BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Salah satu
pilar utama dan landasan mendasar bagi manhaj salafi adalah perhatian terhadap
hadits Nabi, baik dari segi penelitian keshohihannya, mempelajari kandungan
maknanya, membelanya dari hujatan, mengamalkan kandungannya, dan menebarkannya
kepada khalayak manusia. Hal
itu merupakan tanda utama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Ahli Hadits, dan
Salafiyyun.
Tidak demikian halnya dengan
kelompok-kelompok lainnya. Kelompok-kelompok selain Ahlus Sunnah, mereka kurang
perhatian terhadap hadits Nabi sehingga tidak bisa membedakan mana hadits
yang shohih dan tidak. Bahkan terkadang mereka bersandar pada akal dan hawa
nafsunya. Lebih parah lagi, bahkan ada yang berani menggugat hadits
Nabi dan menentangnya.
Lalu, bagaimana peran Imam Shafi’i dalam hadits?! Sebenarnya itu
adalah masalah yang cukup populer dari imam yang mendapat gelar “pembela
hadits” ini, namun tidak mengapa jika kita tampilkan di sini beberapa sisi dan
bukti pembelaan dan pengagungan beliau terhadap hadits Nabi. Kami tekankan pula
di sini beberapa masalah yang merupakan kaidah dan prinsip dasar dalam memahami
dan membela hadits Nabi.
B.
Rumusan
Masalah
Dari Latar belakang di
atas, dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Biografi Imam Shafi’i
2.
Imam Shafi’i sebagai pembela hadis Nasir al-Sunnah
3.
Kedudukan hadis dalam pandangan Imam Shafi’i
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;
- PERKEMBANGAN HADIS PADA KE IV HIJRIYAH
- SUNAN ABU DAWUD
- PEMBUKUAN HADIS
- SEJARAH PENYUSUNAN KITAB SAHIH BUKHARI
- PERKEMBANGAN HADIS PADA MASA SAHABAT KECIL DAN TABI‘IN BESAR (40 H-AKHIR ABAD 1 H)
- SEJARAH PENYUSUNAN MUSNAD AHMAD BIN HANBAL
- PERKEMBANGAN HADIS PADA MASA KHULAFAUR RASYIDIN
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Imam Shafi’i
1. Nama dan Nasab Imam Shafi’i
Beliau adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin Uthman bin Shafi’i bin al-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin al-Muttalib bin Abdi Manaf bin Qusay al-Qurasyi al-Shafi’i al-Makki. Beliau bertemu nasabnya dengan Rasulullah pada Abdi Manaf bin Qusay, kakek Rasulullah yang ketiga.[1]
2. Kelahiran Imam Shafi’i
Beliau lahir pada tahun 150 H, yang merupakan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah. Imam Shafi’i dilahirkan di sebuah tempat bernama Gazzah di Asqalan. Ketika memasuki usia 2 tahun, ibunya membawanya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang terdiri dari orang-orang Yaman, karena ibunya dari suku Azdiyah.[2]
3. Pertumbuhan dan Kegiatan Imam Shafi’i dalam Mencari Ilmu
Beliau tumbuh di negeri Gazzah sebagai seorang yatim setelah ayahnya meninggal, sehingga berkumpullah pada dirinya kefakiran, keyatiman dan keterasingan dari keluarganya. Namun, kondisi tersebut tidak menjadikannya lemah dalam mengarungi kehidupan, setelah Allah memberinya taufiq untuk menempuh jalan yang benar[3].
Dengan kasih sayang, sang ibu membawanya ke tanah Hijaz, yaitu kota Makkah atau tempat dekat Makkah. Imam Shafi’i mulai menghafal al-Qur’an sehingga beliau menghafalnya secara sempurna pada usia 7 tahun. Setelah menghafal al-Qur’an, beliau hadir di masjid dan berkumpul bersama para ulama untuk menghafal hadis dan permasalahan agama. Beliau sangat tekun dalam belajar, sehingga beliau hafal al-Qur’an pada usia 7 tahun dan hafal kitab al-Muwatta’ karya Imam Malik pada usia 9 tahun. Pada saat berusia 18 tahun, beliau berfatwa setelah mendapat izin dari gurunya yang bernama Muslim bin Khalid al-Zanji. Walaupun berbahasa arab, beliau juga belajar bahasa Arab kepada suku Hudzail dan menghafal syair-syairnya.[4]
Setelah menghafal kitab al-Muwatta’, beliau pergi ke Madinah untuk berguru kepada Imam Malik. Tinggalnya beliau di Madinah tidak terus-menerus melainkan diselingi oleh kepulangannya ke Makkah untuk bertemu ibunya. Dalam kepulangannya, beliau menyempatkan diri untuk mendengar syair-syair suku Hudzail dan belajar kepada ulama Makkah. Beliau belajar di Madinah, sampai wafatnya Imam Malik pada tahun 179 H.[5]
Sekembalinya dari Madinah,
beliau sibuk dengan ilmunya. Sekalipun ia tidak mampu membeli kitab-kitab
karena miskin, namun karena kecintaannya terhadap ilmu sangat besar beliau
menulis ilmu-ilmu yang diperoleh pada sesuatu yang bisa ditulisi. Begitulah
sifat para ulama yang telah dianugerahi oleh Allah kenikmatan meraih ilmu.
Mereka tidak akan pernah puas dengan ilmu yang dimilikinya. Rasulullah pun telah
menyatakan hal itu dalam hadisnya:
مَنْهُوْمَانِ لَا يَشْبَعَانِ طَالِبُ اْلعِلْمِ وِ طَالِبُ دُنْيَا
Dua orang yang rakus yang tidak
pernah kenyang; yaitu: pencari ilmu dan pencari dunia.
Hausnya terhadap ilmu dan karena kemiskinan, beliau pun pergi ke Yaman untuk belajar sambil bekerja. Ketika prestasinya baik, beliau diberi pekerjaan tambahan, namun beliau senantiasa mencari celah untuh meraih ilmu hingga akhirnya mendapat fitnah yaitu berupa tuduhan dusta bahwa beliau memberontak kepada khalifah Harun al-Rasyid. Beliau di usir ke Irak dalam keadaan diikat dengan rantai, dan disiksa sepanjang perjalanan menuju Irak, hingga akhirnya Allah menyelamatkan dari fitnah tersebut. Beliau tinggal untuk sementara waktu di Irak untuk menuntut ilmu kepada para ulama yang ada di negara tersebut.[6]
Sepulangnya dari Irak, beliau mulai mengajar di Makkah tempatnya belajar dulu. Pada musim haji, beliau ditemui oleh banyak ulama’. Mereka kagum terhadap keluasan ilmunya dan kekuatannya dalam menggunakan dalil serta keteguhannya mengikuti sunnah, juga kedalamannya dalam ilmu fiqih dan istinbat penyimpulan hukum. Mereka juga kagum terhadap terhadap usul dan kaidah-kaidah fiqih yang telah dibuatnya berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah. Hingga hampir 9 tahun, Imam Shafi’i mengadakan majelis halaqah pengajian di Makkah, kemudian pergi ke Irak yang kedua kalinya pada tahun 195 H. Beliau tinggal di Baghdad selama 2 tahun, pergi ke Makkah lalu datang lagi pada tahun 198 H dan tinggal di sana selama beberapa bulan, setelah itu ia pergi ke Mesir.[7]
Kepergian beliau dari Irak untuk selamanya ini, karena terjadinya musibah yang menimpah pemerintah kaum muslimin, yaitu telah dikuasainya khalifah al-Ma’mun oleh ahli ilmu kalam sehingga tersebarlah bid’ah dan matilah sunnah. Sesampainya di negeri Mesir, beliau pergi ke masjid ‘Amr bin al-‘Ash dan untuk pertama kalinya beliau menyampaikan kajian di masjid tersebut. Beliau disibukkan oleh belajar, mengajar dan berdakwah di negeri Mesir sampai wafatnya.[8]
4. Guru dan Murid-murid Imam Shafi’i
Beliau mengambil banyak ilmu dari para ulama di berbagai tempat pada zamannya, di antaranya di Makkah, Madinah, Yaman, Kufah, Bashrah, Syam, dan Mesir. Sebagaimana hal itu telah disebutkan oleh al-Baihaqi, Ibnu Katsir, al-Mizzy, dan al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah. Di antara guru-guru Imam al-Shafi’i yang terkenal adalah Muslim bin Khalid al-Zanjiy, Malik bin Anas, Ibrahim bin Said, Said bin Salim al-Quddah, al-Darawardiy, Abd. Wahab as-Tsaqafiy, Ibnu Uyainah, Hatim bin Ismail, Ibrahim bin Muhammad bin Abiy Yahya, Ismail bin Ja’far, Muhammad ibnu Khalid al-Jundiy, Umar bin Muhammad bin aliy, Hisyam bin Yusuf al-Shan’aniy. Dalam mempelajari fiqih Imam al-Shafi’i belajar dari seorang ulama fiqih yang terkenal di Mekah, yaitu Muslim bin Khalid al-Zanjiy, sedang untuk mempelajari hadis Nabi, beliau berguru pada Malik bin Anas yang juga terkenal sebagai Imam Mazhab.[9]
Sedangkan untuk murid-muridnya
yang kemudian menyebarkan ajaran-ajaran beliau, diantara murid-muridnya yang
ternama adalah Sulaiman bin Daud al-Hasyimiy, Ahmad bin Hanbal yang dikenal
sebagai Imam Mazhab, Abd Allah bin Zubayr, al-Hamidiy, Abu Zaur Ibrahim bin
Khalid, Abu Ya’qub, Yusuf bin Yahya, Harmalah bin Yahya, al-Hasan bin Muhammad
al-Shabah, dan lain-lainnya.[10]
5. Karya Imam Shafi’i
Para ulama’ telah menyebutkan karya beliau yang tidak sedikit, di antaranya adalah: al-Umm, al-Risalah al-Jadidah, al-Musnad, Mihnatu al-Shafi’i, Ahkamu al-Qur’an dan lain sebagainya. Sebagian karya beliau hilang dan sebagian yang lain lagi dihimpun oleh beberapa orang dari kalangan al-Shafi’iyah ulama-ulama yang mengikuti Imam Shafi’i dalam ilmu fiqih. Kitab-kitab Imam al-Shafi’i tentang hadis adalah al-Umm, walaupun kitab tersebut bercorak fiqih, namun dapat dikatakan sebagai karya Imam al-Shafi’i di bidang hadis. hal ini di karenakan muatan-muatan kitabnya dilengkapi dengan sanad berbagai riwayat hadis secara lengkap.[11]
6. Pujian Ulama terhadap Imam Shafi’i
Banyak ulama yang memuji kecerdasan Imam al-Shafi’i. Abu Na’im berkata dan menyebut al-Shafi’i adalah pemuda yang cerdas, Harmalah berkata bahwa di Bagdad Ia digelari sebagai Nasir al-Hadith. ulama kritikus hadis sepakat bahwa Imam al-Shafi’i adalah periwayat hadis yang berkualitas thiqah[12]. Husain al-Karabisiy berkata bahwa tidak ada ulama yang mengerti benar tentang hadis kecuali Imam al-Shafi’i. al-Halim Berkata berkata bahwa pada hadis riwayat Imam al-Shafi’i tidak ada cacat dan illat, selanjutnya Abu Daud berkata bahwa pada hadis al-Shafi’i tidak ditemukan kesalahan periwayatan.[13]
7. Wafatnya Imam Shafi’i
Di akhir hayatnya, Imam Shafi’i sibuk berdakwah, menyebarkan ilmu, dan menulis. Beliau terkena
penyakit wasir yang menyebabkan keluarnya darah. Namun, penyakit tersebut tidak
menghalanginya dari melakukan pekerjaannya tersebut, karena kecintaan beliau
terhadap ilmu agama. Hal itu terjadi sampai beliau wafat pada akhir bulan Rajab
tahun 204 H.[14]
B.
Imam Shafi’i Pembela Hadis Nabi Nasir al-Sunnah
Sesungguhnya membela hadis Nabi
merupakan suatu amalan yang amat mulia dan utama. Oleh karenanya, tidak heran
bila para ulama menilainya sebagai jihad fi sabilillah. Imam Yahya bin
Yahya rahimahullah pernah
mengatakan:
الذَّبُّ عَنِ السُّنَّةِ أَفْضَلُ
مِنَ الْجِهَادِ
Membela sunnah lebih utama daripada
jihad.[15]
Dan Imam Shafi’i termasuk dalam
barisan para pembela hadis Nabi sehingga beliau mendapat gelar dari para
ulama semasa beliau dengan “Nasir al-Sunnah” pembela hadis Nabi. Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Semoga Allah merahmati Shafi’i, dia telah membela hadis-hadis Rasulullah .”[16]
Imam Shafi’i rahimahullah berkata:
سُمِّيْتُ بِمَكَّةَ نَاصِرَ
الْحَدِيْثِ
Di Makkah saya digelari sebagai pembela hadis.[17]
سُمِّيْتُ بِبَغْدَادَ نَاصِرَ
الْحَدِيْثِ
Di Baghdad saya digelari sebagai pembela hadis.
Sikap sangat menarik dan menakjubkan yang menunjukkan pengagungan Imam Shafi’i
terhadap hadis dan sikap beliau terhadap orang yang menolak hadis adalah kisah
laporan beliau kepada al-Qadhi Abu al-Bakhtari tentang Bishr al-Marrisi[18] karena dia telah menolak hadis Rasulullah. Imam
Shafi’i rahimahullah bercerita:
“Saya pernah berdebat dengan al-Marrisi tentang undian, lalu dia mengatakan
bahwa undian adalah perjudian!! Maka saya datang kepada Abu al-Bakhtari seraya
aku katakan kepadanya, ‘Aku mendengar al-Marrisi mengatakan bahwa undian adalah
perjudian’ Lalu dia Abu al-Bakhtari mengatakan, ‘Wahai Abu Abdillah kunyah Imam
Shafi’i, datangkanlah saksi lainnya niscaya saya akan membunuhnya.’ Dalam
lafazh lainnya, ‘Datangkanlah saksi lainnya, niscaya saya akan mengangkatnya di
atas pohon lalu menyalibnya”.[19]
C. KEDUDUKAN HADIS DALAM PANDANGAN IMAM SHAFI’I
Seperti yang kita pelajari bahwasanya
Allah menurunkan dua wahyu berupa al-Qur’an
dan al-Hikmah kepada Rasul-Nya
dan mewajibkan seluruh hamba mengimani keduanya dan mengamalkan kandungannya.
Allah berfirman:
وَأَنزَلَ ٱللَّهُ عَلَيْكَ
ٱلْكِتَـٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ
Dan Allah telah menurunkan kitab dan hikmah
kepadamu.[20]
Menurut kesepakatan ulama salaf, yang dimaksud “kitab” ialah al-Qur’an,
sedang “hikmah” adalah sunnah Nabi . Imam Shafi’i rahimahullah berkata:
فَذَكَرَ اللهُ الْكِتَابَ وَهُوَ
الْقُرْآنُ وَذَكَرَ الْحِكْمَةَ فَسَمِعْتُ مَنْ أَرْضَى مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ
بِالْقُرْآنِ يَقُوْلُ الْحِكْمَةُ سُنَّةُ رَسُوْلِ اللهِ
Allah menyebut al-Kitab yaitu al-Qur’an
dan mengiringinya dengan al-hikmah. Saya mendengarkan orang-orang yang saya
ridhoi dari para ahli ilmu tentang al-Qur’an, mereka mengatakan bahwa maksud
al-Hikmah adalah sunnah Rasululloh .[21]
1.
Imam Shafi’i Membantah
Para Pengingkar Hadis
Imam Shafi’i telah membantah secara tuntas para
pengingkar sunnah yang hanya mencukupkan diri dengan al-Qur’an saja tanpa hadis.
Beliau berdialog dengan mereka dengan hujjah-hujjah yang kuat. Banyak sekali
ucapan beliau dalam masalah ini, tetapi kita nukil beberapa saja di sini.
وَكُلُّ
مَا سَنَّ فَقَدْ أَلْزَمَنَا اللهُ اتِّبَاعَهُ وَجَعَلَ فِي اتِّبَاعِهِ
طَاعَتَهُ, وَفِي الْعُنُوْدِ عَنِ اتِّبَاعِهَا مَعْصِيَتَهُ الَّتِيْ لَمْ
يَعْذِرْ بِهَا خَلْقًا, وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ مِن اتِّبَاعِ سُنَنِ رَسُوْلِ
اللهِ مَخْرَجًا لِمَا وَصَفْتُ وَمَا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
Setiap apa yang dicontohkan oleh Nabi maka
Allah mewajibkan kita untuk mengikutinya dan menjadikan hal itu
sebagai ketaatan, dan Allah menjadikan sikap menyimpang dan
tidak mengikutinya sebagai kemaksiatan yang Allah
tidak memberikan udzur kepada makhluk, dan Allah
tidak menjadikan jalan keluar dari mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah , sebagaimana telah saya jelaskan
dan sebagaimana sabda Nabi .[22]
Lalu beliau membawakan sebuah hadis
Abu Rofi’ r.a:
لاَ
أَلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيْكَتِهِ يَأْتِيْهِ الأَمْرُ مِنْ
أَمْرِيْ مِمَّا أَمَرْتُ بِهِ أَوْ نَهَيْتُ عَنْهُ فَيَقُوْلُ لاَ أَدْرِيْ مَا
وَجَدْنَا فِيْ كِتَابِ اللهِ اتَّبَعْنَاهُ
Hampir saja saya mendapati salah seorang di antara kalian
duduk seraya bersandar di atas ranjang hiasnya tatkala datangnya kepadanya
perintah atau larangan dariku lalu dia berkomentar, ‘Saya tidak tahu, apa yang
kami jumpai dalam al-Qur’an maka kami mengikutinya.[23]
Beliau berkomentar tentang hadis di
atas:
وَفِيْ
هَذَا تَثْبِيْتُ الْخَبَرِ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ وَإِعْلاَمُهُمْ أَنَّهُ لاَزِمٌ
لَهُمْ وَإِنْ لَمْ يَجِدُوْا لَهُ نَصَّ حُكْمٍ فِيْ كِتَابِ اللهِ
Dalam hadis ini terdapat penjelasan tentang hujjahnya hadis dari Rasulullah dan penjelasan kepada hamba
bahwa wajib bagi mereka mengikuti hadis sekalipun mereka tidak mendapati nas
hukumnya dalam Kitabullah al-Qur’an.[24]
Imam al-Baihaqi r.a berkata,
“Inilah kabar Rasulullah tentang ingkarnya para ahli bid’ah terhadap
hadis beliau. Sungguh apa yang beliau sampaikan telah nyata terjadi.”
2.
Hadis Ahad Hujjah Menurut Imam Shafi’i
Masalah ini
telah dibahas tuntas dan panjang lebar oleh Imam Shafi’i dalam banyak kesempatan. Imam Ibn al-Qoyyim
berkata: “Kelompok ketiga mengatakan: “Kami menerima hadis-hadis Nabi yang
mutawatir[25] dan
kami menolak hadis-hadis ahad, baik berupa ilmu maupun
amal. Shafi’i telah berdialog dengan
sebagian manusia pada zamannya tentang masalah ini, kemudian Shafi’i mematahkan syubhat kerancuan
lawannya dan menegakkan hujjah-hujjah kepadanya. Shafi’i membuat satu bab yang panjang tentang wajibnya menerima hadis ahad.
Tidaklah beliau dan seorangpun dari ahli hadis membedakan antara hadis masalah
ahkam hukum dan sifat aqidah. Paham pembedaan seperti tidaklah dikenal dari
seorangpun dari sahabat dan satupun dari tabi’in dan tabi’ut tabi’in maupun
seorangpun dari kalangan imam Islam. Paham ini hanyalah dikenal dari para
gembong Ahli bid’ah beserta cucu-cucunya.[26]
Di antara
kata mutiara Imam Shafi’i tentang
masalah ini adalah nukilan beliau tentang ijma’ ulama akan hujjahnya hadis ahad
apabila shohih dari Nabi, beliau berkata:
لَمْ أَحْفَظْ عَنْ
فُقَهَاءِ الْمُسْلِمِيْنَ أَنَّهُمْ اخْتَلَفُوْا فِيْ تَثْبِيْتِ خَبَرِ
الْوَاحِد
Saya tidak mendapati perselisihan
pendapat di kalangan ahli ilmu tentang menerima hadits ahad.[27]
Imam Ibnu Abd al-Barr berkata: “Ahli ilmu dari kalangan pakar fiqih dan
hadis di setiap negeri telah bersepakat
untuk menerima hadis ahad dan mengamalkannya. Inilah
keyakinan seluruh ahli ilmu pada setiap masa semenjak masa sahabat
hingga saat ini kecuali kelompok khowarij dan ahli bid’ah yang perselisihan
mereka tidaklah dianggap”.[28]
Imam Abu Mudoffar
as-Sam’ani berkata: “Sesungguhnya suatu hadis apabila telah Shohih dari Rasulullah maka
dia mengandung ilmu. Inilah perkataan seluruh ahli hadis dan sunnah. Adapun paham
yang menyatakan bahwa hadis ahad tidak mengandung ilmu dan harus berderajat
mutawatir, maka paham ini hanyalah
dibuat-buat oleh kaum Qodariyah dan Mu’tazilah dengan bertujuan
menolak hadis Nabi. Paham ini kemudian diusung oleh orang-orang belakangan yang
tidak berilmu mantap dan tidak mengetahui tujuan paham ini. Seandainya setiap
kelompok mau adil, sungguh mereka akan menetapkan bahwa hadis ahad mengandung
ilmu karena engkau lihat sekalipun keadaan mereka yang compang-camping dan
beragam aqidah mereka, namun setiap kelompok dari mereka berhujjah dengan hadis
ahad untuk menguatkan pahamnya masing-masing”.[29]
Imam Ibn al-Qas al-Shafi’i berkata: “Sesungguhnya ahli kalam
filsafat itu menolak hadis ahad disebabkan lemahnya dia tentang ilmu hadis. Dia
menganggap dirinya tidak menerima hadis kecuali yang mutawatir berupa khabar
yang tidak mungkin salah atau lupa. Hal ini menurut kami adalah sumber untuk menggugurkan
sunnah Nabi.” [30]
3.
Tidak Mungkin Al-Qur’an Bertentangan
Dengan Hadis
Harus kita
yakini bahwa dalil-dalil dari al-Qur’an dan hadis yang shahih tidaklah saling
bertentangan sama sekali karena keduanya dari Allah. Allah berfirman:
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ
الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفاً
كَثِيرا
Maka apakah mereka tidak
memperhatikan al-Qur’an? Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah,
tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. [31]
Inilah yang
ditegaskan oleh Imam Shafi’i tatkala
berkata:
وَلاَ تَكُوْنُ سُنَّةٌ
أَبَدًا تُخَالِفُ الْقُرْآنَ
Tidak mungkin sunnah Nabi Muhammad menyelisihi
Kitabullah sama sekali.[32]
Bahkan
beliau menilai ucapan seseorang bahwa “hadis apabila menyelisihi tekstual
al-Qur’an adalah suatu kejahilan”.[33]
4.
Apabila Hadis Bertentangan dengan
Pendapat
Imam Shafi’i telah berwasiat emas kepada kita
semua apabila ada hadis yang bertentangan dengan pendapat kita, maka hendaknya
kita mendahulukan hadis dan berani meralat pendapat kita.
Imam Ibnu
Rojab berkata: “Adalah Imam Shafi’i sangat
keras dalam hal ini, beliau selalu mewasiatkan kepada para pengikutnya untuk
mengikuti kebenaran apabila telah nampak kepada mereka dan memerintahkan untuk
menerima sunnah apabila datang kepada mereka sekalipun menyelisihi pendapat
beliau”.[34]
Syaikh Jamal al-Din al-Qasimi juga berkata: “Imam Shafi’i sangat mengangungkan Sunnah, mendahulukan sunnah daripada akal, kapan saja
sampai kepada beliau sebuah hadis maka beliau tidak melampui kandungan hadis
tersebut”.[35]
Rabi’ salah seorang murid senior Shafi’i berkata: “Saya pernah mendengar Imam Shafi’i meriwayatkan suatu hadis, lalu ada seorang yang hadir bertanya kepada
beliau: “Apakah engkau berpendapat dengan hadis ini wahai Abu Abd Allah? Beliau
menjawab:
مَتَى رَوَيْتُ عَنْ
رَسُوْلِ اللهِ حَدِيْثًا صَحِيْحًا وَلَمْ آخُذْ بِهِ، فَأُشْهِدُكُمْ أَنَّ
عَقْلِيْ قَدْ ذَهَبَ
Kapan saja saya meriwayatkan sebuah hadis
shohih dari Rasulullah kemudian saya tidak mengambilnya, maka saksikanlah dan
sekalian jama’ah bahwa akalku telah hilang.[36]
Imam Shafi’i juga
berkata:
يَا ابْنَ أَسَدٍ اقْضِ
عَلَيَّ حَيِيْتُ أَوْ مِتُّ أَنَّ كُلَّ حَدِيْثٍ يَصِحُّ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ
فَإِنِّيْ أَقُوْلُ بِهِ وَإِنْ لَمْ يَبْلُغْنِيْ
Wahai Ibnu Asad, putuskanlah atasku,
baik aku masih hidup atau setelah wafat bahwa setiap hadis yang shahih dari
Rasulullah, maka sesungguhnya itulah pendapatku sekalipun hadis tersebut belum
sampai kepadaku.[37]
al-Humaidi salah seorang murid Shafi’i berkata: “Suatu kali Imam Shafi’i meriwayatkan
suatu hadis, lalu saya bertanya kepada beliau: Apakah engkau berpendapat dengan
hadits tersebut? Maka beliau menjawab
رَأَيْتَنِيْ خَرَجْتُ
مِنْ كَنِيْسَةٍ، أَوْ عَلَيَّ زُنَّارٌ، حَتَّى إِذَا سَمِعْتُ عَنْ رَسُوْلِ
اللهِ صلى الله عليه وسلم حَدِيْثًا لاَ أَقُوْلُ بِهِ وَلاَ أُقَوِّيْهِ؟
Apakah kamu melihatku keluar dari gereja atau
memakai pakaian para pendeta sehingga bila aku mendengar sebuah hadis
Rasulullah, aku tidak berpendapat dengan hadis tersebut dan tidak mendukungnya.[38]
Ucapan emas dan berharga
ini memberikan beberapa faedah kepada kita:
a)
Madzhab Imam Shafi’i dan pendapat beliau adalah berputar
bersama hadis Nabi. Oleh karena itu, seringkali beliau menggantungkan pendapatnya
dengan shahihnya suatu hadis seperti ucapannya “Apabila hadis Dhuba’ah sahih maka aku bependapat dengannya”, “Apabila hadis tentang anjuran mandi
setelah memandikan mayit sahih maka aku berpendapat dengannya” dan
banyak lagi lainnya sehingga dikumpulkan oleh al-Hafizh Ibn
Hajar al-Asqalani dalam kitab berjudul al-Minhah fima ‘Allaqa al-Shafi’i al-Qaula fihi ‘ala Sihhah.[39]
b)
Hadis yang lemah dan palsu bukanlah
madzhab Imam Shafi’i, karena
beliau mensyaratkan shohih.
Imam Nawawi berkata menjelaskan keadaan Imam Shafi’i: “Beliau sangat berpegang teguh
dengan hadis shahih dan berpaling dari hadis-hadis palsu dan lemah. Kami tidak
mendapati seorangpun dari fuqoha’ yang perhatian dalam berhujjah dalam memilah
antara hadits shohih dan dho’if seperti perhatian beliau. Hal ini sangatlah
nampak sekali dalam kitab-kitabnya, sekalipun kebanyakan sahabat kami tidak
menempuh metode beliau”.[40]
al-Hafizh al-Baihaqi juga
berkata setelah menyebutkan beberapa contoh kehati-hatian beliau dalam menerima
riwayat hadits: “Madzhab beliau ini sesuai dengan madzhab para ulama ahli
hadits dahulu”.[41]
c)
Imam Shafi’i tidak mensyratakan suatu hadits
itu harus mutawatir, tetapi cukup dengan sahih saja, bahkan beliau membantah secara keras orang-orang yang menolak hadits
shohih dengan alasan bahwa derajatnya hanya ahad bukan mutawatir.
Demikianlah beberapa contoh pengagungan beliau terhadap sunnah Nabi dan peringatan keras beliau terhadap menolak Sunnah Nabi.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat kita
tarik kesimpulan bahwa Imam Shafi’i betul-betul layak dengan gelar “pembela hadis” karena
pembelaanya kepada hadis Nabi dan bantahannya kepada para penghujat hadis. Dan
beliau juga telah meletakkan kaidah-kaidah penting, seperti:
1. Hadis adalah hujjah seperti
halnya al-Qur’an
2. Hadis Ahad adalah hujjah baik dalam aqidah maupun hukum
3. Hadis tidak mungkin bertentangan
dengan al-Qur’an
4. Hadis harus lebih didahulukan daripada pendapat seorang.
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;
- PANDANGAN IMAM SHAFI'I TERHADAP HADIS
- HADIS PADA MASA RASULULLAH
- IMAM MALIK IBN ANAS DAN KITAB AL-MUWATTA’
- SUNNAH ANTARA WAHYU ILAHI DAN IJTIHAD NABI SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP TASYRI’
- PEMIKIRAN K. H. MUHAMMAD AHMAD SAHAL MAHFUZ AL-HAJINI TENTANG HADIS
- MUHAMMAD NASIR AL-DIN AL-ALBANI
- KAJIAN HADIS DI INDIA
- STUDI KRITIS PEMIKIRAN IBN HAJAR AL-‘ASQALANI DALAM KAJIAN ILMU HADIS
- IMAM NAWAWI
- HADIS DALAM PANDANGAN SYAIKH NAWAWI AL-BANTANI
DAFTAR
PUSTAKA
Abuzahu, M. al-Hadith wa al-Muhaddithun. Mesir:
Mathba’ah Misr, t.th.
Arifin, Zainul. Studi Kitab Hadis. Surabaya: Tim
Al-Muna, 2010.
al-Asqalaniy, Ahmad
bin Ali bin hajar. Tahdhib al-Tahdhib. Juz IX Beirut: Dar al-Kutub, 1994.
Azra, Azyumardi. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru
van Hoeve, 2005.
Basya, Ahmad
Taimur. Dabt al-A’lam. Madinah: Maktabah al-‘Ilm, 1992.
al-Baghdadi, Ajjaj al-Khathib. al-Faqih
wa al-Mutafaqqih. juz 1 Mesir: Matbaah al-Misriyyah, 2002.
Ismail, M. Syuhudi. Metodologi
Penelitian Hadis Nabi. Jakarta:
Bulan Bintang,1992.
Hajar, Ibnu. Mu’jam
Al-Mushonnafat Al-Waridah fi Fathil Bari. Mesir: Matbaah al-shuruq,
1994.
Husein, Abu Bakar. Tabaqat al-Shafi’iyyah. Beirut: Dar
al-Afaq al-Jadidah,1971.
al-Jibrin, Abd Allah. Akhbar al-Ahad fi al-Hadith al-Nabawi. Beirut:Dar al-Shuruq, 1996.
al-Munawar, Said
Agil Husin. Mazhab Fikih’ dalam
Ensiklopedi Tematis Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, t.th.
al-Nawawi, Abu Zakariya Yahya bin Syaraf. al-Taqrib wa
al-Taysir li Ma’rifati Sunan al-Basyir al-Naz|ir fi Usuli al-Hadis. Cet. I Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1405 H / 1985 M.
al-Shalih, Subhi. ‘Ulum al-Hadith wa Mustalahuhu.
Beirut: Dar al-Malayin, 1997.
al-Syafi’i, Muhammad Ibn Idris.
al-Risalah. Beirut: Dar al-Fikr, 1969.
al-Salah, Ibnu. ‘Ulum
al-Hadis. Cet. II al-Madinah
al-Munawwarah: Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1872 M.
al-Thohan, Mahmud. Taisir Mustalah al-Hadith. Beirut: Dar al-kutub
al-Islamiyyah, 2001, 23.
[1] Said Agil
Husin al-Munawar, Mazhab Fikih’ dalam
Ensiklopedi Tematis Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, t.th), 235.
[2] Ibid .
[3] M. Abuzahu, al-Hadith
wa al-Muhaddithun (Mesir:
Mathba’ah Misr, t.th), 298.
[4] Ibid.
[5] Azyumardi
Azra, Ensiklopedi Islam (Jakarta:
Ichtiar Baru van Hoeve, 2005), 281.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Azra, Ensiklopedi Islam...,
283.
[9] Ahmad bin Ali bin
hajar al-Asqalaniy, Tahdhib al-Tahdhib, Juz IX (Beirut: Dar
al-Kutub, 1994), 24.
[10] Subhi al-Shalih, ‘Ulum
al-Hadith wa
Mustalahuhu,
(Beirut: Dar al-Malayin, 1997), 389.
[11]Ibid.
[12]Pengertian thiqah menurut ulama ilmu hadis adalah kriteria
periwayat yang memiliki sifat adil dan dabit (kuat hafalannya). Keadilan berhubungan
dengan kualitas pribadi, sedang dhabit berhubungan dengan kapasitas
intelektual. Lihat M. Syuhudi Ismail, Metodologi
Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang,1992), 66.
[13]al-Asqalaniy, Tahdhib al-Tahdhib..., 26.
[14]Zainul
Arifin, Studi Kitab Hadis (Surabaya:
Tim Al-Muna, 2010), 74.
[15] Ibid., 76.
[16] al-Asqalaniy, Tahdhib al-Tahdhib..., 86.
[17] Ibid, 40.
[18] Demikian harokatnya yang benar, dengan memfathah mim, mengkasroh
ro’ dan mensukun ya’: Ahmad Taimur Basya, Dabt al-A’lam (Madinah: Maktabah al-‘Ilm, 1992), 189.
[19] al-Baghdadi, Tarikh...,juz 7, 60.
[20]
al-Qur’an, 4: 113.
[21]Muhammad Ibn
Idris al-Syafi’i, al-Risalah (Beirut: Dar al-Fikr, 1969), 78.
[22]Ibid.,
88-89.
[23]Hadis diriwayatkan oleh
Abu Dawud pada Musnad
Abi Daud hadis nomor: 4604 dan pada Musnad Ahmad bin Hanbal, nomor:
4/130–131. Hadits ini dishohihkan al-Albani dalam al-Misykah: 163
dan al-Hadith
Hujjatun Binafsihi, 30.
[24] al-Syafi’i, al-Risalah..., 404.
[25] Mutawatir secara bahasa berurutan atau beriringan. Adapun secara istilah
yaitu hadits yang diriwayatkan dari jalan yang sangat banyak sehingga mustahil
kalau mereka bersepakat dalam kedustaan karena mengingat banyak jumlahnya dan
keadilannya serta perbedaan tempat tinggalnya. Ahad secara bahasa satu
Adapun secara istilah yaitu hadits yang diriwayatkan dari satu jalan, dua atau
lebih tetapi tidak mencapai derajat mutawatir. (Lihat Abdullah
al-Jibrin, Akhbar al-Ahad fi al-Hadith al-Nabawi (Beirut:Dar
al-Shuruq, 1996), 40-48: Mahmud ath-Tahhan, Taisir Mustalah al-Hadith (Beirut: Dar al-kutub
al-Islamiyyah, 2001), 23.
[26]Ibid., juz
2, 433-435.
[27]al-Shafi’i,
al-Risalah..., 457.
[28] Ibid.
[29] Ibid., 34-35.
[30] Ajjaj
al-Khathib al-Baghdadi, al-Faqih wa al-Mutafaqqih, juz 1 (Mesir: Matbaah
al-Misriyyah, 2002), 281.
[31]
al-Qur’an, 4: 82.
[32] al-Shafi’i, al-Risalah..., 546.
[33] Ibid., Ikhtilaf al-Hadith, 59.
[34] Abu
Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, al-Taqrib wa al-Taysir li Ma’rifati
Sunan al-Basyir al-Naz|ir fi Usuli al-Hadis, Cet. I (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Arabi, 1405 H / 1985 M), 25..
[35] Ibnu
al-Salah (w.577 H / 1245 M), ‘Ulum al-Hadis , Cet. II ( al-Madinah
al-Munawwarah: Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1872 M), 10.
[36] al-Baghdadi, al-Faqih wa..., 389.
[37] al-Salah,
Ulum al-Hadis..., 133.
[38] Ibid., 475.
[39] Ibnu Hajar, Mu’jam Al-Mushonnafat Al-Waridah fi Fathil Bari
(Mesir: Matbaah
al-shuruq, 1994), 415.
[40] Ibid.
[41] Abu Bakar Husein, Tabaqat al-Shafi’iyyah (Beirut: Dar
al-Afaq al-Jadidah,1971), 81
Tidak ada komentar:
Posting Komentar