HOME

06 April, 2022

SEJARAH PENYUSUNAN KITAB SUNAN AL-NASAI

 

BAB I

PENDAHULUAN

    A.  Latar Belakang

Hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, ataupun sifat-sifat, tabiat, dan tingkah lakunya. Pada era nabi sampai era tabi’in hadis belum dikodifikasi secara resmi. kodifikasi hadis baru bisa di lakukan dalam rentang waktu yang cukup lama (hampir seratus tahun) setelah Nabi Muhammad SAW wafat, ditambah lagi dengan kenyataan sejarah bahwa banyak hadis yang dipalsukan, maka keabsahan hadis-hadis yang beredar di kalangan kaum muslimin menjadi rancau, meskipun mereka telah meneliti dengan seksama.

Di sinilah bekal pegetahuan ilmu hadis menjadi sangat bermanfaat bagi peneliti dan pengkaji hadis. Karena untuk mempelajari dan mengkaji hadis-hadis nabi, seseorang tidak bisa mengabaikan ilmu hadis ini. Dengan ilmu ini, para ulama bisa mengetahui kualitas hadis, apakah termasuk hadis sahih, hasan, atau da’if. Dan para peneliti dan pengkaji hadis harus mengetahui sejarah perkembangan hadis, mulai hadis zaman Nabi Muhammad, sahabat, atau zaman tabi’in, bahkan sampai perkembangan hadis zaman modern.

Pada pertengahan abad ke-3 Hijriyah, ulama berusaha mensistematisasi kitab-kitab hadis yang secara khusus menghimpun hadis-hadis nabi yang berkualitas sahih menurut kriteria penyusunnya. Misalnya al-Bukhari yang dikenal dengan kitab al-Jami’ al-Sahih, Imam Muslim ibn al-Hajjaj dengan karyanya al-Jami’ al-Sahih atau Sahih Muslim. Masih pada era yang sama bermunculan pula berbagai kitab hadis yang sistematikanya persis dengan bab-bab fiqh. Dengan kitab inilah kitab Sunan al-Nasa’i disusun.

Untuk mengetahui lebih jelas tentang kitab hadis ini, maka dalam tulisan ini, pemakalah mencoba untuk menguraikan isi kitab tersebut dan hal-hal yang berkaitan dengannya.

    B.   Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang melatar belakangi penyusunan makalah ini antara lain:

A.  Biografi Imam al-Nasa’i

B.  Pengakuan Ulama Hadis atas Kapasitas Keilmuannya.

C.  Guru-guru dan Murid-muridnya

D.  Metodologi dan Sistematika Imam al-Nasa’i

E.   Syarat al-Nasa’i, dan Perhatian Ulama Terhadap Kitabnya

    C.   Tujuan

Adapun tujuan dari penyusunan makalah antara lain untuk mengkaji dan membahas:

A.  Mengetahui Biografi Imam al-Nasa’i

B.  Pengakuan Ulama Hadis atas Kapasitas Keilmuannya.

C.  Mengetahui Guru-guru dan Murid-muridnya

D.  Mengetahui Metodologi dan Sistematika Imam al-Nasa’i

E.   Mengetahui Syarat al-Nasa’i, dan Perhatian Ulama Terhadap Kitabnya

 

BAB II

PEMBAHASAN

    A.  Biografi Imam al-Nasa’i

Imam Nasa’i nama lengkapnya adalah Abu Abdi al-Rahman Ahmad ibn Syu’aib ibn Ali ibn Bahr ibn Sanan ibn Dinar al-Nasa’i[1], beliau dilahirkan antara tahun  tahun 215 di kota Nasa yang masih termasuk wilayah Khurasan. Beliau pernah mengatakan “Saya dilahirkan pada tahun 215 H, karena perjalananku untuk mencari hadis pertama kali yaitu dengan Qutaibah pada tahun 230 H, saya tinggal disana selama satu tahun lebih dua bulan”.[2]

Penamaan kota Nasa’ tersebut erat kaitannya dengan sejarah penakhlukan kota tersebut. Ketika pasukan Islam hendak  menyerbu negara Khurasan, mereka harus melewati kota ini. Sewaktu penduduk desa mendengar akan datangnya pasukan Islam, maka semua kaum laki-laki melarikan diri dan meninggalkan desa sehingga ketika pasukan Islam datang ke desa ini, mereka mendapatkan peduduknya hanya tinggal kaum wanita saja. Melihat keadaan ini pasukan Islam berteriak dengan mengatakan “penduduk kota ini hanya kaum nisa’  (wanita) saja, kita tidak boleh memerangi sampai datang suami-suami mereka”,  keadaan ini membuat pasukan Islam meninggalkan desa tersebut. Sejak itu desa tersebut dikenal dengan sebutan Nasa’ dan ada yang mengatakan Niswa.[3]

Di kota ini beliau tumbuh mulai masa kanak-kanak, dan disini juga beliau memulai aktifitas pendidikannya dengan memulai menghafal Alquran dan menerima berbagai disiplin keilmuan dari guru-gurunya. Tatkala beliau sudah menginjak usia remaja, timbul keinginan dalam dirinya untuk mengadakan pengembaraan dalam rangka mencari hadis nabi. Maka ketika usianya menginjak 15 tahun, mulailah beliau mengadakan perjalanan ke daerah Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan daerah-daerah lainnya yang masih berada di Jazirah Arabia untuk mendengarkan dan mempelajari hadis-hadis nabi dari ulama-ulama negeri yang beliau kunjungi. Dengan usaha yang sungguh-sungguh ini, beliau sangat unggul dalam disiplin ilmu hadis, serta sangat mengusai dan mempunyai sanad yang tinggi dalam bidang tersebut.[4]

Sebagai ulama hadis, al-Nasa’i telah menulis beberapa kitab besar yang tidak sedikit jumlahnya. Diantaranya:

1.    Al-Sunan al-Kubra

2.    Al-Sunah al-Sughra, yang terkenal dengan al-Mujtaba

3.    Al-Khasa’is

4.    Al-Manasik

Diantara kitab-kitab tersebut, yang paling besar dan bermutu adalah kitab al-Sunan al-Kubra. Kitab ini yang terkenal dan beredar sampai sekarang.[5] Kitab Sunan ini adalah kitab Sunan yang muncul setelah Sahihain yang paling sedikit hadis da’if-nya, tetapi paling banyak pengulangannya. Misalnya hadis tentang niat, diulangnya sampai 16 kali.[6]

Al-Hafit al-Nasa’i mengarang kitab al-Sunan al-Kubra. Ketika dia kembali dari perjalanannya menuju Mesir melewati Palestina, maka dia singgah dikota Ramlah (daerah Palestina). Kemudian dia ditanya oleh gubernurnya, “Apakah semua hadis yang terdapat dalam Sunan-nya adalah sahih?” Dia menjawab “tidak”  Gubernur berkata, “Pisahkan hadis yang sahih  darinya”, maka ia meringkasnya sebatas hadis-hadis yang dianggap sahih dan memberinya nama al-Mujtaba atau al-Mujtana yang juga dikenal denga nama al-Sunan al-Sughra.[7]

Ada sebagian al-Muhaddithin mengatakan, bahwasanya al-Mujtaba adalah karya Ibn al-Sunni, pendapat ini ditentang dengan penjelasan, dalil serta hujjah yang sampaikan oleh shaikh Muhammah Najib Al-Muti’i didalam kitabnya yang bernama Tabsit Ulum al-Hadith wa ’Adab al-Riwayah, disitu diterangkan bahwasanya tidak ada keraguan lagi bahwasanya Kitab al-Mujtaba adalah hasil karya Imam al-Nasa’i.[8]

Al-Dhahabi dan al-Taj al-Subki berkata, “sesungguhnya al-Nasa’i lebih hafal dari pada Muslim, penyusun al-Sahih.” Beliau mempunyai banyak karya dalam ilmu hadis dan ‘illat al-hadith diantara al-sunan. Sebuah sunan yang paling sedikit hadis da’if-nya derajatnya dibawah al-Sahih. Sehingga kitab Sunan al-Nasa’i menempati martabat kelima dalam deretan al-Kutub al-Sittah.[9]

Beliau wafat pada tahun 303 H, yaitu pada usianya yang ke-88 atau 89 Tahun. Ulama’ berbeda pendapat mengenai tempat wafatnya beliau. Menurut Imam al-Shaukani Imam Nasai meniggal di Makkah dan di kebumikan disana pada tahun 303 H. sedangkan menurut Ibn Yunus mengatakan beliau meninggal di Palestina pada hari senin tanggal tiga belas bulan safar, tahun 303 H.[10] diantara dua pendapat tersebut ada salah satu pendapat yang paling rajih yaitu yang mengatakan bahwasanya Imam al-Nasa’i meninggal di Makkah dan dimakamkan diantara Safa dan Marwah.[11]

Setahun sebelum ia meninggal ia pindah dari Mesir ke Damaskus. Di kota inilah  beliau menulis kitab al-Khasais ‘Ali ibn Abi Talib (keistimewaan Ali ibn ‘Abi Talib) yang didalamnya menjelaskan tentang keistimewaan ‘Ali ibn Abi Talib menurut hadis. Ia menulis kitab ini, agar penduduk Damaskus tidak lagi membenci dan memaki ‘Ali. Ketika ia membaca hadis-hadis tentang keutamaan ‘Ali tersebut dihadapan orang banyak, beliau diminta pula untuk menjelaskan keutamaan Mu’awiyah. Akan tetapi ia dengan tegas menjawab bahwa ia tidak mengetahui adanya hadis yang menyebut keutamaan Mu’awiyah. Oleh pendukung Bani Umaiyah ia dianggap berpihak kepada golongan ‘Ali ibn Abi Talib dan menghina Mu’awiyah, karena itu ia dianiaya dan dipukuli oleh pendukung bani Umaiyah. Ada yang menyebutkan, bahwa dalam kepayahan dan keadaan sekarat akibat penganiayaan tersebut, ia dibawa ke negeri Ramlah-Palestina, ia meninggal dan dimakamkan disana. Namun menurut versi lain dan inilah yang paling banyak dianut orang bahwa beliau dibawa ke Makkah, kemudian dikuburkan diantara safa dan marwah dimakkah.[12]

Imam Nasa’i mempunyai banyak karangan yang berkaitan dengan al-hadith dan al-‘ilal, salah satunya yaitu kitab al-Sunan, jika kita bandingkan kitab al-Sunan al-Nasa’i dengan kitab-kitab al-Sunan yang lain kita bisa simpulkan bahwa kitabnya sangat sedikit sekali ditemukan hadis da’if dibandingkan dengan kitab-kitab al-Sunan yang lain.[13]

    B.  Pengakuan Ulama Hadis atas Kapasitas Keilmuannya.

Imam al-Nasa’i telah diakui keutamaan, keahlian, dan kepemimpinannya dalam bidang ilmu hadis oleh murid-murid beliau dan ulama-ulama lain yang datang sesudah generasi murid-muridnya. Hal ini terbukti dari perktaan beberapa ulama, seperti berikut:

Al-Hakim berkata: “beberapa kali saya mendengar ’Abu al-Hasan al-Daruqutni mengatakan Abu Abd al-Rahman al-Nasa’i adalah orang yang didahulukan dalam bidang ilmu hadis pada masanya ketika orang membicarakan al-jarh dan ta’dil.[14]

Abu Sa’id Abd Rahman ibn Ahmad ibn Yunus sahib Tarikh Misr  mengatakan al-Nasa’i adalah seorang ulama yang telah diakui keilmuannya, ke-thiqah-annya dan kekuatan hafalannya.[15]

Berdasarkan pengakuan  para ulama diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kepiawaian al-Nasa’i tampak dalam berbagai bidang ilmu yang dapat dikelompokkan dalam:

1.    Ilmu hadis.

Dalam bidang ini. Ia mempunyai pengetahuan yang sangat luas sehingga ia dijadikan sebagai tempat pencari petunjuk. Disamping itu ia juga dianggap sebagai pemimpin dalam bidang ilmu ini. Sehingga ia dijadikan sebagai orang yang akan mengarahkan kepada jalan kebenaran. Disamping itu juga, ia mempunyai pengetahuan yang luas serta pemahaman yang mendalam terhadap sanad-sanad hadis, perbedaan rawi dan perbedaan cara pengugkapan hadis, sehingga ia dapat mentshih dan memperbaikinya

2.    Ilm Jarh Ta’dil dan ilmu yang berhubungan dengan rawi

Dalam bidang ilmu ini, ia dikenal sebagai kritikus yang sangat teliti. Ia melakukan jarh dan ta’dil dengan ungkapan yang sangat sopan dan jelas. Para ahli dalam bidang ilmu ini sesudahnya, sangat tergantung kepada pernyataan beliau, dan menempatkan pendapatnya pada tingkatang yang tinggi dan sangat mulia. Ia dianggap sebagai orang yang ketat dalam menerima periwayatan suatu hadis, dan atas dasar ini pula Abu Ya’li al-Khalili menyatakan bahwa pendapat Imam al-Nasa’i dalam melakukan jarh dan ta’dil seorang rawi sangat dipercaya.

3.    Ilmu ‘Ilal al-Hadith

Jalan untuk menguasai ilmu ini adalah pengetahuan yang luas terhadap sanad-sanad periwayatan hadis, perbedaan-perbedaan periwayatan antara hadis yang satu dengan yang lain serta pengetahuan yang dalam tentang tingkatan para rawi. Dalam hal ini al-Nasa’i sangat menguasai ketiga bidang ini, sehingga dengan demikian, ia dikatakan juga imam dalam bidang ilmu ‘ilal al-Hadith.

4.    Ilmu al-fiqh al-hadith (pemahaman hadis)

Dalam hal ini hal ini, Imam al-Darqutni mengatakan bahwa Imam Nasa’i adalah shaikh Mesir yang paling paham tentang makna suatu hadis pada masanya. Demikian juga al-Haki, beliau menyatakan bahwa perkataan (pendapat) al-Nasa’i tentang pemahaman suatu hadis sangat banyak, barang siapa yang memperhatikan kitab Sunan-nya maka dia akan sangat kagum dengan pendapat yang beliau kemukakan. Inilah kesaksian dan pengakuan yang disampaikan oleh dua imam besar yang telah mengakui keutamaan dan kepemimpinannya dalam bidang fiqih. Hal ini semakin menyakinkan orang akan kedudukannya sebagai hakim. Khusus dalam bidang ilmu fiqh ini, al-Nasa’i tidak bisa diidentifikasi dalam hal mazhabnya jika dilihat dalam struktur mazhab yang empat. Akan tetapi, pengikut syafi’i mengklaim bahwa al-Nasa’i  menganut mazhab Syafi’i. hal ini mungkin disebabkan oleh domisili tetapnya di Mesir yang mayoritas penduduknya menganut mazhab Syafi’i, dan menerima pelajaran dari imam-imam mazhab Syafi’i serta mendengarkan pelajaran dari mereka.[16]

    C.  Guru-guru dan Murid-muridnya

Imam Nasa’i menerima dan mempelajari berbagai macam hadis dari guru-guru beliau yang jumlahnya sangat banyak. Hal ini dapat dipahami karena beliau sering mengadakan perjalanan ke berbagai daerah dengan tujuan untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan mengenai hadis nabi. Imam al-Suyuti memaparkan beberapa guru Imam Nasa’i didalam sharah kitab al-Nasa’i yaitu: Ishaq ibn Rahawaih, Ishaq ibn Habib ibn al-Shahid, Sulaiman ibn Ash’as, Ishaq ibn Shahin, al-Haris ibn Miskin, Ishaq ibn Mansur al-Kusj, Mahmud ibn Gailan, Qutaibah ibn Sa’id, Ishaq ibn Musa al-Ash’ari, Ibrahim ibn sa’id al-Jauhari, Ibrahim ibn Ya’kub al-Juzajani, Muhammad ibn Bassar, ‘Ali ibn Hajar, Abi Dawud al-Sijistani, ‘Ali ibn Khasram, Mujahid ibn Musa, Ahmad ibn Bakar ibn Maimunah, al-Hasan ibn Muhammad al-Za’farani, Ahmad Ibn ‘Ubdah. Di Damaskus ia medengar dari Hisham ibn ‘Ammar dan Duhaima. Dan masih banyak lagi yang ia dengar dari negara Hurasan, Hijaz, Iraq, Jazirah, Syam dan Mesir. Dan ia telah belajar dengan jama’ah dari al-Huffad wa al-Shuyukh, dianntaranya ‘Abdullah ibn al-Imam Ahmad Batrusus dan Abu Bashar al-Dulabi.[17]

Adapun murid-murid beliau sangatlah banyak. Diantaranya adalah al-Imam Abu al-Qasim al-Tabrani, Abu ‘Ali al-Husain ibn ‘Ali al-Huffad al-Niyaimuzi al-Tabrani, Ahmad ibn ‘Umair jusa, Muhammad ibn Ja’far ibn Qallas, Abu al-Qasim ibn Abi al-‘ukb, Abu al-Maimun al-Rashid, Abu al-Hasan ibn Khadhlam, Abu Sa’id al-A’rabi, Imam Abu Ja’fal al-Tahawi, Muhammad ibn Harun ibn Shu’aib, Ibrahim ibn Muhammad ibn Salih ibn Sannan dan Abu Bakr Ahmad ibn Ishaq al-Sunni al-Hafiz.[18]

    D.  Metodologi dan Sistematika Imam al-Nasa’i

Al-Nasa’i dikenal sangat teliti terhadap hadis dan para rawi,  dan bahwa kreterianya dalam men-thiqah-kan rawi itu sangat tinggi. Ia menyusun kitab yang sangat besar dan sangat lengkap serta dikenal dengan al-Sunan al-Kubra. Dan kitab yang bernama al-Mujtaba yang lebih dikenal dengan Sunan al-Nasa’i merupakan hasil seleksi darinya. Ada yang mengatakan bahwa nama kitabnya adalah al-Mujtana.[19]

 Kitab al-Mujtaba di susun berdasarkan bab-bab fiqih, dan untuk tiap bab diberinya judul yang kadang-kadang mencapai tingkat keunikan yang tinggi. Ia mengumpulkan sanad-sanad suatu hadis di satu tempat. Dengan demikian ia telah menempuh suatu jejak muhaddisin yang paling rumit dan agung.[20]

Sunan al-Nasai disusun berdasarkan metode sunan. Yaitu berdasarkan klasifikasi hukum Islam (abwab al-Fiqhiyah), dan hanya mencantumkan hadis-hadis marfu’ (yang bersumber dari Nabi SAW) saja. Apabila terdapat hadis mauquf  atau maqtu, maka jumlahnya relative hanya sedikit.[21]

Kitab al-Mujtaba disusun dengan metodologi yang sangat unik dengan memadukan fikih dan kajian sanad. Hadis-hadisnya disusun berdasarkan bab-bab fikih, dan untuk tiap bab diberinya judul yang kadang-kadang mencapai tingkat keunikan yang tinggi. Ia mengumpulkan sanad-sanad suatu hadis disatu tempat.[22]

Ahmad ibn Mahbub al-Ramli berkata,” saya mendengar Imam al-Nasa’i berkata, “ketika saya bertekad mengumpulkan hadis (kitab al-sunan). Saya ber-istikharah kepada Allah dalam meriwayatkan hadis dari guru-guru yang mana dihatiku terdapat sedikit aib, kemudian saya memilih untuk meninggalkan sejumlah hadis dari mereka yang semula saya banggakan.[23]

Abu al-Hasan al-Ma’afiri berkata, “Apabila saya memperhatikan hadis yang dikeluarkan oleh ahli hadis, maka hadis yang dikeluarkan oleh Imam al-Nasa’i lebih mendekati shahih dibandingkan hadis yang dikeluarkan oleh selainnya.[24]

Al-Hafiz Ibn Rasyid berkata, “kitab al-Nasa’i adalah kitab sunan yang terindah pembagiannya dan terbaik penataannya. Kitabnya menggabungkan antara metodologi al-Bukhari dan al-Muslim disertai dengan banyak penjelasan ‘illat hadis.[25]

Secara global, kitab al-Nasa’i termasuk Kutub al-Sittah yang paling sedikit –setelah al-sahihain- memuat hadis da’if dan perawi cacat. Sunan Abu Dawud dan Tirmizi mendekatinya dalam kategori itu. Sedangkan dari sisi lain, sunan ibn majah berseberangan dengannya, karena dia bersendirian dalam periwayatan hadis dari orang-orang yang tertuduh berdusta.[26]

Muhamad ibn Muawiyah al-Ahmar (perawi hadis dari al-Nasa’i) berkata, “semua kitab sunan adalah sahih, dan sebagiannya ma’lul, hanya saja ‘illat-nya tidak jelas. Dan hadis pilihan yang dinamakan al-Mujtaba adalah sahih semua.[27]

Sehingga dapat ditegaskan, bahwa Imam al-Nasa’i dalam penyusunan kitabnya ini mengkhususkan hadis-hadis marfu’ dan yang berbicara tentang hukum dan tidak dimasukkan didalam yang berkaitan dengan khabar, etika dan mau’idah-mau’idah, hal ini dikarenakan kitab ini merupakan pilihan berupa hadis-hadis hukum dari kitab beliau yang lain, yaitu kitab al-Sunan al-Kubra.[28]

Adapun sistematika penyusunannya dengan lengkap dapat disebutkan disini sebagai berikut:

No

Nama kitab

Juz

Hlm

No

Nama Kitab

Juz

Hlm

-

Al-Muqaddimah

I

3

26

Al-Nikah

VI

71

1

Al-Taharah

I

12

27

Al-Talaq

VI

112

2

Al-Miyah

I

141

28

Al-Khail

VI

178

3

Al-Haid

I

147

29

Al-Ahbas

VI

190

4

Al-Ghusl wa al-Tayammum

I

162

30

Al-Wasaya

VI

198

5

Al-Salah

I

178

31

Al-Nahl

VI

216

6

Al-Mawaqit

I

198

32

Al-Hibah

VI

220

7

Al-Azan

II

3

33

Al-Ruqba

VI

226

8

Al-Masajid

II

26

34

Al-Umra

VI

228

9

Al-Qiblah

II

47

35

Al-‘Aiman wa al-Nuzur wa al Muzar’ah

VII

3

10

Al-Imamah

II

58

36

‘Usyrah al-Nisa’

VII

58

11

Iftitah al-Salah

II

93

37

Tahrim al-Dam

VII

70

12

Al-Tatbiq

II

143

38

Qism al-Fai’

VII

117

13

Al-sahwu

II

3

39

Al-Bai’ah

VII

124

14

Al-Jumu’ah

III

71

40

Al-Aqiqah

VII

145

15

Taqsir al-Salah fi al-safar

III

95

41

Al-Far’ wa al-‘Atirah

VII

147

16

Al-Kusuf

III

101

42

Al-Said wa al-Zaba’ ih

VII

158

17

Al-Istisqa’

III

125

43

Al-Dahaya

VII

186

18

Shalat al-Khusuf

III

136

44

Al-Buyu’

VII

212

19

Salat al-‘Idain

III

146

45

Al-Qasamah

VIII

3

20

Qiyam al-Lail wa Tawattu’ al-Nahr

III

161

46

Qat’u al-Sariq

VIII

57

21

Al-Jana’iz

IV

3

47

Al-‘Aiman wa al-Syara’

VIII

76

22

‘Asyrah al-Nisa’

VII

58

48

Al-Zinah

VIII

109

23

Al-Siyam

IV

97

49

Adab al-Qada’

VIII

195

24

Al-Zakah

V

3

50

Al-Isti’zah

VIII

219

25

Manasik al-Haj

V

83

51

Al-Ashribah

VIII

252

 

Dari sistematika  yang dipaparkan diatas dapat disimpulkan bahwa Imam al-Nasa’i dalam kitabnya hanya membahas beberapa hadis al-sunan dan al-ahkam, tidak ada kitab yang membahas mengenai al-tafsir, al-ahbar, al-manaqib, dan al-mawa’id.[29]

 Ada beberapa catatan dan komentar yang dapat diberikan mengenai susunan sistematika kitab al-Sunan al-Nasa’i:

1.    Dari kitab (bab) pertama sampai dengan kitab (bab) ke-21, membahas tentang masalah taharah dan salat. Jumlah kitab (bab) yang terbanyak adalah mengenai salat.

2.    kitab (bab) puasa didahulukan dari pada zakat

3.    kitab (bab) qism al-fai’ (pembagian rampasan perang) diletakkan jauh dari kitab jihad.

4.    Kitab al-Khali juga diletakkan berjauhan dari kitab jihad

5.    Melakukan pemisahan-pemisahan diantara kitab-kitab(bab-bab) al-ahbass (wakaf), wasiat-wasiat, al-nahl (pemberian kepada anak), al-hibah (pemberian), al-ruqbaa. Sedang kitab atau pembahasan mengenai fara’id tidak ada.

6.    Melakukan pemisahan-pemisahan antara kitab al-asyribah (minuman), al-said (perburuan), al-Zaba’ih (sembelihan hewan kurban), al-dahaya (kurban idul adha)

7.    Kitab Imam ditempatkan dibagian akhir.

8.    Yang tidak termasuk hukum hanyalah kitab Imam dan kitab al-isti’azah.[30]

    E.  Syarat al-Nasa’i dan Perhatian Ulama Terhadap Kitabnya

Al- Hafizh Abu Fadhl Muhammad bin Thahir berkata: “Kitab Abu Dawud dan kitab-kitab orang setelahnya (termasuk kitab al-Nasa’i) terbagi menjadi tiga:

Pertama, Sahih, ini adalah jenis sesuatu yang ada dalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim.

Kedua, Sahih menurut syarat mereka –Ashab al-Sunan-. Abu Dawud bin Abdullah bin Mandah menceritakan bahwa syarat Abu Dawud dan al-Nasa’i adalah meriwayatkan hadis-hadis dari kaum yang belum terjadi kesepakatan untuk meninggalkan mereka apabila hadisnya Sahih, dengan sanad muttasil, tidak munqathi dan mursal.

Ketiga, hadis-hadis yang mereka riwayatkan untuk melawan (hadis) dalam bab sebelumnya. Mereka meriwayatkannya, bukan memastikan ke-Sahih-annya. Barangkali perawinya telah menjelaskan illat-nya dengan sesuatu yang mudah dipahami oleh ahli ilmu.[31]

Jika dikatakan, “mengapa mereka mencantumkannya dalam kitab-kitab mereka, padahal hadis itu tidak sahih menurut mereka?” jawabnya terdiri dari tiga hal:

1.    Orang-orang telah meriwayatkannya, dan menjadikannya sebagai hujjah, maka mereka mencantumkannya dan menjelaskan cacatnya untuk menghilangkan shubhat.

2.    Bahwa mereka tidak mensyaratkan penamaan Sahih sebagaiman yang dijelaskan oleh al-Bukhari dan Muslim pada bagian kitab mereka.

3.    Hendaknya dilontarkan bantahan kepada orang yang mengatakan bahwa kita menyaksikan para fuqaha’ dan para ulama mencantumkan dalil pebandingan dalam kitab-kitab mereka, padahal mereka yakin bahwa itu bukanlah dalil. Maka perbuatan mereka (pemilik kitab al-Sunan) adalah sebagaimana perbuatan para fuqaha’ tersebut.[32]

Adapun perhatian ulama terhadapnya, maka mereka mencurahkan perhatian mereka kepadanya sebagaimana perhatian mereka terhadap Kutub al-Sittah lainnya, baik dari segi periwayatan, penyimakan, dan penyalinannya. Mereka menyusun biografi para perawinya bersama dengan para perawi Kutub al-Sittah. [33]

Mengenai syarah al-Nasa’i, maka saya tidak pernah mengetahu kitab-kitab sharah-nya kecuali Sharah Imam al-Suyuti dan Hasiyah Imam al-Sindi, dan keduanya telah dicetak.[34]


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:


BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

1.      Sunan al-Nasai disusun berdasarkan metode sunan. Yaitu berdasarkan klasifikasi hukum Islam (abwab al-Fiqhiyah), dan hanya mencantumkan hadis-hadis marfu’ (yang bersumber dari Nabi SAW) saja. Apabila terdapat hadis mauquf  atau maqtu, maka jumlahnya relative hanya sedikit.

2.     Imam al-Nasa’i dalam penyusunan kitabnya ini mengkhususkan hadis-hadis marfu’ dan yang berbicara tentang hukum dan tidak dimasukkan didalam yang berkaitan dengan khabar, etika dan mau’idah-mau’idah, hal ini dikarenakan kitab ini merupakan pilihan berupa hadis-hadis hukum dari kitab beliau yang lain, yaitu kitab al-Sunan al-Kubra.

3.     Perhatian ulama terhadak kitab al-Nasa’i sebagaimana perhatian mereka terhadap Kutub al-Sittah lainnya, baik dari segi periwayatan, penyimakan, dan penyalinannya. Mereka menyusun biografi para perawinya bersama dengan para perawi Kutub al-Sittah.


DAFTAR PUSTAKA 

Abdurrahman, Muhammad, Metode Kritik Hadis (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011)

Afdawaiza, Studi Kitab Hadis (Yogyakarta: Teras, 2003)

Arifin, Zainul, Studi Kitab Hadis (Surabaya: Al-Muna, 2010)

‘Asqalani (Al), Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar, Tahdhib al-Tahdhib, Juz 1, (Kairo: Dar Al-Hadis, 2010)

‘Itr, Nuruddin, Ulum al-Hadith, terj.Mujiyo (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012)

Hadi(Al), Abd al-Muhdi Abd al-Qadir Abd, Turuq alTakhrij al-Hasith (Kairo: Maktabah  ’al-Iman, 2012)

Kafuri, Muhammad ibn Abd al-Rahman ibn Abd al-Rahim al-Mubar, Muqaddimah Tuhfah al-Ahwadhi (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2001)

Maqdisi (Al), Mahammad bin Tahir, Shurut al-Aimmah al-Sittah (Pakistan: Hadis Academy, t.th)

Rahman, Fatchur, Ikhtisar Mustalah Hadith (Bandung: Al-Ma’arif, 1974)

Shaukani (Al), Muhammad, Nail al-autar, Juz 1 (Bairut: Dar al-Fikr, 1983)

Shuhbah, Muhammad Ibn Muhammad Abu, Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub al-Sihah (Kairo: Majma’ Buhus al-Islamiyah,1995)

Wasil, Nasr Farid Muhammad, al-Wasit fi ‘Ilm Mustalah al-Hadith (Kairo: Dar al-Taufiqiyah, t.th)

Ya’qub, Ali Mustafa, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000)

Zahrani(Al), Muhammad, Ensiklopedia Kitab-kitab Rujukan Hadis, terj. Muhammad Rum (Jakarta: Darul Haq,2012)



[1] Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-‘Asqalani, Tahdhib al-Tahdhib, Juz 1, (Kairo: Dar Al-Hadis, 2010), 80

[2] Ibid.,82

[3] Jalaluddin al-Suyuti, Sharh Sunan Al-Nasa’i (Bairut: Dar al-Fikr, 1930),b

[4] Muhammad Ibn Muhammad Abu syuhbah, Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub al-Sihah (Kairo: Majma’ Buhus al-Islamiyah,1995),159,160

[5] Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis (Surabaya: Al-Muna, 2010), 125

[6] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mustalah Hadith (Bandung: Al-Ma’arif, 1974),384

[7] Jalaluddin al-Suyuti, Muqaddimah Sharh Sunan Al-Nasa’I, 5.

[8] Nasr Farid Muhammad wasil, al-Wasit fi ‘Ilm Mustalah al-Hadith (Kairo: Dar al-Taufiqiyah, t.th),155

[9] M. Abdurrahman, Metode Kritik Hadis (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011),241

[10] Muhammad ibn Abd al-Rahman ibn Abd al-Rahim al-Mubar Kafuri, Muqaddimah Tuhfah al-Ahwadhi (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2001), 107

[11] Jalaluddin al-Suyuti, Sharh Sunan Al-Nasa’i, 5.

[12] Ibid.,e

[13] Muhammad al-Shaukani, Nail al-autar, Juz 1 (Bairut: Dar al-Fikr, 1983),13

[14] Jalaluddin al-Suyuti, Sharh Sunan Al-Nasa’i, c.

[15] Ibid.

[16] Jalaluddin al-Suyuti, Sharh Sunan Al-Nasa’i…d,

[17] Jalaluddin al-Suyuti, Sharh Sunan Al-Nasa’i…b

[18] Ibid.,c

[19] Nuruddin ‘itr, Ulum al-Hadith, terj.Mujiyo (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012),282

[20] Ibid.,282,283

[21] Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000),79

[22] Nuruddin ‘itr, Ulum al-Hadith…282

[23] Muhammad ibn Abd al-Rahman ibn Abd al-Rahim al-Mubar Kafuri, Muqaddimah Tuhfah al-Ahwadhi

[24] Ibid

[25] Muhammad al-Zahrani, Ensiklopedia Kitab-kitab Rujukan Hadis, terj. Muhammad Rum (Jakarta: Darul Haq,2012),150

[26] Ibid.,150

[27] Jalaluddin al-Suyuti, Muqaddimah Sharh Sunan Al-Nasa’i

[28] Afdawaiza, Studi Kitab Hadis (Yogyakarta: Teras, 2003),144

[29] Abd al-Muhdi Abd al-Qadir Abd al-Hadi, Turuq alTakhrij al-Hasith (Kairo: Maktabah  ’al-Iman, 2012),347,349

[30]Ibid.,349

[31] Muhammad al-Zahrani, Ensiklopedia Kitab-kitab Rujukan Hadis…143

[32] Mahammad bin Tahir al-Maqdisi, Shurut al-Aimmah al-Sittah (Pakistan: Hadis Academy, t.th),13,16

[33] Muhammad al-Zahrani, Ensiklopedia Kitab-kitab Rujukan Hadis…150

[34] Ibid.,150

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...