HOME

02 April, 2022

HADIS LOKAL DAN UNIVERSAL

 

BAB I

PENDAHULUAN

    A.    Latar belakang

Nabi Muhammad dengan kapasitasnya sebagi pembawa agama Allah dan sebagai penjelas al-Quran yang merupakan sumber ajaran utamanya, sehingga sabda dan semua perilakunya yang terekam dalam hadis menduduki posisi yang penting dalam Islam, Allah SWT menyatakan dalam al-Quran bahwa Islam adalah agama yang sempurna, dengan melimpahkan nikmat secara tuntas dan meridlai Islam sebagai agama bagi seluruh manusia.

Allah swt berfirman :

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا .

Pada hari ini telah aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah aku cukupkan nikmat-ku bagimu, dan telah aku ridai Islam sebagai agamamu.[1]

Manusia pada setiap generasinya memilki persamaan dan perbedaan dan bahkan kekhususan, semua itu mungkin disebabkan oleh perbedaan waktu mungkin juga disebabkan oleh tempat. Jika kita melihat pada ayat di atas, jika dihubungkan dengan kemungkinan persamaan dan perbedaan masharakat tersebut maka Islam adah sebuah ajaran yang berlakunya itu tidak terikat oleh waktu, tempat.Juga terikat oleh waktu, tempat. Jadi dalam Islam ada ajaran yang bersifat universal (umum) ada yang temporal (dibatasi waktu) dan ada yang lokal (dibatasi oleh tempat).

Dijelaskan dalam al-Quran bahwa nabi Muhammad diutus oleh Allah untuk seluruh ummat manusia, dan rahmat bagi seluruh alam, itu menunjukkan bahwa kehadiran nabi Muhammad membawa kebajikan dan rahmat bagi seluruh ummat manusia dalam segala waktu dan tempat. Di samping itu kehidupan nabi Muhammad dibatasi oleh waktu dan tempat, dari itu hadisNabi yang merupakan salah satu sumber utama dalam Islam di samping al-Quran juga mengandung ajaran yang bersifat universal, temporal dan lokal.

Hadis merupakan bagian dari kebijaksaan Nabi maka mungkin saja suatu hadis tertentu yang sanadnya sahih secara tektual bertentang denga hadis sahih lainnya. Ulama ahli hadis telah membahas dan memberikan alternatif metode penyelesaian.

Segi-segi yang berkaitan erat dengan diri Nabi dan suasana yang melatar belakangi ataupun menyebabkan terjadinya hadis tersebut mempunyai kedudukan penting dalam pemahaman suatu hadis mungkin saja suatu hadis dapat dipahami secara tekstual (tersurat), sedang hadis tertentu lainnya lebih tepat dipahami secara kontekstual (tersirat).

Kajian pada kesempatan kali ini akan mengemukan pemahaman terhadap sejumlah hadis nabi secara tekstual ataupun kontekstual menurut tuntutan hadisnya masing-masing.telaah matan hadis yang merupakan bagian dari ilmu Ma’ani hadis dalam kajian kritik matan, diharapkan muncul bukti bahwa dalam berbagai hadisNabi, terkandung ajaran yang bersifat universal, temporal dan lokal. Dan dalam malakah ini penulis hanya akan membahas hadis yang besifat universal dan lokal saja.Dan Semua sanad hadis dalam makalah ini bernilai sahih.


B. Rumusan Masalah

1. apan saja yang diperlukan dalam memahami hadis Nabi ?

2. bagaimana contoh hadisNabi yang besifat Universal dan Lokal?

 

BAB II

BEBERAPA TINJAUAN ATAS KRITIK HADIS

Dengan melihat posisi Nabi seperti yang dijelaskan dalam pendahuluan di atas, ajaran agama yang termuat dalam al-Quran tidaklah mudah untuk diamalkan tanpa melihat cara pelaksanaannya dari Nabi. Sehingga kita perlu melihat esensi dari sabda Nabi. Sebagaimana al-Quran yang mengandung muatan yang kompleks, hadis Nabi juga harus berisi muatan yang sama dengan al-Quran, diantaranya adalah dalam hadis harus berisikan 1. Informasi Ghaib dan Aqidah (dogmatik). 2. Norma-norma ritual dan sosial. 3. Kapasitas beliau sebagai manusia biasa. 4. Gagasan menatap masa depan.[2]

            1.                  Dasar-Dasar Dalam Mengamalkan Sunnah Nabi.[3]

Untuk bisa mengamalkan sunnah Nabi, agar tidak terjerumus dalam pemahaman yang salah, maka hendaknya memenuhi hal-hal berikut :

a.       Memastikan akan kualitas hadis tersebut baik sanad ataupun matannya dengan mengekuti kaedah yang telah ditetapkan oleh para ulama.

b.      Pemahaman yang benar atas teks hadis, cocok dengan petunjuk bahasa,  susunan redaksi Hadis, dan Asbab al-Wurud hadis. Serta sejalan dengan al-Quran dan Hadis yang lain, dan berada dalam bingkai kaedah dan tujuan umum Islam. Dan atas pertimbanga yang lain, yaitu adanya hadis yang dishariatkan dalam Islam dan yang tidak dishariatkan. Ada juga hadis yang dishariatkan berlaku umum dan selamanya, juga ada yang bersifat khusus atau dibatasi oleh waktu. Dan merupakan jeleknya pemahaman bila salah satu dari dua bagian ini tercampuradukkan dengan yang lain.

c.       adanya hadis tersebut tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat baik al-Quran ataupun hadis yang lain. Karena Shariat tidaklah diambil dari satu atau dua Nas, akan tetapi dari Nas dan hukum-hukum secara keseluruhan.

 

            2.                  Pendekatan memahami dan melakukan kritik terhadap hadith

Memahami teks hadis untuk diambil sunnahnya atau ditolak, memerlukan berbagai pendekatan dan sararana yang perlu diperhatikan. Beberapa tawaran dikemukakan oleh para Ulama klasik sebagai bentuk kontribusi ilmiah atas kepedulian mereka terhadap agama dan umat Islam. Diantaranya adalah.[4]1. Ilmu Gharib hadis. 2. Muktalif hadis. 3. Ilmu Asbab al-Wurud hadis. 4. Ilmu Nasikh wa al-Mansukh. 5. Ilmu Ilal hadis. Dan sebagainya

Disisi lain kita juga bisa menggunakan kerangka lain dalam pemahaman hadis melalui pendekatan :[5] 1. Kaedah kebahasaan. Termasuk di dalamnya ‘Am dan khas, Mutlaq Muqayyad, Amr dan Nahi, dan sebagainya. Juga Ilmu Balagha, seperti Tashbih dan Majaz. 2. Menghadapkan hadis yang sedang dikaji dengan ayat-ayat al-Quran atau dengan sesama hadis yang berbicara tentang topik yang sama. 3. Ulama Muta’akhirin menganjurkan agar produk lima belas abad yang lalu itu dapat dipahami sacara pas oleh orang sekarang sehingga diperlukan pengatahuan tentang setting sosial ketika itu, Ilmu Asbab al-Wurud cukup membantu tapi biasanya kasuistik. Keadaan yang menjadi latarbelakang munculnya hadis belum tercover di dalamnya. Sehingga ada hadis yang bisa diterapkan secara umum dan ada hadis yang hanya cocok untuk waktu dan lokasi tertentu.4. Berbagai disiplin ilmu, baik pengetahuan sosial maupun pengetahuan alam.

Hadis Nabi berposisi menafsirkkan al-Quran dan tidak sebaliknya. Al-Quran dan Hadis adalah acuan, yang untuk sampai pada aktualisasi butuh proses. Ayat al-Quran diinterpretasikan dan dipersepsikan oleh umat Islam (para ulama). Dari situ lahirlah perilaku-perilaku keagamaan. Jadi perilaku keagamaan tidak serta merta lahir dari al-Quran dan Hadis tetapi oleh interpretasi dan persepsi, kemudian karena daya tangkap (persepsi) dan kecendrungan satu orang dengan orang lain tidak sama, maka hasilnyapun tidak sama, sehingga walaupun ayat al-Qurannya sama hadisnya pun juga sama. Perbedaan pendapat dari persepsi yang berbeda tidak terhindarkan.[6]


        3.                  Pemahaman Hadith dari sebab-sebab yang melatarbelakangi  dan hal-hal yang melingkupinya, serta arah tujuannya. [7]

Sebagian dari baiknya pemahaman terhadap sunnah nabi adalah mengkaji elemen yang tersusun dalam sebuah hadis atas sebab-sebab yang khusus atau adanya kaitan dengan ‘illat tertentu, baik tersurat (tekstual) atau tersirat (kontekstual). Atau dipahami dari realita dimana hadis tersebut disabdakan.

Maka seorang pengkaji bisa jadi akan menemukan bahwa hadis tersebut tersabda untuk menjaga keadaan dalam waktu tertentu agar terciptanya kemaslahatan, atau untuk menghindari kerusakan tertentu, atau untuk menghilangkan kesulitan yang ada pada waktu itu. Dengan ini diambil pemahaman bahwa hukum yang dibawa oleh sebuah hadis terkadang berlaku umum dan selamanya. Akan tetapi ketika diteliti tersabda karena satu ‘illat (alasan) sehingga akan tidak berlaku lagi dengan hilangannya ‘illat (alasan) tersebut. Sebagaimana hukum tersebut akan tetap berlaku dengan tetapnya ‘illat.

Dari sini diperlukanlah pemahaman dan pengkajian yang mendalam dan komprehensif, terhadap suatu Nas hadis. Sehingga diketahui akan tujuan shariat dan hakikat agama. Ibnu Taimiyah berkata ; dalam memahami sebuah hadis hendaknya mengetahui hal-hal dan keadaan yang melingkupinya yang termuat dalam susunan teks hadis, sehingga dikatahui maksud yang diinginkan, tidak mengikuti prasangka, atau terperangkap dalam teks hadis. Apabila dalam memahami al-Quran membutuhkan Asbabal-Nuzul maka hadis lebih dari itu. Dalam Hadis banyak menemukan kesukaran (kemushkilan) yang tersebar dalam objek-objek tertentu. Di dalamnya ada kekhususan dan perincian dan itu tidak terjadi dalam al-Quran. Maka dari itu perlu dipilah mana unkapan yang bersifat Khusus, umum, terbatasi waktu, berlaku selamanya, berlaku pada kalangan atau bagian tertentu, atau berlaku secara keseluruhan, semua itu terdapat ketentuan masing-masing. Sehingga meneliti dan mengkaji atas susunan kata, sebab-sebab yang melatar belakangi dan hal-hal yang melingkupi didalamnya Akan sangat membantu dalam membuka kebuntuan pemahaman.


    4.      Pedekatan kebahasaan Dengan Pemahaman kalimat sacara tekstual dan kontekstual.

Dengan berpegang pada fungsi Agama, ada yang menyatakan bahwa baik yaitu apa yang menurut Nas wahyu baik, begitu juga buruk, adalah yang menurut Nas wahyu buruk. Apa yang dikatakan oleh akal baik tapi menurut Nas agama buruk, maka pada hakikatnya sesuatu itu buruk. Sebaliknya apa yang dikatakan akal buruk, tapi menurut Nas agama baik, maka ia baik.

Sementera itu ada pemikiran yang berbeda, nilai baik dan buruk itu melekat pada sesuatu, jadi untuk mengetahui baik dan buruk tidak perlu mengetahui nas agama, akan tetapi cukup dengan akal, pemikiran ini berasumsi bahwa apa yang dicapai oleh akal sejalan dengan nas agama. Hanya saja diakui bahwa kemampuan akal terbatas, oleh karena itu dalam hal ini akal membutuhkan informasi dan bimbingan dari nas agama. Dengan kata lain nas agama mempunyai dua fungsi bagi akal. Pertama konfirmasi terhadap capaian akal. Kedua informasi terhadap sesuatu yang diluar jangkauan akal.

Dari uraian diatas kita mendapatkan dua kubu yang dasar pijakan berpikirnya berbeda. Pemikiran pertama mempunyai ikatan yang kuat terhadap teks agama. Pemikiran ini tidak tertarik untuk mempersoalkan mengapa Nas agama menyuruh ini dan melarang itu. Ada perintah dilaksanakan, ada larangan di jauhi. Tidak penting baginya sebuah Nas agama berada dalam konteks tertentu. Pemikiran kedua, karena menempatkan akal pada posisi yang strategis, merasa perlu mencari rahasia dibalik sebuah ungkapan.[8]

Setelah tidak ada kata-kata sukar, tidak serta merta sebuah hadis dapat segera dipahami. Kita melanjutkan dengan memahami kalimat. Bisakah hadis tersebut dipahami secara tekstual atau harus mengambil pemahaman secara kontekstual, Kearah mana informasi itu ditujukan, apakah informasi dari sebuah Hadith itu masih berlaku atau tidak, sebuah perintah berlaku  untuk umum atau untuk kelompok tertentu, dan seterusnya.[9]

Oleh karena itu dalam memahami Hadis Nabi, kita dapat menggunakan beberapa teknik interpretasi (cara menafsirkan teks hadis) yaitu pemahaman Hadis secara tekstual dan kontekstual.


BACA ARTIKEL LAIN YANG BERKAITAN:


    a.      Hadis dengan pemahaman tekstual yang bersifat universal.

1). Berbuat adil terhadap anak.

2447 -حدثنا حامد بن عمر حدثنا أبو عوانة عن حصين عن عامر قال سمعت النعمان بن بشير رضي الله عنهما وهو على المنبر يقول

 :أعطاني أبي عطية فقالت عمرة بنت رواحة لا أرضى حتى تشهد رسول الله صلى الله عليه و سلم فأتى رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال إني أعطيت ابني من عمرة بنت رواحة عطية فأمرتني أن أشهدك يا رسول الله قال ( أعطيت سائر ولدك مثل هذا ) . قال لا قال ( فاتقوا الله واعدلوا بين أولادكم ) . قال فرجع فرد عطيته

Hadis riwayat dari Nu‘man binBashir r.a. dia berkata : “saya telah diberi sesuatu pemberian oleh ayah saya, tetapi (ibu saya) Amrah binti Rawahah tidak merestuinya, sehingga (pemberian itu) dipersaksikan kepada Rasulullah saw. Kemudian (ayah saya) datang menghadap kepada Rasulullah saw. Dan berkata : sesungguhnya saya telah memberi anak saya yang dari Amrah binti Rawahah ini sesuatu pemberian. Dia Amrah meminta saya untuk mempersaksikan pemberian tersebut di hadapan anda ya Rasulullah. Beliau menjawab: apakah kamu memberi semua anak kamu seperti yang kamu berikan pada anakmu ini. Dia menjawab: tidak. Beliau bersabda: bertakwalah kamu kepada Allah swt. Dan berbuat adillah terhadap anak-anakmu.

Nu’man berkata: maka dia (ayah saya) pulang dan menarik(membatalkan) pemberiannya.[10]

Bersikap adil merupakan salah satu ajaran Islam, termasuk orang tua terhadap anaknya, maka cukup dengan pemahaman tekstual hadis tersebut menunjukkan salah satu ajaran Islam yang bersifat universal.[11]Untuk sifat keadilannya ulama berbeda pendapat, ada yang mengatakan sama dengan pemberian waris yaitu anak laki-laki mendapatkan dua bagian dari perempuan, pendapat lain mengatakan harus sama.[12]

2). Mahram karena susuan.

2646 - حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِى بَكْرٍ عَنْ عَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ عَائِشَةَ - رضى الله عنها - زَوْجَ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - أَخْبَرَتْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ عِنْدَهَا ، وَأَنَّهَا سَمِعَتْ صَوْتَ رَجُلٍ يَسْتَأْذِنُ فِى بَيْتِ حَفْصَةَ . قَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أُرَاهُ فُلاَنًا . لِعَمِّ حَفْصَةَ مِنَ الرَّضَاعَةِ . فَقَالَتْ عَائِشَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، هَذَا رَجُلٌ يَسْتَأْذِنُ فِى بَيْتِكَ . قَالَتْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « أُرَاهُ فُلاَنًا » . لِعَمِّ حَفْصَةَ مِنَ الرَّضَاعَةِ . فَقَالَتْ عَائِشَةُ لَوْ كَانَ فُلاَنٌ حَيًّا - لِعَمِّهَا مِنَ الرَّضَاعَةِ - دَخَلَ عَلَىَّ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « نَعَمْ ، إِنَّ الرَّضَاعَةَ تُحَرِّمُ مَا يَحْرُمُ مِنَ الْوِلاَدَةِ »

Sesungguhnya susuan itu mengharamkan apa yang menjadi haram karena kelahiran (keturunan).[13]

Hadis Nabi di atas merupakan penjelasan ketentuan al-Quran surat al-Nisa’:23. Nabi Muhammad melalui hadisnya itu menjelaskan bahwa kemahraman atas susuan berkedudukan sama dengan kemahraman atas dasar keturunan. Dan ketentuan ini bersifat universal. Artinya ketentuan ini berlaku tanpa ada batasan waktu, terhadap siapapun dan dalam kondisi apapun.[14]

3). Hadis tentang perintah patuh kepada pemimpin.

7144- حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ ، عَنْ عُبَيْدِ اللهِ ، حَدَّثَنِي نَافِعٌ ، عَنْ عَبْدِ اللهِ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ ، وَلاَ طَاعَة.

Taatlah atas pemimpin baik terhadap sesuatu yang menyenangkan atau yang meberatkan kecuali diperintah dalam kema’siatan, maka tidak ada ketaatan dalam hal tersebut.[15]

Hadis ini dinilai sahih.[16]Hadis tersebut mengandung perintah taat kepada pemimpin masharakat (Ulu al-Amri) baik itu memberatkan atau menyenangkan supaya dipatuhi. Kecuali perintah untuk Ma‘siat,[17] Hadis ini dapat kita hadapkan dengan ayat al-Quran[18] dengan demikian dari segi matan, hadis ini bisa dipahami sacara tekstual, dimana muatan hadis tentang kewajiaban taat kepada pemimpin disini bersifat universal. Walaupun pengertian Ulul Amri masih diperselisihkan.[19]

    b.      Hadis dengan pemahaman tekstual yang bersifat lokal.

 حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ بْنُ نَصْرٍ ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ ، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللهِ عَنْ نَافِعٍ وَسَالِمٍ ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : نَهَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْحُمُرِ الأَهْلِيَّةِ.

Dari Ibn Umar r.a bahwa Nabi saw. Melarang makan daging keledai kampung.[20]

Sebagian ulama ada yang  menyatakan bahwa petunjuk hadith tersebut merupakan salah satu contoh bahwa Rasulullah memiliki wewenang menetapkan hukum yang di dalam al-Quran tidak dijelaaskan. Ulama berselisih pendapat haram sebagian berpendapat makruh.

Para sahabat Nabi pada umumnya dan jumhur ulama sesudah zaman Nabi memahami petunjuk hadis tersebut secara tekstual. Ibnu Abbas yang merupakan salah satusahabat Nabi, membedai pendapat itu. Dia berpendapat bahwa daging keledai kampung halal dimakan berdasarkan dalil al-Quran, surat al-An’am:145. Dia menyatakan bahwa dirinya tidak mengerti latar belakang keharaman daging keledai kampung tersebut, apakah larangan tersebut bertujuan untuk memelihara populasi keledai kampung, atau larangan itu hanya berlaku pada saat perang khaibar saja.

Ulama menyatakan beberapa illat (alasan) keharaman daging keledai kampung tersebut. Bahwa keharamannya ditetapkkan oleh Nabi: a). Dalam rangka memelihara populasi keledai kampung. b). Karena termasuk binatang rijs (kotor), c). Karena merupakan binatang piaraan di rumah. Dan d). Karna Nabi melarangnya, dan ini adalah pendapat jumhur ulama.

Perbedaan pendapat para sahabat dan ulama tersebut antara lain menunjukkan adanya perbedaan pandangan tentang fungsi Nabi ketika menyampaikan hadis tersebut, sebagian golongan berpandangan bahwa pada saat itu Nabi posisinya sebagi Rasulullah, sebagian lagi berpandangan bahwa saat itu Nabi posisinya sebagi kepala negara atau pemimpin masharakat. Untuk golongan kedua maka larangan tersebut bersifat lokal.[21]

    c.       Hadis dengan pemahaman kontekstual yang bersifat universal.

Keimanan pezina, pencuri dan peminum khamr.

لاَ يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ ، وَلاَ يَسْرِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ ، وَلاَ يَشْرَبُ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ.

“Pezina tidak akan berzina tatkala berzina dia beriman, pencuri tidak akan mencuri tatkala dia mencuri dalam keadaan beriman, peminum khamr tidak akan minum khamr tatkala dia minum dalam keadaan beriman.”[22]

Hadis ini tidak mempunyai sebab tertentu. Secara tekstual, hadis tersebut menjelaskan bahwa orang yang berzina, mencuri atau minum khamr tidak dalam keadaan beriman. Artinya orang tersebut bukan lagi orang mukmin. Dalam al-Quran dijelaskan bahwa iman itu dapat bertambah,[23] dengan begitu iman sebenarnya dapat berkurang yakni tatkala melakukan maksiat. Maksud dari istilah iman berkurang dan bertambah adalah kualitas dan kadarnya.

Dengan mengambil pengertian seperti itu, maka pemahaman secara kontekstual terhadap hadis di atas adalah bahwa kualitas dan kadar iman orang yang berzina, mencuri dan minum khamr dan maksiat lainnya adalah sangat rendah, yakni mereka tidak keluar dari Islam selama masih mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah. Kandungan hadis tersebut adalah bersifat umum (universal).[24]

 

    d.      Hadis dengan pemahaman kontekstual yang bersifat lokal.

1). Hadis tentang memelihara jenggot.

5893- حَدَّثَنِي مُحَمَّدٌ ، أَخْبَرَنَا عَبْدَةُ ، أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ عَنْ نَافِعٍ ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : انْهَكُوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى.

Guntinglah kumis dan panjangkanlah jenggot.[25]

Hadis di atas oleh sebagian umat Islam dipahami secara tekstual. Mereka berpendapat Nabi menyuruh semua kaum laki-laki untuk memelihara kumis dengan memangkas ujungnya dan memelihara jenggot dan memanjangkannya. Mereka memandang bahwa ketentuan itu merupakan salah satu kesempurnaan dalam mengamalkan ajaran Islam.

Secara tekstual hadis, perintah Nabi tersebut memang relevan dengan orang-orang Arab dan negara-negara lain yang secara alami dikaruniai rambut yang subur, termasuk kumis dan jenggot. Sedang tingkat kesuburan rambut orang-orang indonesia tidak sama dengan orang-orang arab. Banyak orang indonesia yang kumis dan jenggotnya jarang dan bahkan tidak ada sama sekali.

Atas kenyataan itu, maka hadis diatas tidak bisa dipahami secara tekstual, akan tetapi hadis tersebut harus dipahami secara kontekstual yaitu kandungan hadis tersebut bersifat lokal.

2). Kewajiban menunaikan zakat fithrah

Dalam sebuah riwayat dinyatakan :

1503- حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ السَّكَنِ ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَهْضَمٍ ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ ، عَنْ عُمَرَ بْنِ نَافِعٍ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : فَرَضَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ.

“…..Mengeluarkan zakat fitrah sebanyak satu sa‘ kurma atau gandum atas hamba sahaya, orang Dari ibnu Umar ra. Dia berkata Rasulullah saw. Telah mewajibkan untuk merdeka, laki-laki perempuan, anak-anak, dan orang dewasa yang beragama Islam, dan memerintahkan agar zakat fitrah ditunaikan sebelum orang-orang pergi melaksanakan salat ‘Id al-Fitrih.”[26]

Hadis di atas dikemukakan oleh Nabi tanpa didahului oleh sebab secara khusus. Hadis Nabi tentang kewajiban zakat fitrah tersebut merupakan penyampaian shariat (bayan tashri‘) yakni penjelasan Nabi yang dalam al-Quran tidak dikemukakan ketentuannya, Yang ada hanya kewajiaban akan menunaikan zakat.[27] Yang dapat dilakukan pemahaman secara tekstual terhadap hadis tersebut hanyalah hal yang berhungan dengan kewajiban membayar zakat fitrah. Dimana kewajiban itu bersifat universal berlaku kapan saja dan dimana saja. Sedang yang berhubungan dengan material yang digunakan dalam membayar zakat fitrah harus dengan pemahaman kontektual, pernyataan yang menyebutkan kurma dan gandum adalah bersifat lokal. Karna tidak semua daerah terdapat kurma dan gandum. Jadi untuk daerah yang makanan pokok selain dua jenis bahan makanan tersebut, maka zakat fitrahnya ditunaikan dengan jenis makan pokok daerah tersebut.[28]Rasullah menentukan zakat dengan makanan bagitu juga jenisnya, karna memang ketika itu makan lebih mudah didapatkan dan dibutuhkan pada waktu itu. Dan sekarang keadaan berubah dimana uang lebih dibutuhkan daripada makan baik untuk dirinya sendiri ataupun keluarganya, maka dengan memberikan zakat dalam bentuk uang akan lebih berguna bagi mereka, dari sini terliahat jelas bahwa dengan hanya berpegangan pada tekstual hadis terkadang kurang dalam mengamalkan ruh dan tujuan dari hadis itu sendiri.[29]

 

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Dari penjelasan diatas penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut;

1.      Hal-hal yang diperlukan dalam pemahaman hadis;

a.       Ilmu Mukhtalif Hadis.

b.      penguasaan kaedah kebahasaan.

1). Ilmu Gharib hadis

2). Haqiqi dan Majazi

c.       pengatahuan tentang sosio historik sebuah hadith.

1). Asbab al-Wurud

2). Ahwal hadis.

d.      pengetahuan berbagai disiplin ilmu, baik pengetahuan sosial maupun pengetahuan alam.

e.       Penalaran akal. sebuah hadis terkadang bisa dipahami secara tekstual dan terkadang secara kontekstual, Kearah mana informasi itu ditujukan, apakah informasi dari sebuah hadis itu masih berlaku atau tidak, sebuah perintah berlaku untuk umum atau untuk kelompok tertentu, dan seterusnya.

2.      Dari contoh-contoh hadis diatas kita bisa mengetahui bahwa hadis Nabi ada yang belaku secara umum yakni tidak terbatas oleh waktu dan tempat(Universal) dan ada yang berlaku secara khusus yakni terbatas oleh tempat(Lokal).


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:


Daftar Pustaka

Al-Quran dan terjemah depag RI.

Abdu al-Rahman b, Jauzi (al), Abu al-Farj, Kashf al-Mushkil min Hadis al-Sahihain, Riyad: Dar al-Nashar,1997

‘Asqalani(al), Ahmad b. Ali b. Hajar abu al-Fadl, Fath al-Bari, beirut: dar ma‘rifah, 1379

Bahgawi(al), al-Husain b. Mas’ud, Sharh al-Sunnah, Beirut: Maktabah al-Islami, 1983

Ismail, Suhudi. Hadis Tektual dan Kontekstual. Jakarta: Bulan Bintang, 1994.

Muhammad b, ismail Al-bukhari, Sahih Bukhari, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,2008.

Naisabur (al), Muslim b. al-Hajjaj, Sahih Muslim. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2008.

Naisaburi(al), Abi al-Husain Muslim b, al-Hajjaj al-Qushairi. Sahih Muslim.  Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2008

Qardawi(al), Yusuf. Kaifa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah. Firjiniya: Dar al-Wafa’, 1990.

Sijistani(al), Abu DaudSulaiman al-Ash‘ath, SunanAbiDaud. Beirut: Dar al-Qutub al-Ilmiyah, 2008).

Sulami(al), Muhammad b. ‘Isa Abu ‘Isa al-Tirmidzi, Jami‘ al-Sahih Sunan al-Tirmidhi. Beirut: dar ihya al-turath al-‘arabi.tt.

Zuhri, Muh. Tela’ah Matan Hadis: sebuah tawaran mtodologis. Yogyakarta: Lesfi, 2003



[1]Depag RI, al-Quran dan terjemah, surat al-Maidah: 3

[2] Muh. Zuhri, Tela’ah Matan Hadis; SebuahTawaranMetologis. (Yogyakarta: lesfi, 2003), 50

[3]Yusuf al-Qardawi,Kaifa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah. (Firjiniya: dar al-wafa’, 1990). 33

[4]Muh Zuhri, Tela’ah matan hadis: sebuah tawaran metodologis. (Yogyakarta: Lesfi, 2003),54

[5]ibid, 86

[6]Zuhri, Muh. Tela’ah Matan Hadis: Sebuah Tawaran Mtodologis.(Yogyakarta: Lesfi, 2003),54

[7]Yusuf al-Qordwi,Kaifa Nata’amal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah. (Firjiniya: Dar al-Wafa’, 1990). 125

[8]Muh. Zuhri, Tela’ah Matan Hadith: Sebuah Tawaran Metodologis. (Yogyakarta: Lesfi, 2003),33-36

[9]ibid, 58

[10]Muhammad b, Ismail Al-Bukhari, Sahih Bukhari. (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,2008)2, 90.

[11]Ismail, Suhudi. Hadis Tektual dan Kontekstual. (Jakarta: Bulan Bintang, 1994). 27-28

[12] Ibnu Hajar, Fath Al-Bari, bab Hibah li al-Walad, Fath al-Bari, Beirut: Dar Ma‘rifah, 1379).5,214

[13]Muhammad b, Ismail Al-Bukhari, Sahih Bukhari. (Beirut: dar al-kutub al-ilmiyah,2008).3,222.

[14] Suhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual,(Jakarta: Bulan Bintang, 1994).12

[15] Sahih Bukhari, juz 9,78 no 7144, Sahih Muslim, juz 6,15 no 4869, (Musnad Admad bin Hanbal). 2,142 no. 6278

[16]Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Sharhu al-Sunnah, (Beirut: Maktabah al-Islami, 1983).10, 43

[17]Abu al-farj abdurrahman ibnu al-jauzi, Kashfu Mushkil Min Sahihain,(Riyad: Dar al-Nashar,1997).1, 636

[18]Al-Quran, Surat al-Nisa’ 29

[19]Zuhri, Muh. Tela’ah matan hadis: sebuah tawaran metodologis. (Yogyakarta: Lesfi, 2003), 66

[20] Sahih Bukhari, juz 5,173. Sahih Muslim, juz 6,63 no 5119. Pada sebagian riwayat dijelaskan akan alasan larangan tersebut

[21]Suhudi Ismail,Hadis Tektual dan Kontekstual. (Jakarta: Bulan Bintang, 1994).41-43

[22]Sahih Bukhari, 3,178 no; 2475. Sahih Muslim 45-56, no: 100-105. Sunan Abi Daud, 4,357 no;4691. Sunan Tirmidhi, 5,15 no; 2625. Musnad Ahmad, 2,243 no; 7316

[23]Al-Quran, Surah al-Anfal:2. Surah al-Taubah; 124

[24]Suhudi Ismail,Hadis Tektual dan Kontekstual. (Jakarta: Bulan Bintang, 1994),50-51

[25]Sahih Bukhari, dalam kitab bada’ al-wahyi, 7, 206. Shahih Muslim, 1,222; . Musnad Ahmadb.Hanbaldalam Musnad Abdullah bin Umar b.Khattab.2,16, no 4654.

[26]Sahih Bukhari.2,161 no;1503.Sahih Muslim.3,68 no; 2325.

[27]Al-Quran Surat al-A‘la 14

[28] Suhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual.(Jakarta: Bulan Bintang), 1994.51-53

[29] Yusuf al-Qardawi, Kaifa Nata’amal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah.( Firjiniya: Dar al-Wafa’, 1990),135

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...