A. PENDAHULUAN
Sunnah
disebut juga dengan hadis, atsar, atau khabar memiliki makna yang berbeda tapi
intinya sama yaitu kembali kepada Nabi Muhammad SAW. Hadis oleh umat Islam
diyakini sebagai sumber syari’at Islam kedua setelah al-Qur’an al-Karim.[1]
Hadis adalah narasi, biasanya singkat, dan bertujuan memberikan informasi
tentang apa yang dikatakan, dilakukan, disetujui atau tidak oleh Nabi.[2]
Hadis menarik dikaji dari banyak sisi terlebih karena ia ditulis jauh setelah
Rasulullah wafat berbeda halnya al-Qur’an yang sudah ditulis semenjak
Rasulullah hidup. Hal ini yang menimbulkan polemik dalam hadis itu sendiri
sehingga banyak orang yang tidak bisa menerimanya karena dianggap tidak valid
dari Rasulullah SAW.
Masalah
terus bermunculan namun para ulama terdahulu telah melakukan upaya dalam
mengkaji, meneliti dengan hati-hati. Mereka berusaha menghimpun hadis-hadis
Nabi dari para sahabat yang kemudian dibukukan sehingga sampai kepada umat
Islam saat ini. Dari penelitian dan kajian yang mendalam kemudian mereka
merumuskan kaidah dalam ilmu hadis. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh ulama
Timur Tengah namun ulama Nusantara juga banyak yang berhasil menulis tentang
hadis. Diantara ulama Nusantara tersebut adalah KH Sahal Mahfudh Kajen yang
pemikiran serta aksinya berani keluar dari adat ulama NU yang pemikirannya
terkenal tradisional. Dalam makalah ini, penulis mencoba menjelaskan tentang
pribadi dan pemikiran dari KH Sahal Mahfudh.
B. KH SAHAL MAHFUDH dan PEMIKIRANNYA
1.
Riwayat
Hidup
a.
Biorgafi
KH Sahal Mahfudh
KH
Sahal Mahfudh bernama lengkap Muhammad Ahmad Sahal Mahfuz ibn ‘Abd al-Salam ibn
‘Abd Allah al-Hajini. Ia dilahirkan di Kajen, Margoyoso salah satu desa kecil
di Pati Jawa Tengah pada tanggal 17 Desember 1937 M. Merupakan anak ketiga dari
pasangan KH Mahfudh Salam (w. 1944) dan Nyai Hj. Badriyah (w. 1945). Ayahnya
adalah adik sepupu dari salah satu tokoh NU yaitu KH Bisri Sansuri yang wafat
pada 25 April 1981 M, sedangkan ayahnya adalah cucu dari KH Bisri Sansuri.[3]
Beliau wafat pada tanggal 24 Januari 2014 di tempat kelahirannya Kajen Pati
Jawa Tengah.
Pada
saat berperang melawan tentara Jepang, KH Mahfudh Salam meninggal di penjara
militer Ambarawa 1944 dan makamnya hingga sekarang tidak ditemukan. Waktu itu,
KH Mahfudh Salam memimpin santri Kajen untuk melawan tentara Jepang bersama
ayahnya (KH Abdussalam), KH Nawawi dan KH Abdulah Thahir Nawawi. Ketika
ditinggal ayahnya, KH Sahal masih berumur tujuh tahun. Pada tahun 1949 ia
ditinggal kakaknya (Muhammad Hasyim) yang meninggal ketika ikut berperang
melawan tentara Belanda II bersama Abdullah Sa’id (putra KH Mustaghfirin Kajen)
dan Masyhadi. Setelah kakaknya wafat, maka sebagai satu-satunya anak laki-laki
dalam keluarga, karena yang lain adalah perempuan maka ia memiliki tanggung
jawab untuk mengembangkan pondok yang sudah dibangun oleh ayahnya. Selain itu
ia juga bertanggung jawab atas Perguruan Islam Matholi’ul Falah yang didirikan
oleh KH Abdussalam dan KH Nawawi pada tahun 1912 M.
Ia
menikah dengan Nafisah putri Mushrifah putri KH Bishri Shansuri. Sepertinya
menikah dengan family dekat menjadi adat di lingkungan kiai NU.
b.
Guru-guru
KH Sahal Mahfudh
Ia
banyak berguru kepada para kiayi selain kepada ayahnya sendiri, diantaranya:
1)
KH Ma’shum Ngemplak Pati
2)
KH Muhammadun Hadi Kajen
3)
KH Abdul Hadi Noer Kajen
4)
K Ahmad Rifa’i Nashuha Kajen
5)
K Dimyati Mughni Kajen
6)
KH Khozin Muhajir Pare Kediri
7)
KH Hayat Makki Gendo Pare
8)
KH Zubair Dahlan Sarang
9)
KH Yasin Fadani Makkah
10)
KH Abdullah Salam, dll.[4]
Dari
sekian banyak guru yang membimbingnya, KH Abdullah Salam lah yang banyak
mempengaruhi karakter KH Sahal Mahfudh, yang merupakan pamannya sendiri. Selain
itu, ia adalah pribadi yang teguh pendirian, tidak mudah dibujuk untuk
kepentingan politik meskipun memiliki kekuasaan. Keteguhannya bisa dilihat dari
sikap kritisnya terhadap kebijakan
pemerintah (Gubernur Soewardi) yang dianggap arogan. Bahkan ia menolak
Soewardi untuk mencalonkan kembali sebagai Gubernur Jawa Tengah.[5]
c.
Pendidikan
Diusianya
yang masih enam tahun, KH Sahal Mahfudh kecil sudah belajar agama di Madrasah
Ibtidaiyyah Kajen yang diselesaikan pada tahun 1949. Setelah itu ia melanjutkan
pendidikannya di Mathali’ul Falah sejak tahun 1950-1953. Di tempat dan waktu
yang sama, ia melanjutkan pelajaran agama serta mengambil kursus pelajaran umum
seperti ilmu Filsafat, Bahasa Inggris, Administrasi, Psikilogi, dan Tata Negara
di bawah bimbingan H Amin Fauzan. Pada tahun 1953- 1957, ia hijrah ke Pare
Kediri untuk melanjutkan pendidikannya setelah lulus Tsanawiyah. Kemudian
melanjutkan pendidikannya di Pesantren Sarang-Rembang pada tahun
1957-1960. Ketika sudah lulus dari
Sarang, ia melanjutkan belajar ke Makkah al-Mukarramah di bawah asuhan KH M
Yasin Fadani selama tiga tahun.[6]
Ia mendapatkan ijazah riwayah mutlaqah
dengan sanad muttasil dan beberapa hadis musalsal dari KH M Yasin
Fadani.[7]
Ia
mempelajari banyak bidang ilmu dari guru-gurunya tersebut diantaranya; tafsir,
fiqih, hadis, usul fiqih, tauhid, tasawuf, mantiq, balaghah dan lain-lain. Ia
juga meng-khatam-kan beberapa kitab kuning diantaranya; kitab al-Tafsir
al-Jalalain, Fath al-Mu‘in, Tahrir, Ashmuni, Jauhar al-Maknun, Alfiyah, Jami‘
al-Jawami‘, al-Hikam dan sebagainya. Melihat keragaman ilmu yang dipelajari
maka tidak terelakkan lagi kalau beliau memiliki banyak keahlian baik dalam
bidang Bahasa Arab dan fikih. Selain itu beliau ahli dalam ilmu sosial sehingga
pondok yang ia asuh dijadikan eksperimen pengembangan sosial-ekonomi masyarakat
dari Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi-Sosial (LP3ES) Jakarta
pada tahun 1970-an.[8]
KH
Sahal Mahfudh telah mempelajari beberapa kitab kepada guru-gurunya. Diantaranya
ia belajar kepada al-Syaikh Muhajir al-Bandawi dan Ihsan al-Jampasi selama
empat tahun dan telah mengkhatamkan kitab Sharh al-Muqaddimah al-Hadramiyah,
Fath al-Mu‘in, Sharh Safinah al-Naja, Sullam al-Taufiq, Ihya’ ‘Ulum al-Din,
Tafsir al-Jalalain, dan beberapa kitab tasawuf. Kepada al-Syaikh Zubair ibn
Dahlan Sarang selama lima tahun dan telah mengkhatamkan kitab Fath
al-Wahhab, al-Iqna‘, Kanz al-Raghibin li al-Mahalli, al-Ashbah wa al-Naza’ir li
al-Suyuti, Sharh Jam‘ al-Jawami‘, Tafsir al-Baidawi, Awa’il al-Sunan al-Sitti, dan
beberapa kitab adab.[9]
d.
sanad dalam ilmu fikih
KH Sahal Mahfudh dalam
ilmu fikih memiliki sanad yang bersambung kepada imam mujtahid syaikh
al-Shafi‘i. di bawah ini adalah jalur sanadnya;
Muhammad Faqih al-Maskumambang dan Muhammad al-Baqir ibn Nur al-Jogja dari Muhammad Mahfuz ibn ‘Abd Allah al-Termasi dari Abu Bakar ibn Muhammad Shata al-Makki dari Ahmad ibn Zaini Dahlan dari ‘Uthman ibn Hasan al-Dimyati dari ‘Abd Allah al-Sharqawi dari Muhammad ibn Salim al-Hafni dari Ahmad al-Khalifi dari Ahmad al-Bashbishi dari ‘Ali ibn ‘Isa al-Halbi dan Sultan ibn Ahmad al-Mazahi dari ‘Ali al-Ziyadi dan Muhammad al-Qasri dari Ahmad ibn Hajar al-Haitimi dan Ramlayn dan al-Khatib al-Sharbini dari Zakariya al-Ansari dari al-Jalal al-Mahalli dan al-Hafiz ibn Hajar dan al-Shamsu al-Qayati dan al-Jalal ‘Abd al-Rahman ibn ‘Umar al-Bulqini dari Ahmad ibn al-Rahim al-‘Iraqi dari ‘Abd al-Rahim ibn Husain al-‘Iraqi dari al-Siraj al-Bulqini dari al-‘Alba’ ibn ‘Atar dari Yahya al-Nawawi dari Abi Hafas ‘Umar ibn As‘ad al-Ri‘i dari Abi ‘Amr ‘Uthman ibn ‘Abd al-Rahman dari ayahnya dari Abi Sa‘id dari Abi ‘Ali al-Fariqi dari Abi Ishaq Ibrahim al-Shairazi dari Abi al-Tayb Tabir ibn ‘Abd Allah al-Tabari dari Abi al-Hasan Muhammad ibn ‘Ali al-Masarji dari Abi Ishaq Ibrahim Muhammad al-Marwazi dari Abi al-‘Abbas Ahmad ibn Suraij al-Baghdadi dari Abi al-Qasim ‘Uthman ibn Abi Sa‘id ibn Bashshar al-Anmati dari Isma‘il ibn Yahya al-Mazani dari Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Idris al-Shafi‘i dari Malik dari Nafi‘ dari Ibn ‘Umar dari Rasulullah SAW.[10]
e.
Saudara-saudara
KH
Mahfudh Salam dan Nyai Hj Badriyah memiliki tujuh, dua putra dan lima putri.
Adapun saudara-saudaranya KH Sahal Mahfudh yaitu:
1)
M Hasyim (w. 1949) dia meninggal ketika melawan agresi militer Belanda.
2)
Hj. Muzayyanah, istri KH Mansur pengasuh PP An-Nur Lasem dan cucu KH
Abdullah Salam
3)
Salamah istri KH Mawardi pengasuh PP Bugel-Jepara kakak istri KH
Abdullah Salam
4)
Hj. Fadhilah istri KH Rodhi Soleh Jakarta, Wakil Ra’is Aam PBNU sejak
1984.
5)
Hj. Khodijah istri KH Maddah pengasuh PP Assuniyah-Jember, cucu KH
Nawawi adik kandung KH Abdussalam, kakek Kiai Sahal.[11]
Saudara-saudara KH Sahal Mahfudh dikenal sebagai pendobrak pemikiran tradisional NU.
Selain itu mereka juga menodorong
masyarakat agar mandiri dengan
memajukan kehidupan masyarakat di sekitar pesantren melalui pengembangan
pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Di pesantrennya ada biro khusus, biro pengembangan pesantren dan masyarakat
yang didirikan pada tahun 1977.
Biro ini menangani pengembangan masyarakat dari sisi menciptakan pendapatan,
kesehatan dan pendidikan. Awalnya ia membina pengrajin krupuk “tayamum” yang
digoreng dengan pasir. Usaha ini berkembang dengan pesat dan menjadi salah satu
mata pencaharian masyarakat sekitar. Semua sarana yang dimiliki oleh pesantren ditujukan untuk kepentingan orang banyak.[12]
f.
Keluarga
dan Lingkungannya
Desa
Kajen, tempat lahirnya KH Sahal Mahfudh
disebut “Desa Santri” berkat ulama besar KH Ahmad Mutamakkin. Disebut demikian
karena banyak ditemukan Pondok Pesantren dan ribuan santri di desa tersebut.
Dari beliaulah lahir ulama-ulama yang bisa mendirikan Pondok Pesantren.[13]
Banyak santriwan maupun santriwati yang dari kota-kota dan desa-desa di jawa
tengah belajar di kajen. Kakeknya, ‘Abd al-Salam ibn ‘Abd Allah pada tahun 1912
M mendirikan sebuah madrasah yang menjadi madrasah paling terkenal, terbesar,
dan termasuk pondok paling tua. Nasab keluarga KH Sahal sampai kepada KH Ahmad
Mutamakkin. Ia hidup dan besar di keluarga dan lingkungan berilmu, ini bisa
terlihat dari ayahnya, paman-pamannya dan kakek-kakeknya adalah ahli ilmu.
Diantara
Pondok Pesantren yang tersebar di Kajen ialah:
1)
PP Matholi’ul Huda yang diasuh KH Abdullah Salam
2)
PP Raudhatul Ulum yang diasuh KH Fayumi Munji
3)
PP Salafiyah yang diasuh KH Faqih Siraj
4)
PP APIK (Asrama Pelajar Islam Kauman) yang diasuh oleh KH Dzakhwan
5)
PP TPII (Taman Pendidikan Islam Indonesia) yang diasuh oleh KH Muzammil
Thahir
6)
PP Manba’ul Huda yang diasuh oleh KH Ma’mun Muhtar
7)
PP Permata al-Hikmah yang diasuh oleh KH Ma’mun Muzayyin
8)
PP Maslakul Huda yang diasuh oleh KH A. Sahal Mahfudh
9)
PP Pesarean yang diasuh oleh KH Nur Hadi
10)
PP Kauman yang diasuh oleh KH Umar Hasyim, dll.[14]
Kecerdesan KH Sahal sudah kelihatan sejak kecil dan tidak ahli dalam bidang agama saja tetapi ia juga ahli dalam ilmu umum sehingga dipercayai untuk memimpin organisasi.[15]
g.
Organisasi
Sejarah
mencatat bahwa KH Sahal Mahfudh pernah menjadi ketua Persatua Islam Indonesia
(PII) cabang Margoyoso Pati (1947-1952), mantan ketua ikatan santri se
Keresidenan Pati di Pare Kediri 1954-1956, mantan sekretaris Organisasi
Persatuan Pesantren di Margoyoso 1951-1953. Di usianya yang baru 21 tahun, ia
diamanahi untuk menjadi ketua forum diskusi fikih 1958-1965.[16]
Pernah
menjabat Katib Syuriah di NU Cabang Pati (1967-1975) dan di tahun yang sama ia
juga diamanahi untuk menjadi ketua LP Ma’arif Cabang Pati. Kemudian ia diangkat
menjadi Wakil Rais NU di Pati (1975-1980). Selain menjabat wakil rais, pada tahun
1980-1982 ia menjadi katib Syuriah di pengurus wilayah NU Jawa Tengah. Di tahun
berikutnya 1982-1985 ia menjabat sebagai Ra’is Syuriyah NU Jawa Tengah. Pada
tahun 1984, berdasarkan keputusan mu’tamar NU di Situbondo ia ditunjuk sebagai Rais
Syuriah pengurus besar NU. Dalam mu’tamar ini pula Gus Dur juga ditunjuk
sebagai ketua umum dan KH Ahmad Shidiq sebagai Rais Aam. Jabatan itu berakhir
pada tahun 1989 yang kemudian dia menjadi Rektor di Institute Islam Nahdhatul
Ulama (INISNU) Jepara. Ia tidak hanya
aktif dalam organisasi politik tetapi juga aktif di lembaga sosial misalnya Perhimpunan
Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta yang dijalaninya sejak
1983-1990. Ia juga menjadi pimpinan umum majalah pesantren yang diterbitkan
oleh P3M.[17]
Selain
yang disebutkan di atas, KH Sahal sering melakukan perjalanan luar negeri dalam
rangka studi komparatif pengembangan masyarkat. Hal ini dilakukan sejak tahun
1982 M. Diantara Negara yang pernah dikunjunginya; Philipina 1982 dengan
sponsor dari USAID, Korea Selatan 1982 disponsori USAID, Srilanka 1984 disponsori
P3M, Mesir 1992 disponsori BKKBN, Saudi Arabia 1986 yang disponsori Depertemen
Agama RI.[18]
Dia
menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Jawa Tengah pada tahun 1991. Anggota
BPPN (Badan Perrtimbangan Pendidikan Nasional sejak tahun 1993. Wakil Rais Aam
PBNU, sejak Mu’tamar Cipasung 1994.[19]
Menjadi Rais Aam Syuriah PBNU pada tahun
1999-2010 dan Ketua Umum PBNU tahun 2000-2010.[20]
h.
Karya-karya
KH Sahal Mahfudh
KH
Sahal Mahfudh termasuk salah satu ulama yang produktif dan menghasilkan
beberapa karya baik yang berbentuk kitab berbahasa Arab maupun Indonesia atau
tulisan yang dimuat di majlah maupun koran. Diantara karyanya:
1)
Tariqah al-Husul ‘ala Ghayah al-Wusul fi Usul al-Fiqh
2)
Al-Bayan al-Mulamma‘ ‘an Alfaz al-Luma‘ fi Usul al-Fiqh, kitab ini selesai pada hari ahad 29 Rabi’ul Awal 1814
Hijriyah atau bertepatan dengan 3 Agustus 1997 M.[21]
3)
Faid al-Hija ‘ala Nail al-Raja Manzumah Safinah al-Naja fi al-Fiqh, kitab ini, oleh KH Sahal Mahfudh diselesaikan pada hari
selasa, 8 Zhul Hijjah 1381 H.[22]
4)
Al-Fara’id al-‘Ajibah fi Bayan al-I‘rab al-Gharbiyah fi al-Nahwi
5)
Al-Fawa’id al-Najibah Sharh al-Faraid al-‘Ajibah fi al-Nahwi
6)
Lum‘ah al-Himmah ila al-Musalsalat al-Muhimmah fi al-Hadith
7)
Al-Thamarat al-Hajiniyah fi Istilahat al-Fuqaha’ al-Shafi‘iyyah
8)
Intifakh al-Wajadyni fi Ikhtilaf ‘Ulama’ Hajin Haul al-Bai‘ bi
al-Zajajin
9)
Selain yang disebut di atas, adapula tulisannya yang berbentuk makalah
maupun yang dimuat di koran maupun majalah, diantaranya:
a)
Nuansa fiqh sosial, kumpulan
tulisan-tulisan ini sudah di terbitkan menjadi sebuah buku yang bermanfaat.
b)
Dialok dengan Kiai Sahal
c)
Pesantren mencari makna
10)
KH Sahlan Mahfudh mencoba menerjemah kitab-kitab yang berbahasa Arab ke
dalam Bahasa Indonesia bersama KH Mustafa Bishri.
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;
- PERKEMBANGAN HADIS PADA KE IV HIJRIYAH
- SUNAN ABU DAWUD
- PEMBUKUAN HADIS
- SEJARAH PENYUSUNAN KITAB SAHIH BUKHARI
- PERKEMBANGAN HADIS PADA MASA SAHABAT KECIL DAN TABI‘IN BESAR (40 H-AKHIR ABAD 1 H)
- SEJARAH PENYUSUNAN MUSNAD AHMAD BIN HANBAL
- PERKEMBANGAN HADIS PADA MASA KHULAFAUR RASYIDIN
2.
Aktifitas Sosial dan Intelektual
Sebelum berbicara
tentang pemikiran KH Sahal Mahfudh tentang hokum (fikih) akan di paparkan
sedikit tentang pergulatannya dalam aktifitas sosial dan intelektualitasnya.
Secara sosiologis, Kajen
termasuk salah satu desa miskin dan memiliki lahan yang tidak subur untuk
melakukan pertanian. Kesehariannya masyarakat Kajen membuat krupuk tayamum
namun penduduknya padat. Mungkin dengan alasan tersebut, KH Sahal menerima
kalau desanya dijakan percobaan dalam proyek Pengembangan Masyarakat dari
LP3ES. Bahkan banyak orang termasuk para kiai yang tidak setuju dengan
tindakannya tersebut. Dengan proyek ini, KH Sahal melakukan tiga perkara:
pertama, pelestarian lingkungan yang pada waktu itu Kajen tercemar limbah dari
pabrik tepung tapioca. Kedua ia memperkenalkan teknologi terapan bagi penduduk
yakni tungku Lorena yang bisa menghemat biaya dan energy. Terakhir ia membentuk
organisasi ekonomi yang mandiri di kalangan rakyat desa (home industry).[23] Pondok Pesantren yang
ada di bawah asuhannya menjadi multi fungsi karena tidak hanya digunakan untuk bahthu
al-masa’il namun juga sebagai koperasi, BPPM (Badan Pengkajian dan
Pengembangan Masyarakat) dan BPR (Badan Perkreditan Masyarakat). Pengelola dari
koperasi adalah para ustadz yang berpengalaman. Kajen sangat strategis untuk
bidang bisnis karena disitu banyak pondok pesantren yang tersebar di dalamnya.[24]
Perguruan Islam
Mathali’ul Falah yang diasuhnya menggunakan metode klasik. Para santri
diwajibkan menghafal kitab fikih, nahwu, mantiq, dan lainnya sebagai syarat
naik kelas. Sejak 1985 diterapkan Daurah Arabiyah agar santri menguasai
Bahasa Arab. Santri juga dituntut untuk mengusai Bahasa Inggris bahkan, KH
Sahal menerima Paul Musante, alumnus Oxford University London untuk mangajar
santrinya. Dalam setiap aktifitasnya, KH Sahal berusaha mengaplikasikan ajaran
agama tanpa melewatkan realitas dengan kemampuan intelektualnya. Belajar agama
penting sebagai dasar pijakan sehingga apa yang dilakukan tidak lepas dari
ajaran agama Islam.[25]
KH Imron Hamzah dan
Masdar F Mas’udi bersama dengan KH Sahal membentuk sebuah halaqah di
bawah P3M dan Rabithah Ma’ahid al-Islam (RMI). Dalam forum ini mencoba
mengaelaborasi wacana fikih yang mapan dan masalah kemasyarakatan yang
terabaikan oleh ulama NU. Halaqah pertama diadakan di Pesantren
Watucongol Muntilan Jawa Tengah pada tahun 1988. Dilakukannya diskusi ini untuk
memahami kitab kuning secara kontekstual; sebuah masalah yang menjadi polemic
di kalangan NU. Kedua, halaqah tersebut setelah muktamar Krapyak untuk
membahas tentang metode istinbat al-hukum. Dalam kesempatan ini membahas
cara kerja dalam menetapkan fatwa yang menggunakan pendekatan tekstual bukan
metode manhaji. Kelompok halaqah ini menawarkan metode mazhab
manhaji yang kemudian diresmikan pada Munas NU di Bnadar Lampung pada
Januari 1992. Selain itu, KH Sahal ia juga aktif di Majalah Pesantren yang didbentuk
oleh P3M sejak tahun 1984-1994. Majalah ini tidak hanya mengangkat masalah
klasik saja namun juga memasukkan isu actual kontemporer seperti perbankan,
HAM, gender, dll.[26]
Menurutnya, ajaran ulama
terdahulu seharusnya dikaji dalam konteks social dan historisnya bukannya
taqlid.[27] Menurut John L
Esposito, pola piker KH Sahal termasuk social histories approach, yakni
membahas masalah modern tanpa tidak mengabaikan keotentikan teks-teks klasik
dan nilai historis dari kitab kuning.[28]
Salah satu yang menuntut fikih harus
berubah adalah kenyataan bahwa manusia berwatak dinamis. Perubahan sosial akan
tetap terjadi di setiap komunitas manusia kapanpun dan dimanapun. Jadi,
perubahan hukum Islam merupakan konsekuensi logis dari perubahan norma dan
pergeseran nilai yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat yang selalu
berubah. Dengan begitu fikih tidak cenderung dikatakan tetap secara mutlak yang
membuat kehidupan dan aspek kemanusian menjadi jumud (stagnan), akan tetapi
fikih yang dapat mengikuti perkembangan zaman.[29]
Untuk mneghindarinya maka, perlu untuk mengembalikan masing-masing komponen
atau kandungan agama secara proporsional sesuai dengan otoritasnya. Hal ini
bukan menghilangkan atau mengurangi fungsi fiqh tetapi mengembalikan otoritas
fiqh sesuai dengan fungsi, posisi dan kompetensinya. Oleh karenanya, KH. Sahal
Mahfud menghidupkan kembali dengan cara mengkontekstualisasi atas penafsiran
teks fiqh yang sudah dibakukan dan dibekukan yaitu dengan menempatkan fiqh pada
konteks sosiologis dan historisnya sebagai respon nyata atas munculnya masalah
kontemporer yang merupakan tuntutan dan kebutuhan. Dengan cara ini akan
mengembangkan kesadaran bagi kita bahwa fiqh adalah produk pemikiran hukum
bukan substansi ajaran yang tahan waktu. Dengan sendirinya ia membutuhkan
koreksi secara terus-menerus untuk disesuaikan dengan realitas yang
melingkupinya. Fiqh harus dikaitkan dengan dimensi sosiologis, filosofis dan
kultural.[30]
3.
Pemikiran Hukum KH Sahal
Mahfudh
a.
hubungan agama dan
Negara
Sikap KH Sahal Mahfudh
dalam masalah hubungan anatara agama dan Negara bisa dilihat dari ungkapannya
dalam Nuansa Fiqih Sosial. “dalam proses hidupnya, manusia tidak lepas
dari pengaruh watak politis. Telah menjadi sunnatullah barangkali, setiap
kelompok ada yang dikuasai dan ada yang menguasai, ada yang memerintah dan
diperintah, serta ada yang dipengaruhi dan memepengaruhi. Itulah konteks
politik.
Menurutnya berdasarkan
realitas bahwa manusia makhluk sosial yang membutuhkan sesama maka ia
membutuhkan perekat, disinilah pentingnya peran sebuah Negara.[31] Hal ini senada dengan
ngkapan KH Sahal Mahfudh “politik merupakan kebutuhan hidup menurut naluri
manusiawi.”[32] Ulama Sunni menegaskan
bahwa otoritas politik mencakup urusan agama dan mengatur kehidupan dunia. KH
Sahal menjelaskan bahwa politik adalah cara untuk mencapai kebahaiaan dunia
akhirat.[33] Ia berkata “siayasah
tidak hanya terbatas pada yang bersifat structural dan formal apalagi yang
bersifat konstitusional, akan tetapi lebih dari itu politik mencakup otoritas
kultural.[34]
Otoritas Presiden,
Gubernur atau yang lainnya sama dengan kiai atau pemangku adat. Pemegang
jabatan formal-struktural dan kultural sama-sama pemimpin yang hanya berbeda
dalam fungsionalnya saja. Kepemimpinan politik kultural memiliki fungsi untuk
mendinamisir masyarakat, memberikan pendidikan politik dan kewajiban sebagai
warga Negara. Jika masyarakat kuat, maka infrastruktur menjadi kuat, dan jika
infrastruktur kuat maka suprastruktur akan menguat pula. Yang demikian ini
berdasarkan pada kaidah ushul fiqh “tasarruf al-imam manutun bi al-maslahah (kebajikan
pemimpin harus beriontasi pada kemaslahatan rakyat). Jika masyarakat kuat, maka
ia menjadi pengimbang terhadap dominasi Negara karena apabila Negara dan
masyarakatnya tidak seimbang maka yang terjadi adalah anarki atau oligarkhi.[35]
Bergabungnya para ulama
dalam panggung politik menurut KH Sahal bukan berate ia menjadi alat legitimasi
penguasa. Menurutnya ulama memiliki posisi sama dalam memimpin politik.
Meskipun ia seorang ulama, tetapi ia memiliki hak untuk mengkritisi kebijakan
pemerintah seperti yang dibuktikan oleh KH Sahal sendiri.[36]
b.
masalah krisis ekologi
bertambah majunya ilmu
pengetahuan memiliki dampak positif dan negative terhadap manusia. Berdampak
positif misalnya dengan berhasilnya pengembangan perekonomian dan kemajuan
iptek. Dampak negatifnya adalah terpisahnya pemerintahan dan dunia akademik dan
menjadi dasar pemikiran untuk memperlakukan alam seolah terdiri dari bagian
terpisah untuk dieksploitasi oleh kaum kapitalis serta kelompok yang berkepentingan.
Akibatnya alam mengalami krisis global, diantaranya angka inflasi, meningkatnya
pengangguran, tingginya angka kejahatan dan krisis ekologi seperti polusi dan
kerusakan lingkungan.[37]
Sebenarnya kerusakan alam
ini terjadi karena pandangan manusia yang salah dalam beraktifitas. Apa yang
diperhitungkan manusia dalam aktifitasnya hanyalah untung dan rugi secara
ekonomi. Mereka tidak memperhitungkan dampak terhadap moral masyarakat yang
sebenarnya menjadi bahaya. Hal ini berbeda dengan teori ekonomi Islam yang
mempertimbangkan aspek maslahat dan mafsadat.[38] Allah SWT telah
memerintah makhluknya agar memanfaatkan alam tetapi juga mengecam orang yang
mengeksploitasi dan merusak alam yang terdapat dalam surat al-A’raf: 85:
وَإِلَى مَدْيَنَ
أَخَاهُمْ شُعَيْبًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ
غَيْرُهُ قَدْ جَاءَتْكُمْ بَيِّنَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ فَأَوْفُوا الْكَيْلَ
وَالْمِيزَانَ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تُفْسِدُوا فِي
الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Dan kepada penduduk Madyan, Kami (utus) Syu’aib saudara mereka
sendiri. Dia berkata “wahai kaumku! Sembahlah Allah. Tidak ada Tuhan bagimu
selain Dia. Sesungguhnya telah dating kepadamubukti yang nyata dari Tuhanmu.
Sempurnakanlah takaran dan timbangan, dan jangan kamu merugikan orang
sedikitpun. Janganlah kamu berbuat kerukasan di bumi setelah (diciptakan)
dengan baik. Itulah yang lebih baik bagimu jika kamu ornag beriman.[39]
Dampak negative dari
rusaknya alam sangat banyak, selain merusak lingkungan juga berimplikasi
terhadap kesejahteraan masyarakat dan perekonomian. Sebagai umat Islam maka,
memiliki kewajiban untuk mempertahankan hidup dan kehidupan.
c.
masalah prostitusi dan
industry seks
prostitusi menjadi
masalah yang krusial dan dilematis dan menimbulkan masalah yang sulit
diselesaikan. Satu sisi, pelacuran menjadi identitas seseorang atau bangsa
namun di sisi lain hal ini sangan berkontribusi terhadap Negara. Dalam
menghapus prostitusi ini mengalami hambatan karena adanya hubungan antara
industry ini dengan kekusaan (ekonomi dan politik). Selain itu juga karena
manusianya sendiri yang menganggap bahwa dunia itu termasuk bagian dari hidup
manusia.
Lokalisasi tidak bisa
menjadi penyelesaian dalam penghapusan prostitusi jika melihat realitasnya.
Baginya ada dua acara untuk menanggulangi industry ini yaitu dengan dilokalisir
para pelacur ke satu tempat yang jauh dari penduduk local. Ia memilih jalan
tengah dari dua pemikiran yang pertama ingin membiarkan begitu adanya dan kedua
ingin menghanguskan lokalisasi.
Jika mengikuti pola
pikir yang pertama yakni membiarkan adanya lokalisasi maka sama halnya meridhai
adanya kemaksiatan. Sedangkan jika mengikuti pola kedua bukan menyelesaikan
masalah malah menambah masalah. Karena dengan ditutupnya lokalisasai yang resmi
maka mereka para pelacur akan bertebaran dimana-mana sehingga munculah seks
liar. Hal ini sebenarnya menyalahi sunnatullah karena di dunia hanya ada
kebaikan dan keburukan yang ada sejak zaman Nabi Adam.
Kedua, yaitu dengan
pendekatan sosiologis yaitu mencari tahu penyebab dan latar belakang dari
pelacur. Jika pelacuran dikarenakan kemiskinan maka harus ada upaya untuk
memperbaiki peningkatan kesejahteraan melalui pembangunan ekonomi. Jika
persoalannya karena factor kurangnya dalam memahami agama maka yang perlu
dilakukan adalah penanaman etika dan moral yang dilandasi semangat agama. Penyelesaian
ini oleh KH Sahal didasarkan pada ushul fikih shadh al-dhari‘ah, menutup
jalan yang menuju perbuatan terlarang.
d.
Masalah pendidikan
intergralistik
Pendidikan modern
memandang pendidikan dari sudut penting instrumental, sekedar menjawab tuntutan
pasar bebas. Artinya hanya menyiapkan tenaga pengajar yang siap pakai dan diterapkan
sesuai dengan system yang sudah terkonsep dengan matang.[40] Dan zaman sekarang
adalah potret nyata pendidikan yang demikian. Pendidikan yang demikian, menurut
KH Sahal tidak memenuhi kepentingan yang lain padahal pendidikan harus bisa
memenuhi kepentingan pasar bebas dan pragmatis. Seharusnya pendidikan itu bisa
menciptakan manusia yang salih dan akram.[41]
Manusia yang salih adalah
menciptakan manusia yang secara potensial mampu berperan aktif, terampil dalam
kehidupan sesama makhluk. Sedangkan akram adalah pencapaian kelebihan
dalam relevansinya dengan makhluk terhadap khalik untuk mencapai kebahagiaan dunia
akhirat. Untuk mencapai manusia yang baik
maka perlu dibekali dengan ilmu social. Sedangkan makhluk yang mulian
perlu dibekali dengan ilmu agama yang mendalam.[42] Pandangannya ini
didasarkan pada hadis Nabi SAW:
1359 - حَدَّثَنَا عَبْدَانُ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ
اللَّهِ، أَخْبَرَنَا يُونُسُ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، أَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ
بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ:
قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«مَا
مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ،
وَيُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، كَمَا تُنْتَجُ البَهِيمَةُ بَهِيمَةً
جَمْعَاءَ، هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ»[43]
Menurut
KH Sahal, berdasarkan hadis ini manusia tidak hanya memerlukan pendidikan
fisik, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana caranya bisa membentuk watak
dan prilaku manusia menjadi baik. Pendidikan modern dianggap gagal, walaupun
pada awalnya menjadi alternative namun pada perkembangannya ia tidak bisa
menjaga harapan tersebut. Bahkan berhasil mencetak manusia yang menguasai Islam
secara ilmiyah tetapi dari segi amalaiyahnya perlu dipertanyakan.[44]
Sebenarnya
konsep yang ditawarkan KH Sahal adalah bagaimana caranya untuk mengembalikan
manusia itu menjadi makhluk utuh. Karena manusi terdiri dari fisik-nonfisik,
material-spiritual, jasmani-rohani, akal-moral, dan seterusnya. Maka kedua
komponen itu seharsnya sama-sama diberi pendidikan sehingga menjadi manusia
yang seutuhnya.
4.
Metode Istinbath Hukum
KH Sahal dalam menggali hukum
menggunakan du acara; tekstual dan kontekstual.
a.
metode tekstual
KH Sahal menggunakan
metode ini dalam memberikan fatwa hokum terutama di Suara Merdeka. Ia
menggunakan kitab madzhab Syafi’iyah bukan kitab Imam al-Syafi’i sendiri.
Diantara kitab yang sering dijadikan rujukan yaitu: Nihayah al-Zain, Subul
al-Salam, Mizan al-Kubra, Rawa’i‘ al-Bayan, al-Iqna’, al-Bajuri, Fath al-Mu‘in,
dan lain-lain. Kitab karya Imam al-Syafi’i jarang disebut bahkan, ashab
al-Shafi‘iyyah yang terkenal seperti al-Mawardi, al-Juwaini, al-Ghazali,
Muzani, Buwaithi’, al-Rabi’ dll juga jarang disebut.[45]
Terkadang KH Sahal mengambil pendapat Abu
Hanifah, la-Jaziri, Yusuf al-Qardawi atau Mahmud Shaltut. Misalnya dalam
menafsirkan surat at-Taubah: 60:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ
وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ
وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ
وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيم
Sesungguhnya zakat itu hanya untuk orang fakir, miskin, amil
zakat, muallaf, untuk memerdekakan hamba sahaya, untuk membebaskan orang
yang berutang, untuk jalan Allah, dan orang yang sedang dalam perjalanan,
sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.[46]
KH Sahal sependapat
dengan Syaikh Mahmud Syaltut dalam menafsiri fi sabil Allah. kata
tersebut tidak hanya dimaknai dengan orang yang berjihad sukarela tetapi
mencakup pada semua kebaikan seperti membangun masjid, rumah sakit, atau
lainnya. Karena pada saat ini umat Islam mengalami peperangan akidah,
pemikiran, dan budaya, tidak hanya perang fisik inilah yang menjadi alasan
Syaltut.[47]
b.
metode kontekstual
Menurut KH Sahal, fikih
yang termasuk ilmu muktasab mengandung makna adanya usaha yang terus menerus
dalam menggali hukum sesuai dengan perubahan zaman.[48] Seperti yang dikutip
dari Imam al-Ghazali, peranan ulama yang berorientasi terhadap kemaslahatan
umat maka ulama harus faqihun ‘an masalih al-khalqi fi al-dunya.[49] Hidup di zaman modern
ini maka ulama juga harus bias menangkap “pesan zaman” untuk kemaslahatan umat.[50]
Ibadah yang dua macam yaitu individual
dan sosial. Namun sebelum itu, umat islam harus membentengi diri dengan
landasan transendenstal dan intelektual yang cukup serta berjalan yang berjalan
seimbang. Pandangan demikian memang akan mengalami kendala metodologis jika
dikaitkan dengan fiqh yang sifatnya legal formalistic dan dalam batas tertentu
teologis. Belum lagi, ditambah cara umat Islam menyikapi kitab fiqh yang
terlalu tekstual akan menambah beban untuk menkontekstualisasikan fiqh. Inilah
penyebab fiqh tidak dapat berdialog dengan realitas sosial.[51]
Istinbat al-hukum dengan metode
kontekstual yaitu memferifikasi masalah pokok usul dan furu‘. Dua
masalah ini bisa diketahui dengan mengklasifikasikan macam-macam kebutuhan yang
terbagi tiga yakni daruriyah, hajiyah, dan tahsiniyah. Karena tiga
kebutuhan inilah yang menjadi tujuan dari terciptanya syari’at.[52] Rumusan maqasid
al-shari‘ah yakni menjaga agama, melindungi jiwa, melindungi keturunan,
melindungi akal pikiran, dan melindungi harta benda didapat dari petunjuk
al-Qur’an dan hadis. Dari sini diketahui sebenarnya Islam tidak hanya berperan
dalam aspek hubungan dengan Tuhan tetapi juga untuk kemaslahatan umat.[53]
Maslahah ‘ammah seharusnya dijadikan bahan pertimbangan dalam
mengambil hukum oleh para mujtahid. Mujtahid harus peka social agar tujuan dari
hokum itu bisa terjaga. Intinya KH Sahal Mahfudh mengedepankan kemaslahatan
umat dalam mengambil hukum.[54] System hukum yang dianut KH. Sahal
berpijak pada prinsip al-Maslahah al-‘Ammah dan Sa‘adah al-Darain.
Baginya, kepentingan umum harus menjadi pertimbangan terdepan dalam proses
pengambilan keputusan hukum. Karena dengan tetap terjaganya kepentiangan umum
ini, seorang mujtahid memiliki kepekaan sosial.[55]
Munculnya term fiqh social seperti pendapat KH Sahal, karena adanya
tuntutan jaman atau sebagai bentuk perlawanan terhadap struktur sosial politik
yang tidak adil dan cenderung menguntungkan kekuasaan.[56]
C.
PENUTUP
KH Sahal Mahfudh
bernama lengkap Muhammad Ahmad Sahal Mahfuz ibn ‘Abd al-Salam ibn ‘Abd Allah al-Hajini.
Ia dilahirkan di Kajen, Margoyoso salah satu desa kecil di Pati Jawa Tengah
pada tanggal 17 Desember 1937 M. ia dibesarkan dalam lingkungan keuarga yang
berilmu dan desa yang menjadi pusat ilmu karena di Kajen banyak pondok
pesantren. Ia belajar berpindah-pindah hingga terakhir di Makkah. Dalam masalah
fikih ia memiliki sanad yang muttasil kepada Imam al-Syafi’i yang muttasil pula
kepada Nabi Muhamad SAW.
Ia aktif dalam
organisasi berkat kecerdesannya dan sikapnya yang moderat. Baginya hokum fikih
seharusnya dimaknai dengan metodologis (kontekstual) karena didalamnya
menyimpan makna agar manusia melakukan upaya kontinyu dalam penggalian hokum
yang sesuai dengan zaman. Seharusnya istimbat hokum disesuaikan dengan
kemaslahatan umat.
DAFTAR PUSTAKA
Bukhari, (al) Muhammad ibn Isma‘il Abu ‘Abd Allah. Sahih al-Bukhari, juz. 2. t.t: Dar Tuq al-Najah, 1422 H.
Hajini, (al) Ahmad Sahal ibn Abi Hashim Muhammad Salam. Al-Bayan al-Mulamma‘ ‘an Alfaz al-Luma‘ fi Usul al-Fiqh. t.t: t.p, t.th.
………., Faid al-Hija ‘ala Nail al-Raja Manzumah Safinah al-Naja fi al-Fiqh. t.t: t.p, t.th.
Iskandar, Salman. 99 Tokoh Muslim Indonesia. Bandung: Mizan, 2009.
Mahfudh, MA Sahal. Nuansa Fiqih Sosial. Yogyakarata: Lkis, 1994.
Muntaqo, Lutfan. Fikih Sosial; Pemikiran KH Sahal Mahfudh dalam “Manarul Qur’an; Jurnal Studi Agama dan Budaya”.
Qurtuby, (al) Sumanto. KH Sahal Mahfudh; Era Baru Fiqih Indonesia, Yogyakarta: CERMIN, 1999.
Rudliyana, Muhammad Dede. Perkembangan Pemikiran Ulum Al-Hadits dari Klasik Sampai Modern. Bandung: Pustaka Setia, 2004.
Rahman, Fazlur. Islam. Bandung: Pustaka, 1984.
‘Uwaish, Abdul Halim. al-Fiqh al-Islami baina Tathawwur al-Thabt, Terj. A. Zarkasyi Chumaidi.
Depag, al-qur’an dan terjemahnya; special for women (Bandung: Syaamil al-Qur’an, t.t.
Komariyah, Relasi Islam & Politik di Indonesia, Studi Analisa Pemikiran KH Sahal Mahfudh, Skripsi Jurusan Siyasah Jinayah IAIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2006
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;
- PANDANGAN IMAM SHAFI'I TERHADAP HADIS
- HADIS PADA MASA RASULULLAH
- IMAM MALIK IBN ANAS DAN KITAB AL-MUWATTA’
- SUNNAH ANTARA WAHYU ILAHI DAN IJTIHAD NABI SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP TASYRI’
- PEMIKIRAN K. H. MUHAMMAD AHMAD SAHAL MAHFUZ AL-HAJINI TENTANG HADIS
- MUHAMMAD NASIR AL-DIN AL-ALBANI
- KAJIAN HADIS DI INDIA
- STUDI KRITIS PEMIKIRAN IBN HAJAR AL-‘ASQALANI DALAM KAJIAN ILMU HADIS
- IMAM NAWAWI
- HADIS DALAM PANDANGAN SYAIKH NAWAWI AL-BANTANI
[1] Muhammad Dede Rudliyana, Perkembangan Pemikiran Ulum Al-Hadits dari Klasik Sampai Modern (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 9.
[2] Fazlur Rahman, Islam (Bandung: Pustaka, 1984), 68.
[3] Sumanto al-Qurtuby, KH Sahal Mahfudh; Era Baru Fiqih Indonesia (Yogyakarta: CERMIN, 1999), 72.
[4] Ibid., 121.
[5] Ibid.
[6] Ibid., 73
[7] Ibid., 121, Salman Iskandar, 99 Tokoh Muslim Indonesia (Bandung: DARI Mizan, 2009), 26.
[8] Ibid., 73-74
[9] Ahmad Sahal ibn Abi Hashim Muhammad Salam al-Hajinni, Faid al-Hija ‘ala Nail al-Raja Manzumah Safinah al-Naja fi al-Fiqh (t.t: t.p, t.th), 99.
[10] Ibid., 99-100
[11] Al-Qurtuby, Era Baru Fiqih, 120.
[12] Iskandar, 99 Tokoh Muslim, 27.
[13] Lutfan Muntaqo, Fikih Sosial; Pemikiran KH Sahal Mahfudh dalam “Manarul Qur’an; Jurnal Studi Agama dan Budaya”, 71.
[14] Al-Qurtuby, Era baru Fiqih,120.
[15] Ibid., 74.
[16] Ibid., 74.
[17] Ibid., 76.
[18] Ibid.
[19] Ibid.
[20] Iskandar, 99 Tokoh Muslim, 26.
[21] Ahmad Sahal ibn Abi Hashim Muhammad Salam al-Hajinni, Al-Bayan al-Mulamma‘ ‘an Alfaz al-Luma‘ fi Usul al-Fiqh (t.t: t.p, t.th), 3.
[22] al-Hajinni, Faid al-Hija, 100.
[23] Al-Qurtuby, Era baru Fiqih, 78.
[24] Ibid., 78-79.
[25] Ibid., 79-80.
[26] Ibid., 83.
[27] Ibid., 82.
[28] Ibid., 83.
[29] Abdul Halim ‘Uwaish, al-Fiqh al-Islami baina Tathawwur al-Thabt, Terj. A. Zarkasyi Chumaidi, 122.
[30] Komariyah, Relasi Islam & Politik di Indonesia, Studi Analisa Pemikiran KH Sahal Mahfudh, Skripsi Jurusan Siyasah Jinayah IAIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2006, 54.
[31] Ibid., 87.
[32] MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial (Yogyakarata: Lkis, 1994), 217.
[33] Al-Qurtuby, Era baru Fiqih, 88.
[34] Mahfudh, Nuansa Fiqih, 237.
[35] Al-Qurtuby, Era baru Fiqih, 88-89.
[36] Ibid., 90.
[37] Ibid., 94-95.
[38] Ibid., 97.
[39] Depag, al-qur’an dan terjemahnya; special for women (Bandung: Syaamil al-Qur’an, t.t), 161.
[40] Al-Qurtuby, Era Baru, 102.
[41] Mahfudh, Nuansa Fiqih, 295.
[42] Mahfudh, Nuansa Fiqih, 295.
[43] Muhammad ibn Isma‘il Abu ‘Abd Allah al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, juz. 2 (t.t: Dar Tuq al-Najah, 1422 H), 95.
[44] Al-Qurtuby, Era Baru, 103.
[45] Mahfudh, Nuansa Fiqih, 112.
[46] Depag, al-Qur’an dan terjemahnya, 196.
[47] Al-Qurtuby, Era baru Fiqih, 112.
[48] Ibid., 116.
[49] Mahfudh, Nuansa fiqih, 171.
[50] Al-Qurtuby, Era baru Fiqih, 117.
[51] Komariyah, Relasi Islam, 38.
[52] Ibid., 117.
[53] Ibid., 118.
[54] Ibid., 119.
[55] Mahfudh, Nuansa Fiqh, XX.
[56] Ibid., 135 dan 147.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar