BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Secara
khusus, dalam kajian tasawuf cukup Nampak bahwa pemikiran tasawuf sunni
lebih dominan dari pada tasawuf falsafi. Hal ini dibuktikan dengan penggunaan
magnum opusnya Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, sebagai kajian
penting, untuk tidak mengatakan wajib, bagi santri-santri senior diberbagai
pesantren. Pilihan karya al-Ghazali sebagai bahan kajian ini tidak lepas dari
basis ideology perkembangan keilmuan pesantren, yang senantiasa berpijak pada
cara pandang Aswaja, khususnya pada keilmuan yang diadopsi dari kitab-kitab abad
pertengahan.
Salah
satu tokoh pesantren yang mengagumi pikiran-pikiran al-Ghazali adalah Kiai
Ihsan ibn Dahlan Jampes Kediri. Sebagai
tokoh pesantren murni dan asli didikan pesantren kekaguman Kiai Ihsan pada
al-Ghazali meniscayakan perkembangan intelektualnya senantiasa beradaptasi
secara konsisten dan terus menerus dengan beberapa pemikiran al-Ghazali hingga
mengantarkannya pada posisi yang cukup penting dalam ranah perkembangan intelektual
pesantren, bahkan dalam lingkaran pemikiran dunia Islam pada umumnya, terkhusus
dalam konteks kajian tasawuf.[1]
Prestasi
ini salah satunya tidak lepas dari
tulisan Kiai Ihsan yaitu kitab Siraj al-Talibin yang terdiri dari dua
jilid, yang sampai hari ini tidak saja
dibaca oleh kalangan pesantren, tapi juga dikaji di beberapa lembaga pendidikan
di dunia Islam, misalnya Mesir dan Maroko, bahkan kitab ini juga turut mengisi
beberapa rak perpustakaan di beberapa perpustakaan dunia baik timur maupun barat.
Kiai Ihsan adalah potret dari pendidikan pesantren, yang mengantarnya menjadi
produsen ilmu pengetahuan dalam kajian keislaman, bukan sekedar konsumen
belaka.
Oleh
karenanya, pesantren –salah satunya melalui Kiai Ihsan- menjadi benteng
pertahanan bagi tersebarnya keilmuan Islam khususnya basis keilmuan tasawuf sunni.
Kuatnya kajian keilmuan pesntren dengan menggunakan kitab kuning sebagai media
utama menjadikan cara pandang orang-orang pesantren (Kiai dan santri) menampakkan
praktik keberislaman yang moderat dan toleran terhadap realitas kehidupan
berbangsa di satu sisi dan tetap tegas pula dalam membela nilai-nilai tauhid di sisi yang berbeda.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun
rumusan masalah yang melatar belakangi penyusunan makalah ini antara lain:
1.
Biografi Kiai Ihsan Jampes
2.
Pendidikan dan Kehidupan Kiai
Ihsan
3.
Karya-karya Kiai Ihsan
4.
Hadis
Tawakal Perspektif Kiai Ihsan
C.
Tujuan
Masalah
Adapun
tujuan dari penyusunan makalah antara lain untuk mengkaji dan membahas:
1.
Mengetahui biografi Kiai
Ihsan Jampes
2.
Mengetahui pendidikan dan kehidupan
Kiai Ihsan
3.
Mengetahui karya-karya Kiai
Ihsan
4.
Hadis
Tawakal Perspektif Kiai Ihsan
- Biografi Imam Bukhari
- Kitab Sahih Bukhari
- Biografi Imam Shafi’i
- Imam Shafi’i Pembela Hadis Nabi Nasir Al-Sunnah
- Kedudukan Hadis Dalam Pandangan Imam Shafi’i
- Biografi Imam Malik Ibn Anas
- Al-Muwatta’ Imam Malik ibn Anas
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Kiai Ihsan Jampes
Kiai
Ihsan ibn Dahlan ibn Salih Jampes, yang selanjutnya disebut Kiai Ihsan, hidup
dan berkembang dalam lingkungan tradisi pesantren. Tidak ada data detail yang
menyebutkan kelahiran Kiai Ihsan, tapi salah satu sumber menyebutkan ia lahir
pada tahun 1901 di lingkungan pesantren Jampes, dusun Putih Kecamatan Gampengrejo
Kediri Jawa Timur.[2]
Dari tradisi kepesantrenan ini serta pergumulnnya dengan masyarakat luas
mengantarkan Kiai Ihsan menjadi pembela
ideology pesantren, setidaknya dalam konteks membumikan spirit tasawuf sunni
model imam al-Ghazali yang dianut mayoritas komunitas pesantren atau Muslim
tradisional Indonesia.[3]
Kiai
Ihsan dengan nama kecil Bakri terlahir dari keturunan “darah biru”, yaitu sebutan
untuk orang yang lahir dari golongan terpandang. Dari jalur Ayahnya, Kiai
Dahlan lahir tahun 1865 adalah putra Kiai Salih yang berasal dari Bogor Jawa
Barat dan tercatat masih keturunan salah satu sultan di daerah Kuningan,
sekaligus bersambung nasab dengan salah satu penyebar Islam awal di Cirebon,
yaitu Sunan Gunung jati atau Syarif Hidayatullah. Dalam perjalanannya, Kiai
Saleh, Kakek Kiai Ihsan, berkelana mencari ilmu ke Jawa Timur, hingga ia
dikenal sebagai seorang pendekar ulung, sekaligus mahir dalam menguasai
ilmu-ilmu keagamaan. Kemampuan ini yang kemudian menjadi daya tawar tersendiri,
khususnya Kia Mesir ketika berjumpa dengan Saleh.
Peranan
orang tua,
khususnya Kiai Dahlan dan neneknya Nyai
Isti’anah, banyak mempengaruhi perkembangan karakter Bakri semenjak kecil.
Sekalipun begitu, Bakri layaknya anak kecil pada umumnya, yang memiliki
lingkungan bermain cukup luas dari kultur masyarakat yang beragam. Lingkungan sosial
pergaulan yang bebas mengantarkan Bakri menjadi petualang ulung dalam dunia
perjudian, sekalipun judi yang dilakukan oleh Bakri lebih didasari dalam rangka
menjatuhkan para Bandar perjudian, bukan berdasarkan hobi. Dalam beberapa
keterangan disebutkan; dalam seiap judi yang dilakukannya, Bakri muda sering
mendapatkan kemenangan dan hasilnya lebih banyak dibagikan kepada teman-teman
sebab ia juga melarang mereka agar tidak terlibat dalam dunia gelap perjudian.[4]
Keterlibatan
Bakri dalam dunia perjudian dipandang bertentangan dengan agama dan kultur
budaya santri hingga menyebabkan sang nenek nyai Isti’anah hidup dalam
keresahan, sebab bila dibiarkan berlarut-larut akan membuat keluarga besarnya
dipermalukan, alih-alih kelak Bakri diproyeksikan melanjutkan regenerasi
pesantren Jampes. Sentuhan dingin dari nyai Isti’anah setidaknya menjadi modal
perubahan drastis kepribadian Bakri dalam kehidupannya, setelah nyai Isti’anah
menjalankan laku spiritual berziarah ke makam Kiai Yahuda, kakeknya, di desa
Nogosari Lorong Pacitan bersama Kiai Dahlan dan Kiai Khozin paman Bakri. Dalam
laku spiritual ini, nyai Isti’anah melakukan beragam tawasul agar
kiranya perilaku Bakri berubah dan jauh dari dunia gelap perjudian.[5]
Usaha spiritual nyai Isti’anah tidak sia-sia, bahkan Bakri tersadarkan diri
untuk menjauhi dunia gelap perjudian setelah ia mengalami mimpi penuh dengan
anjuran nilai-nilai spiritual.[6]
Pengalaman
hidup ini bersama-sama dengan orang terdekat, setidaknya melalui nasab yang
baik, cukup berpengaruh dalam membentuk mentalitas seseorang, tidak terkecuali
Bakri. Tapi bila diamati dari perjalanan hidupnya Bakri sejak muda telah
menampakkan laku-laku tasawuf, misalnya mengikuti jejak kiai Dahlan, yang dalam
kesehariannya tidak membanggakan diri sebagai putra Kiai besar sehinga larut
dalam dunia khumul. Dalam kesehariannya, Bakri –yang selanjutnya dikenal
dengan sebutan Kiai Ihsan atau Shaikh Ihsan tidak menggunakan kebesaran nama
orang tuanya, demi untuk mengangkat popularitas dirinya.[7]
Melalui proses peneladanan
dari Kiai Dahlan dan nyai Isti'anah, tidak heran jika kelak mengantarkan Kiai
Ihsan menjadi orang besar, melebihi saudara-saudaranya, bahkan ulama pesantren
pada eranya,. Setidaknya, hal ini bisa dilihat melalui prestasi luar biasa Kiai
IIhsan dalam mengulas beberapa materi keislaman, khusunya tentang materi-materi
tasawuf. Karenanya, perkataan Umar bin Khattab sebagaimana dikutip al-Ghazali, Inna
al-‘Abd Idha Tawadaa’a li Allah Rafa’a Allah Hikmatuhu (sesungguhnya hamba,
jika bersikap rendah hati karena Allah, niscaya Allah akan mengangkat hikmahnya
(sikap bijaknya), dalam konteks ini mendapatkan momentumnya, yakni bahwa
kebesaran nama Kiyai Ihsan setidaknya salah satunya adalah buah dari sikap
rendah hatinya dalam kehidupan sehari-hari bersama santri dan masyarakat luas.[8]
B.
Pendidikan
dan Kehidupan Kiai Ihsan
Sebagai Kiai yang memiliki
kemampuan dalam menguasai ragam ilmu keislaman, Kiai Ihsan seebagaimana
layaknya kiai-kiai pesantren lainnya berproses tidak sekali jadi, tapi juga
mengalami tempaan belajar di berbagai tempat. Hanya, menariknya Kiai Ihsan
diakui banyak pihak berproses tidak seperti biasanya dilakukakan kebanyakan
santri. Pasalnya, penguasaan ilmu yang matang biasanya harus membutuhkan waktu
yang lama, tapi bagi Kiai Ihsan semua proses belajar dilakukan dengan waktu
yang relatif singkat. Sekalipun begitu, prestasinya dalam menguasai keilmuan
Islam banyak diakaui oleh para tokoh pesantren atau tokoh Muslim, baik local,
nasional hingga internasional dengan dibuktikan melalui karya-karyanya.[9]
Mualanya, Kiai Ihsan dididik langsung oleh
ayahnya, Kiai Dahlan ibn Salih dengan cara-cara yang lazim dilakukan bagi
kalangan pesantren, yaitu belajar melalui Alquran dan menguasai kitab kuning
dengan materi yang beragam; dari fiqih, imu kalam, tafsir hingga ilmu tasawuf.
Di samping itu didikan awal Kiai Ihsan juga didukung dan dibina secara langsung
dan intens oleh neneknya, nyai Isti’anah, yang dikenal juga memiliki kemampuan
dalam membaca dan mengulas beberapa kitab kuning, seperti Tafsir Jalalin
karangan imam Jalal al-Din al-Mahalli dan imam Jalal al-Dinal-Suyuti. Pembinaan
secara langsung dari nyai Isti’anah sebenarnya juga dilakukan kepada
anak-anaknya, yakni Kiai Dahlan dan saudara-saudaranya.[10]
Hanya saja, intensitas nyai Isti’anah dalam menjaga dan membimbing cucunya
(Kyai Ihsan) menurut Dr. Wasid, disebabkan karena dalam diri Kiai Ihsan
terdapat potensi unggul yang kelak akan melanjutkan estafet kepemimpinan
pesantren Jampes. Sekaligus dalam proses pertumbuhan awal kehidupannya ia
dikenal sebagai prebadi nakal dengan terlibat dalam dunia gelap perjudian.[11]
Setelah dipandang matang,
lantas Kiai Ihsan melancong ke beberapa pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Proses nyantri
ke beberapa pesantren di dipandang penting sebab mengambarkan senergitas dari
genealogi intelektual Kiai Ihsan dengan beberapa kiai-kiai pesantren. Bagi
kalangan pesantren, nyantri ke beberapa kiai senior khususnya diyakini
bukan sekedar ingin memperdalam kitab kuning dengan ragam disiplin yang
diajarkan, tapi sekaligus sebagai langkah
memperoleh keberkahan. Karenanya, semakin banyak kiai pesantren yang
dijadikan jujukan mencari ilmu, maka diharapkan semakin banyak pula keberkahan
melimpah pada diri seorang santri. Oleh karenanya, sekalipun santri dipandang
sudah menguasai berbagai kitab kuning, tidak sedikit hanya sekedar mencari
keberkahan santri harus memburu kiai-kiai tertentu yang dipanndang memiliki
keahlian khusus, sebagaimana juga dialami oleh Kiai Ihsan.[12]
Setelah Kiai Dahlan, ayah
Kiai Ihsan, meninggal pada tanggal 25 Syawwal tahun 1928 M, tampuk
kepemimpinan pesantren Jampes dipegang
langsung oleh KH. Kholil; adik Kiai Dahlan yang kecilnya bernama Muharrar.
Hanya saja, tepat pada tahun 1932 Kiai Khalil, sang paman Kiai Khalil, sang
paman menerahkan tampuk kepemimpinan pesantren Jampes kepada Kiai Ihsan, yang
ketika itu berumur 31 tahun. Sungguh beban yang cukup berat, apalagi dalam
usianya yang masih dianggap muda. Tapi itulah amanah yang harus dilaksanakan
demi kelangsungan pesantren Jampes ke depan, sekaligus demi peneguhan
nilai-nilai keislaman Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Sejak itulah, Kiai
Ihsan mulai dikenal sebagai pengasuh pesantren Jampes Kediri. Di tangan Kiai
Ihsan, lambat tapi pasti pesantren Jampes semakin dikenal bahkan jumlah
santrinya semakin bertambah yang datang dari beberapa daerah di Indonesia[13]
C.
Karya-karya
Kiai Ihsan
Karya-karya Kyai Ihsan
setidaknya menggambarkan ideology komunitas pesantren, sekaligus potret Islam
Nusantara. Pergumulan intelektal Kyai Ihsan yang diproses dari satu pesantren
ke pesantren lain diakui atau tidak cukup berpengaruh dalam pikiran-pikirannya,
yaitu dalam rangka membumikan nilai Islam Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
sebagai ortodoksi dalam kehidupan Muslim. Naluri pengetahuannya yang luas
memungkinkan Kyai Ihsan melalui karya-karyanya tidak hanya merespon kondisi
local dan nasional, tapi juga menyikapi situasi terkini yang dihadapi umat
Islam di belahan dunia pada eranya, khususnya dalam menyikapi kontestasi
ideology antar umat Islam sebagaimana tergambarkan dari karya-karyanya.[14]
Adapun karya-karya Kiai Ihsan sebagai berikut:
1.
Tashrih al-Ibarat, kitab
ini mengupas tentang ilmu falak (Astronomi).
Kitab yang penah terbit tahun
1929 adalah penjelas dari kitab Natijat al-Miqat karangan KH. Ahmad
Dahlan Semarang. Secara geneologis, hubungan kedua kitab ini setidaknya
menunjukkan hubungan ilmu Kiai Ihsan sebagai santri dengan Kiai Dahlan sebagai
gurunya. Pasalnya, dalam waktu tertentu, Kiai Ihsan pernah nyantri
kepada Kiai Dahlan yang dikenal sebagai ahli falak. Di samping itu, kitab ini
sebagai langkah nyata Kiai Ihsan dalam memerankan dirinya sebagai penjaga
tradisi keilmuan di lingkungan pesantren Jampes, sebab ayahnya, yakni Dahlan
Saleh sebagai pendiri pondok pesantren Jampes juga dikenal memiliki keahlian
ilmu falak.[15]
2.
Siraj al-Talibin (lentera
bagi para pencari jalan Allah).
Karya ini banyak dipandang
banyak kalangan sebagai karya fenomenal dari pesantren, setidaknya bisa dilihat
dari sisi waktu yang digunakan penulisnya di satu pihak dan kualitas serta
aspek penggunaan terhadap kitab ini di pihak yang berbeda. Dilihat dari sisi
waktu, Kiai Ihsan hanya menghabiskan waktu sekurang-kuangnya delapan bulan
dalam menulis kitab siraj al-Talibin. dengan waktu yang relatif singkat,
proses sharah yang dilakukan Kiai Ihsan terhadap kitab Minhaj al-Abidin
berkuantitas dilihat dari sisi jumlah halamannya, sekaligus berkualitas
dilihat dari ulasannya yang cukup luas dengan mengutip beberapa pendapat dari
berbagai sumber, bahkan dalam berbagai disiplin keilmuan. Hanya sekedar
mengulas satu tema pemikiran al-Ghazali, misalnya, Kiai Ihsan mengutip beberapa
sumber dan pendapat beberapa tokoh lain agar ulasannya mampu memberikan
kemudahan bagi para pembacanya.
Menariknya, waktu penulisan kitab ini, Kiai
Ihsan sebenarnya secara individu mengalami goncangan psikologis, yaitu ia dalam
kondisi menduda akibat perceraiannya istri yang ke empat. Goncangan psikologis
ini Nampak tergambarkan secara tersirat, menurut penulis, dari pengantar kitab
ini pada juz I, ketika Kyai Ihsan berharap dengan kerendahan dirinya agar para
pembaca melakukan perbaikan atau koreksi yang produktif, bila kelak menemukan
beberapa teks tulisannya dipandang kurang tepat, jika tidak mengatakan salah,
dalam kitab karangannya, khususnya Siraj al-Talibin. hal ini terungkap
dalam perkataan Kiai Ihsan sebagai berikut:
على أنِّى والله عَزَّوَجَلَّ فى أكْثرِ مُدَّة
جَمْعى لَه فِى وَهْم وَحُزْن ومع قِلَّةِ المُعِين وَالنَّاصِر والمُنَبِّهِ
والْمُذاكِر
“ sesungguhnya tentang aku, Allah
yang maha Mulia dan Agung mengetahui bahwa kebanyakan masaku mengumpulkan karya
ini dalam kondisi prihatin dan susah. Disamping sedikit yang menolong dan
mengingatkanku.[16]
Dengan
diterbitkannya kitab Siraj al-Talibin di salah satu penerbit di Timur
Tengah memungkinkan penyebaran kitab ini semakin luas, bahkan kitab ini lebih
dikenal di Timur Tengah dari pada dinegeri asalnya, Jampes Kediri Jawa Timur,
termasuk dikenal di beberapa perpustakaan Barat. Pengakuan atas kualitas Siraj
al-Talibin juga disampaikan oleh raja Farouk Mesir, yag berkuasa pada
1936-1952, melalui delegasinya hingga ia mengajak Kiai Ihsan agar berkenan
menjadi salah satu dosen di Universitas al-Azhar Mesir, sekalipun Kiai Ihsan
menolak dengan lebih memilih pesantren Jampes sebagai medan perjuangannya
melalui pengajian kitab-kitab kuning bersama para santrinya.[17]
3.
Manahih al-Imdad
Secara
umum kitab Manahij al-‘Imdad – yang ditulis tuntas pada hari kamis,
akhir bulan Jumad al-Tsani tahun 1360 H[18]
bertepatan tahun 1940- memuat beberapa persoalan dalam kajian Islam, yakni
tentang keimanan, fiqih hingga tasawuf, sesuai dengan kitab yang di sharah-nya
(Irshad al-‘Ibad). namun ulasnya yang original dan lugas dengan bahasa Arab fisha
dan mengutip beberapa sumber memungkinkan kitab ini buka sekedar sharah,
tapi sebuah kitab yang menggambarkan kompleksifitas kemampuan penulisnya dalam
berbagai disiplin. Satu missal, hanya ingin mengulas keutamaan ilmu dan harta,
Kiai Ihsan selain menjelaskan maksud hadis keutamaan belajar ilmu sebagaimana
disebutkan dalam kitab Irshad al-Ibad, ia juga mengutip dari beberapa
sumber, seperti perkataan Ali ibn Abi Talib hingga ibn al-Qayyim, yang pada
kesimpulannya Kiai Ihsan mengatakan:
“jika
seseorang berangan-angan dengan kondisi para imam-imam Islam, maka jelas yang
tersisa hanyalah bentuknya. Tapi, penyebutan dan pemujian terhadap mereka tidak
akan pernah putus. Inilah kehidupan kedua bagi mereka”[19]
4. Irshad al-Ikhwan li Bayan Shurb al-Qahwati
wa al-Dukhan (Petunjuk Bagi Para
Saudara; Menjelaskan tentang Minum Kopi dan Merokok)
Kitab
ini adalah bentuk nazam yang telah disharahi dan memuat empat bab
pembahasan. Kitab ini secara umum mengupas tuntas tentang seluk beluk hukum
merokok dan minum kopi. Dipastikan, hadirnya kitab ini adalah bentuk respon
terhadap masyarakat di sekitar pesantren Jampes yang masih memperdebatkan
persoalan hukum merokok dan minum kopi. Perdebatan kusir antar mereka direspon
secara ilmiah oleh Kiai Ihsan dengan menghadirkan pandangan ulama secara luas
dan tidak terkesan hitam putih. Dengan pola ini diharapkan masyarakat tidak
mudah men-vonis para peminum kopi dan perokok sebagai orang tertuduh, jika
tidak mengatakan salah, karena kopi dan rokok juga memberikan dampak positif
bagi penggunanya di samping memang ada dampak negatifnya.[20]
Pada
konteks hukum merokok dan kopi, Kiai Ihsan menggunakan kaedah fiqhiyah al-Wasa’il
hukm al-Maqasid (Perantara memiliki
hukum yang sama dengan tujuan), dalam arti, hukum merokok dan minum kopi
tergantung pada tujuannya. Bila keduanya sebagai sarana ibadah, maka hukum
menggunakannya dipandang sebagai ibadah. Bila untuk sesuatu yang haram, maka
hukumnya haram, dan seterusnya.[21]
Hanya saja, Kiai Ihsan lebih menghukumi bahwa merokok adalah makruh bahkan
wajib jika memang dengan tidak merokok
dipandang ada unsure mudarat, hingga haram bila proses membelinya dengan
menggunakan harta yang mestinya digunakan nafkah keluarganya.[22]
Mengutip
dari perkataan Dr. Wasid, empat kitab yang telah penulis sebutkan adalah kitab
yang secara fisik diyakini benar-benar karya Kiai Ihsan Jampes. Tidak salah
perlu klarifikasi atau perlu ada usaha tabayyun, bila kemudian ada upaya
sebagian pihak dari penerbit Timur Tengah baik sengaja atau tidak-
menghilangkan nama Kiai Ihsan sebagai pengarang, khususnya untuk kitab Siraj
al-Talibin. Alasannya, kitab-kitab ini setidaknya menjadi asset pesantren
sekaligus asset budaya yang menggambarkan tentang pergumulan pesantren dalam
pergolakan intelektual Muslim local, nasional maupun global. Bukan itu saja,
kitab ini sekaligus menggambarkan model pemahaman Islam local dari perspektif
local pula, yaitu perspektif pesantren.[23]
D. Hadis Tawakal Perspektif Kiai Ihsan
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ سَعِيدٍ الْكِنْدِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ
الْمُبَارَكِ عَنْ حَيْوَةَ بْنِ شُرَيْحٍ عَنْ بَكْرِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ هُبَيْرَةَ عَنْ أَبِي تَمِيمٍ الْجَيْشَانِيِّ عَنْ عُمَرَ بْنِ
الْخَطَّابِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ
أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ
كَمَا يُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا
Telah menceritakan kepada kami 'Ali bin
Sa'id Al Kindi telah menceritakan kepada kami Ibnu Al Mubarak dari Haiwah bin
Syuraih dari Bakr bin 'Amru dari 'Abdullah bin Hubairah dari Abu Tamim Al
Jaisyani dari Umar bin Al Khaththab berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
salam bersabda: "Andai saja kalian bertawakal kepada Allah dengan
sebenarnya, niscaya kalian diberi rizki seperti rizkinya burung, pergi dengan perut
kosong di pagi hari dan pulang di sore hari dengan perut terisi penuh."[24]
Kiai
Ihsan mengatakan bahwa hadis ini menunjukkan pentingnya usaha dalam mencari
rizki, bukan diam sebagaimana perumpamaan burung yang setiap hari berusaha
mencari rizki, ternyata juga hidup. Hanya saja, bergantung pada kekuatan dan
usaha ini dipandang menegasikan sikap tawakal, jika tidak mengatakan
bertentangan.[25]
Untuk
memperkuat pemahamannya tentang tawakal Kiai Ihsan menyitir syair yang berbunyi:
ولو كانت الأرزاق تجري على الحجا * هلكنا إذن من
جهلهن البهائم
Seandainya rizki-rizki
mengalir hanya kepada yang berakal, niscaya semua hewan peliharaan itu akan
mati, akibat kebodohannya.[26]
Syair
ini nampaknya menjelaskan bahwa rizki memang tidak melulu mengandalkan
rasionalitas, misalya kepandaian seseorang. Artinya, hukum kausalitas dalam
persoalan rizki adalah dalam rangka usaha bukan menentukannya. Sebab tidak
sedikit orang yang pandai secara rasional itu miskin dan tidak sedikit orang
itu bodoh serta tidak memiliki prestasi akademik yang tinggi, tapi nyatanya dalam
persoalan rizki dia tergolong kaya raya.[27]
Hanya
saja menurut Kiai Ihsan, kita diajak untuk tidak mencela semua orang sesuai
dengan profesinya, termasuk mereka yang total tawakal kepada Allah dan
senantiasa meningkatkan peribadatan secara total sepanjang hari. Alasannya,
karena memang nabi Muhammad diutus kepada orang yang berbeda-beda, yakni
pedagang, pekerja hingga orang yang duduk saja. Nabi, tidak memaksakan mereka
lepas dari pekerjaannya, bahkan menganjurkan agar berinfak kepada para
peminta-minta. Yag pasti, atas dasar keyakinan serta keimanan itulah pastinya
orang hidup di dunia ssesuai dengan kapasitasnya masing-masing, bukan dalam
rangka menghina yang lain.[28]
Dengan mengutip beberapa sumber, Kiai Ihsan pada
akhirnya memahami bahwa hakekat tawakal dalam persoalan rizki secara garis
besar berpantung pada pelakunya yang dibedakan dalam dua golongan besar, yakni
kelompok khusus (ahl al-khusus) dan kelompok umum (ahl al-‘awam).
bagi kelopok khusus totalitas bertawakkal dibuktikan dengan usaha memotong
secara menyeluruh semua penyebab apapun berkaitan dengan datangnya rizki atau
dalam bingkai hukum kausalitas, dengan dasar kepercayaan total bahwa hanya
Allah semata yang senantiasa memberikan rizki. Sementara bagi kelompok umum,
tawakal diwujudkan dengan keharusan pelakunya terlibat dalam hukum kausalitas (al-tasabbub).[29]
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:
- Biografi Ibn Hajar Al ‘Asqalani
- Syaikh Nawawi Al-Bantani
- Kiai Ihsan Jampes
- K H Moenawar Chalil
- Muhammad Yasin Al-Fadani
- Pengertian Sahabat
- Pengertian Tabi'in
- Perawi Hadis Era Dinasti Umayyah
DAFTAR PUSTAKA
Jampes, Jampes. Irshad
al-Ikhwan li Bayani Shurb al-Qahwah wa al-Dukhan. Kediri: Pesantren al-Ihsan
Jampes, t.th.
…………, Ihsan. Manahij al-Imdad. Kediri:
Pesantren Jampes, t.th.
…………, Ihsan. Siraj
al-Talibin. Bairut: Dar al-Fikr, 1997.
Mughni, Busrol Karim
A. Syekh Ihsan bin Dahlan Jampes Kediri. Kediri: Pesantren Jampes , 2012.
Surah, Abi ‘Isa Muhammad
bin ‘Isa bin. Sunan al-Tirmidhi. Kairo: Mustafa al-Bab al-Halabi, t.th.
Shata, Sayyid Bakri
ibn Sayyid Muhammad. Kifayah al-Atqiya wa Minhaj al-Asfiya’. Indonesia:
al-Haramain, t.th.
Wasid, Tasawuf Nusantara Kiai Ihsan Jampes . Surabaya: Pustaka Idea, 2016.
[1][1] Wasid, Tasawuf Nusantara Kiai Ihsan Jampes (Surabaya:
Pustaka Idea, 2016), 9.
[2] Busrol Karim A. Mughni, Syekh
Ihsan bin Dahlan Jampes Kediri (Kediri: Pesantren Jampes , 2012), 5.
[3] Wasid, Tasawuf Nusantara
Kiai Ihsan Jampes,..30.
[4] Busrol Karim, Syekh Ihsan,..
26.
[5] Konon setelah berziarah, pada
malamnya Bakri muda dalam mimpinya bertemu dengan seorang kakek. Dalam
pertemuan tersebut, sang kakek berharap agar Bakri menyudai perilakunya yang
melanggar agama, yakni berjudi. Dengan sedikit mengancam sang kakek membawa batu
besar dan akan melemparkannya ke kepala Bakri, jika ia tidak mengikuti
anjurannya. Singkat cerita, Bakri melakukan “pembangkangan” dengan berkata; ad
hubungan apa saya dengan kakek? Terus atau berhenti berjudi semua itu adalah
urusan dan tanggung jawab saya sendiri. Tak seorangpun berhak mempersoalkannya.
Batu besar itupun, akhirnya dilemparkan mengenai kepala Bakri hingga hancur
lebur berkeping-keping. Dari mimpi ini, dan dengan ketakutannya, Bakri
ditakdirkan melakukan pertaubatan secara total dan melepaskan seluruh
aktivitas-aktivitas yang dilarang oleh agama, dengan menjauh dari perilaku
judi.
[6] Wasid, Tasawuf Nusantara
Kiai Ihsan Jampes,.. 35.
[7] Ibid.
[8] Sayyid Bakri ibn Sayyid
Muhammad Shata, Kifayah al-Atqiya wa Minhaj al-Asfiya’ (Indonesia: al-Haramain,
t.th), 112.
[9] Busrol Karim, Syekh Ihsan,..
31.
[10] Ibid,. 10.
[11] Wasid, Tasawuf Nusantara
Kiai Ihsan Jampes,..39.
[12] Ibid.
[13] Busrol Karim, Syekh Ihsan,..
51.
[14] Wasid, Tasawuf Nusantara
Kiai Ihsan Jampes,.. 46
[15] Ibid.
[16] Ihsan Jampes,Siraj al-Talibin,
Juz 2 (Bairut: Dar al-Fikr, 1997),
[17] Wasid, Tasawuf Nusantara
Kiai Ihsan Jampes,..51.
[18] Ihsan Jampes, Manahij
al-Imdad, Juz 1 (Kediri: Pesantren Jampes, t.th), 1.
[19] Ibid., 70.
[20] Ihsan Jampes, Irshad
al-Ikhwan li Bayani Shurb al-Qahwah wa al-Dukhan (Kediri: Pesantren
al-Ihsan Jampes, t.th), 14.
[21] Ibid.
[22] Ibid., 35.
[23] Wasid, Tasawuf Nusantara
Kiai Ihsan Jampes,..53.
[24] Abi ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin
Surah, Sunan al-Tirmidhi, Juz IV (Kairo: Mustafa al-Bab al-Halabi,
t.th), 573.
[25] Wasid, Tasawuf Nusantara
Kiai Ihsan Jampes,..94.
[26] Ihsan Jampes,Siraj al-Talibin,..
113
[27] Wasid, Tasawuf Nusantara
Kiai Ihsan Jampes,..95.
[28] Ibid.
[29] Ibid., 91.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar