BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Ilmu hadis dari masa
ke masa mengalami perkembangan yang luar biasa. Dimulai dari hafalan hadis,
penulisan hadis, pembukuan hadis, penyusunan hadis dalam kitab-kitab ulama. Hal
tersebut terus berkembang dengan munculnya kitab ulum al-hadith yang bernama al-Muhaddis al-Fasil bain al-Rawi wa
al-Wa’i karya Ramahurmuzi.
Setelah itu hadirlah
ibn Salah (w. 643) dengan Muqaddimahnya, yang nantinya akan menjadi
rujukan oleh ulama-ulama hadis setelahnya. Salah satu ulama hadis ternama pasca
ibn Salah adalah ibn Hajar al-‘Asqalani.
Ibn Hajar memiliki
peran aktif dalam perkembangan ulum al-hadith, karena selain membaca,
meneliti dan mengamati kitab-kitab hadis para ulama sebelumnya, ia juga tak
segan melancarkan kritik tajam jika dianggap hal tersebut kurang tepat, hal
tersebut terangkum dalam kitabnya Nukat ala ibn al-Salah.
Selain ahli dalam ulum al-hadith, ibn Hajar juga mempunyai karya-karya yang fenomenal
seperti Fath al-Bari, Nuzhatu al-Nazar, Bulughul Maram, Riyadu
al-Salihin, Tahdhib al-Tahdhib, Taqrib al-Tahdhib dan masih banyak lagi.
Maka dalam makalah
ini penulis akan memaparkan bagaimana perjalanan hidup ibn Hajar dalam
menuntut, serta menyebarkan ilmu, juga kritik ibn Hajar yang membangun sehingga
menjadi pondasi dalam perkembangan ulum al-hadith pada masa-masa
setelahnya.
B.
Rumusan Masalah
1. Biografi kehidupan ibn Hajar al-‘Asqalani
2. Perjalanan ibn Hajar dalam menuntut ilmu
3. Kedudukan ibn Hajar
4. Guru-guru ibn Hajar
5. Murid-murid ibn Hajar
6. Karya ibn Hajar
7. Hadis dalam perspektif ibn Hajar al-‘Asqalani
C.
Tujuan Penelitian
1. Mengetahui deskripsi hadis mutawatir yang Jami‘ mani‘
2. Menelusuri pendapat ibn tentang tashih pada masa muta’akkhir
3. Mengetahui metode bagaimaan hadis da‘if bisa naik menjadi hasan li ghairihi
4. Mengetahui pengertian hadis sahih dan da‘if menurut ibn Hajar
5. Mengetahui kitab sahih pertama yang disusun ahli hadis.
6. Mengetahui tingkatan jarh wa ta‘dil dalam perspektif ibn Hajar
7. Mengetahui tingkatan para pengkritik hadis.
D.
Manfaat Penelitian
1. Dengan melihat
perjuangan ibn Hajar al-‘Asqalani diharapkan semakin memacu semangat
sarjana-sarjana hadis untuk lebih giat lagi belajar dan mengajarkan ulum al-hadith
2.
Mengetahui perbedaan pandangan para ulama hadis,
dan dari perbedaan itu ibn Hajar hadir sebagai penyeimbang, serta memberikan
kritik yang membangun demi berkembangnya khazanah keilmuan Islam.
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
ibn Hajar al-‘Asqalani
1. Lahir
Ibn Hajar bernama lengkap Shihabuddin Abu al-Fadl Ahmad ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn
Muhammad ibn Muhammad ibn ‘Ali ibn Mahmud ibn Ahmad ibn Hajar
al-Kinani, al-‘Asqalani al-Shafi‘i al-Misri.[1] Nenek
moyangnya berasal dari ‘Asqalan,
kota kuno yag terletak di pantai Suriah dan palestina, oleh
karena itu ia bernisbah al-‘Asqalani.[2] Kunyahnya
Abu al-Fadl, sedangkan laqabnya Shihabuddin dan lebih dikenal dengan ibn
Hajar.[3]
Ibn Hajar dilahirkan pada bulan Sha‘ban tahun 773 H di tepi sungai Nil daerah Fustat. Mamun terkait dengan tanggal kelahirannya terdapat perbedaan pendapat, ada yang mengatakan 2[4] Sha‘ban, sedangkan yang lain berpendapat 12 Sha‘ban, 13 Sha‘ban dan 22[5] Sha‘ban.[6]
Ayahnya meninggal
ketika ia masih berumur 4 tahun (777 H).[7] Lalu
ia diasuh oleh Zakiyuddin al-Kharubi, seorang saudagar kaya raya.[8]
2.
Keilmuan
Ibn Hajar memulai pendidikan Alquran pada umur 5 tahun, dan menyelesaikan hafalannya pada umur 9 tahun. Pada umur 12 tahun (785 H), ia melakukan perjalan ke Makkah[9] bersama al-Kharubi[10]. Di Makkah ia mengkhatamkan ‘Umdatu al-Ahkam li al-Maqdisi di bawah asuhan al-Hafiz Abu Hamid ibn Zahir (w. 787 H)[11], Mukhtasar ibn Hajib fi al-Usul, Alfiyah al-‘Iraqi, Alfiyah ibn Malik, al-Tanbih fi Furu‘i al-Shafi‘iyyah li al-Shairazi dan lain-lain.[12] Ia juga mendengar periwayatan Sahih Bukhari oleh salah seorang ulama ternama di Hijaz. Pada tahun 793 H, muncullah kecintaan terhadap ilmu hadis, ia pun mendalami ilmu hadis dari para ahli hadis pada masanya. Salah satunya adalah Zainuddin al-‘Iraqi, dimana ia belajar dibawah asuhannya selama 10 tahun. Ia membacakan alfiyah kepada gurunya, serta sharhnya, serta membacakan nukat ‘ala ibn Salah (karyanya sendiri), serta beberapa kitab yang lain. Zainuddin al-iraqi pun orang pertama yang memberikan izin kepada ibn Hajar untuk mengajar Ulum al-Hadith (797 H).[13]
3.
Perjalanan menuntut ilmu
Awal perjalanan ibn Hajar
dimulai pada tahun 793 H ke daerah Sa‘id,
Mesir. Disana ia belum mendalami hadis, namun hanya sekedar bertemu dengan para
ulama dan ahli sastra Arab. Akhir tahun 797 H ia berkelana ke Iskandariah
(Alexandrea). Tahun 799 H, ia pergi ke Yaman, kemudian menunaikan haji. Lalu ia
kembali lagi ke Mesir. Tahun 802 ia pergi ke Suriah berkat anjuran dari gurunya
ibn al-Jazari (w. 833 H). Tahun 806 ia pergi ke Yaman untuk kedua kalinya
setelah meunaikan ibadah haji. Pada perjalanan inilah mendapat ujian, buku
serta barang-barangnya tenggelam. Pada sekitar tahun 800 H – 824 H inilah ia
sering melakukan perjalanan ke Hijaz, selain untuk haji juga untuk bertemu
dengan para ulama, baik untuk belajar maupun untuk mengajar, serta memberikan
beberapa karyanya. Tahun 836 ia melakukan perjalanan untuk kedua kalinya ke
Suriah, selain mengambil manfaat (belajar) dari sekolah-sekolah disana, ia juga
memberi manfaat (mengajar).[14]
4. Kedudukan ibn Hajar
Para ulama pada zamannya sepakat menjuluki
beliau sebagai “al-Hafiz”, diantaranya adalah gurunya sendiri, yaitu al-‘Iraqi.
Al-‘Iraqi mengatakan: “(ibn Hajar) adalah seorang Shaikh yang ‘alim,
sempurna dan mempunyai keutamaan. Ia seorang ahli hadis, pemberi faedah yang
sangat bagus, al-Hafiz yang mutqin, dabit (kuat), thiqah
dan terpercaya”.
Sebelum al-‘Iraqi
meninggal, ada seseorang yang bertanya kepadanya, “Siapa yang engkau angkat
sebagai penggantimu setelah meninggal?”, beliau menjawab, “Ibn Hajar, kemudian
anakku Abu Zur‘ah, kemudian al-Haithami.”
Al-‘Allamah
al-Buqo’i, murid ibn Hajar berkata, “Beliau adalah Shaikhul Islam,
hiasan manusia, bendera para Imam, bendera para ulama yang alim, awan bagi
orang-orang yang mendapat hidayah dari pengikut para Imam, Hafiz di zamannya,
ustadz di masanya, penguasanya para ulama dan raja para ahli fiqh.” [15]
5. Guru-Guru
Ibn Hajar (w. 852 H)
belajar dari ulama-ulama terkemuka pada zamannya, diantaranya:
a. Zainuddin al-‘Iraqi, ibn Hajar belajar ulum al-hadith darinya selama 10 tahun.
b. Al-Balqini, darinya ibn Hajar belajar fiqh madhhab Shafi‘i
c. ibn al-Mulaqqin
d. al-‘Izz ibn Jama‘ah dalam hadis dan fiqh.
e. Al-Tanukhi dalam qira‘ah.
f. Muhibbuddin ibn Hisham dan Fairuz Abadi dalam lughah dan sarf.
g. al-Shairazi
h. al-Ghumari[16]
Imam Sakhawi menjelaskan dan menyebutkan dalam al-Jawahir wa al-Durar bahwa ibn Hajar
memiliki banyak sekali guru, dan itu dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Ibn Hajar mengambil
riwayat dari shaikhnya dengan mendengar. Pada bagian ini jumlah guru ibn
Hajar mencapai lebih dari 230, ditulis dan diurutkan oleh Sakhawi sesuai dengan
huruf mu‘jam orang.
b. Gurunya yang
memberikan ijazah kepada ibn Hajar. Pada kelompok ini guru ibn Hajar mecapai
lebih dari 220 orang, ditulis dan diurutkan oleh Sakhawi sesuai dengan huruf mu‘jam orang.
c. Ibn Hajar mengambil
dari shaikhnya dengan belajar langsung, membaca kitabnya, khutbah dan
lain sebagainya. Pada bagian ini, jumlah gurunya mencapai lebih dari 180 orang,
ditulis dan diurutkan oleh Sakhawi sesuai dengan huruf mu‘jam orang. Sehingga jika ditotal semua lebih dari
630 orang.[17]
6. Murid
Imam Sakhawi telah
menghitung dan menulis jumlah murid ibn Hajar (baik yang mengambil secara dirayah
maupun riwayah) berjumlah 626 orang,[18] dan
Imam Sakhawi adalah salah satunya.[19] Bahkan
karena jumlah murid ibn Hajar sangat banyak, Shakir Mahmud ‘Abdul
Mun‘im mengatakan bahwa ulama senior dari setiap madhhab dan benua
merupakan murid dari ibn Hajar al-‘Asqalani.[20]
Dalam al-Jawahir
wa al-Durar Imam Sakhawi telah menulis murid-muridnya urut sesuai
huruf mu‘jam, diantaranya adalah:
a. Ibrahim ibn Ahmad ibn
Hasan ibn Khalil al-‘Ajaluni
b. Ibrahim ibn ‘Abdullah
al-‘Iryani
c. Ibrahim ibn Hasan
ibn ‘Ali al-Jarahi
d. Ibrahim ibn ‘Abdurrahman ibn Ahmad ibn Muhammad al-Ansari al-Khalili
e. Ibrahim ibn ‘Ali
bin Ahmad ibn Barakah
f. Ibrahim ibn ‘Ali
ibn Ahmad ibn Buraid al-Qadiri
g. Ibrahim ibn ‘Ali
Barakah ibn Sakhr al-Zuhri
h. Ibrahim ibn ‘Ali
bin Muhammad ibn Sulaiman dan masih banyak lagi.[21]
7. Karya
Tahun 795 H ibn Hajar
membuat menyelesaikan dua buah karyanya, yaitu Mukhtasar Talbis Iblis li ibn al-Jauzi dan Muqaddimah fi al-‘Arud (sharh dari al-Abyat al-‘Arudiyyah). Namun karya pertamanya yang
sesungguhnya adalah Nazm al-Ali bi al-Mi’ah al-‘Awali pada tahun 796 H.
Ibn Hajar adalah seorang ulama yang produktif menulis, bahkan Imam Sakhawi
menyebut karyanya lebih dari 273 judul. Sementara ‘Abdu
al-Sattar al-Shaikh menyebutkan karyanya mencapai 289 buah. Sedangkan Ahmad
Shakir menyebut karyanya berjumlah 282 buah.[22]
Diantara karya beliau
yang penting adalah:
a. Fathu al-Bari Sharh Sahih al-Bukhari
b. Tahdhib al-Tahdhib
c. Lisan al-Mizan
d. Al-Talkhis al-Habir
e. Al-Durar al-Kaminah fi A‘yan al-Mi’ah al-Thaminah
f. Nukhbatu al-Fikr
g. Al-‘Ubab fi Bayani al-Asbab
h. Shifa al-Ghilal fi Bayan al-‘Ilal
i. Taghliq al-Ta‘liq
j. Bulugh al-Maram
k. Al-Isabah fi Tamyiz al-Sahabah
l. Tahdhib al-Tahdhib
m. Taqrib al-Tahdhib
n. Al-Durar al-Kaminah
o. Nuzhatu al-Nazar
p. Nukat ala ibn al-Salah[23]
8. Istri dan anak
Al-Hafiz Ibnu Hajar
menikah ketika berumur 25 tahun (798 H), dengan Uns, putri seorang hakim yang
bernama Karimuddin ‘Abdul Karim ibn Ahmad ibn ‘Abdul ‘Aziz.
Dari pernikahan ini, ibn Hajar dikaruniai beberapa anak perempuan, yaitu: Zain
Khatun, Farhah, Ghalibah, Rabi‘ah dan Fatimah.
Istrinya yang lain
adalah janda dari al-Zain Abi Bakr al-Amshati, dari pernikahan ini ibn Hajar
dikaruniai dua anak perempuan.
Kemudian menikah dengan, putri Mahmud ibn
Tau‘an al-Halabiyyah, tetapi tidak dikaruniai anak dari pernikahan tersebut.
Akhirnya anak yang ditunggu-tunggu pun lahir, tahun 815 lahir satu-satunya anak
laki-laki, yang bernama Badruddin Abi al-Ma‘al Muhammad. Ibn Hajar sangat
serius mendidik anaknya tersebut, sehingga ia mengarang kitab “Bulugh
al-Maram min Adillati al-Ahkam”, sebagai bekal untuk anaknya di kemudian
hari.[24]
9. Meninggal
Ibn Hajar mulai
merasakan sakit pencernaan pada bulan Dhulqo‘dah 852 H. Ia pun tetap
menjalankan aktivitas mengajarnya. Namun penyakit tersebut semakin parah bahkan
ketika buang air besar disertai dengan darah. Ibn Hajar pun tidak bisa
melakukan shalat Idul Adha, padahal ia orang yang tidak pernah meninggalkan
shalat jum’at ataupun shalat jama'ah. Semakin lama penyakitnya pun semakin
memburuk, bahkan terpaksa shalat dengan duduk, tidak bisa melakukan qiyam
lail. Kemudian ia beberapa kali terserang penyakit ayan (epilepsi / sawan).
Para pemimpin, ulama, hakim dan pelajar banyak yang mengunjungi beliau guna
mendo’akan. Namun pada malam sabtu 18 Dhulhijjah 852 H setelah shalat Isha,
ibn Hajar menghembuskan nafas terakhirnya. Pada tanggal 19 Dhulhijjah sebelum
shalat zuhur jenazahnya disholati oleh khalifah,
petinggi-petinggi, ulama dan masyarakat.
Jenazah ibn Hajar dimakamkan di Qarafah, sekitar 50.000 orang hadir
dalam pemakamannya. Bahkan umat Islam di Makkah, Baitul Maqdis, Suriah dan lain
sebagainya melakukan shalat ghaib untuk beliau.[25]
B. HADIS DALAM PERSPEKTIF IBN HAJAR
1. Pengertian hadis Mutawatir
Guru kami, Shaikh
Mustafa Abu ‘Imarah memaparkan beberapa deskripsi tentang hadis mutawatir.
Dan diantara deskripsi-deskripsi tersebut, yang jami‘ mani‘ adalah
deskripsi dari ibn Hajar. Berikut adalah penjelasannya
a. Hadis Mutawatir
menurut ahli Usul
أخبار
قوم يمتنع تواطئهم على الكذب لكثرتهم
b. Hadis Mutawatir
menurut Khatib al-Baghdadi (w. 463)
ما
يخبر به القوم الذين يبلغ عددهم حدا يعلم عند مشاهدتهم بمستقر العادة أن اتفاق
الكذب منهم محال. وأن التواطؤَ منهم في مقدار الوقت الذي انتشر الخبر عنهم فيه
متعذر. وأن ما أخبروا عنه لا يجوز دخول اللبس والشبهة في مثله، وأن أسباب القهر
والغلبة والأمور الداعية إلى الكذب منتفية عنهم.[26]
c. Hadis Mutawatir
menurut ibn Salah (w. 643)
عبارة
عن الخبر الذي ينقله من يحصل العلم بصدقه ضرورة، ولابد في إسناده من استمرار هذا
الشرط في رواته من أوله إلى منتهاه[27]
Ibn Salah meyakini bahwa hadis Mutawatir merupakan bagian dari hadis Masyhur, sebagaimana pendapat ahli Usul. Pengertian ini juga disepakati oleh Imam Nawawi (w. 676 H).
d. Hadis Mutawatir
menurut ibn Hajar (w. 852)
ما
رواه عدد كثير، أحالت العادة تواطؤهم وتوافقهم على الكذب، ورووا ذلك عن مثلهم من
الابتداء إلى الانتهاء، وكان مستند انتهائهم الحس، ويصحب خبرهم إفادة العلم لسامعه[28]
e. Hadis Mutawatir
menurut Imam Sakhawi (w. 902)
ما
ورد عن جماعة غير محصورين في عدد معين، ولا صفة مخصوصة، بل بحيث يرتقون إلى حد
تحيل العادة معه تواطؤهم على الكذب، أو وقوع الغلط منهم اتفاقا من غير قصد، وهذا
الأمر يكون في جميع طبقات الحديث من ابتدائه إلى انتهائه، مع كون انتهائه الحس، من
مشاهدة أو سماع[29]
Diantara beberapa pengertian tersebut, maka hadis Mutawatir mempunyai beberapa syarat:
a. عدد.
Meskipun ada beberapa ulama yang menyebutkan jumlah tertentu seperti minimal
2,4,5, atau 70, namun Jumhur berpendapat bahwa jumlah yang banyak tersebut
tidak ditentukan.
b. استواء الطرفين
والواسطة في كمال العدد. Jadi dari awal sanad
sampai akhir mempunyai jumlah yang banyak.
c. أن يكون الخبر
مستندا إلى أمر حسي, yaitu sesuatu yang dapat
dirasakan oleh lima panca indra.
d. ان يحيل العقل
تواطئهم على الكذب, yaitu tidak mungkin adanya
dusta.
e. إفادة العلم
لسامعه.
Dari kelimat syarat
tersebut, menurut Shaikh Mustafa Abu ‘Imarah[30]
deskripsi ibn Hajar merupakan deskripsi yang Jami‘ mani‘, padat
dan jelas.
Contoh hadis mutawatir:
a. Lafzi (mutawatir lafaz dan ma‘na):
من كذب علي
متعمدا, hadis shafa‘ah, sifat wudu’ Rasul.
b. Ma‘nawi (mutawatir ma‘na, tetapi lafaznya
berbeda): mengangkat tangan ketika berdo‘a.
c. Sebagian ada yang
menambahkan mutawatir ‘amali (أجمع المسلمون على العمل به، وعلم من الدين بالضرورة),
seperti: shalat, umrah, haji dan zakat.
2.
Banyak ulama yang tidak membedakan hadis Sahih dan Hasan
Ibn Hajar sangat menyayangkan banyak ulama yang tidak membedakan antara hadis sahih dan hasan. Diantara pengertian tersebut adalah
a. Al-Humaidi, shaikh Imam Bukhari
أن
يكون متصلا غير مقطوع معروف الرجال
b. Al-Dhahili
ولا
يجوز الحتجاج إلا بالحديث المتصل غير المنقطع الذي ليس فيه رجل مجهول ولا رجل
مجروح[31]
3. Kriteria hadis Maqbul
Dalam Sharh Alfiyah al-‘Iraqi karya Ibn al-‘Ini disebutkan
شروط
القبول هي شروط الصحيح والحسن، وهي: (الأول) اتصال السند حيث لم ينجبر المرسل بما
يؤكده، (الثاني) وعدالة الرجال، (الثالث) والسلامة من كثرة الخطأ والغفلة،
(الرابع) ومجيء الحديث من وجه آخر حيث كان في الإسناد مستور لم تُعرف أهليته وليس
متهماً كثير الغلط، (الخامس) والسلامة من الشذوذ، (السادس) والسلامة من العلة
القادحة.[32]
Ibn Hajar mengkritisi
syarat yang ketiga dan keempat.[33]
a. Syarat ketiga
والسلامة
من كثرة الخطأ والغفلة
Menurut ibn Hajar,
lebih baiknya menggunakan syarat dabtu al-rawi
b. Syarat keempat
ومجيء
الحديث من وجه آخر حيث كان في الإسناد مستور لم تُعرف أهليته وليس متهماً كثير
الغلط
Syarat ini hanya
diperlukan dalam hadis da‘if muhtamal, karena dengan adanya penguat dari jalur lain, menjadi hasan li ghairihi.
4. Hadis hasan bisa naik ke derajat sahih
li ghairihi, serta
pengertian hadis sahih menurut ibn Hajar
Apabila terdapat
hadis yang tidak memenuhi secara sempurna (tidak sampai dabt tam) syarat sahih, dan ini mempunyai penguat dari jalur
lain, maka menjadi sahih. Oleh karenanya, menurut ibn Hajar hendaknya
pengertian hadis sahih adalah sebagai berikut:
حديث
صحيح: الحديث الذي يتصل إسناده بنقل العدل، "التام" الضبط (أي تمام
الضبط) أو "القاصر" (أي ناقص الضبط) إذا اعتضد عن مثله إلى منتهاه ولا
يكون شاذا ولا علة[34]
Jadi menurut ibn
Hajar, jika hafalannya sempurna maka hadis tersebut sampai derajat sahih,
tetapi apabila hafalannya kurang (tidak sempurna) lalu dikuatkan jalur lain,
maka hadis tersebut menjadi hasan li ghairihi.
5. Pengertian hadis da‘if
Ibn Salah memberikan
deskripsi tentang hadis da‘if
كل
حديث لم تجتمع فيه صفات الحديث الصحيح ولا صفات الحديث الحسن فهو حديث ضعيف[35]
Dalam hal ini ibn
Hajar, pengertian tersebut terlalu panjang, sehingga menurut ibn Hajar, hadis da‘if
cukup dengan pengertian sebagai berikut:
كل
حديث لم تجتمع فيه صفات القبول[36]
Yaitu setiap hadis
yang tidak memenuhi kriteria hadis maqbul. Karena hadis sahih dan
hasan keduanya adalah hadis maqbul.
6. Tashih dan tad‘if pada zaman muta’akhkhir.
Salah satu sebab ibn
Hajar mengatakan demikian adalah karena pendapat ibn Salah (w. 643) yang
menyatakan bahwa
فقدْ
تَعَذَّرَ في هذهِ الأعصارِ الاستقلالُ بإدراكِ الصحيحِ بمجَرَّدِ اعتبارِ
الأسانيدِ؛ لأنَّهُ مَا مِنْ إسنادٍ مِنْ ذلكَ إلاَّ وتجدُ في رجالِهِ مَنِ
اعْتَمَدَ في روايتِهِ عَلَى مَا في كتابِهِ عَرِيّاً عمَّا يُشترطُ في الصحيحِ
مِنَ الحِفْظِ والضَّبْطِ والإتْقَانِ. فآلَ الأمرُ - إذنْ - في معرفةِ الصحيحِ
والحسنِ، إلى الاعتمادِ عَلَى مَا نصَّ عليهِ أئمَّةُ الحديثِ في تصانيفِهِم
المعتمدةِ المشهورةِ[37]
Pada masa ini (mulai zaman
ibn Salah), tidak mungkin dapat menentukan sebuah hadis itu sahih hanya
dengan meneliti sanad. Karena ada diantara isnad tersebut ada
perawi yang menyandarkan riwayatnya pada kitabnya, keluar dari syarat sahih,
yaitu hifz, dabt dan itqan. Maka yang lebih utama dalam
mengetahui sahih dan hasan adalah dengan menyandarkan tashih
pada apa yang sudah ditetapkan ulama hadis dalam kitabnya yang mashhur
Berikut adalah bantahan ibn Hajar dalam nukatnya:[38]
a. Statement ibn Salah
عمَّا
يُشترطُ في الصحيحِ مِنَ الحِفْظِ والضَّبْطِ والإتْقَانِ
Ibn Hajar menganggap kurang tepat pada perkataan ini. Karena secara tidak langsung menyatakan bahwa syarat periwayatakan hadis sahih harus meriwayatkan dari hafalannya, dan yang tidak menggunakan hafalan tidak sahih. Karena meriwayatkan hadis – tariqatu tahammul wal-ada’ – tidak hanya melalui hafalan saja, melainkan bisa dengan cara lain, seperti qira‘ah dari kitabnya, dan hal tersebut boleh menurut para ulama hadis.
b. Perkataan ibn Salah
مَنِ
اعْتَمَدَ في روايتِهِ عَلَى مَا في كتابِهِ
Hal tersebut bukanlah aib, tetapi begitulah kebanyakan perawi (tidak semua – pen) hadis sahih setelah sahabat dan kibar al-tabi‘in. Karena tipe perawi hadis itu ada dua macam:
- Mereka menyandarkan riwayatnya pada hafalannya. Hal ini mudah bagi yang sanadnya dekat dengan sahabat, serta jika matannya singkat.
- Golongan yang menulis apa yang mereka dengar, lalu menghafalnya. Tetapi ketika meriwayatkan hadis tidak melalui hafalannya, melainkan kitabnya.
c. Pernyataan ibn Hajar
فآلَ
الأمرُ - إذنْ - في معرفةِ الصحيحِ والحسنِ، إلى الاعتمادِ عَلَى مَا نصَّ عليهِ
أئمَّةُ الحديثِ في تصانيفِهِم المعتمدةِ المشهورةِ
Penyataan ini berarti hanya mencukupkan tashih kepada apa yang sudah dinaskan ulama tedahulu dan menolak hadis yang tidak dinaskan ulama terdahulu, meskipun memenuhi syarat sahih. Hal ini dibantah ibn Hajar, karena beberapa hadis yang sudah disahihkan para ulama terdahulu ternyata terdapat cacat di dalamnya. Ibn Hajar mengatakan:
Berapa
banyak hadis dalam sahih ibn Huzaimah di dihukumi sahih oleh penulis, ternyata setelah diteliti tidak
sampai derajat hasan (da‘if ). Begitu juga dalam Sahih ibn
Hibban. Bahkan apa yang telah disahihkan
Imam Tirmidhi, padahal beliau yang membedakan sahih dan hasan,
tetapi ia menyembunyikan sebagian kecacatan dalam hadis dan menyatakan dengan sahih,
hanya sebatas apa yang terlihat secara zahir dan pendapat ulama lain.”
Sikap Ibn Hajar
Ibn Hajar mengatakan:
“Apabila ada seorang perawi yang meriwayatkan hadis dan perawi tersebut tidak
menunjukkan kecacatan pada hadis tersebut, serta mencukupi syarat hadis sahih.
Para ulama hadis juga tidak melihat cacat pada hadis tersebut, maka tidak ada
larangan menghukumi hadis tersebut dengan sihhah, meskipun belum ada
yang mensahihkan sebelumnya.”. Hal tersebut tidak dipertentangkan jika
pentahqiq tersebut ahli dalam bidang ini (hadis).
Salah satu contoh
yang diperlihatkan ibn Hajar adalah Mustadrak al-Hakim. Imam
Hakim mengumpulkan banyak hadis yang tidak ada pada Sahih Bukhari
dan Muslim (dengan syarat keduanya). Tetapi ternyata banyak hadis yang
tidak memenuhi syarat sahih yang masuk dalam Mustadrak al-Hakim.[39]
Dalam bab lain ibn
Hajar memaparkan bahwa memang Imam Hakim mutasahil dalam kitabnya. Dan
hendaknya kita mutawassit dalam menanggapinya (tidak terlalu ekstrim
atau lunak, tetapi dengan menggunakan kaidah jarh ta‘dil yang tepat –
pen). Ibn Hajar lalu menukilkan pendapat
yang terlalu berlebihan dari al-Dhahabi dan al-Malini dalam menghakimi mustadrak
dengan mengatakan:
طالعت
المستدرك على الشيخين الذي صنفه الحاكم من أوله إلى آخره فلم أر فيه حديثا على
شرطهما[40]
Aku telah melihat kitab Mustadrak ala al-Shaikhaini karya
al-Hakim dari pertama sampai terakhir, maka aku tidak melihat di dalamnya hadis
yang sesuai dengan syarat Bukhari Muslim
7. Orang pertama yang menyusun kitab sahih
Ibn Hajar merupakan
seorang ulama hadis yang sangat teliti dan bijak. Terbukti dalam membahas kitab
sahih pertama yang dikarang, alih-alih menyalahkan ibn Salah (w. 643) atau
Mughlatay (w. 762 H), ibn Hajar justru menjadi penengah antara perdebatan
tersebut.
Ibn Salah berkata
dalam Muqaddimahnya
أوَّلُ
مَنْ صَنَّفَ الصحيحَ البخاريُّ[41]
Orang yang pertama kali
menyusun kitab sahih adalah Imam Bukhari.
Pendapat tersebut
dibantah oleh Mughlatay dengan mengatakan bahwa Imam Malik adalah orang pertama yang menyusun kitab sahih.
Ia mengatakan: Dan hendaknya seseorang tidak mengatakan: Barangkali yang
diinginkan – ibn Salah – adalah sahih Mujarrad. Maka bukan kitab Malik, karena di dalamnya terdapat mauquf, munqati‘ dan lain sebagainya.
Lalu ibn Hajar
menengahi, hendaknya perkataan “orang pertama yang menyusun sahih”
dikembalikan kepada maksud penulis. Apakah maksudnya sahih menurut
penulis tersebut? Atau sahih ma‘hud (memenuhi syarat sihhah)?
Secara zahir, lafaz
dalam kitab ibn Salah adalah sahih ma‘hud (oleh karenanya
menyebutkan Imam Bukhari). Sedangkan kitab Muwatta’ adalah sahih, bagi orang yang berhujjah dengan hadis Mursal,
Munqati‘, dan perkataan sahabat.[42]
Dalam pandangan
penulis, ibn Hajar ingin menekankan bahwa pendapat ibn Salah benar dalam
kitabnya, bahwa orang pertama yang menulis kitab sahih adalah Imam Bukhari,
karena yang dimaksud adalah sahih ma‘hud. Sedangkan pendapat
Mughlatay (w. 762 H) juga benar, jika yang dimaksud adalah sahih bagi
yang berhujjah dengan hadis Mursal, Munqati‘, dan perkataan sahabat.
8.
Jarh
wa ta‘dil menurut ibn
Hajar
Dalam jarh wa ta‘dil, ibn Hajar mempunyai andil yang sangat luar biasa, yaitu dengan pembagiannya terhadap 6 tingkatan ta‘dil dan 6 tingkatan jarh. Untuk memperjelas peran ibn Hajar dalam kaitannya dengan jarh wa ta‘dil, penulis akan menyuguhkan perkembangan jarh wa ta‘dil dari masa ke masa.
Di dalam “al-Jarh wa al-Ta‘dil” karangan ibn Abi Hatim al-Razi (w. 327 H), ta‘dil dibagi menjadi empat, begitu juga dengan tingkatan tajrih.
Tingkatan ta‘dil dan tajrih menurut ibn Abi Hatim al-Razi (w. 327 H):[43]
a. Tingkatan ta‘dil:
Ibn Abi Hatim al-Razi (w. 327 H) berkata: Aku menemukan beberapa lafaz dalam jarh dan ta‘dil dalam beberapa tingkatan:
1. Apabila dikatakan kepada seorang perawi:
إنه
ثقة، أو متقن، أو ثبت فهو ممن يحتج به
2. Apabila
dikatakan kepadanya:
صدوق، أو محله الصدق، أو لا بأس به فهو
ممن يكتب حديثه وينظر فيه وهي المنزلة الثانية
3. Apabila
dikatakan:
شيخ
فهو ممن يكتب حديثه وينظر فيه إلا أنه دون الثانية
4. Apabila
dikatakan:
صالح
الحديث فإنه يكتب حديثه للاعتبار
b. Sedangkan
untuk tingkatan jarh adalah sebagai berikut:
1. Apabila mereka
mengatakan kepada seorang perawi
لين
الحديث فهو ممن يكتب حديث وينظر فيه اعتبارا
2. Apabila
dikatakan
ليس
بقوي فهو بمنزلة الأولى في كتابة حديثه
3. Apabila mereka
mengatakan
ضعيف
الحديث فهو دون الثاني لا يطرح حديثه بل يعتبر به
4. Apabila mereka
mengatakan
متروك الحديث أو ذاهب الحديث أو كذب
فهو ساقط الحديث لا يكتب حديثه، وهي المنزلة الرابعة
Para ahli hadis generasi setelahnya banyak yang mengikuti pembagian semacam ini, seperti ibn Salah (w. 643 H), Imam Nawawi (w. 676 H). Lalu datang setelahnya pembagian jarh wa ta‘dil menurut al-Dhahabi \
Pembagian jarh wa ta‘dil menurut al-Dhahabi
(w. 748 H):[44]
a. Tingkatan
ta‘dil
1. Perawi paling
tinggi adalah
ثبت
حجة، وثبت حافظ، أو ثقة متقن، وثقة ثقة
2. Derajat kedua
adalah ثقة dan sebagainya
3. Sedangkan
tingkatan ketiga
صدوق،
ولا بأس به، وليس به بأس
4. Tingkatan
keempat
محله الصدق، وجيد الحديث، وصالح
الحديث، وشيخ وسط، وشيخ حسن الحديث، وصدوق إن شاء الله، وصويلح، ونحو ذلك
Dalam hal ini
al-Dhahabi (w. 748 H) mempunyai tingkatan yang sama sebagaiman ibn Abi Hatim
al-Razi, hanya saja menambahkan tingkatan yang pertama, lalu menggabungkan
tingkatan ketiga dan keempat dalam pembagian ibn Abi Hatim menjadi satu.
b. Tingkatan
jarh adalah sebagai berikut:
1. Hadis yang
terlempar
دجال،
كذاب، وضاع، يضع الحديث
2. Tingkatan di
bawahnya
متهم
بالكذب، متفق على تركه
3. Dikatakan kepada
mereka
متروك،
وليس بثقة، وسكتوا عنه
4. Dikatakan kepada
mereka
واه
بمرة، وليس بشيء، وضعيف جدا، وضعفوه
5. Tingkatan
selanjutnya
يضعف،
وفيه ضعف، وقد ضعف، وليس بالقوي، سيء الحفظ
Kemudian datang setelahnya al-‘Iraqi (w. 806 H) yang mengikuti al-Dhahabi (w. 748 H). Al-‘Iraqi hanya memperjelas pembagian tersebut. Pada pembagian ta‘dil, untuk tingkatan pertama dan kedua hadisnya dapat dijadikan hujjah. Sedangkan pada tingkatan ketiga يكتب حديثه وينظر فيه. Lalu untuk tingkatan keempat sama seperti tingkatan ketiga yaitu يكتب حديثه وينظر فيه hanya saja tingkatannya berada di bawahnya.
Pembagian ta‘dil menurut ibn Hajar (w. 852 H): [45]
Pada masa ibn Hajar inilah, pembagian 6 tingkatan ta‘dil dan jarh, yang nantinya diikuti oleh ulama-ulama hadis setelahnya.
Sebagaimana dijelaskan dalam al-Nukhbah, ibn Hajar (w. 852 H) dan menambahkan tingkatan ta‘dil yang paling tinggi dari yang diklasifikasikan oleh al-Dhahabi (w. 748 H) dan al-‘Iraqi (w. 806 H), yaitu dengan istilah: أوثق الناس sehingga jumlahnya menjadi 5 tingkatan. Kemudian dalam kitab tahdhib al-tahdhib dan taqrib al-tahdhib ibn Hajar (w. 852 H) menambahkan tingkatan lagi diatasnya, yaitu tingkatan sahabat. Sehingga jumlah keseluruhan menjadi 6 tingkatan.
Sedangkan untuk tingkatan jarh ibn Hajar (w. 852 H) menambahkan istilah أكذب الناس, sehingga jumlahnya juga menjadi 6. Pembagian ini juga diikuti oleh muridnya al-Sakhawi (w. 902 H).
Tingkatan ta‘dil [46]
1. Tingkatan
sahabat. Sahabat mempunyai tingkatan paling tinggi karena ta‘dilnya
langsung dari nas kitab dan sunnah.
2. Tingkatan kedua
-
Menggunakan lafaz tafdil (ماكان بصيغة أفعل)
أوثق الناس، أثبت الناس، أضبط الناس،
وإليه المنتهى في التثبت، ويلحق به: لا أعرف له نظيرا في الدنيا، وقولهم: لا أحد
أثبت منه، أو من مثل فلان، أو فلان لايسأل عنه. زاد الهمهدي: أتقن من أدركت[47]
-
Apabila lafaz tauthiq diulangi (تكرار لفظ التوثيق).
Bisa berupa:
a. تباين
اللفظين (dua lafaz saling menjelaskan): ثبت حجة، وثبت حافظ، أو ثقة متقن، ثقة
ثبت
b. Dua lafaz yang diulangi: ثقة
ثقة، ثبت ثبت ونحوها
3. Lafaz yang menunjukkan tauthiq (hanya satu)
(ماكان
بلفظ من ألفاظ التعديل العليا).
ثقة، أو ثبت أو متقن، أو كأنه مصحف، أو
حجة، أو إمام، أو عدل ضابط. زاد المهدي: حافظ، ضابط (أقل من عدل ضابط)، إمام،
المصحف، الميزان، القبان، الجِهْبِذ، فارس الحديث.[48]
4. Menujukkan ta‘dil
tetapi tidak ada unsur dabt.
صدوق، أو محله الصدق، ولا بأس به (عند
غير ابن معين)، وليس به بأس، أو مأمون، خيار، أو خيار الخلق، أو ما أعلم به بأسا،
5. Tingkatan kelima
صدوق
سيئ الحفظ، صدوق يهم، له أوهام، يخطئ، تغير بآخره
6. Tingakatan
keenam
من
ليس له من الحديث إلا القليل، ولم يثبت فيه، ما يترك حديثه من أجله، مقبول، حيث
يتابع، وإلا فلين الحديث
Hukum Maratib
al-Ta‘dil
Ahmad Muhammad Shakir menjelaskan bahwa derajat pertama, kedua dan ketiga adalah sahih, dan kebanyakan di sahihain. Sedangkan derajat keempat sahih tingkat dua (hasan li dhatihi). Sedangkan derajat kelima dan keenam adalah da‘if muhtamal, bisa naik ke hasan li ghairihi jika ada penguat.[49]
Guru kami, Shaikh Rida Zakariya dalam al-Irshad ila Kaifiyati Dirasati al-Asanid menjelaskan bahwa tingkatan satu sampai Lafaz yang menunjukkan tauthiq (ثقة) hadisnya adalah sahih (lidhatihi). Sedangkan lafaz صدوق، لا بأس به، مأمون hadisnya hasan lidhatihi. Sementara setelahnya adalah da‘if muhtamal yang bisa naik ke derajat hasan li ghairihi jika ada tawabi‘ dan shawahid.[50]
Tingkatan jarh menurut ibn
Hajar:[51]
1. Apabila menunjukkan تليين (sesuatu yang lunak/lemah) (الوصف بما يفيد التكلم فيه بتضعيف أو تليين).
قال
بن حجر: مستور، مجهول الحال. زاد نور الدين عتر في تحقيق نزهة النظر:[52]
ضُعِّفَ، ويضعف، وفيه ضعف، وقد ضعف، للضعف ماهو، وليس بالقوي، ليس بالمتين، ليس
بحجة، ليس بعمدة، ليس بمأمون، ليس بالمرضى، ليس يحمدونه، ليس بالحافظ، سيء الحفظ،
فيه مقال، أو أدنى مقال، ينكر مرة ويعرف أخرى، ليس بذاك، غيره أوثق منه، فيه شيء،
فيه جهالة، لا أدري ما هو، ليس الحديث، ليس الحديث، سيء الحفظ. زاد السخاوي[53]
في حديثه ضعف، فلان تُنْكِر (يعني مرة)، فلان ليس بذاك، ليس بذاك القوي، فلان ليس
بحجة، ليس من إبل القباب.
Imam al-Sakhawi (w. 902 H) juga menambahkan istilah-isitlah lain yang pernah ditemukannya.
أنه
يروى حديثه، ولا يحتج بما ينفرد به، لما لا يخفى من الكناية المذكورة، ليس من
جِمَال المحامل، لم يكن من القريتين عظيم، وكذا لا يقنع بحديثه، ليس يحمدونه، في
حديثه شيء، فلان مجهول، لا أدري ما هو، أنه ليس ببعيد عن الضَّعف، فلان فيه خلف،
فلان طعنوا فيه، فلان مطعون فيه، فلان لين، لين الحديث، فيه لين، فلان تكلموا فيه،
فيه نظر من غير البخاري. زاد عبد المهدي: ليس من جمازات المحامل، ليس بالمرضى، فيه
جهالة.[54]
2. Lafaz sarih bahwa tidak bisa berhujjah
dengannya (الوصف
بما يفيد عدم الاحتجاج بحديثه)
قال
بن حجر: ضعيف. زاد نور الدين عتر[55]:
واه بمرة، وليس بشيء، وضعفوه، فلان لا يحتج به، أو أو مضطرب الحديث، ألو له ما
ينكر، أو حديثه منكر، أو له مناكير، أو منكر. زاد السخاوي[56]:
لاشيء، فلان لا يساوي فلسا، أو لا يساوي شيئا، مضطرب به، فلان واه، فلان ضعفوه
3. Lafaz sarih bahwa tidak boleh menulis hadisnya (الوصف بما يفيد رد الحديث، وعدم كتابته أو نحو ذلك)
فلان لايكتب حديثه، أو لا تحل الرواية
عنه، متروك، فلان متروك، أو متروك الحديث، أو تركوه. زاد السخاوي: وليس بثقة، ليس
بالثقة، غير ثقة، وسكتوا عنه. بالبناء للمفعول: بين المحدثين، ردوا حديثه، مردود
الحديث. فلان ضعيف جدا، فلان واه بمرة، فلان مطرح، مطرح الحديث،.[57]
زاد عبد المهدي: رد حديثه، ردوا حديثه، مردود الحديث، فلان ضعيف جدا، تالف، طرحوا
حديثه، ارم به، لا تحل كتابة حديثه،
4. Menunjukkan ada indikasi kedustaan pada perawi (الوصف بما يفيد الاتهام بالكذب ونحوه)
متهم بالكذب، متفق على تركه. زاد
السخاوي في فيتح المغيث: متهم بالوضع، فلان ساقط، فلان هالك، فلان ذاهب، ذاهب
الحديث، فلان يسرق الحديث. زاد عبد المهدي: ساقط، لا يعتبر به، لا يعتبر بحديثه،
فيه نظر، على يدي عدل، مود[58]
5. Menunjukkan bahwa perawi pendusta (الوصف بالكذب أو الوضع)
فلان كذاب، دجال، وضاع، يضع الحديث،
يكذب. زاد عبد المهدي: وضع حديثا، ينتعل (يختلف) الحديث، يثبج الحديث، يزرف
(يكذب)، يزيد في الرقم (يكذب أيضا)، له بلايا[59]
6. Dengan menggunakan Mubalaghah (الوصف بما يل على المبالغة في الجرح)
أكذب الناس، زاد السخاوي في فتح المغيث
إليه المنتهى في الوضع، أو إليه المنتهى في الكذب، أو وهو ركن الكذب، أو هو معدن
الكذب، ونحو ذلك[60]، زاد
عبد المهدي: أشر الناس وضعا للحديث، يضرب المثل بكذبه، جراب الكذب[61]
Hukum Maratib al-Jarh
Hukum tingkatan hadis
pertama dan kedua menurut al-Sakhawi (w. 902 H): hadisnya yu’tabar, atau
hadisnya dikeluarkan untuk I’tibar (du‘fun khafif). Imam al-Sakhawi (w. 902
H) empat tingkatan yang terakhir tidak bisa dijadikan hujjah dan tidak bisa
digunakan untuk istishhad (du‘fun shadid).[62]
9.
Tingkatan para pengkritik hadis
Karena melihat ada pengkritik hadis yang mutashaddid dan mutawassit, maka ibn Hajar menyusun tingkatan para pengkritik hadis, sebagai berikut:
a. Shu‘bah dan Sufyan al-Thauri. Shu‘bah lebih shadid dari Sufyan.
b. Yahya al-Qattan dan ‘Abdurrahman ibn Mahdi. Yahya lebih shadid dari ibn Mahdi.
c. Yahya ibn Ma‘in dan Ahmad ibn Hanbal. Yahya lebih shadid dari Ahmad ibn Hanbal.
d. Abu Hatim dan Imam Bukhari. Abu Hatim lebih shadid dari Imam Bukhari.
Ibn Hajar menjelaskan, sebagai contoh apabila hadis yang dianggap ibn Mahdi thiqah, tetapi di da‘ifkan oleh Yahya al-Qattan, maka hadis tersebut tidak ditinggalkan, karena Yahya lebih shadid dari ibn Mahdi.[63]
BAB III
PENUTUP
Pada akhir pembahasan ini, penulis akan menyimpulkan beberapa hal penting yang berkaitan dengan hadis dalam perspektif ibn Hajar al-‘Asqalani.
1. Pada awalnya ibn Hajar tidak mendalami hadis secara khusus, namun pada 793 muncullah kecintaannya terhadap hadis, sehingga ia semakin tekun dan mendapat kedudukan istimewa diantara para ulama hadis.
2. Meskipun sudah banyak ulama hadis yang hidup sebelum `ibn Hajar, namun bukan berarti ia serta merta langsung taqlid, tetapi ibn Hajar memberi warna tersendiri dengan analisanya yang tajam dan kritik yang membangun, sehingga bnayak pemikirannya yang dijadikan pondasi bagi ulama hadis setelahnya.
3. Ibn Hajar memiliki definisi sendiri tentang hadis mutawatir, dan Shaikh Mustafa Abu ‘Imarah menganggap bahwa pengertian hadis Mutawatir menurut ibn Hajar yang lebih tepat dan Jami‘ Mani‘ dari pada yang lain.
4. Ibn Hajar berpendapat bahwa tashih pada zaman masih beleh, hal ini bertentangan dengan anggapan ibn Salah. Namun pendapat ibn Hajar inilahyang dipegang oleh mayoritas ulama hadis.
5. Banyak ulama yang tidak membedakan antara hadis sahih dan hasan, hal tersebut sangat disayangkan ibn Hajar.
6. Ibn Hajar merupakan ahli hadis yang teliti dan jeli terhadap hal-hal kecil. Sehingga ia mempunyai deskripsi tersendiri tentang hadis sahih dan da‘if.
7. Tingkatan jarh wa ta‘dil dalam perspektif ibn Hajar ada enam tingkatan. Pendapat inilah yang dijadikan oleh mayoritas ahli hadis masa kini.
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;
- PANDANGAN IMAM SHAFI'I TERHADAP HADIS
- HADIS PADA MASA RASULULLAH
- IMAM MALIK IBN ANAS DAN KITAB AL-MUWATTA’
- SUNNAH ANTARA WAHYU ILAHI DAN IJTIHAD NABI SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP TASYRI’
- PEMIKIRAN K. H. MUHAMMAD AHMAD SAHAL MAHFUZ AL-HAJINI TENTANG HADIS
- MUHAMMAD NASIR AL-DIN AL-ALBANI
- KAJIAN HADIS DI INDIA
- STUDI KRITIS PEMIKIRAN IBN HAJAR AL-‘ASQALANI DALAM KAJIAN ILMU HADIS
- IMAM NAWAWI
- HADIS DALAM PANDANGAN SYAIKH NAWAWI AL-BANTANI
DAFTAR PUSTAKA
Baghdadi, Khatib, Tahrir Ulum al-Hadith, Jilid 1. Beirut: Mu’assasah al-Rayyan, 2003.
Dhahabi, Shamsuddin, Mizanu al-I‘tidal fi Naqdi al-Rijal, juz 1. Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1963.
Hajar, Ibn, Bulugh al-Maram, Tahqiq: Shaikh ibn ‘Idrus al-‘Idrus. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002.
________, Bulugh al-Maram, Terj.: Badru Salam. Bogor: Pustaka Ulil Albab, 2006.
________, Hadyu al-Sari, Tahqiq: ‘Abdurrahman ibn Nasir al-Barrak. Riyad: Dar Tayyibah, 2005.
________, Nukat ‘ala ibn al-Salah, Tahqiq: Bai‘ bin al-Hadi ‘Umair. Riyad: Dar al-Rayah, 1994.
________, Nukhbatu al-Fikr. Beirut: Dar ibn Hazm, 2006.
________, Nuzhatu al-Nazar, Tahqiq: Nuruddin ‘Itr. Kairo: Dar al-Basair, 2011.
‘Imarah, Mustafa Abu, al-Tahqiq wa al-Idah. Kairo: Diktat al-Azhar, 2009.
‘Ini, Ibn, Sharh Alfiyah al-‘Iraqi. Yaman: Markaz al-Nu‘man,
2011.
‘Itr, Nuruddin, Manhaju al-Naqd fi Ulum al-Hadith. Beirut: Dar al-Fikr, 2011.
Muhdi, ‘Abdul, ‘Ilm al-Jarh wa al-ta‘dil Qawa‘iduhu wa A’immatuhu. Kairo: Maktabah Iman, 2011.
Mun‘im, Shakir Mahmud ‘Abdul, ibn Hajar al-‘Asqalani Musannafatuhu wa Dirasatun fi Manhajihi. Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1997.
Qattan, Manna’, Usul al-Takhrij wa Dirasatu
al-Asanid. Beirut: Dar al-Qur’an al-Karim, t.th..
Razi, Ibn Abi Hatim, al-Jarh wa al-Ta‘dil, juz 2. Beirut: Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi, 1952.
Sakhawi, Imam, al-Jawahir wa al-Durar, Jilid 1. Beirut: Dar ibn Hazm, 1999.
________, Fath al-Mughith, Tahqiq: ‘Abdurrahman Muhammad Uthman, Jilid 3. Kairo: Matba‘ah al-‘Asimah, t.th..
Salah, Ibn, Muqaddimah ibn Salah, Tahqiq: Nuruddin ‘Itr. Beirut: Dar al-Firk,2012.
Zakariya, Rida, al-Irshad ila Kaifiyati Dirasati al-Asanid. Kairo: Maktabah Iman, 2011.
[1] Ibn Hajar, Hadyu al-Sari, Tahqiq: ‘Abdurrahman ibn Nasir al-Barrak (Riyad: Dar Tayyibah, 2005), 51. Lihat juga ibn Hajar, Bulugh al-Maram, Tahqiq: Shaikh ibn ‘Idrus al-‘Idrus (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 7.
[2] Imam Sakhawi, al-Jawahir wa al-Durar, Jilid 1 (Beirut: Dar ibn Hazm, 1999), 103.
[3] Ibn Hajar, Nuzhatu al-Nazar, Tahqiq: Nuruddin ‘Itr (Kairo: Dar al-Basair, 2011), 9.
[4] Ibn Hajar, Bulugh al-Maram, Tahqiq: Shaikh ibn ‘Idrus al-‘Idrus, 7.
[5] Imam Sakhawi, al-Jawahir wa al-Durar, Jilid 1, 104. Lihat juga: Ibn Hajar, Nuzhatu al-Nazar, Tahqiq: Nuruddin ‘Itr, 9.
[6] Ibn Hajar, Hadyu al-Sari, Tahqiq: ‘Abdurrahman ibn Nasir al-Barrak, 52.
[7] Ibn Hajar, Nuzhatu al-Nazar, Tahqiq: Nuruddin ‘Itr, 9.
[8] Ibn Hajar, Bulugh al-Maram, Tahqiq: Shaikh ibn ‘Idrus al-‘Idrus, 7.
[9] Ibn Hajar, Hadyu al-Sari, Tahqiq: ‘Abdurrahman ibn Nasir al-Barrak, 52.
[10] Ibn Hajar, Bulugh al-Maram, Tahqiq: Shaikh ibn ‘Idrus al-‘Idrus, 7.
[11] Ibn Hajar, Nuzhatu al-Nazar, Tahqiq: Nuruddin ‘Itr, 11.
[12] Ibn Hajar, Bulugh al-Maram, Tahqiq: Shaikh ibn ‘Idrus al-‘Idrus, 7.
[13] Ibn Hajar, Hadyu al-Sari, Tahqiq: ‘Abdurrahman ibn Nasir al-Barrak, 52.
[14] Ibid., 53.
[15] Ibn Hajar, Bulugh al-Maram, Terj.: Badru Salam (Bogor: Pustaka Ulil Albab, 2006), 1.
[16] Shakir Mahmud ‘Abdul Mun‘im, ibn Hajar al-‘Asqalani Musannafatuhu wa Dirasatun fi Manhajihi (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1997), 94. Lihat juga: Ibn Hajar, Bulugh al-Maram, Tahqiq: Shaikh ibn ‘Idrus al-‘Idrus, 8.
[17] Imam Sakhawi, al-Jawahir wa al-Durar, Jilid 1, 200. Lihat juga: Shakir Mahmud ‘Abdul Mun‘im, ibn Hajar al-‘Asqalani Musannafatuhu wa Dirasatun fi Manhajihi, 93.
[18] Ibn Hajar, Hadyu al-Sari, Tahqiq: ‘Abdurrahman ibn Nasir al-Barrak, 54.
[19] Ibn Hajar, Bulugh al-Maram, Tahqiq: Shaikh ibn ‘Idrus al-‘Idrus, 8.
[20] Shakir Mahmud ‘Abdul Mun‘im, ibn Hajar al-‘Asqalani Musannafatuhu wa Dirasatun fi Manhajihi, 105.
[21] Imam Sakhawi, al-Jawahir wa al-Durar, Jilid 3, 1065.
[22] Ibn Hajar, Hadyu al-Sari, Tahqiq: ‘Abdurrahman ibn Nasir al-Barrak, 55.
[23] Imam Sakhawi, al-Jawahir wa al-Durar, Jilid 2, 659. Lihat juga: Ibn Hajar, Bulugh al-Maram, Terj.: Badru Salam, 2.
[24] Ibn Hajar, Bulugh al-Maram, Tahqiq: Shaikh ibn ‘Idrus al-‘Idrus, 8.
[25] Ibn Hajar, Hadyu al-Sari, Tahqiq: ‘Abdurrahman ibn Nasir al-Barrak, 56.
[26] Khatib al-Baghdadi, Tahrir Ulum al-Hadith, Jilid 1 (Beirut: Mu’assasah al-Rayyan, 2003), 42.
[27] Ibn Salah, Muqaddimah ibn Salah, Tahqiq: Nuruddin ‘Itr (Beirut: Dar al-Firk, 2012), 267.
[28] Ibn Hajar, Nukhbatu al-Fikr (Beirut: Dar ibn Hazm, 2006), 196.
[29] Imam Sakhawi, Fath al-Mughith, Tahqiq: ‘Abdurrahman Muhammad Uthman, Jilid 3 (Kairo: Matba‘ah al-‘Asimah, t.th.), 34.
[30] Mustafa Abu ‘Imarah, al-Tahqiq wa al-Idah (Kairo: Diktat al-Azhar, 2009), 6.
[31] Ibn Hajar, Nukat ‘ala ibn al-Salah, Tahqiq: Bai‘ bin al-Hadi ‘Umair, 480.
[32] Ibn al-‘Ini, Sharh Alfiyah al-‘Iraqi (Yaman: Markaz al-Nu‘man, 2011), 88.
[33] Ibn Hajar, Nukat ‘ala ibn al-Salah, Tahqiq: Bai‘ bin al-Hadi ‘Umair, 492.
[34] Ibid., 417.
[35] Ibn Salah, Muqaddimah ibn Salah, Tahqiq: Nuruddin ‘Itr, 41.
[36] Ibn Hajar, Nukat ‘ala ibn al-Salah, Tahqiq: Bai‘ bin al-Hadi ‘Umair, 491.
[37] Ibn Salah, Muqaddimah ibn Salah, Tahqiq: Nuruddin ‘Itr, 17.
[38] Ibn Hajar, Nukat ‘ala ibn al-Salah, Tahqiq: Bai‘ bin al-Hadi ‘Umair (Riyad: Dar al-Rayah, 1994), 267.
[39] Ibid., 272.
[40] Ibid., 312.
[41] Ibn Salah, Muqaddimah ibn Salah, Tahqiq: Nuruddin ‘Itr, 17.
[42] Ibn Hajar, Nukat ‘ala ibn al-Salah, Tahqiq: Bai‘ bin al-Hadi ‘Umair, 276.
[43] Ibn Abi Hatim al-Razi, al-Jarh wa al-Ta‘dil, juz 2 (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi, 1952), 37.
[44] Shamsuddin al-Dhahabi, Mizanu al-I‘tidal fi Naqdi al-Rijal, juz 1 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1963), 4.
[45] Nuruddin ‘Itr, Manhaju al-Naqd fi Ulum al-Hadith (Beirut: Dar al-Fikr, 2011), 108. Ibn Hajar, Nukhbatu al-Fikr, 175.
[46] Rida Zakariya, al-Irshad ila Kaifiyati Dirasati al-Asanid (Kairo: Maktabah Iman, 2011), 132. Lihat juga: Ibn Hajar, Nuzhatu al-Nazar, Tahqiq: Nuruddin ‘Itr, 137
[47] ‘Abdul Muhdi, ‘Ilm al-Jarh wa al-ta‘dil Qawa‘iduhu wa A’immatuhu (Kairo: Maktabah Iman, 2011), 39.
[48] ‘Abdul Muhdi, ‘Ilm al-Jarh wa al-ta‘dil Qawa‘iduhu wa A’immatuhu, 40.
[49] Rida Zakariya, al-Irshad ila Kaifiyati Dirasati al-Asanid, 132.
[50] Ibid., 164.
[51] Rida Zakariya, al-Irshad ila Kaifiyati Dirasati al-Asanid (Kairo: Maktabah Iman, 2011), 132. Lihat juga: Ibn Hajar, Nuzhatu al-Nazar, Tahqiq: Nuruddin ‘Itr, 137.
[52] Ibn Hajar, Nuzhatu al-Nazar, Tahqiq: Nuruddin ‘Itr, 137. Lihat juga: ‘Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadith, 111.
[53] Al-Sakhawi, Fath al-Mughith , Juz 2, 293.
[54] ‘Abdul Muhdi, ‘Ilm al-Jarh wa al-ta‘dil Qawa‘iduhu wa A’immatuhu, 75.
[55] ‘Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadith, 112.
[56] Al-Sakhawi, Fath al-Mughith , Juz 2, 292.
[57] Ibid., 291.
[58] ‘Abdul Muhdi, ‘Ilm al-Jarh wa al-ta‘dil Qawa‘iduhu wa A’immatuhu, 74.
[59] Ibid.
[60] ‘Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadith, 111. Lihat
juga Al-Sakhawi, Fath al-Mughith, Juz 2, 289. Manna’ al-Qattan, Usul
al-Takhrij wa Dirasatu al-Asanid (Beirut: Dar al-Qur’an al-Karim, t.th.),
165.
[61] ‘Abdul Muhdi, ‘Ilm al-Jarh wa al-ta‘dil Qawa‘iduhu wa A’immatuhu, 73.
[62] Nuruddin ‘Itr, Manhaju al-Naqd fi ‘Ulumi al-Hadith, 112. Lihat juga: Al-Sakhawi, Fath al-Mughith , Juz 2, 295.
[63] Ibn Hajar, Nukat ‘ala ibn al-Salah, Tahqiq: Bai‘ bin al-Hadi ‘Umair, 482.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar