HOME

28 April, 2022

Muhammad Hasyim Asy'ari

 


Hadratussyaikh Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy'ari adalah seorang ulama besar bergelar pahlawan nasional dan merupakan pendiri sekaligus Rais Akbar (pimpinan tertinggi pertama) Nahdlatul Ulama. Beliau memiliki julukan Hadratussyaikh yang berarti Maha Guru dan telah hafal Kutubus Sittah (Hadits 6 Riwayat), serta memiliki gelar Syaikhul Masyayikh yang berarti Gurunya Para Guru.[1] Beliau adalah putra dari pasangan KH. Asy'ari dengan Nyai Halimah, dilahirkan di Desa Tambakrejo, Jombang, Jawa Timur, dan memiliki anak bernama KH. A Wahid Hasyim yang merupakan salah satu pahlawan nasional perumus Piagam Jakarta, serta cucunya yakni KH. Abdurrahman Wahid, merupakan Presiden RI ke-4.

 

Keluarga

Sejak masa kecil, Kiai Hasyim Asy'ari hidup dalam lingkungan pesantren dan bahkan ayah beliau adalah pendiri pesantren yang masih populer hingga saat ini yakni Pesantren Keras, Diwek, Jombang. Sedangkan kakeknya dari jalur ibu (Kiai Utsman) dikenal sebagai pendiri Pesantren Gedang, dan kakek ibunya yang bernama Kiai Shihah dikenal luas sebagai pendiri dan pengasuh Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang.

Pada umur lima tahun Kiai Hasyim berpindah dari Gedang ke desa Keras, sebuah desa di sebelah selatan kota Jombang karena mengikuti ayah dan ibunya yang sedang membangun pesantren baru. Di sini, Kiai Hasyim menghabiskan masa kecilnya hingga berumur 15 tahun, sebelum akhirnya, meninggalkan Keras dan menjelajahi berbagai pesantren ternama saat itu hingga ke Makkah.

Kiai Hasyim menikah dengan Nyai Nafisah, salah seorang putri Kiai Ya’qub (Siwalanpanji, Buduran, Sidoarjo) pada tahun 1892 M. Tidak lama kemudian, Kiai Hasyim bersama istri dan mertuanya berangkat ke Makkah guna menunaikan ibadah haji. Bersama Nyai Nafisah, Kiai Hasyim melanjutkan tinggal di Makkah untuk menuntut ilmu. Tujuh bulan kemudian, Nyai Nafisah menninggal dunia setelah melahirkan seorang putra bernama 'Abdullah dan 40 hari kemudian, Abdullah menyusul ibu ke rahmatullah. Kematian dua orang yang sangat dicintainya itu, membuat Kiai Hasyim sangat terpukul. Kiai Hasyim akhirnya memutuskan tidak berlama-lama di Tanah Suci dan kembali ke Indonesia setahun kemudian.

Setelah beliau menduda, Kiai Hasyim menikah lagi dengan seorang gadis anak Kiai Romli dari desa Karangkates, Mojo, Kediri bernama Nyai Khadijah. Pernikahannya dilakukan sekembalinya dari Makkah pada tahun 1899 M. Pernikahannya dengan istri kedua juga tidak bertahan lama, karena dua tahun kemudian (1901), Nyai Khadijah wafat.

Untuk ketiga kalinya, Kiai Hasyim menikah lagi dengan perempuan nama Nyai Nafiqah, anak Kiai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan, Dagangan, Madiun dan dianugerahi 10 anak, yaitu: Hannah, Khoiriyah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid, Abdul Hakim, Abdul Karim, Ubaidillah, Mashurah, dan Muhammad Yusuf. Perkawinan Kiai Hasyim dengan Nyai Nafiqah juga berhenti di tengah jalan, karena Nyai Nafiqah wafat pada tahun 1920 M.

Sepeninggal Nyai Nafiqah, Kiai Hasyim memutuskan menikah lagi dengan Nyai Masrurah, putri Kiai Hasan yang juga pengasuh Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari hasil perkawinan keempatnya ini, Kiai Hasyim memiliki empat orang anak: Abdul Qadir, Fatimah, Khadijah, dan Muhammad Ya’qub. Perkawinan dengan Nyai Masrurah ini merupakan perkawinan terakhir bagi Kiai Hsyim hingga akhir hayatnya.

 

Pendidikan

KH. Hasyim Asy'ari dikenal sebagai tokoh yang haus akan pengetahuan agama Islam. Sejak masa kecilnya, Kiai Hasyim pergi menimba ilmu ke berbagai pondok pesantren terkenal di Jawa Timur saat itu. Tidak hanya itu, Kiai Hasyim juga menghabiskan waktu cukup lama untuk mendalami Islam di tanah suci (Makkah dan Madinah).

Karena berlatarbelakang keluarga pesantren, Kiai Hasyim secara serius dididik dan dibimbing mendalami pengetahuan Islam oleh ayahnya sendiri dalam jangka yang cukup lama yakni sejak anak-anak hingga berumur lima belas tahun. Melalu ayahnya, Kiai Hasyim mulai mengenal dan mendalami Tauhid, Tafsir, Hadits, Bahasa Arab, dan bidang kajian islam lainnya. Dalam bimbingan ayahnya, kecerdasan Kiai Hasyim cukup menonjol. Belum genap berumur 13 tahun, Kiai Hasyim telah mampu menguasai berbagai bidang kajian islam dan dipercaya membantu ayahnya mengajar santri yang lebih senior.

Belum puas atas pengetahuan yang didapatkan dari ayahnya, Kiai Hasyim mulai menjelajahi beberapa pesantren. Mula-mula, Kiai Hasyim belajar di pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian berpindah ke Pesantren Langitan, Tuban. Merasa belum cukup, Kiai Hasyim melanjutkan pengembaraan ilmunya ke Pesantren Tenggilis, Surabaya, dan kemudian berpindah ke Pesantren Kademangan, Bangkalan yang saat itu diasuh oleh Kiai Kholil. Setelah dari pesantren Kiai Kholil, Kiai Hasyim melanjutkan di Pesantren Siwalanpanji, Buduran, Sidoarjo yang diasuh oleh Kiai Ya’qub. Selama 3 tahun Kiai Hasyim berhasil mendalami berbagai bidang kajian islam, terutama tata bahasa arab, sastra, fiqh, dan tasawuf kepada Kiai Kholil. Sementara di bawah bimbingan Kiai Ya’qub, beliau berhasil mendalami ilmu tauhid, fiqih, Adab, tafsir, dan hadits.

Atas nasehat dan saran Kiai Ya’qub, Kiai Hasyim akhirnya meninggalkan tanah air untuk berguru pada ulama-ulama masyhur di Makkah sambil menunaikan ibadah haji untuk kali kedua. Di Makkah, Kiai Hasyim berguru pada Syaikh Ahmad Amin al-Attar, Sayyid Sultan bin Hasyim, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Attas, Syaikh Sa’id al-Yamani, Sayyid Alawi bin Ahmad al-Saqaf, Sayyid 'Abbas Maliki, Sayyid Abdullah al-Zawawi, Syaikh Salih Bafadal, dan Syaikh Sultan Hasim Dagastana, Syaikh Shuayb bin Abd al-Rahman, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Rahmatullah, Sayyid Alwi al-Saqaf, Sayyid Abu Bakr Shata al-Dimyati, dan Sayyid Husayn al-Habshi yang saat itu menjadi mufti di Makkah. Selain itu, Kiai Hasyim juga menimba pengetahuan dari Syaikh Ahmad Khatib Minangkabawi, Syaikh Nawawi al-Bantani, dan Syaikh Mahfuz al-Tarmas.

 

Presatasi belajar Kiai Hasyim yang menonjol, membuatnya kemudian juga memperoleh kepercayaan untuk mengajar di Masjidil Haram. Beberapa ulama terkenal dari berbagai negara tercatat pernah belajar kepadanya. Di antaranya ialah Syaikh Sa’dullah al-Maimani, Syaikh Umar Hamdan, Syekh Shihan Ahmad bin Abdullah, KH. Abdul Wahab Hasbullah (Tambakberas, Jombang), KH. R. Asnawi (Kudus), KH. Dahlan (Kudus), KH. Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), dan KH. Saleh (Tayu).

Sejak masih di Makkah, Kiai Hasyim sudah memiliki ketertarikan tersendiri dengan thariqah. Bahkan beliau juga sempat mempelajari dan mendapat ijazah tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah melalui salah melalui salah satu gurunya yakni Syaikh Mahfuz al-Tarmas.

 

Mendirikan NU

Terbentuknya Nahdlatul Ulama sebagai wadah Ahlussunnah wal Jama’ah bukan semata-mata karena KH. Hasyim Asy’ari dan ulama-ulama lainnya ingin melakukan inovasi, namun memang kondisi pada waktu itu sudah sampai pada kondisi genting dan wajib mendirikan sebuah wadah. Di mana saat itu, di Timur Tengah telah terjadi momentum besar yang dapat mengancam kelestarian Ahlussunnah wal Jama’ah terkait penghapusan sistem khalifah oleh Republik Turki Modern dan ditambah berkuasanya rezim Mazhab Wahabi di Arab Saudi yang sama sekali menutup pintu untuk berkembangnya mazhab lain di tanah Arab saat itu. Menjelang berdirinya NU, beberapa ulama masyhur berkumpul di Masjidil Haram dan sangat mendesak berdirinya orgasnisasi untuk menjaga kelestarian Ahlussunnah wal Jama’ah.[2]

Setelah melakukan istikharah, para ulama di Arab Saudi mengirimkan sebuah pesan kepada KH. Hasyim Asy’ari untuk sowan kepada dua ulama besar di Indonesia saat itu, apabila dua ulama besar ini merestui, maka akan sesegera mungkin dilakukan tindak lanjut, dua orang itu adalah Habib Hasyim, Pekalongan dan Syaikhona Kholil, Bangkalan. Maka KH Hasyim Asy’ari dengan didampingi Kiai Yasin, Kiai Sanusi, Kiai Irfan, dan KH. R. Asnawi datang sowan ke kediamannya Habib Hasyim di Pekalongan.[3] Selanjutnya dilanjutkan dengan sowan ke Syaikhona Kholil Bangkalan, maka KH. Hasyim dan ulama lainnya mendapatkan wasiat dari Syaikhona Kholil untuk segera melaksanakan niatnya itu sekaligus beliau merestuinya.[4]

Kemudian pada tahun 1924, Syaikhona Kholil mengutus Kiai As'ad yang saat itu berumur 27 tahun untuk mengantarkan sebuah tongkat ke Kiai Hasyim Asy'ari, Tebuireng, Jombang dan menghafalkan Surat Thaha ayat 17-23 untuk dibacakan di hadapan Kiai Hasyim. Berangkatlah Kiai As'ad dengan mengayuh sepeda, Kiai As'ad telah dibekali uang oleh Syaikhona Kholil untuk di perjalanan, namun ia justru berpuasa selama di perjalanan. Kemudian setibanya di Tebuireng, Kiai As’ad menghadap Kiai Hasyim Asy'ari dan menyerahkan tongkat itu. Kiai Hasyim bertanya “Apakah ada pesan dari Syaikhona?” Lalu Kiai As’ad membaca Surat Thaha ayat 17-23 yang arti terjemahannya :

 

“Apakah yang ada di tangan kananmu, wahai Musa ? Dia (Musa) berkata, “Ini adalah tongkatku, aku bertumpu padanya, dan aku merontokkan (daun-daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku masih ada lagi manfaat yang lain.” Allah berfirman, “Lemparkanlah ia, wahai Musa!” Lalu ia melemparkan tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Dia (Allah) berfirman, “Peganglah ia dan jangan takut, Kami (Allah) akan mengembalikannya kepada keadaannya semula, Dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia keluar menjadi putih (bercahaya) tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain, untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang sangat besar”.[5]

Berselang beberapa hari, Syaikhona Kholil kembali mengutus Kiai As'ad untuk mengantarkan sebuah tasbih kepada Kiai Hasyim. Ketika Syaikhona Kholil menyerahkan tasbihnya, Kiai As'ad enggan untuk menerima dengan tangannya, ia memohon kepada Syaikhona untuk mengalungkan tasbih itu ke lehernya. Syaikhona Kholil berpesan agar Kiai As'ad membaca "Yaa Jabbar Yaa Qahhar" hingga sampai Tebuireng dan membacanya di hadapan Kiai Hasyim. Selama di perjalanan, Kiai As'ad sama sekali tidak berani menyentuh tasbih itu, hingga sesampainya di Tebuireng, Kiai As'ad segera menghadap Kiai Hasyim dan memohon Kiai Hasyim untuk mengambil tasbih itu dari lehernya searaya ia membaca "Yaa Jabbar Ya Qahhar".

KH. Hasyim Asy'ari telah menangkap dua isyarat kuat tersebut yang mengartikan bahwasannya Syakhona Kholil telah memantapkan hati beliau dan merestui didirikannya Jam'iyah Nahdlatul Ulama. Setahun kemudian, pada tanggal 31 Januari 1926 M / 16 Rajab 1344 H di Surabaya berkumpul para ulama se-Jawa-Madura. Mereka bermusyawarah dan sepakat mendirikan organisasi Islam Nahdlatul Ulama.

 

Pemikiran

Pemikiran KH. Hasjim Asy'ari tentang Ahlussunnah wal Jama’ah adalah ulama dalam bidang tafsir Al Qur'an, Sunnah Nabi Muhammad, dan Fiqih yang tunduk pada tradisi Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin. Selanjutnya beliau menyatakan bahwa sampai sekarang ulama tersebut termasuk "mereka yang mengikuti Mazhab Imam Abu Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi'i, dan Imam Hambali". Pemikiran inilah yang diterapkan oleh Jam'iyah Nahdlatul Ulama yang menyatakan sebagai pengikut, penjaga, pelestari, dan penyebar paham Ahlussunnah wal Jama’ah

Ahlussunnah wal Jama’ah dalam pandangan KH. Hasyim Asy'ari tidak memiliki makna tunggal, tergantung perspektif yang digunakan. Paling tidak terdapat dua perspektif yang digunakan untuk mendefinisikan Ahlussunnah wal Jama’ah, yaitu teologi dan fiqih. Namun, jika ditelusuri lebih lanjut melalui karya-karya KH. Hasjim Asy'ari, maka sebenarnya dapat diambil sebuah kesimpulan yaitu bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah pada dasarnya lebih kepada pola keberagaman bermadzhab kepada generasi muslim masa lalu yang cukup otoritatif secara religius.[6]

 

Resolusi Jihad

Resolusi Jihad adalah suatu hasil dari perenungan dan penghayatan nilai-nilai Islam kebangsaan. Tak lama setelah merdeka, Indonesia kembali mendapat teror Belanda yang ingin kembali masuk menguasai Indonesia dari tangan Jepang. Presiden Soekarno mengutus Bung Tomo untuk menghadap KH Hasyim Asy’ari untuk meminta nasehat dan pendapat bagaimana kiranya hukumnya umat Islam menghadapi ancaman tersebut.

Menanggapi hal itulah KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa yang kemudian diputuskan dalam rapat para konsul NU se-Jawa Madura. Berikut isi teks asli fatwa tersebut.


Bismillahirrochmanir Rochim

Mendengar : Bahwa di tiap-tiap Daerah di seloeroeh Djawa-Madoera ternjata betapa besarnja hasrat Oemmat Islam dan ‘Alim Oelama di tempatnja masing-masing oentoek mempertahankan dan menegakkan AGAMA, KEDAOELATAN NEGARA REPOEBLIK INDONESIA MERDEKA.

 

Menimbang :

a. Bahwa oentoek mempertahankan dan menegakkan Negara Repoeblik Indonesia menurut hoekoem Agama Islam, termasoek sebagai satoe kewadjiban bagi tiap-tiap orang Islam.

b. Bahwa di Indonesia ini warga negaranja adalah sebagian besar terdiri dari Oemmat Islam.

 

Mengingat:

1. Bahwa oleh fihak Belanda (NICA) dan Djepang jang datang dan berada di sini telah banjak sekali didjalankan kedjahatan dan kekedjaman jang menganggoe ketentraman oemoem.

2. Bahwa semoea jang dilakoekan oleh mereka itu dengan maksoed melanggar kedaoelatan Negara Repoeblik Indonesia dan Agama, dan ingin kembali mendjadjah di sini maka beberapa tempat telah terdjadi pertempoeran jang mengorbankan beberapa banjak djiwa manoesia.

3. Bahwa pertempoeran2 itu sebagian besar telah dilakoekan oleh Oemmat Islam jang merasa wadjib menoeroet hoekoem Agamanja oentoek mempertahankan Kemerdekaan Negara dan Agamanja.

4. Bahwa di dalam menghadapai sekalian kedjadian2 itoe perloe mendapat perintah dan toentoenan jang njata dari Pemerintah Repoeblik Indonesia jang sesoeai dengan kedjadian terseboet.

 

Memoetoeskan :

1. Memohon dengan sangat kepada Pemerintah Repoeblik Indonesia soepaja menentoekan soeatoe sikap dan tindakan jang njata serta sepadan terhadap oesaha2 jang akan membahajakan Kemerdekaan dan Agama dan Negara Indonesia teroetama terhadap fihak Belanda dan kaki tangannja.

2. Seoapaja memerintahkan melandjoetkan perdjoeangan bersifat “sabilillah” oentoek tegaknja Negara Repoeblik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.

Soerabaja, 22 Oktober 1945

 

Karya

  1. Risalah Ahlussunnah wal Jama'ah: Fi Hadistil Mauta wa Asyrathissa'ah wa Bayani Mafhumissunnah wal Bid'ah (Paradigma Ahlussunah wal Jama'ah: Pembahasan tentang Orang-orang Mati, Tanda-tanda Zaman, Penjelasan Sunnah dan Bid'ah). Karya KH. Hasyim Asy’ari yang satu ini banyak membahas tentang bagaimana sebenarnya penegasan antara sunnah dan bid’ah. Secara tidak langsung, kitab tersebut banyak membahas persoalan-persoalan yang akanmuncul di kemudian hari, terutama saat ini.
  2. Muqaddimah Al Qanun Al Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (Anggaran Dasar Organisasi Nahdlatul Ulama). Kitab ini berisikan pemikiran KH. Hasyim Asy’ari yang berkaitan dengan NU. Dalam kitab tersebut, KH. Hasyim Asy’ari mengutip beberapa ayat dan hadits yang menjadi landasannya dalam mendirikan NU.
  3. Risalah fi Ta’kidul Akhdzi bi Mazhabil A’immatul Arba’ah (Risalah untuk memperkuat pegangan atas madzhab empat). Dalam kitab ini, KH. Hasyim Asy’ari tidak sekedar menjelaskan pemikiran empat imam madzhab (Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hanbal). Namun, beliau juga memaparkan alasan-alasan kenapa pemikiran di antara keempat imam itu patut kita jadikan rujukan.
  4. Arba’ina Haditsan Tata’allaqu bi Mabadi’ Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Sebagaimana judulnya, kitab ini berisi empat puluh hadits pilihan yang sangat tepat dijadikan pedoman oleh warga NU. Hadits yang dipilih oleh KH. Hasyim Asy’ari terutama berkaitan dengan hadits-hadits yang mejelaskan pentingnya memegang prinsip dalam kehidupan yang penuh dengan rintangan dan hambatan ini.
  5. Adabul 'alim wal Muta’alim fi ma Yahtaju Ilaihil Muta’allim fi Maqamati Ta’limihi (Etika Pengajar dan Pelajar dalam Hal-hal yang Perlu Diperhatikan oleh Pelajar Selama Belajar). Pada dasarnya, kitab ini merupakan ringkasan dari kitab Adab al-Mu’allim karya Syekh Muhamad bin Sahnun, Ta’limul Muta’allim fi Thariqah at-Ta’allum karya Syekh Burhanuddin az-Zarnuji, dan Tadzkiratus Syaml wal Mutakalli fi Adabil 'Alim wal Muta’allim karya Syekh Ibnu Jama'ah. Meskipun merupakan bentuk ringkasan dari kitab-kitab tersebut, tetapi dalam kitab tersebut kita dapat mengetahui betapa besar perhatian KH. Hasyim Asy’ari terhadap dunia pendidikan.

 

Wafat

Kiai Hasyim wafat pada tanggal 25 Juli 1947 M atau 7 Ramadan 1366 H, saat itu di Kiai Hasyim menerima kedatangan utusan Panglima Besar Jenderal Sudirman dan Bung Tomo yang hendak mengabarkan keadaan negara setelah terjadinya Agresi Militer I pada 21 Juli 1947. Kiai Hasyim kaget sebab mendengar cerita dari utusan tersebut bahwa Singosari telah direbut oleh Jenderal Spoor.

Mendengar kabar itu, Kiai Hasyim sangat kaget hingga ia jatuh pingsan, sempat didatangkan dokter namun nyawanya tak bisa diselamatkan lagi, ia dimakamkan di komplek Pondok Pesantren Tebuireng, Diwek, Jombang.[7]

 

BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:

Referensi

    1.       https://tebuireng.online/biografi-lengkap-kh-m-hasyim-asyari/

    2.       https://nu.or.id/

    3.       Nahdlatul Ulama

 

Footnoode

    1.       “KH Hasyim Asy'ari, Kisah Wafat dan Perjuangannya di Bulan Ramadhan". nu.or.id. Diakses tanggal 2022-01-16.

    2.        "NU Online". nu.or.id. Diakses tanggal 2021-12-03.

    3.        "NU Online". nu.or.id. Diakses tanggal 2021-12-03.

    4.        "Home". Tebuireng Online (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-12-03.

    5.        "Surat Thaha 17-23". Kementerian Agama RI. Diakses tanggal 14-01-2022.

    6.        "Teladan Ukhuwah Islamiyah dan Keilmuan KH Hasyim Asy'ari". nu.or.id. Diakses tanggal 2022-01-16.

    7.        "Detik-detik Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari Wafat pada Tanggal 7 Ramadhan". nu.or.id. Diakses tanggal 2022-01-16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...