HOME

02 April, 2022

Hadis Tentang Nabi Musa Mandi Telanjang Di Depan Umum

 

Menurut hukum Islam, hukum mandi dalam keadaan telanjang di tempat menyendiri yang tidak diketahui orang diperbolehkan. Namun, apabila dilakukan di depan umum atau secara kelompok adalah haram. Hal ini banyak disebut dalam beberapa kitab fiqih. Salah satu dasar yang disebut dan dijadikan dalil untuk mengharamkan atau membolehkan mandi dalam keadaan tersebut adalah hadis Nabi Musa AS. Dalam hadis tersebut nabi Musa AS. mandi menyendiri di tempat terbuka, sehingga masih kemungkinan untuk dapat dilihat orang. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari[1], Imam Muslim[2]dan Ahmad bin Hanbal[3]. Salah satu bunyi redaksi hadis tersebut adalah sebagai berikut:

صحيح مسلم - (ج 1 / ص 183)

796 - وَحَدَّثَني مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ قَالَ هَذَا مَا حَدَّثَنَا أَبُو هُرَيْرَةَ عَنْ مُحَمَّدٍ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَذَكَرَ أَحَادِيثَ مِنْهَا وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ يَغْتَسِلُونَ عُرَاةً يَنْظُرُ بَعْضُهُمْ إِلَى سَوْأَةِ بَعْضٍ وَكَانَ مُوسَى - عَلَيْهِ السَّلاَمُ - يَغْتَسِلُ وَحْدَهُ فَقَالُوا وَاللَّهِ مَا يَمْنَعُ مُوسَى أَنْ يَغْتَسِلَ مَعَنَا إِلاَّ أَنَّهُ آدَرُ - قَالَ - فَذَهَبَ مَرَّةً يَغْتَسِلُ فَوَضَعَ ثَوْبَهُ عَلَى حَجَرٍ فَفَرَّ الْحَجَرُ بِثَوْبِهِ - قَالَ - فَجَمَحَ مُوسَى بِإِثْرِهِ يَقُولُ ثَوْبِى حَجَرُ ثَوْبِى حَجَرُ. حَتَّى نَظَرَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ إِلَى سَوْأَةِ مُوسَى قَالُوا وَاللَّهِ مَا بِمُوسَى مِنْ بَأْسٍ . فَقَامَ الْحَجَرُ حَتَّى نُظِرَ إِلَيْهِ - قَالَ - فَأَخَذَ ثَوْبَهُ فَطَفِقَ بِالْحَجَرِ ضَرْبًا »

Muhammad bin Rafi’ menceritakan kepada saya (berkata), Abd al-Razzaq menceritakan kepada kami (berkata), Ma’mar memberitahukan kepada kami (yang diperoleh) dari Hammam bin Munabbih yang berkata :”Ini adalah cerita yang dituturkan oleh Abu Hurairah kepada kami (yang diperoleh) dari Rasulullah SAW., kemudian dia menyebut hadis-hadis antara lain, Rasulullah SAW. bersabda: ”Bani Israil (kalau) mandi (bersama-sama) dalam keadaan telanjang, (sehingga) sebagian mereka dapat melihat aurat yang lain. Namun,  Musa AS. mandi (selalu) menyendiri, (akhirnya) kemudian mereka berkata :”Demi Allah, Musa tidak mau mandi bersama kami karena ia memilki dua buah dzakar yang besar. Nabi SAW. (meneruskan) berkata: “Suatu ketika, Musa pergi mandi dan meletakkan pakaiannya di atas batu, lalu bergeraklah batu itu membawa pakaiannya, Nabi SAW. (masih bercerita) berkata: “Musa mengejar batu yang membawa pakaiannya seraya berteriak ”Wahai batu, pakaian saya…pakaian saya!!,(Batu terus bergerak) sampai kemudian (akhirnya) Bani Israil melihat kemaluannya. Mereka (setelah melihat itu) berkata:”Musa (ternyata) tidak memiliki persoalan (dengan kemaluannya)”. Kemudian batu berhenti hingga Musa dapat mengambil pakaiannya, lalu Musa memukul batu tersebut.      

Meskipun hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, Namun dari segi matan dinilai mushkil oleh beberapa kalangan yang ingin mendistorsi kualitas hadis, karena tidak sejalan dan selaras dengan nalar atau logika manusia. Bagaimana mungkin seorang Nabi Musa AS. mandi di ruang terbuka dengan tanpa mengenakan sehelai pakaipun, sehingga terlihat kemaluannya di hadapan umum? Selain itu, bagaimana mungkin sebuah batu dapat berjalan atau bergerak dengan sendirinya? Hal tersebut adalah aneh dan sulit diterima akal manusia.

Ke-mushkil-an hadis dapat dihindari dengan memahami kandungan isi hadis tersebut melalui pendekatan historis. Selain Alquran, hadis Nabi SAW. juga menjadi sumber sejarah Islam. Dalam banyak hadis Nabi saw ditemukan keterangan atau informasi sejarah para Nabi SAW. serta segala sesuatu yang terjadi pada zaman mereka. Karenanya, apabila terdapat sebuah hadis yang berisi informasi tersebut, maka akan lebih tepat dipahami dengan melihat dimensi kesejarahan. Oleh sebab itu, pendekatan sejarah menjadi penting untuk digunakan memahami hadis Nabi SAW., terutama hadis yang terkait dengan informasi kesejarahan umat terdahulu. Maksud dari pendekatan historis dalam memahami hadis adalah memahami hadis Nabi SAW. dengan menjelaskan dan menganalisis unsur-unsur sejarah yang terdapat di dalamnya meliputi: waktu, tempat, kejadian/peristiwa, pelaku sejarah, relevansi dunia yang sudah lewat (ghaib) dengan dunia sekarang (nyata).

Dalam konteks hadis tersebut, waktu kejadiannya adalah pada masa periode Nabi Musa as, namun kapan persisnya tidak disebut secara jelas oleh hadis Nabi SAW. Selain karena tenggang waktu antara periode Nabi SAW. dengan periode Nabi Musa AS. sangat jauh dan sulit dipastikan, tujuan dari disabdakannya hadis Nabi SAW. bukanlah penyampaian dimensi waktu, tetapi informasi dimensi kejadian dan actor sejarah yang lebih diutamakan. Pada umumnya, hadis Nabi SAW. menampilkan siapa dan apa yang dilakukan lebih diprioritaskan daripada kapan dan dimana peristiwa itu terjadi.

Adapun dimensi tempat kejadian Nabi Musa AS. mandi, hadis Nabi SAW. juga tidak menyatakan secara tegas. Namun dari kisah yang disabdakan Nabi SAW., besar kemungkinannya terjadi di tempat terbuka umum[4] karena ada kata “batu” yang di batu itu Musa meletakkan pakaian sebagaimana yang disebut dalam hadis. Tempat mandi yang biasanya terdapat batu adalah sumber mata air.

Mandi dalam keadaan telanjang dan dilakukan secara berbarengan, bahkan di tempat terbuka sekalipun untuk konteks zaman Musa AS. merupakan hal yang biasa dan diperbolehkan dalam syariat Nabi Musa AS. Hadis riwayat Ahmad bin Hanbal menberikan informasi sebagai berikut :

 حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا حسين بن محمد في تفسير شيبان عن قتادة قال حدث الحسن عن أبي هريرة ان رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : ان بني إسرائيل كانوا يغتسلون عراة وكان نبي الله موسى عليه السلام منه الحياء والستر وكان يستتر إذا اغتسل……(الحديث) فطعنوا فيه بعورة قال فبينما نبي الله موسى عليه السلام يغتسل يوما وضع ثيابه على صخرة فانطلقت الصخرة بثيابه فاتبعها نبي الله ضربا بعصاه وهو يقول ثوبي يا حجر ثوبي يا حجر حتى انتهى به إلى ملأ من بني إسرائيل وتوسطهم فقامت وأخذ نبي الله ثيابه فنظروا فإذا أحسن الناس خلقا وأعدلهم صورة فقالت بنو إسرائيل قاتل الله أفاكي بني إسرائيل فكانت براءته التي برأه الله عز و جل بها.

Dari Abu Hurairah RA. (berkata) bahwa Rasulullah saw bersabda sesunguhnya (kaum) Bani Israil mandi dalam keadaan telanjang, sementara Nabi Allah Musa AS. malu menutupi diri, dan ketika mandi, ia berlindung di balik tabir[5],,”

Dari hadis ini dapat diketahui bahwa hukum mandi pada zaman Nabi Musa AS. dengan bertelanjang dan dilakukan di terbuka tidak dilarang menurut syariat Musa AS. Hanya saja, Nabi Musa AS. merasa malu dan selalu menggunakan penutup agar auratnya tidak dilihat orang lain. Sedangkan dalam shari’at Nabi Muhammad SAW., mandi dalam keadaan telanjang, sehingga ada kemungkinan orang lain dapat melihatnya, hal ini tidak diperbolehkan. Nabi SAW. juga pernah melihat seseorang mandi tanpa mengenakan  sarung (pakaian), lalu beliau naik mimbar dan bersabda: “Sesungguhnya Allah adalah pemalu dan suka menutupi, Dia menyukai orang yang memiliki rasa malu dan menutupi diri.[6]

Dengan demikian, hadis Nabi SAW. tentang Nabi Musa AS. mandi ntelanjang di depan Umum tersebut memberikan titik tekan kepada sejarah mandinya Nabi Musa as dan kaumnya, untuk dijadikan pengetahuan kepada sahabat Nabi SAW. dan umatnya terhadap adanya ketersinambungan shari’at, khusunya mandi. Apa yang dicontohkan Nabi Musa AS. tersebut dilestarikan dalam shari’at Nabi Muhammad SAW. Sedangkan tradisi mandi telanjang bersama di tempat terbuka yang memungkinkan saling melihat aurat yang lain sebagaimana yang dilakukan oleh kaum bani Isra’il tersebut, tidak dilestarikan dan diganti dengan aturan (shir’ah) baru dalam shari’at Nabi Muhammad SAW. Oleh sebab itu, hadis Nabi SAW. ini tidak mushkil dari perspektif nalar dan logika manusia apabila dikaji dari pendekatan sejarah hukum.

Mengenai ke-mushkil-an batu yang dapat bergerak membawa pakaian Nabi Musa as, dalam perspektif teologi, maka hal tersebut termasuk dalam kekuasaan Allah swt untuk memproteksi dan membersihkan hamba-Nya dari tuduhan dan cemoohan kaumnya. Bentuk perlindungan Allah terhadap hambanya dilakukan dengan berbagai cara, antara lain sebagaimana yang diceritakan oleh Nabi Muhammad SAW dalam hadis tersebut. Cara Allah menjadikan batu dapat bergerak sendiri adalah cara yang boleh jadi terbaik bagi perlindungan terhadap Nabi Musa as dari tuduhan tersebut. Para pensyarah hadis umumnya mengkaitkan peristiwa bergeraknya batu sebagai sebuah Mu’jizat Nabi Musa as. Hal ini dimaksudkan agar kaum yang menuduh Nabi Musa as ditunjukkan kekeliruannya melalui cara penglihatan secara langsung. Sebenarnya sangatlah mudah bagi Nabi Musa as untuk langsung membantah tuduhan tersebut dengan menunjukkan auratnya yang dituduh memiliki kecacatan adar[7]kepada kaumnya tanpa harus melalui cara “ketidaksengajaan yang diskenario Tuhan”tersebut. Namun hal itu tidak dilakukan oleh Nabi Musa as, karena ia dikenal pemalu dan suka menutup dari serta boleh jadi ia seorang penyabar dan tidak memperdulikan tuduhan yang tidak benar terhadapnya. Yang manarik untuk ditelaah dari aspek etika adalah kesabaran Nabi Musa ketabahan untuk tidak merespon tuduhan kaumnya yang tidak benar.

Bertolak dari pemahaman tersebut dapat diketahui bahwa hadis tentang Nabi Musa as mandi telanjang di depan umum tidak mengandung ke-mushkil-an dari perspektif nalar atau logika manusia.


BACA ARTIKEL LAIN YANG BERKAITAN:


[1] Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, 107. 

Bukhari (al). Sahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Kutub, 2000.

[2] Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, 184.

Naisaburi (al) Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, Beirut: Dar al-Kutub, 1997.

[3] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, (Mesir: Muassasah Qurtubah, t.t.), 315.

[4] Riwayat lain menyebut di temapat muwaih yang diartikan oleh sebagian terbesar dari riwayat yang ada dengan masyarabah yaitu tempat sumber air minum (khufrah fi ashl al-nakhlah yujma’ al-mafiha lisaqyiha/ kawa didasar pohon korma yang mana air terkumpul di situ untuk diminum). Lihat Imam Nawawi, Syarh al-Nawawi ala shahih Muslim (Beirut:Dar Ihya al-Turats al-A’rabi, 1392 H), Juz XVI, 127.

[5] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, 315.

[6] Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, (Beirut : Dar al-Fikr, t,t.), 39.

[7] Kata adar menurut ahli bahasa diartikan dengan عظيم الخصيتين adlim al-khushyatain (dua buah zakar yang sangat besar). Lihat Imam Nawawi, syarh Nawawi, Juz XVI, 126.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...