BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Dokumentasi
hadis abad ke 3 H benar-benar mampu menyemarakkan geliat dinamika intelektual
muhadisin. Produk zaman ini mampu menelurkan karya ilmiah spektakuler dalam
disiplin ilmu hadis yang terbilang tidak sedikit kuantitasnya. Kualitasnya pun
patut diacungi jempol, tak mengherankan bila ia disebut-sebut sebagai era
keemasan atau dalam istilah lain puncak kejayaan disiplin ilmu hadis. Lihat
saja, kitab-kitab hadis populer seperti Sahih Bukhari, Sahih Muslim,
dan Musnad Ahmad muncul dan mencuat di zaman ini.
Acapkali
khalayak menuturkan eksistensi dokumentasi hadis dimulai abad ke 2, bahkan yang
lebih disayangkan lagi ada beberapa cendekiawan yang menilai dokumentasi baru
dimulai abad ke 3. Bila ditelisik lebih dalam akan ditemukan, bahwa dokumentasi
telah dilaksanakan semenjak masa Nabi SAW. oleh para sahabat meskipun memang
sifatnya koleksi pribadi. Namun, menurut mereka hal tersebut tidak bisa
dianggap dan diakui, hanya karena bukti-bukti dokumentasi abad ke 1 sudah
musnah dan lenyap. Padahal, sesungguhnya materi yang terkandung dalam catatan dokumentasi
abad ke 1 telah melebur dan menyatu bersama kitab-kitab hadis abad setelahnya.
Para cendekiawan juga tak mampu membayangkan betapa banyaknya hadis nabawi yang
diriwayatkan saat itu, sebagaimana yang diungkapkan Al-Kilani.[1] Sehingga tak heran bila
mereka dengan mudahnya meniadakan dan memakzulkan dokumentasi abad pertama.
Dikabarkan,
Imam Ahmad menghafal hadis lebih dari 700.000 hadis. Begitupula Imam Bukhari
menghafal sekitar 200.000 hadis daif dan 100.000 hadis sahih. Kesemua hadis
yang dihafal oleh para muhadis ini telah dicatat dan didokumentasi oleh para
perawi abad pertama. Lebih-lebih menurut Al-Husaini, jika semua dokumen,
lembaran sahifah riwayat Abdullah bin ‘Amru bin ‘As, Jabir, Ali bin Abi
Thalib, Abu Hurairah, Anas bin Malik dan
Ibnu Abbas dikumpulkan menjadi satu, maka dapat dikatakan bahwa seluruh hadis
dalam kitab-kitab sahih, beserta berbagai jami’dan musnad yang
telah ditetapkan keabsahannya, sesungguhnya telah terekam dan terdokumentasikan
pada masa Nabi SAW. dan masa sahabat, jauh sebelum kitab Muwatha’
muncul.[2]
Berbicara
mengenai dokumentasi hadis, disini penulis akan mengambil satu sampel kitab
sebagai wujud dokumentasi hadis. Sebuah kitab yang terhitung cukup lama usianya
pasca Muwatha’ dan masih bisa dijangkau hingga masa kini. Dalam Musnad
Ahmad ini, kita bisa melihat juga bagaimana kapabelitas Imam Ahmad berikut
hafalan 700.000 hadisnya. Dalam makalah, sebelum menelaah lebih lanjut seluk
beluk Musnad Ahmad, penulis akan memaparkan biografi dan faktor-faktor
yang melatarbelakangi penyusunan Musnad Ahmad.
B. Rumusan Masalah
1.
Siapa Imam
Ahmad bin Hanbal dan bagaimana perjalanan hidupnya?
2.
Bagaimana
kondisi sosial politik pada masa hidupnya?
3.
Sebutkan
komentar para ulama tentang sosok dirinya!
4.
Apa yang
melatarbelakangi metode dan mazhabnya?
5.
Seperti apa
metode dan sistematika Musnad Ahmad?
6.
Bagaimana
metode takhrij hadis di dalamnya?
7.
Apa saja kritik
mengenai Musnad Ahmad?
C. Tujuan Penelitian
1.
Mengetahui
biografi Imam Ahmad bin Hanbal
2.
Memahami
kondisi sosial politik pada masa hidupnya
3.
Mengetahui komentar
para ulama tentang pribadinya
4.
Mengerti latar
belakang metode dan mazhab Hanbali
5.
Memahami metode
dan sistematika Musnad Ahmad
6.
Mengerti metode
takhrij hadis dalam Musnad Ahmad
7.
Mengetahui
berbagai kritik atas Musnad Ahmad
D. Kegunaan Penelitian
1.
Agar penulis
dan pembaca lebih mengenal sosok Ahmad bin Hanbal dan segala sesuatu yang
berhubungan dengannya.
2.
Supaya pembaca
dan penulis sendiri mengerti dan memahami apa saja yang terkandung dalam Musnad
Ahmad beserta sistematika dan kritik yang ditujukan kepadanya.
E. Kerangka Penelitian
Bab I : Pendahuluan
a.
Latar belakang
masalah
b.
Rumusan masalah
c.
Tujuan
penelitian
d.
Kegunaan
Penelitian
e. Kerangka Makalah
Bab II : Pembahasan
a.
Napak tilas
Imam Ahmad bin Hanbal
1.
Biografi Imam
Ahmad bin Hanbal
2.
Kondisi sosial
politik
3.
Imam Ahmad
dalam sorotan
b.
Al-Musnad; masterpiece
Imam Ahmad
1.
Metode dan
sistematika Musnad Ahmad
2.
Kritik terhadap
Musnad Ahmad
Bab
III : Penutup
Daftar pustaka
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;
- PERKEMBANGAN HADIS PADA KE IV HIJRIYAH
- SUNAN ABU DAWUD
- PEMBUKUAN HADIS
- SEJARAH PENYUSUNAN KITAB SAHIH BUKHARI
- PERKEMBANGAN HADIS PADA MASA SAHABAT KECIL DAN TABI‘IN BESAR (40 H-AKHIR ABAD 1 H)
- SEJARAH PENYUSUNAN MUSNAD AHMAD BIN HANBAL
- PERKEMBANGAN HADIS PADA MASA KHULAFAUR RASYIDIN
BAB II
PEMBAHASAN
A. NAPAK TILAS IMAM AHMAD BIN HANBAL
1.
Biografi
Imam Ahmad bin Hanbal
Bernama
lengkap Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad Al-Shaibani Abu
Abdullah Al-Marzawi Al-Baghdadi.[3]Mendapat julukan (laqab)
Al-Shaibani, sebutan kuniyah-nya Abu Abdillah. Nasabnya berujung ke nabi
Ibrahim AS.[4]
Bisa dikatakan dirinya termasuk keturunan Arab murni dari suku bani Shaiban. Namun
ia tak pernah ujub, bangga diri terlebih fanatik dengan ke-arab-annya. Ibnu
Ma‘in berkata “tak kutemukan orang sebaik Ahmad, ia tak pernah membanggakan
darah Arabnya diantara kami”.[5] Lahir di Baghdad, Rabiul Awal tahun 164 H atau
pada bulan November tahun 780 M.[6]
Imam
Ahmad merupakan anak tunggal. Ia tumbuh sebagai anak yatim, ayahandanya
Muhammad yang juga seorang ulama di Basrah, meninggal dunia ketika Imam Ahmad
berusia 3 tahun. Meskipun begitu, Ibunya yang bernama Safiyah binti Maimunah
binti Abdul Malik Al-Shaiban tidak mau menikah lagi, walaupun umur masih muda
dan banyak lelaki yang meminangnya. Kiranya sang ibu ingin lebih fokus dalam
memperhatikan dan mendidik buah hatinya yang semata wayang, supaya mampu
membesarkannya sesuai dengan apa yang diharapakan. Sedangkan kakeknya, Hanbal
bin Hilal ialah seorang gubernur Sarakhs yang aktif bersama dinasti Abbasiyah
melawan dinasti Umayyah di Khurasan. [7]
Diusianya
yang masih dini, Imam Ahmad sudah menghafal Al-Quran. ia berguru kepada Al-Qadi
Abi Yusuf untuk mempelajari fikih.[8] Kemudian ia mulai
mendengar periwayatan hadis dan mencarinya ke beberapa syekh saat umurnya
menginjak 16 tahun. Saking cintanya terhadap ilmu khususnya hadis, dirinya
selalu rajin pergi ke masjid di pagi buta hingga sang ibu merindukannya.[9] Imam Ahmad menunaikan
ibadah haji sebanyak 5 kali.[10] 3 diantaranya ia tempuh
dengan berjalan kaki. Ia bercerita, pernah ketika ia tersesat di jalan ia
berkata wahai Ibadullah (hamba-hamba Allah) tunjukkanlah kepadaku jalan yang
benar, ia pun berjalan terus hingga akhirnya dirinya berdiri di jalur yang
benar.[11] Setelah haji terakhir ia
menuju ke Yaman. Disana ia bertemu Abdul Razaq dan menulis hadis darinya. Imam
Ahmad hidup dalam kondisi finansial yang sederhana atau pas-pasan ,
sebagian literatur menyebut Imam Ahmad miskin harta tapi kaya jiwanya.[12] Kemungkinan ibadah haji
yang ia tempuh dengan jalan kaki salah satunya karena udzur tersebut. Imam
Shafi‘i berkata Ahmad bin Hanbal berjanji kepadaku akan datang ke Mesir, tapi
ia belum kunjung datang. Menurut Ibnu Abi Hatim, mungkin saat itu Imam Ahmad
tengah kekurangan finansial sehingga tidak mampu memenuhi janji tersebut.[13]
Meskipun
ia besar di Baghdad, markaz keilmuan dan peradaban Islam berada. Imam Ahmad
tidak hanya belajar kepada ulama-ulama yang bermukim maupun sekedar singgah
disana. Tercatat, dirinya juga melakukan ekspedisi ilmiah. Ketika usia 19 tahun
ia sudah keluar dari Baghdad.[14]Tahun 183 H. ia pergi ke
Kufah, lalu ke Basrah pada tahun 186 H., tahun berikutnya ke Makkah. Lalu
dilanjutkan ke Madinah, Yaman, Syiria dan Mesopotamia. Ekspedisinya ia fokuskan
untuk mencari hadis. Dirinya banyak mendapatkan hadis dari beberapa ulama besar
sekaliber Sufyan bin Uyainah, Ibrahim bin Sa’ad, Hashim, Jarir bin Abdul Hamid,
Waki‘, Abu Dawud Al-Tayalisi dan Yahya Al-Qattan.[15]
Hadis
riwayat Imam Ahmad banyak ditransmisikan ulama besar ilmu hadis, seperti
Bukhari, Muslim, Shafi’i, Waki’, Yahya bin Ma‘in, Abu Dawud, Ibnu Al-Mahdi, Ali
bin Al-Madiny. Mereka merupakan para guru, teman sejawat dan murid-murid Imam
Ahmad bin Hanbal.[16]Imam Ahmad termasuk ulama
yang produktif. Beberapa karya ilmiahnya adalah kitab Al-‘Ilal, Al-Tafsir
Al-Nasikh wa Al-Mansukh, Al-Zuhd, Al-Masail, Fadail Sahabah, Al-Faraid,
Al-Manasik, Al-Iman, Al-Ashribah, Taat Al-Rasul dan Al-Rad ‘ala
Al-Jahmiyah. Masterpiece-nya yang fenomenal ialah Musnad Ahmad.[17]
Imam
Ahmad menikah dan memiliki 2 putra, yakni Salih dan Abdullah. Keduanya banyak
menerima hadis dari ayahnya dan memasukkan sejumlah hadis ke kitab Musnad
Ahmad. Imam Ahmad meninggal dunia di usianya yang ke 77 tahun, tepat hari
jumat Rabiul Awal tahun 241 H atau 855 M di kota kelahirannya, Baghdad.[18]Abu Al-Hasan bin
Al-Zaghuni mengatakan ketika kuburan Ahmad bin Hanbal dibuka untuk menguburkan
Abu Ja‘far bin Abi Musa disampingnya, terlihat kafan mayatnya masih baik posisinya
juga tidak berubah, padahal saat itu sudah 230 tahun pasca kematiannya.[19]
2.
Kondisi
Sosial Politik
Ahmad bin
Hanbal hidup di masa dinasti Abbasiyah berkuasa. Tabiat Imam Ahmad sesungguhnya
refleksi dari dekadensi sosial dan moral lingkungan hidupnya. Kekacauan politik
dan ekonomi, perbedaan ideologi dan teologi filosofi beserta tekanan hebat yang
dialami masyarakat, membuat kesenjangan sosial antara penguasa dan rakyat
semakin lebar.[20]
Para penguasa
seringkali menjadikan nas agama sebagai penyokong kepentingan pragmatis, guna
mempertahankan kekuasaan berikut hak-hak istimewa keluarga istana. Al-Quran dan
hadis bukan lagi menjadi pedoman. Kebijakan pemerintah tidak lagi berdasarkan
Al-Quran dan hadis. Kala Al-Ma’mun menjabat khilafah, Muktazilah menjadi
teologi resmi pemerintah yang harus dianut oleh seluruh elemen masyarakat.
Dedengkot mazhab Muktazilah secara otomatis menjadi penasehat setiap kebijakan
resmi khalifah.[21]
Peristiwa yang
sangat mengangkat kapabelitas Ahmad bin Hanbal ketika era Al-Ma’mun adalah mihnah.
Disebut dengan mihnah karena mengandung arti khibrah yakni ujian
sebagai pengalaman hidup. Istilah mihnah biasanya dipakai untuk
menggambarkan kesabaran para nabi atas derita yang dihadapinya.[22] mihnah yang
dihadapi oleh Ahmad bin Hanbal merupakan akibat dari kebijakan Al-Ma’mun yang
mengangkat wacana Al-Quran adalah makhluk sebagai suatu paham yang wajib
diterima oleh rakyat. Bukan hanya memaksa, melainkan juga tak segan menyiksa
dan menghabisi nyawa bila tak mau menerima.[23]
Sesungguhnya wacana kemakhlukan Al-Quran keluar pertama kali dari
mulut Al-Ja‘d bin Dirham pada masa akhir dinasti Umayyah. Jahm bin safwan -perintis
Muktazilah- mempelajari wacana ini darinya. Ada juga yang berpendapat bahwa Al-Ja‘d
sebenarnya mendapatkan perkataan ini dari Abban bin Sam‘an, dari Talut bin A’sam
Al-Yahudy. Pada waktu Al-Rashid, Bashr Al-Marisi juga mengatakan hal yang
serupa. Sayangnya, Al-Rashid sangat menentang wacana ini dan berkehendak untuk membunuh
siapapun yang mengatakannya. Maka, sejatinya wacana ini sudah ada semenjak
akhir dinasti umayyah, ia tumbuh dan mati, tumbuh dan berkembang pada era
setelahnya, hingga mencapai puncaknya pada masa Al-Ma’mun. Sebagaimana yang
diketahui Al-Ma’mun sangat menyukai hal-hal yang berbau rasio, ia lebih
cenderung terhadap kebebasan berfikir. Sehingga bisa dilihat, kecenderungannya
sangat berdekatan dengan apa yang diusung Muktazilah. Tak heran bila mazhab
tersebut menggapai zaman keemasan di masanya.[24]
Ahmad Amin
mengutip beberapa pertanyaan yang diajukan kepada Ahmad bin Hanbal. Antara
lain:
-
Ibnu Daud
bertanya: apakah pendapat anda tentang Al-Quran?
Ahmad bin Hanbal
menjawab: Al-Quran adalah firman Allah.
Ia bertanya lagi:
apakah ia makhluk?
Ahmad bin Hanbal
menjawab : Ia adalah firman Allah.[25]
- Bagaimana pendapat anda tentang
hadis Imran bin Hushain “Sesungguhnya Allah telah menciptakan Al-Dhikr
(Al-Quran)”?
Ahmad bin
Hanbal menjawab: salah, riwayat yang benar adalah “Allah telah menuliskan
Al-Dhikr.
-
Perkataan bahwa
Al-Quran bukan makhluk bisa menyebabkan kepada Tashbih !
Ia
menjawab: Allah ahad (satu), Dia tempat bergantung dan tidak menyerupai apapun.
DiriNya sebagaimana dengan apa yang telah Dia sifatkan.[26]
Pada akhirnya di masa Al-Mu‘tasim, ia di cambuk dan dimasukkan dalam penjara karena tak mau mengatakan Al-Quran adalah makhluk. Pada tahun 202 H. ia dihukum, dipukul dan didera. Ketika Al-Wathiq, ia dibuang dari Baghdad.[27]Hingga akhirnya, dengan matinya Al-Wathiq 233 H 847 M maka berakhir pulalah zaman keemasan Muktazilah. Kekuasaan dilimpahkan kepada Al-Mutawakkil keadaan pun berubah drastis. Mazhab Muktazilah digugat dan dihujat bahkan ulamanya diturunkan dari berbagai jabatan penting di pemerintahan. Ulama-ulamanya dipenjarakan. Malah para ulama hadis yang mendahulukan naql daripada akal dikeluarkan dari penjara setelah berapa lamanya mereka disana. Sampai-sampai ada kebijakan khalifah yang menganjurkan untuk melaknat Muktazilah di mimbar-mimbar masjid, dan hal itu menjadi bagian dari sunah Islam waktu itu.[28]
Sejatinya bukan hanya
wacana kemakhlukan Al-Quran saja, Imam Ahmad tak sependapat dengan pemerintah.
Ia juga termasuk pemimpin para teolog yang sangat keras menentang ketika
Al-Ma’mun berupaya untuk memberikan dirinya sendiri suatu gelar yang lebih kuat
untuk memerintah. Al-Ma’mun beranggapan ia adalah anggota paling layak dari
keluarga nabi yang menggantikan Ali bin Abi Talib, karena baginya para
keturunan Abbas memiliki hak yang sama besarnya dengan keturunan Ali. kemudian Al-Ma’mun
menyokong pemikiran beberapa teolog Muktazilah dan mencoba membuat penerimaan
pemikiran ini sebagai syarat resmi menjadi pejabat istana.[29]
Namun tidak bisa dikatakan mazhab kalam
Imam Ahmad adalah Ash’ariyah, hanya karena pendapatnya yang sama, ketika
menentang khalifah Al-Ma’mun. karena mazhab Ash’ari ataupun Imam Ash’ari belum
lahir ketika itu. Pada masa tersebut dan berdasarkan kronologi aliran kalam,
nampaknya Imam Ahmad lebih simpati pada mazhab Jabariyah ketimbang Qadariyah.
Begitupula Bukhari, Muslim dan penulis kitab Sunan. Mereka hidup dizaman
merebaknya paham Khawarij, Shiah, Qadariyah, Jabariyah dan Muktazilah.
Sedangkan Ash’ariyah dan Maturidiyah belum ada ketika itu.[30] Selain itu, Imam Ahmad
juga selalu berusaha untuk menjauhi politik. Ketika Al-Rashid menawarkan
jabatan hakim di Yaman, berdasarkan rekomendasi dari Imam Shafi‘i, ia
menolaknya.[31]
3. Imam
Ahmad dalam Sorotan
Imam Ahmad adalah seorang yang badannya
tinggi, kulitnya hitam kemerahan. Ia gemar memakai inai, memakai pakaian yang
kasar dan sorban. Jarang memakan makanan. Imam Ahmad tidak mendapat kesempatan
memakan makanan yang bermacam-macam. Ia sering makan cuka. Ia membeli alas kaki
dari kayu atau lainnya dan dibawanya sendiri. Imam Ahmad duduk diatas hamparan
permadani yang lama sudah terkoyak-koyak. Imam Ahmad adalah seorang yang kuat
ingatannya, serta paham betul apa yang dihafalkannya. Ia seorang yang wara‘ dan
penyabar juga mempunyai azam yang kuat, berkemauan tinggi, teguh pendirian,
tidak riya dan selalu menjauhi senda gurau sehingga manusia lain tidak berani
bersenda gurau di saat Imam Ahmad berada bersama mereka.[32]
Imam Ahmad sering beribadah dan
melakukan tahajjud. Anaknya, Abdullah bercerita bahwa ayahnya salat setiap hari
dan malam sebanyak 300 rakaat. Apabila beliau dalam keadaan uzur, Imam Ahmad
salat sebanyak 150 rakaat. Ketika umur 80 tahun, Ia mengkhatamkan Al-Quran
seminggu sekali.Ia tidak memberikan suatu fatwa kecuali setelah ditanya. Ahmad
bin Hanbal tidak ingin membahas masalah yang diduga-duga atau khayalan. Ia
tidak memberikan fatwa dengan pikiran. Dalam keadaan yang sangat sulit ia akan
menjawab “aku tidak tahu” pada kebanyakan jawabannya. Imam Ahmad juga melarang
keras berpegang dengan ilmu-ilmu dan kitab-kitab ahli pikir dan perdebatan
karena umat Islam diperintahkan untuk mempelajari ilmu dari Atas (Al-Quran) dan
Rasulullah (hadis nabawi).[33]
Pengakuan juga pujian dari para ulama
dan fukaha kepadanya cukup banyak. Al-Nawawi mengatakan beliau adalah seorang
imam yang bijaksana disamping kebesaran, kebijaksanaan, kewara’an, kezuhudan,
ingatan, keilmuan dan kekuasaannya terhadap ilmu. Menurut Ibrahim Al-Harbi,
Imam Ahmad adalah seorang yang dihimpunkan Allah dengan ilmu-ilmu orang
terdahulu. Abu Daud Al-Sajastani juga mengatakan Aku pernah menemui 200 syekh
dari berbagai ilmu tapi aku tidak pernah melihat orang seperti Imam Ahmad.
Beliau tidak membicarakan tentng dunia sebagaimana orang lain. Apabila
disebutkan tentang ilmu, beliau ikut berbicara. Dalam pandangan Abu Ubaid, ilmu
terakhir dari 4 manusia: Ahmad bin Hanbal, beliau adalah manusia paling bijak
di bidangnya; Ali bin Al-Madiny, beliau adalah orang yang lebih mengetahui
dengannya; Yahya bin Mu’in, beliau adalah penulis terbaik untuknya; dan Abu
Bakar bin Abi Shaibah, adalah orang yang paling kuat hafalannya.
B. AL-MUSNAD; MASTERPIECE
IMAM AHMAD
1.
Metode
dan Sistematika Musnad Ahmad
Materi
yang terkandung dalam Musnad Ahmad adalah hadis-hadis yang sanadnya
bersambung hingga Nabi SAW, dari riwayatnya sendiri yang beliau dapatkan dari
gurunya dan ia tidak menyusunnya sesuai bab fiqhiyah melainkan menurut
riwayat per sahabat. Yakni, hadis-hadis dikumpulkan sesuai dengan awal rawinya.
Misal musnad Abu Bakar, maka dalam bab itu akan ditampilkan semua hadis yang
diriwayatkan Abu Bakar, tanpa memperdulikan tema hadis ataupun nilai atau
derajat hadis tersebut. Ada sekitar 904 sahabat yang terdapat dalam kitabnya.[34]
Disamping
itu ada yang mengatakan jumlah hadis yang terdapat di dalamnya mencapai 40.000
hadis, mencakup hadis yang telah diulang-ulang. Koleksi hadis dalam Musnad
Ahmad semula berasal dari hasil seleksi Ahmad bin Hanbal atas 750.000 hadis.
Seleksi lebih ditekankan kepada norma, nilai kelayakan hadis, usul fikih serta
tafsir. Dalam kitabnya Al-‘Ilal bisa dilihat betapa seriusnya beliau dalam
mengamati cacat dalam sebuah hadis. Sejatinya, jumlah hadis dalam Al-Musnad
jauh dari nominal 40.000 bila dihitung tanpa pengulangan. Sebab banyak sekali
hadis yang memiliki jalur sanad yang berbeda walaupun sahabat sumber utamanya
sama atau terdapat tata redaksi matan yang berbeda.[35]
Dalam
penyajiannya, hadis tidak dicampur dengan fatwa sahabat dan tabiin. Ia murni
berisi hadis nabawi lengkap dengan jalur sanadnya. Berbeda dengan Muwatta’,
sistem yang digunakan Imam Ahmad ini kiranya lebih bisa membantu khalayak untuk
membedakan mana kitab hadis dan mana kitab fikih. Tidak seperti Muwatta, sangat
sulit diklasifikasikan antara kandungan hadis dan fikihnya. Meskipun sebenarnya
dalam penyusunan Al-Musnad, Imam Ahmad sangat terbantu sekali dengan kehadiran
Muwatta’.[36] Kendati
demikian, penyusunan kitab-kitab ini lebih bermisikan untuk menyingkirkan
hadis-hadis maudu‘, mereka kurang menekan penyeleksian hadis-hadis yang
benar-benar otentik atau absah. Dengan demikian tak heran bila masih terdapat
hadis yang kurang sahih. Namun, menurut Ratibah Ibrahim mayoritas hadis dalam Musnad
Ahmad adalah sahih, tidak ada yang palsu sebagaimana Imam Ahmad telah mereviewnya
berkali-kali bahkan bertahun-tahun.[37]
Semenjak
Musnad Ahmad, bermuncullah para penulis dengan semangat penulisan sistem musnad
seperti: Ubaidullah bin Musa Al-‘Abbasi Al-Kufi, Musaddad bin Musarhad
Al-Bisri, Naim bin Hammad al-Khuza’i.[38] Materi matan hadis dalam Musnad
Ahmad juga meliputi semua segi dalam agama, seperti akidah, perintah dan
larangan agama (shariat) tentang etika dsb.[39] Penyusunan nama-nama
sahabat tidak diurutkan berdasarkan abjad hijaiyah, melainkan ia mempunyai
sistematika tersendiri:[40]
a. Urutan
pertama diisi oleh sepuluh sahabat nabi yang diberitakan sebagai penghuni
surga. Yaitu: Abu Bakar Al-Siddiq, Umar bin Khattab, Uthman bin ‘Affan, ‘Ali
bin Abi Talib, Talhah, Zubair bin Awwam, Sa‘ad bin Abi Waqqas, Said bin Zubair,
‘Abdurrahman bin ‘Auf dan Abu Ubaidah bin Jarrah.
b. Selanjutnya,
sahabat yang turut berpartisipasi dalam perang Badar. Melibatkan 313 sahabat
dengan perincian 80 kaum Muhajirin dan sisanya adalah Ansar.
c. Sahabat
yang ikut dalam Baiat Ridwan dan Sulh Hudaibiyah (perjanjian Hudaibiyah).
d. Sahabat
yang masuk Islam ketika Fathu Makkah.
e. Riwayat
Ummahat Al-Mukminin (istri-istri nabi). Dimulai dari Aishah, Fatimah, Hafsah,
dst.
f. Sahabat-sahabat
perempuan.
Berikut daftar isi kitab Musnad Ahmad
per juz:[41]
Juz 1 terdiri dari:
a.
Hadis Abu Bakar
b.
Hadis Umar bin
Khattab
c.
Hadis Uthman
bin ‘Affan
d.
Hadis Ali bin
Abi Talib
Juz II:
a.
Hadis Talhah
b.
Hadis Abu
Ubaidah
c.
Hadis
Abdurrahman bin Abi Bakar
d.
Hadis Zaid bin
Kharijah
e.
Hadis Al-Harth
bin Khuzamah
f.
Hadis Sa‘ad
Maula Abi Bakar
g.
Hadis Hasan bin
Ali bin Abi Talib
h.
Hadis Husain
bin Ali bin Abi Talib
i.
Hadis Uqail bin
Abi Talib
j.
Hadis Ja‘far
bin Abi Talib
k.
Hadis Abdullah
bin Ja‘far bin Abi Talib
l.
Hadis Abbas bin
Abdul Mutalib
m. Hadis
Al-Fadl bin Abbas
n.
Hadis Tamam bin
Abbas
o.
Hadis Ubaidillah
bin Abbas
p.
Hadis Abdullah
bin Abbas
Juz III: Hadis Abdullah bin Mas‘ud
Juz IV: Hadis Abdullah bin Umar bagian
I
Juz V: Hadis Abdullah bin Umar bagian
II
Juz VI: Hadis Abdullah bin Umar bagian
III dan Abu Hurairah bagian I
Juz VII: Hadis Abu Hurairah bagian II
Juz VIII terdiri dari:
a.
Hadis Abu
Hurairah bagian III
b.
Sahifah Hamam
bin Munabbih
Juz IX: Hadis Abu Hurairah bagian IV
Juz X :
a.
Hadis Abu Sa‘id
Al-Khudry
b.
Hadis Anas bin
Malik bagian I
Juz XI:
a.
Hadis Anas bin
Malik bagian II
b.
Hadis Jabir bin
Abdillah bagian I
Juz XII:
a.
Hadis Jabir bin
Abdillah bagian II
b.
Musnad Makkiyin
(perawi Makkah) bagian I
Juz XIII: Musnad Makkiyin bagian II
Juz XIV:
a.
Musnad Makkiyin
bagian III
b.
Musnad Kuffiyin
(perawi Kufah) bagian I
Juz XV: Musnad Kuffiyin bagian II
Juz XVI: Musnad Kuffiyin bagian III
Juz XVII: Musnad Kuffiyin bagian IV
Juz XVIII: Musnad Kabilah-Kabilah.[42]
Musnad
Ahmad pernah dimodifikasi dengan mengubah sistematikanya menjadi urutan abjad
hijaiyah atas inisiatif Al-Hafidh Abu Bakar Al-Muqaddisi, seorang pemuka ulama
Hanbali. Ibnu Abdurrahman Al-Banna atau yang lebih dikenal dengan sebutan
Al-Sha’ati memodifikasinya dengan mengelompokkan masing-masing hadis
berdasarkan bab fiqhiyah. Ia sekaligus menyusun Sharh nya, yang disebut
kitab Bulughul Amani.[43]
Berdasarkan
sumbernya, hadis – hadis yang terdapat dalam Musnad Ahmad dibagi menjadi 6
macam:[44]
1. Hadis yang
diriwayatkan Abdullah dari ayahnya dengan cara mendengarkannya langsung. Model
seperti inilah yang paling banyak jumlahnya dalam Musnad Ahmad. Lambang
periwayatannya haddathana Abi.
2. Hadis yang
didengar Abdullah dari ayahnya dan dari orang lain. Model semacam ini sangatlah
sedikit.
3. Hadis yang
diriwayatkan Abdullah dari selain ayahnya, yang disebut dengan zawaid Abdullah.
Lambang periwayatannya haddathani Fulan.
4.
Hadis yang
tidak didengar Abdullah dari ayahnya tetapi dibacakan kepada sang ayah.
5. Hadis yang
tidak didengar dan tidak dibacakan Abdullah kepada ayahnya tetapi Abdullah
menemukannya dalam kitab sang ayah yang ditulis dengan tangan.
6.
Hadis yang diriwayatkan
oleh Al-Qati‘i.
Sehingga
bisa dikatakan Musnad Ahmad yang ada ditengah kita sekarang, semuanya tidak
bersumber pada Imam Ahmad saja, namun ada tambahan dari anaknya Abdullah yang
disebut dengan zawaid Abdullah dan begitujuga ada tambahan dari muridnya
Al-Qati‘i. [45]
2.
Kritik
terhadap Musnad Ahmad
Bila
menurut Ratibah Ibrahim mayoritas hadis dalam Musnad Ahmad adalah sahih,
tidak ada yang palsu tidak begitu dengan Abu Musa Al-Madini. Meskipun Imam
Ahmad bertekad untuk mengumpulkan hadis yang berpotensi hujjah bermutu sahih,
Abu Musa pesimis memandang hal tersebut. Suyuti juga mengatakan hal serupa.
Namun Ibnu Hajar kiranya bersikap lebih moderat, ia meneliti betul-betul Musnad
Ahmad yang akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa dari sejumlah 40.000 hadis,
hanya ada 3 atau 4 hadis yang belum diketahui secara pasti sumber riwayatnya,
dengan ungkapan lain bahwa dalam Al-Musnad terdapat hadis sahih dan daif atau
mendekati hasan lighairihi.[46]
Ada
juga ulama yang terlalu berlebihan dengan menunjuk sejumlah hadis (dengan tidak
menyebutkan berapa jumlahnya) dalam Musnad Ahmad adalah palsu maudu‘
seperti Al-Baqai. Al Iraqi juga menuduh ada 9 hadis palsu, sedangkan Al-Jazuli
menuduh ada 29 hadis. Muh. Zuhri juga berpendapat kendati penyusunan
kitab-kitab ini lebih bermisikan untuk menyingkirkan hadis-hadis maudhu’,
mereka kurang menekan penyeleksian hadis-hadis yang benar-benar otentik atau
absah. Dengan demikian tak heran bila masih terdapat hadis yang kurang sahih.[47]
Menurut penulis sendiri, bila Imam Ahmad telah mengupayakan untuk mengumpulkan hadis sahih, namun masih ada yang palsu. Kemungkinan disebabkan oleh kapabelitas Abdullah anaknya dan Al-Qati’i muridnya yang belum sekaliber Imam Ahmad. Sebagaimana yang diketahui Imam Ahmad adalah sosok yang sangat teliti, serius dan mumpuni dalam menimbang suatu hadis, seperti yang terlihat dalam kitab Al-Ilal miliknya, disamping itu beliau belum sempat menyelesaikan masterpiece nya tersebut karena ajal telah menjemput.
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;
- PANDANGAN IMAM SHAFI'I TERHADAP HADIS
- HADIS PADA MASA RASULULLAH
- IMAM MALIK IBN ANAS DAN KITAB AL-MUWATTA’
- SUNNAH ANTARA WAHYU ILAHI DAN IJTIHAD NABI SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP TASYRI’
- PEMIKIRAN K. H. MUHAMMAD AHMAD SAHAL MAHFUZ AL-HAJINI TENTANG HADIS
- MUHAMMAD NASIR AL-DIN AL-ALBANI
- KAJIAN HADIS DI INDIA
- STUDI KRITIS PEMIKIRAN IBN HAJAR AL-‘ASQALANI DALAM KAJIAN ILMU HADIS
- IMAM NAWAWI
- HADIS DALAM PANDANGAN SYAIKH NAWAWI AL-BANTANI
BAB III
PENUTUP
Demikianlah
sekelumit paparan tentang perjalanan seorang Ahli Sunnah sekaligus Imam Mazhab
dan teolog yang sangat teguh pada pendiriannya. Tidak gentar melawan maut demi
ilmu dan kebenaran yang dipegangnya. Karya monumentalnya dalam ilmu hadis tidak
bisa diremehkan begitu saja. Terlihat begitu banyak karya-karya ilmiah yang
mengupas habis Al-Musnad, entah memberikan
komentar atau berusaha mensharhkannya. Bagaimanapun Al-Musnad telah
memberikan dinamika keilmuan hadis untuk tetap berjalan , tidak mandeg
oleh berlalunya zaman
DAFTAR PUSTAKA
Amin,
Ahmad, Duha Islam, Kairo: Maktabah Usrah, t.th.
Arifin, Zainul, Studi Kitab Hadis, Surabaya:
Al-Muna, 2010
‘Asqalani,
Ibnu Hajar Al, Tahdhib Al-Tahdhib, Beirut: Dar Al-Fikr, 1984.
‘Asqalani,
Ibnu Hajar, Taqrib Al-Tahdhib, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1993.
Hashim,
Al-Husaini Abdul Majid, Aimmat Al-Hadith Al-Nabawy, Kairo: Majma‘ Buhuth
Al-Islamiyah, 1978.
Hourani, Albert, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim,
terj. Irfan Abu Bakar, Bandung: Mizan, 2004.
‘Imarah,
Muhammad, Al-Muktazilah wa Mushkilat Al-Hurriyyat Al-Insaniyyah, Beirut:
Muassasah Al-‘Arabiyah li Al-Dirasat wa Al-Nashr, t.th.
Rohmaniyah, Inayah, Studi Kitab Hadis, Yogyakarta: Teras, 2009.
Sunarto,
Ahmad, Ensiklopedi Biografi Nabi Muhammad. SAW dan Tokoh-tokoh besar Islam,
Vol. 5, Jakarta: Widya Cahaya, 2013.
Tahhun, Ratibah Ibrahim Khitab, Min Turuq
Takhrij Al-Hadith, Kairo: Al-Azhar University, t.th.
Tim
Penyusun, Mausu‘ah Al-Hadarat Al-Islamiyah, Amman, Dar Al-Faris, 1995.
Yatim,
Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2013.
Zahwu,
Muhammad Abu, Al-Hadith wa Al-Muhaddithun, Beirut: Dar Al-Fikr, t.th.
Zuhri,
Muh., Telaah Matan Hadis; Sebuah Tawaran Metodologis, Yogyakarta: Lesfi,
2003.
[1] Al-Husaini Abdul Majid Hashim, Aimmat
Al-Hadith Al-Nabawy, (Kairo: Majma‘ Buhuth Al-Islamiyah, 1978), 14.
[2] Ibid., 14-15.
[3]Versi lain yang lebih lengkap
adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdillah
bin Anas bin Awf bin Qasit bin Mazin bin Shaiban bin Zulal bin Ismail bin
Ibrahim. Ibid., 99. Lihat Ibnu Hajar
Asqalani, Taqrib Al-Tahdhib, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1993),
44. Lihat juga Ratibah Ibrahim Khitab tahhun, Min Turuq Takhrij Al-Hadith,
(Kairo: Al-Azhar University, t.th), 40. Bandingkan dengan Zainul Arifin, Studi
Kitab Hadis, (Surabaya: Al-Muna, 2010), 83. Dan Inayah Rohmaniyah, Studi
Kitab Hadis, ( Yogyakarta: Teras, 2009), 25.
[4] Al-Baihaqi yang menisbatkan nasabnya tersebut. Hashim, Aimmat Al-Hadith, 99.
[5] Saat itu, terdapat kelas sosial
diantara masyarakat. Keturunan Arab menduduki kelas paling tertinggi. .
Fanatisme kearaban sangat kuat.Bangsa Arab kala itu menganggap ras mereka
istimewa dan menganggap rendah orang-orang non Arab. Lihat Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), 81.
[6] Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Tahdhib
Al-Tahdhib, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1984), 62.
[7] Rohmaniyah, Studi Kitab, 25.
[8]
Literatur lain menyebutkan
Imam Ahmad belajar hadis kepada Abi Yusuf, yang tak lain adalah sahabat Imam
Abi Hanifah.
[9] Rohmaniyah, Studi Kitab, 26.
[10] Haji pertama pada tahun 187 H. Kedua pada tahun 191 H, kemudian 196 H, 197 H dan 198 H.
[11] Hashim, Aimmat Al-Hadis, 100.
[12] Ahmad bin Hanbal juga mengakui kemiskinannya. Ketika ditanya oleh ‘Arim: “ Hai Abu Abdillah aku mendapat kabar bahwa kau keturunan suku Arab”. Imam Ahmad menjawab : “kami hanyalah kaum miskin”. Lihat ‘Asqalani, Tahdhib Al-Tahdhib, 63.
[13] Hashim, Aimmat Al-Hadis,
100. Lihat juga Arifin, Studi Kitab, 84.
[14] Dalam riwayat lain usia 16
tahun.
[15]‘Asqalani, Tahdhib Al-Tahdhib, 63. Arifin, Studi Kitab, 84. Lihat juga Rohmaniyah, Studi Kitab, 26.
[16] Al-‘Alimu Kabirun wa in kana
hadathan wa al-jahilu saghirun wa in kana shaikhan. (Seorang ulama
derajatnya besar meskipun masih muda dan orang bodoh derajatnya kecil meskipun
telah tua). Nampaknya pepatah tersebut benar-benar diresapi oleh ulama
terdahulu. Buktinya, Imam Ahmad yang awalnya berguru pada Imam Shafi‘i, ketika
ilmunya telah mumpuni dan melebihi sang guru dalam bidang hadis, sang guru
yakni Imam Shafi’i berganti menjadi murid Imam Ahmad. Hal inilah yang patut
diapresiasi, bahwa ulama terdahulu sangat meninggikan ilmu, bukan meninggikan
gengsi. Sekaligus menyatakan bahwa orang yang paling tinggi ilmunya hari ini,
belum tentu paling tinggi di esok hari. Sehingga tak sepantasnya manusia riya
akan ilmu yang dimiliki.
[17] Rohmaniyah, Studi Kitab, 27.
[18] Rohmaniyah, Studi Kitab, 27-28. ‘Asqalani, Taqrib Al-Tahdhib, 44.
[19] ‘Asqalani, Tahdhib
Al-Tahdhib, 65.
[20] Rohmaniyah, Studi Kitab, 36.
[21] Muktazilah baru diangkat menjadi
mazhab resmi Negara ketika Al-Ma’mun memegang tahta khalifah.
[22] Ahmad Amin, Duha Islam,
(Kairo: Maktabah Usrah, t.th), 164.
[23] Tampaknya Al-Ma’mun merasa suatu kewajiban bagi dirinya untuk membenarkan akidah umat yang telah rusak, apalagi berhubungan dengan hal yang sakral, yaitu teologi . Termasuk kategori syirik apabila umat menganggap ada hal lain yang bersekutu dengan Allah dalam sifat qadim. Karena menurut Muktazilah, pendapat yang mengusung bahwa Al-Quran memiliki sifat qadim seperti Allah, maka secara tidak langsung telah menyalahi konsep tauhid. Ibid., 166. Bandingkan dengan Muhammad ‘Imarah, Al-Muktazilah wa Mushkilat Al-Hurriyyat Al-Insaniyyah, (Beirut: Muassasah Al-‘Arabiyah li Al-Dirasat wa Al-Nashr, t.th), 60.
[24] Ibid., 160-162.
[25] Ahmad Sunarto, Ensiklopedi
Biografi Nabi Muhammad. SAW dan Tokoh-tokoh besar Islam, Vol. 5, (Jakarta:
Widya Cahaya, 2013), 297-298.
[26] Ibid., 177.
[27] Rohmaniyah, Studi Kitab Hadis, 37.
[28]Tim Penyusun, Mausu‘ah Al-Hadarat Al-Islamiyah, (Amman, Dar Al-Faris, 1995), 532-535.
[29]
Albert Hourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, terj. Irfan Abu Bakar,
(Bandung: Mizan, 2004), 98-99.
[30] Muh. Zuhri, Telaah Matan
Hadis; Sebuah Tawaran Metodologis, (Yogyakarta: Lesfi, 2003), 16.
[31] Rohmaniyah, Studi Kitab
Hadis, 37.
[32] Sunarto, Ensiklopedi Biografi,
283.
[33] Untuk menyeimbangkan pemikiran
Muktazilah yang meyakini bahwa kebenaran dapat dicapai dengan menggunakan akal.
Hadir juga suatu cara lain yang bersikap lebih hati-hati dan skeptis mengenai
kemungkinan mencapai kebenaran melalui akal. Cara ini juga lebih waspada
terhadap bahaya yang akan menimpa komunitas muslim akibat adu argument dan
debat rasional yang jauh. Bagi mereka,Al-Quran adalah satu-satunya dasar yang
kokoh bagi iman dan kedamaian dalam masyarakat. Sehingga mereka lebih
mengunggulkan naql daripada akal. Dan Imam Ahmad adalah orang yang
paling bertanggung jawab dalam merumuskan suasana batin seperti itu. Lihat
Hourani, Sejarah Bangsa, 145.
[34] Khitab Tahun, Min Turuq Takhrij, 41.
[35] Khitab Tahun, Min Turuq Takhrij, 41. Bandingkan dengan Arifin, Studi Kitab Hadis, 89.
[36] Zuhri, Telaah Matan, 11.
[37] Perihal derajat hadis dalam Musnad
Ahmad akan dibahas lebih lanjut di sub-bab berikutnya.
[38] Zuhri, Telaah Matan, 11.
[39] Khitab Tahun, Min Turuq
Takhrij, 41.
[40] Arifin, Studi Kitab Hadis,
90-91.
[41] Perlu diketahui juz yang ada di
Musnad Ahmad akan bersifat permanen meskipun berbeda cetakan dan penerbit.
Meskipun jilid satu dengan yang lain berbeda, namun tatanan juz akan tetap
sama.
[42] Arifin, Studi Kitab Hadis, 91-94.
[43] Arifin, Studi Kitab Hadis, 94.
[44] Muhammad Abu Zahwu, Al-Hadith wa Al-Muhaddithun, (Beirut: Dar Al-Fikr, t.th), 370-371. Bandingkan dengan Rohmaniyah, Studi Kitab Hadis, 33-34.
[45] Zahwu, Al-Hadith wa Al-Muhaddithun, 370.
[46] Arifin, Studi Kitab Hadis, 94-95.
[47] Arifin, Studi Kitab Hadis, 95.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar