HOME

19 April, 2022

SUNNAH ANTARA WAHYU ILAHI DAN IJTIHAD NABI SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP TASYRI’

 

    I.     PENDAHULUAN

Nabi Muhammad SAW di utus dengan membawa rahmat bagi semua makhluk yang ada di muka bumi ini dan kehidupannya dibatasi oleh ruang dan waktu. Oleh karenanya Sunnah Rasul memiliki sifat universal, lokal dan temporal.[1] Maka Sunnah[2] menjadi sumber utama agama setelah al-Qur’an dan wajib mengikuti segala ajaran Rasulullah.

Cara berpikir umat Islam dalam memahami hadis dapat diklasifikasikan menjadi dua. Pertama; kelompok orang yang memahami bahwa hadis adalah sumber agama tanpa mempedulikan konteks datangnya hadis yang disebut dengan tekstual-ahistoris. Kelompok kedua adalah kelompok yang mempertimbangkan konteks datangnya dalam memahami hadis.[3] Mereka memahami hadis secara kontekstual dengan menempatkan Nabi Muhammad SAW sebagai makhluk historis yang selalu berhadapan dengan berbagai macam nilai yang bersifat pluralistik.

Menurut petunjuk al-Qur’an, selain disebut sebagai seorang utusan, Nabi Muhammad juga disebut sebagai manusia biasa. Fakta sejarah telah membuktikan bahwa Nabi dalam kehidupannya memiliki banyak fungsi sehingga beliau bisa berperan sebagai Rasulullah, kepala negara, pemimpin masyarakat, panglima perang, hakim dan pribadi. Oleh karenanya dalam memahami hadis perlu mengaitkannya dengan sosio historis dari hadis itu sendiri. Adakalanya hadis tersebut lebih tepat dipahami secara tekstual adapula yang tepat apabila dipahami secara kontekstual.[4]

Oleh karenanya perlu untuk mengkaji hadis Nabi yang  berkaitan dengan berbagai macam fungsi Nabi sendiri baik sebagai Rasul, pemimpin keluarga, pemimpin Negara, maupun mufti. Hal ini diperlukan agar dapat memahami hadis secara benar dan sesuai dengan ajaran agama. Makalah ini berusaha menjawab pertanyaan apakah Sunnah itu wahyu ilahi atau ijtihad Nabi sendiri? Lalu bagaimana implikasinya terhadap tasyri’?.

 

    II.  PEMBAHASAN

A.  Kontroversi seputar Ijtihad Muhammad SAW

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ijtihad Nabi Muhammad SAW. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa dalam masalah syar’i, Rasulullah tidak melakukan ijtihad tetapi langsung dengan wahyu yang ia terima. Mereka beralasan bahwa Rasulullah mampu menerima dan menyampaikan maksud dari wahyu tersebut.[5] Kelompok ini berpendapat demikian berdasarkan firman Allah SWT surah an-Najm (53) ayat 3-4:

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (4)

Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.

Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).[6]

 

Kelompok yang lain, dengan menggunakan dalil al-Qur’an, Sunnah, dan logika menolak pendapat di atas. Menurutnya ayat yang dijadikan dalil berkenaan dengan al-Qur’an tidak bisa dijadikan hujjah untuk menafikan ijtihad Nabi Muhammad SAW. Maksud dari ayat tersebut seperti yang diriwayatkan oleh Qatadah adalah ayat-ayat yang ada di dalam al-Qur’an tidak ada yang keluar dari hawa nafsunya, tetapi semuanya wahyu dari Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.[7]

Abu Zahwu dalam kitabnya “al-Hadith wa al-Muhaddithun” menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW berijtihad dengan kemampuannya dan pengalaman hidupnya. Meski demikian, Allah SWT selalu menjustifikasinya jika ijtihad Rasulullah benar dan apabila keliru maka akan ditegur.[8] Oleh karenanya, hasil ijtihad Nabi pada hakikatnya merupakan wahyu dari Allah SWT.[9] Hukum yang dihasilkan dari ijtihad Nabi oleh ulama Usul disebut dengan al-wahyu al-batin (menyerupai wahyu walaupun sebenarnya bukan wahyu).[10]

Ucapan dan sikap Nabi oleh al-Qarafi dibagi sesuai dengan peran Nabi ketika mengucapkan atau ketika sedang mengerjakannya. Adakalanya Nabi sebagai kepala Negara, kepala keluarga, atau mufti. Hal ini oleh penganut paham kontekstual dikembangkan sehingga dalam memahami setiap hadis harus mengetahui konteksnya. Ketika ia berperan sebagai Rasul, maka apa yang disampaikan atau yang dilakukannya adalah benar dari Allah SWT dan berlaku umum untuk umat Islam. Adakalanya ia sebagai hakim yang memutuskan perkara maka walaupun secara formal pasti benar, secara material adakalanya keliru.[11] Adakalanya ia berperan sebagai pemimpin masyarakat, maka Nabi menyesuaikan dengan kondisi dan budaya masyarakat yang ditemuinya. Sikap ataupun bimbingan dari Nabi pasti benar dan sesuai dengan masyarakat tersebut tetapi belum tentu sesuai dengan masyarakat yang lain. Maka bagi yang lain dapat mengambil nilai-nilai yang terkandung dalam petunjuk Nabi untuk diterapkan sesuai dengan kondisi masing-masing masyarakat. Atau pribadi Nabi, baik karena memiliki kekhususan dan hak-hak tertentu yang dianugerahkan oleh Allah SWT seperti kewajiban shalat malam atau kebolehan berpoligami lebih dari empat orang istri dalam satu waktu.[12]

Banyak perbedaan pendapat dalam menyikapi penjelasan di atas namun, tidak terelakkan lagi untuk tetap memilah-milah ucapan dan sikap Nabi SAW. Hal ini, memilah-milah ucapan atau sikap Nabi juga dilakukan oleh para sahabat beliau sendiri. Misalnya sahabat Buraidah bersikeras untuk meminta cerai dari suaminya, walaupun ia telah dinasehati oleh Nabi SAW. Hal ini karena ia menyadari bahwa nasehat Nabi SAW bukanlah kewajiban agama yang harus dilaksanakan. Ketika Nabi SAW, memilih lokasi untuk markas pasukannya dalam Perang Badar, al-Habbab ibn al-Mundhir bertanya apakah lokasi ini merupakan pilihan yang didasari oleh petunjuk Ilahi, ataukah pilihan yang didasari pertimbangan akal dan strategi? Ketika Nabi saw menjawab bahwa hal itu adalah hasil penalaran dan ijtihadnya, al-Habbab mengusulkan lokasi lain yang lebih tepat, dan usulnya itu diterima oleh Nabi SAW. Penjelasan ini membuktikan bahwa pemilahan dalam ucapan maupun sikap Nabi SAW telah dilakukan oleh sahabat sendiri.[13]


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;


B.  Korelasi antara Pemahaman Hadis dan Status Fungsi Nabi SAW

 Nabi Muhammad SAW diutus oeh Allah SWT untuk membimbing umat manusia ke jalan yang benar dan memberi contoh ynag konkret tentang pelaksanaan perintah Allah SWT. Disamping al-Qur’an, Sunnah Rasul juga memberi petunjuk tentang apa yang telah dilakukannya dalam melaksanakan perintah Allah SWT. Selain sebagai utusan Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, juga berstatus sebagai manusia biasa, sebagai seorang suami, seorang ayah, seorang anggota keluarga, seorang teman, seorang pengajar, seorang pendidik, seorang muballigh, seorang pemimpin, seorang panglima perang, seorang hakim, dan seorang kepala Negara.[14]

Mengetahui hubungan antara hadis dan fungsi Nabi akan berguna dalam meneliti hadis dari segi dalalahnya. Jika Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul, maka ulama sepakat bahwa Sunnah tersebut wajib dipatuhi. Sunnah tersebut harus dipatuhi baik itu yang berkenaan dengan penjelasan Nabi terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, maupun ketentuan Nabi yang tidak tercantum dalam al-Qur’an. Adapun Sunnah Nabi Muhammad SAW sebagai kepala Negara dan pemimpin masyarakat, maka Sunnah tersebut tidak menjadi ketentuan syariat yang bersifat umum misalnya pengiriman angkatan perang dan pemungutan dana untuk bayt al-mal. Bahkan dalam hal ini, Sunnah Nabi memberi peluang kepada akal pikiran untuk mewujudkan kemaslahatan berdasarkan petunjuk-petunjuk umum syariat. Masalah yang sering muncul adalah adanya petunjuk Nabi yang di satu sisi sebagai Rasul namun di sisi lain sebagai tokoh masyarakat. Misalnya Sunnah Nabi yang menunjukkan bahwa ia memiliki wewenang untuk menetapkan hukum yang tidak dinyatakan dalam al-Qur’an. Seperti ketika perang Khaibar, Nabi melarang pasukannya makan daging keledai.[15] Pendapat itu cukup beralasan apabila dilihat dari kejelasan isi teks hadis-nya, kemudian dihubungkan dengan hadis lain yang berbunyi: “Sesungguhnya yang halal itu telah jelas dan yang haram telah jelas pula, sedangkan (hal-hal) di antara keduanya adalah syubhat.[16] Sedangkan sesuatu yang syubhat hanya sedikit orang yang mengetahuinya.

Adapun teks hadis yang pertama yaitu:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُقَاتِلٍ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «نَهَى يَوْمَ خَيْبَرَ عَنْ لُحُومِ الحُمُرِ الأَهْلِيَّةِ»

Muhammad ibn Muqatil bercerita kepada kami, ‘Abd Allah bmenceritakan kepada kami, ‘Ubaid Allah ibn ‘Umar bercerita kepada kami dari Nafi‘ dari Ibn ‘Umar bahwa Rasulullah SAW melarang melarang mengkonsumsi daging keledai (jinak) ketika perang khaibar. (H.R al-Bukhari)

Adapun teks hadis yang kedua yaitu:

حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ، عَنْ عَامِرٍ، قَالَ: سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ، يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " الحَلاَلُ بَيِّنٌ، وَالحَرَامُ بَيِّنٌ، وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى المُشَبَّهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ: كَرَاعٍ يَرْعَى حَوْلَ الحِمَى، يُوشِكُ أَنْ يُوَاقِعَهُ، أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى، أَلاَ إِنَّ حِمَى اللَّهِ فِي أَرْضِهِ مَحَارِمُهُ، أَلاَ وَإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً: إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ، أَلاَ وَهِيَ القَلْبُ "

 

Jumhur Ulama sepakat untuk mengikuti hadis ini yakni melarang mengkonsumsi daging keledai. Sedangkan salah satu sahabat Nabi yakni Ibnu ‘Abbas berpendapat bahwa daging keledai tidak haram dikonsumsi berdasarkan ayat Alquran surat al-An’am ayat 145:

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Katakanlah: tiadalah yang aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi, karena semuanya itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa yang berada dalam keadaan terpaksa, sedang dia bghgtidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

 

Secara zahir ayat di atas tisak menyebutkan keharaman daging keledai namun dalam riwayat yang mutawatir disebutkan bahwa Rasulullah melarang bahkan ada yang menggunakan redaksi haram mengkonsumsi daging keledai. Ayat yang disebutkan di atas termasuk ayat Makkiyah sedangkan hadis-hadis yang mengharamkan muncul belakangan maka nass yang datang terakhirlah yang diutamakan.[17] Rasulullah SAW memiliki otoritas untuk membuat syariat yang tidak ada nass yang jelas dalam Alquran. Hal ini bisa dikaitkan dengan fungsi Sunnah terhadap Alquran, salah satunya yaitu bayan tashri‘.

Bayan tashri‘ adalah mewujudkan suatu hukum yang tidak ditemukan dalam al-Qur’an, atau dalam al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya saja.[18] Sebenarnya bila dipahami, hadis Rasulullah SAW tersebut adalah penjelasan yang disebutkan dalam al-Qur’an atau memperluas maksud dari ayat al-Qur’an.[19] Bayan tashri‘ ini juga disebut dengan zaid ‘ala al-qur’an al-karim oleh Abbas Mutawalli Hamadah.[20]

Menurut al-Khattabi, sebagaimana dinukil oleh Abu al-Tayb Muhammad Shams al-Haq al-‘Azim Abadi, menjelaskan bahwa haram mengkonsumsi daging keledai-keledai piaraan (jinak). Hanya Ibnu ‘Abbas yang meriwayatkan adanya keringanan (rukhsah) dalam hal ini. Barangkali riwayat yang mengharamkan mengkonsumsi daging keledai peliaraan ini belum sampai kepadanya.[21] Hadis tentang keharaman mengkonsumsi daging keledai ini diriwayatkan oleh beberapa sahabat yang thiqah. Hadis ini disebut dengan hadis mutawatir karena diriwayatkan oleh orang banyak dan tidak mungkin sepakat berbohong.

C.  Sunnah Tashri’ dan Sunnah Non Tashri’

Sunnah tasyri’ adalah Sunnah Nabi yang harus diamalkan sedangkan non-tasyri’ adalah Sunnah yang tidak mengandung unsur tasyri’ atau taklif. Sunnah tasyri’ adakalanya bersifat universal dan abadi yang berlaku sampai hari kiamat. Adapula yang bersifat lokal dan temporal yang khusus bagi tempat atau kondisi tertentu. Oleh karenanya, muslim terbagi dua yakni kelompok yang berobsesi untuk menjadikan semua Sunnah adalah tasyri’ yang harus dilaksanakan oleh semua orang tanpa melihat tempat, zaman, atau situasi. Padahal  dalam sunnah itu sendiri ada yang disampaikan Nabi Muhammad SAW dalam kapasitasnya sebagai manusia biasa, ada yang terdorong oleh tradisi, ada pula yang dipengaruhi oleh lingkungan dan pengalamannya, serta ada juga yang sifatnya kebetulan semata. Oleh karena itu, ulama Usul berpendapat bahwa sunnah-sunnah model itu tidak lebih dari sekedar dalil akan kebolehan atau anjuran semata, kecuali apabila di dalamnya terdapat indikasi ritual ibadah kepada Allah SWT.[22]

Kelompok kedua adalah kelompok yang bermaksud meminggirkan sunnah dari seluruh urusan praktis kehidupan. Masalah tradisi, muamalat, urusan ekonomi, politik, manajemen, perang, dan sebagainya sepenuhnya diserahkan kepada manusia. Sunnah hanya dilaksanakan dalam bidang ibadah tidak ikut campur dalam bidang memerintah, melarang, mengarahkan atau menunjukkan. Alasan yang diberikan oleh mereka adalah hadis yang maknanya dita’wilkan pada makna yang tidak relevan dan tidak selaras dengan konteks yang dimaksud, yakni: Diriwayatkan oleh Thabit ibn Anas bahwa Nabi Muhammad SAW melewati sekelompok orang yang mengawinkan tanaman kurma. Beliau lantas memberi masukan: Seandainya kalian tidak melakukannya, mungkin (hasilnya) akan lebih baik. Beberapa waktu kemudian, Nabi SAW kembali bertemu dengan mereka dan bertanya: Bagaimana hasil tanaman kurma kalian? Mereka pun menjawabnya (bahwa hasilnya kurang memuaskan). Kemudian Nabi SAW menyatakan: Kalian lebih tahu perihal persoalan dunia.[23]

Sunnah yang menunjukkan pengalaman eksperimental-duniawi, seperti pertanian, produksi, kedokteran dan sebagainya, keseluruhannya merupakan hal-hal teknis, tidak termasuk sunnah tashri’iyyah yang wajib diikuti. Oleh karena itu, al-Nawawi meletakkan sunnah ini dalam Sahih Muslim pada bab tentang “Wajib mengikuti apa yang dikatakan Nabi dalam masalah shar’iy, dan tidak wajib mengikuti apa yang ia katakan dalam masalah-masalah kehidupan dunia berdasarkan pendapat pribadi.” Meskipun demikian bukan berarti hadis di atas dijadikan dasar untuk menghilangkan Sunnah bahkan mengeliminasi seluruh ajaran agama dari kehidupan publik serta mengisolasi dari urusan-urusan sosial dengan alasan agama hanyalah risalah ruhiyah semata. Pendapat seperti inilah yang ditolak oleh Islam, Al-Qur’an, dan hadis.[24]

Jika diperhatikan secara seksama sikap dari kedua kelompok di atas, akan diperoleh kesimpulan bahwa kelompok pertama memiliki keinginan yang begitu besar untuk mengikuti teladan Nabi SAW segala gerak-geriknya, yang mencerminkan kesederhanaan, qana’ah dan zuhud. Oleh karenanya mereka patut untuk dipuji atas niat baik dan semangatnya untuk menjaga kesempurnaan keteladanannya, seperti telah dilakukan oleh Ibn ‘Umar dan sahabat-sahabat yang lain. Namun mereka juga patut dipertanyakan tentang sikapnya yang berlebihan dalam menilai seuruh prilaku Rasul wajib diikuti yang kemudian mencela orang yang meninggalkan Sunnah tanpa melihat konteks datangnya Sunnah tersebut. Padahal Sunnah yang ia maksud tidak lebih dari kebiasaan orang Arab yang sesuai dengan konteks lingkungan dan waktu pada saat itu dan Nabi melakukannya untuk melakukan tradisi kaumnya.[25]

Sedangkan kelompok kedua juga perlu dipertanyakan ketika mencampur-adukkan antara yang menjadi urusan agama dengan yang bukan urusan agama. Jika agama (Sunnah) tidak mengurusi apakah kita makan di atas tanah atau di atas meja, apakah mereka makan dengan tangan atau dengan sendok, namun agama mengingatkan kepada semua umat hendaknya makan dengan tangan kanan dan tidak dengan tangan kiri, begitupun minum dengan tangan kanan tidak dengan tangan kiri. Makan atau minum dengan tangan kanan, bukan sekedar karena Nabi SAW menyukai sebelah kanan tetapi karena ajaran beliau dalam masalah ini sangat jelas. Misalnya dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Umar ibn Salamah yang bercerita: Ketika saya masih seorang kecil yang tinggal di kediaman Rasul SAW beliau pernah menasehati saya saat saya bersin: Wahai bocah, sebutlah nama Allâh, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah apa yang dekat denganmu.[26] Nabi saw, juga bersabda: Janganlah kalian makan dan minum dengan tangan kiri, sebab syetan makan dan minum dengan tangan kiri.[27]

Sikap yang tepat dalam menyatukan kedua kelompok di atas adalah sikap seimbang dan tengah-tengah. Sebuah sikap yang dapat membedakan mana Sunnah yang bermuatan tashri’ yang wajib diikuti dan mana sunnah yang tidak bermuatan tashri’ yang sering juga diistilahkan dengan sunnah irshadiyyah. Mana tashri’ yang bersifat umum dan abadi, serta mana tashri’ yang bersifat khusus. Hal itu membutuhkan kehati-hatian dan pemahaman yang mendalam terhadap kitab Allâh dan sunnah Rasul-Nya.

 

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1996.

Abu Zahwu, Muhammad Muhammad. al-Hadîth wa al-Muhaddithun, Beirut; Dar al-Kitab al-’Araby. T.t.

Abadi, Abu al-Tayb Muhammad Shams al-Haq al-‘Azim. ‘Awn al-Ma’bud Sharh Sunan Abu Dawud, juz. 10. Beirut: Dar al-Fikr, 1979.

Izzan, Ahmad dan Saifuddin Nur. Ulumul Hadis. Bandung: Humaniora. 2011.

al-Qardawy, Yusuf. .Al-Sunnah Masdar li al-Ma’rifah wa al-Hadharah. Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turath al-Arabiy. 1996.

al-Qurtuby. al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’ân, Kairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah. 1980.

al-Bukhari, Muhammad ibn Isma‘il. Sahih al-Bukhari (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Butiy, Muhammad Sa’id Ramadan. al- Fiqh al-Sirah, Beirut: Dar al-Fikr. 1980.

Isma’il ibn Kathir. Tafslr Al-Qur’ân al-’Azim. Singapura: Sulaiman Mar’i. t.t.

Kathir, Abu al-Fida’ Isma‘il ibn ‘Umar ibn. Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, juz. 8 t.k: Dar Taibah li al-Nashr wa al-Tauzi‘, 1999.

Shihab, M. Quraish. Studi Kritis atas Sunnali Nabi antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, Bandung: Mizan. 1996.

Ismail, M. Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual (Jakarta: Bulan Bintang, 1994.

‘Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah Qabl al-Tadwin (Beirut: Dar al-Fikr, 1997.

Zainuddin MZ, “kontroversi al-hadith al-sharif wahyu ilahi atau ijtihad Nabi?”,  Jurnal Studi Islam, vol. 9, no. 1. Januari, 2007.

Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, Special for Women. Bandung: Syamil al-Qur’an, t.t.

Sumbulah, Umi. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN-Maliki Press. 2010.


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;



[1] M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 4.

[2] Segala sesuatu yang datang dari Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, pengakuan, sifat baik itu sifat fisik atau perangai, atau sejarah baik sebelum di angkat menjadi Rasul seperti menyendiri beribadah di dalam gua hira atau sesudahnya. Lihat ‘Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah Qabl al-Tadwin (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), 18.

[3] M. Quraish Shihab, “Kata Pengantar” dalam Muhammad al-Ghazali, Studi Kritis atas Sunnah Nabi antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual (Bandung: Mizan, 1996), 8-9.

[4] Zainuddin MZ, “kontroversi al-hadith al-sharif wahyu ilahi atau ijtihad Nabi?”,  Jurnal Studi Islam, vol. 9, no. 1 (Januari, 2007), 3.

[5] Ibid, 4.

[6] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, Special for Women (Bandung: Syamil al-Qur’an, t.th), 526.

[7] Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Ahmad ibn ABi Bakr al-Qurtubi, al-Jami‘ Li Ahkam al-Qur’an, juz. 20 (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 2006), 10.

[8] Misalnya kasus yang melatar belakangi turunnya Q.S Abasa. Lihat Abu al-Fida’ Isma‘il ibn ‘Umar ibn Kathir al-Qurashi, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, juz. 8 (t.k: Dar Taibah li al-Nashr wa al-Tauzi‘, 1999), 319.

[9] Muhammad Muhammad Abu Zahwu, al-Hadith wa al-Muhaddithun (Kairo: Dar al-Fikr al-’Arabi, 1958), 15-16.

[10] Yusuf al-Qardawi, Al-Sunnah Masdar li al-Ma‘rifah wa al-Hadarah (Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, 1996), 87.

[11] Ibid, 9-10.

[12] Ibid, 20.

[13] Ibid.

[14] Muhammad Sa‘id Ramadan al-Buti, Fiqh al-Sirah (Beirut: Dar al-Fikr, 1980), 18.

[15] Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Isma‘il al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, juz. 3 (Kairo: Matba‘ah al-Salafiyyah wa Maktabatuha, 1400 H), 139. Indeks hadis: 4217.

[16] Ibid, juz. 1, 34. Indeks hadis. 52.

[17]Abu al-Tayb Muhammad Shams al-Haq al-‘Azim Abadi, ‘Awn al-Ma’bud Sharh Sunan Abu Dawud, juz. 10 (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), 286.

[18] Ahmad Izzan dan Saifuddin Nur, Ulumul Hadis (Bandung: Humaniora, 2011), 33.

[19] Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), 29.

[20] ‘Abbas Mutawalli Hamadah, al-Sunnah al-Nabawiyah wa Makanatuhu fi al-Tashri‘ (Kairo: Dar al-Qawmiyyah, t.th), 161.

[21] Abadi, ‘Awn al-Ma’bud, 281.

[22] al-Qardawi, Al-Sunnah Masdar, 17-18.

[23] Muslim ibn al-Hajjaj al-Qushayri, Sahih Muslim. ]uz XII (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, t.t), 54.

[24] al-Qardawi, Al-Sunnah Masdar, 18.

[25] Zainuddin, Jurnal Studi, 12.

[26] AI-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz XVI, 470.

[27] al-Qushairi, Sahih Muslim, Juz X, 297.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...