HOME

19 April, 2022

PEMIKIRAN K. H. MUHAMMAD AHMAD SAHAL MAHFUZ AL-HAJINI TENTANG HADIS

 

    A.  PENDAHULUAN

Sunnah disebut juga dengan hadis, atsar, atau khabar memiliki makna yang berbeda tapi intinya sama yaitu kembali kepada Nabi Muhammad SAW. Hadis oleh umat Islam diyakini sebagai sumber syari’at Islam kedua setelah al-Qur’an al-Karim.[1] Hadis adalah narasi, biasanya singkat, dan bertujuan memberikan informasi tentang apa yang dikatakan, dilakukan, disetujui atau tidak oleh Nabi.[2] Hadis menarik dikaji dari banyak sisi terlebih karena ia ditulis jauh setelah Rasulullah wafat berbeda halnya al-Qur’an yang sudah ditulis semenjak Rasulullah hidup. Hal ini yang menimbulkan polemik dalam hadis itu sendiri sehingga banyak orang yang tidak bisa menerimanya karena dianggap tidak valid dari Rasulullah SAW.

Masalah terus bermunculan namun para ulama terdahulu telah melakukan upaya dalam mengkaji, meneliti dengan hati-hati. Mereka berusaha menghimpun hadis-hadis Nabi dari para sahabat yang kemudian dibukukan sehingga sampai kepada umat Islam saat ini. Dari penelitian dan kajian yang mendalam kemudian mereka merumuskan kaidah dalam ilmu hadis. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh ulama Timur Tengah namun ulama Nusantara juga banyak yang berhasil menulis tentang hadis. Diantara ulama Nusantara tersebut adalah KH Sahal Mahfudh Kajen yang pemikiran serta aksinya berani keluar dari adat ulama NU yang pemikirannya terkenal tradisional. Dalam makalah ini, penulis mencoba menjelaskan tentang pribadi dan pemikiran dari KH Sahal Mahfudh.

 

    B.  KH SAHAL MAHFUDH dan PEMIKIRANNYA

1.    Riwayat Hidup

a.    Biorgafi KH Sahal Mahfudh

KH Sahal Mahfudh bernama lengkap Muhammad Ahmad Sahal Mahfuz ibn ‘Abd al-Salam ibn ‘Abd Allah al-Hajini. Ia dilahirkan di Kajen, Margoyoso salah satu desa kecil di Pati Jawa Tengah pada tanggal 17 Desember 1937 M. Merupakan anak ketiga dari pasangan KH Mahfudh Salam (w. 1944) dan Nyai Hj. Badriyah (w. 1945). Ayahnya adalah adik sepupu dari salah satu tokoh NU yaitu KH Bisri Sansuri yang wafat pada 25 April 1981 M, sedangkan ayahnya adalah cucu dari KH Bisri Sansuri.[3] Beliau wafat pada tanggal 24 Januari 2014 di tempat kelahirannya Kajen Pati Jawa Tengah.

Pada saat berperang melawan tentara Jepang, KH Mahfudh Salam meninggal di penjara militer Ambarawa 1944 dan makamnya hingga sekarang tidak ditemukan. Waktu itu, KH Mahfudh Salam memimpin santri Kajen untuk melawan tentara Jepang bersama ayahnya (KH Abdussalam), KH Nawawi dan KH Abdulah Thahir Nawawi. Ketika ditinggal ayahnya, KH Sahal masih berumur tujuh tahun. Pada tahun 1949 ia ditinggal kakaknya (Muhammad Hasyim) yang meninggal ketika ikut berperang melawan tentara Belanda II bersama Abdullah Sa’id (putra KH Mustaghfirin Kajen) dan Masyhadi. Setelah kakaknya wafat, maka sebagai satu-satunya anak laki-laki dalam keluarga, karena yang lain adalah perempuan maka ia memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan pondok yang sudah dibangun oleh ayahnya. Selain itu ia juga bertanggung jawab atas Perguruan Islam Matholi’ul Falah yang didirikan oleh KH Abdussalam dan KH Nawawi pada tahun 1912 M.

Ia menikah dengan Nafisah putri Mushrifah putri KH Bishri Shansuri. Sepertinya menikah dengan family dekat menjadi adat di lingkungan kiai NU.

 

b.    Guru-guru KH Sahal Mahfudh

Ia banyak berguru kepada para kiayi selain kepada ayahnya sendiri, diantaranya:

1)        KH Ma’shum Ngemplak Pati

2)        KH Muhammadun Hadi Kajen

3)        KH Abdul Hadi Noer Kajen

4)        K Ahmad Rifa’i Nashuha Kajen

5)        K Dimyati Mughni Kajen

6)        KH Khozin Muhajir Pare Kediri

7)        KH Hayat Makki Gendo Pare

8)        KH Zubair Dahlan Sarang

9)        KH Yasin Fadani Makkah

10)    KH Abdullah Salam, dll.[4]

Dari sekian banyak guru yang membimbingnya, KH Abdullah Salam lah yang banyak mempengaruhi karakter KH Sahal Mahfudh, yang merupakan pamannya sendiri. Selain itu, ia adalah pribadi yang teguh pendirian, tidak mudah dibujuk untuk kepentingan politik meskipun memiliki kekuasaan. Keteguhannya bisa dilihat dari sikap kritisnya terhadap kebijakan  pemerintah (Gubernur Soewardi) yang dianggap arogan. Bahkan ia menolak Soewardi untuk mencalonkan kembali sebagai Gubernur Jawa Tengah.[5]

c.    Pendidikan

Diusianya yang masih enam tahun, KH Sahal Mahfudh kecil sudah belajar agama di Madrasah Ibtidaiyyah Kajen yang diselesaikan pada tahun 1949. Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya di Mathali’ul Falah sejak tahun 1950-1953. Di tempat dan waktu yang sama, ia melanjutkan pelajaran agama serta mengambil kursus pelajaran umum seperti ilmu Filsafat, Bahasa Inggris, Administrasi, Psikilogi, dan Tata Negara di bawah bimbingan H Amin Fauzan. Pada tahun 1953- 1957, ia hijrah ke Pare Kediri untuk melanjutkan pendidikannya setelah lulus Tsanawiyah. Kemudian melanjutkan pendidikannya di Pesantren Sarang-Rembang pada tahun 1957-1960.  Ketika sudah lulus dari Sarang, ia melanjutkan belajar ke Makkah al-Mukarramah di bawah asuhan KH M Yasin Fadani selama tiga tahun.[6]  Ia mendapatkan ijazah riwayah mutlaqah dengan sanad muttasil dan beberapa hadis musalsal dari KH M Yasin Fadani.[7]

Ia mempelajari banyak bidang ilmu dari guru-gurunya tersebut diantaranya; tafsir, fiqih, hadis, usul fiqih, tauhid, tasawuf, mantiq, balaghah dan lain-lain. Ia juga meng-khatam-kan beberapa kitab kuning diantaranya; kitab al-Tafsir al-Jalalain, Fath al-Mu‘in, Tahrir, Ashmuni, Jauhar al-Maknun, Alfiyah, Jami‘ al-Jawami‘, al-Hikam dan sebagainya. Melihat keragaman ilmu yang dipelajari maka tidak terelakkan lagi kalau beliau memiliki banyak keahlian baik dalam bidang Bahasa Arab dan fikih. Selain itu beliau ahli dalam ilmu sosial sehingga pondok yang ia asuh dijadikan eksperimen pengembangan sosial-ekonomi masyarakat dari Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi-Sosial (LP3ES) Jakarta pada tahun 1970-an.[8]

KH Sahal Mahfudh telah mempelajari beberapa kitab kepada guru-gurunya. Diantaranya ia belajar kepada al-Syaikh Muhajir al-Bandawi dan Ihsan al-Jampasi selama empat tahun dan telah mengkhatamkan kitab Sharh al-Muqaddimah al-Hadramiyah, Fath al-Mu‘in, Sharh Safinah al-Naja, Sullam al-Taufiq, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Tafsir al-Jalalain, dan beberapa kitab tasawuf. Kepada al-Syaikh Zubair ibn Dahlan Sarang selama lima tahun dan telah mengkhatamkan kitab Fath al-Wahhab, al-Iqna‘, Kanz al-Raghibin li al-Mahalli, al-Ashbah wa al-Naza’ir li al-Suyuti, Sharh Jam‘ al-Jawami‘, Tafsir al-Baidawi, Awa’il al-Sunan al-Sitti, dan beberapa kitab adab.[9]

d.    sanad dalam ilmu fikih

KH Sahal Mahfudh dalam ilmu fikih memiliki sanad yang bersambung kepada imam mujtahid syaikh al-Shafi‘i. di bawah ini adalah jalur sanadnya;

Muhammad Faqih al-Maskumambang dan Muhammad al-Baqir ibn Nur al-Jogja dari Muhammad Mahfuz ibn ‘Abd Allah al-Termasi dari Abu Bakar ibn Muhammad Shata al-Makki dari Ahmad ibn Zaini Dahlan dari ‘Uthman ibn Hasan al-Dimyati dari ‘Abd Allah al-Sharqawi dari Muhammad ibn Salim al-Hafni dari Ahmad al-Khalifi dari Ahmad al-Bashbishi dari ‘Ali ibn ‘Isa al-Halbi dan Sultan ibn Ahmad al-Mazahi dari ‘Ali al-Ziyadi dan Muhammad al-Qasri dari Ahmad ibn Hajar al-Haitimi dan Ramlayn dan al-Khatib al-Sharbini dari Zakariya al-Ansari dari al-Jalal al-Mahalli dan al-Hafiz ibn Hajar dan al-Shamsu al-Qayati dan al-Jalal ‘Abd al-Rahman ibn ‘Umar al-Bulqini dari Ahmad ibn al-Rahim al-‘Iraqi dari ‘Abd al-Rahim ibn Husain al-‘Iraqi dari al-Siraj al-Bulqini dari al-‘Alba’ ibn ‘Atar dari Yahya al-Nawawi dari Abi Hafas ‘Umar ibn As‘ad al-Ri‘i dari Abi ‘Amr ‘Uthman ibn ‘Abd al-Rahman dari ayahnya dari Abi Sa‘id dari Abi ‘Ali al-Fariqi dari Abi Ishaq Ibrahim al-Shairazi dari Abi al-Tayb Tabir ibn ‘Abd Allah al-Tabari dari Abi al-Hasan Muhammad ibn ‘Ali al-Masarji dari Abi Ishaq Ibrahim Muhammad al-Marwazi dari Abi al-‘Abbas Ahmad ibn Suraij al-Baghdadi dari Abi al-Qasim ‘Uthman ibn Abi Sa‘id ibn Bashshar al-Anmati dari Isma‘il ibn Yahya al-Mazani dari Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Idris al-Shafi‘i dari Malik dari Nafi‘ dari Ibn ‘Umar dari Rasulullah SAW.[10]

e.    Saudara-saudara

KH Mahfudh Salam dan Nyai Hj Badriyah memiliki tujuh, dua putra dan lima putri. Adapun saudara-saudaranya KH Sahal Mahfudh yaitu:

1)    M Hasyim (w. 1949) dia meninggal ketika melawan agresi militer Belanda.

2)    Hj. Muzayyanah, istri KH Mansur pengasuh PP An-Nur Lasem dan cucu KH Abdullah Salam

3)    Salamah istri KH Mawardi pengasuh PP Bugel-Jepara kakak istri KH Abdullah Salam

4)    Hj. Fadhilah istri KH Rodhi Soleh Jakarta, Wakil Ra’is Aam PBNU sejak 1984.

5)    Hj. Khodijah istri KH Maddah pengasuh PP Assuniyah-Jember, cucu KH Nawawi adik kandung KH Abdussalam, kakek Kiai Sahal.[11]

Saudara-saudara KH Sahal Mahfudh dikenal sebagai pendobrak pemikiran tradisional NU. Selain itu mereka juga menodorong masyarakat agar mandiri dengan memajukan kehidupan masyarakat di sekitar pesantren melalui pengembangan pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Di pesantrennya ada biro khusus, biro pengembangan pesantren dan masyarakat yang didirikan pada tahun 1977. Biro ini menangani pengembangan masyarakat dari sisi menciptakan pendapatan, kesehatan dan pendidikan. Awalnya ia membina pengrajin krupuk “tayamum” yang digoreng dengan pasir. Usaha ini berkembang dengan pesat dan menjadi salah satu mata pencaharian masyarakat sekitar. Semua sarana yang dimiliki oleh pesantren ditujukan untuk kepentingan orang banyak.[12]

f.      Keluarga dan Lingkungannya

Desa Kajen, tempat lahirnya KH Sahal Mahfudh disebut “Desa Santri” berkat ulama besar KH Ahmad Mutamakkin. Disebut demikian karena banyak ditemukan Pondok Pesantren dan ribuan santri di desa tersebut. Dari beliaulah lahir ulama-ulama yang bisa mendirikan Pondok Pesantren.[13] Banyak santriwan maupun santriwati yang dari kota-kota dan desa-desa di jawa tengah belajar di kajen. Kakeknya, ‘Abd al-Salam ibn ‘Abd Allah pada tahun 1912 M mendirikan sebuah madrasah yang menjadi madrasah paling terkenal, terbesar, dan termasuk pondok paling tua. Nasab keluarga KH Sahal sampai kepada KH Ahmad Mutamakkin. Ia hidup dan besar di keluarga dan lingkungan berilmu, ini bisa terlihat dari ayahnya, paman-pamannya dan kakek-kakeknya adalah ahli ilmu.

Diantara Pondok Pesantren yang tersebar di Kajen ialah:

1)        PP Matholi’ul Huda yang diasuh KH Abdullah Salam

2)        PP Raudhatul Ulum yang diasuh KH Fayumi Munji

3)        PP Salafiyah yang diasuh KH Faqih Siraj

4)        PP APIK (Asrama Pelajar Islam Kauman) yang diasuh oleh KH Dzakhwan

5)        PP TPII (Taman Pendidikan Islam Indonesia) yang diasuh oleh KH Muzammil Thahir

6)        PP Manba’ul Huda yang diasuh oleh KH Ma’mun Muhtar

7)        PP Permata al-Hikmah yang diasuh oleh KH Ma’mun Muzayyin

8)        PP Maslakul Huda yang diasuh oleh KH A. Sahal Mahfudh

9)        PP Pesarean yang diasuh oleh KH Nur Hadi

10)    PP Kauman yang diasuh oleh KH Umar Hasyim, dll.[14]

Kecerdesan KH Sahal sudah kelihatan sejak kecil dan tidak ahli dalam bidang agama saja tetapi ia juga ahli dalam ilmu umum sehingga dipercayai untuk memimpin organisasi.[15] 

g.    Organisasi

Sejarah mencatat bahwa KH Sahal Mahfudh pernah menjadi ketua Persatua Islam Indonesia (PII) cabang Margoyoso Pati (1947-1952), mantan ketua ikatan santri se Keresidenan Pati di Pare Kediri 1954-1956, mantan sekretaris Organisasi Persatuan Pesantren di Margoyoso 1951-1953. Di usianya yang baru 21 tahun, ia diamanahi untuk menjadi ketua forum diskusi fikih 1958-1965.[16]

Pernah menjabat Katib Syuriah di NU Cabang Pati (1967-1975) dan di tahun yang sama ia juga diamanahi untuk menjadi ketua LP Ma’arif Cabang Pati. Kemudian ia diangkat menjadi Wakil Rais NU di Pati (1975-1980). Selain menjabat wakil rais, pada tahun 1980-1982 ia menjadi katib Syuriah di pengurus wilayah NU Jawa Tengah. Di tahun berikutnya 1982-1985 ia menjabat sebagai Ra’is Syuriyah NU Jawa Tengah. Pada tahun 1984, berdasarkan keputusan mu’tamar NU di Situbondo ia ditunjuk sebagai Rais Syuriah pengurus besar NU. Dalam mu’tamar ini pula Gus Dur juga ditunjuk sebagai ketua umum dan KH Ahmad Shidiq sebagai Rais Aam. Jabatan itu berakhir pada tahun 1989 yang kemudian dia menjadi Rektor di Institute Islam Nahdhatul Ulama  (INISNU) Jepara. Ia tidak hanya aktif dalam organisasi politik tetapi juga aktif di lembaga sosial misalnya Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta yang dijalaninya sejak 1983-1990. Ia juga menjadi pimpinan umum majalah pesantren yang diterbitkan oleh P3M.[17]

Selain yang disebutkan di atas, KH Sahal sering melakukan perjalanan luar negeri dalam rangka studi komparatif pengembangan masyarkat. Hal ini dilakukan sejak tahun 1982 M. Diantara Negara yang pernah dikunjunginya; Philipina 1982 dengan sponsor dari USAID, Korea Selatan 1982 disponsori USAID, Srilanka 1984 disponsori P3M, Mesir 1992 disponsori BKKBN, Saudi Arabia 1986 yang disponsori Depertemen Agama RI.[18]

Dia menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Jawa Tengah pada tahun 1991. Anggota BPPN (Badan Perrtimbangan Pendidikan Nasional sejak tahun 1993. Wakil Rais Aam PBNU, sejak Mu’tamar Cipasung 1994.[19] Menjadi  Rais Aam Syuriah PBNU pada tahun 1999-2010 dan Ketua Umum PBNU tahun 2000-2010.[20]

h.    Karya-karya KH Sahal Mahfudh

KH Sahal Mahfudh termasuk salah satu ulama yang produktif dan menghasilkan beberapa karya baik yang berbentuk kitab berbahasa Arab maupun Indonesia atau tulisan yang dimuat di majlah maupun koran. Diantara karyanya:

1)   Tariqah al-Husul ‘ala Ghayah al-Wusul fi Usul al-Fiqh

2)   Al-Bayan al-Mulamma‘ ‘an Alfaz al-Luma‘ fi Usul al-Fiqh, kitab ini selesai pada hari ahad 29 Rabi’ul Awal 1814 Hijriyah atau bertepatan dengan 3 Agustus 1997 M.[21]

3)   Faid al-Hija ‘ala Nail al-Raja Manzumah Safinah al-Naja fi al-Fiqh, kitab ini, oleh KH Sahal Mahfudh diselesaikan pada hari selasa, 8 Zhul Hijjah 1381 H.[22]

4)   Al-Fara’id al-‘Ajibah fi Bayan al-I‘rab al-Gharbiyah fi al-Nahwi

5)   Al-Fawa’id al-Najibah Sharh al-Faraid al-‘Ajibah fi al-Nahwi

6)   Lum‘ah al-Himmah ila al-Musalsalat al-Muhimmah fi al-Hadith

7)   Al-Thamarat al-Hajiniyah fi Istilahat al-Fuqaha’ al-Shafi‘iyyah

8)   Intifakh al-Wajadyni fi Ikhtilaf ‘Ulama’ Hajin Haul al-Bai‘ bi al-Zajajin

9)   Selain yang disebut di atas, adapula tulisannya yang berbentuk makalah maupun yang dimuat di koran maupun majalah, diantaranya:

a)    Nuansa fiqh sosial, kumpulan tulisan-tulisan ini sudah di terbitkan menjadi sebuah buku yang bermanfaat.

b)   Dialok dengan Kiai Sahal

c)    Pesantren mencari makna

10)    KH Sahlan Mahfudh mencoba menerjemah kitab-kitab yang berbahasa Arab ke dalam Bahasa Indonesia bersama KH Mustafa Bishri.


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;


2.    Aktifitas Sosial dan Intelektual

Sebelum berbicara tentang pemikiran KH Sahal Mahfudh tentang hokum (fikih) akan di paparkan sedikit tentang pergulatannya dalam aktifitas sosial dan intelektualitasnya.

Secara sosiologis, Kajen termasuk salah satu desa miskin dan memiliki lahan yang tidak subur untuk melakukan pertanian. Kesehariannya masyarakat Kajen membuat krupuk tayamum namun penduduknya padat. Mungkin dengan alasan tersebut, KH Sahal menerima kalau desanya dijakan percobaan dalam proyek Pengembangan Masyarakat dari LP3ES. Bahkan banyak orang termasuk para kiai yang tidak setuju dengan tindakannya tersebut. Dengan proyek ini, KH Sahal melakukan tiga perkara: pertama, pelestarian lingkungan yang pada waktu itu Kajen tercemar limbah dari pabrik tepung tapioca. Kedua ia memperkenalkan teknologi terapan bagi penduduk yakni tungku Lorena yang bisa menghemat biaya dan energy. Terakhir ia membentuk organisasi ekonomi yang mandiri di kalangan rakyat desa (home industry).[23] Pondok Pesantren yang ada di bawah asuhannya menjadi multi fungsi karena tidak hanya digunakan untuk bahthu al-masa’il namun juga sebagai koperasi, BPPM (Badan Pengkajian dan Pengembangan Masyarakat) dan BPR (Badan Perkreditan Masyarakat). Pengelola dari koperasi adalah para ustadz yang berpengalaman. Kajen sangat strategis untuk bidang bisnis karena disitu banyak pondok pesantren yang tersebar di dalamnya.[24]

Perguruan Islam Mathali’ul Falah yang diasuhnya menggunakan metode klasik. Para santri diwajibkan menghafal kitab fikih, nahwu, mantiq, dan lainnya sebagai syarat naik kelas. Sejak 1985 diterapkan Daurah Arabiyah agar santri menguasai Bahasa Arab. Santri juga dituntut untuk mengusai Bahasa Inggris bahkan, KH Sahal menerima Paul Musante, alumnus Oxford University London untuk mangajar santrinya. Dalam setiap aktifitasnya, KH Sahal berusaha mengaplikasikan ajaran agama tanpa melewatkan realitas dengan kemampuan intelektualnya. Belajar agama penting sebagai dasar pijakan sehingga apa yang dilakukan tidak lepas dari ajaran agama Islam.[25]

KH Imron Hamzah dan Masdar F Mas’udi bersama dengan KH Sahal membentuk sebuah halaqah di bawah P3M dan Rabithah Ma’ahid al-Islam (RMI). Dalam forum ini mencoba mengaelaborasi wacana fikih yang mapan dan masalah kemasyarakatan yang terabaikan oleh ulama NU. Halaqah pertama diadakan di Pesantren Watucongol Muntilan Jawa Tengah pada tahun 1988. Dilakukannya diskusi ini untuk memahami kitab kuning secara kontekstual; sebuah masalah yang menjadi polemic di kalangan NU. Kedua, halaqah  tersebut setelah muktamar Krapyak untuk membahas tentang metode istinbat al-hukum. Dalam kesempatan ini membahas cara kerja dalam menetapkan fatwa yang menggunakan pendekatan tekstual bukan metode manhaji. Kelompok halaqah ini menawarkan metode mazhab manhaji yang kemudian diresmikan pada Munas NU di Bnadar Lampung pada Januari 1992. Selain itu, KH Sahal ia juga aktif di Majalah Pesantren yang didbentuk oleh P3M sejak tahun 1984-1994. Majalah ini tidak hanya mengangkat masalah klasik saja namun juga memasukkan isu actual kontemporer seperti perbankan, HAM, gender, dll.[26]

Menurutnya, ajaran ulama terdahulu seharusnya dikaji dalam konteks social dan historisnya bukannya taqlid.[27] Menurut John L Esposito, pola piker KH Sahal termasuk social histories approach, yakni membahas masalah modern tanpa tidak mengabaikan keotentikan teks-teks klasik dan nilai historis dari kitab kuning.[28]

Salah satu yang menuntut fikih harus berubah adalah kenyataan bahwa manusia berwatak dinamis. Perubahan sosial akan tetap terjadi di setiap komunitas manusia kapanpun dan dimanapun. Jadi, perubahan hukum Islam merupakan konsekuensi logis dari perubahan norma dan pergeseran nilai yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat yang selalu berubah. Dengan begitu fikih tidak cenderung dikatakan tetap secara mutlak yang membuat kehidupan dan aspek kemanusian menjadi jumud (stagnan), akan tetapi fikih yang dapat mengikuti perkembangan zaman.[29] Untuk mneghindarinya maka, perlu untuk mengembalikan masing-masing komponen atau kandungan agama secara proporsional sesuai dengan otoritasnya. Hal ini bukan menghilangkan atau mengurangi fungsi fiqh tetapi mengembalikan otoritas fiqh sesuai dengan fungsi, posisi dan kompetensinya. Oleh karenanya, KH. Sahal Mahfud menghidupkan kembali dengan cara mengkontekstualisasi atas penafsiran teks fiqh yang sudah dibakukan dan dibekukan yaitu dengan menempatkan fiqh pada konteks sosiologis dan historisnya sebagai respon nyata atas munculnya masalah kontemporer yang merupakan tuntutan dan kebutuhan. Dengan cara ini akan mengembangkan kesadaran bagi kita bahwa fiqh adalah produk pemikiran hukum bukan substansi ajaran yang tahan waktu. Dengan sendirinya ia membutuhkan koreksi secara terus-menerus untuk disesuaikan dengan realitas yang melingkupinya. Fiqh harus dikaitkan dengan dimensi sosiologis, filosofis dan kultural.[30]

3.    Pemikiran Hukum KH Sahal Mahfudh

a.    hubungan agama dan Negara

Sikap KH Sahal Mahfudh dalam masalah hubungan anatara agama dan Negara bisa dilihat dari ungkapannya dalam Nuansa Fiqih Sosial. “dalam proses hidupnya, manusia tidak lepas dari pengaruh watak politis. Telah menjadi sunnatullah barangkali, setiap kelompok ada yang dikuasai dan ada yang menguasai, ada yang memerintah dan diperintah, serta ada yang dipengaruhi dan memepengaruhi. Itulah konteks politik.

Menurutnya berdasarkan realitas bahwa manusia makhluk sosial yang membutuhkan sesama maka ia membutuhkan perekat, disinilah pentingnya peran sebuah Negara.[31] Hal ini senada dengan ngkapan KH Sahal Mahfudh “politik merupakan kebutuhan hidup menurut naluri manusiawi.”[32] Ulama Sunni menegaskan bahwa otoritas politik mencakup urusan agama dan mengatur kehidupan dunia. KH Sahal menjelaskan bahwa politik adalah cara untuk mencapai kebahaiaan dunia akhirat.[33] Ia berkata “siayasah tidak hanya terbatas pada yang bersifat structural dan formal apalagi yang bersifat konstitusional, akan tetapi lebih dari itu politik mencakup otoritas kultural.[34]

Otoritas Presiden, Gubernur atau yang lainnya sama dengan kiai atau pemangku adat. Pemegang jabatan formal-struktural dan kultural sama-sama pemimpin yang hanya berbeda dalam fungsionalnya saja. Kepemimpinan politik kultural memiliki fungsi untuk mendinamisir masyarakat, memberikan pendidikan politik dan kewajiban sebagai warga Negara. Jika masyarakat kuat, maka infrastruktur menjadi kuat, dan jika infrastruktur kuat maka suprastruktur akan menguat pula. Yang demikian ini berdasarkan pada kaidah ushul fiqh “tasarruf al-imam manutun bi al-maslahah (kebajikan pemimpin harus beriontasi pada kemaslahatan rakyat). Jika masyarakat kuat, maka ia menjadi pengimbang terhadap dominasi Negara karena apabila Negara dan masyarakatnya tidak seimbang maka yang terjadi adalah anarki atau oligarkhi.[35]

Bergabungnya para ulama dalam panggung politik menurut KH Sahal bukan berate ia menjadi alat legitimasi penguasa. Menurutnya ulama memiliki posisi sama dalam memimpin politik. Meskipun ia seorang ulama, tetapi ia memiliki hak untuk mengkritisi kebijakan pemerintah seperti yang dibuktikan oleh KH Sahal sendiri.[36]

b.    masalah krisis ekologi

bertambah majunya ilmu pengetahuan memiliki dampak positif dan negative terhadap manusia. Berdampak positif misalnya dengan berhasilnya pengembangan perekonomian dan kemajuan iptek. Dampak negatifnya adalah terpisahnya pemerintahan dan dunia akademik dan menjadi dasar pemikiran untuk memperlakukan alam seolah terdiri dari bagian terpisah untuk dieksploitasi oleh kaum kapitalis serta kelompok yang berkepentingan. Akibatnya alam mengalami krisis global, diantaranya angka inflasi, meningkatnya pengangguran, tingginya angka kejahatan dan krisis ekologi seperti polusi dan kerusakan lingkungan.[37]

Sebenarnya kerusakan alam ini terjadi karena pandangan manusia yang salah dalam beraktifitas. Apa yang diperhitungkan manusia dalam aktifitasnya hanyalah untung dan rugi secara ekonomi. Mereka tidak memperhitungkan dampak terhadap moral masyarakat yang sebenarnya menjadi bahaya. Hal ini berbeda dengan teori ekonomi Islam yang mempertimbangkan aspek maslahat dan mafsadat.[38] Allah SWT telah memerintah makhluknya agar memanfaatkan alam tetapi juga mengecam orang yang mengeksploitasi dan merusak alam yang terdapat dalam surat al-A’raf: 85:

وَإِلَى مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ قَدْ جَاءَتْكُمْ بَيِّنَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ فَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Dan kepada penduduk Madyan, Kami (utus) Syu’aib saudara mereka sendiri. Dia berkata “wahai kaumku! Sembahlah Allah. Tidak ada Tuhan bagimu selain Dia. Sesungguhnya telah dating kepadamubukti yang nyata dari Tuhanmu. Sempurnakanlah takaran dan timbangan, dan jangan kamu merugikan orang sedikitpun. Janganlah kamu berbuat kerukasan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Itulah yang lebih baik bagimu jika kamu ornag beriman.[39]

 

Dampak negative dari rusaknya alam sangat banyak, selain merusak lingkungan juga berimplikasi terhadap kesejahteraan masyarakat dan perekonomian. Sebagai umat Islam maka, memiliki kewajiban untuk mempertahankan hidup dan kehidupan.

c.    masalah prostitusi dan industry seks

prostitusi menjadi masalah yang krusial dan dilematis dan menimbulkan masalah yang sulit diselesaikan. Satu sisi, pelacuran menjadi identitas seseorang atau bangsa namun di sisi lain hal ini sangan berkontribusi terhadap Negara. Dalam menghapus prostitusi ini mengalami hambatan karena adanya hubungan antara industry ini dengan kekusaan (ekonomi dan politik). Selain itu juga karena manusianya sendiri yang menganggap bahwa dunia itu termasuk bagian dari hidup manusia.

Lokalisasi tidak bisa menjadi penyelesaian dalam penghapusan prostitusi jika melihat realitasnya. Baginya ada dua acara untuk menanggulangi industry ini yaitu dengan dilokalisir para pelacur ke satu tempat yang jauh dari penduduk local. Ia memilih jalan tengah dari dua pemikiran yang pertama ingin membiarkan begitu adanya dan kedua ingin menghanguskan lokalisasi.

Jika mengikuti pola pikir yang pertama yakni membiarkan adanya lokalisasi maka sama halnya meridhai adanya kemaksiatan. Sedangkan jika mengikuti pola kedua bukan menyelesaikan masalah malah menambah masalah. Karena dengan ditutupnya lokalisasai yang resmi maka mereka para pelacur akan bertebaran dimana-mana sehingga munculah seks liar. Hal ini sebenarnya menyalahi sunnatullah karena di dunia hanya ada kebaikan dan keburukan yang ada sejak zaman Nabi Adam.

Kedua, yaitu dengan pendekatan sosiologis yaitu mencari tahu penyebab dan latar belakang dari pelacur. Jika pelacuran dikarenakan kemiskinan maka harus ada upaya untuk memperbaiki peningkatan kesejahteraan melalui pembangunan ekonomi. Jika persoalannya karena factor kurangnya dalam memahami agama maka yang perlu dilakukan adalah penanaman etika dan moral yang dilandasi semangat agama. Penyelesaian ini oleh KH Sahal didasarkan pada ushul fikih shadh al-dhari‘ah, menutup jalan yang menuju perbuatan terlarang.

d.   Masalah pendidikan intergralistik

Pendidikan modern memandang pendidikan dari sudut penting instrumental, sekedar menjawab tuntutan pasar bebas. Artinya hanya menyiapkan tenaga pengajar yang siap pakai dan diterapkan sesuai dengan system yang sudah terkonsep dengan matang.[40] Dan zaman sekarang adalah potret nyata pendidikan yang demikian. Pendidikan yang demikian, menurut KH Sahal tidak memenuhi kepentingan yang lain padahal pendidikan harus bisa memenuhi kepentingan pasar bebas dan pragmatis. Seharusnya pendidikan itu bisa menciptakan manusia yang salih dan akram.[41]

Manusia yang salih adalah menciptakan manusia yang secara potensial mampu berperan aktif, terampil dalam kehidupan sesama makhluk. Sedangkan akram adalah pencapaian kelebihan dalam relevansinya dengan makhluk terhadap khalik untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat. Untuk mencapai manusia yang baik  maka perlu dibekali dengan ilmu social. Sedangkan makhluk yang mulian perlu dibekali dengan ilmu agama yang mendalam.[42] Pandangannya ini didasarkan pada hadis Nabi SAW:

1359 - حَدَّثَنَا عَبْدَانُ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ، أَخْبَرَنَا يُونُسُ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، أَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، وَيُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، كَمَا تُنْتَجُ البَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ، هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ»[43]

Menurut KH Sahal, berdasarkan hadis ini manusia tidak hanya memerlukan pendidikan fisik, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana caranya bisa membentuk watak dan prilaku manusia menjadi baik. Pendidikan modern dianggap gagal, walaupun pada awalnya menjadi alternative namun pada perkembangannya ia tidak bisa menjaga harapan tersebut. Bahkan berhasil mencetak manusia yang menguasai Islam secara ilmiyah tetapi dari segi amalaiyahnya perlu dipertanyakan.[44]

Sebenarnya konsep yang ditawarkan KH Sahal adalah bagaimana caranya untuk mengembalikan manusia itu menjadi makhluk utuh. Karena manusi terdiri dari fisik-nonfisik, material-spiritual, jasmani-rohani, akal-moral, dan seterusnya. Maka kedua komponen itu seharsnya sama-sama diberi pendidikan sehingga menjadi manusia yang seutuhnya.

4.    Metode Istinbath Hukum

KH Sahal dalam menggali hukum menggunakan du acara; tekstual dan kontekstual.

a.    metode tekstual

KH Sahal menggunakan metode ini dalam memberikan fatwa hokum terutama di Suara Merdeka. Ia menggunakan kitab madzhab Syafi’iyah bukan kitab Imam al-Syafi’i sendiri. Diantara kitab yang sering dijadikan rujukan yaitu: Nihayah al-Zain, Subul al-Salam, Mizan al-Kubra, Rawa’i‘ al-Bayan, al-Iqna’, al-Bajuri, Fath al-Mu‘in, dan lain-lain. Kitab karya Imam al-Syafi’i jarang disebut bahkan, ashab al-Shafi‘iyyah yang terkenal seperti al-Mawardi, al-Juwaini, al-Ghazali, Muzani, Buwaithi’, al-Rabi’ dll juga jarang disebut.[45]

 Terkadang KH Sahal mengambil pendapat Abu Hanifah, la-Jaziri, Yusuf al-Qardawi atau Mahmud Shaltut. Misalnya dalam menafsirkan surat at-Taubah: 60:

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيم

Sesungguhnya zakat itu hanya untuk orang fakir, miskin, amil zakat, muallaf, untuk memerdekakan hamba sahaya, untuk membebaskan orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.[46]

 

KH Sahal sependapat dengan Syaikh Mahmud Syaltut dalam menafsiri fi sabil Allah. kata tersebut tidak hanya dimaknai dengan orang yang berjihad sukarela tetapi mencakup pada semua kebaikan seperti membangun masjid, rumah sakit, atau lainnya. Karena pada saat ini umat Islam mengalami peperangan akidah, pemikiran, dan budaya, tidak hanya perang fisik inilah yang menjadi alasan Syaltut.[47]

b.    metode kontekstual

Menurut KH Sahal, fikih yang termasuk ilmu muktasab mengandung makna adanya usaha yang terus menerus dalam menggali hukum sesuai dengan perubahan zaman.[48] Seperti yang dikutip dari Imam al-Ghazali, peranan ulama yang berorientasi terhadap kemaslahatan umat maka ulama harus faqihun ‘an masalih al-khalqi fi al-dunya.[49] Hidup di zaman modern ini maka ulama juga harus bias menangkap “pesan zaman” untuk kemaslahatan umat.[50]

Ibadah yang dua macam yaitu individual dan sosial. Namun sebelum itu, umat islam harus membentengi diri dengan landasan transendenstal dan intelektual yang cukup serta berjalan yang berjalan seimbang. Pandangan demikian memang akan mengalami kendala metodologis jika dikaitkan dengan fiqh yang sifatnya legal formalistic dan dalam batas tertentu teologis. Belum lagi, ditambah cara umat Islam menyikapi kitab fiqh yang terlalu tekstual akan menambah beban untuk menkontekstualisasikan fiqh. Inilah penyebab fiqh tidak dapat berdialog dengan realitas sosial.[51]

Istinbat al-hukum dengan metode kontekstual yaitu memferifikasi masalah pokok usul dan furu‘. Dua masalah ini bisa diketahui dengan mengklasifikasikan macam-macam kebutuhan yang terbagi tiga yakni daruriyah, hajiyah, dan tahsiniyah. Karena tiga kebutuhan inilah yang menjadi tujuan dari terciptanya syari’at.[52] Rumusan maqasid al-shari‘ah yakni menjaga agama, melindungi jiwa, melindungi keturunan, melindungi akal pikiran, dan melindungi harta benda didapat dari petunjuk al-Qur’an dan hadis. Dari sini diketahui sebenarnya Islam tidak hanya berperan dalam aspek hubungan dengan Tuhan tetapi juga untuk kemaslahatan umat.[53]

Maslahah ‘ammah  seharusnya dijadikan bahan pertimbangan dalam mengambil hukum oleh para mujtahid. Mujtahid harus peka social agar tujuan dari hokum itu bisa terjaga. Intinya KH Sahal Mahfudh mengedepankan kemaslahatan umat dalam mengambil hukum.[54] System hukum yang dianut KH. Sahal berpijak pada prinsip al-Maslahah al-‘Ammah dan Sa‘adah al-Darain. Baginya, kepentingan umum harus menjadi pertimbangan terdepan dalam proses pengambilan keputusan hukum. Karena dengan tetap terjaganya kepentiangan umum ini, seorang mujtahid memiliki kepekaan sosial.[55] Munculnya term fiqh social seperti pendapat KH Sahal, karena adanya tuntutan jaman atau sebagai bentuk perlawanan terhadap struktur sosial politik yang tidak adil dan cenderung menguntungkan kekuasaan.[56]

 

    C. PENUTUP

KH Sahal Mahfudh bernama lengkap Muhammad Ahmad Sahal Mahfuz ibn ‘Abd al-Salam ibn ‘Abd Allah al-Hajini. Ia dilahirkan di Kajen, Margoyoso salah satu desa kecil di Pati Jawa Tengah pada tanggal 17 Desember 1937 M. ia dibesarkan dalam lingkungan keuarga yang berilmu dan desa yang menjadi pusat ilmu karena di Kajen banyak pondok pesantren. Ia belajar berpindah-pindah hingga terakhir di Makkah. Dalam masalah fikih ia memiliki sanad yang muttasil kepada Imam al-Syafi’i yang muttasil pula kepada Nabi Muhamad SAW.

Ia aktif dalam organisasi berkat kecerdesannya dan sikapnya yang moderat. Baginya hokum fikih seharusnya dimaknai dengan metodologis (kontekstual) karena didalamnya menyimpan makna agar manusia melakukan upaya kontinyu dalam penggalian hokum yang sesuai dengan zaman. Seharusnya istimbat hokum disesuaikan dengan kemaslahatan umat.

 

DAFTAR PUSTAKA

Bukhari, (al) Muhammad ibn Isma‘il Abu ‘Abd Allah. Sahih al-Bukhari, juz. 2. t.t: Dar Tuq al-Najah, 1422 H.

Hajini, (al) Ahmad Sahal ibn Abi Hashim Muhammad Salam. Al-Bayan al-Mulamma‘ ‘an Alfaz al-Luma‘ fi Usul al-Fiqh. t.t: t.p, t.th.

………., Faid al-Hija ‘ala Nail al-Raja Manzumah Safinah al-Naja fi al-Fiqh. t.t: t.p, t.th.

Iskandar, Salman. 99 Tokoh Muslim Indonesia. Bandung: Mizan, 2009.

Mahfudh, MA Sahal. Nuansa Fiqih Sosial. Yogyakarata: Lkis, 1994.

Muntaqo, Lutfan. Fikih Sosial; Pemikiran KH Sahal Mahfudh dalam “Manarul Qur’an; Jurnal Studi Agama dan Budaya”.

Qurtuby, (al) Sumanto. KH Sahal Mahfudh; Era Baru Fiqih Indonesia, Yogyakarta: CERMIN, 1999.

Rudliyana, Muhammad Dede. Perkembangan Pemikiran Ulum Al-Hadits dari Klasik Sampai Modern. Bandung: Pustaka Setia, 2004.

Rahman, Fazlur. Islam. Bandung: Pustaka, 1984.

‘Uwaish, Abdul Halim. al-Fiqh al-Islami baina Tathawwur al-Thabt, Terj. A. Zarkasyi Chumaidi.

Depag, al-qur’an dan terjemahnya; special for women (Bandung: Syaamil al-Qur’an, t.t.

Komariyah, Relasi Islam & Politik di Indonesia, Studi Analisa Pemikiran KH Sahal Mahfudh, Skripsi Jurusan Siyasah Jinayah IAIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2006


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;


[1] Muhammad Dede Rudliyana, Perkembangan Pemikiran Ulum Al-Hadits dari Klasik Sampai Modern (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 9.

[2] Fazlur Rahman, Islam (Bandung: Pustaka, 1984), 68.

[3] Sumanto al-Qurtuby, KH Sahal Mahfudh; Era Baru Fiqih Indonesia (Yogyakarta: CERMIN, 1999), 72.

[4] Ibid., 121.

[5] Ibid.

[6] Ibid., 73

[7] Ibid., 121, Salman Iskandar, 99 Tokoh Muslim Indonesia (Bandung: DARI Mizan, 2009), 26.

[8] Ibid., 73-74

[9] Ahmad Sahal ibn Abi Hashim Muhammad Salam al-Hajinni, Faid al-Hija ‘ala Nail al-Raja Manzumah Safinah al-Naja fi al-Fiqh (t.t: t.p, t.th), 99.

[10] Ibid., 99-100

[11] Al-Qurtuby, Era Baru Fiqih, 120.

[12] Iskandar, 99 Tokoh Muslim, 27.

[13] Lutfan Muntaqo, Fikih Sosial; Pemikiran KH Sahal Mahfudh dalam “Manarul Qur’an; Jurnal Studi Agama dan Budaya”, 71.

[14] Al-Qurtuby, Era baru Fiqih,120.

[15] Ibid., 74.

[16] Ibid., 74.

[17] Ibid., 76.

[18] Ibid.

[19] Ibid.

[20] Iskandar, 99 Tokoh Muslim, 26.

[21] Ahmad Sahal ibn Abi Hashim Muhammad Salam al-Hajinni, Al-Bayan al-Mulamma‘ ‘an Alfaz al-Luma‘ fi Usul al-Fiqh (t.t: t.p, t.th), 3.

[22] al-Hajinni, Faid al-Hija, 100.

[23] Al-Qurtuby, Era baru Fiqih, 78.

[24] Ibid., 78-79.

[25] Ibid., 79-80.

[26] Ibid., 83.

[27] Ibid., 82.

[28] Ibid., 83.

[29] Abdul Halim ‘Uwaish, al-Fiqh al-Islami baina Tathawwur al-Thabt, Terj. A. Zarkasyi Chumaidi, 122.

[30] Komariyah, Relasi Islam & Politik di Indonesia, Studi Analisa Pemikiran KH Sahal Mahfudh, Skripsi Jurusan Siyasah Jinayah IAIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2006, 54.

[31] Ibid., 87.

[32] MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial (Yogyakarata: Lkis, 1994), 217.

[33] Al-Qurtuby, Era baru Fiqih, 88.

[34] Mahfudh, Nuansa Fiqih, 237.

[35] Al-Qurtuby, Era baru Fiqih, 88-89.

[36] Ibid., 90.

[37] Ibid., 94-95.

[38] Ibid., 97.

[39] Depag, al-qur’an dan terjemahnya; special for women (Bandung: Syaamil al-Qur’an, t.t), 161.

[40] Al-Qurtuby, Era Baru, 102.

[41] Mahfudh, Nuansa Fiqih, 295.

[42] Mahfudh, Nuansa Fiqih, 295.

[43] Muhammad ibn Isma‘il Abu ‘Abd Allah al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, juz. 2 (t.t: Dar Tuq al-Najah, 1422 H), 95.

[44] Al-Qurtuby, Era Baru, 103.

[45] Mahfudh, Nuansa Fiqih, 112.

[46] Depag, al-Qur’an dan terjemahnya, 196.

[47] Al-Qurtuby, Era baru Fiqih, 112.

[48] Ibid., 116.

[49] Mahfudh, Nuansa fiqih, 171.

[50] Al-Qurtuby, Era baru Fiqih, 117.

[51] Komariyah, Relasi Islam, 38.

[52] Ibid., 117.

[53] Ibid., 118.

[54] Ibid., 119.

[55] Mahfudh, Nuansa Fiqh, XX.

[56] Ibid., 135 dan 147.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...