HOME

02 April, 2022

Hadis Hijrah Jihad Dan Niat

 Memahami Hadis secara Komprehensif; Hadis Hijrah Jihad dan Niat sebagai Contoh

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، قَالَ: حَدَّثَنِي مَنْصُورٌ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنْ طَاوُسٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لاَ هِجْرَةَ بَعْدَ الفَتْحِ، وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ، وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا»[1]

Diriwayatkan kepada kami dari ‘Ali bin Abdullah, diriwayatkan kepada kami dari Yahya bin Sa‘id, diriwayatkan kepada kami dariSufyan, ia berkata diriwayatkan kepadaku dari Mansur dari Mujahid dari Tawus dari Ibn ‘Abbas RA. Ia berkata Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada hijrah setelah al-Fath akan tetapi yang ada ialah jihad dan niat. Dan apabila kalian diperintahkan untuk berjihad maka berangkatlah”.

Hadis tersebut termaktub dalam Sahih Bukhari, sehingga untuk masalah keabsahan sanad lebih bisa dipertanggungjawabkan. Dalam Fath al-Bari pun, Ibn Hajar tidak mengupas kapabelitas perawi satu persatu sebagaimana yang ia lakukan dalam hadis innama al-a‘mal bi al-niyat. penulis pun berasumsi kiranya Ibn Hajar hanya mencantumkan kajian sanad apabila hadis tersebut rawan digugat keabsahannya atau elemen keabsahannya tak sesempurna hadis sahih lainnya. Mengingat hadis innama al-a‘mal bin al-niyat hanya muncul dari sosok Umar bin Khattab saja, dan ia juga termasuk hadis gharib dalam disiplin ilmu hadis.[2]

Secara zahir riwayat hadis diatas bertentangan dengan riwayat hadis yang lain

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا الْمُفَضَّلُ حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ حَرْمَلَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحُصَيْنِ عَنْ عَمْرِو بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جَرْهَدٍ قَالَ سَمِعْتُ رَجُلًا يَقُولُ لِجَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ مَنْ بَقِيَ مَعَكَ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَقِيَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ وَسَلَمَةُ بْنُ الْأَكْوَعِ فَقَالَ رَجُلٌ أَمَّا سَلَمَةُ فَقَدْ ارْتَدَّ عَنْ هِجْرَتِهِ فَقَالَ جَابِرٌ لَا تَقُلْ ذَلِكَ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لِأَسْلَمَ ابْدُوا يَا أَسْلَمُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّا نَخَافُ أَنْ نَرْتَدَّ بَعْدَ هِجْرَتِنَا فَقَالَ إِنَّكُمْ أَنْتُمْ تُهَاجِرُونَ حَيْثُ كُنْتُمْ[3]

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ghailan, Telah menceritakan kepada kami Al Mufaddal Telah menceritakan kepada ku Yahya bin Ayyub dari Abd Al-Rahman bin Harmalah dari Muhammad bin Abdullah bin Al Husain dari 'Amr bin Abd Al-Rahman bin Jarhad berkata saya telah mendengar seorang laki-laki yang berkata kepada Jabir bin Abdullah, siapa yang masih hidup bersamamu dari kalangan sahabat Rasulullah SAW ? Jabir bin Abdullah RA menjawab, masih hidup Anas bin Malik dan Salamah bin Al 'Akwa'. Ada seorang yang berkata; Salamah telah murtad dari hijrahnya. Jabir berkata; jangan berkata seperti itu karena saya mendengar Rasulullah SAW bersabda kepada Aslam, "Tampakkan wahai orang Aslam!" mereka berkata: Wahai Rasulullah, kami takut jika kami murtad setelah hijrah, maka Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya kalian berhijrah dimanapun kalian berada".

Hadis ini termaktub dalam Musnad Ahmad nomor 14363. Ia mempunyai arti bahwa hijrah masih ada dimanapun orang Aslam berada. Yang mana secara kasat mata hadis ini menafikan hadis pertama bahwa hijrah telah tidak ada. Dalam kondisi yang seperti ini tampaklah urgensitas ilmu mukhtalif hadis. Namun, sebelum melangkah dalam kajian ilmu mukhtalif hadis layaknya membahas makna lughawi hadis pertama. Karena bahasa merupakan langkah pertama yang harus ditempuh akademisi ketika menelisik sebuah teks.

Yang dimaksud lafal al-fath dalam hadis adalah Fathu Makkah. Sedang hijrah berarti keluar dari dar harb menuju dar Islam. Sedangkan pasca Fathu Makkah, Makkah menjadi dar Islam sehingga sudah tidak dibutuhkan adanya hijrah. Selanjutnya kata jihad berarti memerangi musuh,  sedang secara epistemologi ia mempunyai makna berperang melawan orang kafir demi menegakkan kalimat Allah, jihad fi sabilillah (di jalan Allah), sementara orang yang berjihad untuk mencari harta dan popularitas serta kepemimpinan tidak termasuk dalam jihad yang dimaksud disini. Sedangkan maksud dari lafal niat adalah berazimat dan niat ikhlas untuk mencari ridha Nya. Selanjutnya arti lafal istunfirtum fa anfiru adalah apabila negara kita maupun rumah kita diserang oleh pihak lain, dan imam atau pemimpin disitu menyuruh kita untuk siap-siap berperang di jalan Allah, maka kita harus menaati perintahnya dan keluar berperang.[4] 

Selanjutnya, kembali lagi ke dalam pembahasan mukhtalif hadis. Untuk mendapatkan pemahaman yang baik terhadap matan hadis pertama. Maka dalam menanggapi kedua hadis ini yang saling bertentangan, al-jam’u  antara kedua hadis yang saling bertentangan tersebut merupakan langkah kompromi yang tepat. Hijrah sebelum peristiwa Fathu Makkah mengandung unsur jihad fi sabilillah, hijrah ketika itu mengharuskan seseorang mulazamah untuk terus berjihad bersama Rasulullah sepanjang hayatnya, kecuali bila ada uzur shar’i yang membolehkannya meninggalkan Nabi dan tentunya dengan seizin Nabi Muhammad SAW. Hijrah yang dimaksudkan disini adalah hijrah dari daerah yang berbahaya bagi eksistensi akidah umat Islam menuju daerah yang lebih tenang, aman, tempat yang memberikan kesempatan bagi umat Islam untuk melaksanakan perintah agama dan menegakkan shariat Allah dengan leluasa. Maka dari itu, umat Islam Makkah berpindah berbondong-bondong ke Madinah, karena hijrah menuju Madinah meninggalkan harta dan keluarga merupakan kewajiban umat Islam kala itu, sebelum Fathu Makkah.

Sedangkan pasca Fathu Makkah, hijrah ke Madinah tidak menjadi suatu kewajiban lagi. Karena ilat atau penyebab diharuskannya hijrah sudah hilang. Makkah telah menjadi daerah kekuasaan Islam, sehingga tidak ada kemudharatan, Makkah telah aman bagi umat Islam untuk menegakkan shariat agama disana. Terlebih sebagaimana yang dikatakan Imam Nawawi bahwa hijrah sebelum Fathu Makkah atau masa-masa awal Islam memang sangat dibutuhkan untuk menegakkan daulah Islamiyah beserta menguatkan kekuatan Islam yang di fokuskan di Madinah. [5]

Maka, hijrah yang seperti diatas sudah tidak ada lagi setelah Fathu Makkah. Bukan hijrahnya sendiri yang ditiadakan. Perilaku nomaden orang –orang badui sudah melekat dalam diri mereka. Sudah menjadi kebiasaan mereka hidup berpindah-pindah dan hal tersebut pastinya tak bisa di lepas begitu saja dari diri mereka. Sehingga, bisa dipahami hijrah yang dilakukan orang badui berbeda dengan hijrah yang dimaksud hadis pertama. Secara global, hadis pertama bermakna bahwa mencari kebaikan lewat hijrah sudah terhenti dengan adanya Fathu Makkah, namun kebaikan dan pahala masih bisa diperoleh melalui jihad fi sabilillah dan niat ikhlas lillahi ta‘ala dalam mengerjakan amal baik, apapun bentuknya dan dimana pun tempatnya.

Selanjutnya, dari sisi historis atau asbab wurudnya, hadis ini disabdakan nabi ketika Makkah sudah dikuasai dan kondisinya telah menjadi kondusif serta aman bagi umat Islam. Maka dari itu beliau berkata la hijrah ba‘da al-fath. Berangkat dari sini, bisa diketahui bahwa hadis tersebut mengandung nasakh. Ia menghapus hijrah yang wajib sebelumnya. Yang mana dalam Al-Quran dikatakan

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يُهَاجِرُوا مَا لَكُمْ مِنْ وَلَايَتِهِمْ مِنْ شَيْءٍ حَتَّى يُهَاجِرُوا[6]

“Dan (terhadap) orang-orang yang beriman tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikit pun atasmu melindungi mereka sebelum mereka berhijrah”.

Senada dengan riwayat Ibn Hibban, Ata’ telah menceritakan kepada kami, ia berkata bahwa dirinya mengunjungi Aishah bersama Ubaid bin ‘Umair al-Laithi ketika itu dirinya dekat dengan Jabal Thabir. Ia menanyakan perihal hijrah yang wajib kepada Aishah. Aishah menjawab bahwa hijrah (yang dimaksud wajib) adalah sebelum Fathu Makkah dalam posisi Nabi Muhammad SAW berada di Madinah, sedangkan sekarang sudah tidak ada hijrah lagi (yakni pasca Fathu Makkah). Lalu Aishah memaparkan alasannya yaitu khauf al-fitnah.[7]

Dari sisi fiqhiyah, hukum jihad, berperang di jalan Allah merupakan fardu kifayah bukan fardu ain sebagaimana yang dipaparkan Imam Nawawi dan kalangan Shafi’iyah. Jihad masa kini bersifat fardu kifayah, kecuali bila di suatu negara Islam diserang oleh orang-orang kafir, lalu pemimpin Islam tersebut menunjuk beberapa orang untuk berjihad, maka hukumnya fardu ain bagi orang yang telah ditunjuk tersebut. Berbeda dengan masa Nabi, waktu itu jihad bersifat fardu ain bagi setiap muslim mengingat kuantitasnya yang masih sedikit dibanding penyerangnya.

Hukum hijrah sendiri menjadi wajib apabila berada dalam posisi yang sama dengan masa nabi, yakni ia mampu untuk berhijrah ke tempat lain dan kala itu ia berada di tempat yang mana dirinya tidak bisa menampakkan keislamannya dan menunaikan kewajibannya sebagai umat muslim. Kedua, apabila ia mampu untuk berhijrah namun ditempat ia berdomisili, ia masih bisa menampakkan keislamannya dan menunaikan kewajibannya, maka hijrah menjadi suatu hal yang mustahab baginya. Mengingat pastinya kuantitas muslim di tempat ia tinggal tidaklah sedikit, sehingga mampu bergotong royong dan tolong menolong ketika menghadapi orang-orang kafir. Ketiga, ketika seseorang tidak bisa berhijrah karena uzur, entah tua maupun sakit, maka ketika hal itu terjadi, ia boleh masih berdomisili di daerah kafir. Akan tetapi bila ia berazimat untuk keluar dari kawasan tersebut dengan usahanya, maka ia mendapat pahala atas usahanya tersebut.[8]


BACA ARTIKEL LAIN YANG BERKAITAN:


[1] Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, tahq. Muhammad Zuhair bin Nasir al-Nasir, ( t.tp: Dar Tauq al-Najat, 1422 H.) Bab Fadl al-Jihad wa al-Siyar, Vol IV, nomor hadis 2783, 15. Hadis di atas juga disebutkan dalam Bab Wujub al-Nafir wa Ma Yajibu min al-Jihad wa al-Niyah, Vol IV, nomor hadis 2825, 23.

[2] Lihat al-Asqalani, Fath al-Bari, Vol. I, 10-15. Bandingkan dengan Vol. VII, 229.

[3] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, (Kairo: Muassasah Risalah, 2001), Bab Musnad Jabir RA., Vol XXII, 263.

[4] Dalal Muhammad Abu Salim, al-Jam‘u baina Mukhtalif Hadith wa Mushkilatuh, (Kairo: al-Azhar University Press, t.th), 134-135. Lihat juga ‘Afaf ‘Ali al-Najjar, al-Tafsir al-Maudu‘i, (Kairo: al-Azhar University Press, 2001), 11.

[5] Abu Salim, al-Jam‘u baina Mukhtalif, 137.

Salim, Dalal Muhammad Abu. al-Jam‘u baina Mukhtalif  Hadith wa Mushkilatuh. Kairo: al-Azhar University Press, t.th.

[6] al-Quran, 8: 72.

[7] al-Asqalani, Fath al-Bari, Vol. VII, 229.

Asqalani (al), Ibn Hajar. Fath al-Bari Sharh Shahih Bukhari. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1379 H

[8]al-Asqalani, Fath Al-Bari, Vol. VI, 190.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...