BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Allah SWT mengutus
utusan untuk menyampaikan dan menyebarkan ajaran-Nya. Utusan yang terakhir
yakni Nabi Muhammad SAW memiliki keistimewaan tersendiri karena ia adalah
satu-satunya utusan yang membawa ajaran yang sempurna. Selain ajarannya yang
menjadi penyempurna ajaran sebelumnya,[1]
ia juga pembawa rahmat untuk seluruh alam.[2]
Maka tidak heran jika Allah SWT hingga berfirman agar umat manusia mentaati
Rasulullah SAW,[3]
artinya mentaati segala ajaran yang dibawanya. Bahkan disebutkan dengan
menggunakan lafaz
amr yang memiliki
makna wajib untuk ditaati.
Ajaran yang
dibawa oleh Rasulullah SAW adalah ajaran yang akan membawa pengikutnya ke jalan
yang benar (jalan menuju Allah SWT). Karena Rasulullah SAW sang pembawa ajaran
telah wafat, maka untuk menuju ke jalan yang benar adalah mempelajari ajaran
yang di bawanya. Ajaran-ajaran tersebut bisa dilihat dari perjalanan hidup Nabi
SAW baik itu perkataannya, perbuatannya
ataupun sesuatu yang telah ditetapkan yang semua itu telah dihimpun dalam sunah
Nabi Muhammad SAW. Tidak heran jika Allah memberinya predikat yang sangat agung
yaitu suri tauladan yang baik. [4] Dampak dari itu semua adalah umat muslim
harus menerima dan mengerjakan apa yang telah Rasulullah ajarkan.
Sunah
Rasulullah SAW, seperti yang telah dijelaskan diatas sebenarnya telah ditulis secara
keseluruhan hanya saja penulisan tersebut terjadi setelah Rasulullah wafat
bahkan ditulis pada masa khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz (99-101 H).[5]
Waktu jeda yang sangat panjang inilah kemudian menimbulkan masalah sebab ada
beberapa orang yang tidak yakin bahwa apa yang telah ditulis oleh para ulama benar-benar
dari Nabi Muhammad SAW atau hanya karangan mereka saja. Oleh karenanya, sebagai
umat Islam yang meyakini akan ajaran Rasulullah SAW perlu dan harus mengetahui
kebenaran tersebut. Untuk itu perlu mempelajari ilmu-ilmu hadis sehingga bisa
mengetahui kebenarannya. Selain ilmu hadis, tak kalah penting untuk dipelajari
adalah belajar sejarahnya sehingga diketahui sejak kapan hadis itu ditulis,
bagaimana para sahabat memperolehnya lalu bagaimana mereka memelihara hadis
yang sangat banyak hingga bisa sampai kepada generasi-generasi berikutnya.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan-rumusan masalahnya sebagai
berikut:
1.
Bagaimana cara Rasulullah SAW
menyampaikan hadis kepada para sahabat?
2.
Bagaimana para sahabat memelihara
hadis yang telah didapat dari Rasulullah SAW?
3.
Bagaimana penyebaran hadis pada
masa Rasulullah SAW?
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;
- PERKEMBANGAN HADIS PADA KE IV HIJRIYAH
- SUNAN ABU DAWUD
- PEMBUKUAN HADIS
- SEJARAH PENYUSUNAN KITAB SAHIH BUKHARI
- PERKEMBANGAN HADIS PADA MASA SAHABAT KECIL DAN TABI‘IN BESAR (40 H-AKHIR ABAD 1 H)
- SEJARAH PENYUSUNAN MUSNAD AHMAD BIN HANBAL
- PERKEMBANGAN HADIS PADA MASA KHULAFAUR RASYIDIN
BAB II
HADIS PADA
MASA RASULULLAH SAW
A.
Definisi Hadis
Menurut bahasa, kata hadith adalah al-jadid (yang baru)
antonim dari kata al-qadim (lama).[6]
Sedangkan menurut istilah adalah segala yang bersumber dari Nabi Muhammad
SAW baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, perangai, budi pekerti,
perjalan hidup baik sebelum diangkat menjadi rasul maupun sesudahnya.[7]
Hadis terbagi menjadi tiga jika dilihat dari kualitasnya, yakni: hadis sahih, hadis hasan[8] dan hadis da‘if[9].
Menurut
istilah ulama hadis, definisi hadis sahih adalah:
الحديث
الصحيح هو المسند
المتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط الى منتهاه من غير شذوذ ولا علة.[10]
Hadis sahih ialah musnad
yang sanadnya bersambung dengan periwayatan perawi yang ‘adil dan dabit yang berasal dari orang-orang yang adil dan dabit sampai akhir
sanad tanpa adanya kejanggalan dan cacat.
الحديث المسند يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط
حتى ينتهى إلى رسول الله إلى منتهاه من صحابى أومن دونه ولايكونو شاذا ولامعللا[11].
Hadis musnad yang
sanadnya bersambung dinukil oleh perawi yang adil dan dabit, dari perawi yang ‘adil dan dabit sehingga sampai pada Nabi lewat sahabat atau lainnya, dan tidak
ada kejanggalan dan cacat.
Definisi yang telah dikemukakan
oleh para ahli hadis menjelaskan bahwa ada beberapa syarat yang harus dimiliki
suatu hadis agar masuk dalam kategori hadis sahih. Seperti yang disebutkan
dalam definisi tersebut bahwa syarat-syarat hadis sahih ada lima, yaitu: muttasil (bersambung),
‘adil (adil), dabit (kuat), ghairu shadhdhin
(tidak ada kejanggalan), dan ghairu ‘illah (tidak ada cacat). ‘Abd
Mun’im melanjutkan penjelasannya bahwa syarat hadis sahih adalah musnad,[12]
muttasil al-sanad, perawinya ‘adil dan dabit, tidak ada kejanggalan, dan tidak
ada cacat.[13]
Sebuah hadis bisa dikatakan sahih tidak hanya dari segi sanadnya saja
tetapi juga dari segi matan. Hadis yang sanadnya sahih belum tentu matannya
juga sahih maka kedua-duanya harus diteliti. Oleh karenanya kriteria kesahihan
hadis dibagi dua, yakni sahih dari segi sanad dan sahih dari segi matan.
Keduanya memiliki persyaratan tersendiri. Jadi, sebuah hadis disebut sahih jika
sanad dan matannya sama-sama berkualitas sahih.
Para ulama sepakat untuk mengambil hadis sahih dan hadis hasan sebagai
dalil hukum shara’ meskipun mereka masih memperdebatkan penempatan urutannya.[14] Nuruddin ‘Itr sepakat dengan pendapat yang dikemukakan jumhur ulama. Ia
memasukkan hadis da’if dalam kelompok hadis yang ditolak.[15]
Namun ada ulama yang menerima hadis daif untuk dijadikan hujjah tetapi dengan
catatan bahwa hadis tersebut tidak terlalu lemah, dasar amalan yang terdapat
dalam hadis bisa dibenarkan oleh dasar hadis yang dapat diamalkan, dan ketika
mengamalkannya tidak beri’tikad bahwa hadis tersebut benar-benar bersumber dari
Nabi. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu
Hajar al-‘Asqalany tetapi dengan catatan:[16]
B.
Hadis pada
Masa Rasulullah SAW
Sejarah perkembangan hadis terbagi pada beberapa periode; pada periode
Rasulullah SAW, periode sahabat dan periode tabi‘in. Disini akan dijelaskan hadis pada masa Rasulullah SAW saja. Para ulama
menyebut periode pertama ini dengan عصر الوحي و التكوين (masa turunnya wahyu dan
pembentukan masyarakat Islam). Periode pertama ini adalah periode yang paling
istimewa. Hal ini dikarenakan para sahabat bisa langsung berinteraksi dengan
Nabi Muhammad SAW serta bisa menanyakan seluruh permasalahannya sendiri maupun
masalah yang timbul di sekitarnya baik itu masalah duniawi atau ukhrawi. Semua
yang dilakukan maupun yang dikatakan bahkan yang melekat pada Rasulullah
dijadikan contoh dan pedoman dalam ‘amaliyyah dan ‘ubudiyyah para sahabat.[17]
Berkembangnya hadis sejalan dengan berkembangnya al-Qur’an karena ketika
Rasulullah menyampaikan ayat-ayat al-Qur’an maka beliau juga menjelaskan
kandungan ayat tersebut. Penjelasan-penjelasan inilah yang disebut dengan hadis
karena apa-apa yang keluar dari Nabi selain al-Qur’an adalah hadis. maka perlu
diketahui bagaimana Rasulullah menyampaikan hadis kepada para sahabatnya. Rasulullah SAW
mengajar para sahabatnya sama seperti ia menyampaikan ayat al-Qur’an. Ayat
al-Qur’an turun secara bertahap kemudian Rasulullah menjelaskan kandungan
ayatnya, merincinya bahkan beliau mempraktikkan hukum-hukumnya.[18]
1.
Cara menyampaikan hadis kepada para sahabat
Adapun metode
yang ditempuh Rasulullah dalam menyampaikan hadis kepada para sahabatnya,
yaitu:
a
para sahabat melakukan dialog
langsung dengan Rasulullah SAW.
b
Para sahabat menyaksikan perbuatan
dan ketetapan Rasulullah SAW.
c
Para sahabat mendengarkan perkataan
sesama sahabat yang diperoleh dari Rasulullah SAW.
d
Para sahabat menyaksikan perbuatan Rasulullah SAW atau sesama sahabat yang diperoleh dari
Rasulullah SAW.[19]
Metode ini adalah metode yang dikutip oleh Umi Sumbulah dari Muhammad Abu Zahw dalam
kitabnya al-Hadith wa
al-Muhaddithun.[20]
Begitu pula yang disampaikan M. Noor Sulaiman PL dalam bukunya Antologi Ilmu
Hadis, hanya saja ia
menjelaskan maksud dari keempat metode tersebut. Metode yang pertama terjadi
dalam majlis-majlis yang memang dibuat oleh Rasulullah SAW sehingga para
sahabat dengan leluasa menanyakan seputar permasalahannya. Metode kedua adalah
kejadian yang terjadi pada diri Rasulullah SAW atau beliau
sedang menyaksikannya sendiri kemudian beliau menjelaskan ketetapan hukumnya. Ketiga
adalah peristiwa yang
menimpa kaum muslimin kemudian para sahabat segera menanyakannya kepada
Rasulullah SAW. Metode terakhir adalah peristiwa yang disaksikan langsung oleh
sahabat atau dilakukan oleh Rasulullah SAW.[21]
Ada pula yang
merangkumnya menjadi tiga metode seperti yang dikemukakan oleh Munzier Suparta dan
Mudasir. Metode pertama adalah
para sahabat bisa mendapatkan hadis Rasulullah SAW ketika mengikuti pengajian yang
diadakan oleh Rasulullah SAW dalam
majlis-majlis yang memang sudah disediakan. Kedua, para sahabat bisa
mendapatkannya di berbagai kesempatan yang hanya dihadiri oleh beberapa sahabat
kemudian disampaikan kepada sahabat lain yang tidak hadir. Terakhir dengan cara
berpidato di tempat terbuka.[22]
M ‘Ajaj al-Khathib
dalam kitab Ushul al-Hadits-nya meringkas
metode pengajaran Rasululah SAW terhadap para sahabatnya sebagai berikut:[23]
a.
Pengajaran secara bertahap
Nabi Muhammad SAW sebagai
utusan Allah SWT memiliki
kewajiban untuk menyampaikan risalah-Nya yang termaktub dalam al-Qur’an
al-Karim. Al-Qur’an sendiri turun dengan bertahap agar para sahabat mudah
memahami kandungannya. Bertahap pulalah al-Qur’an menentang akidah yang sesat
dan tradisi yang berbahaya. Begitu pula dalam menanamkan keyakinan yang benar
dilakukan secara bertahap. Maka Rasulullah SAW dituntut untuk memberi fatwa dan penjelasan
dalam segala hal yang merupakan Sunnah.
b.
Pusat pengajaran
Dar al-Arqam ibn ‘Abdi Manaf yang ada di
Makkah atau yang lebih dikenal dengan Dar al-Islam adalah tempat Rasulullah SAW menyampaikan
risalah-Nya secara diam-diam. Hal ini terjadi ketika awal mula Rasulullah SAW berdakwah.
Kemudian para sahabat sering berkumpul dengan Rasulullah SAW untuk belajar
dasar-dasar Islam serta menghafal al-Qur’an. Oleh karenanya rumah Rasulullah SAW
menjadi pusat kegiatan kaum muslimin baik belajar al-Qur’an maupun hadis.
selain belajar di tempat tersebut, sahabat sering berdiskusi dimanapun mereka
berada. Hal ini menunjukkan bahwa para sahabat sudah mempelajari serta
menghafal hadis dan al-Qur’an secara bersamaan.[24]
Masjid menjadi tempat belajar berikutnya untuk mendalami agama Islam,
menghafal al-Qur’an dan menerima hadis. Hal ini tidak menunjukkan bahwa hanya
di dalam masjid Rasulullah SAW memberikan
fatwa. Tempat Rasulullah berdakwah tidak ditentukan bahkan tidak dibatasi oleh
waktu. Seringkali dalam perjalanan Rasulullah SAW memberikan fatwa untuk menyelesaikan masalah.[25]
c.
pendidikan dan pengajaran efektif dan
menyenangkan.
Sebagai utusan
Allah SWT, Nabi Muhammad SAW dalam menyampaikan al-Qur’an maupun memberikan
fatwa selalu ia lakukan dengan sangat baik. Walaupun ia sebagai public figur,
namun ia tetap rendah hati bahkan ia duduk bersama dengan sahabat-sahabatnya.
Sebelum mengajarkan suatu pelajaran, Rasulullah SAW selalu membukanya dengan
kata-kata yang menyenangkan hati pendengarnya atau ia seperti ayah yang sangat
menyayangi anak-anaknya.[26]
Seperti sabda Rasulullah SAW:[27]
" إِنَّمَا أَنَا لَكُمْ مِثْلُ الْوَالِدِ، إِذَا أَتَيْتُمُ
الْغَائِطَ فَلَا تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ وَلَا تَسْتَدْبِرُوهَا "
“Bagi kalian aku hanyalah seperti
seorang ayah, karena itu bila kalian buang hajat maka janganlah menghadap
kiblat dan jangan membelakanginya". (H. R. Ahmad)
Selain
menggunakan kata-kata yang halus, beliau juga menjelaskannya dengan sangat
jelas hingga sahabat bisa memahaminya dan mengulangnya agar bisa dihafal.[28]
d.
memberikan variasi
Cara mengajar
Rasulullah selalu bervariasi, hal ini dikarenakan agar para sahabat tidak bosan
untuk mendengarkan penjelasan yang panjang. Cara seperti ini adalah cara paling
efektif dan dijadikan metode mengajar oleh lembaga pendidikan.[29]
e.
memberikan contoh praktis
Selain bervariasi
dalam mengajarnya, Rasulullah tidak lupa untuk memberikan contoh praktis kepada
para sahabat. Hal ini dilakukan agar sahabat cepat menangkap maksud dari hukum
yang dijelaskan. Suatu ilmu akan lebih cepat dipahami apabila disertai dengan
praktek.[30]
Misalnya yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Malik ibn Huwarits,
katanya: kami datang keppada Nabi. Kami masih berusia setengah baya. Lalu kami
tinggal selama dua puluh hari. Suatu ketika beliau mengira kami merindukan
keluarga kami dan menanyakan orang-orang yang tinggal bersama kami. Kemudian
beliau bersabda:
ارْجِعُوا
إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ، وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي
أُصَلِّي، وَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ، فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ، ثُمَّ
لِيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ[31]
“Kembalilah kepada keluarga kalian,
lalu ajarilah dan perintahlah mereka. Shalatlah kalian seperti kalian melihat
aku mengajarkan shalat. Dan bila waktu shalat tiba, maka hendaklah salah satu
dari kalian mengumandangkan adzan untuk kalian. Kemudian hendaklah yang paling
tua diantara kalian menjadi imam”. (H. R. Al-Bukhari)
f.
memperhatikan situasi dan kondisi
Rasulullah sangat
memperhatikan keadaaan sahabat-sahabatnya hingga mengetahui tingkat daya
tangkap mereka. Hal ini perlu diketahui oleh para pengajar agar apa yag
disampaikannya bisa dipahami oleh pendengar. Rasulullah selalu melihat para
sahabat yang hadir apakah mereka orang pedalaman atau orang kota karena
keduanya memiliki karakter yang berbeda.[32]
g.
memudahkan dan tidak memberatkan
Hukum-hukum
yang disebarkan oleh Rasulullah adalah hukum yang mudah karena ia adalah orang
yang sangat toleran tetapi,
beliau tidak lupa memberi ketentuan utama dan kemudahan. Rasulullah sering
melarang sahabat yang berlebihan dalam beribadah dan yang mempersempit hukum.[33]
Misalnya hadis
yang diriwayatkan oleh imam bukhari dari anas dari nabi, rasulullah bersabda:
يَسِّرُوا
وَلاَ تُعَسِّرُوا، وَبَشِّرُوا، وَلاَ تُنَفِّرُوا[34]
“Permudahlah
dan jangan persulit, gembirakanlah dan jangan membuat orang lain lari”. (H. R. Al-Bukhari)
h.
pengajaran bagi wanita
Rasulullah SAW tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan wanita. Beliau
memberikan waktu khusus kepada kaum wanita untuk belajar Islam kepada Rasulullah SAW. Hal ini dikarenakan para wanita enggan untuk datang ke majlis rasul yang
diikuti oleh kaum laki-laki.
Salah satu yang beliau sampaikan
ketika hadir di majlis kaum wanita adalah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:
مَا
مِنِ امْرَأَةٍ تُقَدِّمُ ثَلَاثًا مِنَ الْوَلَدِ تَحْتَسِبُهُنَّ، إِلَّا
دَخَلَتِ الْجَنَّةَ " فَقَالَتِ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ: أَوِ اثْنَانِ؟ قَالَ:
" أَوِ اثْنَانِ
“Tidaklah
seorang wanita didahului (ditinggal) mati oleh tiga anaknya yang ia berharap
pahala (dengan bersabar atas musibah itu) kecuali ia akan masuk surga. Salah
satu wanita dari mereka bertanya, atau dua orang anak?, beliau menjawab, atau dua orang anak”. (H. R. Ahmad)
2. Cara sahabat menerima
hadis dari Rasulullah SAW
Para sahabat menjadi saksi hidup turunnya wahyu, menyaksikan sendiri
tentang mukjizat yang diterima oleh rasulullah. Oleh karenanya, iman mereka tak
tergoyahkan. Bahkan mereka rela berkorban untuk Rasulullah baik berupa jiwa
maupun harta karena mereka cinta terhadap Allah dan Rasul-Nya. Maka mereka
tidak pernah bosan untuk mempelajari tentang agama Islam dari Rasulullah.
Adapun cara sahabat mendapatkan hadis seperti yang telah diringkas oleh M.
‘Ajaj al-Khathib ialah:
a. Majlis Rasulullah SAW
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa Rasulullah memiliki majlis dan memberikan
waktu khusus kepada sahabat yang ingin belajar tentang Islam. Tidak semua
sahabat bisa menghadiri majlis tersebut karena mereka juga disibukkan dengan pekerjaan
mereka seperti berdagang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karenanya ada
beberapa sahabat yang bergantian hadir di majlis tersebut. Misalnya kisah yang
sudah populer yaitu kisah sayyidina umar yang bergantian dengan tetangganya
untuk menghadiri majlis Rasulullah. Maka mereka saling bertukar pelajaran dan
mendiskusikannya. Selain umar, para sahabat juga selalu mengulang-ulang
pelajaran yang didapat dari Rasulullah hingga mereka menghafalnya.
b. Peristiwa yang terjadi
pada diri Rasulullah SAW
Adapun peristiwa yang menimpa Rasulullah SA, maka beliau langsung
memberikan keutusan hukum. Adakalanya yang menyaksikan ini banyak sehingga
berita tersebut cepat tersebar. Adakalanya sedikit, maka sahabat yang melihat
akan mengabari sahabat yang lain.
c. Peristiwa yang terjadi
pada kaum muslimin
Seringkali terjadi masalah di kalangan muslimin yang tidak disaksikan
sendiri oleh Rasulullah maka para sahabat dengan cepat mendatangi Rasulullah
untuk menanyakan hal tersebut. Adapula masalah yang terjadi pada orang lain
yang kemudian ditanyakan kepada Rasulullah SAW.
d. Peristiwa yang disaksikan
oleh sahabat, bagaimana Rasulullah melaksanakannya
Mengenai hal ini sering terjadi dalam bidang ibadah dan muamalah. Kedua
bidang ini sangat memerlukan praktek langsung karena tanpanya maka para sahabat
tidak akan mengerti.[35] Namun didalam kitab yang lain yakni al-Sunnah Qabla al-Tadwin, ‘Ajjaj al-Khatib menjelaskan
ada tiga cara. Sebenarnya maksud dari ada empat maupun tiga itu sama karena
dalam cara yang ketiga ia gabung dengan
cara keempat sehingga menjadi tiga.[36]
M Noor Sulaiman PL menjelaskan bahwa sahabat mendapatkan hadis dari
Rasulullah SAW melalui dua cara;
pertama, secara langsung dari Nabi SAW, kedua secara
tidak langsung. Adapun yang pertama seperti penjelasan ‘Ajjaj al-Khathib yakni mendengarkan langsung dari nabi ketika mengikuti
majlisnya. Kedua, adakalanya ia mendengar dari sahabat yang menghadiri majlis
Rasulullah, atau minta tolong kepada sahabat lain untuk menanyakan
permasalahannya, atau rasulullah memang memerintahkan agar sahabat yang hadir
memberitahukan kepada yang lain tentang suatu berita.[37]
3. Cara sahabat memelihara
hadis Rasulullah SAW
Selama dua puluh tiga tahun Rasulullah menyampaikan risalahnya melalui
banyak cara. Dalam kurun waktu yang sangat panjang ini pasti sangat banyak
hal-hal yang telah disampaikan oleh Nabi. Oleh karenanya para sahabat harus
gigih dalam mempelajarinya dan memeliharanya agar tidak hilang dimakan zaman.
Lebih-lebih rasul berwasiat agar apa yang telah didengar oleh para sahabat di
sampaikan kepada orang lain baik itu sahabat yang tidak hadir di majlis ta’lim
atau pada generasi berikutnya. Adapun cara yag ditempuh sahabat adalah:
Pertama, menghafal. Orang arab
dikenal dengan kemampuannya dalam menghafal. Maka tidak heran jika mereka bisa
menghafal ayat al-Qur’an beserta tafsirnya. Sedangkan hadis selalu beriringan
dengan keberadaan al-Qur’an. Penjelasan tentang suatu ayat termasuk hadis maka
mereka juga menghafalnya. Ada beberapa alasan yang memotivasi sahabat untuk
menghafal hadis maupun al-Qur’an. Pertama, memang sudah menjadi budaya bagi orang arab dalam
bidang menghafal. kedua, rasulullah sering memberikan spirit kepada
sahabat-sahabatnya melalui do'a. Ketiga, rasulullah menjanjikan kebaikan
akhirat keada sahabat yang menghafalnya dan menyebarkannya kepada orang lain.[38]
Kedua, dengan
tulisan tetapi tidak semua sahabat memiliki kemampuan dalam menulis. Maka
ketika mendengar hadis dari Nabi SAW hanya sebagian sahabat yang menulisnya.[39]
4. Cara sahabat menyampaikan
hadis
Para sahabat dalam menyampaikan hadis baik kepada sahabat lain yang tidak
menghadiri majlis ta’lim atau kepada generasi berikutnya berbeda ketika mereka
menyampaikan ayat al-Qur’an. Hal ini dikarenakan ayat al-Qur’an mutlak tidak
bisa diubah baik secara lafazh ataupun makna. Sedangkan hadis tidak mutlak
persis dengan lafazh yang diterima dari Rasulullah. Maka penyampaian hadis bisa
dilakukan dengan dua cara:
Pertama, diriwayatkan secara lafzhi artinya apa yang mereka sampaikan
kepada yang lain menggunakan lafazh persis dari Nabi. Hal ini dikarenakan
hafalan mereka yang kuat. Penyampaian secara lafzhi hanya untuk hadis qawli
saja karena hadis fi’li atau yang lainnya tidak mungkin menggunakan lafazh yang
sama.
Kedua, diriwayatkan secara makna artinya para sahabat meriwayatkan menggunakan
lafazhnya masing-masing tidak seperti yang di ucapkan Rasulullah SAW tetapi
memiliki makna yang sama. Periwayatan seperti ini dikenal dengan riwayah bi al-ma‘na. [40]
5. Sebab-sebab tidak
sederajatnya para sahabat dalam mengetahui hadis
Para sahabat Rasulullah memiliki catatan hadis atau hafalan hadis yang
berbeda. Begitu pula dalam segi pemahamannya terhadap hadis nabi. Hal ini
dikarenakan beberapa faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut
sebagaimana dibawah ini:[41]
a. Tempat tinggal yang jauh
Memiliki tempat tingggal yang jauh dari nabi berpengaruh terhadap jumlah
hadis yang didapat karena ada kemungkinan tidak bisa hadir di majlis ta’lim.
Hal ini juga mempengaruhi tingkat pemahaman terhadap hadis Nabi.
b. Kesibukan sehari-hari
Tidak semua sahabat bisa mengikuti nabi dan menghadiri majlis nabi karena
harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
c. Intelektual dan kecakapan
Manusia diberi akal dan kemamuan oleh Tuhan, tetapi dengan kadar yang
berbeda. Hal ini sangat mempengaruhi kemampuannya dalam memahami sesuatu.
Begitu pula berlaku kepada para sahabat. Oleh karenanya, meskipun hadir dalam
satu majlis tetapi pemahaman terhadapa apa yang disamaikan oleh Rasulullah
tidak sama.
d. Keakraban dalam bergaul
dengan Nabi
Sahabat yang dekat dengan Rasulullah sudah pasti sering mendengar hadisnya.
Walaupun nabi terkenal dengan keakrabannya dengan semua sahabatnya tetapi
tingkat keakrabannya tentu berbeda. Hal ini pula yang mempengaruhi terhadap penguasan
hadis.
e. Masa cepat atau lambatnya
masuk Islam
Pengaruh dari perbedaan masuk Islam seorag sahabat berikabat ada jumlah
hadis yang diperoleh dan tingkat pemahaman yang berbeda.
6.
Tersebarnya Sunnah pada masa Rasulullah SAW
Hadis Nabi
tidak akan sampai kepada generasi berikutnya jika para sahabat tidak
memeliharanya. Selain dengan menghafal atau menulis dalam rangka menjaga
keutuhan hadis adapula factor yang menyebabkan tersebar luasnya hadis Nabi SAW.
Adapun faktor-faktor tersebut adalah:[42]
a
Karena semangat dan kesungguhan
Rasulullah SAW dalam berdakwah. Setiap kali ada kesempatan untuk berdakwah,
beliau pasti akan melakukannya walaupun harus mengalami kesulitan dan
rintangan.
b
Karakter Islam dan norma-norma
barunya membuat orang penasaran dan ingin mempelajarinya. Ada sebagian yang
mendatangi Rasulullah SAW untuk belajar Islam. Setelah ia memahaminya kemudian
kembali kepada kaumnya dan menyebarkan Islam.
c
Semangat belajar para sahabat,
kegigihannya dalam menghafal al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Selain itu
semangat mereka dalam menyebarkan ajaran-ajaran agama Islam.
d
Istri-istri Rasulullah SAW (ummahat al-mu’minin) juga ikut
andil dalam menyebarkan agama Islam lebih-lebih kepada kaum perempuan. Karena
malu untuk bertanya langsung kepada Rasulullah SAW maka banyak kaum wanita yang
menanyakannya kepada istri Rasulullah SAW.
e
Para sahabat wanita juga ikut aktif
dan semangat untuk menyebarkan berita tentang ajaran Islam lebih-lebih dalam
masalah wanita dan hubungan suami istri. Banyak kaum lelaki malu untuk
menanyakan langsung kepada Rasulullah SAW kemudian mereka menyuruh istrinya
untuk bertanya kepada istri Rasulullah SAW.
f
Selain yang telah disebutkan, ara
delegasi dan pejabat Rasulullah juga tak mau kalah untuk menyebarkan
ajaran-ajaran Islam. Setelah hijrah, kota Madinah menjadi pusat dan kedaulatan
dan aktivitas dakwah. Para utusan berangkat dari Yatsrib menuju kabilah-kabilah
di sekitarnya untuk menyebarkan agama Islam.
Sejarah mencatat, bahwa Rasululllah
SAW pernah mengirim utusan kepada kaisar Romawi, gubernur Basrah, gubernur
Mesir, dan gubernur serta para raja. Para utusan tersebut dibekali dengan
sebuah surat dan siap untuk menjawab semua pertanyaan yang akan diajukan oleh
para raja maupun gubernur.
g
Penaklukkan kota Makkah (fathu al-Makkah) terjadi
karena orang kafir Quraisy melanggar perjanjian Hudaibiyah. Maka, Rasulullah
SAW mengajak seluruh kaum muslimin di Madinah untuk berangakat ke Makkah dalam
rangka menaklukkan kota Makkah. Bersama 10.000 mujahid beliau berangkat ke Makkah
dan berhasil menaklukkannya. Di tegah-tengah kaumnya beliau mengatakan bahwa
beliau memaafkan musuh dan orang yang telah menyakitinya.
h
Peristiwa haji wada’ menjadi salah
satu hal yang besar karena pada saat wuquf di Arafah, beliau berpidato tentang
berbagai persoalan. Diantara isi pidatonya, beliau menjelaskan tentang haram
darah dan harta kaum muslimin, pembatalan adat yang batil, kewajiban menunaikan
amanah, hak suami dan istri da sebagainya. Peristiwa ini disaksikan oleh banyak
orang sehingga mereka menyebarkannya kepada orang lain.
i Utusan setelah haji wada’ mulai berdatangan kepada Rasulullah untuk membai’atnya dan bersatu di bawah panji-panji Islam. Dengan senang hati Rasulullah menyambut mereka dan mengajrinya tentang agama Islam sebagai bekal untuk menyebarkan agama Islam di daerah mereka masing-masing.
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;
- PANDANGAN IMAM SHAFI'I TERHADAP HADIS
- HADIS PADA MASA RASULULLAH
- IMAM MALIK IBN ANAS DAN KITAB AL-MUWATTA’
- SUNNAH ANTARA WAHYU ILAHI DAN IJTIHAD NABI SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP TASYRI’
- PEMIKIRAN K. H. MUHAMMAD AHMAD SAHAL MAHFUZ AL-HAJINI TENTANG HADIS
- MUHAMMAD NASIR AL-DIN AL-ALBANI
- KAJIAN HADIS DI INDIA
- STUDI KRITIS PEMIKIRAN IBN HAJAR AL-‘ASQALANI DALAM KAJIAN ILMU HADIS
- IMAM NAWAWI
- HADIS DALAM PANDANGAN SYAIKH NAWAWI AL-BANTANI
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zainul. Studi
Kitab Hadis. Surabaya: al-Muna. 2010.
Assiba’i, Musthafa. Al-Hadis
Sebagai Sumber Hukum. ter. Dja’far Abd Muchith. Bandung: Diponegoro.
al-Bukha>ry, Muh}ammad
Ibn Isma‘i>l Abu> ‘Abd Alla>h. S}ah}i>h} al-Bukha>ry. Juz. 8. tk: Da>r T}u>q al-Naja>h. 1442 H.
H}anbal, Ah}mad Ibn Muh}ammmad Ibn. Al-Musnad. Juz. 7. Kairo: Da>r al-H}adi>th. 1995.
Idri, Studi Hadis. Jakarta:
Kencana. 2010.
‘Itr, Nuruddin. ‘Ulumul Hadis.
ter. Mujiyo. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014.
al-Khathib, M Ajaj. Hadits Nabi
sebelum dibukukan. Ter. AH Akrom Fahmi. Jakarta: Gema Insani. 1999.
. Ushul Al-Hadits,
Pokok-Pokok Ilmu Hadits. Ter. M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq. Jakarta:
Gaya Media Pratama. 1998.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir Kamus
Arab-Indonesia. Surabaya:
Pustaka Progressif.
2002.
Mudasir. Ilmu
Hadis. Bandung: Pustaka Setia. 2005.
PL, M. Noor
Sulaiman. Antologi Ilmu Hadis. Jakarta: Gaung Persada Press. 2008
Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadits. Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2004.
Sali>m, Abu> ‘Abd
al-Rah}ma>n ‘Amr ‘Abd al-Mun‘im. Taisi>r ‘Ulu>m al-H}adi>th li
al-Mubtadi’i>n. t.k: Da>r al-D}iya>’, 2000.
al-Shahrazwiry, Abu> ’Amr ‘Uthma>n ibn ‘Abd
al-Rah}ma>n. ‘Ulu>m al-H}adi>th. Beirut: Da>r al-Fikr
al-Ma‘a>s}ir, 1406 H.
As-siba’i, Musthafa. Al-Hadis
Sebagai Sumber Hukum. ter. Dja’far Abd Muchith. Bandung: Diponegoro. T. th.
Suparta, Munzier.
Ilmu Hadis. Jakarta: Rajawali Press. 2014.
Sumbulah, Umi.
Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN-Maliki Press. 2010.
T}ah}}a>n, Mah}mu>d. Taisi>r
Must}ala>h} al-H}adi>th. T.k: Markaz al-Madi> li
al-Dira>sa>t, 1405 H.
Zahw, Muh}ammad Abu>. Al-Hadi>th Wa al-Muh}addithu>n. Kairo: tp. 1959.
[1] Al-Qur’an 3:144, 9:33, 33:40, 72:7.
[2] Ibid., 21:107.
[3] Ibid., 3:32, 4:59, 8:179, 24:357, 47:510.
[4] Ibid., 33: 21.
[5] Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana, 2010), 94.
[6] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002), 242.
[7] Musthafa Assiba’i, Al-Hadis Sebagai Sumber Hukum, ter. Dja’far Abd Muchith (Bandung: Diponegoro, t. th), 68.
[8] Hadis hasan adalah hadis yang yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil, yang rendah tingkat kekuatan daya hafalnya, tidak rancu dan tidak cacat. Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadis, terj. Mujiyo (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), 266.
[9] Hadis da’if adalah hadis yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai hadis yang diterima. ‘Itr, Ulumul Hadis, 291.
[10]Abu ‘Abd al-Rahman ‘Amr ‘Abd al-Mun‘im Salim, Taisir ‘Ulum al-Hadith li al-Mubtadi’in (T.t: Dar al-Diya’, 2000), 14. Lihat pula Mahmud Tahan, Taisir Mustalah al-Hadith (T.k: Markaz al-Madi li al-Dirasat, 1405 H), 30.
[11]Abu ’Amr ‘Uthman ibn ‘Abd al-Rahman al-Shahrazwiry, ‘Ulum al-Hadith (Beirut: Dar al-Fikr al-Ma‘asir, 1406 H), 11-12.
[12]Penyandaran sanadnya dinisbahkan kepada Nabi Muhammad.
[13]Salim, Taisir ‘Ulum…, 14.
[14] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), 173.
[15] Ibid., 240.
[16] Ibid., 230.
[17] Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2005), 87-88.
[18] M ‘Ajaj al-Khathib, Ushul Al-Hadits, Pokok-Pokok Ilmu Hadits, ter. M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), 48.
[19] Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), 39.
[20] Muhammad Abu Zahw, Al-Hadith Wa al-Muhaddithun (Kairo: tp, 1959), 53.
[21] M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadis (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), 54-55.
[22] Mudasir, Ilmu Hadis…, 88-89. Lihat pula, Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: Rajawali Press, 2014), 72-73.
[23] Al-Khathib, Ushul Al-Hadis…, 49.
[24] Ibid., 49-50.
[25] Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis (Surabaya: al-Muna, 2010), 16. Lihat pula Zahw, al-Hadith wa al-Muhaddithun, 50.
[26] Al-Khathib, Ushul al-Hadits…, 50.
[27] Ahmad Ibn Muhammmad Ibn Hanbal, Al-Musnad, juz. 7 (Kairo: Dar al-Hadith, 1995), 183.
[28] Al-Khathib, Ushul al-Hadits…, 51.
[29] Ibid.
[30] Ibid., 51-52.
[31] Muhammad Ibn Isma‘il Abu ‘Abd Allah al-Bukhary, Sahih al-Bukhary, Juz. 8 (tk: Dar Tuq al-Najah, 1442 H), 9.
[32] Al-Khathib, Ushul al-Hadits…, 53.
[33] Ibid., 54-55.
[34] al-Bukhary, Sahih al-Bukhary, Juz. 1…, 25.
[35] Al-Khathib, Ushul al-Hadits…, 57-60.
[36] M Ajaj al-Khathib, Hadits Nabi sebelum dibukukan, Ter. AH Akrom Fahmi (Jakarta: Gema Insani, 1999), 88.
[37] Sulaiman PL, Antologi Ilmu…, 56-58.
[38] Suparta, Ilmu Hadis…, 75-76.
[39] Ibid., 76.
[40] Sulaiman PL, Antologi Ilmu…, 58-59.
[41] Ibid., 60-61
[42] Al-Khathib, Hadits Nabi…, 99-105
Tidak ada komentar:
Posting Komentar