HOME

13 April, 2022

SEJARAH PENYUSUNAN MUSNAD AHMAD BIN HANBAL

 

BAB I

PENDAHULUAN

    A.    Latar Belakang Masalah

Dokumentasi hadis abad ke 3 H benar-benar mampu menyemarakkan geliat dinamika intelektual muhadisin. Produk zaman ini mampu menelurkan karya ilmiah spektakuler dalam disiplin ilmu hadis yang terbilang tidak sedikit kuantitasnya. Kualitasnya pun patut diacungi jempol, tak mengherankan bila ia disebut-sebut sebagai era keemasan atau dalam istilah lain puncak kejayaan disiplin ilmu hadis. Lihat saja, kitab-kitab hadis populer seperti Sahih Bukhari, Sahih Muslim, dan Musnad Ahmad muncul dan mencuat di zaman ini.

Acapkali khalayak menuturkan eksistensi dokumentasi hadis dimulai abad ke 2, bahkan yang lebih disayangkan lagi ada beberapa cendekiawan yang menilai dokumentasi baru dimulai abad ke 3. Bila ditelisik lebih dalam akan ditemukan, bahwa dokumentasi telah dilaksanakan semenjak masa Nabi SAW. oleh para sahabat meskipun memang sifatnya koleksi pribadi. Namun, menurut mereka hal tersebut tidak bisa dianggap dan diakui, hanya karena bukti-bukti dokumentasi abad ke 1 sudah musnah dan lenyap. Padahal, sesungguhnya materi yang terkandung dalam catatan dokumentasi abad ke 1 telah melebur dan menyatu bersama kitab-kitab hadis abad setelahnya. Para cendekiawan juga tak mampu membayangkan betapa banyaknya hadis nabawi yang diriwayatkan saat itu, sebagaimana yang diungkapkan Al-Kilani.[1] Sehingga tak heran bila mereka dengan mudahnya meniadakan dan memakzulkan dokumentasi abad pertama.

Dikabarkan, Imam Ahmad menghafal hadis lebih dari 700.000 hadis. Begitupula Imam Bukhari menghafal sekitar 200.000 hadis daif dan 100.000 hadis sahih. Kesemua hadis yang dihafal oleh para muhadis ini telah dicatat dan didokumentasi oleh para perawi abad pertama. Lebih-lebih menurut Al-Husaini, jika semua dokumen, lembaran sahifah riwayat Abdullah bin ‘Amru bin ‘As, Jabir, Ali bin Abi Thalib,  Abu Hurairah, Anas bin Malik dan Ibnu Abbas dikumpulkan menjadi satu, maka dapat dikatakan bahwa seluruh hadis dalam kitab-kitab sahih, beserta berbagai jami’dan musnad yang telah ditetapkan keabsahannya, sesungguhnya telah terekam dan terdokumentasikan pada masa Nabi SAW. dan masa sahabat, jauh sebelum kitab Muwatha’ muncul.[2]

Berbicara mengenai dokumentasi hadis, disini penulis akan mengambil satu sampel kitab sebagai wujud dokumentasi hadis. Sebuah kitab yang terhitung cukup lama usianya pasca Muwatha’ dan masih bisa dijangkau hingga masa kini. Dalam Musnad Ahmad ini, kita bisa melihat juga bagaimana kapabelitas Imam Ahmad berikut hafalan 700.000 hadisnya. Dalam makalah, sebelum menelaah lebih lanjut seluk beluk Musnad Ahmad, penulis akan memaparkan biografi dan faktor-faktor yang melatarbelakangi penyusunan Musnad Ahmad.


    B.     Rumusan Masalah

    1.      Siapa Imam Ahmad bin Hanbal dan bagaimana perjalanan hidupnya?

    2.      Bagaimana kondisi sosial politik pada masa hidupnya?

    3.      Sebutkan komentar para ulama tentang sosok dirinya!

    4.      Apa yang melatarbelakangi metode dan mazhabnya?

    5.      Seperti apa metode dan sistematika Musnad Ahmad?

    6.      Bagaimana metode takhrij hadis di dalamnya?

    7.      Apa saja kritik mengenai Musnad Ahmad?

 

    C.    Tujuan Penelitian

    1.      Mengetahui biografi Imam Ahmad bin Hanbal

    2.      Memahami kondisi sosial politik pada masa hidupnya

    3.      Mengetahui komentar para ulama tentang pribadinya

    4.      Mengerti latar belakang metode dan mazhab Hanbali

    5.      Memahami metode dan sistematika Musnad Ahmad

    6.      Mengerti metode takhrij hadis dalam Musnad Ahmad

    7.      Mengetahui berbagai kritik atas Musnad Ahmad

 

    D.     Kegunaan Penelitian

    1.      Agar penulis dan pembaca lebih mengenal sosok Ahmad bin Hanbal dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya.

    2.      Supaya pembaca dan penulis sendiri mengerti dan memahami apa saja yang terkandung dalam Musnad Ahmad beserta sistematika dan kritik yang ditujukan kepadanya.

 

    E.     Kerangka Penelitian

Bab I  :            Pendahuluan

a.       Latar belakang masalah

b.      Rumusan masalah

c.       Tujuan penelitian

d.      Kegunaan Penelitian

e.       Kerangka Makalah

Bab II : Pembahasan

a.    Napak tilas Imam Ahmad bin Hanbal

1.      Biografi Imam Ahmad bin Hanbal

2.      Kondisi sosial politik

3.      Imam Ahmad dalam sorotan

b.    Al-Musnad; masterpiece Imam Ahmad

1.      Metode dan sistematika Musnad Ahmad

2.      Kritik terhadap Musnad Ahmad

Bab III : Penutup

Daftar pustaka


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;


BAB II

PEMBAHASAN

A.    NAPAK TILAS IMAM AHMAD BIN HANBAL

            1.   Biografi Imam Ahmad bin Hanbal

Bernama lengkap Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad Al-Shaibani Abu Abdullah Al-Marzawi Al-Baghdadi.[3]Mendapat julukan (laqab) Al-Shaibani, sebutan kuniyah-nya Abu Abdillah. Nasabnya berujung ke nabi Ibrahim AS.[4] Bisa dikatakan dirinya termasuk keturunan Arab murni dari suku bani Shaiban. Namun ia tak pernah ujub, bangga diri terlebih fanatik dengan ke-arab-annya. Ibnu Ma‘in berkata “tak kutemukan orang sebaik Ahmad, ia tak pernah membanggakan darah Arabnya diantara kami”.[5]  Lahir di Baghdad, Rabiul Awal tahun 164 H atau pada bulan November tahun 780 M.[6]

Imam Ahmad merupakan anak tunggal. Ia tumbuh sebagai anak yatim, ayahandanya Muhammad yang juga seorang ulama di Basrah, meninggal dunia ketika Imam Ahmad berusia 3 tahun. Meskipun begitu, Ibunya yang bernama Safiyah binti Maimunah binti Abdul Malik Al-Shaiban tidak mau menikah lagi, walaupun umur masih muda dan banyak lelaki yang meminangnya. Kiranya sang ibu ingin lebih fokus dalam memperhatikan dan mendidik buah hatinya yang semata wayang, supaya mampu membesarkannya sesuai dengan apa yang diharapakan. Sedangkan kakeknya, Hanbal bin Hilal ialah seorang gubernur Sarakhs yang aktif bersama dinasti Abbasiyah melawan dinasti Umayyah di Khurasan. [7]

Diusianya yang masih dini, Imam Ahmad sudah menghafal Al-Quran. ia berguru kepada Al-Qadi Abi Yusuf untuk mempelajari fikih.[8] Kemudian ia mulai mendengar periwayatan hadis dan mencarinya ke beberapa syekh saat umurnya menginjak 16 tahun. Saking cintanya terhadap ilmu khususnya hadis, dirinya selalu rajin pergi ke masjid di pagi buta hingga sang ibu merindukannya.[9] Imam Ahmad menunaikan ibadah haji sebanyak 5 kali.[10] 3 diantaranya ia tempuh dengan berjalan kaki. Ia bercerita, pernah ketika ia tersesat di jalan ia berkata wahai Ibadullah (hamba-hamba Allah) tunjukkanlah kepadaku jalan yang benar, ia pun berjalan terus hingga akhirnya dirinya berdiri di jalur yang benar.[11] Setelah haji terakhir ia menuju ke Yaman. Disana ia bertemu Abdul Razaq dan menulis hadis darinya. Imam Ahmad hidup dalam kondisi finansial yang sederhana atau pas-pasan , sebagian literatur menyebut Imam Ahmad miskin harta tapi kaya jiwanya.[12] Kemungkinan ibadah haji yang ia tempuh dengan jalan kaki salah satunya karena udzur tersebut. Imam Shafi‘i berkata Ahmad bin Hanbal berjanji kepadaku akan datang ke Mesir, tapi ia belum kunjung datang. Menurut Ibnu Abi Hatim, mungkin saat itu Imam Ahmad tengah kekurangan finansial sehingga tidak mampu memenuhi janji tersebut.[13]

Meskipun ia besar di Baghdad, markaz keilmuan dan peradaban Islam berada. Imam Ahmad tidak hanya belajar kepada ulama-ulama yang bermukim maupun sekedar singgah disana. Tercatat, dirinya juga melakukan ekspedisi ilmiah. Ketika usia 19 tahun ia sudah keluar dari Baghdad.[14]Tahun 183 H. ia pergi ke Kufah, lalu ke Basrah pada tahun 186 H., tahun berikutnya ke Makkah. Lalu dilanjutkan ke Madinah, Yaman, Syiria dan Mesopotamia. Ekspedisinya ia fokuskan untuk mencari hadis. Dirinya banyak mendapatkan hadis dari beberapa ulama besar sekaliber Sufyan bin Uyainah, Ibrahim bin Sa’ad, Hashim, Jarir bin Abdul Hamid, Waki‘, Abu Dawud Al-Tayalisi dan Yahya Al-Qattan.[15]

Hadis riwayat Imam Ahmad banyak ditransmisikan ulama besar ilmu hadis, seperti Bukhari, Muslim, Shafi’i, Waki’, Yahya bin Ma‘in, Abu Dawud, Ibnu Al-Mahdi, Ali bin Al-Madiny. Mereka merupakan para guru, teman sejawat dan murid-murid Imam Ahmad bin Hanbal.[16]Imam Ahmad termasuk ulama yang produktif. Beberapa karya ilmiahnya adalah kitab Al-‘Ilal, Al-Tafsir Al-Nasikh wa Al-Mansukh, Al-Zuhd, Al-Masail, Fadail Sahabah, Al-Faraid, Al-Manasik, Al-Iman, Al-Ashribah, Taat Al-Rasul dan Al-Rad ‘ala Al-Jahmiyah. Masterpiece-nya yang fenomenal ialah Musnad Ahmad.[17]

Imam Ahmad menikah dan memiliki 2 putra, yakni Salih dan Abdullah. Keduanya banyak menerima hadis dari ayahnya dan memasukkan sejumlah hadis ke kitab Musnad Ahmad. Imam Ahmad meninggal dunia di usianya yang ke 77 tahun, tepat hari jumat Rabiul Awal tahun 241 H atau 855 M di kota kelahirannya, Baghdad.[18]Abu Al-Hasan bin Al-Zaghuni mengatakan ketika kuburan Ahmad bin Hanbal dibuka untuk menguburkan Abu Ja‘far bin Abi Musa disampingnya, terlihat kafan mayatnya masih baik posisinya juga tidak berubah, padahal saat itu sudah 230 tahun pasca kematiannya.[19]


            2.   Kondisi Sosial Politik

Ahmad bin Hanbal hidup di masa dinasti Abbasiyah berkuasa. Tabiat Imam Ahmad sesungguhnya refleksi dari dekadensi sosial dan moral lingkungan hidupnya. Kekacauan politik dan ekonomi, perbedaan ideologi dan teologi filosofi beserta tekanan hebat yang dialami masyarakat, membuat kesenjangan sosial antara penguasa dan rakyat semakin lebar.[20]

Para penguasa seringkali menjadikan nas agama sebagai penyokong kepentingan pragmatis, guna mempertahankan kekuasaan berikut hak-hak istimewa keluarga istana. Al-Quran dan hadis bukan lagi menjadi pedoman. Kebijakan pemerintah tidak lagi berdasarkan Al-Quran dan hadis. Kala Al-Ma’mun menjabat khilafah, Muktazilah menjadi teologi resmi pemerintah yang harus dianut oleh seluruh elemen masyarakat. Dedengkot mazhab Muktazilah secara otomatis menjadi penasehat setiap kebijakan resmi khalifah.[21]

Peristiwa yang sangat mengangkat kapabelitas Ahmad bin Hanbal ketika era Al-Ma’mun adalah mihnah. Disebut dengan mihnah karena mengandung arti khibrah yakni ujian sebagai pengalaman hidup. Istilah mihnah biasanya dipakai untuk menggambarkan kesabaran para nabi atas derita yang dihadapinya.[22] mihnah yang dihadapi oleh Ahmad bin Hanbal merupakan akibat dari kebijakan Al-Ma’mun yang mengangkat wacana Al-Quran adalah makhluk sebagai suatu paham yang wajib diterima oleh rakyat. Bukan hanya memaksa, melainkan juga tak segan menyiksa dan menghabisi nyawa bila tak mau menerima.[23]

Sesungguhnya wacana  kemakhlukan Al-Quran keluar pertama kali dari mulut Al-Ja‘d bin Dirham pada masa akhir dinasti Umayyah. Jahm bin safwan -perintis Muktazilah- mempelajari wacana ini darinya. Ada juga yang berpendapat bahwa Al-Ja‘d sebenarnya mendapatkan perkataan ini dari Abban bin Sam‘an, dari Talut bin A’sam Al-Yahudy. Pada waktu Al-Rashid, Bashr Al-Marisi juga mengatakan hal yang serupa. Sayangnya, Al-Rashid sangat menentang wacana ini dan berkehendak untuk membunuh siapapun yang mengatakannya. Maka, sejatinya wacana ini sudah ada semenjak akhir dinasti umayyah, ia tumbuh dan mati, tumbuh dan berkembang pada era setelahnya, hingga mencapai puncaknya pada masa Al-Ma’mun. Sebagaimana yang diketahui Al-Ma’mun sangat menyukai hal-hal yang berbau rasio, ia lebih cenderung terhadap kebebasan berfikir. Sehingga bisa dilihat, kecenderungannya sangat berdekatan dengan apa yang diusung Muktazilah. Tak heran bila mazhab tersebut menggapai zaman keemasan di masanya.[24]  

Ahmad Amin mengutip beberapa pertanyaan yang diajukan kepada Ahmad bin Hanbal. Antara lain:

-          Ibnu Daud bertanya: apakah pendapat anda tentang Al-Quran?

Ahmad bin Hanbal menjawab: Al-Quran adalah firman Allah.

Ia bertanya lagi: apakah ia makhluk?

Ahmad bin Hanbal menjawab : Ia adalah firman Allah.[25]

-  Bagaimana pendapat anda tentang hadis Imran bin Hushain “Sesungguhnya Allah telah menciptakan Al-Dhikr (Al-Quran)”?

Ahmad bin Hanbal menjawab: salah, riwayat yang benar adalah “Allah telah menuliskan Al-Dhikr.

-          Perkataan bahwa Al-Quran bukan makhluk bisa menyebabkan kepada Tashbih !

Ia menjawab: Allah ahad (satu), Dia tempat bergantung dan tidak menyerupai apapun. DiriNya sebagaimana dengan apa yang telah Dia sifatkan.[26] 

            Pada akhirnya di masa Al-Mu‘tasim, ia di cambuk dan dimasukkan dalam penjara karena tak mau mengatakan Al-Quran adalah makhluk. Pada tahun 202 H. ia dihukum, dipukul dan didera. Ketika Al-Wathiq, ia dibuang dari Baghdad.[27]Hingga akhirnya, dengan matinya Al-Wathiq 233 H 847 M maka berakhir pulalah zaman keemasan Muktazilah. Kekuasaan dilimpahkan kepada Al-Mutawakkil keadaan pun berubah drastis. Mazhab Muktazilah digugat dan dihujat bahkan ulamanya diturunkan dari berbagai jabatan penting di pemerintahan. Ulama-ulamanya dipenjarakan. Malah para ulama hadis yang mendahulukan naql daripada akal dikeluarkan dari penjara setelah berapa lamanya mereka disana. Sampai-sampai ada kebijakan khalifah yang menganjurkan untuk melaknat Muktazilah di mimbar-mimbar masjid, dan hal itu menjadi bagian dari sunah Islam waktu itu.[28]

            Sejatinya bukan hanya wacana kemakhlukan Al-Quran saja, Imam Ahmad tak sependapat dengan pemerintah. Ia juga termasuk pemimpin para teolog yang sangat keras menentang ketika Al-Ma’mun berupaya untuk memberikan dirinya sendiri suatu gelar yang lebih kuat untuk memerintah. Al-Ma’mun beranggapan ia adalah anggota paling layak dari keluarga nabi yang menggantikan Ali bin Abi Talib, karena baginya para keturunan Abbas memiliki hak yang sama besarnya dengan keturunan Ali. kemudian Al-Ma’mun menyokong pemikiran beberapa teolog Muktazilah dan mencoba membuat penerimaan pemikiran ini sebagai syarat resmi menjadi pejabat istana.[29]

Namun tidak bisa dikatakan mazhab kalam Imam Ahmad adalah Ash’ariyah, hanya karena pendapatnya yang sama, ketika menentang khalifah Al-Ma’mun. karena mazhab Ash’ari ataupun Imam Ash’ari belum lahir ketika itu. Pada masa tersebut dan berdasarkan kronologi aliran kalam, nampaknya Imam Ahmad lebih simpati pada mazhab Jabariyah ketimbang Qadariyah. Begitupula Bukhari, Muslim dan penulis kitab Sunan. Mereka hidup dizaman merebaknya paham Khawarij, Shiah, Qadariyah, Jabariyah dan Muktazilah. Sedangkan Ash’ariyah dan Maturidiyah belum ada ketika itu.[30] Selain itu, Imam Ahmad juga selalu berusaha untuk menjauhi politik. Ketika Al-Rashid menawarkan jabatan hakim di Yaman, berdasarkan rekomendasi dari Imam Shafi‘i, ia menolaknya.[31]


3.      Imam Ahmad dalam Sorotan

Imam Ahmad adalah seorang yang badannya tinggi, kulitnya hitam kemerahan. Ia gemar memakai inai, memakai pakaian yang kasar dan sorban. Jarang memakan makanan. Imam Ahmad tidak mendapat kesempatan memakan makanan yang bermacam-macam. Ia sering makan cuka. Ia membeli alas kaki dari kayu atau lainnya dan dibawanya sendiri. Imam Ahmad duduk diatas hamparan permadani yang lama sudah terkoyak-koyak. Imam Ahmad adalah seorang yang kuat ingatannya, serta paham betul apa yang dihafalkannya. Ia seorang yang wara‘ dan penyabar juga mempunyai azam yang kuat, berkemauan tinggi, teguh pendirian, tidak riya dan selalu menjauhi senda gurau sehingga manusia lain tidak berani bersenda gurau di saat Imam Ahmad berada bersama mereka.[32]

Imam Ahmad sering beribadah dan melakukan tahajjud. Anaknya, Abdullah bercerita bahwa ayahnya salat setiap hari dan malam sebanyak 300 rakaat. Apabila beliau dalam keadaan uzur, Imam Ahmad salat sebanyak 150 rakaat. Ketika umur 80 tahun, Ia mengkhatamkan Al-Quran seminggu sekali.Ia tidak memberikan suatu fatwa kecuali setelah ditanya. Ahmad bin Hanbal tidak ingin membahas masalah yang diduga-duga atau khayalan. Ia tidak memberikan fatwa dengan pikiran. Dalam keadaan yang sangat sulit ia akan menjawab “aku tidak tahu” pada kebanyakan jawabannya. Imam Ahmad juga melarang keras berpegang dengan ilmu-ilmu dan kitab-kitab ahli pikir dan perdebatan karena umat Islam diperintahkan untuk mempelajari ilmu dari Atas (Al-Quran) dan Rasulullah (hadis nabawi).[33]

Pengakuan juga pujian dari para ulama dan fukaha kepadanya cukup banyak. Al-Nawawi mengatakan beliau adalah seorang imam yang bijaksana disamping kebesaran, kebijaksanaan, kewara’an, kezuhudan, ingatan, keilmuan dan kekuasaannya terhadap ilmu. Menurut Ibrahim Al-Harbi, Imam Ahmad adalah seorang yang dihimpunkan Allah dengan ilmu-ilmu orang terdahulu. Abu Daud Al-Sajastani juga mengatakan Aku pernah menemui 200 syekh dari berbagai ilmu tapi aku tidak pernah melihat orang seperti Imam Ahmad. Beliau tidak membicarakan tentng dunia sebagaimana orang lain. Apabila disebutkan tentang ilmu, beliau ikut berbicara. Dalam pandangan Abu Ubaid, ilmu terakhir dari 4 manusia: Ahmad bin Hanbal, beliau adalah manusia paling bijak di bidangnya; Ali bin Al-Madiny, beliau adalah orang yang lebih mengetahui dengannya; Yahya bin Mu’in, beliau adalah penulis terbaik untuknya; dan Abu Bakar bin Abi Shaibah, adalah orang yang paling kuat hafalannya.

 

B.     AL-MUSNAD; MASTERPIECE IMAM AHMAD

            1.   Metode dan Sistematika Musnad Ahmad

           Materi yang terkandung dalam Musnad Ahmad adalah hadis-hadis yang sanadnya bersambung hingga Nabi SAW, dari riwayatnya sendiri yang beliau dapatkan dari gurunya dan ia tidak menyusunnya sesuai bab fiqhiyah melainkan menurut riwayat per sahabat. Yakni, hadis-hadis dikumpulkan sesuai dengan awal rawinya. Misal musnad Abu Bakar, maka dalam bab itu akan ditampilkan semua hadis yang diriwayatkan Abu Bakar, tanpa memperdulikan tema hadis ataupun nilai atau derajat hadis tersebut. Ada sekitar 904 sahabat yang terdapat dalam kitabnya.[34]

           Disamping itu ada yang mengatakan jumlah hadis yang terdapat di dalamnya mencapai 40.000 hadis, mencakup hadis yang telah diulang-ulang. Koleksi hadis dalam Musnad Ahmad semula berasal dari hasil seleksi Ahmad bin Hanbal atas 750.000 hadis. Seleksi lebih ditekankan kepada norma, nilai kelayakan hadis, usul fikih serta tafsir. Dalam kitabnya Al-‘Ilal bisa dilihat betapa seriusnya beliau dalam mengamati cacat dalam sebuah hadis. Sejatinya, jumlah hadis dalam Al-Musnad jauh dari nominal 40.000 bila dihitung tanpa pengulangan. Sebab banyak sekali hadis yang memiliki jalur sanad yang berbeda walaupun sahabat sumber utamanya sama atau terdapat tata redaksi matan yang berbeda.[35]

           Dalam penyajiannya, hadis tidak dicampur dengan fatwa sahabat dan tabiin. Ia murni berisi hadis nabawi lengkap dengan jalur sanadnya. Berbeda dengan Muwatta’, sistem yang digunakan Imam Ahmad ini kiranya lebih bisa membantu khalayak untuk membedakan mana kitab hadis dan mana kitab fikih. Tidak seperti Muwatta, sangat sulit diklasifikasikan antara kandungan hadis dan fikihnya. Meskipun sebenarnya dalam penyusunan Al-Musnad, Imam Ahmad sangat terbantu sekali dengan kehadiran Muwatta’.[36] Kendati demikian, penyusunan kitab-kitab ini lebih bermisikan untuk menyingkirkan hadis-hadis maudu‘, mereka kurang menekan penyeleksian hadis-hadis yang benar-benar otentik atau absah. Dengan demikian tak heran bila masih terdapat hadis yang kurang sahih. Namun, menurut Ratibah Ibrahim mayoritas hadis dalam Musnad Ahmad adalah sahih, tidak ada yang palsu sebagaimana Imam Ahmad telah mereviewnya berkali-kali bahkan bertahun-tahun.[37]

           Semenjak Musnad Ahmad, bermuncullah para penulis dengan semangat penulisan sistem musnad seperti: Ubaidullah bin Musa Al-‘Abbasi Al-Kufi, Musaddad bin Musarhad Al-Bisri, Naim bin Hammad al-Khuza’i.[38] Materi matan hadis dalam Musnad Ahmad juga meliputi semua segi dalam agama, seperti akidah, perintah dan larangan agama (shariat) tentang etika dsb.[39] Penyusunan nama-nama sahabat tidak diurutkan berdasarkan abjad hijaiyah, melainkan ia mempunyai sistematika tersendiri:[40]

a.       Urutan pertama diisi oleh sepuluh sahabat nabi yang diberitakan sebagai penghuni surga. Yaitu: Abu Bakar Al-Siddiq, Umar bin Khattab, Uthman bin ‘Affan, ‘Ali bin Abi Talib, Talhah, Zubair bin Awwam, Sa‘ad bin Abi Waqqas, Said bin Zubair, ‘Abdurrahman bin ‘Auf dan Abu Ubaidah bin Jarrah.

b.      Selanjutnya, sahabat yang turut berpartisipasi dalam perang Badar. Melibatkan 313 sahabat dengan perincian 80 kaum Muhajirin dan sisanya adalah Ansar.

c.       Sahabat yang ikut dalam Baiat Ridwan dan Sulh Hudaibiyah (perjanjian Hudaibiyah).

d.      Sahabat yang masuk Islam ketika Fathu Makkah.

e.       Riwayat Ummahat Al-Mukminin (istri-istri nabi). Dimulai dari Aishah, Fatimah, Hafsah, dst.

f.       Sahabat-sahabat perempuan. 

Berikut daftar isi kitab Musnad Ahmad per juz:[41]

Juz 1 terdiri dari:

    a.    Hadis Abu Bakar

    b.   Hadis Umar bin Khattab

    c.    Hadis Uthman bin ‘Affan

    d.   Hadis Ali bin Abi Talib

Juz II:

    a.    Hadis Talhah

    b.   Hadis Abu Ubaidah

    c.    Hadis Abdurrahman bin Abi Bakar

    d.   Hadis Zaid bin Kharijah

    e.    Hadis Al-Harth bin Khuzamah

    f.    Hadis Sa‘ad Maula Abi Bakar

    g.   Hadis Hasan bin Ali bin Abi Talib

    h.   Hadis Husain bin Ali bin Abi Talib

    i.     Hadis Uqail bin Abi Talib

    j.     Hadis Ja‘far bin Abi Talib

    k.   Hadis Abdullah bin Ja‘far bin Abi Talib

    l.     Hadis Abbas bin Abdul Mutalib

    m. Hadis Al-Fadl bin Abbas

    n.   Hadis Tamam bin Abbas

    o.   Hadis Ubaidillah bin Abbas

    p.   Hadis Abdullah bin Abbas

Juz III: Hadis Abdullah bin Mas‘ud

Juz IV: Hadis Abdullah bin Umar bagian I

Juz V: Hadis Abdullah bin Umar bagian II

Juz VI: Hadis Abdullah bin Umar bagian III dan Abu Hurairah bagian I

Juz VII: Hadis Abu Hurairah bagian II

Juz VIII terdiri dari:

    a.    Hadis Abu Hurairah bagian III

    b.   Sahifah Hamam bin Munabbih

Juz IX: Hadis Abu Hurairah bagian IV

Juz X :

    a.    Hadis Abu Sa‘id Al-Khudry

    b.   Hadis Anas bin Malik bagian I

Juz XI:

    a.    Hadis Anas bin Malik bagian II

    b.   Hadis Jabir bin Abdillah bagian I

Juz XII:

    a.    Hadis Jabir bin Abdillah bagian II

    b.   Musnad Makkiyin (perawi Makkah) bagian I

Juz XIII: Musnad Makkiyin bagian II

Juz XIV:

    a.    Musnad Makkiyin bagian III

    b.   Musnad Kuffiyin (perawi Kufah) bagian I

Juz XV: Musnad Kuffiyin bagian II

Juz XVI: Musnad Kuffiyin bagian III

Juz XVII: Musnad Kuffiyin bagian IV

Juz XVIII: Musnad Kabilah-Kabilah.[42]

           Musnad Ahmad pernah dimodifikasi dengan mengubah sistematikanya menjadi urutan abjad hijaiyah atas inisiatif Al-Hafidh Abu Bakar Al-Muqaddisi, seorang pemuka ulama Hanbali. Ibnu Abdurrahman Al-Banna atau yang lebih dikenal dengan sebutan Al-Sha’ati memodifikasinya dengan mengelompokkan masing-masing hadis berdasarkan bab fiqhiyah. Ia sekaligus menyusun Sharh nya, yang disebut kitab Bulughul Amani.[43]

           Berdasarkan sumbernya, hadis – hadis yang terdapat dalam Musnad Ahmad dibagi menjadi 6 macam:[44]

1.   Hadis yang diriwayatkan Abdullah dari ayahnya dengan cara mendengarkannya langsung. Model seperti inilah yang paling banyak jumlahnya dalam Musnad Ahmad. Lambang periwayatannya haddathana Abi.

2.  Hadis yang didengar Abdullah dari ayahnya dan dari orang lain. Model semacam ini sangatlah sedikit.

3.  Hadis yang diriwayatkan Abdullah dari selain ayahnya, yang disebut dengan zawaid Abdullah. Lambang periwayatannya haddathani Fulan.

4.      Hadis yang tidak didengar Abdullah dari ayahnya tetapi dibacakan kepada sang ayah.

5.    Hadis yang tidak didengar dan tidak dibacakan Abdullah kepada ayahnya tetapi Abdullah menemukannya dalam kitab sang ayah yang ditulis dengan tangan.

6.      Hadis yang diriwayatkan oleh Al-Qati‘i.

Sehingga bisa dikatakan Musnad Ahmad yang ada ditengah kita sekarang, semuanya tidak bersumber pada Imam Ahmad saja, namun ada tambahan dari anaknya Abdullah yang disebut dengan zawaid Abdullah dan begitujuga ada tambahan dari muridnya Al-Qati‘i. [45]

 

    2.   Kritik terhadap Musnad Ahmad

           Bila menurut Ratibah Ibrahim mayoritas hadis dalam Musnad Ahmad adalah sahih, tidak ada yang palsu tidak begitu dengan Abu Musa Al-Madini. Meskipun Imam Ahmad bertekad untuk mengumpulkan hadis yang berpotensi hujjah bermutu sahih, Abu Musa pesimis memandang hal tersebut. Suyuti juga mengatakan hal serupa. Namun Ibnu Hajar kiranya bersikap lebih moderat, ia meneliti betul-betul Musnad Ahmad yang akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa dari sejumlah 40.000 hadis, hanya ada 3 atau 4 hadis yang belum diketahui secara pasti sumber riwayatnya, dengan ungkapan lain bahwa dalam Al-Musnad terdapat hadis sahih dan daif atau mendekati hasan lighairihi.[46]

           Ada juga ulama yang terlalu berlebihan dengan menunjuk sejumlah hadis (dengan tidak menyebutkan berapa jumlahnya) dalam Musnad Ahmad adalah palsu maudu‘ seperti Al-Baqai. Al Iraqi juga menuduh ada 9 hadis palsu, sedangkan Al-Jazuli menuduh ada 29 hadis. Muh. Zuhri juga berpendapat kendati penyusunan kitab-kitab ini lebih bermisikan untuk menyingkirkan hadis-hadis maudhu’, mereka kurang menekan penyeleksian hadis-hadis yang benar-benar otentik atau absah. Dengan demikian tak heran bila masih terdapat hadis yang kurang sahih.[47]

           Menurut penulis sendiri, bila Imam Ahmad telah mengupayakan untuk mengumpulkan hadis sahih, namun masih ada yang palsu. Kemungkinan disebabkan oleh kapabelitas Abdullah anaknya dan Al-Qati’i muridnya yang belum sekaliber Imam Ahmad. Sebagaimana yang diketahui Imam Ahmad adalah sosok yang sangat teliti, serius dan mumpuni dalam menimbang suatu hadis, seperti yang terlihat dalam kitab Al-Ilal miliknya, disamping itu beliau belum sempat menyelesaikan masterpiece nya tersebut karena ajal telah menjemput.


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;

BAB III

PENUTUP

           Demikianlah sekelumit paparan tentang perjalanan seorang Ahli Sunnah sekaligus Imam Mazhab dan teolog yang sangat teguh pada pendiriannya. Tidak gentar melawan maut demi ilmu dan kebenaran yang dipegangnya. Karya monumentalnya dalam ilmu hadis tidak bisa diremehkan begitu saja. Terlihat begitu banyak karya-karya ilmiah yang mengupas habis Al-Musnad, entah  memberikan komentar atau berusaha mensharhkannya. Bagaimanapun Al-Musnad telah memberikan dinamika keilmuan hadis untuk tetap berjalan , tidak mandeg oleh berlalunya zaman

 

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Ahmad, Duha Islam, Kairo: Maktabah Usrah, t.th.

 Arifin, Zainul, Studi Kitab Hadis, Surabaya: Al-Muna, 2010

‘Asqalani, Ibnu Hajar Al, Tahdhib Al-Tahdhib, Beirut: Dar Al-Fikr, 1984.

‘Asqalani, Ibnu Hajar, Taqrib Al-Tahdhib, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1993.

Hashim, Al-Husaini Abdul Majid, Aimmat Al-Hadith Al-Nabawy, Kairo: Majma‘ Buhuth Al-Islamiyah, 1978.

Hourani,  Albert, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, terj. Irfan Abu Bakar, Bandung: Mizan, 2004.

‘Imarah, Muhammad, Al-Muktazilah wa Mushkilat Al-Hurriyyat Al-Insaniyyah, Beirut: Muassasah Al-‘Arabiyah li Al-Dirasat wa Al-Nashr, t.th.

Rohmaniyah, Inayah, Studi Kitab Hadis, Yogyakarta: Teras, 2009.

Sunarto, Ahmad, Ensiklopedi Biografi Nabi Muhammad. SAW dan Tokoh-tokoh besar Islam, Vol. 5, Jakarta: Widya Cahaya, 2013.

 Tahhun, Ratibah Ibrahim Khitab, Min Turuq Takhrij Al-Hadith, Kairo: Al-Azhar University, t.th.

Tim Penyusun, Mausu‘ah Al-Hadarat Al-Islamiyah, Amman, Dar Al-Faris, 1995.

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2013.

Zahwu, Muhammad Abu, Al-Hadith wa Al-Muhaddithun, Beirut: Dar Al-Fikr, t.th.

Zuhri, Muh., Telaah Matan Hadis; Sebuah Tawaran Metodologis, Yogyakarta: Lesfi, 2003.

 



[1] Al-Husaini Abdul Majid Hashim, Aimmat Al-Hadith Al-Nabawy, (Kairo: Majma‘ Buhuth Al-Islamiyah, 1978), 14.

[2] Ibid., 14-15.

[3]Versi lain yang lebih lengkap adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdillah bin Anas bin Awf bin Qasit bin Mazin bin Shaiban bin Zulal bin Ismail bin Ibrahim.  Ibid., 99. Lihat Ibnu Hajar Asqalani, Taqrib Al-Tahdhib, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1993), 44. Lihat juga Ratibah Ibrahim Khitab tahhun, Min Turuq Takhrij Al-Hadith, (Kairo: Al-Azhar University, t.th), 40. Bandingkan dengan Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis, (Surabaya: Al-Muna, 2010), 83. Dan Inayah Rohmaniyah, Studi Kitab Hadis, ( Yogyakarta: Teras, 2009), 25.

[4] Al-Baihaqi yang menisbatkan nasabnya tersebut. Hashim, Aimmat Al-Hadith, 99.

[5] Saat itu, terdapat kelas sosial diantara masyarakat. Keturunan Arab menduduki kelas paling tertinggi. . Fanatisme kearaban sangat kuat.Bangsa Arab kala itu menganggap ras mereka istimewa dan menganggap rendah orang-orang non Arab. Lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), 81.

[6] Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Tahdhib Al-Tahdhib, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1984), 62.

[7] Rohmaniyah, Studi Kitab, 25.

[8] Literatur lain menyebutkan Imam Ahmad belajar hadis kepada Abi Yusuf, yang tak lain adalah sahabat Imam Abi Hanifah.

[9] Rohmaniyah, Studi Kitab, 26.

[10] Haji pertama pada tahun 187 H. Kedua pada tahun 191 H, kemudian 196 H, 197 H dan 198 H.

[11] Hashim, Aimmat Al-Hadis, 100.

[12] Ahmad bin Hanbal juga mengakui kemiskinannya. Ketika ditanya oleh ‘Arim: “ Hai Abu Abdillah aku mendapat kabar bahwa kau keturunan suku Arab”. Imam Ahmad menjawab : “kami hanyalah kaum miskin”. Lihat ‘Asqalani, Tahdhib Al-Tahdhib, 63.

[13] Hashim, Aimmat Al-Hadis, 100. Lihat juga Arifin, Studi Kitab, 84.

[14] Dalam riwayat lain usia 16 tahun.

[15]‘Asqalani, Tahdhib Al-Tahdhib, 63. Arifin, Studi Kitab, 84. Lihat juga Rohmaniyah, Studi Kitab, 26.

[16] Al-‘Alimu Kabirun wa in kana hadathan wa al-jahilu saghirun wa in kana shaikhan. (Seorang ulama derajatnya besar meskipun masih muda dan orang bodoh derajatnya kecil meskipun telah tua). Nampaknya pepatah tersebut benar-benar diresapi oleh ulama terdahulu. Buktinya, Imam Ahmad yang awalnya berguru pada Imam Shafi‘i, ketika ilmunya telah mumpuni dan melebihi sang guru dalam bidang hadis, sang guru yakni Imam Shafi’i berganti menjadi murid Imam Ahmad. Hal inilah yang patut diapresiasi, bahwa ulama terdahulu sangat meninggikan ilmu, bukan meninggikan gengsi. Sekaligus menyatakan bahwa orang yang paling tinggi ilmunya hari ini, belum tentu paling tinggi di esok hari. Sehingga tak sepantasnya manusia riya akan ilmu yang dimiliki.

[17] Rohmaniyah, Studi Kitab, 27.

[18] Rohmaniyah, Studi Kitab, 27-28. ‘Asqalani, Taqrib Al-Tahdhib, 44.

[19] ‘Asqalani, Tahdhib Al-Tahdhib, 65.

[20] Rohmaniyah, Studi Kitab, 36.

[21] Muktazilah baru diangkat menjadi mazhab resmi Negara ketika Al-Ma’mun memegang tahta khalifah.

[22] Ahmad Amin, Duha Islam, (Kairo: Maktabah Usrah, t.th), 164.  

[23] Tampaknya Al-Ma’mun merasa suatu kewajiban bagi dirinya untuk membenarkan akidah umat yang telah rusak, apalagi berhubungan dengan hal yang sakral, yaitu teologi . Termasuk kategori syirik apabila umat menganggap ada hal lain yang bersekutu dengan Allah dalam sifat qadim. Karena menurut Muktazilah, pendapat yang mengusung bahwa Al-Quran memiliki sifat qadim seperti Allah, maka secara tidak langsung telah menyalahi konsep tauhid. Ibid., 166. Bandingkan dengan Muhammad ‘Imarah, Al-Muktazilah wa Mushkilat Al-Hurriyyat Al-Insaniyyah, (Beirut: Muassasah Al-‘Arabiyah li Al-Dirasat wa Al-Nashr, t.th), 60. 

[24] Ibid., 160-162.

[25] Ahmad Sunarto, Ensiklopedi Biografi Nabi Muhammad. SAW dan Tokoh-tokoh besar Islam, Vol. 5, (Jakarta: Widya Cahaya, 2013), 297-298.

[26] Ibid., 177.

[27] Rohmaniyah, Studi Kitab Hadis, 37.

[28]Tim Penyusun, Mausu‘ah Al-Hadarat Al-Islamiyah, (Amman, Dar Al-Faris, 1995), 532-535.

[29] Albert Hourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, terj. Irfan Abu Bakar, (Bandung: Mizan, 2004), 98-99.

[30] Muh. Zuhri, Telaah Matan Hadis; Sebuah Tawaran Metodologis, (Yogyakarta: Lesfi, 2003), 16.

[31] Rohmaniyah, Studi Kitab Hadis, 37.

[32] Sunarto, Ensiklopedi Biografi, 283.

[33] Untuk menyeimbangkan pemikiran Muktazilah yang meyakini bahwa kebenaran dapat dicapai dengan menggunakan akal. Hadir juga suatu cara lain yang bersikap lebih hati-hati dan skeptis mengenai kemungkinan mencapai kebenaran melalui akal. Cara ini juga lebih waspada terhadap bahaya yang akan menimpa komunitas muslim akibat adu argument dan debat rasional yang jauh. Bagi mereka,Al-Quran adalah satu-satunya dasar yang kokoh bagi iman dan kedamaian dalam masyarakat. Sehingga mereka lebih mengunggulkan naql daripada akal. Dan Imam Ahmad adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam merumuskan suasana batin seperti itu. Lihat Hourani, Sejarah Bangsa, 145.

[34] Khitab Tahun, Min Turuq Takhrij, 41.

[35] Khitab Tahun, Min Turuq Takhrij, 41. Bandingkan dengan Arifin, Studi Kitab Hadis,  89.

[36] Zuhri, Telaah Matan, 11.

[37] Perihal derajat hadis dalam Musnad Ahmad akan dibahas lebih lanjut di sub-bab berikutnya.

[38] Zuhri, Telaah Matan, 11.

[39] Khitab Tahun, Min Turuq Takhrij, 41.

[40] Arifin, Studi Kitab Hadis,  90-91.

[41] Perlu diketahui juz yang ada di Musnad Ahmad akan bersifat permanen meskipun berbeda cetakan dan penerbit. Meskipun jilid satu dengan yang lain berbeda, namun tatanan juz akan tetap sama.

[42] Arifin, Studi Kitab Hadis,  91-94.

[43] Arifin, Studi Kitab Hadis,  94.

[44] Muhammad Abu Zahwu, Al-Hadith wa Al-Muhaddithun, (Beirut: Dar Al-Fikr, t.th), 370-371. Bandingkan dengan Rohmaniyah, Studi Kitab Hadis, 33-34.

[45] Zahwu, Al-Hadith wa Al-Muhaddithun, 370.

[46] Arifin, Studi Kitab Hadis,  94-95.

[47] Arifin, Studi Kitab Hadis,  95.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...