HOME

14 April, 2022

Biografi Imam Shafi’i

 

1.      Nama dan Nasab Imam Shafi’i

Beliau adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin Uthman bin Shafi’i bin al-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin al-Muttalib bin Abdi Manaf bin Qusay al-Qurasyi al-Shafi’i al-Makki. Beliau bertemu nasabnya dengan Rasulullah pada Abdi Manaf bin Qusay, kakek Rasulullah yang ketiga.[1]

2.      Kelahiran Imam Shafi’i

Beliau lahir pada tahun 150 H, yang merupakan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah. Imam Shafi’i dilahirkan di sebuah tempat bernama Gazzah di Asqalan. Ketika memasuki usia 2 tahun, ibunya membawanya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang terdiri dari orang-orang Yaman, karena ibunya dari suku Azdiyah.[2]

3.      Pertumbuhan dan Kegiatan Imam Shafi’i dalam Mencari Ilmu

Beliau tumbuh di negeri Gazzah sebagai seorang yatim setelah ayahnya meninggal, sehingga berkumpullah pada dirinya kefakiran, keyatiman dan keterasingan dari keluarganya. Namun, kondisi tersebut tidak menjadikannya lemah dalam mengarungi kehidupan, setelah Allah memberinya taufiq untuk menempuh jalan yang benar[3].

Dengan kasih sayang, sang ibu membawanya ke tanah Hijaz, yaitu kota Makkah atau tempat dekat Makkah. Imam Shafi’i mulai menghafal al-Qur’an sehingga beliau menghafalnya secara sempurna pada usia 7 tahun. Setelah menghafal al-Qur’an, beliau hadir di masjid dan berkumpul bersama para ulama untuk menghafal hadis dan permasalahan agama. Beliau sangat tekun dalam belajar, sehingga beliau hafal al-Qur’an pada usia 7 tahun dan hafal kitab al-Muwatta’ karya Imam Malik pada usia 9 tahun. Pada saat berusia 18 tahun, beliau berfatwa setelah mendapat izin dari gurunya yang bernama Muslim bin Khalid al-Zanji. Walaupun berbahasa arab, beliau juga belajar bahasa Arab kepada suku Hudzail dan menghafal syair-syairnya.[4]

Setelah menghafal kitab al-Muwatta’, beliau pergi ke Madinah untuk berguru kepada Imam Malik. Tinggalnya beliau di Madinah tidak terus-menerus melainkan diselingi oleh kepulangannya ke Makkah untuk bertemu ibunya. Dalam kepulangannya, beliau menyempatkan diri untuk mendengar syair-syair suku Hudzail dan belajar kepada ulama Makkah. Beliau belajar di Madinah, sampai wafatnya Imam Malik pada tahun 179 H.[5]

Sekembalinya dari Madinah, beliau sibuk dengan ilmunya. Sekalipun ia tidak mampu membeli kitab-kitab karena miskin, namun karena kecintaannya terhadap ilmu sangat besar beliau menulis ilmu-ilmu yang diperoleh pada sesuatu yang bisa ditulisi. Begitulah sifat para ulama yang telah dianugerahi oleh Allah kenikmatan meraih ilmu. Mereka tidak akan pernah puas dengan ilmu yang dimilikinya. Rasulullah pun telah menyatakan hal itu dalam hadisnya:

مَنْهُوْمَانِ لَا يَشْبَعَانِ طَالِبُ اْلعِلْمِ وِ طَالِبُ دُنْيَا

Dua orang yang rakus yang tidak pernah kenyang; yaitu: pencari ilmu dan pencari dunia.

 

Hausnya terhadap ilmu dan karena kemiskinan, beliau pun pergi ke Yaman untuk belajar sambil bekerja. Ketika prestasinya baik, beliau diberi pekerjaan tambahan, namun beliau senantiasa mencari celah untuh meraih ilmu hingga akhirnya mendapat fitnah yaitu berupa tuduhan dusta bahwa beliau memberontak kepada khalifah Harun al-Rasyid. Beliau di usir ke Irak dalam keadaan diikat dengan rantai, dan disiksa sepanjang perjalanan menuju Irak, hingga akhirnya Allah menyelamatkan dari fitnah tersebut. Beliau tinggal untuk sementara waktu di Irak untuk menuntut ilmu kepada para ulama yang ada di negara tersebut.[6]

Sepulangnya dari Irak, beliau mulai mengajar di Makkah tempatnya belajar dulu. Pada musim haji, beliau ditemui oleh banyak ulama’. Mereka kagum terhadap keluasan ilmunya dan kekuatannya dalam menggunakan dalil serta keteguhannya mengikuti sunnah, juga kedalamannya dalam ilmu fiqih dan istinbat penyimpulan hukum. Mereka juga kagum terhadap terhadap usul dan kaidah-kaidah fiqih yang telah dibuatnya berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah. Hingga hampir 9 tahun, Imam Shafi’i mengadakan majelis halaqah pengajian di Makkah, kemudian pergi ke Irak yang kedua kalinya pada tahun 195 H. Beliau tinggal di Baghdad selama 2 tahun, pergi ke Makkah lalu datang lagi pada tahun 198 H dan tinggal di sana selama beberapa bulan, setelah itu ia pergi ke Mesir.[7]

Kepergian beliau dari Irak untuk selamanya ini, karena terjadinya musibah yang menimpah pemerintah kaum muslimin, yaitu telah dikuasainya khalifah al-Ma’mun oleh ahli ilmu kalam sehingga tersebarlah bid’ah dan matilah sunnah. Sesampainya di negeri Mesir, beliau pergi ke masjid ‘Amr bin al-‘Ash dan untuk pertama kalinya beliau menyampaikan kajian di masjid tersebut. Beliau disibukkan oleh belajar, mengajar dan berdakwah di negeri Mesir sampai wafatnya.[8]

4.      Guru dan Murid-murid Imam Shafi’i

Beliau mengambil banyak ilmu dari para ulama di berbagai tempat pada zamannya, di antaranya di Makkah, Madinah, Yaman, Kufah, Bashrah, Syam, dan Mesir. Sebagaimana hal itu telah disebutkan oleh al-Baihaqi, Ibnu Katsir, al-Mizzy, dan al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah. Di antara guru-guru Imam al-Shafi’i yang terkenal adalah Muslim bin Khalid al-Zanjiy, Malik bin Anas, Ibrahim bin Said, Said bin Salim al-Quddah, al-Darawardiy, Abd. Wahab as-Tsaqafiy, Ibnu Uyainah, Hatim bin Ismail, Ibrahim bin Muhammad bin Abiy Yahya, Ismail bin Ja’far, Muhammad ibnu Khalid al-Jundiy, Umar bin Muhammad bin aliy, Hisyam bin Yusuf al-Shan’aniy. Dalam mempelajari fiqih Imam al-Shafi’i   belajar dari seorang ulama fiqih yang terkenal di Mekah, yaitu Muslim bin Khalid al-Zanjiy, sedang untuk mempelajari hadis Nabi, beliau berguru pada Malik bin Anas yang juga terkenal sebagai Imam Mazhab.[9]

Sedangkan untuk murid-muridnya yang kemudian menyebarkan ajaran-ajaran beliau, diantara murid-muridnya yang ternama adalah Sulaiman bin Daud al-Hasyimiy, Ahmad bin Hanbal yang dikenal sebagai Imam Mazhab, Abd Allah bin Zubayr, al-Hamidiy, Abu Zaur Ibrahim bin Khalid, Abu Ya’qub, Yusuf bin Yahya, Harmalah bin Yahya, al-Hasan bin Muhammad al-Shabah, dan lain-lainnya.[10]

5.      Karya Imam Shafi’i

Para ulama’ telah menyebutkan karya beliau yang tidak sedikit, di antaranya adalah: al-Umm, al-Risalah al-Jadidah, al-Musnad, Mihnatu al-Shafi’i, Ahkamu al-Qur’an dan lain sebagainya. Sebagian karya beliau hilang dan sebagian yang lain lagi dihimpun oleh beberapa orang dari kalangan al-Shafi’iyah ulama-ulama yang mengikuti Imam Shafi’i dalam ilmu fiqih. Kitab-kitab Imam al-Shafi’i tentang hadis adalah al-Umm, walaupun kitab tersebut bercorak fiqih, namun dapat dikatakan sebagai karya Imam al-Shafi’i di bidang hadis. hal ini di karenakan muatan-muatan kitabnya dilengkapi dengan sanad berbagai riwayat hadis secara lengkap.[11]

6.      Pujian Ulama terhadap Imam Shafi’i

Banyak ulama yang memuji kecerdasan Imam al-Shafi’i. Abu Na’im berkata dan menyebut al-Shafi’i   adalah pemuda yang cerdas, Harmalah berkata bahwa di Bagdad Ia digelari sebagai Nasir al-Hadith. ulama kritikus hadis sepakat bahwa Imam al-Shafi’i adalah periwayat hadis yang berkualitas thiqah[12]. Husain al-Karabisiy berkata bahwa tidak ada ulama yang mengerti benar tentang hadis kecuali Imam al-Shafi’i. al-Halim Berkata berkata bahwa pada hadis riwayat Imam al-Shafi’i tidak ada cacat dan illat, selanjutnya Abu Daud berkata bahwa pada hadis al-Shafi’i tidak ditemukan kesalahan periwayatan.[13]

7.      Wafatnya Imam Shafi’i

Di akhir hayatnya, Imam Shafi’i sibuk berdakwah, menyebarkan ilmu, dan menulis. Beliau terkena penyakit wasir yang menyebabkan keluarnya darah. Namun, penyakit tersebut tidak menghalanginya dari melakukan pekerjaannya tersebut, karena kecintaan beliau terhadap ilmu agama. Hal itu terjadi sampai beliau wafat pada akhir bulan Rajab tahun 204 H.[14] 


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:


[1] Said Agil Husin al-Munawar, Mazhab Fikih’ dalam Ensiklopedi Tematis Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, t.th), 235.

[2] Ibid .

[3] M. Abuzahu, al-Hadith wa al-Muhaddithun (Mesir: Mathba’ah Misr, t.th), 298.

[4] Ibid.

[5] Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005), 281.

[6] Ibid.

[7] Ibid.

[8] Azra, Ensiklopedi Islam..., 283.

[9] Ahmad bin Ali bin hajar al-Asqalaniy, Tahdhib al-Tahdhib, Juz IX (Beirut: Dar al-Kutub, 1994), 24.

[10] Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadith wa Mustalahuhu, (Beirut: Dar al-Malayin, 1997), 389.

[11]Ibid.

[12]Pengertian thiqah menurut ulama ilmu hadis adalah kriteria periwayat yang memiliki sifat adil dan dabit (kuat hafalannya). Keadilan berhubungan dengan kualitas pribadi, sedang dhabit berhubungan dengan kapasitas intelektual. Lihat M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang,1992), 66.

[13]al-Asqalaniy, Tahdhib al-Tahdhib..., 26.

[14]Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis (Surabaya: Tim Al-Muna, 2010), 74.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...