I.
PENDAHULUAN
Nabi
Muhammad SAW di utus dengan membawa rahmat bagi semua makhluk yang ada di muka
bumi ini dan kehidupannya dibatasi oleh ruang dan waktu. Oleh karenanya Sunnah
Rasul memiliki sifat universal, lokal dan temporal.[1]
Maka Sunnah[2] menjadi sumber
utama agama setelah al-Qur’an dan wajib mengikuti segala ajaran Rasulullah.
Cara
berpikir umat Islam dalam memahami hadis dapat diklasifikasikan menjadi dua.
Pertama; kelompok orang yang memahami bahwa hadis adalah sumber agama tanpa
mempedulikan konteks datangnya hadis yang disebut dengan tekstual-ahistoris.
Kelompok kedua adalah kelompok yang mempertimbangkan konteks datangnya dalam
memahami hadis.[3] Mereka memahami
hadis secara kontekstual dengan menempatkan Nabi Muhammad SAW sebagai makhluk
historis yang selalu berhadapan dengan berbagai macam nilai yang bersifat
pluralistik.
Menurut
petunjuk al-Qur’an, selain disebut sebagai seorang utusan, Nabi Muhammad juga
disebut sebagai manusia biasa. Fakta sejarah telah membuktikan bahwa Nabi dalam
kehidupannya memiliki banyak fungsi sehingga beliau bisa berperan sebagai
Rasulullah, kepala negara, pemimpin masyarakat, panglima perang, hakim dan
pribadi. Oleh karenanya dalam memahami hadis perlu mengaitkannya dengan sosio
historis dari hadis itu sendiri. Adakalanya hadis tersebut lebih tepat dipahami
secara tekstual adapula yang tepat apabila dipahami secara kontekstual.[4]
Oleh
karenanya perlu untuk mengkaji hadis Nabi yang
berkaitan dengan berbagai macam fungsi Nabi sendiri baik sebagai Rasul,
pemimpin keluarga, pemimpin Negara, maupun mufti. Hal ini diperlukan agar dapat
memahami hadis secara benar dan sesuai dengan ajaran agama. Makalah ini
berusaha menjawab pertanyaan apakah Sunnah itu wahyu ilahi atau ijtihad Nabi
sendiri? Lalu bagaimana implikasinya terhadap tasyri’?.
II.
PEMBAHASAN
A.
Kontroversi seputar Ijtihad
Muhammad SAW
Para
ulama berbeda pendapat dalam masalah ijtihad Nabi Muhammad SAW. Sebagian dari
mereka berpendapat bahwa dalam masalah syar’i, Rasulullah tidak melakukan
ijtihad tetapi langsung dengan wahyu yang ia terima. Mereka beralasan bahwa
Rasulullah mampu menerima dan menyampaikan maksud dari wahyu tersebut.[5] Kelompok ini
berpendapat demikian berdasarkan firman Allah SWT surah an-Najm (53) ayat 3-4:
وَمَا
يَنْطِقُ
عَنِ
الْهَوَى
(3) إِنْ
هُوَ
إِلَّا
وَحْيٌ
يُوحَى
(4)
Dan tiadalah yang
diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapan itu tiada
lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).[6]
Kelompok
yang lain, dengan menggunakan dalil al-Qur’an, Sunnah, dan logika menolak
pendapat di atas. Menurutnya ayat yang dijadikan dalil berkenaan dengan
al-Qur’an tidak bisa dijadikan hujjah untuk menafikan ijtihad Nabi Muhammad
SAW. Maksud dari ayat tersebut seperti yang diriwayatkan oleh Qatadah adalah
ayat-ayat yang ada di dalam al-Qur’an tidak ada yang keluar dari hawa nafsunya,
tetapi semuanya wahyu dari Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.[7]
Abu
Zahwu dalam kitabnya “al-Hadith wa al-Muhaddithun” menjelaskan bahwa
Nabi Muhammad SAW berijtihad dengan kemampuannya dan pengalaman hidupnya. Meski
demikian, Allah SWT selalu menjustifikasinya jika ijtihad Rasulullah benar dan
apabila keliru maka akan ditegur.[8]
Oleh karenanya, hasil ijtihad Nabi pada hakikatnya merupakan wahyu dari Allah
SWT.[9] Hukum yang
dihasilkan dari ijtihad Nabi oleh ulama Usul disebut dengan al-wahyu
al-batin (menyerupai wahyu walaupun sebenarnya bukan wahyu).[10]
Ucapan
dan sikap Nabi oleh al-Qarafi dibagi sesuai dengan peran Nabi ketika
mengucapkan atau ketika sedang mengerjakannya. Adakalanya Nabi sebagai kepala
Negara, kepala keluarga, atau mufti. Hal ini oleh penganut paham kontekstual
dikembangkan sehingga dalam memahami setiap hadis harus mengetahui konteksnya. Ketika
ia berperan sebagai Rasul, maka apa yang disampaikan atau yang dilakukannya
adalah benar dari Allah SWT dan berlaku umum untuk umat Islam. Adakalanya ia
sebagai hakim yang memutuskan perkara maka walaupun secara formal pasti benar, secara material
adakalanya keliru.[11]
Adakalanya ia berperan sebagai pemimpin masyarakat, maka Nabi menyesuaikan
dengan kondisi dan budaya masyarakat yang ditemuinya. Sikap ataupun bimbingan
dari Nabi pasti benar dan sesuai dengan masyarakat tersebut tetapi belum tentu
sesuai dengan masyarakat yang lain. Maka bagi yang lain dapat mengambil
nilai-nilai yang terkandung dalam petunjuk Nabi untuk diterapkan sesuai dengan
kondisi masing-masing masyarakat. Atau pribadi Nabi, baik karena memiliki
kekhususan dan hak-hak tertentu yang
dianugerahkan oleh Allah SWT seperti kewajiban shalat malam atau kebolehan
berpoligami lebih dari empat orang istri dalam satu waktu.[12]
Banyak
perbedaan pendapat dalam menyikapi penjelasan di atas namun, tidak terelakkan lagi
untuk tetap memilah-milah ucapan dan sikap Nabi SAW. Hal ini, memilah-milah
ucapan atau sikap Nabi juga dilakukan oleh para sahabat beliau sendiri. Misalnya
sahabat Buraidah bersikeras untuk meminta cerai dari suaminya, walaupun ia
telah dinasehati oleh Nabi SAW. Hal ini karena ia menyadari bahwa nasehat Nabi SAW
bukanlah kewajiban agama yang harus dilaksanakan. Ketika Nabi SAW, memilih
lokasi untuk markas pasukannya dalam Perang Badar, al-Habbab ibn al-Mundhir
bertanya apakah lokasi ini merupakan pilihan yang didasari oleh petunjuk Ilahi,
ataukah pilihan yang didasari pertimbangan akal dan strategi? Ketika Nabi saw
menjawab bahwa hal itu adalah hasil penalaran dan ijtihadnya, al-Habbab
mengusulkan lokasi lain yang lebih tepat, dan usulnya itu diterima oleh Nabi SAW.
Penjelasan ini membuktikan bahwa pemilahan dalam ucapan maupun sikap Nabi SAW
telah dilakukan oleh sahabat sendiri.[13]
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;
- PERKEMBANGAN HADIS PADA KE IV HIJRIYAH
- SUNAN ABU DAWUD
- PEMBUKUAN HADIS
- SEJARAH PENYUSUNAN KITAB SAHIH BUKHARI
- PERKEMBANGAN HADIS PADA MASA SAHABAT KECIL DAN TABI‘IN BESAR (40 H-AKHIR ABAD 1 H)
- SEJARAH PENYUSUNAN MUSNAD AHMAD BIN HANBAL
- PERKEMBANGAN HADIS PADA MASA KHULAFAUR RASYIDIN
B. Korelasi
antara Pemahaman Hadis dan Status Fungsi Nabi SAW
Nabi Muhammad SAW diutus oeh Allah SWT untuk
membimbing umat manusia ke jalan yang benar dan memberi contoh ynag konkret
tentang pelaksanaan perintah Allah SWT. Disamping al-Qur’an, Sunnah Rasul juga
memberi petunjuk tentang apa yang telah dilakukannya dalam melaksanakan
perintah Allah SWT. Selain sebagai utusan Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, juga
berstatus sebagai manusia biasa, sebagai seorang suami, seorang ayah, seorang
anggota keluarga, seorang teman, seorang pengajar, seorang pendidik, seorang
muballigh, seorang pemimpin, seorang panglima perang, seorang hakim, dan
seorang kepala Negara.[14]
Mengetahui
hubungan antara hadis dan fungsi Nabi akan berguna dalam meneliti hadis dari
segi dalalahnya. Jika Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul, maka ulama sepakat
bahwa Sunnah tersebut wajib dipatuhi. Sunnah tersebut harus dipatuhi baik itu
yang berkenaan dengan penjelasan Nabi terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, maupun ketentuan
Nabi yang tidak tercantum dalam al-Qur’an. Adapun Sunnah Nabi Muhammad SAW
sebagai kepala Negara dan pemimpin masyarakat, maka Sunnah tersebut tidak
menjadi ketentuan syariat yang bersifat umum misalnya pengiriman angkatan
perang dan pemungutan dana untuk bayt al-mal. Bahkan dalam
hal ini, Sunnah Nabi memberi peluang kepada akal pikiran untuk mewujudkan kemaslahatan
berdasarkan petunjuk-petunjuk umum syariat. Masalah yang sering muncul adalah
adanya petunjuk Nabi yang di satu sisi sebagai Rasul namun di sisi lain sebagai
tokoh masyarakat. Misalnya Sunnah Nabi yang menunjukkan bahwa ia memiliki
wewenang untuk menetapkan hukum yang tidak dinyatakan dalam al-Qur’an. Seperti
ketika perang Khaibar, Nabi melarang pasukannya makan daging keledai.[15]
Pendapat itu cukup beralasan apabila dilihat dari kejelasan isi teks hadis-nya,
kemudian dihubungkan dengan hadis lain yang berbunyi: “Sesungguhnya yang halal
itu telah jelas dan yang haram telah jelas pula, sedangkan (hal-hal) di antara
keduanya adalah syubhat.[16]
Sedangkan sesuatu yang syubhat hanya sedikit orang yang mengetahuinya.
Adapun teks
hadis yang pertama yaitu:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُقَاتِلٍ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «نَهَى يَوْمَ خَيْبَرَ عَنْ لُحُومِ الحُمُرِ الأَهْلِيَّةِ»
Muhammad ibn Muqatil bercerita kepada kami, ‘Abd Allah
bmenceritakan kepada kami, ‘Ubaid Allah ibn ‘Umar bercerita kepada kami dari
Nafi‘ dari Ibn ‘Umar bahwa Rasulullah SAW melarang melarang mengkonsumsi daging
keledai (jinak) ketika perang khaibar. (H.R al-Bukhari)
Adapun teks hadis
yang kedua yaitu:
حَدَّثَنَا
أَبُو
نُعَيْمٍ،
حَدَّثَنَا
زَكَرِيَّاءُ،
عَنْ
عَامِرٍ،
قَالَ:
سَمِعْتُ
النُّعْمَانَ
بْنَ
بَشِيرٍ،
يَقُولُ:
سَمِعْتُ
رَسُولَ
اللَّهِ
صَلَّى
اللهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
يَقُولُ:
" الحَلاَلُ
بَيِّنٌ،
وَالحَرَامُ
بَيِّنٌ،
وَبَيْنَهُمَا
مُشَبَّهَاتٌ
لاَ
يَعْلَمُهَا
كَثِيرٌ
مِنَ
النَّاسِ،
فَمَنِ
اتَّقَى
المُشَبَّهَاتِ
اسْتَبْرَأَ
لِدِينِهِ
وَعِرْضِهِ،
وَمَنْ
وَقَعَ
فِي
الشُّبُهَاتِ:
كَرَاعٍ
يَرْعَى
حَوْلَ
الحِمَى،
يُوشِكُ
أَنْ
يُوَاقِعَهُ،
أَلاَ
وَإِنَّ
لِكُلِّ
مَلِكٍ
حِمًى،
أَلاَ
إِنَّ
حِمَى
اللَّهِ
فِي
أَرْضِهِ
مَحَارِمُهُ،
أَلاَ
وَإِنَّ
فِي
الجَسَدِ
مُضْغَةً:
إِذَا
صَلَحَتْ
صَلَحَ
الجَسَدُ
كُلُّهُ،
وَإِذَا
فَسَدَتْ
فَسَدَ
الجَسَدُ
كُلُّهُ،
أَلاَ
وَهِيَ
القَلْبُ
"
Jumhur
Ulama sepakat untuk mengikuti hadis ini yakni melarang mengkonsumsi daging
keledai. Sedangkan salah satu sahabat Nabi yakni Ibnu ‘Abbas berpendapat bahwa
daging keledai tidak haram dikonsumsi berdasarkan ayat Alquran surat al-An’am
ayat 145:
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah:
tiadalah yang aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya kecuali kalau makanan itu bangkai,
atau darah yang mengalir, atau daging babi, karena semuanya itu kotor atau
binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa yang berada dalam
keadaan terpaksa, sedang dia bghgtidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Secara zahir ayat di atas tisak menyebutkan keharaman daging keledai namun dalam
riwayat yang mutawatir disebutkan bahwa Rasulullah melarang bahkan
ada yang menggunakan redaksi haram mengkonsumsi daging keledai. Ayat yang
disebutkan di atas termasuk ayat Makkiyah sedangkan hadis-hadis yang
mengharamkan muncul belakangan maka nass
yang datang terakhirlah yang
diutamakan.[17] Rasulullah SAW memiliki otoritas untuk
membuat syariat yang tidak ada nass
yang jelas dalam Alquran. Hal ini
bisa dikaitkan dengan fungsi Sunnah terhadap Alquran, salah satunya yaitu bayan tashri‘.
Bayan tashri‘ adalah mewujudkan suatu hukum yang tidak
ditemukan dalam al-Qur’an, atau dalam al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya
saja.[18] Sebenarnya bila dipahami, hadis
Rasulullah SAW tersebut adalah penjelasan yang disebutkan dalam al-Qur’an atau
memperluas maksud dari ayat al-Qur’an.[19] Bayan tashri‘ ini juga disebut dengan zaid
‘ala al-qur’an al-karim oleh Abbas Mutawalli Hamadah.[20]
Menurut
al-Khattabi, sebagaimana dinukil oleh Abu
al-Tayb Muhammad Shams al-Haq al-‘Azim Abadi, menjelaskan bahwa haram
mengkonsumsi daging keledai-keledai piaraan (jinak). Hanya Ibnu ‘Abbas yang
meriwayatkan adanya keringanan (rukhsah) dalam hal ini.
Barangkali riwayat yang mengharamkan mengkonsumsi daging keledai peliaraan ini
belum sampai kepadanya.[21]
Hadis tentang keharaman mengkonsumsi daging keledai ini diriwayatkan oleh
beberapa sahabat yang thiqah. Hadis ini disebut dengan hadis mutawatir
karena diriwayatkan oleh orang banyak dan tidak mungkin sepakat berbohong.
C. Sunnah
Tashri’ dan Sunnah Non Tashri’
Sunnah tasyri’ adalah Sunnah Nabi yang harus diamalkan sedangkan non-tasyri’ adalah Sunnah yang tidak mengandung unsur tasyri’ atau taklif. Sunnah tasyri’ adakalanya bersifat universal dan abadi yang berlaku sampai hari kiamat. Adapula yang bersifat lokal dan temporal yang khusus bagi tempat atau kondisi tertentu. Oleh karenanya, muslim terbagi dua yakni kelompok yang berobsesi untuk menjadikan semua Sunnah adalah tasyri’ yang harus dilaksanakan oleh semua orang tanpa melihat tempat, zaman, atau situasi. Padahal dalam sunnah itu sendiri ada yang disampaikan Nabi Muhammad SAW dalam kapasitasnya sebagai manusia biasa, ada yang terdorong oleh tradisi, ada pula yang dipengaruhi oleh lingkungan dan pengalamannya, serta ada juga yang sifatnya kebetulan semata. Oleh karena itu, ulama Usul berpendapat bahwa sunnah-sunnah model itu tidak lebih dari sekedar dalil akan kebolehan atau anjuran semata, kecuali apabila di dalamnya terdapat indikasi ritual ibadah kepada Allah SWT.[22]
Kelompok kedua adalah kelompok yang bermaksud meminggirkan sunnah dari seluruh urusan praktis kehidupan. Masalah tradisi, muamalat, urusan ekonomi, politik, manajemen, perang, dan sebagainya sepenuhnya diserahkan kepada manusia. Sunnah hanya dilaksanakan dalam bidang ibadah tidak ikut campur dalam bidang memerintah, melarang, mengarahkan atau menunjukkan. Alasan yang diberikan oleh mereka adalah hadis yang maknanya dita’wilkan pada makna yang tidak relevan dan tidak selaras dengan konteks yang dimaksud, yakni: Diriwayatkan oleh Thabit ibn Anas bahwa Nabi Muhammad SAW melewati sekelompok orang yang mengawinkan tanaman kurma. Beliau lantas memberi masukan: Seandainya kalian tidak melakukannya, mungkin (hasilnya) akan lebih baik. Beberapa waktu kemudian, Nabi SAW kembali bertemu dengan mereka dan bertanya: Bagaimana hasil tanaman kurma kalian? Mereka pun menjawabnya (bahwa hasilnya kurang memuaskan). Kemudian Nabi SAW menyatakan: Kalian lebih tahu perihal persoalan dunia.[23]
Sunnah yang menunjukkan pengalaman eksperimental-duniawi, seperti pertanian, produksi, kedokteran dan sebagainya, keseluruhannya merupakan hal-hal teknis, tidak termasuk sunnah tashri’iyyah yang wajib diikuti. Oleh karena itu, al-Nawawi meletakkan sunnah ini dalam Sahih Muslim pada bab tentang “Wajib mengikuti apa yang dikatakan Nabi dalam masalah shar’iy, dan tidak wajib mengikuti apa yang ia katakan dalam masalah-masalah kehidupan dunia berdasarkan pendapat pribadi.” Meskipun demikian bukan berarti hadis di atas dijadikan dasar untuk menghilangkan Sunnah bahkan mengeliminasi seluruh ajaran agama dari kehidupan publik serta mengisolasi dari urusan-urusan sosial dengan alasan agama hanyalah risalah ruhiyah semata. Pendapat seperti inilah yang ditolak oleh Islam, Al-Qur’an, dan hadis.[24]
Jika diperhatikan secara seksama sikap dari kedua kelompok di atas, akan diperoleh kesimpulan bahwa kelompok pertama memiliki keinginan yang begitu besar untuk mengikuti teladan Nabi SAW segala gerak-geriknya, yang mencerminkan kesederhanaan, qana’ah dan zuhud. Oleh karenanya mereka patut untuk dipuji atas niat baik dan semangatnya untuk menjaga kesempurnaan keteladanannya, seperti telah dilakukan oleh Ibn ‘Umar dan sahabat-sahabat yang lain. Namun mereka juga patut dipertanyakan tentang sikapnya yang berlebihan dalam menilai seuruh prilaku Rasul wajib diikuti yang kemudian mencela orang yang meninggalkan Sunnah tanpa melihat konteks datangnya Sunnah tersebut. Padahal Sunnah yang ia maksud tidak lebih dari kebiasaan orang Arab yang sesuai dengan konteks lingkungan dan waktu pada saat itu dan Nabi melakukannya untuk melakukan tradisi kaumnya.[25]
Sedangkan kelompok kedua juga perlu dipertanyakan ketika mencampur-adukkan antara yang menjadi urusan agama dengan yang bukan urusan agama. Jika agama (Sunnah) tidak mengurusi apakah kita makan di atas tanah atau di atas meja, apakah mereka makan dengan tangan atau dengan sendok, namun agama mengingatkan kepada semua umat hendaknya makan dengan tangan kanan dan tidak dengan tangan kiri, begitupun minum dengan tangan kanan tidak dengan tangan kiri. Makan atau minum dengan tangan kanan, bukan sekedar karena Nabi SAW menyukai sebelah kanan tetapi karena ajaran beliau dalam masalah ini sangat jelas. Misalnya dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Umar ibn Salamah yang bercerita: Ketika saya masih seorang kecil yang tinggal di kediaman Rasul SAW beliau pernah menasehati saya saat saya bersin: Wahai bocah, sebutlah nama Allâh, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah apa yang dekat denganmu.[26] Nabi saw, juga bersabda: Janganlah kalian makan dan minum dengan tangan kiri, sebab syetan makan dan minum dengan tangan kiri.[27]
Sikap yang tepat dalam menyatukan kedua kelompok di atas adalah sikap seimbang dan tengah-tengah. Sebuah sikap yang dapat membedakan mana Sunnah yang bermuatan tashri’ yang wajib diikuti dan mana sunnah yang tidak bermuatan tashri’ yang sering juga diistilahkan dengan sunnah irshadiyyah. Mana tashri’ yang bersifat umum dan abadi, serta mana tashri’ yang bersifat khusus. Hal itu membutuhkan kehati-hatian dan pemahaman yang mendalam terhadap kitab Allâh dan sunnah Rasul-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin. Studi Agama: Normativitas atau
Historisitas, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 1996.
Abu Zahwu, Muhammad Muhammad. al-Hadîth wa al-Muhaddithun, Beirut; Dar
al-Kitab al-’Araby. T.t.
Abadi, Abu
al-Tayb Muhammad Shams al-Haq al-‘Azim. ‘Awn
al-Ma’bud Sharh Sunan Abu Dawud,
juz. 10.
Beirut: Dar al-Fikr, 1979.
Izzan, Ahmad dan Saifuddin Nur. Ulumul Hadis. Bandung: Humaniora. 2011.
al-Qardawy, Yusuf. .Al-Sunnah Masdar li al-Ma’rifah wa
al-Hadharah. Beirut:
Dar al-Ihya’ al-Turath al-Arabiy. 1996.
al-Qurtuby. al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’ân, Kairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah. 1980.
al-Bukhari, Muhammad ibn Isma‘il. Sahih al-Bukhari (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Butiy, Muhammad Sa’id Ramadan. al- Fiqh al-Sirah, Beirut: Dar al-Fikr. 1980.
Isma’il ibn Kathir. Tafslr Al-Qur’ân al-’Azim. Singapura: Sulaiman Mar’i. t.t.
Kathir,
Abu al-Fida’ Isma‘il ibn ‘Umar ibn. Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, juz. 8
t.k: Dar Taibah li al-Nashr wa al-Tauzi‘, 1999.
Shihab, M. Quraish. Studi Kritis atas Sunnali Nabi antara
Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, Bandung: Mizan. 1996.
Ismail, M. Syuhudi. Hadis Nabi yang
Tekstual dan Kontekstual (Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
‘Ajjaj
al-Khatib, al-Sunnah Qabl al-Tadwin (Beirut: Dar al-Fikr, 1997.
Zainuddin MZ, “kontroversi al-hadith
al-sharif wahyu ilahi atau ijtihad Nabi?”, Jurnal Studi Islam, vol. 9, no. 1. Januari,
2007.
Departemen Agama
RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, Special for Women. Bandung: Syamil al-Qur’an, t.t.
Sumbulah, Umi. Kajian Kritis Ilmu Hadis.
Malang: UIN-Maliki Press. 2010.
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;
- PANDANGAN IMAM SHAFI'I TERHADAP HADIS
- HADIS PADA MASA RASULULLAH
- IMAM MALIK IBN ANAS DAN KITAB AL-MUWATTA’
- SUNNAH ANTARA WAHYU ILAHI DAN IJTIHAD NABI SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP TASYRI’
- PEMIKIRAN K. H. MUHAMMAD AHMAD SAHAL MAHFUZ AL-HAJINI TENTANG HADIS
- MUHAMMAD NASIR AL-DIN AL-ALBANI
- KAJIAN HADIS DI INDIA
- STUDI KRITIS PEMIKIRAN IBN HAJAR AL-‘ASQALANI DALAM KAJIAN ILMU HADIS
- IMAM NAWAWI
- HADIS DALAM PANDANGAN SYAIKH NAWAWI AL-BANTANI
[1] M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 4.
[2] Segala sesuatu yang datang dari Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, pengakuan, sifat baik itu sifat fisik atau perangai, atau sejarah baik sebelum di angkat menjadi Rasul seperti menyendiri beribadah di dalam gua hira atau sesudahnya. Lihat ‘Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah Qabl al-Tadwin (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), 18.
[3] M. Quraish Shihab, “Kata Pengantar” dalam Muhammad al-Ghazali, Studi Kritis atas Sunnah Nabi antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual (Bandung: Mizan, 1996), 8-9.
[4] Zainuddin MZ, “kontroversi al-hadith al-sharif wahyu ilahi atau ijtihad Nabi?”, Jurnal Studi Islam, vol. 9, no. 1 (Januari, 2007), 3.
[5] Ibid, 4.
[6] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, Special for Women (Bandung: Syamil al-Qur’an, t.th), 526.
[7] Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Ahmad ibn ABi Bakr al-Qurtubi, al-Jami‘ Li Ahkam al-Qur’an, juz. 20 (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 2006), 10.
[8] Misalnya kasus yang melatar belakangi turunnya Q.S Abasa. Lihat Abu al-Fida’ Isma‘il ibn ‘Umar ibn Kathir al-Qurashi, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, juz. 8 (t.k: Dar Taibah li al-Nashr wa al-Tauzi‘, 1999), 319.
[9] Muhammad Muhammad Abu Zahwu, al-Hadith wa al-Muhaddithun (Kairo: Dar al-Fikr al-’Arabi, 1958), 15-16.
[10] Yusuf al-Qardawi, Al-Sunnah Masdar li al-Ma‘rifah wa al-Hadarah (Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, 1996), 87.
[11] Ibid, 9-10.
[12] Ibid, 20.
[13] Ibid.
[14] Muhammad Sa‘id Ramadan al-Buti, Fiqh al-Sirah (Beirut: Dar al-Fikr, 1980), 18.
[15] Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Isma‘il al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, juz. 3 (Kairo: Matba‘ah al-Salafiyyah wa Maktabatuha, 1400 H), 139. Indeks hadis: 4217.
[16] Ibid, juz. 1, 34. Indeks hadis. 52.
[17]Abu al-Tayb Muhammad Shams al-Haq al-‘Azim Abadi, ‘Awn al-Ma’bud Sharh Sunan Abu Dawud, juz. 10 (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), 286.
[18] Ahmad Izzan dan Saifuddin Nur, Ulumul Hadis (Bandung: Humaniora, 2011), 33.
[19] Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), 29.
[20] ‘Abbas Mutawalli Hamadah, al-Sunnah al-Nabawiyah wa Makanatuhu fi al-Tashri‘ (Kairo: Dar al-Qawmiyyah, t.th), 161.
[21] Abadi, ‘Awn al-Ma’bud, 281.
[22] al-Qardawi, Al-Sunnah Masdar, 17-18.
[23] Muslim ibn al-Hajjaj al-Qushayri, Sahih Muslim. ]uz XII (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, t.t), 54.
[24] al-Qardawi, Al-Sunnah Masdar, 18.
[25] Zainuddin, Jurnal Studi, 12.
[26] AI-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz XVI, 470.
[27] al-Qushairi, Sahih Muslim, Juz X, 297.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar