HOME

14 April, 2022

PANDANGAN IMAM SHAFI'I TERHADAP HADIS

 

BAB I

PENDAHULUAN

    A.    Latar Belakang

Salah satu pilar utama dan landasan mendasar bagi manhaj salafi adalah perhatian terhadap hadits Nabi, baik dari segi penelitian keshohihannya, mempelajari kandungan maknanya, membelanya dari hujatan, mengamalkan kandungannya, dan menebarkannya kepada khalayak manusia. Hal itu merupakan tanda utama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Ahli Hadits, dan Salafiyyun.

Tidak demikian halnya dengan kelompok-kelompok lainnya. Kelompok-kelompok selain Ahlus Sunnah, mereka kurang perhatian terhadap hadits Nabi sehingga tidak bisa membedakan mana hadits yang shohih dan tidak. Bahkan terkadang mereka bersandar pada akal dan hawa nafsunya. Lebih parah lagi, bahkan ada yang berani menggugat hadits Nabi dan menentangnya.

Lalu, bagaimana peran Imam Shafi’i dalam hadits?! Sebenarnya itu adalah masalah yang cukup populer dari imam yang mendapat gelar “pembela hadits” ini, namun tidak mengapa jika kita tampilkan di sini beberapa sisi dan bukti pembelaan dan pengagungan beliau terhadap hadits Nabi. Kami tekankan pula di sini beberapa masalah yang merupakan kaidah dan prinsip dasar dalam memahami dan membela hadits Nabi.

 

    B.     Rumusan Masalah

Dari Latar belakang di atas, dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:    

1.       Biografi Imam Shafi’i

2.       Imam Shafi’i sebagai pembela hadis Nasir al-Sunnah

3.        Kedudukan hadis dalam pandangan Imam Shafi’i


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;

 

BAB II

PEMBAHASAN

    A.    Biografi Imam Shafi’i

1.      Nama dan Nasab Imam Shafi’i

Beliau adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin Uthman bin Shafi’i bin al-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin al-Muttalib bin Abdi Manaf bin Qusay al-Qurasyi al-Shafi’i al-Makki. Beliau bertemu nasabnya dengan Rasulullah pada Abdi Manaf bin Qusay, kakek Rasulullah yang ketiga.[1]

2.      Kelahiran Imam Shafi’i

Beliau lahir pada tahun 150 H, yang merupakan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah. Imam Shafi’i dilahirkan di sebuah tempat bernama Gazzah di Asqalan. Ketika memasuki usia 2 tahun, ibunya membawanya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang terdiri dari orang-orang Yaman, karena ibunya dari suku Azdiyah.[2]

3.      Pertumbuhan dan Kegiatan Imam Shafi’i dalam Mencari Ilmu

Beliau tumbuh di negeri Gazzah sebagai seorang yatim setelah ayahnya meninggal, sehingga berkumpullah pada dirinya kefakiran, keyatiman dan keterasingan dari keluarganya. Namun, kondisi tersebut tidak menjadikannya lemah dalam mengarungi kehidupan, setelah Allah memberinya taufiq untuk menempuh jalan yang benar[3].

Dengan kasih sayang, sang ibu membawanya ke tanah Hijaz, yaitu kota Makkah atau tempat dekat Makkah. Imam Shafi’i mulai menghafal al-Qur’an sehingga beliau menghafalnya secara sempurna pada usia 7 tahun. Setelah menghafal al-Qur’an, beliau hadir di masjid dan berkumpul bersama para ulama untuk menghafal hadis dan permasalahan agama. Beliau sangat tekun dalam belajar, sehingga beliau hafal al-Qur’an pada usia 7 tahun dan hafal kitab al-Muwatta’ karya Imam Malik pada usia 9 tahun. Pada saat berusia 18 tahun, beliau berfatwa setelah mendapat izin dari gurunya yang bernama Muslim bin Khalid al-Zanji. Walaupun berbahasa arab, beliau juga belajar bahasa Arab kepada suku Hudzail dan menghafal syair-syairnya.[4]

Setelah menghafal kitab al-Muwatta’, beliau pergi ke Madinah untuk berguru kepada Imam Malik. Tinggalnya beliau di Madinah tidak terus-menerus melainkan diselingi oleh kepulangannya ke Makkah untuk bertemu ibunya. Dalam kepulangannya, beliau menyempatkan diri untuk mendengar syair-syair suku Hudzail dan belajar kepada ulama Makkah. Beliau belajar di Madinah, sampai wafatnya Imam Malik pada tahun 179 H.[5]

Sekembalinya dari Madinah, beliau sibuk dengan ilmunya. Sekalipun ia tidak mampu membeli kitab-kitab karena miskin, namun karena kecintaannya terhadap ilmu sangat besar beliau menulis ilmu-ilmu yang diperoleh pada sesuatu yang bisa ditulisi. Begitulah sifat para ulama yang telah dianugerahi oleh Allah kenikmatan meraih ilmu. Mereka tidak akan pernah puas dengan ilmu yang dimilikinya. Rasulullah pun telah menyatakan hal itu dalam hadisnya:

مَنْهُوْمَانِ لَا يَشْبَعَانِ طَالِبُ اْلعِلْمِ وِ طَالِبُ دُنْيَا

Dua orang yang rakus yang tidak pernah kenyang; yaitu: pencari ilmu dan pencari dunia.

 

Hausnya terhadap ilmu dan karena kemiskinan, beliau pun pergi ke Yaman untuk belajar sambil bekerja. Ketika prestasinya baik, beliau diberi pekerjaan tambahan, namun beliau senantiasa mencari celah untuh meraih ilmu hingga akhirnya mendapat fitnah yaitu berupa tuduhan dusta bahwa beliau memberontak kepada khalifah Harun al-Rasyid. Beliau di usir ke Irak dalam keadaan diikat dengan rantai, dan disiksa sepanjang perjalanan menuju Irak, hingga akhirnya Allah menyelamatkan dari fitnah tersebut. Beliau tinggal untuk sementara waktu di Irak untuk menuntut ilmu kepada para ulama yang ada di negara tersebut.[6]

Sepulangnya dari Irak, beliau mulai mengajar di Makkah tempatnya belajar dulu. Pada musim haji, beliau ditemui oleh banyak ulama’. Mereka kagum terhadap keluasan ilmunya dan kekuatannya dalam menggunakan dalil serta keteguhannya mengikuti sunnah, juga kedalamannya dalam ilmu fiqih dan istinbat penyimpulan hukum. Mereka juga kagum terhadap terhadap usul dan kaidah-kaidah fiqih yang telah dibuatnya berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah. Hingga hampir 9 tahun, Imam Shafi’i mengadakan majelis halaqah pengajian di Makkah, kemudian pergi ke Irak yang kedua kalinya pada tahun 195 H. Beliau tinggal di Baghdad selama 2 tahun, pergi ke Makkah lalu datang lagi pada tahun 198 H dan tinggal di sana selama beberapa bulan, setelah itu ia pergi ke Mesir.[7]

Kepergian beliau dari Irak untuk selamanya ini, karena terjadinya musibah yang menimpah pemerintah kaum muslimin, yaitu telah dikuasainya khalifah al-Ma’mun oleh ahli ilmu kalam sehingga tersebarlah bid’ah dan matilah sunnah. Sesampainya di negeri Mesir, beliau pergi ke masjid ‘Amr bin al-‘Ash dan untuk pertama kalinya beliau menyampaikan kajian di masjid tersebut. Beliau disibukkan oleh belajar, mengajar dan berdakwah di negeri Mesir sampai wafatnya.[8]

4.      Guru dan Murid-murid Imam Shafi’i

Beliau mengambil banyak ilmu dari para ulama di berbagai tempat pada zamannya, di antaranya di Makkah, Madinah, Yaman, Kufah, Bashrah, Syam, dan Mesir. Sebagaimana hal itu telah disebutkan oleh al-Baihaqi, Ibnu Katsir, al-Mizzy, dan al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah. Di antara guru-guru Imam al-Shafi’i yang terkenal adalah Muslim bin Khalid al-Zanjiy, Malik bin Anas, Ibrahim bin Said, Said bin Salim al-Quddah, al-Darawardiy, Abd. Wahab as-Tsaqafiy, Ibnu Uyainah, Hatim bin Ismail, Ibrahim bin Muhammad bin Abiy Yahya, Ismail bin Ja’far, Muhammad ibnu Khalid al-Jundiy, Umar bin Muhammad bin aliy, Hisyam bin Yusuf al-Shan’aniy. Dalam mempelajari fiqih Imam al-Shafi’i   belajar dari seorang ulama fiqih yang terkenal di Mekah, yaitu Muslim bin Khalid al-Zanjiy, sedang untuk mempelajari hadis Nabi, beliau berguru pada Malik bin Anas yang juga terkenal sebagai Imam Mazhab.[9]

Sedangkan untuk murid-muridnya yang kemudian menyebarkan ajaran-ajaran beliau, diantara murid-muridnya yang ternama adalah Sulaiman bin Daud al-Hasyimiy, Ahmad bin Hanbal yang dikenal sebagai Imam Mazhab, Abd Allah bin Zubayr, al-Hamidiy, Abu Zaur Ibrahim bin Khalid, Abu Ya’qub, Yusuf bin Yahya, Harmalah bin Yahya, al-Hasan bin Muhammad al-Shabah, dan lain-lainnya.[10]

5.      Karya Imam Shafi’i

Para ulama’ telah menyebutkan karya beliau yang tidak sedikit, di antaranya adalah: al-Umm, al-Risalah al-Jadidah, al-Musnad, Mihnatu al-Shafi’i, Ahkamu al-Qur’an dan lain sebagainya. Sebagian karya beliau hilang dan sebagian yang lain lagi dihimpun oleh beberapa orang dari kalangan al-Shafi’iyah ulama-ulama yang mengikuti Imam Shafi’i dalam ilmu fiqih. Kitab-kitab Imam al-Shafi’i tentang hadis adalah al-Umm, walaupun kitab tersebut bercorak fiqih, namun dapat dikatakan sebagai karya Imam al-Shafi’i di bidang hadis. hal ini di karenakan muatan-muatan kitabnya dilengkapi dengan sanad berbagai riwayat hadis secara lengkap.[11]

6.      Pujian Ulama terhadap Imam Shafi’i

Banyak ulama yang memuji kecerdasan Imam al-Shafi’i. Abu Na’im berkata dan menyebut al-Shafi’i   adalah pemuda yang cerdas, Harmalah berkata bahwa di Bagdad Ia digelari sebagai Nasir al-Hadith. ulama kritikus hadis sepakat bahwa Imam al-Shafi’i adalah periwayat hadis yang berkualitas thiqah[12]. Husain al-Karabisiy berkata bahwa tidak ada ulama yang mengerti benar tentang hadis kecuali Imam al-Shafi’i. al-Halim Berkata berkata bahwa pada hadis riwayat Imam al-Shafi’i tidak ada cacat dan illat, selanjutnya Abu Daud berkata bahwa pada hadis al-Shafi’i tidak ditemukan kesalahan periwayatan.[13]

7.      Wafatnya Imam Shafi’i

Di akhir hayatnya, Imam Shafi’i sibuk berdakwah, menyebarkan ilmu, dan menulis. Beliau terkena penyakit wasir yang menyebabkan keluarnya darah. Namun, penyakit tersebut tidak menghalanginya dari melakukan pekerjaannya tersebut, karena kecintaan beliau terhadap ilmu agama. Hal itu terjadi sampai beliau wafat pada akhir bulan Rajab tahun 204 H.[14] 

 

    B.     Imam Shafi’i  Pembela Hadis Nabi Nasir al-Sunnah

Sesungguhnya membela hadis Nabi merupakan suatu amalan yang amat mulia dan utama. Oleh karenanya, tidak heran bila para ulama menilainya sebagai jihad fi sabilillah. Imam Yahya bin Yahya rahimahullah pernah mengatakan:

 

الذَّبُّ عَنِ السُّنَّةِ أَفْضَلُ مِنَ الْجِهَادِ

Membela sunnah lebih utama daripada jihad.[15]

 

Dan Imam Shafi’i termasuk dalam barisan para pembela hadis Nabi sehingga beliau mendapat gelar dari para ulama semasa beliau dengan “Nasir al-Sunnah” pembela hadis Nabi. Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Semoga Allah merahmati Shafi’i, dia telah membela hadis-hadis Rasululla .”[16]

Imam Shafi’i rahimahullah berkata:

سُمِّيْتُ بِمَكَّةَ نَاصِرَ الْحَدِيْثِ

Di Makkah saya digelari sebagai pembela hadis.[17]

سُمِّيْتُ بِبَغْدَادَ نَاصِرَ الْحَدِيْثِ

Di Baghdad saya digelari sebagai pembela hadis.

 

Sikap sangat menarik dan menakjubkan yang menunjukkan pengagungan Imam Shafi’i terhadap hadis dan sikap beliau terhadap orang yang menolak hadis adalah kisah laporan beliau kepada al-Qadhi Abu al-Bakhtari tentang Bishr al-Marrisi[18] karena dia telah menolak hadis Rasulullah. Imam Shafi’i rahimahullah bercerita: “Saya pernah berdebat dengan al-Marrisi tentang undian, lalu dia mengatakan bahwa undian adalah perjudian!! Maka saya datang kepada Abu al-Bakhtari seraya aku katakan kepadanya, ‘Aku mendengar al-Marrisi mengatakan bahwa undian adalah perjudian’ Lalu dia Abu al-Bakhtari mengatakan, ‘Wahai Abu Abdillah kunyah Imam Shafi’i, datangkanlah saksi lainnya niscaya saya akan membunuhnya.’ Dalam lafazh lainnya, ‘Datangkanlah saksi lainnya, niscaya saya akan mengangkatnya di atas pohon lalu menyalibnya”.[19]

 

    C.     KEDUDUKAN HADIS DALAM PANDANGAN IMAM SHAFI’I

Seperti yang kita pelajari bahwasanya Allah menurunkan dua wahyu berupa al-Qur’an dan al-Hikmah kepada Rasul-Nya dan mewajibkan seluruh hamba mengimani keduanya dan mengamalkan kandungannya. Allah berfirman:

 

وَأَنزَلَ ٱللَّهُ عَلَيْكَ ٱلْكِتَـٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ

Dan Allah telah menurunkan kitab dan hikmah kepadamu.[20]

Menurut kesepakatan ulama salaf, yang dimaksud “kitab” ialah al-Qur’an, sedang “hikmah” adalah sunnah Nabi  . Imam Shafi’i rahimahullah berkata:

فَذَكَرَ اللهُ الْكِتَابَ وَهُوَ الْقُرْآنُ وَذَكَرَ الْحِكْمَةَ فَسَمِعْتُ مَنْ أَرْضَى مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ بِالْقُرْآنِ يَقُوْلُ الْحِكْمَةُ سُنَّةُ رَسُوْلِ اللهِ

Allah menyebut al-Kitab yaitu al-Qur’an dan mengiringinya dengan al-hikmah. Saya mendengarkan orang-orang yang saya ridhoi dari para ahli ilmu tentang al-Qur’an, mereka mengatakan bahwa maksud al-Hikmah adalah sunnah Rasululloh  .[21]

 

            1.        Imam Shafi’i Membantah Para Pengingkar Hadis

Imam Shafi’i telah membantah secara tuntas para pengingkar sunnah yang hanya mencukupkan diri dengan al-Qur’an saja tanpa hadis. Beliau berdialog dengan mereka dengan hujjah-hujjah yang kuat. Banyak sekali ucapan beliau dalam masalah ini, tetapi kita nukil beberapa saja di sini.

 

وَكُلُّ مَا سَنَّ فَقَدْ أَلْزَمَنَا اللهُ اتِّبَاعَهُ وَجَعَلَ فِي اتِّبَاعِهِ طَاعَتَهُ, وَفِي الْعُنُوْدِ عَنِ اتِّبَاعِهَا مَعْصِيَتَهُ الَّتِيْ لَمْ يَعْذِرْ بِهَا خَلْقًا, وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ مِن اتِّبَاعِ سُنَنِ رَسُوْلِ اللهِ مَخْرَجًا لِمَا وَصَفْتُ وَمَا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ

Setiap apa yang dicontohkan oleh Nabi maka Allah mewajibkan kita untuk mengikutinya dan menjadikan hal itu sebagai ketaatan, dan Allah menjadikan sikap menyimpang dan tidak mengikutinya sebagai kemaksiatan yang Allah tidak memberikan udzur kepada makhluk, dan Allah tidak menjadikan jalan keluar dari mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah  , sebagaimana telah saya jelaskan dan sebagaimana sabda Nabi  .[22]

 

Lalu beliau membawakan sebuah hadis Abu Rofi’ r.a:

لاَ أَلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيْكَتِهِ يَأْتِيْهِ الأَمْرُ مِنْ أَمْرِيْ مِمَّا أَمَرْتُ بِهِ أَوْ نَهَيْتُ عَنْهُ فَيَقُوْلُ لاَ أَدْرِيْ مَا وَجَدْنَا فِيْ كِتَابِ اللهِ اتَّبَعْنَاهُ

Hampir saja saya mendapati salah seorang di antara kalian duduk seraya bersandar di atas ranjang hiasnya tatkala datangnya kepadanya perintah atau larangan dariku lalu dia berkomentar, ‘Saya tidak tahu, apa yang kami jumpai dalam al-Qur’an maka kami mengikutinya.[23]

Beliau berkomentar tentang hadis di atas:

وَفِيْ هَذَا تَثْبِيْتُ الْخَبَرِ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ وَإِعْلاَمُهُمْ أَنَّهُ لاَزِمٌ لَهُمْ وَإِنْ لَمْ يَجِدُوْا لَهُ نَصَّ حُكْمٍ فِيْ كِتَابِ اللهِ

Dalam hadis ini terdapat penjelasan tentang hujjahnya hadis dari Rasulullah dan penjelasan kepada hamba bahwa wajib bagi mereka mengikuti hadis sekalipun mereka tidak mendapati nas hukumnya dalam Kitabullah al-Qur’an.[24]

Imam al-Baihaqi r.a berkata, “Inilah kabar Rasulullatentang ingkarnya para ahli bid’ah terhadap hadis beliau. Sungguh apa yang beliau sampaikan telah nyata terjadi.”

            2.        Hadis Ahad Hujjah Menurut Imam Shafi’i

Masalah ini telah dibahas tuntas dan panjang lebar oleh Imam Shafi’i dalam banyak kesempatan. Imam Ibn al-Qoyyim berkata: “Kelompok ketiga mengatakan: “Kami menerima hadis-hadis Nabi yang mutawatir[25] dan kami menolak hadis-hadis ahad, baik berupa ilmu maupun amal. Shafi’i telah berdialog dengan  sebagian manusia pada zamannya tentang masalah ini, kemudian Shafi’i mematahkan syubhat kerancuan lawannya dan menegakkan hujjah-hujjah kepadanya. Shafi’i membuat satu bab yang panjang tentang wajibnya menerima hadis ahad. Tidaklah beliau dan seorangpun dari ahli hadis membedakan antara hadis masalah ahkam hukum dan sifat aqidah. Paham pembedaan seperti tidaklah dikenal dari seorangpun dari sahabat dan satupun dari tabi’in dan tabi’ut tabi’in maupun seorangpun dari kalangan imam Islam. Paham ini hanyalah dikenal dari para gembong Ahli bid’ah beserta cucu-cucunya.[26]

Di antara kata mutiara Imam Shafi’i tentang masalah ini adalah nukilan beliau tentang ijma’ ulama akan hujjahnya hadis ahad apabila shohih dari Nabi, beliau berkata:

لَمْ أَحْفَظْ عَنْ فُقَهَاءِ الْمُسْلِمِيْنَ أَنَّهُمْ اخْتَلَفُوْا فِيْ تَثْبِيْتِ خَبَرِ الْوَاحِد

Saya tidak mendapati perselisihan pendapat di kalangan ahli ilmu tentang menerima hadits ahad.[27]

 

Imam Ibnu Abd al-Barr berkata: “Ahli ilmu dari kalangan pakar fiqih dan hadis di setiap negeri telah bersepakat untuk menerima hadis ahad dan mengamalkannya. Inilah keyakinan seluruh ahli ilmu pada setiap masa semenjak masa sahabat hingga saat ini kecuali kelompok khowarij dan ahli bid’ah yang perselisihan mereka tidaklah dianggap”.[28]

Imam Abu Mudoffar as-Sam’ani berkata: “Sesungguhnya suatu hadis apabila telah Shohih dari Rasulullah maka dia mengandung ilmu. Inilah perkataan seluruh ahli hadis dan sunnah. Adapun paham yang menyatakan bahwa hadis ahad tidak mengandung ilmu dan harus berderajat mutawatir, maka paham ini hanyalah dibuat-buat oleh kaum Qodariyah dan Mu’tazilah dengan bertujuan menolak hadis Nabi. Paham ini kemudian diusung oleh orang-orang belakangan yang tidak berilmu mantap dan tidak mengetahui tujuan paham ini. Seandainya setiap kelompok mau adil, sungguh mereka akan menetapkan bahwa hadis ahad mengandung ilmu karena engkau lihat sekalipun keadaan mereka yang compang-camping dan beragam aqidah mereka, namun setiap kelompok dari mereka berhujjah dengan hadis ahad untuk menguatkan pahamnya masing-masing”.[29]

Imam Ibn al-Qas al-Shafi’i berkata: “Sesungguhnya ahli kalam filsafat itu menolak hadis ahad disebabkan lemahnya dia tentang ilmu hadis. Dia menganggap dirinya tidak menerima hadis kecuali yang mutawatir berupa khabar yang tidak mungkin salah atau lupa. Hal ini menurut kami adalah sumber untuk menggugurkan sunnah Nabi.” [30]

3.        Tidak Mungkin Al-Qur’an Bertentangan Dengan Hadis

Harus kita yakini bahwa dalil-dalil dari al-Qur’an dan hadis yang shahih tidaklah saling bertentangan sama sekali karena keduanya dari Allah. Allah berfirman:

أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيرا

Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. [31]

 

Inilah yang ditegaskan oleh Imam Shafi’i tatkala berkata:

وَلاَ تَكُوْنُ سُنَّةٌ أَبَدًا تُخَالِفُ الْقُرْآنَ

Tidak mungkin sunnah Nabi Muhammad menyelisihi Kitabullah sama sekali.[32]

Bahkan beliau menilai ucapan seseorang bahwa “hadis apabila menyelisihi tekstual al-Qur’an adalah suatu kejahilan.[33]

4.    Apabila Hadis Bertentangan dengan Pendapat

Imam Shafi’i telah berwasiat emas kepada kita semua apabila ada hadis yang bertentangan dengan pendapat kita, maka hendaknya kita mendahulukan hadis dan berani meralat pendapat kita.

Imam Ibnu Rojab berkata: “Adalah Imam Shafi’i sangat keras dalam hal ini, beliau selalu mewasiatkan kepada para pengikutnya untuk mengikuti kebenaran apabila telah nampak kepada mereka dan memerintahkan untuk menerima sunnah apabila datang kepada mereka sekalipun menyelisihi pendapat beliau”.[34]

Syaikh Jamal al-Din al-Qasimi juga berkata: “Imam Shafi’i sangat mengangungkan Sunnah, mendahulukan sunnah daripada akal, kapan saja sampai kepada beliau sebuah hadis maka beliau tidak melampui kandungan hadis tersebut”.[35]

 Rabi’ salah seorang murid senior Shafi’i berkata: “Saya pernah mendengar Imam Shafi’i meriwayatkan suatu hadis, lalu ada seorang yang hadir bertanya kepada beliau: “Apakah engkau berpendapat dengan hadis ini wahai Abu Abd Allah? Beliau menjawab:

مَتَى رَوَيْتُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ حَدِيْثًا صَحِيْحًا وَلَمْ آخُذْ بِهِ، فَأُشْهِدُكُمْ أَنَّ عَقْلِيْ قَدْ ذَهَبَ

 Kapan saja saya meriwayatkan sebuah hadis shohih dari Rasulullah kemudian saya tidak mengambilnya, maka saksikanlah dan sekalian jama’ah bahwa akalku telah hilang.[36]

Imam Shafi’i juga berkata:

يَا ابْنَ أَسَدٍ اقْضِ عَلَيَّ حَيِيْتُ أَوْ مِتُّ أَنَّ كُلَّ حَدِيْثٍ يَصِحُّ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ فَإِنِّيْ أَقُوْلُ بِهِ وَإِنْ لَمْ يَبْلُغْنِيْ

 Wahai Ibnu Asad, putuskanlah atasku, baik aku masih hidup atau setelah wafat bahwa setiap hadis yang shahih dari Rasulullah, maka sesungguhnya itulah pendapatku sekalipun hadis tersebut belum sampai kepadaku.[37]

       al-Humaidi salah seorang murid Shafi’i berkata: “Suatu kali Imam Shafi’i meriwayatkan suatu hadis, lalu saya bertanya kepada beliau: Apakah engkau berpendapat dengan hadits tersebut? Maka beliau menjawab

 

رَأَيْتَنِيْ خَرَجْتُ مِنْ كَنِيْسَةٍ، أَوْ عَلَيَّ زُنَّارٌ، حَتَّى إِذَا سَمِعْتُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم حَدِيْثًا لاَ أَقُوْلُ بِهِ وَلاَ أُقَوِّيْهِ؟

 Apakah kamu melihatku keluar dari gereja atau memakai pakaian para pendeta sehingga bila aku mendengar sebuah hadis Rasulullah, aku tidak berpendapat dengan hadis tersebut dan tidak mendukungnya.[38]

 

Ucapan emas dan berharga ini memberikan beberapa faedah kepada kita:

    a)      Madzhab Imam Shafi’i dan pendapat beliau adalah berputar bersama hadis Nabi. Oleh karena itu, seringkali beliau menggantungkan pendapatnya dengan shahihnya suatu hadis seperti ucapannya “Apabila hadis Dhuba’ah sahih maka aku bependapat dengannya”, “Apabila hadis tentang anjuran mandi setelah memandikan mayit sahih maka aku berpendapat dengannya” dan banyak lagi lainnya sehingga dikumpulkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitab berjudul al-Minhah fima ‘Allaqa al-Shafi’i al-Qaula fihi ‘ala Sihhah.[39]

            b)      Hadis yang lemah dan palsu bukanlah madzhab Imam Shafi’i, karena beliau mensyaratkan shohih.

Imam Nawawi berkata menjelaskan keadaan Imam Shafi’i: “Beliau sangat berpegang teguh dengan hadis shahih dan berpaling dari hadis-hadis palsu dan lemah. Kami tidak mendapati seorangpun dari fuqoha’ yang perhatian dalam berhujjah dalam memilah antara hadits shohih dan dho’if seperti perhatian beliau. Hal ini sangatlah nampak sekali dalam kitab-kitabnya, sekalipun kebanyakan sahabat kami tidak menempuh metode beliau”.[40]

al-Hafizh al-Baihaqi juga berkata setelah menyebutkan beberapa contoh kehati-hatian beliau dalam menerima riwayat hadits: “Madzhab beliau ini sesuai dengan madzhab para ulama ahli hadits dahulu”.[41]

    c)      Imam Shafi’i tidak mensyratakan suatu hadits itu harus mutawatir, tetapi cukup dengan sahih saja, bahkan beliau membantah secara keras orang-orang yang menolak hadits shohih dengan alasan bahwa derajatnya hanya ahad bukan mutawatir.

Demikianlah beberapa contoh pengagungan beliau terhadap sunnah Nabi dan peringatan keras beliau terhadap menolak Sunnah Nabi.

BAB III

PENUTUP

        A.      Kesimpulan

Dari penjelasan di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa Imam Shafi’i betul-betul layak dengan gelar “pembela hadis” karena pembelaanya kepada hadis Nabi dan bantahannya kepada para penghujat hadis. Dan beliau juga telah meletakkan kaidah-kaidah penting, seperti:

1.      Hadis adalah hujjah seperti halnya al-Qur’an

2.      Hadis Ahad adalah hujjah baik dalam aqidah maupun hukum

3.      Hadis tidak mungkin bertentangan dengan al-Qur’an

4.      Hadis harus lebih didahulukan daripada pendapat seorang.


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;


DAFTAR PUSTAKA

Abuzahu, M. al-Hadith wa al-Muhaddithun. Mesir: Mathba’ah Misr, t.th.

Arifin, Zainul. Studi Kitab Hadis. Surabaya: Tim Al-Muna, 2010.

al-Asqalaniy, Ahmad bin Ali bin hajar. Tahdhib al-Tahdhib. Juz IX Beirut: Dar al-Kutub, 1994.

Azra, Azyumardi. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005.

Basya,  Ahmad Taimur. Dabt al-A’lam. Madinah: Maktabah al-‘Ilm, 1992.

al-Baghdadi, Ajjaj al-Khathib. al-Faqih wa al-Mutafaqqih. juz 1 Mesir: Matbaah al-Misriyyah, 2002.

Ismail, M. Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang,1992.

Hajar, Ibnu. Mu’jam Al-Mushonnafat Al-Waridah fi Fathil Bari.  Mesir: Matbaah al-shuruq, 1994.

Husein, Abu Bakar. Tabaqat al-Shafi’iyyah. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah,1971.

al-Jibrin, Abd Allah. Akhbar al-Ahad fi al-Hadith al-Nabawi. Beirut:Dar al-Shuruq, 1996.

al-Munawar, Said Agil Husin. Mazhab Fikih’ dalam Ensiklopedi Tematis Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, t.th.

al-Nawawi, Abu Zakariya Yahya bin Syaraf. al-Taqrib wa al-Taysir li Ma’rifati Sunan al-Basyir al-Naz|ir fi Usuli al-Hadis. Cet. I Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1405 H / 1985 M.

al-Shalih, Subhi. Ulum al-Hadith wa Mustalahuhu. Beirut: Dar al-Malayin, 1997.

al-Syafi’i, Muhammad Ibn Idris. al-Risalah. Beirut: Dar al-Fikr, 1969.

al-Salah,  Ibnu. ‘Ulum al-Hadis. Cet. II  al-Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1872 M.

al-Thohan, Mahmud. Taisir Mustalah al-Hadith. Beirut: Dar al-kutub al-Islamiyyah, 2001, 23. 


[1] Said Agil Husin al-Munawar, Mazhab Fikih’ dalam Ensiklopedi Tematis Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, t.th), 235.

[2] Ibid .

[3] M. Abuzahu, al-Hadith wa al-Muhaddithun (Mesir: Mathba’ah Misr, t.th), 298.

[4] Ibid.

[5] Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005), 281.

[6] Ibid.

[7] Ibid.

[8] Azra, Ensiklopedi Islam..., 283.

[9] Ahmad bin Ali bin hajar al-Asqalaniy, Tahdhib al-Tahdhib, Juz IX (Beirut: Dar al-Kutub, 1994), 24.

[10] Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadith wa Mustalahuhu, (Beirut: Dar al-Malayin, 1997), 389.

[11]Ibid.

[12]Pengertian thiqah menurut ulama ilmu hadis adalah kriteria periwayat yang memiliki sifat adil dan dabit (kuat hafalannya). Keadilan berhubungan dengan kualitas pribadi, sedang dhabit berhubungan dengan kapasitas intelektual. Lihat M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang,1992), 66.

[13]al-Asqalaniy, Tahdhib al-Tahdhib..., 26.

[14]Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis (Surabaya: Tim Al-Muna, 2010), 74.

[15] Ibid., 76.

[16] al-Asqalaniy, Tahdhib al-Tahdhib..., 86.

[17] Ibid, 40.

[18] Demikian harokatnya yang benar, dengan memfathah mim, mengkasroh ro’ dan mensukun ya’: Ahmad Taimur Basya, Dabt al-A’lam (Madinah: Maktabah al-‘Ilm, 1992), 189.

[19] al-Baghdadi, Tarikh...,juz 7, 60.

[20] al-Qur’an, 4: 113.

[21]Muhammad Ibn Idris al-Syafi’i, al-Risalah (Beirut: Dar al-Fikr, 1969), 78.

[22]Ibid., 88-89.

[23]Hadis diriwayatkan oleh Abu Dawud pada Musnad Abi Daud hadis nomor: 4604 dan pada Musnad Ahmad bin Hanbal, nomor: 4/130–131. Hadits ini dishohihkan al-Albani dalam al-Misykah: 163 dan al-Hadith Hujjatun Binafsihi, 30.

[24] al-Syafi’i, al-Risalah..., 404.

[25] Mutawatir secara bahasa berurutan atau beriringan. Adapun secara istilah yaitu hadits yang diriwayatkan dari jalan yang sangat banyak sehingga mustahil kalau mereka bersepakat dalam kedustaan karena mengingat banyak jumlahnya dan keadilannya serta perbedaan tempat tinggalnya. Ahad secara bahasa satu  Adapun secara istilah yaitu hadits yang diriwayatkan dari satu jalan, dua atau lebih tetapi tidak mencapai derajat mutawatir. (Lihat  Abdullah al-Jibrin, Akhbar al-Ahad fi al-Hadith al-Nabawi (Beirut:Dar al-Shuruq, 1996), 40-48: Mahmud ath-Tahhan, Taisir Mustalah al-Hadith (Beirut: Dar al-kutub al-Islamiyyah, 2001), 23.

[26]Ibid., juz 2, 433-435.

[27]al-Shafi’i, al-Risalah..., 457.

[28]  Ibid.

[29] Ibid., 34-35.

[30] Ajjaj al-Khathib al-Baghdadi, al-Faqih wa al-Mutafaqqih, juz 1 (Mesir: Matbaah al-Misriyyah, 2002), 281.

[31] al-Qur’an, 4: 82.

[32] al-Shafi’i, al-Risalah..., 546.

[33] Ibid., Ikhtilaf al-Hadith, 59.

[34] Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, al-Taqrib wa al-Taysir li Ma’rifati Sunan al-Basyir al-Naz|ir fi Usuli al-Hadis, Cet. I (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1405 H / 1985 M),  25..

[35] Ibnu al-Salah (w.577 H / 1245 M), ‘Ulum al-Hadis , Cet. II ( al-Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1872 M), 10.

[36] al-Baghdadi, al-Faqih wa..., 389.

[37] al-Salah, Ulum al-Hadis..., 133.

[38] Ibid., 475.

[39] Ibnu Hajar, Mu’jam Al-Mushonnafat Al-Waridah fi Fathil Bari  (Mesir: Matbaah al-shuruq, 1994), 415.

[40] Ibid.

[41] Abu Bakar Husein, Tabaqat al-Shafi’iyyah (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah,1971), 81

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...