Masa sahabat kecil dan tabi‘in
besar diperkirakan mulainya saat berakhirnya masa khulafa’ rashidin, yakni
tahun 40 hijriah. Dimana, kala itu kekuasaan pemerintahan dipegang oleh bani
Umayyah.[1]
Pada saat itu, ekspansi yang
dilakukan para muslimin sejak masa khulafa’ rashidin berhasil membuat wilayah
Islam meluas ke seluruh penjuru. Meliputi Mesir, Syam, Basrah, Kufah, Yaman,
Tunisia, di sebelah timur pada masa Muawiyah daerah kekuasaan melebar ke
Khurasan hingga ke sungai Oxus dan juga Afghanistan sampai ke Kabul. Lalu
kekuasaan melebar lagi di zaman khalifah Abdul Malik hingga ke India. Seluruh
Afrika utara mencakup Alexandria, Aljazair, Maroko juga telah berada dibawah
kekuasaan muslimin, beserta Spanyol.[2]
Oleh karena itu, sahabat yang
sebelumnya hanya di Madinah dan Makkah, akhirnya menyebar ke seluruh penjuru
akibat ekspansi Islam. Disamping misi memperluas wilayah, mereka juga
menyampaikan ajaran Nabi SAW. Hadis nabawi yang dibawa para sahabat pun ikut
tersebar ke seluruh penjuru. Sehingga lebih memudahkan tabi‘in yang ada di
berbagai wilayah yang jauh dari Makkah dan Madinah untuk mendapatkan hadis
nabi. Tak ayal, zaman tersebut dikenal sebagai masa menyebarnya periwayatan
hadis (intishar al- riwayah).[3]
Terdapat markas-markas ilmiah di
beberapa daerah, tempat majelis sahabat mengajar dan meriwayatkan hadis, di
antaranya seperti:
1. Madinah,
dari kalangan sahabat: khulafa rashidin, Abu Hurairah, Siti Aisyah, Abdullah
bin Umar dan Abu Sa‘id Al-Khudri. Menghasilkan pembesar tabiin seperti Sa‘id
bin Musayyab, Urwah bin Zubair dan Ibnu Shihab Al-Zuhri.[4]
2. Makkah,
dari kalangan sahabat: Muadh bin Jabal, ‘Atab bin Asid, ‘Utbah bin Haris. Dan tabiin:
Ikrimah maula Ibnu Abbas, Tawus bin Kaisan, Mujtahid bin Jabar dan ‘Ata’ bin
Rabah.[5]
3. Kufah, dari
kalangan sahabat: Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqas dan Abdullah bin
Mas‘ud. Dan tabiin: Al-Rabi‘ bin Qasim, Kamal bin Zaid Al-NakhaI, Sa‘id bin
Zubair Al-Asadi.[6]
4. Basrah,
dari kalangan sahabat: Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas dan Abu Sa‘id
Al-Ansari. Dan tabiin: Al-Hasan Al-Basri, Muhammad bin Sirrin, Yunus bin
Uba‘id.[7]
5. Syam, dari
kalangan sahabat: Bilal bn Rabah, Ubadah bin Samit, Muadh bin Jabal, Abu
Ubaidah Al-Jarrah. Dan tabiin: Salim bin Abdillah Al-Muharibi, Abu Idris
Al-Khaulani, Abu Sulaiman Al-Darani.[8]
6. Mesir, dari
kalangan sahabat: ‘Amru bin ‘As, ‘Uqbah bin Amr, Abdullah bin Al-Haris. Dan tabiin:
Amr bin Al-Haris, Khair bin Nu‘aimi Al-Hadrami dan Yazid bin Abi Habib.[9]
7. Maghribi
dan Andalus, dari kalangan sahabat: Mas‘ud bin Al-Aswad Al-Balwi, Walid bin
‘Uqbah bin Abi Muid, Bilal bin Haris bin ‘Asim Al-Muzani. Dari tabiin: Ziyad
bin An‘am Al-Muafil, Abdurrahman bin Ziyad, Muslim bin Yasar.[10]
8. Yaman, dari
kalangan sahabat: Muadh bin Jabal, Abu Musa Al-Ash‘ary. Dan tabiin: Hammam bin
Munabah, Wahab bin Munabah, Tawus dan Ma‘mar bin Rashid.[11]
9. Khurasan, dari
kalangan sahabat yang meriwayatkan hadis disana terdapat Buraidah bin Hasib
Al-Aslamy, Abu Barzah Al-Aslamy, Hakam bin ‘Amru Al-Ghifari.[12]
10. Jurjan, ada
beberapa sahabat yang pernah meriwayatkan hadis disana seperti Abu Abdullah
Al-Husain bin Ali, Hasan bin Ali, Abdullah bin Umar, Hudhaifah bin Yaman, Sa‘id
bin ‘As, Suwaid bin Muqarin, Abu Hurairah, dan Abdullah bin Zubair.[13]
11. Qazwen,
dari kalangan sahabat: Barra’ bin ‘Azib, Sa‘id bin ‘As, Salman Al-Farisi, Abu
Hurairah. Dan tabiin: Ibrahim bin Yazid Al-Nakh‘i, Shamr bin ‘Atiyyah bin
Abdurrahman, Talihah bin Khuwailid Al-Asadi.[14]
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN :
- Biografi Imam Bukhari
- Kitab Sahih Bukhari
- Biografi Imam Shafi’i
- Imam Shafi’i Pembela Hadis Nabi Nasir Al-Sunnah
- Kedudukan Hadis Dalam Pandangan Imam Shafi’i
- Biografi Imam Malik Ibn Anas
- Al-Muwatta’ Imam Malik ibn Anas
A.
METODE PERIWAYATAN HADIS
Sejak awal, para sahabat
sangatlah berhati-hati dalam meriwayatkan apapun yang dinisbahkan kepada nabi
Muhammad SAW. Mereka tidak akan menyampaikan hadis yang ia miliki kecuali
setelah ia yakin dan telah memastikan kebenaran huruf dalam lafal matannya dan
memahami betul isi dan maknanya.[15]
Bahkan ada diantara mereka yang
tidak mau meriwayatkan apapun dari Rasulullah SAW, sebab takut bila mengurangi
atau menambahi porsi yang ada. Diceritakan dalam sebuah riwayat dari Al-‘Ala’
bin Sa‘ad bin Mas‘ud, ia berkata: “Dikatakan kepada salah seorang dari sahabat
Rasulullah SAW. Mengapa anda tidak meriwayatkan hadis seperti Fulan dan Fulan?
Ia menjawab: saya mendengarkan hadis sebagaimana mereka mendengarnya, saya pula
menghadiri majlis Nabi SAW. sebagaimana mereka menghadirinya. Akan tetapi ia
belum mempelajari apa yang akan terjadi nanti, dan orang-orang berpegang
padanya. Maka saya temukan kiranya saya tidak meriwayatkan, dengan mereka pun
telah cukup. Dan saya tidak suka melakukan pengurangan atau penambahan terhadap
hadis Rasulullah SAW”.[16]
Lalu bagaimana metode mereka
meriwayatkan hadis? Apakah mereka meriwayatkan sesuai dengan lafal aslinya
(lafziyah) atau meriwayatkan hadis dengan lafal mereka sendiri tapi tidak
mengubah makna yang terkandung dalam hadis tersebut (secara maknawi)? Ajjaj
Al-Khatib menuturkan dalam Sunnah Qabla Tadwin, mayoritas para sahabat menekuni
periwayatan sesuai lafal Nabi SAW. Disisi lain memang ada beberapa sahabat yang
melonggarkan dirinya untuk meriwayatkan secara maknawi saat berada dalam suatu
kondisi yang mendesak. Apa yang ditempuh sahabat dalam metode periwayatan di
atas, nampaknya diikuti oleh para tabiin sesudahnya.[17]
Namun, tanpa diragukan
sesungguhnya seluruh sahabat pastinya menghendaki periwayatan lafziyah,
sebagaimana yang Nabi SAW. ucapkan. Bahkan sebagian dari mereka tidak ridho,
tidak mau mengubah satu huruf dengan huruf yang lain ataupun mengubah tatanan
kalimatnya, dengan mendahulukan satu kalimat dan mengakhirkan kalimat yang
lain. Diriwayatkan dari Umar RA, ia berkata “siapa yang mendengar hadis lalu
meriwayatkan hadis tersebut sebagaimana yang ia dengar, maka ia telah selamat”.
Diriwayatkan pula dari Abdullah bin Umar dan Zaid bin Arqam riwayat yang
serupa.[18]
Sahabat yang terkenal sangat
keras menekuni periwayatan lafziyah sesuai dengan apa yang diucapkan Nabi SAW.
adalah Abdullah bin Umar. Diceritakan dari Muhammad bin Sauqah, ia berkata: aku
mendengar Abu Ja‘far berkata: jika Abdullah bin Umar mendengar sesuatu dari
Nabiyullah SAW, atau menyaksikan suatu peristiwa bersamanya, tidak melewatkan
atau memendekkan apapun.[19]
Adapula sebagian dari sahabat
yang sangat keras kala menjaga lafal dalam naskah hadis. Mereka melarang menambahi
satu huruf atau menghilangkannya, meskipun bila hal tersebut dilakukan tidak
akan mengubah makna dan isi dari hadis itu sendiri.
Periwayatan maknawi juga
dilakukan oleh sahabat, akan tetapi periwayatan ini tidak dapat dilakukan oleh
sembarang orang. Terdapat ada ketentuan dan syaratnya. Kondisi ini
diperbolehkan ketika sahabat sedang berada dalam situasi yang sangat mendesak.
Contohnya, ketika kejadian perawi lupa dengan lafal tertentu dalam hadis yang
ingin disampaikan, namun ia berada dalam kondisi yang sangat membutuhkan
pengetahuan hadis tersebut. Maka, ia diperbolehkan meriwayatkan secara maknawi
dalam kondisi terdesak seperti di atas.[20]
Terdapat riwayat-riwayat yang
memperbolehkan periwayatan hadis maknawi dari beberapa sahabat seperti Abdullah
bin Mas‘ud, Abu Darda’, Anas bin Malik, Siti Aisyah dan ‘Amru bin Dinar.[21]
B.
KONDISI SOSIAL POLITIK PADA MASA SAHABAT KECIL DAN
TABI‘IN BESAR
Berangkat dari peristiwa tahkim
(arbitrase) -sebagai tanda berakhirnya khulafa’ rashidin dengan digulingkannya
Ali bin Abi Thalib dari jabatan khalifah oleh kubu Muawiyah- periode sahabat
kecil dan tabiin besar dimulai. Bila disebut, periode ini dimulai dari tahun 40
hijriah hingga akhir abad ke 1. Maka masa ini dimulai sejak arbitrase hingga
pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (99 H-102H).[22]
Pada zaman tersebut, kondisi
sosial politik umat Islam sangatlah rumit. Telah terjadi perpecahan diantara
umat, akibat tipu daya kubu Muawiyah dalam arbitrase. Meskipun sebenarnya,
bibit-bibit perpecahan ini telah tercium sejak pemerintahan separuh terakhir
dari Ustman bin Affan. Dimana ia mengganti para pejabat pemerintah dengan
orang-orang yang notabene adalah keluarga besarnya sendiri. Sehingga tak elak,
menimbulkan perselisihan antar umat Islam kala itu. Hanya saja, puncaknya
ketika golongan pengikut Ali keluar dalam barisan pasca arbitrase. Dan
mengikrarkan diri sebagai kelompok khawarij. Yang awalnya memihak Ali, namun
kemudian keluar dari barisan, tetapi juga tidak memihak pada Muawiyah.[23]
Semenjak itu ada kelompok
khawarij, kubu syiah pengikut Ali, kubu Muawiyah dan sebagian masyarakat yang
tidak mau ikut-ikutan dan masuk dalam medan politik tersebut, mereka ini ada yang
berada dalam kubu Muawiyah dan ada yang berada dalam kubu Ali. Golongan yang
terakhir ini banyak diisi oleh para ulama kala itu. [24]
Muhammad Muhammad Abu Zahwu
menyatakan, pada waktu itu yang terjadi adalah fitnah bagi muslimin. Dan kaum
khawarij menjadi golongan yang berbahaya bagi prajurit Ali maupun Muawiyah.
Karena, khawarij menganggap barangsiapa yang tidak menentukan hukum sesuai
dengan apa yang diturunkan Allah maka mereka termasuk golongan kafir. Dan hasil
arbitrase dalam kacamata mereka bukanlah keputusan yang sesuai dengan hukum
Allah. Dan mereka melimpahkan kesalahan kepada Ali bin Abi Thalib, Muawiyah dan
Amru bin ‘As. Hingga akhirnya mereka
berniat membunuh ketiga orang ini, namun hanya pembunuhan Ali lah yang
berhasil. Abdurrahman bin Muljam yang menikamnya.[25]
Khawarij sendiri adalah orang
badui Arab. Sebagaimana diketahui orang badui Arab sangatlah literlek dalam
memahami nas Quran ataupun hadis. Dan sangat disayangkan bahwa mereka tidak
mempercayai dan mengakui riwayat hadis dari jumhur muslimin. Mereka hanya
mengakui hadis yang diriwayatkan oleh imam yang notabene dari kalangan mereka
sendiri.[26]
Mereka mempunyai paham orang
yang berdusta adalah kafir. Karena pelaku dosa besar adalah kafir. Dan
berbohong dalam perspektif mereka termasuk dosa besar. Namun, disamping paham
yang mereka anut, tak mengelakkan bahwa mereka juga melakukan dusta dengan
memalsukan hadis nabi. Gunanya, tentu untuk memperkuat otoritas paham batil
mereka. Salah satunya adalah hadis yang berbunyi “jika datang kepadamu sebuah
hadis dariku maka bandingkanlah dengan Al-Quran. Apabila sesuai dengan kitab
Allah maka memang aku yang mengatakannya…”[27]
Kemudian, beralih ke Syiah.
Kelompok ini menghendaki Ali sebagai khalifah pasca wafatnya nabi. Mereka
berpendapat bahwa khilafah adalah warisan. Karena warisan, maka Ali lah yang
lebih berhak. Disamping karena warisan, dari sisi kedekatan dan keutamaan, Ali
lebih unggul dibanding sahabat lainnya. Dari ikatan darah ialah yang terdekat,
dan ia termasuk orang yang pertama masuk Islam, ikut dalam perang Badar dan
perang-perang lainnya. Dan ia adalah suami buah hati Nabi SAW., Fatimah
Al-Zahra. Hanya saja ketika jabatan itu diamanahkan kepada Abu Bakar, mereka
tidak memberontak demi menjaga persatuan umat Islam. Begitu juga ketika Umar menjabat
dan Ustman.[28]
Pergerakan mereka semakin
menjadi-jadi dan berkembang pesat pasca arbitrase. Yang awalnya hanyalah
gerakan politik, ia terus berkembang menjadi sebuah ideologi. Mereka menganggap
bahwa Ali tidak mati. Ia akan kembali lagi suatu hari nanti dan memerintah
dengan sangat adil, juga ada yang beranggapan bahwa Ali adalah nabi. Jibril
keliru ketika menurunkan risalah kepada Muhammad, karena sebetulnya itu untuk
Ali. Bahkan ada yang menganggapnya sebagai Tuhan.[29]
Ketiga kelompok tersebut, Bani
Umayyah, Syiah dan Khawarij kesemuanya berusaha untuk menguasai khilafah. Tidak
sedikit pertumpahan darah yang terjadi hanya karena kekuasaan. Masing-masing
satu sama lain saling menguatkan otoritasnya dengan memalsukan hadis nabawi.
C.
IMPLIKASI KONDISI SOSIAL POLITIK TERHADAP HADIS
Setiap kelompok berusaha
membenarkan mazhabnya, memperkuat otoritasnya melalui berbagai cara. Memalsukan
hadis salah satunya. Syiah memalsukan hadis-hadis yang berkaitan tentang sifat
Ali bin Abi Thalib. Mereka meninggikan derajat Ali bin Abi Thalib dari yang
seharusnya. Diantara hadis palsunya “barangsiapa yang meninggal dan di dalam
hatinya ada rasa benci pada Ali bin Abi Thalib maka ia mati Yahudi dan
Nasrani”. “ sesungguhnya setiap nabi mempunyai wasiat dan warisan, dan aku mewasiatkan
dan mewariskannya kepada Ali bin Abi Thalib”.[30]
Itupula yang dilakukan oleh golongan lainnya. Meskipun dari segi kuantitas,
khawarij dipandang paling sedikit memalsukan hadis.
Sehingga pada masa ini tidak
bisa dielakkan, ia membawa pengaruh negatif pada sejarah perkembangan hadis.
Pergolakan politik yang terjadi secara langsung maupun tak langsung mampu
mempengaruhi perkembangan ilmu hadis.[31]
Karena banyaknya pemalsuan, sejak perang Shiffin Ibnu Sirrin mengatakan
orang-orang mulai menyebutkan sanad ketika meriwayatkan hadis. Kiranya ada
pengaruh positif dalam masa ini.
Selain itu, masa inilah yang memberikan kontribusi ide atas kodifikasi hadis. Dimana Umar bin Abdul Aziz memandang hadis palsu yang sudah merajalela di khalayak menjadi suatu kondisi yang mendesak dan membutuhkan suatu kegiatan yaitu pembukuan hadis, untuk mengumpulkan hadis-hadis asli, sahih ditengah-tengah wabah hadis palsu, dan menyelamatkannya dari kemusnahan.[32]
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:
- Biografi Ibn Hajar Al ‘Asqalani
- Syaikh Nawawi Al-Bantani
- Kiai Ihsan Jampes
- K H Moenawar Chalil
- Muhammad Yasin Al-Fadani
- Pengertian Sahabat
- Pengertian Tabi'in
- Perawi Hadis Era Dinasti Umayyah
DAFTAR PUSTAKA
Asqolani
(Al), Ibnu Hajar. Sharh Nukhbah Nuzhah
Al-Nadr fi Taudihi Nukhbat Al-Fikr. Ed. Nuruddin ‘Itr. Kairo: Dar
Al-Basa’ir. 2011.
Azra,
Azyumardi, “Tabiin”, Ensiklopedi Islam, Vol. 7, Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve, t.th.
Bukhari
(Al), Al-Jami‘ Al-Sahih Al-Mukhtasar,
Beirut: Dar Ibn Kathir, 1407 H.
Chair,
Abd, “Dinasti Bani Umayyah”, Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam, Vol. 2, ed. Taufik Abdullah, et al., Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, t.th.
Idri,
Studi Hadis, Jakarta: Kencana, 2013.
Ismail,
M. Syuhudi, Pengantar Ilmu Hadis, Bandung: Angkasa, 1991.
Kathir,
Ibnu, Al-Ba’ith Al-Hathith Sharh Ikhtisar
Ulumi Al-Hadith, tq. Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Athary, Riyadh:
Maktabah Al-Ma‘arif, 1996.
Khatib
(Al), Muhammad Ajjaj, Usul Al-Hadith
Ulumuhu wa Mustalahuhu, Lebanon: Dar Al-
Fikr, 1989.
______,
Al-Sunnah Qabla Al-Tadwin, Lebanon:
Dar Al-Fikr, 2008.
Khidir
(Al), ‘Adnan ‘Ali, Al-Muwazanah baina
Manhaj Al-Hanafiyah wa Manhaj Al- Muhaddisin
fi Qabuli Al-’Ahadith wa Raddiha, Syiria: Dar Al-Nawadir, 2010.
Manzur,
Ibnu, Lisan Al-‘Arab, Vol. 2, tq.
Abdullah Ali Al-Kabir, Kairo: Dar Al-Ma‘arif, t.th.
Muslim,
Al-Sahih, tq. Muhammad Fuad Abdul
Baqy, Beirut: Dar Ihya’ Al-Turath Al-‘Araby, t.th.
Shuhbah,
Muhammad Muhammad Abu, Fi Rihabi
Al-Sunnah Al-Kutub Al-Sihhah Al-Sittah, Kairo: Majma‘ Al-Buhuth
Al-Islamiyah, 1969.
______, Al-Wasit fi Ulumi wa Mustalah Al-Hadith,
Kairo: Maktabah Sunnah, 2006.
Suparta,
Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta:
Rajawali Press, 2013.
‘Uwais,
‘Abdul Halim, Al-Hadarah Al-Islamiyah
Ibda‘ Al-Mady wa `Afaq Al-Mustaqbal,
Kairo: Maktabah `Usrah, 2012.
Yatim,
Badri, Sejarah Peradaban Islam Dirasah
Islamiyah II, Jakarta: Rajawali Press, 2013.
Zabidy
(Al), Muhammad Murtada Al-Husaini, Taj
Al-‘Urush min Jawahir Al-Qamus, Vol. 5, tq. Abdu Al-Satar Ahmad Faraj, Kuwait: Wizarat Al-’Irshad
wa Al-’Anba’, 1965.
Zahwu,
Muhammad Muhammad Abu, Al-Hadis wa
Al-Muhadisun, Lebanon: Dar Al-Fikr, t.th.
Zuhri,
Muh., Tela’ah Matan Hadis Sebuah Tawaran Metodologis, Yogyakarta: Lesfi,
2003.
Http://
anasafrida.blogspot.co.id/2012/01/materi-ulumul-hadist.html?m=1
[1] Abd Chair, “Dinasti Bani Umayyah”, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Vol. 2, ed. Taufik Abdullah, et al. (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, t.th), 65.
[2]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II
(Jakarta: Rajawali Press, 2013), 43.
[3] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Rajawali Press,
2013), 85.
[4] Ibid., 86. Lihat juga Endang
Soetari, Ilmu Hadis (Bandung: Amal Bakti Press, 1997), 48.
[5] Ibid., 48. Suparta, Ilmu
Hadis, 86.
[6] Endang Soetari, Ilmu Hadis,
48-49. Lihat Suparta, Ilmu Hadis, 86.
[7] Endang Soetari, Ilmu Hadis,
48-49. Lihat Suparta, Ilmu Hadis, 86.
[8] Ibid., 87.
[9] Ibid., 87.
[10] Ibid., 87.
[11] Ibid., 87.
[12] Ajjaj Al-Khatib, Usul Al-Hadith, 125-126.
[13] Ajjaj Al-Khatib, Usul Al-Hadith, 125-126.
[14] Ajjaj Al-Khatib, Usul Al-Hadith, 125-126.
[15] Muhammad Ajjaj Al-Khatib, Al-Sunnah Qabla Al-Tadwin, (Lebanon: Dar Al-Fikr, 2008),85-87.
[16]
Ibid., 85-87.
[17] Ibid., 85-87.
[18] Ibid., 85-87.
[19]Ibid., 85-87.
[20]Ibid., 89.
[21]Ibid., 89.
[22] Abd Chair, Dinasti Bani Umayyah, 65.
[23] Muhammad Muhammad Abu Zahwu, Al-Hadis wa Al-Muhadisun, (Lebanon: Dar Al-Fikr, t.th), 82.
[24] Ibid., 82.
[25] Ibid., 83.
[26] Ibid., 84.
[27] Ibid., 87.
[28] Ibid., 88.
[29] Ibid., 90.
[30] Ibid., 93.
[31] Suparta, Ilmu Hadis, 88.
[32] Suparta, Ilmu Hadis, 88.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar