fi ‘Ulum al-Hadith diterjemahkan oleh Mifdol
Abdurrahman (Jakarta: Pustaka al-Kautsar cet.II, 2006), 131.
[38] Ibrahim ‘Abd
al-Fattah, Al-Qaul al-Hasif fi Bayan al-Hadith al-Da’if (Kairo: Dar
Thiba’ah al-Muhammadiyah, 1992), 17-18.
[39] Muhammad Nasir al-Din al-Albani, Tamam al-Minnah fi
Ta’liq ‘ala Fiqh al-Sunnah (Oman: Dar al-Rayah, t.th), 34.
[40] Ibid., 37.
[41] ‘ali ‘Abd al-Basit Mazid, Al-Ta’aqqubat al-Hadithiyah
‘ala al-Shaikh al-Albani (Asyut: Al-Jamiah al-Azhariyah, 2013), 77.
[42] Ibid.
33.
[43] Ibid.,
46.
[44] Muslim,
Al-Sahih (Stturgart: Maknaz al-Islami Digital, 2010), hadis nomor 326.
[45] Mazid,
Al-Ta’aqqubat..., 60.
[46] Ibid.,
103-140.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar