HOME

20 April, 2022

Kiai Ihsan Jampes

 


BAB I

PENDAHULUAN

A.                 Latar Belakang

Secara khusus, dalam kajian tasawuf cukup Nampak bahwa pemikiran tasawuf sunni lebih dominan dari pada tasawuf falsafi. Hal ini dibuktikan dengan penggunaan magnum opusnya Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, sebagai kajian penting, untuk tidak mengatakan wajib, bagi santri-santri senior diberbagai pesantren. Pilihan karya al-Ghazali sebagai bahan kajian ini tidak lepas dari basis ideology perkembangan keilmuan pesantren, yang senantiasa berpijak pada cara pandang Aswaja, khususnya pada keilmuan yang diadopsi dari kitab-kitab abad pertengahan.

Salah satu tokoh pesantren yang mengagumi pikiran-pikiran al-Ghazali adalah Kiai Ihsan ibn Dahlan Jampes  Kediri. Sebagai tokoh pesantren murni dan asli didikan pesantren kekaguman Kiai Ihsan pada al-Ghazali meniscayakan perkembangan intelektualnya senantiasa beradaptasi secara konsisten dan terus menerus dengan beberapa pemikiran al-Ghazali hingga mengantarkannya pada posisi yang cukup penting dalam ranah perkembangan intelektual pesantren, bahkan dalam lingkaran pemikiran dunia Islam pada umumnya, terkhusus dalam konteks kajian tasawuf.[1]

Prestasi ini salah satunya tidak lepas  dari tulisan Kiai Ihsan yaitu kitab Siraj al-Talibin yang terdiri dari dua jilid,  yang sampai hari ini tidak saja dibaca oleh kalangan pesantren, tapi juga dikaji di beberapa lembaga pendidikan di dunia Islam, misalnya Mesir dan Maroko, bahkan kitab ini juga turut mengisi beberapa rak perpustakaan di beberapa perpustakaan dunia baik timur maupun barat. Kiai Ihsan adalah potret dari pendidikan pesantren, yang mengantarnya menjadi produsen ilmu pengetahuan dalam kajian keislaman, bukan sekedar konsumen belaka.

Oleh karenanya, pesantren –salah satunya melalui Kiai Ihsan- menjadi benteng pertahanan bagi tersebarnya keilmuan Islam khususnya basis keilmuan tasawuf sunni. Kuatnya kajian keilmuan pesntren dengan menggunakan kitab kuning sebagai media utama menjadikan cara pandang orang-orang pesantren (Kiai dan santri) menampakkan praktik keberislaman yang moderat dan toleran terhadap realitas kehidupan berbangsa di satu sisi dan tetap tegas pula dalam membela nilai-nilai  tauhid di sisi yang berbeda.

B.                 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang melatar belakangi penyusunan makalah ini antara lain:

1.                   Biografi Kiai Ihsan Jampes

2.                   Pendidikan dan Kehidupan Kiai Ihsan

3.                   Karya-karya Kiai Ihsan

4.                   Hadis Tawakal Perspektif Kiai Ihsan

C.                 Tujuan Masalah

Adapun tujuan dari penyusunan makalah antara lain untuk mengkaji dan membahas:

1.                   Mengetahui biografi Kiai Ihsan Jampes

2.                   Mengetahui pendidikan dan kehidupan Kiai Ihsan

3.                   Mengetahui karya-karya Kiai Ihsan

4.                   Hadis Tawakal Perspektif Kiai Ihsan

 BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN :

BAB II

PEMBAHASAN

A.                 Biografi Kiai Ihsan Jampes

Kiai Ihsan ibn Dahlan ibn Salih Jampes, yang selanjutnya disebut Kiai Ihsan, hidup dan berkembang dalam lingkungan tradisi pesantren. Tidak ada data detail yang menyebutkan kelahiran Kiai Ihsan, tapi salah satu sumber menyebutkan ia lahir pada tahun 1901 di lingkungan pesantren Jampes, dusun Putih Kecamatan Gampengrejo Kediri Jawa Timur.[2] Dari tradisi kepesantrenan ini serta pergumulnnya dengan masyarakat luas mengantarkan Kiai Ihsan  menjadi pembela ideology pesantren, setidaknya dalam konteks membumikan spirit tasawuf sunni model imam al-Ghazali yang dianut mayoritas komunitas pesantren atau Muslim tradisional Indonesia.[3]

Kiai Ihsan dengan nama kecil Bakri terlahir dari keturunan “darah biru”, yaitu sebutan untuk orang yang lahir dari golongan terpandang. Dari jalur Ayahnya, Kiai Dahlan lahir tahun 1865 adalah putra Kiai Salih yang berasal dari Bogor Jawa Barat dan tercatat masih keturunan salah satu sultan di daerah Kuningan, sekaligus bersambung nasab dengan salah satu penyebar Islam awal di Cirebon, yaitu Sunan Gunung jati atau Syarif Hidayatullah. Dalam perjalanannya, Kiai Saleh, Kakek Kiai Ihsan, berkelana mencari ilmu ke Jawa Timur, hingga ia dikenal sebagai seorang pendekar ulung, sekaligus mahir dalam menguasai ilmu-ilmu keagamaan. Kemampuan ini yang kemudian menjadi daya tawar tersendiri, khususnya Kia Mesir ketika berjumpa dengan Saleh.

 

Peranan orang tua,

 khususnya Kiai Dahlan dan neneknya Nyai Isti’anah, banyak mempengaruhi perkembangan karakter Bakri semenjak kecil. Sekalipun begitu, Bakri layaknya anak kecil pada umumnya, yang memiliki lingkungan bermain cukup luas dari kultur masyarakat yang beragam. Lingkungan sosial pergaulan yang bebas mengantarkan Bakri menjadi petualang ulung dalam dunia perjudian, sekalipun judi yang dilakukan oleh Bakri lebih didasari dalam rangka menjatuhkan para Bandar perjudian, bukan berdasarkan hobi. Dalam beberapa keterangan disebutkan; dalam seiap judi yang dilakukannya, Bakri muda sering mendapatkan kemenangan dan hasilnya lebih banyak dibagikan kepada teman-teman sebab ia juga melarang mereka agar tidak terlibat dalam dunia gelap perjudian.[4]

Keterlibatan Bakri dalam dunia perjudian dipandang bertentangan dengan agama dan kultur budaya santri hingga menyebabkan sang nenek nyai Isti’anah hidup dalam keresahan, sebab bila dibiarkan berlarut-larut akan membuat keluarga besarnya dipermalukan, alih-alih kelak Bakri diproyeksikan melanjutkan regenerasi pesantren Jampes. Sentuhan dingin dari nyai Isti’anah setidaknya menjadi modal perubahan drastis kepribadian Bakri dalam kehidupannya, setelah nyai Isti’anah menjalankan laku spiritual berziarah ke makam Kiai Yahuda, kakeknya, di desa Nogosari Lorong Pacitan bersama Kiai Dahlan dan Kiai Khozin paman Bakri. Dalam laku spiritual ini, nyai Isti’anah melakukan beragam tawasul agar kiranya perilaku Bakri berubah dan jauh dari dunia gelap perjudian.[5] Usaha spiritual nyai Isti’anah tidak sia-sia, bahkan Bakri tersadarkan diri untuk menjauhi dunia gelap perjudian setelah ia mengalami mimpi penuh dengan anjuran nilai-nilai spiritual.[6]

Pengalaman hidup ini bersama-sama dengan orang terdekat, setidaknya melalui nasab yang baik, cukup berpengaruh dalam membentuk mentalitas seseorang, tidak terkecuali Bakri. Tapi bila diamati dari perjalanan hidupnya Bakri sejak muda telah menampakkan laku-laku tasawuf, misalnya mengikuti jejak kiai Dahlan, yang dalam kesehariannya tidak membanggakan diri sebagai putra Kiai besar sehinga larut dalam dunia khumul. Dalam kesehariannya, Bakri –yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Kiai Ihsan atau Shaikh Ihsan tidak menggunakan kebesaran nama orang tuanya, demi untuk mengangkat popularitas dirinya.[7]

Melalui proses peneladanan dari Kiai Dahlan dan nyai Isti'anah, tidak heran jika kelak mengantarkan Kiai Ihsan menjadi orang besar, melebihi saudara-saudaranya, bahkan ulama pesantren pada eranya,. Setidaknya, hal ini bisa dilihat melalui prestasi luar biasa Kiai IIhsan dalam mengulas beberapa materi keislaman, khusunya tentang materi-materi tasawuf. Karenanya, perkataan Umar bin Khattab sebagaimana dikutip al-Ghazali, Inna al-‘Abd Idha Tawadaa’a li Allah Rafa’a Allah Hikmatuhu (sesungguhnya hamba, jika bersikap rendah hati karena Allah, niscaya Allah akan mengangkat hikmahnya (sikap bijaknya), dalam konteks ini mendapatkan momentumnya, yakni bahwa kebesaran nama Kiyai Ihsan setidaknya salah satunya adalah buah dari sikap rendah hatinya dalam kehidupan sehari-hari bersama santri dan masyarakat luas.[8]


B.                 Pendidikan dan Kehidupan Kiai Ihsan

Sebagai Kiai yang memiliki kemampuan dalam menguasai ragam ilmu keislaman, Kiai Ihsan seebagaimana layaknya kiai-kiai pesantren lainnya berproses tidak sekali jadi, tapi juga mengalami tempaan belajar di berbagai tempat. Hanya, menariknya Kiai Ihsan diakui banyak pihak berproses tidak seperti biasanya dilakukakan kebanyakan santri. Pasalnya, penguasaan ilmu yang matang biasanya harus membutuhkan waktu yang lama, tapi bagi Kiai Ihsan semua proses belajar dilakukan dengan waktu yang relatif singkat. Sekalipun begitu, prestasinya dalam menguasai keilmuan Islam banyak diakaui oleh para tokoh pesantren atau tokoh Muslim, baik local, nasional hingga internasional dengan dibuktikan melalui karya-karyanya.[9]

  Mualanya, Kiai Ihsan dididik langsung oleh ayahnya, Kiai Dahlan ibn Salih dengan cara-cara yang lazim dilakukan bagi kalangan pesantren, yaitu belajar melalui Alquran dan menguasai kitab kuning dengan materi yang beragam; dari fiqih, imu kalam, tafsir hingga ilmu tasawuf. Di samping itu didikan awal Kiai Ihsan juga didukung dan dibina secara langsung dan intens oleh neneknya, nyai Isti’anah, yang dikenal juga memiliki kemampuan dalam membaca dan mengulas beberapa kitab kuning, seperti Tafsir Jalalin karangan imam Jalal al-Din al-Mahalli dan imam Jalal al-Dinal-Suyuti. Pembinaan secara langsung dari nyai Isti’anah sebenarnya juga dilakukan kepada anak-anaknya, yakni Kiai Dahlan dan saudara-saudaranya.[10] Hanya saja, intensitas nyai Isti’anah dalam menjaga dan membimbing cucunya (Kyai Ihsan) menurut Dr. Wasid, disebabkan karena dalam diri Kiai Ihsan terdapat potensi unggul yang kelak akan melanjutkan estafet kepemimpinan pesantren Jampes. Sekaligus dalam proses pertumbuhan awal kehidupannya ia dikenal sebagai prebadi nakal dengan terlibat dalam dunia gelap perjudian.[11]

Setelah dipandang matang, lantas Kiai Ihsan melancong ke beberapa pesantren  di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Proses nyantri ke beberapa pesantren di dipandang penting sebab mengambarkan senergitas dari genealogi intelektual Kiai Ihsan dengan beberapa kiai-kiai pesantren. Bagi kalangan pesantren, nyantri ke beberapa kiai senior khususnya diyakini bukan sekedar ingin memperdalam kitab kuning dengan ragam disiplin yang diajarkan, tapi sekaligus sebagai langkah  memperoleh keberkahan. Karenanya, semakin banyak kiai pesantren yang dijadikan jujukan mencari ilmu, maka diharapkan semakin banyak pula keberkahan melimpah pada diri seorang santri. Oleh karenanya, sekalipun santri dipandang sudah menguasai berbagai kitab kuning, tidak sedikit hanya sekedar mencari keberkahan santri harus memburu kiai-kiai tertentu yang dipanndang memiliki keahlian khusus, sebagaimana juga dialami oleh Kiai Ihsan.[12]

Setelah Kiai Dahlan, ayah Kiai Ihsan, meninggal pada tanggal 25 Syawwal tahun 1928 M, tampuk kepemimpinan  pesantren Jampes dipegang langsung oleh KH. Kholil; adik Kiai Dahlan yang kecilnya bernama Muharrar. Hanya saja, tepat pada tahun 1932 Kiai Khalil, sang paman Kiai Khalil, sang paman menerahkan tampuk kepemimpinan pesantren Jampes kepada Kiai Ihsan, yang ketika itu berumur 31 tahun. Sungguh beban yang cukup berat, apalagi dalam usianya yang masih dianggap muda. Tapi itulah amanah yang harus dilaksanakan demi kelangsungan pesantren Jampes ke depan, sekaligus demi peneguhan nilai-nilai keislaman Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Sejak itulah, Kiai Ihsan mulai dikenal sebagai pengasuh pesantren Jampes Kediri. Di tangan Kiai Ihsan, lambat tapi pasti pesantren Jampes semakin dikenal bahkan jumlah santrinya semakin bertambah yang datang dari beberapa daerah di Indonesia[13]


C.                 Karya-karya Kiai Ihsan

Karya-karya Kyai Ihsan setidaknya menggambarkan ideology komunitas pesantren, sekaligus potret Islam Nusantara. Pergumulan intelektal Kyai Ihsan yang diproses dari satu pesantren ke pesantren lain diakui atau tidak cukup berpengaruh dalam pikiran-pikirannya, yaitu dalam rangka membumikan nilai Islam Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah sebagai ortodoksi dalam kehidupan Muslim. Naluri pengetahuannya yang luas memungkinkan Kyai Ihsan melalui karya-karyanya tidak hanya merespon kondisi local dan nasional, tapi juga menyikapi situasi terkini yang dihadapi umat Islam di belahan dunia pada eranya, khususnya dalam menyikapi kontestasi ideology antar umat Islam sebagaimana tergambarkan dari karya-karyanya.[14] Adapun karya-karya Kiai Ihsan sebagai berikut:

1.                   Tashrih al-Ibarat, kitab ini mengupas tentang ilmu falak (Astronomi).

Kitab yang penah terbit tahun 1929 adalah penjelas dari kitab Natijat al-Miqat karangan KH. Ahmad Dahlan Semarang. Secara geneologis, hubungan kedua kitab ini setidaknya menunjukkan hubungan ilmu Kiai Ihsan sebagai santri dengan Kiai Dahlan sebagai gurunya. Pasalnya, dalam waktu tertentu, Kiai Ihsan pernah nyantri kepada Kiai Dahlan yang dikenal sebagai ahli falak. Di samping itu, kitab ini sebagai langkah nyata Kiai Ihsan dalam memerankan dirinya sebagai penjaga tradisi keilmuan di lingkungan pesantren Jampes, sebab ayahnya, yakni Dahlan Saleh sebagai pendiri pondok pesantren Jampes juga dikenal memiliki keahlian ilmu falak.[15]

2.                   Siraj al-Talibin (lentera bagi para pencari jalan Allah).

Karya ini banyak dipandang banyak kalangan sebagai karya fenomenal dari pesantren, setidaknya bisa dilihat dari sisi waktu yang digunakan penulisnya di satu pihak dan kualitas serta aspek penggunaan terhadap kitab ini di pihak yang berbeda. Dilihat dari sisi waktu, Kiai Ihsan hanya menghabiskan waktu sekurang-kuangnya delapan bulan dalam menulis kitab siraj al-Talibin. dengan waktu yang relatif singkat, proses sharah yang dilakukan Kiai Ihsan terhadap kitab Minhaj al-Abidin berkuantitas dilihat dari sisi jumlah halamannya, sekaligus berkualitas dilihat dari ulasannya yang cukup luas dengan mengutip beberapa pendapat dari berbagai sumber, bahkan dalam berbagai disiplin keilmuan. Hanya sekedar mengulas satu tema pemikiran al-Ghazali, misalnya, Kiai Ihsan mengutip beberapa sumber dan pendapat beberapa tokoh lain agar ulasannya mampu memberikan kemudahan bagi para pembacanya.

 Menariknya, waktu penulisan kitab ini, Kiai Ihsan sebenarnya secara individu mengalami goncangan psikologis, yaitu ia dalam kondisi menduda akibat perceraiannya istri yang ke empat. Goncangan psikologis ini Nampak tergambarkan secara tersirat, menurut penulis, dari pengantar kitab ini pada juz I, ketika Kyai Ihsan berharap dengan kerendahan dirinya agar para pembaca melakukan perbaikan atau koreksi yang produktif, bila kelak menemukan beberapa teks tulisannya dipandang kurang tepat, jika tidak mengatakan salah, dalam kitab karangannya, khususnya Siraj al-Talibin. hal ini terungkap dalam perkataan Kiai Ihsan sebagai berikut:

على أنِّى والله عَزَّوَجَلَّ فى أكْثرِ مُدَّة جَمْعى لَه فِى وَهْم وَحُزْن ومع قِلَّةِ المُعِين وَالنَّاصِر والمُنَبِّهِ والْمُذاكِر

“ sesungguhnya tentang aku, Allah yang maha Mulia dan Agung mengetahui bahwa kebanyakan masaku mengumpulkan karya ini dalam kondisi prihatin dan susah. Disamping sedikit yang menolong dan mengingatkanku.[16]

Dengan diterbitkannya kitab Siraj al-Talibin di salah satu penerbit di Timur Tengah memungkinkan penyebaran kitab ini semakin luas, bahkan kitab ini lebih dikenal di Timur Tengah dari pada dinegeri asalnya, Jampes Kediri Jawa Timur, termasuk dikenal di beberapa perpustakaan Barat. Pengakuan atas kualitas Siraj al-Talibin juga disampaikan oleh raja Farouk Mesir, yag berkuasa pada 1936-1952, melalui delegasinya hingga ia mengajak Kiai Ihsan agar berkenan menjadi salah satu dosen di Universitas al-Azhar Mesir, sekalipun Kiai Ihsan menolak dengan lebih memilih pesantren Jampes sebagai medan perjuangannya melalui pengajian kitab-kitab kuning bersama para santrinya.[17]

3.                    Manahih al-Imdad

Secara umum kitab Manahij al-‘Imdad – yang ditulis tuntas pada hari kamis, akhir bulan Jumad al-Tsani tahun 1360 H[18] bertepatan tahun 1940- memuat beberapa persoalan dalam kajian Islam, yakni tentang keimanan, fiqih hingga tasawuf, sesuai dengan kitab yang di sharah-nya (Irshad al-‘Ibad). namun ulasnya yang original dan lugas dengan bahasa Arab fisha dan mengutip beberapa sumber memungkinkan kitab ini buka sekedar sharah, tapi sebuah kitab yang menggambarkan kompleksifitas kemampuan penulisnya dalam berbagai disiplin. Satu missal, hanya ingin mengulas keutamaan ilmu dan harta, Kiai Ihsan selain menjelaskan maksud hadis keutamaan belajar ilmu sebagaimana disebutkan dalam kitab Irshad al-Ibad, ia juga mengutip dari beberapa sumber, seperti perkataan Ali ibn Abi Talib hingga ibn al-Qayyim, yang pada kesimpulannya Kiai Ihsan mengatakan:

“jika seseorang berangan-angan dengan kondisi para imam-imam Islam, maka jelas yang tersisa hanyalah bentuknya. Tapi, penyebutan dan pemujian terhadap mereka tidak akan pernah putus. Inilah kehidupan kedua bagi mereka”[19]

4.    Irshad al-Ikhwan li Bayan Shurb al-Qahwati wa al-Dukhan (Petunjuk Bagi Para Saudara; Menjelaskan tentang Minum Kopi dan Merokok)

Kitab ini adalah bentuk nazam yang telah disharahi dan memuat empat bab pembahasan. Kitab ini secara umum mengupas tuntas tentang seluk beluk hukum merokok dan minum kopi. Dipastikan, hadirnya kitab ini adalah bentuk respon terhadap masyarakat di sekitar pesantren Jampes yang masih memperdebatkan persoalan hukum merokok dan minum kopi. Perdebatan kusir antar mereka direspon secara ilmiah oleh Kiai Ihsan dengan menghadirkan pandangan ulama secara luas dan tidak terkesan hitam putih. Dengan pola ini diharapkan masyarakat tidak mudah men-vonis para peminum kopi dan perokok sebagai orang tertuduh, jika tidak mengatakan salah, karena kopi dan rokok juga memberikan dampak positif bagi penggunanya di samping memang ada dampak negatifnya.[20]

Pada konteks hukum merokok dan kopi, Kiai Ihsan menggunakan kaedah fiqhiyah al-Wasa’il hukm al-Maqasid (Perantara  memiliki hukum yang sama dengan tujuan), dalam arti, hukum merokok dan minum kopi tergantung pada tujuannya. Bila keduanya sebagai sarana ibadah, maka hukum menggunakannya dipandang sebagai ibadah. Bila untuk sesuatu yang haram, maka hukumnya haram, dan seterusnya.[21] Hanya saja, Kiai Ihsan lebih menghukumi bahwa merokok adalah makruh bahkan wajib  jika memang dengan tidak merokok dipandang ada unsure mudarat, hingga haram bila proses membelinya dengan menggunakan harta yang mestinya digunakan nafkah keluarganya.[22]

Mengutip dari perkataan Dr. Wasid, empat kitab yang telah penulis sebutkan adalah kitab yang secara fisik diyakini benar-benar karya Kiai Ihsan Jampes. Tidak salah perlu klarifikasi atau perlu ada usaha tabayyun, bila kemudian ada upaya sebagian pihak dari penerbit Timur Tengah baik sengaja atau tidak- menghilangkan nama Kiai Ihsan sebagai pengarang, khususnya untuk kitab Siraj al-Talibin. Alasannya, kitab-kitab ini setidaknya menjadi asset pesantren sekaligus asset budaya yang menggambarkan tentang pergumulan pesantren dalam pergolakan intelektual Muslim local, nasional maupun global. Bukan itu saja, kitab ini sekaligus menggambarkan model pemahaman Islam local dari perspektif local pula, yaitu perspektif pesantren.[23]


    D.  Hadis Tawakal Perspektif Kiai Ihsan

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ سَعِيدٍ الْكِنْدِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ حَيْوَةَ بْنِ شُرَيْحٍ عَنْ بَكْرِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ هُبَيْرَةَ عَنْ أَبِي تَمِيمٍ الْجَيْشَانِيِّ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا يُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا

Telah menceritakan kepada kami 'Ali bin Sa'id Al Kindi telah menceritakan kepada kami Ibnu Al Mubarak dari Haiwah bin Syuraih dari Bakr bin 'Amru dari 'Abdullah bin Hubairah dari Abu Tamim Al Jaisyani dari Umar bin Al Khaththab berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda: "Andai saja kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenarnya, niscaya kalian diberi rizki seperti rizkinya burung, pergi dengan perut kosong di pagi hari dan pulang di sore hari dengan perut terisi penuh."[24]

Kiai Ihsan mengatakan bahwa hadis ini menunjukkan pentingnya usaha dalam mencari rizki, bukan diam sebagaimana perumpamaan burung yang setiap hari berusaha mencari rizki, ternyata juga hidup. Hanya saja, bergantung pada kekuatan dan usaha ini dipandang menegasikan sikap tawakal, jika tidak mengatakan bertentangan.[25]

Untuk memperkuat pemahamannya tentang tawakal Kiai Ihsan menyitir syair yang berbunyi:

ولو كانت الأرزاق تجري على الحجا * هلكنا إذن من جهلهن البهائم

Seandainya rizki-rizki mengalir hanya kepada yang berakal, niscaya semua hewan peliharaan itu akan mati, akibat kebodohannya.[26]

 

Syair ini nampaknya menjelaskan bahwa rizki memang tidak melulu mengandalkan rasionalitas, misalya kepandaian seseorang. Artinya, hukum kausalitas dalam persoalan rizki adalah dalam rangka usaha bukan menentukannya. Sebab tidak sedikit orang yang pandai secara rasional itu miskin dan tidak sedikit orang itu bodoh serta tidak memiliki prestasi akademik yang tinggi, tapi nyatanya dalam persoalan rizki dia tergolong kaya raya.[27]

Hanya saja menurut Kiai Ihsan, kita diajak untuk tidak mencela semua orang sesuai dengan profesinya, termasuk mereka yang total tawakal kepada Allah dan senantiasa meningkatkan peribadatan secara total sepanjang hari. Alasannya, karena memang nabi Muhammad diutus kepada orang yang berbeda-beda, yakni pedagang, pekerja hingga orang yang duduk saja. Nabi, tidak memaksakan mereka lepas dari pekerjaannya, bahkan menganjurkan agar berinfak kepada para peminta-minta. Yag pasti, atas dasar keyakinan serta keimanan itulah pastinya orang hidup di dunia ssesuai dengan kapasitasnya masing-masing, bukan dalam rangka menghina yang lain.[28]

Dengan mengutip beberapa sumber, Kiai Ihsan pada akhirnya memahami bahwa hakekat tawakal dalam persoalan rizki secara garis besar berpantung pada pelakunya yang dibedakan dalam dua golongan besar, yakni kelompok khusus (ahl al-khusus) dan kelompok umum (ahl al-‘awam). bagi kelopok khusus totalitas bertawakkal dibuktikan dengan usaha memotong secara menyeluruh semua penyebab apapun berkaitan dengan datangnya rizki atau dalam bingkai hukum kausalitas, dengan dasar kepercayaan total bahwa hanya Allah semata yang senantiasa memberikan rizki. Sementara bagi kelompok umum, tawakal diwujudkan dengan keharusan pelakunya terlibat dalam hukum kausalitas (al-tasabbub).[29]


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:

DAFTAR PUSTAKA

Jampes, Jampes. Irshad al-Ikhwan li Bayani Shurb al-Qahwah wa al-Dukhan. Kediri: Pesantren al-Ihsan Jampes, t.th.

…………, Ihsan. Manahij al-Imdad. Kediri: Pesantren Jampes, t.th.

…………, Ihsan. Siraj al-Talibin. Bairut: Dar al-Fikr, 1997.

Mughni, Busrol Karim A. Syekh Ihsan bin Dahlan Jampes Kediri. Kediri: Pesantren Jampes , 2012.

Surah, Abi ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin. Sunan al-Tirmidhi. Kairo: Mustafa al-Bab al-Halabi, t.th.

Shata, Sayyid Bakri ibn Sayyid Muhammad. Kifayah al-Atqiya wa Minhaj al-Asfiya’. Indonesia: al-Haramain, t.th.

Wasid, Tasawuf Nusantara Kiai Ihsan Jampes . Surabaya: Pustaka Idea, 2016.


[1][1] Wasid, Tasawuf Nusantara Kiai Ihsan Jampes (Surabaya: Pustaka Idea, 2016), 9.

[2] Busrol Karim A. Mughni, Syekh Ihsan bin Dahlan Jampes Kediri (Kediri: Pesantren Jampes , 2012), 5.

[3] Wasid, Tasawuf Nusantara Kiai Ihsan Jampes,..30.

[4] Busrol Karim, Syekh Ihsan,.. 26.

[5] Konon setelah berziarah, pada malamnya Bakri muda dalam mimpinya bertemu dengan seorang kakek. Dalam pertemuan tersebut, sang kakek berharap agar Bakri menyudai perilakunya yang melanggar agama, yakni berjudi. Dengan sedikit mengancam sang kakek membawa batu besar dan akan melemparkannya ke kepala Bakri, jika ia tidak mengikuti anjurannya. Singkat cerita, Bakri melakukan “pembangkangan” dengan berkata; ad hubungan apa saya dengan kakek? Terus atau berhenti berjudi semua itu adalah urusan dan tanggung jawab saya sendiri. Tak seorangpun berhak mempersoalkannya. Batu besar itupun, akhirnya dilemparkan mengenai kepala Bakri hingga hancur lebur berkeping-keping. Dari mimpi ini, dan dengan ketakutannya, Bakri ditakdirkan melakukan pertaubatan secara total dan melepaskan seluruh aktivitas-aktivitas yang dilarang oleh agama, dengan menjauh dari perilaku judi.

[6] Wasid, Tasawuf Nusantara Kiai Ihsan Jampes,.. 35.

[7] Ibid.

[8] Sayyid Bakri ibn Sayyid Muhammad Shata, Kifayah al-Atqiya wa Minhaj al-Asfiya’ (Indonesia: al-Haramain, t.th), 112.

[9] Busrol Karim, Syekh Ihsan,.. 31.

[10] Ibid,. 10.

[11] Wasid, Tasawuf Nusantara Kiai Ihsan Jampes,..39.

[12] Ibid.

[13] Busrol Karim, Syekh Ihsan,.. 51.

[14] Wasid, Tasawuf Nusantara Kiai Ihsan Jampes,.. 46

[15] Ibid.

[16] Ihsan Jampes,Siraj al-Talibin, Juz 2 (Bairut: Dar al-Fikr, 1997),

[17] Wasid, Tasawuf Nusantara Kiai Ihsan Jampes,..51.

[18] Ihsan Jampes, Manahij al-Imdad, Juz 1 (Kediri: Pesantren Jampes, t.th), 1.

[19] Ibid., 70.

[20] Ihsan Jampes, Irshad al-Ikhwan li Bayani Shurb al-Qahwah wa al-Dukhan (Kediri: Pesantren al-Ihsan Jampes, t.th), 14.

[21] Ibid.

[22] Ibid., 35.

[23] Wasid, Tasawuf Nusantara Kiai Ihsan Jampes,..53.

[24] Abi ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Surah, Sunan al-Tirmidhi, Juz IV (Kairo: Mustafa al-Bab al-Halabi, t.th), 573.

[25] Wasid, Tasawuf Nusantara Kiai Ihsan Jampes,..94.

[26] Ihsan Jampes,Siraj al-Talibin,.. 113

[27] Wasid, Tasawuf Nusantara Kiai Ihsan Jampes,..95.

[28] Ibid.

[29] Ibid., 91.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...