HOME

14 April, 2022

HADIS PADA MASA RASULULLAH

 

BAB I

PENDAHULUAN 

    A.  Latar Belakang Masalah

Allah SWT mengutus utusan untuk menyampaikan dan menyebarkan ajaran-Nya. Utusan yang terakhir yakni Nabi Muhammad SAW memiliki keistimewaan tersendiri karena ia adalah satu-satunya utusan yang membawa ajaran yang sempurna. Selain ajarannya yang menjadi penyempurna ajaran sebelumnya,[1] ia juga pembawa rahmat untuk seluruh alam.[2] Maka tidak heran jika Allah SWT hingga berfirman agar umat manusia mentaati Rasulullah SAW,[3] artinya mentaati segala ajaran yang dibawanya. Bahkan disebutkan dengan menggunakan lafaz amr yang memiliki makna wajib untuk ditaati.

Ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW adalah ajaran yang akan membawa pengikutnya ke jalan yang benar (jalan menuju Allah SWT). Karena Rasulullah SAW sang pembawa ajaran telah wafat, maka untuk menuju ke jalan yang benar adalah mempelajari ajaran yang di bawanya. Ajaran-ajaran tersebut bisa dilihat dari perjalanan hidup Nabi SAW baik itu perkataannya,  perbuatannya ataupun sesuatu yang telah ditetapkan yang semua itu telah dihimpun dalam sunah Nabi Muhammad SAW. Tidak heran jika Allah memberinya predikat yang sangat agung yaitu suri tauladan yang baik. [4]  Dampak dari itu semua adalah umat muslim harus menerima dan mengerjakan apa yang telah Rasulullah ajarkan.

Sunah Rasulullah SAW, seperti yang telah dijelaskan diatas sebenarnya telah ditulis secara keseluruhan hanya saja penulisan tersebut terjadi setelah Rasulullah wafat bahkan ditulis pada masa khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz (99-101 H).[5] Waktu jeda yang sangat panjang inilah kemudian menimbulkan masalah sebab ada beberapa orang yang tidak yakin bahwa apa yang telah ditulis oleh para ulama benar-benar dari Nabi Muhammad SAW atau hanya karangan mereka saja. Oleh karenanya, sebagai umat Islam yang meyakini akan ajaran Rasulullah SAW perlu dan harus mengetahui kebenaran tersebut. Untuk itu perlu mempelajari ilmu-ilmu hadis sehingga bisa mengetahui kebenarannya. Selain ilmu hadis, tak kalah penting untuk dipelajari adalah belajar sejarahnya sehingga diketahui sejak kapan hadis itu ditulis, bagaimana para sahabat memperolehnya lalu bagaimana mereka memelihara hadis yang sangat banyak hingga bisa sampai kepada generasi-generasi berikutnya.

    B.  Rumusan Masalah

Adapun rumusan-rumusan masalahnya sebagai berikut:

    1.      Bagaimana cara Rasulullah SAW menyampaikan hadis kepada para sahabat?

    2.      Bagaimana para sahabat memelihara hadis yang telah didapat dari Rasulullah SAW?

    3.      Bagaimana penyebaran hadis pada masa Rasulullah SAW?


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;


BAB II

HADIS PADA MASA RASULULLAH SAW

    A.  Definisi Hadis

Menurut bahasa, kata hadith adalah al-jadid (yang baru) antonim dari kata al-qadim (lama).[6]

Sedangkan menurut istilah adalah segala yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, perangai, budi pekerti, perjalan hidup baik sebelum diangkat menjadi rasul maupun sesudahnya.[7]

Hadis terbagi menjadi tiga jika dilihat dari kualitasnya, yakni: hadis sahih, hadis hasan[8] dan hadis da‘if[9].

Menurut istilah ulama hadis, definisi hadis sahih adalah:

الحديث الصحيح هو المسند المتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط الى منتهاه من غير شذوذ ولا علة.[10]

Hadis sahih ialah musnad yang sanadnya bersambung dengan periwayatan perawi yang ‘adil dan dabit yang berasal dari orang-orang yang adil dan dabit sampai akhir sanad tanpa adanya kejanggalan dan cacat.

الحديث المسند يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط حتى ينتهى إلى رسول الله إلى منتهاه من صحابى أومن دونه ولايكونو شاذا ولامعللا[11].

Hadis musnad yang sanadnya bersambung dinukil oleh perawi yang adil dan dabit, dari perawi yang ‘adil dan dabit sehingga sampai pada Nabi lewat sahabat atau lainnya, dan tidak ada kejanggalan dan cacat.

 

Definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli hadis menjelaskan bahwa ada beberapa syarat yang harus dimiliki suatu hadis agar masuk dalam kategori hadis sahih. Seperti yang disebutkan dalam definisi tersebut bahwa syarat-syarat hadis sahih ada lima, yaitu: muttasil (bersambung), ‘adil (adil), dabit (kuat), ghairu shadhdhin (tidak ada kejanggalan), dan ghairu ‘illah (tidak ada cacat). ‘Abd Mun’im melanjutkan penjelasannya bahwa syarat hadis sahih adalah musnad,[12] muttasil al-sanad, perawinya ‘adil dan dabit, tidak ada kejanggalan, dan tidak ada cacat.[13]

Sebuah hadis bisa dikatakan sahih tidak hanya dari segi sanadnya saja tetapi juga dari segi matan. Hadis yang sanadnya sahih belum tentu matannya juga sahih maka kedua-duanya harus diteliti. Oleh karenanya kriteria kesahihan hadis dibagi dua, yakni sahih dari segi sanad dan sahih dari segi matan. Keduanya memiliki persyaratan tersendiri. Jadi, sebuah hadis disebut sahih jika sanad dan matannya sama-sama berkualitas sahih.

Para ulama sepakat untuk mengambil hadis sahih dan hadis hasan sebagai dalil hukum shara’ meskipun mereka masih memperdebatkan penempatan urutannya.[14] Nuruddin ‘Itr sepakat dengan pendapat yang dikemukakan jumhur ulama. Ia memasukkan hadis da’if dalam kelompok hadis yang ditolak.[15] Namun ada ulama yang menerima hadis daif untuk dijadikan hujjah tetapi dengan catatan bahwa hadis tersebut tidak terlalu lemah, dasar amalan yang terdapat dalam hadis bisa dibenarkan oleh dasar hadis yang dapat diamalkan, dan ketika mengamalkannya tidak beri’tikad bahwa hadis tersebut benar-benar bersumber dari Nabi. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalany tetapi dengan catatan:[16]

 

    B.  Hadis pada Masa Rasulullah SAW

Sejarah perkembangan hadis terbagi pada beberapa periode; pada periode Rasulullah SAW, periode sahabat dan periode tabiin. Disini akan dijelaskan hadis pada masa Rasulullah SAW saja. Para ulama menyebut periode pertama ini dengan عصر الوحي و التكوين (masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam). Periode pertama ini adalah periode yang paling istimewa. Hal ini dikarenakan para sahabat bisa langsung berinteraksi dengan Nabi Muhammad SAW serta bisa menanyakan seluruh permasalahannya sendiri maupun masalah yang timbul di sekitarnya baik itu masalah duniawi atau ukhrawi. Semua yang dilakukan maupun yang dikatakan bahkan yang melekat pada Rasulullah dijadikan contoh dan pedoman dalam ‘amaliyyah dan ‘ubudiyyah para sahabat.[17]

Berkembangnya hadis sejalan dengan berkembangnya al-Qur’an karena ketika Rasulullah menyampaikan ayat-ayat al-Qur’an maka beliau juga menjelaskan kandungan ayat tersebut. Penjelasan-penjelasan inilah yang disebut dengan hadis karena apa-apa yang keluar dari Nabi selain al-Qur’an adalah hadis. maka perlu diketahui bagaimana Rasulullah menyampaikan hadis kepada para sahabatnya. Rasulullah SAW mengajar para sahabatnya sama seperti ia menyampaikan ayat al-Qur’an. Ayat al-Qur’an turun secara bertahap kemudian Rasulullah menjelaskan kandungan ayatnya, merincinya bahkan beliau mempraktikkan hukum-hukumnya.[18]

1.    Cara menyampaikan hadis kepada para sahabat

Adapun metode yang ditempuh Rasulullah dalam menyampaikan hadis kepada para sahabatnya, yaitu:

a      para sahabat melakukan dialog langsung dengan Rasulullah SAW.

b      Para sahabat menyaksikan perbuatan dan ketetapan Rasulullah SAW.

c      Para sahabat mendengarkan perkataan sesama sahabat yang diperoleh dari Rasulullah SAW.

d     Para sahabat menyaksikan perbuatan Rasulullah SAW atau sesama sahabat yang diperoleh dari Rasulullah SAW.[19]

Metode ini adalah metode yang dikutip oleh Umi Sumbulah dari Muhammad Abu Zahw dalam kitabnya al-Hadith wa al-Muhaddithun.[20] Begitu pula yang disampaikan M. Noor Sulaiman PL dalam bukunya Antologi Ilmu Hadis, hanya saja ia menjelaskan maksud dari keempat metode tersebut. Metode yang pertama terjadi dalam majlis-majlis yang memang dibuat oleh Rasulullah SAW sehingga para sahabat dengan leluasa menanyakan seputar permasalahannya. Metode kedua adalah kejadian yang terjadi pada diri Rasulullah SAW atau beliau sedang menyaksikannya sendiri kemudian beliau menjelaskan ketetapan hukumnya. Ketiga adalah peristiwa yang menimpa kaum muslimin kemudian para sahabat segera menanyakannya kepada Rasulullah SAW. Metode terakhir adalah peristiwa yang disaksikan langsung oleh sahabat atau dilakukan oleh Rasulullah SAW.[21]

Ada pula yang merangkumnya menjadi tiga metode seperti yang dikemukakan oleh Munzier Suparta dan Mudasir. Metode pertama adalah para sahabat bisa mendapatkan hadis Rasulullah SAW ketika mengikuti pengajian yang diadakan oleh Rasulullah SAW dalam majlis-majlis yang memang sudah disediakan. Kedua, para sahabat bisa mendapatkannya di berbagai kesempatan yang hanya dihadiri oleh beberapa sahabat kemudian disampaikan kepada sahabat lain yang tidak hadir. Terakhir dengan cara berpidato di tempat terbuka.[22] 

M ‘Ajaj al-Khathib dalam kitab Ushul al-Hadits-nya meringkas metode pengajaran Rasululah SAW terhadap para sahabatnya sebagai berikut:[23]

a.    Pengajaran secara bertahap

Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT memiliki kewajiban untuk menyampaikan risalah-Nya yang termaktub dalam al-Qur’an al-Karim. Al-Qur’an sendiri turun dengan bertahap agar para sahabat mudah memahami kandungannya. Bertahap pulalah al-Qur’an menentang akidah yang sesat dan tradisi yang berbahaya. Begitu pula dalam menanamkan keyakinan yang benar dilakukan secara bertahap. Maka Rasulullah SAW dituntut untuk memberi fatwa dan penjelasan dalam segala hal yang merupakan Sunnah.

b.    Pusat pengajaran

Dar al-Arqam ibn Abdi Manaf yang ada di Makkah atau yang lebih dikenal dengan Dar al-Islam adalah tempat Rasulullah SAW menyampaikan risalah-Nya secara diam-diam. Hal ini terjadi ketika awal mula Rasulullah SAW berdakwah. Kemudian para sahabat sering berkumpul dengan Rasulullah SAW untuk belajar dasar-dasar Islam serta menghafal al-Qur’an. Oleh karenanya rumah Rasulullah SAW menjadi pusat kegiatan kaum muslimin baik belajar al-Qur’an maupun hadis. selain belajar di tempat tersebut, sahabat sering berdiskusi dimanapun mereka berada. Hal ini menunjukkan bahwa para sahabat sudah mempelajari serta menghafal hadis dan al-Qur’an secara bersamaan.[24]

Masjid menjadi tempat belajar berikutnya untuk mendalami agama Islam, menghafal al-Qur’an dan menerima hadis. Hal ini tidak menunjukkan bahwa hanya di dalam masjid Rasulullah SAW memberikan fatwa. Tempat Rasulullah berdakwah tidak ditentukan bahkan tidak dibatasi oleh waktu. Seringkali dalam perjalanan Rasulullah SAW memberikan fatwa untuk menyelesaikan masalah.[25]

c.    pendidikan dan pengajaran  efektif dan menyenangkan.

Sebagai utusan Allah SWT, Nabi Muhammad SAW dalam menyampaikan al-Qur’an maupun memberikan fatwa selalu ia lakukan dengan sangat baik. Walaupun ia sebagai public figur, namun ia tetap rendah hati bahkan ia duduk bersama dengan sahabat-sahabatnya. Sebelum mengajarkan suatu pelajaran, Rasulullah SAW selalu membukanya dengan kata-kata yang menyenangkan hati pendengarnya atau ia seperti ayah yang sangat menyayangi anak-anaknya.[26] Seperti sabda Rasulullah SAW:[27]

" إِنَّمَا أَنَا لَكُمْ مِثْلُ الْوَالِدِ، إِذَا أَتَيْتُمُ الْغَائِطَ فَلَا تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ وَلَا تَسْتَدْبِرُوهَا "

 

Bagi kalian aku hanyalah seperti seorang ayah, karena itu bila kalian buang hajat maka janganlah menghadap kiblat dan jangan membelakanginya". (H. R. Ahmad)

 

Selain menggunakan kata-kata yang halus, beliau juga menjelaskannya dengan sangat jelas hingga sahabat bisa memahaminya dan mengulangnya agar bisa dihafal.[28]

d.   memberikan variasi

Cara mengajar Rasulullah selalu bervariasi, hal ini dikarenakan agar para sahabat tidak bosan untuk mendengarkan penjelasan yang panjang. Cara seperti ini adalah cara paling efektif dan dijadikan metode mengajar oleh lembaga pendidikan.[29]

e.    memberikan contoh praktis

Selain bervariasi dalam mengajarnya, Rasulullah tidak lupa untuk memberikan contoh praktis kepada para sahabat. Hal ini dilakukan agar sahabat cepat menangkap maksud dari hukum yang dijelaskan. Suatu ilmu akan lebih cepat dipahami apabila disertai dengan praktek.[30] Misalnya yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Malik ibn Huwarits, katanya: kami datang keppada Nabi. Kami masih berusia setengah baya. Lalu kami tinggal selama dua puluh hari. Suatu ketika beliau mengira kami merindukan keluarga kami dan menanyakan orang-orang yang tinggal bersama kami. Kemudian beliau bersabda:

ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ، وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي، وَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ، فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ، ثُمَّ لِيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ[31]

 

Kembalilah kepada keluarga kalian, lalu ajarilah dan perintahlah mereka. Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku mengajarkan shalat. Dan bila waktu shalat tiba, maka hendaklah salah satu dari kalian mengumandangkan adzan untuk kalian. Kemudian hendaklah yang paling tua diantara kalian menjadi imam. (H. R. Al-Bukhari)

 

f.     memperhatikan situasi dan kondisi

Rasulullah sangat memperhatikan keadaaan sahabat-sahabatnya hingga mengetahui tingkat daya tangkap mereka. Hal ini perlu diketahui oleh para pengajar agar apa yag disampaikannya bisa dipahami oleh pendengar. Rasulullah selalu melihat para sahabat yang hadir apakah mereka orang pedalaman atau orang kota karena keduanya memiliki karakter yang berbeda.[32]

g.    memudahkan dan tidak memberatkan

Hukum-hukum yang disebarkan oleh Rasulullah adalah hukum yang mudah karena ia adalah orang yang sangat toleran tetapi, beliau tidak lupa memberi ketentuan utama dan kemudahan. Rasulullah sering melarang sahabat yang berlebihan dalam beribadah dan yang mempersempit hukum.[33]

Misalnya hadis yang diriwayatkan oleh imam bukhari dari anas dari  nabi, rasulullah bersabda:

يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا، وَبَشِّرُوا، وَلاَ تُنَفِّرُوا[34]

 

“Permudahlah dan jangan persulit, gembirakanlah dan jangan membuat orang lain lari”. (H. R. Al-Bukhari)

 

h.    pengajaran bagi wanita

Rasulullah SAW tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan wanita. Beliau memberikan waktu khusus kepada kaum wanita untuk belajar Islam kepada Rasulullah SAW. Hal ini dikarenakan para wanita enggan untuk datang ke majlis rasul yang diikuti oleh kaum laki-laki.

Salah satu yang beliau sampaikan ketika hadir di majlis kaum wanita adalah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:

مَا مِنِ امْرَأَةٍ تُقَدِّمُ ثَلَاثًا مِنَ الْوَلَدِ تَحْتَسِبُهُنَّ، إِلَّا دَخَلَتِ الْجَنَّةَ " فَقَالَتِ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ: أَوِ اثْنَانِ؟ قَالَ: " أَوِ اثْنَانِ

 

“Tidaklah seorang wanita didahului (ditinggal) mati oleh tiga anaknya yang ia berharap pahala (dengan bersabar atas musibah itu) kecuali ia akan masuk surga. Salah satu wanita dari mereka bertanya, atau dua orang anak?, beliau menjawab, atau dua orang anak”. (H. R. Ahmad)

 

2.    Cara sahabat menerima hadis dari Rasulullah SAW

Para sahabat menjadi saksi hidup turunnya wahyu, menyaksikan sendiri tentang mukjizat yang diterima oleh rasulullah. Oleh karenanya, iman mereka tak tergoyahkan. Bahkan mereka rela berkorban untuk Rasulullah baik berupa jiwa maupun harta karena mereka cinta terhadap Allah dan Rasul-Nya. Maka mereka tidak pernah bosan untuk mempelajari tentang agama Islam dari Rasulullah. Adapun cara sahabat mendapatkan hadis seperti yang telah diringkas oleh M. ‘Ajaj al-Khathib ialah:

a.    Majlis Rasulullah SAW

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa Rasulullah memiliki majlis dan memberikan waktu khusus kepada sahabat yang ingin belajar tentang Islam. Tidak semua sahabat bisa menghadiri majlis tersebut karena mereka juga disibukkan dengan pekerjaan mereka seperti berdagang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karenanya ada beberapa sahabat yang bergantian hadir di majlis tersebut. Misalnya kisah yang sudah populer yaitu kisah sayyidina umar yang bergantian dengan tetangganya untuk menghadiri majlis Rasulullah. Maka mereka saling bertukar pelajaran dan mendiskusikannya. Selain umar, para sahabat juga selalu mengulang-ulang pelajaran yang didapat dari Rasulullah hingga mereka menghafalnya.

b.    Peristiwa yang terjadi pada diri Rasulullah SAW

Adapun peristiwa yang menimpa Rasulullah SA, maka beliau langsung memberikan keutusan hukum. Adakalanya yang menyaksikan ini banyak sehingga berita tersebut cepat tersebar. Adakalanya sedikit, maka sahabat yang melihat akan mengabari sahabat yang lain.

c.    Peristiwa yang terjadi pada kaum muslimin

Seringkali terjadi masalah di kalangan muslimin yang tidak disaksikan sendiri oleh Rasulullah maka para sahabat dengan cepat mendatangi Rasulullah untuk menanyakan hal tersebut. Adapula masalah yang terjadi pada orang lain yang kemudian ditanyakan kepada Rasulullah SAW.

d.   Peristiwa yang disaksikan oleh sahabat, bagaimana Rasulullah melaksanakannya

Mengenai hal ini sering terjadi dalam bidang ibadah dan muamalah. Kedua bidang ini sangat memerlukan praktek langsung karena tanpanya maka para sahabat tidak akan mengerti.[35] Namun didalam kitab yang lain yakni al-Sunnah Qabla al-Tadwin, Ajjaj al-Khatib menjelaskan ada tiga cara. Sebenarnya maksud dari ada empat maupun tiga itu sama karena dalam cara yang ketiga ia gabung dengan cara keempat sehingga menjadi tiga.[36]

M Noor Sulaiman PL menjelaskan bahwa sahabat mendapatkan hadis dari Rasulullah SAW melalui dua cara; pertama, secara langsung dari Nabi SAW, kedua secara tidak langsung. Adapun yang pertama seperti penjelasan ‘Ajjaj al-Khathib yakni mendengarkan langsung dari nabi ketika mengikuti majlisnya. Kedua, adakalanya ia mendengar dari sahabat yang menghadiri majlis Rasulullah, atau minta tolong kepada sahabat lain untuk menanyakan permasalahannya, atau rasulullah memang memerintahkan agar sahabat yang hadir memberitahukan kepada yang lain tentang suatu berita.[37]

3.    Cara sahabat memelihara hadis Rasulullah SAW

Selama dua puluh tiga tahun Rasulullah menyampaikan risalahnya melalui banyak cara. Dalam kurun waktu yang sangat panjang ini pasti sangat banyak hal-hal yang telah disampaikan oleh Nabi. Oleh karenanya para sahabat harus gigih dalam mempelajarinya dan memeliharanya agar tidak hilang dimakan zaman. Lebih-lebih rasul berwasiat agar apa yang telah didengar oleh para sahabat di sampaikan kepada orang lain baik itu sahabat yang tidak hadir di majlis ta’lim atau pada generasi berikutnya. Adapun cara yag ditempuh sahabat adalah:

Pertama, menghafal. Orang arab dikenal dengan kemampuannya dalam menghafal. Maka tidak heran jika mereka bisa menghafal ayat al-Qur’an beserta tafsirnya. Sedangkan hadis selalu beriringan dengan keberadaan al-Qur’an. Penjelasan tentang suatu ayat termasuk hadis maka mereka juga menghafalnya. Ada beberapa alasan yang memotivasi sahabat untuk menghafal hadis maupun al-Qur’an. Pertama, memang sudah menjadi budaya bagi orang arab dalam bidang menghafal. kedua, rasulullah sering memberikan spirit kepada sahabat-sahabatnya melalui do'a. Ketiga, rasulullah menjanjikan kebaikan akhirat keada sahabat yang menghafalnya dan menyebarkannya kepada orang lain.[38]

Kedua, dengan tulisan tetapi tidak semua sahabat memiliki kemampuan dalam menulis. Maka ketika mendengar hadis dari Nabi SAW hanya sebagian sahabat yang menulisnya.[39]  

4.    Cara sahabat menyampaikan hadis

Para sahabat dalam menyampaikan hadis baik kepada sahabat lain yang tidak menghadiri majlis ta’lim atau kepada generasi berikutnya berbeda ketika mereka menyampaikan ayat al-Qur’an. Hal ini dikarenakan ayat al-Qur’an mutlak tidak bisa diubah baik secara lafazh ataupun makna. Sedangkan hadis tidak mutlak persis dengan lafazh yang diterima dari Rasulullah. Maka penyampaian hadis bisa dilakukan dengan dua cara:

Pertama, diriwayatkan secara lafzhi artinya apa yang mereka sampaikan kepada yang lain menggunakan lafazh persis dari Nabi. Hal ini dikarenakan hafalan mereka yang kuat. Penyampaian secara lafzhi hanya untuk hadis qawli saja karena hadis fi’li atau yang lainnya tidak mungkin menggunakan lafazh yang sama.

Kedua, diriwayatkan secara makna artinya para sahabat meriwayatkan menggunakan lafazhnya masing-masing tidak seperti yang di ucapkan Rasulullah SAW tetapi memiliki makna yang sama. Periwayatan seperti ini dikenal dengan riwayah bi al-mana. [40]

5.    Sebab-sebab tidak sederajatnya para sahabat dalam mengetahui hadis

Para sahabat Rasulullah memiliki catatan hadis atau hafalan hadis yang berbeda. Begitu pula dalam segi pemahamannya terhadap hadis nabi. Hal ini dikarenakan beberapa faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut sebagaimana dibawah ini:[41]

a.    Tempat tinggal yang jauh

Memiliki tempat tingggal yang jauh dari nabi berpengaruh terhadap jumlah hadis yang didapat karena ada kemungkinan tidak bisa hadir di majlis ta’lim. Hal ini juga mempengaruhi tingkat pemahaman terhadap hadis Nabi.

b.    Kesibukan sehari-hari

Tidak semua sahabat bisa mengikuti nabi dan menghadiri majlis nabi karena harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

c.    Intelektual dan kecakapan

Manusia diberi akal dan kemamuan oleh Tuhan, tetapi dengan kadar yang berbeda. Hal ini sangat mempengaruhi kemampuannya dalam memahami sesuatu. Begitu pula berlaku kepada para sahabat. Oleh karenanya, meskipun hadir dalam satu majlis tetapi pemahaman terhadapa apa yang disamaikan oleh Rasulullah tidak sama.

d.   Keakraban dalam bergaul dengan Nabi

Sahabat yang dekat dengan Rasulullah sudah pasti sering mendengar hadisnya. Walaupun nabi terkenal dengan keakrabannya dengan semua sahabatnya tetapi tingkat keakrabannya tentu berbeda. Hal ini pula yang mempengaruhi terhadap penguasan hadis.

e.    Masa cepat atau lambatnya masuk Islam

Pengaruh dari perbedaan masuk Islam seorag sahabat berikabat ada jumlah hadis yang diperoleh dan tingkat pemahaman yang berbeda.

6.    Tersebarnya Sunnah pada masa Rasulullah SAW

Hadis Nabi tidak akan sampai kepada generasi berikutnya jika para sahabat tidak memeliharanya. Selain dengan menghafal atau menulis dalam rangka menjaga keutuhan hadis adapula factor yang menyebabkan tersebar luasnya hadis Nabi SAW. Adapun faktor-faktor tersebut adalah:[42]

a      Karena semangat dan kesungguhan Rasulullah SAW dalam berdakwah. Setiap kali ada kesempatan untuk berdakwah, beliau pasti akan melakukannya walaupun harus mengalami kesulitan dan rintangan.

b      Karakter Islam dan norma-norma barunya membuat orang penasaran dan ingin mempelajarinya. Ada sebagian yang mendatangi Rasulullah SAW untuk belajar Islam. Setelah ia memahaminya kemudian kembali kepada kaumnya dan menyebarkan Islam.

c      Semangat belajar para sahabat, kegigihannya dalam menghafal al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Selain itu semangat mereka dalam menyebarkan ajaran-ajaran agama Islam.

d        Istri-istri Rasulullah SAW (ummahat al-mu’minin) juga ikut andil dalam menyebarkan agama Islam lebih-lebih kepada kaum perempuan. Karena malu untuk bertanya langsung kepada Rasulullah SAW maka banyak kaum wanita yang menanyakannya kepada istri Rasulullah SAW.

e      Para sahabat wanita juga ikut aktif dan semangat untuk menyebarkan berita tentang ajaran Islam lebih-lebih dalam masalah wanita dan hubungan suami istri. Banyak kaum lelaki malu untuk menanyakan langsung kepada Rasulullah SAW kemudian mereka menyuruh istrinya untuk bertanya kepada istri Rasulullah SAW.

f       Selain yang telah disebutkan, ara delegasi dan pejabat Rasulullah juga tak mau kalah untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam. Setelah hijrah, kota Madinah menjadi pusat dan kedaulatan dan aktivitas dakwah. Para utusan berangkat dari Yatsrib menuju kabilah-kabilah di sekitarnya untuk menyebarkan agama Islam.

Sejarah mencatat, bahwa Rasululllah SAW pernah mengirim utusan kepada kaisar Romawi, gubernur Basrah, gubernur Mesir, dan gubernur serta para raja. Para utusan tersebut dibekali dengan sebuah surat dan siap untuk menjawab semua pertanyaan yang akan diajukan oleh para raja maupun gubernur.  

g      Penaklukkan kota Makkah (fathu al-Makkah) terjadi karena orang kafir Quraisy melanggar perjanjian Hudaibiyah. Maka, Rasulullah SAW mengajak seluruh kaum muslimin di Madinah untuk berangakat ke Makkah dalam rangka menaklukkan kota Makkah. Bersama 10.000 mujahid beliau berangkat ke Makkah dan berhasil menaklukkannya. Di tegah-tengah kaumnya beliau mengatakan bahwa beliau memaafkan musuh dan orang yang telah menyakitinya.

h      Peristiwa haji wada’ menjadi salah satu hal yang besar karena pada saat wuquf di Arafah, beliau berpidato tentang berbagai persoalan. Diantara isi pidatonya, beliau menjelaskan tentang haram darah dan harta kaum muslimin, pembatalan adat yang batil, kewajiban menunaikan amanah, hak suami dan istri da sebagainya. Peristiwa ini disaksikan oleh banyak orang sehingga mereka menyebarkannya kepada orang lain.

i        Utusan setelah haji wada’ mulai berdatangan kepada Rasulullah untuk membai’atnya dan bersatu di bawah panji-panji Islam. Dengan senang hati Rasulullah menyambut mereka dan mengajrinya tentang agama Islam sebagai bekal untuk menyebarkan agama Islam di daerah mereka masing-masing.         


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Zainul. Studi Kitab Hadis. Surabaya: al-Muna. 2010.

Assiba’i, Musthafa. Al-Hadis Sebagai Sumber Hukum. ter. Dja’far Abd Muchith. Bandung: Diponegoro.

al-Bukha>ry, Muh}ammad Ibn Isma‘i>l Abu> ‘Abd Alla>h. S}ah}i>h} al-Bukha>ry. Juz. 8. tk: Da>r T}u>q al-Naja>h. 1442 H.

H}anbal, Ah}mad Ibn Muh}ammmad Ibn. Al-Musnad. Juz. 7. Kairo: Da>r al-H}adi>th. 1995.

Idri, Studi Hadis. Jakarta: Kencana. 2010.

‘Itr, Nuruddin. ‘Ulumul Hadis. ter. Mujiyo. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014.

al-Khathib, M Ajaj. Hadits Nabi sebelum dibukukan. Ter. AH Akrom Fahmi. Jakarta: Gema Insani. 1999.


                 . Ushul Al-Hadits, Pokok-Pokok Ilmu Hadits. Ter. M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq. Jakarta: Gaya Media Pratama. 1998.

Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif. 2002.

Mudasir. Ilmu Hadis. Bandung: Pustaka Setia. 2005.

PL, M. Noor Sulaiman. Antologi Ilmu Hadis. Jakarta: Gaung Persada Press. 2008

Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadits. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

Sali>m, Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n ‘Amr ‘Abd al-Mun‘im. Taisi>r ‘Ulu>m al-H}adi>th li al-Mubtadi’i>n. t.k: Da>r al-D}iya>’, 2000.

al-Shahrazwiry, Abu> ’Amr ‘Uthma>n ibn ‘Abd al-Rah}ma>n. ‘Ulu>m al-H}adi>th. Beirut: Da>r al-Fikr al-Ma‘a>s}ir, 1406 H.

As-siba’i, Musthafa. Al-Hadis Sebagai Sumber Hukum. ter. Dja’far Abd Muchith. Bandung: Diponegoro. T. th.

Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta: Rajawali Press. 2014.

Sumbulah, Umi. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN-Maliki Press. 2010.

T}ah}}a>n, Mah}mu>d. Taisi>r Must}ala>h} al-H}adi>th. T.k: Markaz al-Madi> li al-Dira>sa>t, 1405 H.

Zahw, Muh}ammad Abu>. Al-Hadi>th Wa al-Muh}addithu>n. Kairo: tp. 1959.                                 


[1] Al-Qur’an 3:144, 9:33, 33:40, 72:7.

[2] Ibid., 21:107.

[3] Ibid., 3:32, 4:59, 8:179, 24:357, 47:510.

[4] Ibid., 33: 21.

[5] Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana, 2010), 94.

[6] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002), 242.

[7] Musthafa Assiba’i, Al-Hadis Sebagai Sumber Hukum, ter. Dja’far Abd Muchith (Bandung: Diponegoro, t. th), 68.

[8] Hadis hasan adalah hadis yang yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil, yang rendah tingkat kekuatan daya hafalnya, tidak rancu dan tidak cacat. Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadis, terj. Mujiyo (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), 266.

[9] Hadis da’if adalah hadis yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai hadis yang diterima. ‘Itr, Ulumul Hadis, 291.

[10]Abu ‘Abd al-Rahman ‘Amr ‘Abd al-Mun‘im Salim, Taisir ‘Ulum al-Hadith li al-Mubtadi’in (T.t: Dar al-Diya’, 2000), 14. Lihat pula Mahmud Tahan, Taisir Mustalah al-Hadith (T.k: Markaz al-Madi li al-Dirasat, 1405 H), 30.

[11]Abu ’Amr ‘Uthman ibn ‘Abd al-Rahman al-Shahrazwiry, ‘Ulum al-Hadith (Beirut: Dar al-Fikr al-Ma‘asir, 1406 H), 11-12.

[12]Penyandaran sanadnya dinisbahkan kepada Nabi Muhammad.

[13]Salim, Taisir ‘Ulum…, 14.

[14] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), 173.

[15] Ibid., 240.

[16] Ibid., 230.

[17] Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2005), 87-88.

[18] M ‘Ajaj al-Khathib, Ushul Al-Hadits, Pokok-Pokok Ilmu Hadits, ter. M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), 48.

[19] Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), 39.

[20] Muhammad Abu Zahw, Al-Hadith Wa al-Muhaddithun (Kairo: tp, 1959), 53.

[21] M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadis (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), 54-55.

[22] Mudasir, Ilmu Hadis…, 88-89. Lihat pula, Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: Rajawali Press, 2014), 72-73.

[23] Al-Khathib, Ushul Al-Hadis…, 49.

[24] Ibid., 49-50.

[25] Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis (Surabaya: al-Muna, 2010), 16. Lihat pula Zahw, al-Hadith wa al-Muhaddithun, 50.

[26] Al-Khathib, Ushul al-Hadits…, 50.

[27] Ahmad Ibn Muhammmad Ibn Hanbal, Al-Musnad, juz. 7 (Kairo: Dar al-Hadith, 1995), 183.

[28] Al-Khathib, Ushul al-Hadits…, 51.

[29] Ibid.

[30] Ibid., 51-52.

[31] Muhammad Ibn Isma‘il Abu ‘Abd Allah al-Bukhary, Sahih al-Bukhary, Juz. 8 (tk: Dar Tuq al-Najah, 1442 H), 9.

[32] Al-Khathib, Ushul al-Hadits…, 53.

[33] Ibid., 54-55.

[34] al-Bukhary, Sahih al-Bukhary, Juz. 1…, 25.

[35] Al-Khathib, Ushul al-Hadits…, 57-60.

[36] M Ajaj al-Khathib, Hadits Nabi sebelum dibukukan, Ter. AH Akrom Fahmi (Jakarta: Gema Insani, 1999), 88.

[37] Sulaiman PL, Antologi Ilmu…, 56-58.

[38] Suparta, Ilmu Hadis…, 75-76.

[39] Ibid., 76.

[40] Sulaiman PL, Antologi Ilmu…, 58-59.

[41] Ibid., 60-61

[42] Al-Khathib, Hadits Nabi…, 99-105

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...