BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Hadis adalah segala sesuatu yang
disandarkan kepada nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan,
ataupun sifat-sifat, tabiat, dan tingkah lakunya. Pada era nabi sampai era
tabi’in hadis belum dikodifikasi secara resmi. kodifikasi hadis baru bisa di
lakukan dalam rentang waktu yang cukup lama (hampir seratus tahun) setelah Nabi
Muhammad SAW wafat, ditambah lagi dengan kenyataan sejarah bahwa banyak hadis
yang dipalsukan, maka keabsahan hadis-hadis yang beredar di kalangan kaum
muslimin menjadi rancau, meskipun mereka telah meneliti dengan seksama.
Di sinilah bekal pegetahuan ilmu
hadis menjadi sangat bermanfaat bagi peneliti dan pengkaji hadis. Karena untuk
mempelajari dan mengkaji hadis-hadis nabi, seseorang tidak bisa mengabaikan
ilmu hadis ini. Dengan ilmu ini, para ulama bisa mengetahui kualitas hadis,
apakah termasuk hadis sahih, hasan, atau da’if. Dan para peneliti
dan pengkaji hadis harus mengetahui sejarah perkembangan hadis, mulai hadis
zaman Nabi Muhammad, sahabat, atau zaman tabi’in, bahkan sampai perkembangan
hadis zaman modern.
Pada pertengahan abad ke-3
Hijriyah, ulama berusaha mensistematisasi kitab-kitab hadis yang secara khusus
menghimpun hadis-hadis nabi yang berkualitas sahih menurut kriteria
penyusunnya. Misalnya al-Bukhari yang dikenal dengan kitab al-Jami’ al-Sahih,
Imam Muslim ibn al-Hajjaj dengan karyanya al-Jami’ al-Sahih atau Sahih
Muslim. Masih pada era yang sama bermunculan pula berbagai kitab hadis yang
sistematikanya persis dengan bab-bab fiqh. Dengan kitab inilah kitab Sunan
al-Nasa’i disusun.
Untuk mengetahui lebih jelas
tentang kitab hadis ini, maka dalam tulisan ini, pemakalah mencoba untuk
menguraikan isi kitab tersebut dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
B. Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah yang melatar belakangi penyusunan makalah ini antara lain:
A. Biografi
Imam al-Nasa’i
B. Pengakuan
Ulama Hadis atas Kapasitas Keilmuannya.
C. Guru-guru
dan Murid-muridnya
D. Metodologi
dan Sistematika Imam al-Nasa’i
E.
Syarat
al-Nasa’i, dan Perhatian Ulama Terhadap Kitabnya
C.
Tujuan
Adapun
tujuan dari penyusunan makalah antara lain untuk mengkaji dan membahas:
A. Mengetahui
Biografi Imam al-Nasa’i
B. Pengakuan
Ulama Hadis atas Kapasitas Keilmuannya.
C. Mengetahui
Guru-guru dan Murid-muridnya
D. Mengetahui
Metodologi dan Sistematika Imam al-Nasa’i
E.
Mengetahui Syarat
al-Nasa’i, dan Perhatian Ulama Terhadap Kitabnya
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Biografi Imam al-Nasa’i
Imam
Nasa’i nama lengkapnya adalah Abu Abdi al-Rahman Ahmad ibn Syu’aib ibn Ali ibn
Bahr ibn Sanan ibn Dinar al-Nasa’i[1], beliau dilahirkan antara
tahun tahun 215 di kota Nasa yang masih
termasuk wilayah Khurasan. Beliau pernah mengatakan “Saya dilahirkan pada tahun
215 H, karena perjalananku untuk mencari hadis pertama kali yaitu dengan Qutaibah
pada tahun 230 H, saya tinggal disana selama satu tahun lebih dua bulan”.[2]
Penamaan
kota Nasa’ tersebut erat kaitannya dengan sejarah penakhlukan kota tersebut.
Ketika pasukan Islam hendak menyerbu
negara Khurasan, mereka harus melewati kota ini. Sewaktu penduduk desa
mendengar akan datangnya pasukan Islam, maka semua kaum laki-laki melarikan
diri dan meninggalkan desa sehingga ketika pasukan Islam datang ke desa ini,
mereka mendapatkan peduduknya hanya tinggal kaum wanita saja. Melihat keadaan
ini pasukan Islam berteriak dengan mengatakan “penduduk kota ini hanya kaum nisa’ (wanita) saja, kita tidak boleh memerangi
sampai datang suami-suami mereka”,
keadaan ini membuat pasukan Islam meninggalkan desa tersebut. Sejak itu
desa tersebut dikenal dengan sebutan Nasa’ dan ada yang mengatakan Niswa.[3]
Di
kota ini beliau tumbuh mulai masa kanak-kanak, dan disini juga beliau memulai
aktifitas pendidikannya dengan memulai menghafal Alquran dan menerima berbagai
disiplin keilmuan dari guru-gurunya. Tatkala beliau sudah menginjak usia
remaja, timbul keinginan dalam dirinya untuk mengadakan pengembaraan dalam
rangka mencari hadis nabi. Maka ketika usianya menginjak 15 tahun, mulailah
beliau mengadakan perjalanan ke daerah Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan
daerah-daerah lainnya yang masih berada di Jazirah Arabia untuk mendengarkan
dan mempelajari hadis-hadis nabi dari ulama-ulama negeri yang beliau kunjungi.
Dengan usaha yang sungguh-sungguh ini, beliau sangat unggul dalam disiplin ilmu
hadis, serta sangat mengusai dan mempunyai sanad yang tinggi dalam bidang
tersebut.[4]
Sebagai
ulama hadis, al-Nasa’i telah menulis beberapa kitab besar yang tidak sedikit
jumlahnya. Diantaranya:
1.
Al-Sunan
al-Kubra
2.
Al-Sunah
al-Sughra, yang terkenal dengan al-Mujtaba
3.
Al-Khasa’is
4.
Al-Manasik
Diantara
kitab-kitab tersebut, yang paling besar dan bermutu adalah kitab al-Sunan
al-Kubra. Kitab ini yang terkenal dan beredar sampai sekarang.[5] Kitab Sunan ini
adalah kitab Sunan yang muncul setelah Sahihain yang paling
sedikit hadis da’if-nya, tetapi paling banyak pengulangannya. Misalnya
hadis tentang niat, diulangnya sampai 16 kali.[6]
Al-Hafit
al-Nasa’i mengarang kitab al-Sunan al-Kubra. Ketika dia kembali dari
perjalanannya menuju Mesir melewati Palestina, maka dia singgah dikota Ramlah
(daerah Palestina). Kemudian dia ditanya oleh gubernurnya, “Apakah semua hadis
yang terdapat dalam Sunan-nya adalah sahih?” Dia menjawab
“tidak” Gubernur berkata, “Pisahkan
hadis yang sahih darinya”, maka
ia meringkasnya sebatas hadis-hadis yang dianggap sahih dan memberinya
nama al-Mujtaba atau al-Mujtana yang juga dikenal denga nama al-Sunan
al-Sughra.[7]
Ada
sebagian al-Muhaddithin mengatakan, bahwasanya al-Mujtaba adalah
karya Ibn al-Sunni, pendapat ini ditentang dengan penjelasan, dalil serta hujjah
yang sampaikan oleh shaikh Muhammah Najib Al-Muti’i didalam kitabnya yang
bernama Tabsit Ulum al-Hadith wa ’Adab al-Riwayah, disitu diterangkan
bahwasanya tidak ada keraguan lagi bahwasanya Kitab al-Mujtaba adalah
hasil karya Imam al-Nasa’i.[8]
Al-Dhahabi
dan al-Taj al-Subki berkata, “sesungguhnya al-Nasa’i lebih hafal dari pada
Muslim, penyusun al-Sahih.” Beliau mempunyai banyak karya dalam ilmu
hadis dan ‘illat al-hadith diantara al-sunan. Sebuah sunan
yang paling sedikit hadis da’if-nya derajatnya dibawah al-Sahih.
Sehingga kitab Sunan al-Nasa’i menempati martabat kelima dalam deretan
al-Kutub al-Sittah.[9]
Beliau
wafat pada tahun 303 H, yaitu pada usianya yang ke-88 atau 89 Tahun. Ulama’
berbeda pendapat mengenai tempat wafatnya beliau. Menurut Imam al-Shaukani Imam
Nasai meniggal di Makkah dan di kebumikan disana pada tahun 303 H. sedangkan
menurut Ibn Yunus mengatakan beliau meninggal di Palestina pada hari senin
tanggal tiga belas bulan safar, tahun 303 H.[10] diantara dua pendapat
tersebut ada salah satu pendapat yang paling rajih yaitu yang mengatakan
bahwasanya Imam al-Nasa’i meninggal di Makkah dan dimakamkan diantara Safa dan
Marwah.[11]
Setahun
sebelum ia meninggal ia pindah dari Mesir ke Damaskus. Di kota inilah beliau menulis kitab al-Khasais ‘Ali ibn
Abi Talib (keistimewaan Ali ibn ‘Abi Talib) yang didalamnya menjelaskan
tentang keistimewaan ‘Ali ibn Abi Talib menurut hadis. Ia menulis kitab ini,
agar penduduk Damaskus tidak lagi membenci dan memaki ‘Ali. Ketika ia membaca
hadis-hadis tentang keutamaan ‘Ali tersebut dihadapan orang banyak, beliau
diminta pula untuk menjelaskan keutamaan Mu’awiyah. Akan tetapi ia dengan tegas
menjawab bahwa ia tidak mengetahui adanya hadis yang menyebut keutamaan Mu’awiyah.
Oleh pendukung Bani Umaiyah ia dianggap berpihak kepada golongan ‘Ali ibn Abi
Talib dan menghina Mu’awiyah, karena itu ia dianiaya dan dipukuli oleh
pendukung bani Umaiyah. Ada yang menyebutkan, bahwa dalam kepayahan dan keadaan
sekarat akibat penganiayaan tersebut, ia dibawa ke negeri Ramlah-Palestina, ia
meninggal dan dimakamkan disana. Namun menurut versi lain dan inilah yang
paling banyak dianut orang bahwa beliau dibawa ke Makkah, kemudian dikuburkan
diantara safa dan marwah dimakkah.[12]
Imam
Nasa’i mempunyai banyak karangan yang berkaitan dengan al-hadith dan al-‘ilal,
salah satunya yaitu kitab al-Sunan, jika kita bandingkan kitab al-Sunan
al-Nasa’i dengan kitab-kitab al-Sunan yang lain kita bisa simpulkan
bahwa kitabnya sangat sedikit sekali ditemukan hadis da’if dibandingkan
dengan kitab-kitab al-Sunan yang lain.[13]
B. Pengakuan Ulama Hadis atas Kapasitas Keilmuannya.
Imam al-Nasa’i
telah diakui keutamaan, keahlian, dan kepemimpinannya dalam bidang ilmu hadis
oleh murid-murid beliau dan ulama-ulama lain yang datang sesudah generasi
murid-muridnya. Hal ini terbukti dari perktaan beberapa ulama, seperti berikut:
Al-Hakim
berkata: “beberapa kali saya mendengar ’Abu al-Hasan al-Daruqutni mengatakan
Abu Abd al-Rahman al-Nasa’i adalah orang yang didahulukan dalam bidang ilmu
hadis pada masanya ketika orang membicarakan al-jarh dan ta’dil.[14]
Abu Sa’id Abd
Rahman ibn Ahmad ibn Yunus sahib Tarikh Misr mengatakan al-Nasa’i adalah seorang ulama yang
telah diakui keilmuannya, ke-thiqah-annya dan kekuatan hafalannya.[15]
Berdasarkan
pengakuan para ulama diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa kepiawaian al-Nasa’i tampak dalam berbagai bidang ilmu yang
dapat dikelompokkan dalam:
1.
Ilmu hadis.
Dalam
bidang ini. Ia mempunyai pengetahuan yang sangat luas sehingga ia dijadikan
sebagai tempat pencari petunjuk. Disamping itu ia juga dianggap sebagai pemimpin
dalam bidang ilmu ini. Sehingga ia dijadikan sebagai orang yang akan
mengarahkan kepada jalan kebenaran. Disamping itu juga, ia mempunyai
pengetahuan yang luas serta pemahaman yang mendalam terhadap sanad-sanad
hadis, perbedaan rawi dan perbedaan cara pengugkapan hadis, sehingga ia dapat
mentshih dan memperbaikinya
2.
Ilm Jarh
Ta’dil dan ilmu yang berhubungan dengan rawi
Dalam
bidang ilmu ini, ia dikenal sebagai kritikus yang sangat teliti. Ia melakukan
jarh dan ta’dil dengan ungkapan yang sangat sopan dan jelas. Para
ahli dalam bidang ilmu ini sesudahnya, sangat tergantung kepada pernyataan
beliau, dan menempatkan pendapatnya pada tingkatang yang tinggi dan sangat
mulia. Ia dianggap sebagai orang yang ketat dalam menerima periwayatan suatu
hadis, dan atas dasar ini pula Abu Ya’li al-Khalili menyatakan bahwa pendapat
Imam al-Nasa’i dalam melakukan jarh dan ta’dil seorang rawi
sangat dipercaya.
3.
Ilmu ‘Ilal
al-Hadith
Jalan
untuk menguasai ilmu ini adalah pengetahuan yang luas terhadap sanad-sanad periwayatan
hadis, perbedaan-perbedaan periwayatan antara hadis yang satu dengan yang lain
serta pengetahuan yang dalam tentang tingkatan para rawi. Dalam hal ini
al-Nasa’i sangat menguasai ketiga bidang ini, sehingga dengan demikian, ia
dikatakan juga imam dalam bidang ilmu ‘ilal al-Hadith.
4.
Ilmu al-fiqh
al-hadith (pemahaman hadis)
Dalam
hal ini hal ini, Imam al-Darqutni mengatakan bahwa Imam Nasa’i adalah shaikh
Mesir yang paling paham tentang makna suatu hadis pada masanya. Demikian juga
al-Haki, beliau menyatakan bahwa perkataan (pendapat) al-Nasa’i tentang
pemahaman suatu hadis sangat banyak, barang siapa yang memperhatikan kitab Sunan-nya
maka dia akan sangat kagum dengan pendapat yang beliau kemukakan. Inilah
kesaksian dan pengakuan yang disampaikan oleh dua imam besar yang telah
mengakui keutamaan dan kepemimpinannya dalam bidang fiqih. Hal ini semakin
menyakinkan orang akan kedudukannya sebagai hakim. Khusus dalam bidang ilmu
fiqh ini, al-Nasa’i tidak bisa diidentifikasi dalam hal mazhabnya jika dilihat
dalam struktur mazhab yang empat. Akan tetapi, pengikut syafi’i mengklaim bahwa
al-Nasa’i menganut mazhab Syafi’i. hal
ini mungkin disebabkan oleh domisili tetapnya di Mesir yang mayoritas
penduduknya menganut mazhab Syafi’i, dan menerima pelajaran dari imam-imam
mazhab Syafi’i serta mendengarkan pelajaran dari mereka.[16]
C. Guru-guru dan Murid-muridnya
Imam Nasa’i
menerima dan mempelajari berbagai macam hadis dari guru-guru beliau yang
jumlahnya sangat banyak. Hal ini dapat dipahami karena beliau sering mengadakan
perjalanan ke berbagai daerah dengan tujuan untuk mendapatkan ilmu dan
pengetahuan mengenai hadis nabi. Imam al-Suyuti memaparkan beberapa guru Imam
Nasa’i didalam sharah kitab al-Nasa’i yaitu: Ishaq ibn Rahawaih, Ishaq
ibn Habib ibn al-Shahid, Sulaiman ibn Ash’as, Ishaq ibn Shahin, al-Haris ibn
Miskin, Ishaq ibn Mansur al-Kusj, Mahmud ibn Gailan, Qutaibah ibn Sa’id, Ishaq
ibn Musa al-Ash’ari, Ibrahim ibn sa’id al-Jauhari, Ibrahim ibn Ya’kub
al-Juzajani, Muhammad ibn Bassar, ‘Ali ibn Hajar, Abi Dawud al-Sijistani, ‘Ali
ibn Khasram, Mujahid ibn Musa, Ahmad ibn Bakar ibn Maimunah, al-Hasan ibn
Muhammad al-Za’farani, Ahmad Ibn ‘Ubdah. Di Damaskus ia medengar dari Hisham
ibn ‘Ammar dan Duhaima. Dan masih banyak lagi yang ia dengar dari negara
Hurasan, Hijaz, Iraq, Jazirah, Syam dan Mesir. Dan ia telah belajar dengan
jama’ah dari al-Huffad wa al-Shuyukh, dianntaranya ‘Abdullah ibn al-Imam
Ahmad Batrusus dan Abu Bashar al-Dulabi.[17]
Adapun
murid-murid beliau sangatlah banyak. Diantaranya adalah al-Imam Abu al-Qasim
al-Tabrani, Abu ‘Ali al-Husain ibn ‘Ali al-Huffad al-Niyaimuzi al-Tabrani,
Ahmad ibn ‘Umair jusa, Muhammad ibn Ja’far ibn Qallas, Abu al-Qasim ibn Abi
al-‘ukb, Abu al-Maimun al-Rashid, Abu al-Hasan ibn Khadhlam, Abu Sa’id
al-A’rabi, Imam Abu Ja’fal al-Tahawi, Muhammad ibn Harun ibn Shu’aib, Ibrahim
ibn Muhammad ibn Salih ibn Sannan dan Abu Bakr Ahmad ibn Ishaq al-Sunni al-Hafiz.[18]
D. Metodologi dan Sistematika Imam al-Nasa’i
Al-Nasa’i dikenal sangat
teliti terhadap hadis dan para rawi, dan
bahwa kreterianya dalam men-thiqah-kan rawi itu sangat tinggi. Ia
menyusun kitab yang sangat besar dan sangat lengkap serta dikenal dengan al-Sunan
al-Kubra. Dan kitab yang bernama al-Mujtaba yang lebih dikenal
dengan Sunan al-Nasa’i merupakan hasil seleksi darinya. Ada yang mengatakan
bahwa nama kitabnya adalah al-Mujtana.[19]
Kitab al-Mujtaba di susun berdasarkan
bab-bab fiqih, dan untuk tiap bab diberinya judul yang kadang-kadang mencapai
tingkat keunikan yang tinggi. Ia mengumpulkan sanad-sanad suatu hadis di
satu tempat. Dengan demikian ia telah menempuh suatu jejak muhaddisin
yang paling rumit dan agung.[20]
Sunan al-Nasai disusun
berdasarkan metode sunan. Yaitu berdasarkan klasifikasi hukum Islam (abwab
al-Fiqhiyah), dan hanya mencantumkan hadis-hadis marfu’ (yang
bersumber dari Nabi SAW) saja. Apabila terdapat hadis mauquf atau maqtu, maka jumlahnya
relative hanya sedikit.[21]
Kitab al-Mujtaba
disusun dengan metodologi yang sangat unik dengan memadukan fikih dan kajian sanad.
Hadis-hadisnya disusun berdasarkan bab-bab fikih, dan untuk tiap bab diberinya
judul yang kadang-kadang mencapai tingkat keunikan yang tinggi. Ia mengumpulkan
sanad-sanad suatu hadis disatu tempat.[22]
Ahmad
ibn Mahbub al-Ramli berkata,” saya mendengar Imam al-Nasa’i berkata, “ketika
saya bertekad mengumpulkan hadis (kitab al-sunan). Saya ber-istikharah
kepada Allah dalam meriwayatkan hadis dari guru-guru yang mana dihatiku
terdapat sedikit aib, kemudian saya memilih untuk meninggalkan sejumlah hadis
dari mereka yang semula saya banggakan.[23]
Abu
al-Hasan al-Ma’afiri berkata, “Apabila saya memperhatikan hadis yang
dikeluarkan oleh ahli hadis, maka hadis yang dikeluarkan oleh Imam al-Nasa’i
lebih mendekati shahih dibandingkan hadis yang dikeluarkan oleh
selainnya.[24]
Al-Hafiz
Ibn Rasyid berkata, “kitab al-Nasa’i adalah kitab sunan yang terindah
pembagiannya dan terbaik penataannya. Kitabnya menggabungkan antara metodologi
al-Bukhari dan al-Muslim disertai dengan banyak penjelasan ‘illat hadis.[25]
Secara
global, kitab al-Nasa’i termasuk Kutub al-Sittah yang paling
sedikit –setelah al-sahihain- memuat hadis da’if dan perawi
cacat. Sunan Abu Dawud dan Tirmizi mendekatinya dalam kategori itu. Sedangkan
dari sisi lain, sunan ibn majah berseberangan dengannya, karena dia
bersendirian dalam periwayatan hadis dari orang-orang yang tertuduh berdusta.[26]
Muhamad
ibn Muawiyah al-Ahmar (perawi hadis dari al-Nasa’i) berkata, “semua kitab sunan
adalah sahih, dan sebagiannya ma’lul, hanya saja ‘illat-nya
tidak jelas. Dan hadis pilihan yang dinamakan al-Mujtaba adalah sahih
semua.[27]
Sehingga
dapat ditegaskan, bahwa Imam al-Nasa’i dalam penyusunan kitabnya ini
mengkhususkan hadis-hadis marfu’ dan yang berbicara tentang hukum dan
tidak dimasukkan didalam yang berkaitan dengan khabar, etika dan mau’idah-mau’idah,
hal ini dikarenakan kitab ini merupakan pilihan berupa hadis-hadis hukum dari
kitab beliau yang lain, yaitu kitab al-Sunan al-Kubra.[28]
Adapun
sistematika penyusunannya dengan lengkap dapat disebutkan disini sebagai
berikut:
No |
Nama kitab |
Juz |
Hlm |
No |
Nama Kitab |
Juz |
Hlm |
- |
Al-Muqaddimah |
I |
3 |
26 |
Al-Nikah |
VI |
71 |
1 |
Al-Taharah |
I |
12 |
27 |
Al-Talaq |
VI |
112 |
2 |
Al-Miyah |
I |
141 |
28 |
Al-Khail |
VI |
178 |
3 |
Al-Haid |
I |
147 |
29 |
Al-Ahbas |
VI |
190 |
4 |
Al-Ghusl wa al-Tayammum |
I |
162 |
30 |
Al-Wasaya |
VI |
198 |
5 |
Al-Salah |
I |
178 |
31 |
Al-Nahl |
VI |
216 |
6 |
Al-Mawaqit |
I |
198 |
32 |
Al-Hibah |
VI |
220 |
7 |
Al-Azan |
II |
3 |
33 |
Al-Ruqba |
VI |
226 |
8 |
Al-Masajid |
II |
26 |
34 |
Al-Umra |
VI |
228 |
9 |
Al-Qiblah |
II |
47 |
35 |
Al-‘Aiman wa al-Nuzur wa al Muzar’ah |
VII |
3 |
10 |
Al-Imamah |
II |
58 |
36 |
‘Usyrah al-Nisa’ |
VII |
58 |
11 |
Iftitah al-Salah |
II |
93 |
37 |
Tahrim al-Dam |
VII |
70 |
12 |
Al-Tatbiq |
II |
143 |
38 |
Qism al-Fai’ |
VII |
117 |
13 |
Al-sahwu |
II |
3 |
39 |
Al-Bai’ah |
VII |
124 |
14 |
Al-Jumu’ah |
III |
71 |
40 |
Al-Aqiqah |
VII |
145 |
15 |
Taqsir al-Salah fi al-safar |
III |
95 |
41 |
Al-Far’ wa al-‘Atirah |
VII |
147 |
16 |
Al-Kusuf |
III |
101 |
42 |
Al-Said wa al-Zaba’ ih |
VII |
158 |
17 |
Al-Istisqa’ |
III |
125 |
43 |
Al-Dahaya |
VII |
186 |
18 |
Shalat al-Khusuf |
III |
136 |
44 |
Al-Buyu’ |
VII |
212 |
19 |
Salat al-‘Idain |
III |
146 |
45 |
Al-Qasamah |
VIII |
3 |
20 |
Qiyam al-Lail wa Tawattu’ al-Nahr |
III |
161 |
46 |
Qat’u al-Sariq |
VIII |
57 |
21 |
Al-Jana’iz |
IV |
3 |
47 |
Al-‘Aiman wa al-Syara’ |
VIII |
76 |
22 |
‘Asyrah al-Nisa’ |
VII |
58 |
48 |
Al-Zinah |
VIII |
109 |
23 |
Al-Siyam |
IV |
97 |
49 |
Adab al-Qada’ |
VIII |
195 |
24 |
Al-Zakah |
V |
3 |
50 |
Al-Isti’zah |
VIII |
219 |
25 |
Manasik al-Haj |
V |
83 |
51 |
Al-Ashribah |
VIII |
252 |
Dari
sistematika yang dipaparkan diatas dapat
disimpulkan bahwa Imam al-Nasa’i dalam kitabnya hanya membahas beberapa hadis al-sunan
dan al-ahkam, tidak ada kitab yang membahas mengenai al-tafsir,
al-ahbar, al-manaqib, dan al-mawa’id.[29]
Ada beberapa catatan dan komentar yang dapat diberikan
mengenai susunan sistematika kitab al-Sunan al-Nasa’i:
1.
Dari kitab (bab)
pertama sampai dengan kitab (bab) ke-21, membahas tentang masalah taharah
dan salat. Jumlah kitab (bab) yang terbanyak adalah mengenai
salat.
2.
kitab (bab) puasa
didahulukan dari pada zakat
3.
kitab (bab)
qism al-fai’ (pembagian rampasan perang) diletakkan jauh dari kitab jihad.
4.
Kitab al-Khali
juga diletakkan berjauhan dari kitab jihad
5.
Melakukan
pemisahan-pemisahan diantara kitab-kitab(bab-bab) al-ahbass (wakaf),
wasiat-wasiat, al-nahl (pemberian kepada anak), al-hibah (pemberian),
al-ruqbaa. Sedang kitab atau pembahasan mengenai fara’id tidak
ada.
6.
Melakukan
pemisahan-pemisahan antara kitab al-asyribah (minuman), al-said (perburuan),
al-Zaba’ih (sembelihan hewan kurban), al-dahaya (kurban idul
adha)
7.
Kitab Imam
ditempatkan dibagian akhir.
8.
Yang tidak
termasuk hukum hanyalah kitab Imam dan kitab al-isti’azah.[30]
E. Syarat al-Nasa’i dan Perhatian Ulama Terhadap
Kitabnya
Al-
Hafizh Abu Fadhl Muhammad bin Thahir berkata: “Kitab Abu Dawud dan kitab-kitab
orang setelahnya (termasuk kitab al-Nasa’i) terbagi menjadi tiga:
Pertama,
Sahih, ini adalah jenis sesuatu yang ada dalam Sahih Bukhari
dan Sahih Muslim.
Kedua,
Sahih menurut syarat mereka –Ashab al-Sunan-. Abu
Dawud bin Abdullah bin Mandah menceritakan bahwa syarat Abu Dawud dan al-Nasa’i
adalah meriwayatkan hadis-hadis dari kaum yang belum terjadi kesepakatan untuk
meninggalkan mereka apabila hadisnya Sahih, dengan sanad muttasil, tidak
munqathi dan mursal.
Ketiga,
hadis-hadis
yang mereka riwayatkan untuk melawan (hadis) dalam bab sebelumnya. Mereka
meriwayatkannya, bukan memastikan ke-Sahih-annya. Barangkali perawinya
telah menjelaskan illat-nya dengan sesuatu yang mudah dipahami oleh ahli
ilmu.[31]
Jika dikatakan,
“mengapa mereka mencantumkannya dalam kitab-kitab mereka, padahal hadis itu
tidak sahih menurut mereka?” jawabnya terdiri dari tiga hal:
1.
Orang-orang
telah meriwayatkannya, dan menjadikannya sebagai hujjah, maka mereka
mencantumkannya dan menjelaskan cacatnya untuk menghilangkan shubhat.
2.
Bahwa mereka
tidak mensyaratkan penamaan Sahih sebagaiman yang dijelaskan oleh
al-Bukhari dan Muslim pada bagian kitab mereka.
3.
Hendaknya
dilontarkan bantahan kepada orang yang mengatakan bahwa kita menyaksikan para fuqaha’
dan para ulama mencantumkan dalil pebandingan dalam kitab-kitab mereka, padahal
mereka yakin bahwa itu bukanlah dalil. Maka perbuatan mereka (pemilik kitab
al-Sunan) adalah sebagaimana perbuatan para fuqaha’ tersebut.[32]
Adapun
perhatian ulama terhadapnya, maka mereka mencurahkan perhatian mereka kepadanya
sebagaimana perhatian mereka terhadap Kutub al-Sittah lainnya, baik dari
segi periwayatan, penyimakan, dan penyalinannya. Mereka menyusun biografi para
perawinya bersama dengan para perawi Kutub al-Sittah. [33]
Mengenai syarah
al-Nasa’i, maka saya tidak pernah mengetahu kitab-kitab sharah-nya
kecuali Sharah Imam al-Suyuti dan Hasiyah Imam al-Sindi, dan
keduanya telah dicetak.[34]
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:
- MENGKAJI HADIS MISOGINIS
- KAJIAN TAFSIR AL-MARAGHI
- SUNAN AL-DARIMI
- SUNAN AL-BAIHAQI
- SUNAN IBN MAJAH
- MUSHANNAF ABD AL-RAZZAQ
- PERKEMBNGAN HADIS ABAD VII HIJRIYAH SAMPAI SEKARANG
- SEJARAH PENYUSUNAN KITAB SUNAN AL-NASAI
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Sunan al-Nasai disusun
berdasarkan metode sunan. Yaitu berdasarkan klasifikasi hukum Islam (abwab
al-Fiqhiyah), dan hanya mencantumkan hadis-hadis marfu’ (yang
bersumber dari Nabi SAW) saja. Apabila terdapat hadis mauquf atau maqtu, maka jumlahnya
relative hanya sedikit.
2. Imam
al-Nasa’i dalam penyusunan kitabnya ini mengkhususkan hadis-hadis marfu’
dan yang berbicara tentang hukum dan tidak dimasukkan didalam yang berkaitan
dengan khabar, etika dan mau’idah-mau’idah, hal ini dikarenakan kitab
ini merupakan pilihan berupa hadis-hadis hukum dari kitab beliau yang lain,
yaitu kitab al-Sunan al-Kubra.
3. Perhatian
ulama terhadak kitab al-Nasa’i sebagaimana perhatian mereka terhadap Kutub
al-Sittah lainnya, baik dari segi periwayatan, penyimakan, dan
penyalinannya. Mereka menyusun biografi para perawinya bersama dengan para
perawi Kutub al-Sittah.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrahman,
Muhammad, Metode Kritik Hadis (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011)
Afdawaiza,
Studi Kitab Hadis (Yogyakarta: Teras, 2003)
Arifin,
Zainul, Studi Kitab Hadis (Surabaya: Al-Muna, 2010)
‘Asqalani (Al), Ahmad ibn ‘Ali
ibn Hajar, Tahdhib al-Tahdhib, Juz 1, (Kairo: Dar Al-Hadis, 2010)
‘Itr,
Nuruddin, Ulum al-Hadith, terj.Mujiyo (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012)
Hadi(Al),
Abd al-Muhdi Abd al-Qadir Abd, Turuq alTakhrij al-Hasith (Kairo:
Maktabah ’al-Iman, 2012)
Kafuri, Muhammad ibn Abd
al-Rahman ibn Abd al-Rahim al-Mubar, Muqaddimah Tuhfah al-Ahwadhi
(Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2001)
Maqdisi (Al), Mahammad bin Tahir, Shurut al-Aimmah al-Sittah (Pakistan: Hadis Academy, t.th)
Rahman,
Fatchur, Ikhtisar Mustalah Hadith (Bandung: Al-Ma’arif, 1974)
Shaukani
(Al), Muhammad, Nail al-autar, Juz 1 (Bairut: Dar al-Fikr, 1983)
Shuhbah, Muhammad Ibn Muhammad
Abu, Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub al-Sihah (Kairo: Majma’ Buhus
al-Islamiyah,1995)
Wasil, Nasr Farid Muhammad, al-Wasit
fi ‘Ilm Mustalah al-Hadith (Kairo: Dar al-Taufiqiyah, t.th)
Ya’qub,
Ali Mustafa, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000)
Zahrani(Al), Muhammad, Ensiklopedia
Kitab-kitab Rujukan Hadis, terj. Muhammad Rum (Jakarta: Darul Haq,2012)
[1] Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-‘Asqalani,
Tahdhib al-Tahdhib, Juz 1, (Kairo: Dar Al-Hadis, 2010), 80
[2] Ibid.,82
[3] Jalaluddin al-Suyuti, Sharh
Sunan Al-Nasa’i (Bairut: Dar al-Fikr, 1930),b
[4] Muhammad Ibn Muhammad Abu
syuhbah, Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub al-Sihah (Kairo: Majma’ Buhus
al-Islamiyah,1995),159,160
[5] Zainul Arifin, Studi Kitab
Hadis (Surabaya: Al-Muna, 2010), 125
[6] Fatchur Rahman, Ikhtisar
Mustalah Hadith (Bandung: Al-Ma’arif, 1974),384
[7] Jalaluddin al-Suyuti, Muqaddimah
Sharh Sunan Al-Nasa’I, 5.
[8] Nasr Farid Muhammad wasil, al-Wasit
fi ‘Ilm Mustalah al-Hadith (Kairo: Dar al-Taufiqiyah, t.th),155
[9] M. Abdurrahman, Metode
Kritik Hadis (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011),241
[10] Muhammad ibn Abd al-Rahman ibn
Abd al-Rahim al-Mubar Kafuri, Muqaddimah Tuhfah al-Ahwadhi (Bairut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2001), 107
[11] Jalaluddin al-Suyuti, Sharh
Sunan Al-Nasa’i, 5.
[12] Ibid.,e
[13] Muhammad al-Shaukani, Nail
al-autar, Juz 1 (Bairut: Dar al-Fikr, 1983),13
[14] Jalaluddin al-Suyuti, Sharh
Sunan Al-Nasa’i, c.
[15] Ibid.
[16] Jalaluddin al-Suyuti, Sharh
Sunan Al-Nasa’i…d,
[17] Jalaluddin al-Suyuti, Sharh
Sunan Al-Nasa’i…b
[18] Ibid.,c
[19] Nuruddin ‘itr, Ulum
al-Hadith, terj.Mujiyo (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012),282
[20] Ibid.,282,283
[21] Ali Mustafa Ya’qub, Kritik
Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000),79
[22] Nuruddin ‘itr, Ulum
al-Hadith…282
[23] Muhammad ibn Abd al-Rahman ibn Abd al-Rahim
al-Mubar Kafuri, Muqaddimah Tuhfah al-Ahwadhi
[24] Ibid
[25] Muhammad al-Zahrani, Ensiklopedia
Kitab-kitab Rujukan Hadis, terj. Muhammad Rum (Jakarta: Darul Haq,2012),150
[26] Ibid.,150
[27] Jalaluddin al-Suyuti, Muqaddimah
Sharh Sunan Al-Nasa’i
[28] Afdawaiza, Studi Kitab Hadis
(Yogyakarta: Teras, 2003),144
[29] Abd al-Muhdi Abd al-Qadir Abd
al-Hadi, Turuq alTakhrij al-Hasith (Kairo: Maktabah ’al-Iman, 2012),347,349
[30]Ibid.,349
[31] Muhammad al-Zahrani, Ensiklopedia
Kitab-kitab Rujukan Hadis…143
[32] Mahammad bin Tahir al-Maqdisi, Shurut
al-Aimmah al-Sittah (Pakistan: Hadis Academy, t.th),13,16
[33] Muhammad al-Zahrani, Ensiklopedia
Kitab-kitab Rujukan Hadis…150
[34] Ibid.,150
Tidak ada komentar:
Posting Komentar