Memahami Hadis secara Komprehensif; Hadis Hijrah Jihad dan Niat sebagai Contoh
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ
عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، قَالَ:
حَدَّثَنِي مَنْصُورٌ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنْ طَاوُسٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«لاَ هِجْرَةَ بَعْدَ الفَتْحِ، وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ، وَإِذَا
اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا»[1]
Diriwayatkan
kepada kami dari ‘Ali bin Abdullah, diriwayatkan kepada kami dari Yahya bin
Sa‘id, diriwayatkan kepada kami dariSufyan, ia berkata diriwayatkan kepadaku
dari Mansur dari Mujahid dari Tawus dari Ibn ‘Abbas RA. Ia berkata Rasulullah
SAW bersabda: “Tidak ada hijrah setelah al-Fath akan tetapi yang ada ialah
jihad dan niat. Dan apabila kalian diperintahkan untuk berjihad maka
berangkatlah”.
Hadis
tersebut termaktub dalam Sahih Bukhari, sehingga untuk masalah keabsahan
sanad lebih bisa dipertanggungjawabkan. Dalam Fath al-Bari pun, Ibn
Hajar tidak mengupas kapabelitas perawi satu persatu sebagaimana yang ia
lakukan dalam hadis innama al-a‘mal bi al-niyat. penulis pun berasumsi
kiranya Ibn Hajar hanya mencantumkan kajian sanad apabila hadis tersebut rawan
digugat keabsahannya atau elemen keabsahannya tak sesempurna hadis sahih
lainnya. Mengingat hadis innama al-a‘mal bin al-niyat hanya muncul dari
sosok Umar bin Khattab saja, dan ia juga termasuk hadis gharib dalam
disiplin ilmu hadis.[2]
Secara
zahir riwayat hadis diatas bertentangan dengan riwayat hadis yang lain
حَدَّثَنَا يَحْيَى
بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا الْمُفَضَّلُ حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ عَنْ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ حَرْمَلَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ الْحُصَيْنِ عَنْ عَمْرِو بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جَرْهَدٍ قَالَ سَمِعْتُ رَجُلًا يَقُولُ
لِجَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ مَنْ بَقِيَ مَعَكَ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ بَقِيَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ وَسَلَمَةُ بْنُ الْأَكْوَعِ فَقَالَ رَجُلٌ أَمَّا سَلَمَةُ فَقَدْ ارْتَدَّ عَنْ
هِجْرَتِهِ فَقَالَ جَابِرٌ لَا تَقُلْ ذَلِكَ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ لِأَسْلَمَ ابْدُوا يَا أَسْلَمُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّا
نَخَافُ أَنْ نَرْتَدَّ بَعْدَ هِجْرَتِنَا فَقَالَ
إِنَّكُمْ أَنْتُمْ تُهَاجِرُونَ حَيْثُ كُنْتُمْ[3]
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin
Ghailan, Telah menceritakan kepada kami Al Mufaddal Telah menceritakan kepada
ku Yahya bin Ayyub dari Abd Al-Rahman bin Harmalah dari Muhammad bin Abdullah
bin Al Husain dari 'Amr bin Abd Al-Rahman bin Jarhad berkata saya telah
mendengar seorang laki-laki yang berkata kepada Jabir bin Abdullah, siapa yang
masih hidup bersamamu dari kalangan sahabat Rasulullah SAW ? Jabir bin Abdullah
RA menjawab, masih hidup Anas bin Malik dan Salamah bin Al 'Akwa'. Ada seorang
yang berkata; Salamah telah murtad dari hijrahnya. Jabir berkata; jangan berkata
seperti itu karena saya mendengar Rasulullah SAW bersabda kepada Aslam,
"Tampakkan wahai orang Aslam!" mereka berkata: Wahai Rasulullah, kami
takut jika kami murtad setelah hijrah, maka Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya kalian berhijrah dimanapun kalian berada".
Hadis ini termaktub
dalam Musnad Ahmad nomor 14363. Ia mempunyai arti bahwa hijrah masih ada
dimanapun orang Aslam berada. Yang mana secara kasat mata hadis ini menafikan
hadis pertama bahwa hijrah telah tidak ada. Dalam kondisi yang seperti ini
tampaklah urgensitas ilmu mukhtalif hadis. Namun, sebelum melangkah
dalam kajian ilmu mukhtalif hadis layaknya membahas makna lughawi
hadis pertama. Karena bahasa merupakan langkah pertama yang harus ditempuh
akademisi ketika menelisik sebuah teks.
Yang dimaksud lafal
al-fath dalam hadis adalah Fathu Makkah. Sedang hijrah berarti keluar
dari dar harb menuju dar Islam. Sedangkan pasca Fathu Makkah,
Makkah menjadi dar Islam sehingga sudah tidak dibutuhkan adanya hijrah.
Selanjutnya kata jihad berarti memerangi musuh,
sedang secara epistemologi ia mempunyai makna berperang melawan orang
kafir demi menegakkan kalimat Allah, jihad fi sabilillah (di jalan
Allah), sementara orang yang berjihad untuk mencari harta dan popularitas serta
kepemimpinan tidak termasuk dalam jihad yang dimaksud disini. Sedangkan maksud
dari lafal niat adalah berazimat dan niat ikhlas untuk mencari ridha Nya.
Selanjutnya arti lafal istunfirtum fa anfiru adalah apabila negara kita
maupun rumah kita diserang oleh pihak lain, dan imam atau pemimpin disitu
menyuruh kita untuk siap-siap berperang di jalan Allah, maka kita harus menaati
perintahnya dan keluar berperang.[4]
Selanjutnya,
kembali lagi ke dalam pembahasan mukhtalif hadis. Untuk mendapatkan
pemahaman yang baik terhadap matan hadis pertama. Maka dalam menanggapi kedua
hadis ini yang saling bertentangan, al-jam’u antara kedua hadis yang saling bertentangan
tersebut merupakan langkah kompromi yang tepat. Hijrah sebelum peristiwa Fathu
Makkah mengandung unsur jihad fi sabilillah, hijrah ketika itu
mengharuskan seseorang mulazamah untuk terus berjihad bersama Rasulullah
sepanjang hayatnya, kecuali bila ada uzur shar’i yang membolehkannya
meninggalkan Nabi dan tentunya dengan seizin Nabi Muhammad SAW. Hijrah yang
dimaksudkan disini adalah hijrah dari daerah yang berbahaya bagi eksistensi
akidah umat Islam menuju daerah yang lebih tenang, aman, tempat yang memberikan
kesempatan bagi umat Islam untuk melaksanakan perintah agama dan menegakkan
shariat Allah dengan leluasa. Maka dari itu, umat Islam Makkah berpindah
berbondong-bondong ke Madinah, karena hijrah menuju Madinah meninggalkan harta
dan keluarga merupakan kewajiban umat Islam kala itu, sebelum Fathu Makkah.
Sedangkan pasca
Fathu Makkah, hijrah ke Madinah tidak menjadi suatu kewajiban lagi. Karena ilat
atau penyebab diharuskannya hijrah sudah hilang. Makkah telah menjadi daerah
kekuasaan Islam, sehingga tidak ada kemudharatan, Makkah telah aman bagi umat
Islam untuk menegakkan shariat agama disana. Terlebih sebagaimana yang
dikatakan Imam Nawawi bahwa hijrah sebelum Fathu Makkah atau masa-masa awal
Islam memang sangat dibutuhkan untuk menegakkan daulah Islamiyah beserta
menguatkan kekuatan Islam yang di fokuskan di Madinah. [5]
Maka, hijrah yang seperti diatas
sudah tidak ada lagi setelah Fathu Makkah. Bukan hijrahnya sendiri yang
ditiadakan. Perilaku nomaden orang –orang badui sudah melekat dalam diri
mereka. Sudah menjadi kebiasaan mereka hidup berpindah-pindah dan hal tersebut
pastinya tak bisa di lepas begitu saja dari diri mereka. Sehingga, bisa
dipahami hijrah yang dilakukan orang badui berbeda dengan hijrah yang dimaksud
hadis pertama. Secara global, hadis pertama bermakna bahwa mencari
kebaikan lewat hijrah sudah terhenti dengan adanya Fathu Makkah, namun kebaikan
dan pahala masih bisa diperoleh melalui jihad fi sabilillah dan niat
ikhlas lillahi ta‘ala dalam mengerjakan amal baik, apapun bentuknya dan
dimana pun tempatnya.
Selanjutnya, dari sisi historis
atau asbab wurudnya, hadis ini disabdakan nabi ketika Makkah sudah
dikuasai dan kondisinya telah menjadi kondusif serta aman bagi umat Islam. Maka
dari itu beliau berkata la hijrah ba‘da al-fath. Berangkat dari sini,
bisa diketahui bahwa hadis tersebut mengandung nasakh. Ia menghapus
hijrah yang wajib sebelumnya. Yang mana dalam Al-Quran dikatakan
وَالَّذِينَ آمَنُوا
وَلَمْ يُهَاجِرُوا مَا لَكُمْ مِنْ وَلَايَتِهِمْ مِنْ شَيْءٍ حَتَّى يُهَاجِرُوا[6]
“Dan (terhadap)
orang-orang yang beriman tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban
sedikit pun atasmu melindungi mereka sebelum mereka berhijrah”.
Senada dengan riwayat Ibn Hibban,
Ata’ telah menceritakan kepada kami, ia berkata bahwa dirinya mengunjungi Aishah
bersama Ubaid bin ‘Umair al-Laithi ketika itu dirinya dekat dengan Jabal
Thabir. Ia menanyakan perihal hijrah yang wajib kepada Aishah. Aishah menjawab
bahwa hijrah (yang dimaksud wajib) adalah sebelum Fathu Makkah dalam posisi
Nabi Muhammad SAW berada di Madinah, sedangkan sekarang sudah tidak ada hijrah
lagi (yakni pasca Fathu Makkah). Lalu Aishah memaparkan alasannya yaitu khauf
al-fitnah.[7]
Dari sisi fiqhiyah,
hukum jihad, berperang di jalan Allah merupakan fardu kifayah bukan fardu ain
sebagaimana yang dipaparkan Imam Nawawi dan kalangan Shafi’iyah. Jihad masa
kini bersifat fardu kifayah, kecuali bila di suatu negara Islam diserang oleh
orang-orang kafir, lalu pemimpin Islam tersebut menunjuk beberapa orang untuk
berjihad, maka hukumnya fardu ain bagi orang yang telah ditunjuk tersebut.
Berbeda dengan masa Nabi, waktu itu jihad bersifat fardu ain bagi setiap muslim
mengingat kuantitasnya yang masih sedikit dibanding penyerangnya.
Hukum hijrah sendiri menjadi wajib apabila berada dalam posisi yang sama dengan masa nabi, yakni ia mampu untuk berhijrah ke tempat lain dan kala itu ia berada di tempat yang mana dirinya tidak bisa menampakkan keislamannya dan menunaikan kewajibannya sebagai umat muslim. Kedua, apabila ia mampu untuk berhijrah namun ditempat ia berdomisili, ia masih bisa menampakkan keislamannya dan menunaikan kewajibannya, maka hijrah menjadi suatu hal yang mustahab baginya. Mengingat pastinya kuantitas muslim di tempat ia tinggal tidaklah sedikit, sehingga mampu bergotong royong dan tolong menolong ketika menghadapi orang-orang kafir. Ketiga, ketika seseorang tidak bisa berhijrah karena uzur, entah tua maupun sakit, maka ketika hal itu terjadi, ia boleh masih berdomisili di daerah kafir. Akan tetapi bila ia berazimat untuk keluar dari kawasan tersebut dengan usahanya, maka ia mendapat pahala atas usahanya tersebut.[8]
- Hadist Tentang Perang itu siasat
- Hadist Tentang Minuman Khamar
- Hadist Tentang Mahram Karena Susuan
- Hadist Tentang Persaudaraan Atas Dasar Iman
- Hadist Kembali Dari Haji Seperti Bayi
- Hadist Dunia Bagaikan Penjara
- Hadist Tentang Tuhan “Turun” ke langit Dunia
- Hadis Hijrah Jihad Dan Niat
- Hadist Tentang Mencari Nafkah Dari Bekam
- Hadist Sholat Sunnah Setelah Asar
- Hadist Tentang Kencing Berdiri
- Hadist Berwudu' Setelah Memakan Daging Yang Dibakar
[1] Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, tahq. Muhammad Zuhair bin Nasir al-Nasir, ( t.tp: Dar Tauq al-Najat, 1422 H.) Bab Fadl al-Jihad wa al-Siyar, Vol IV, nomor hadis 2783, 15. Hadis di atas juga disebutkan dalam Bab Wujub al-Nafir wa Ma Yajibu min al-Jihad wa al-Niyah, Vol IV, nomor hadis 2825, 23.
[2] Lihat al-Asqalani, Fath al-Bari,
Vol. I, 10-15. Bandingkan dengan Vol. VII, 229.
[3] Ahmad bin Hanbal, Musnad
Ahmad, (Kairo: Muassasah Risalah, 2001), Bab Musnad Jabir RA., Vol XXII,
263.
[4] Dalal Muhammad Abu Salim, al-Jam‘u baina Mukhtalif Hadith wa Mushkilatuh, (Kairo: al-Azhar University Press, t.th), 134-135. Lihat juga ‘Afaf ‘Ali al-Najjar, al-Tafsir al-Maudu‘i, (Kairo: al-Azhar University Press, 2001), 11.
[5] Abu Salim, al-Jam‘u baina Mukhtalif, 137.
Salim, Dalal Muhammad Abu. al-Jam‘u baina Mukhtalif Hadith wa Mushkilatuh. Kairo: al-Azhar University Press, t.th.
[6] al-Quran, 8: 72.
[7] al-Asqalani, Fath al-Bari, Vol. VII, 229.
Asqalani (al), Ibn Hajar. Fath al-Bari Sharh Shahih Bukhari. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1379 H
[8]al-Asqalani, Fath Al-Bari, Vol. VI, 190.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar