BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ulama sepakat
bahwa al-Qur’an dijadikan
kitab utama bagi umat Islam untuk mencari jawaban dari sebuah permasalahan.
Karena al-Qur’an mengandung
seluruh hukum dan tatanan kehidupan ini. Mulai turunnya wahyu yaitu sejak zaman
Nabi Muhammad SAW hingga masa pengkodifikasiannya, al-Qur’an dijamin
akan ke-sahih-annya. Dijamin
dari tercampurnya dengan selain al-Qur’an seperti
firman Allah SWT bahwa ia akan menjaganya. Hal ini telah diabadikan dalam
Al-Qur’an surah al-Hijr ayat: 9.
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ (9)
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an,
dan pasti Kami pula yang memeliharanya. [1]
Al-Qur’an diturunkan
dengan bahasa arab karena diturunkan kepada seorang Nabi yang berbangsa Arab.
Bahasa Arab kaya akan keindahannya dari segi bahasa ataupun susunannya. Oleh
karena itu al-Qur’an yang
berbahasa arab perlu ditafsiri dan penafsiran terhadap al-Qur’an dimulai
sejak zaman Rasulullah SAW hingga sekarang. Perkembangan tafsir juga disebabkan
oleh berkembangnya teknologi dalam berbagai keilmuan dan banyak bermunculan
masalah yang tidak ditemukan pada masa lalu. Sehingga
para ulama perlu membuka dan mempelajari kemabali isi kandungan al-Qur’an agar al-Qur’an tidak mati.
Artinya perlu adanya penafsiran baru sehingga bisa menjawab dan menyelesaikan
masalah-masalah tersebut.[2]
Ahmad Mustafa al-Maraghi adalah salah
satu ulama yang mencoba memberikan solusi kepada umat Islam agar tetap
berpegang teguh pada Al-Qur’an. Dengan
menyusun kitab tafsir yang disesuaikan dengan kebutuhan umat pada saat ini.
Lebih-lebih dalam ruang lingkup akademisi, metode penulisannya sangat
mempermudah pembaca untuk memahami maksud dari sebuah ayat. Karena sebelum
pembaca diajak menelusuri penafsiran suatu ayat secara rinci, al-Maraghi telah
menyuguhkan dengan penafsiran secara global sehingga pembaca sudah mempunyai
gambaran dari keseluruhan tafsiran suatu ayat. Dan ini sebuah pembaharuan dalam
penulisan kitab tafsir yang tidak ditemukan dalam kitab tafsir lainnya. Bagi
masyarakat awam, kitab ini sangat cocok untuk dibaca jadi tidak butuh waktu
lama untuk mengetahui maksud dari ayat-ayat al-Qur’an yang memang
penuh dengan sastranya.[3]
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang diketahui tentang riwayat hidup Ahmad Mustafa al-Maraghi?
2.
Bagaimana metodologi kitab Tafsir al-Maraghi?
C.
Tujuan
Penelitian
1.
Untuk mengetahui riwayat hidup Ahmad
Mustafa al-Maraghi
2.
Untuk mengetahui metodologi kitab Tafsir
al-Maraghi
BAB II
AHMAD MUSTAFA
AL-MARAGHI DAN TAFSIR AL-MARAGHI
A.
Riwayat Hidup Ahmad Musthafa al-Maraghi
Kitab Tafsir al-Maraghi adalah salah
satu karya Ahmad
Mustafa al-maraghi. Nama lengkapnya adalah Ahmad Mustafa bin Muhammad bin ‘Abd al-Mun‘im al-Maraghi. Ia lahir
pada tahun 1300 H/1883 M di Kota Maragha, yaitu sebuah kota di tepi barat sungai Nil
sekitar 70 kilometer di sebelah selatan kota Kairo.[4]
Ahmad Musthafa Al-Maraghi berasal dari
kalangan keluarga yang menjadi ulama besar. Ahmad Musthafa Al-Maraghi dan saudara-saudaranya juga menguasai
berbagai bidang ilmu agama. Hal ini dapat dibuktikan, bahwa 5 dari 8 orang
putra laki-laki Syekh Musthafa
Al-Maraghi (ayah Ahmad
Musthafa Al-Maraghi) adalah ulama besar yang cukup terkenal,
yaitu:
- Syekh Muhammad
Mustafa al-Maraghi yang
pernah menjadi Syekh al-Azhar
dua periode, tahun 1928-1930 dan 1935-1945.
- Syekh Ahmad
Musthafa Al-Maraghi, pengarang Tafsir al-Maraghi.
- Syekh ‘Abd al-‘Aziz al-Maraghi pernah
menjadi Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar dan Imam Raja
Faruq.
- Syekh ‘Abd Allah Mustafa al-Maraghi, pernah
menjadi inspektur umum pada Universitas Al-Azhar.
- Syekh ‘Abd al-Wafa Mustafa al-Maraghi, pernah
menjadi sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Universitas Al-Azhar.[5]
Pendidikannya dimulai dari
daerahnya sendiri dan di desanyalah ia menamatkan sekolah dasar, mempelajari
al-Quran serta menghafal ayat-ayat al-Quran. Sebelum menginjak umur 13 tahun ia
sudah menghafal seluruh ayat al-Qur’an. Tak
ketinggalan pula ia mempelajari ilmu tajwid dan dasar-dasar ilmu agama.[6]
Setelah menamatkan pendidikan
dasarnya pada tahun 1314 H/1897 M, ia melanjutkan pendidikannya ke Universitas
al-Azhar di Kairo. Ia juga mengikuti kuliah di Universitas Darul ‘Ulum, Kairo
dan berhasil menamatkan studinya di kedua Universitas pada tahun yang sama
yaitu 1909 M. Selama belajar di kedua Universitas tersebut, ia dibimbing
langsung oleh tokoh-tokoh ternama seperti Syekh Muhammad Abduh, Syekh Muhammad
Bukhait al-Muthi’, dan Ahmad Rifa’i al-Fayumi. Para tokoh inilah yang menjadi inspirasi
baginya sehingga ia tumbuh menjadi sosok intelektual Muslim, yang menguasai hampir
seluruh cabang ilmu agama.[7]
Pendidikan yang telah ia peroleh
dari kedua Universitas itu, ia aplikasikan dalam kehidupannya. Kemudian
mengabdikan dirinya kepada masyarakat dengan mengajar. Ia mengajar di beberapa
madrasah dengan mengajarkan beberapa cabang ilmu yang telah dipelajari dan
dikuasainya. Beberapa tahun kemudian, ia diangkat sebagai direktur Madrasah
Mu’allimin di Fayum, sebuah kota setingkat kabupaten yang terletak 300
kilometer sebelah barat daya Kota Kairo. Pada tahun 1916 M, ia diminta menjadi
dosen tamu untuk mengajar di Universitas al-Azhar di Qurthum, Sudan, selama
empat tahun.[8]
Tugasnya di Sudan berakhir pada
tahun 1920 M kemudian, ia kembali ke Mesir dan langsung diangkat sebagai dosen
Bahasa Arab, Ilmu Balaghah di Universitas Darul ‘Ulum dan Kebudayaan pada
Fakultas Bahasa Arab di Universitas al-Azhar. Pada rentang waktu yang sama, al-Maraghi juga menjadi
guru di beberapa madrasah, di antaranya Ma’had Tarbiyah Mu’allimah dan
dipercaya memimpin Madrasah Utsman Basya di Kairo. Karena jasanya di salah satu
madrasah tersebut, al-Maraghi dianugerahi
penghargaan oleh raja Mesir, Faruq, pada tahun 1361 H. Dalam menjalankan tugas-tugasnya di Mesir, al-Maraghi tinggal di
daerah Hilwan, sebuah kota yang terletak sekitar 25 kilometer sebelah selatan
Kota Kairo. Ia menetap di sana sampai akhir hayatnya. Ia wafat pada usia 69
tahun (1371 H/1952 M).[9]
Disebutkan dalam sebuah literatur bahwa waktu luangnya hanya empat jam
selebihnya ia sibuk dengan mengajar dan menulis. Walau demikian ditengah-tengah
kesibukannya ia menyempatkan diri untuk menuangkan hasil pemikirannya dalam
lembaran-lembaran kitab. Karyanya telah
beredar di dunia Islam dan di jadikan bahan rujukan oleh masyarakat muslim.
Kitab Tafsir al-Maraghi ia tulis
kurang lebih selama 10 tahun tanpa mengganggu aktifitas mengajarnya.[10]
Ketika
malam telah bergeser pada paruh terakhir kira kira 3.00 al-Maraghi
memulai aktivitasnya dengan sholat tahajud dan hajat. Ia juga tidak lupa untuk
meminta petunjuk serta pertolongan Allah SWT agar diberi kemudahan dalam
menyelesaikan pekerjaannya. Baru kemudian ia memeulai menulis tafsir ayat demi
ayat dan berhenti ketika ia akan berangkat kerja. Sepulangnya ia langsung
melanjutkan tulisannya kembali sampai larut malam.[11]
Alasan mengapa ia menulis kitab ini
telah dijelaskan dalam mukaddimahnya bahwa ia sadar dan bertanggung jawab untuk
mencari solusi dalam al-Qur’an. Karena
masalah yang berkembang di masyarakat tidak bisa di jawab dengan sekedarnya
saja maka dibutuhkan untuk menafsirkan ayat suci al-Qur’an. Oleh
karena itu penafsiran akan terus berkembang sesuai dengan berkembangnya zaman
dan ini tantangan bagi umat Islam. Oleh sebab itu, ia
mencoba menafsirkan dengan menggunakan gaya bahasanya sendiri serta di
sesuaikan dengan masyarakat. [12]
B. Sistematika Penulisan
Kitab Tafsir al-Maraghi
Adapun sistematika dalam kitab Tafsir al-Maraghi sebagai berikut:[13]
1. Mengemukakan satu ayat,
dua ayat, atau beberapa ayat yang memiliki tujuan yang sama.
2. Menjelaskan kata yang
dianggap sulit untuk difahami pembaca jadi tidak semua kata dalam ayat tersebut
dijelaskan satu persatu.
3. Menjelaskan pengertian
secara global sehingga pembaca sudah menangkap maksud dari ayat tersebut secara
umum meskipun dengan penjelasan yang singkat.
4. Menjelaskan sebab
turunnya ayat apabila ayat tersebut memiliki asbab al-nuzul.
5. Meninggalkan istilah yang
berhubungan dengan ilmu yang dikira bisa menghambat pembaca untuk memahami
maksud dari ayat tersebut seperti nahwu, saraf.
6. Gaya bahasa yang
digunakan al-maraghi berbeda dengan kitab tafsir sebelumnya karena ia sadar
bahwa di zaman sekarang membutuhkan penjelasan dengan menggunakan bahasa yang
mudah dipahami oleh masyarakat pada saat itu. Ia juga merujuk pada kitab
terdahulu dan mencoba mengaitkannya dengan ilmu pengetahuan.
7. Menyeleksi kisah-kisah
yang ada dalam kitab tafsir terdahulu karena ia beranggapan bahwa kisah
israiliyat tersebut menjadi suatu kelemahan. Walaupun sudah fitrah manusia
untuk mengetahui hal yang samar oleh karenanya ada yang berupaya menafsirkan
dengan meminta keterangan dari ahli kitab. Semisal kepada Abdullan bin Salam,
Ka’ab ibn al-Ahbar dan Wahab ibn Munabbih. Ketiga orang ini adalah orang Yahudi
yang baru masuk Islam, mereka banyak menceritakan kisah yang oleh orang Islam
dianggap interpretasi dari ayat yang samar maknanya.
Menanggapi
yang demikian, al-Maraghi mengambil
langkah bahwa tidak perlu menyebutkan masalah yang berkaitan dengan cerita
terdahulu kecuali cerita yang tidak bertentangan dengan prinsip agama yang
disepakati.
8. Jumlah juz dalam Tafsir al-Maraghi terdiri dari 30 jilid setiap jilidnya satu juz fersi kitab terjemah. Jika
kitab yang berbahasa Arab terdiri dari 10 jilid setiap jilid terdapat 3 juz.
Perinciannya sebagai berikut:
a. Jilid I : dimulai dari al-Fatihah sampai Ali ‘Imran ayat 92
b. Jilid II : dimulai dari Ali ‘Imran ayat 93 sampai al-Ma’idah 81
c. Jilid III : dimulai dari al-Ma’idah ayat 82 sampai al-Anfal 40
d. Jilid IV : dimulai dari al-Anfal ayat 41 sampai Yunus ayat 52
e. Jilid V : dimulai dari Yunus ayat 53 sampai al-Kahfi 74
f. Jilid VI : dimulai dari al-Kahfi ayat 75
sampai al al-Furqan ayat 20
g. Jilid VII: dimulai dari al-Furqan ayat 21 sampai al al-Ahzab ayat 30
h. Jilid VIII: dimulai dari
al-Ahzab ayat 31sampai Fussilat ayat 46
i. Jilid IX : dimulai dari Fussilat ayat 47 sampai al-Hadid ayat 29
j. Jilid X : dimulai dari al-Mujadalah
sampai al-Nas
C.
Metodologi Tafsir
al-Maraghi
1.
Sumber penafsiran
Al-Maraghi dalam
menafsirkan tidak hanya dengan pemikirannya saja tetapi, ia juga memasukkan
riwayat apabila memang ada riwayat yang mendukungnya. Penafsirannya yang
bersumber dari riwayat (relatif) terpelihara dari riwayat yang lemah (da‘if) dan susah diterima akal atau
tidak didukung oleh bukti-bukti secara ilmiah.[14]
Zaman kontemporer seperti sekarang justru tidak boleh melepaskan
keduanya karena tidak cukup menafsirkan dengan akal saja walaupun banyak
membantu karena khawatir adanya penyimpangan. Begitu pula tidak cukup
menafsirkan hanya dengan riwayat karena mengingat terbatasnya riwayat sedangkan
permasalahan kontemporer memerlukan penjelasan yang komprehensif. Seperti
yang dijelaskan Ridlwan Nasir, bahwa sumber penafsiran terbagi dalam tiga
kategori yakni; bi al-riwayah, bi al-ra’yi, bi al-iqtiran.[15] Jika dilihat dari
penjelasan di atas maka al-Maraghi dilihat dari sumber penafsiran menggabungkan
antara akal dan riwayat (bi al-iqtiran).
Contohnya:
افتتح عزّ اسمه
كتابه الكريم بالبسملة إرشادا لعباده أن يفتتحوا أعمالهم بها، وقد ورد في الحديث «كل أمر ذى بال لم يبدأ فيه باسم الله فهو
أبتر» (أي مقطوع الذنب ناقص) .
وقد كان العرب
قبل الإسلام يبدءون أعمالهم بأسماء آلهتهم فيقولون باسم اللات أو باسم العزى،
وكذلك كان يفعل غيرهم من الأمم، فإذا أراد امرؤ منهم أن يفعل أمرا مرضاة لملك أو
أمير يقول أعمله باسم فلان، أي إن ذلك العمل لا وجود له لولا ذلك الملك أو الأمير. وإذا فمعنى أبتدئ عملى باسم الله الرحمن الرحيم أننى أعمله بأمر الله
ولله لا لحظ نفسى وشهواتها.
ويمكن أن يكون
المراد- أن القدرة التي أنشأت بها العمل هى من الله ولولا ما أعطانى من القدرة لم
أفعل شيئا، فأنا أبرأ من أن يكون عملى باسمي، بل هو باسمه تعالى، لأننى أستمد
القوة والعون منه، ولولا ذلك لم أقدر على عمله، وإذا فمعنى البسملة التي جاءت أول
الكتاب الكريم، أن جميع ما جاء فى القرآن من الأحكام والشرائع والأخلاق والآداب والمواعظ- هو لله ومن الله ليس لأحد غيره فيه شىء[16]
Di atas ini adalah penjelasan al-Maraghi tentang ayat pertama dari surat al-Fatihah. Sedangkan
tulisan yang di garis bawahi adalah suatu riwayat yang kemudian diiringi dengan
penjelasannya sendiri (bi al-ra’yi).
2.
Cara penjelasan
Ada dua macam cara menafsirkan; deskriptif dan komparatif. Kitab
Tafsir al-Maraghi termasuk menggunakan komparatif.
Contoh:
وروى فى الأثر أن
النبي صلى الله عليه وسلم قال: لقننى جبريل آمين عند فراغى من قراءة الفاتحة، وقال
إنه كالختم على الكتاب، وأوضح ذلك علىّ كرّم الله وجهه فقال: آمين خاتم رب
العالمين، ختم به دعاء عبده-
يريد أنّه كما
يمنع الخاتم الاطلاع على المختوم والتصرف فيه، يمنع آمين الخيبة عن دعاء العبد.
وهذا اللفظ ليس
من القرآن إذ لم يثبت فى المصاحف، ولا يقوله الإمام فى الصلاة، لأنه الداعي كما
قال الحسن البصري، والمشهور عن أبي حنيفة أنه يقوله ويخفيه وفاقا لرواية أنس عن
النبي صلى الله عليه وسلم، وعند الشافعية يجهر به، كما رواه وائل بن حجر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: كان إذا قرأ ولا
الضالين، قال: آمين ورفع صوته.
ويرى بعض علماء
الآثار المصرية فى العصر الحاضر أن كلمة (آمين) معناها الله، فكأنها ذكرت فى آخر الفاتحة للختم باسمه تعالى إشارة إلى أن المرجع
كله إليه، ويعقدون موازنة بين (مينو) و (آمون) و (آمين) .
ويرى الثقات من
علماء اللغات السامية رأيهم، ويقولون: إنها ذكرت آخر الفاتحة للترنم بها بعد قراءة
السورة التي تضمنت الإشارة إلى أغراض الكتاب الكريم.
ويؤيدون رأيهم
بأن المزامير ختمت بكلمة (سلاه) للترنم بها على هذا النحو- ويكون المعنى العام-
إنا نتوجه إليك يا إلهنا فإليك المرجع والمصير.[17]
Tulisan yang
di garis bawahi adalah pendapat dari beberapa ulama yang disebutkan oleh
al-Maraghi dalam menafsirkan ayat terakhir surat al-Fatihah.
3.
Keluasan penjelasan
Abdul Jalal menyatakan
bahwa al-Maraghi menggunakan metode itnabi[18]jika di lihat dari segi keluasan
penjelasannya.
Contoh:
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ
بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْناهُمْ يُنْفِقُونَ
(3)
الإيضاح
(الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ
بِالْغَيْبِ) الإيمان تصديق جازم يقترن بإذعان النفس واستسلامها.
وأمارته العمل بما يقتضيه
الإيمان، وهو يختلف باختلاف مراتب المؤمنين فى اليقين.
والغيب ما غاب عنهم علمه كذات
الله وملائكته والدار الآخرة وما فيها من البعث والنشور والحساب. والإيمان بالغيب هو
اعتقاد بموجود وراء المحسّات متى أرشد إليه الدليل أو الوجدان السليم، ومن يعتقد
بهذا يسهل عليه التصديق بوجود خالق للسموات والأرض منزه عن المادة وتوابعها، وإذا
وصف له الرسول العوالم التي استأثر الله بعلمها كعالم الملائكة، أو وصف له اليوم
الآخر لم يصعب عليه التصديق به بعد أن يستيقن صدق النبي الذي جاء به. أما من لا يعرف إلا ما
يدركه الحس فإنه يصعب إقناعه، وقلما تجد الدعوة إلى الحق من نفسه سبيلا.
(وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ)
الصلاة فى اللغة الدعاء كما قال تعالى: (وَصَلِّ عَلَيْهِمْ) ودعاء المعبود بالقول
أو بالفعل أو بكليهما يشعر العابد بالحاجة إليه استدرارا للنعمة أو دفعا للنقمة.
والصلاة على النحو الذي شرعه
الإسلام من أفضل ما يعبّر عن الشعور بعظمة المعبود وشديد الحاجة إليه لو أقيمت على
وجهها. أما إذا خلت من الخشوع والخضوع فإنها تكون صلاة لا روح فيها، وإن كانت قد
وجدت صورتها وهى الكيفيات المخصوصة ولا يقال للمصلى حينئذ إنه امتثل أمر ربه فأقام
الصلاة، لأن الإقامة مأخوذة من أقام العود إذا سواه وأزال اعوجاجه، فلا بد فيها من
حضور القلب فى جميع أجزائها واستشعار الخشية ومراقبة الخالق كأنك تنظر إليه كما ورد فى الحديث «اعبد
الله كأنك تراه، فإن لم تكن تراه فإنه يراك» .
ولما للصلاة من خطر فى تهذيب
النفوس والسموّ بها إلى الملكوت الأعلى أبان الله تعالى عظيم آثارها بقوله: (إِنَّ
الصَّلاةَ تَنْهى عَنِ الْفَحْشاءِ وَالْمُنْكَرِ) وجعلها النبي صلى الله عليه وسلم
عماد الدين فقال:
«الصلاة عماد الدين والزكاة قنطرة الإسلام» .
وقد أمر الله بإقامتها بقوله:
(وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ) وبالمحافظة عليها وإدامتها بقوله:
(الَّذِينَ هُمْ عَلى
صَلاتِهِمْ دائِمُونَ) وبأدائها فى أوقاتها بقوله: (إِنَّ الصَّلاةَ كانَتْ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ كِتاباً مَوْقُوتاً) وبأدائها فى جماعة بقوله: (وَارْكَعُوا مَعَ
الرَّاكِعِينَ) وبالخشوع فيها بقوله: (الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خاشِعُونَ) . (وَمِمَّا رَزَقْناهُمْ يُنْفِقُونَ) الرزق فى اللغة العطاء، ثم
شاع استعماله فيما ينتفع به الحيوان وجمهرة المسلمين على أن كل ما ينتفع به حلالا
كان أو حراما فهو رزق، وخصه جماعة بالحلال فقط.
والإنفاق والإنفاد أخوان، خلا
أن فى الثاني معنى الإذهاب التام دون الأول، والمراد بالإنفاق هنا ما يشمل النقمة
الواجبة على الأهل والولد وذوى القربى، وصدقة التطوع. وفى
قوله: مما رزقناهم إيماء إلى أن النفقة المشروعة تكون بعض ما يملك الإنسان، لا كل ما يملك، وإلى
تعليم الإنسان مبادئ الاقتصاد وحبّ ادّخار المال.
وإن من يجد فى نفسه ميلا إلى
بذل أحب الأشياء إليه، وهو ماله ابتغاء رضوان الله، وقياما بشكره على أنعمه، رحمة
لأهل البؤس والعوز- كان من المتقين المستعدين لهدى القرآن، وكثير من الناس يصلون
ويصومون، ولكن إذا عرض لهم ما يدعو إلى إنفاق شىء من المال فى سبيل الله، كأن تدعو
الحاجة إلى إنفاقه في مصلحة من مصالح المسلمين أو منفعة عامة لا تقوم إلا بالبذل-
أعرضوا ونأوا ولم تطاوعهم أنفسهم على بذل شىء منه.
وإنما كان القرآن هدى للمتقين
الذين هذه أوصافهم، لأن الإيمان بالله والإيمان بحياة أخرى بعد هذه الحياة يوفّى
فيها كل عامل جزاء عمله- يهيّئ النفوس لقبول هديه والاقتباس من أنواره. وبين ذلك بعضهم بقوله:
لأن فى الإيمان النجاة، وفى الصلاة المناجاة، وفى لإنفاق زيادة الدرجات، وبعضهم
بقوله: لأن فى الإيمان البشارة، وفى الصلاة الكفارة، وفى الإنفاق الطهارة.[19]
4.
Sasaran dan tertib ayat yang ditafsirkan
Al-Maraghi menafsirkan
sesuai tertib ayat mulai dari surah al-Fatihah sampai surah al-Nas. Sehingga
penjelasan ini menunjukkan bahwa penafsirannya menggunakan metode tahlily.[20]
5.
Corak/ kecenderungan tafsir
Al-Maraghi dalam menafsirkan al-Qur’an cenderung menggunakan lughaghi adabi.
Contoh penafsiran QS.
Al-Baqarah ayat 256-257:
لا
إِكْراهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ
بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقى
لا انْفِصامَ لَها وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (256) اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ
آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُماتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا
أَوْلِياؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُماتِ
أُولئِكَ أَصْحابُ النَّارِ هُمْ فِيها خالِدُونَ (257)
تفسير
المفردات:
لا
إكراه في الدين: أي لا إكراه في دخول الدين، وبان الشيء واستبان: وصح وظهر، ومنه
المثل: تبيّن الصبح لذى عينين، والرشد: بالضم والتحريك، والرشاد:
الهدى
وكل خير، وضده الغى، والجهل كالغى إلا أن الأول في الاعتقاد، والثاني فى الأفعال،
ومن ثم قيل زوال الجهل بالعلم، وزوال الغى بالرشد، والطاغوت: من الطغيان، وهو
مجاوزة الحد في الشيء، ويجوز تذكيره وتأنيثه وإفراده وجمعه بحسب المعنى كما قال
تعالى: «أَوْلِياؤُهُمُ الطَّاغُوتُ» وقال: «يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحاكَمُوا إِلَى
الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ» والعروة من الدلو والكوز
ونحوهما: المقبض الذي يمسك به من يأخذهما، والوثقي: مؤنث الأوثق، وهو الحبل الوثيق
المحكم، والانفصام. الانكسار أو الانقطاع، من قولهم فصمه فانفصم أي كسره أو قطعه،
والولي: الناصر والمعين،
والظلمات: هى الضلالات التي نعرض للإنسان في أطوار حياته، كالكفر
والشبهات التي تعرض دون الدين فتصدّ عن النظر فيه أو تحول دون فهمه، والإذعان له
كالبدع والأهواء التي تحمل على تأويله وصرفه عن وجهه والشهوات التي تشغل عنه.
المعنى
الجملي
كان
الكلام قبل هذا في تقرير أصول الدين من توحيد الله وتنزيهه وانفراده بالملك
والسلطان في السموات والأرض، وبيان أن علمه محيط بكل شىء وأنه العلى العظيم. والكلام هنا في بيان
أن الاعتقاد بهذا أمر تهدى إليه الفطرة، وترشد إليه المشاهدات الكونية، فأماراته
واضحة، والنّصب عليه جلية لا لبس فيها ولا إبهام، فمن هدى إليه فقد فاز بالسعادة،
ومن أعرض عنه خسر الدنيا والآخرة، وذلك هو الخسران المبين.
وسبب
نزول الآية ما رواه ابن جرير من طريق عكرمة عن ابن عباس: أن رجلا من الأنصار يقال
له الحصين كان له ابنان نصرانيان، وكان هو مسلما، فقال للنبى صلى الله عليه وسلم:
ألا أستكرههما؟ فإنهما قد أبيا إلا النصرانية، فأنزل الله الآية، وفي بعض الروايات
أنه حاول إكراههما، فاختصموا إلى النبي صلى الله عليه وسلم. فقال يا رسول الله:
أيدخل بعضى النار وأنا أنظر، فنزلت فخلّاهما.
الإيضاح:
(لا
إِكْراهَ فِي الدِّينِ) أي لا إكراه في الدخول فيه، لأن الإيمان إذعان وخضوع، ولا
يكون ذلك بالإلزام والإكراه، وإنما يكون بالحجة والبرهان. وكفى
بهذه الآية حجة على من زعم من أعداء الدين، بل من أوليائه، أن الإسلام ما قام إلا
والسيف ناصره، فكان يعرض على الناس، فإن قبلوه نجوا، وإن رفضوه حكم فيهم السيف
حكمه. والتاريخ شاهد صدق على
كذب هذا الافتراء، فهل كان السيف يعمل عمله فى إكراه الناس على الإسلام حين كان
النبي يصلى مستخفيا والمشركون يفتنون المسلمين بضروب من التعذيب، ولا يجدون زاجرا
حتى اضطر النبي وصحبه إلى الهجرة؟ أو كان ذلك الإكراه في المدينة بعد أن اعتز
الإسلام؟ وقد نزلت هذه الآية في مبدأ هذه العزة، فإن غزوة بنى النضير كانت في
السنة الرابعة للهجرة، اللهم لا هذا ولا ذاك. هذا،
وقد كان معهودا عند بعض الملل ولا سيما النصارى إكراه الناس على الدخول فى دينهم. ثم أكد عدم الإكراه
بقوله:
(قَدْ
تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ) أي قد ظهر أن في هذا الدين الرشد والفلاح، وأن
ما خالفه من الملل الأخرى غىّ وضلال.
ثم
فصل ذلك فقال:
(فَمَنْ
يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ
الْوُثْقى لَا انْفِصامَ لَها) أي فمن يكفر بما تكون عبادته والإيمان به سببا في
الطغيان والخروج عن الحق من عبادة مخلوق، إنسانا كان أو شيطانا أو وثنا أو صنما،
أو تقليد رئيس، أو طاعة هوى، ويؤمن بالله فلا يعبد إلا إياه، ولا يرجو شيئا من أحد
سواه، ويعترف بأن له رسلا أرسلهم للناس مبشرين ومنذرين بأوامره ونواهيه التي فيها
مصلحة للناس كافة- فقد تحرى باعتقاده وعمله أن يكون ممسكا بأوثق عرا النجاة، وأمتن
وسائل الحق، وإنما يكون ذلك بالاستقامة على الطريق القويم الذي لا يضل سالكه،
فمثله مثل الممسك بعروة الحبل المحكم المأمون الانقطاع لدى حمل جسم كبير ثقيل.
ثم
أتى بما يفيد الترغيب والترهيب فقال:
(وَاللَّهُ
سَمِيعٌ عَلِيمٌ) أي والله سميع لأقوال من يدعى الكفر بالطاغوت والإيمان بالله،
عليم بما يكنه قلبه مما يصدق هذا أو يكذبه، فمن اعتقد أن جميع الأشياء مسيرة بقدرة
الله لا تأثير فيها لأحد سواه، فهو المؤمن حقا وله الجزاء الأوفى، ومن انطوى قلبه على شىء من نزعات
الوثنية، ونسب ما جهل سره من عجائب الخلق إلى قوة غير طبيعية يتقرب بها إلى الله
زلفى، فقد حق عليه العذاب، وكان جزاؤه جزاء الدين يقولون آمنا بالله وباليوم الآخر
وما هم بمؤمنين. وجاء
بمعنى الآية قوله: «وَلَوْ شاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ
جَمِيعاً أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ؟» . وقد جعل المسلمون
قوله: (لا إِكْراهَ فِي الدِّينِ) أسّا من أسس الدين، وركنا عظيما من أركان
سياسته، فلم يجيزوا إكراه أحد على الدخول فيه، كما لم يجيزوا لأحد أن يكره أحدا
على الخروج منه.
وإنما
يتم ذلك إذا كانت لنا المنعة والقوة التي نحمى بها ديننا وأنفسنا ممن يحاول فتتنا
فيه أو الاعتداء علينا، وقد أمرنا الله بأن ندعو إلى سبيله بالحكمة والموعظة
الحسنة وأن نجادل المخالفين بالتي هى أحسن مع حرية الدعوة وأمن الفتنة.
وإنما
فرض علينا الجهاد ليكون سياجا ووقاية لصدّ من يقاوم هذه الدعوة، ويمنع نشر هذا
النور في أرجاء المعمورة، وكف شر الكافرين عن المؤمنين، كيلا يزعزعوا ضعيفهم قبل
أن يتمكن الإيمان من قلبه، ويقهروا قويهم بفتنته عن دينه، كما كانوا يفعلون ذلك في
مكة جهرا، ومن ثم قال سبحانه: «وَقاتِلُوهُمْ حَتَّى لا تَكُونَ فِتْنَةٌ» أي حتى
يكون الدين كله خالصا لله غير مزعزع ولا مضطرب، ولن يكون كذلك إلا إذا كفّت الفتن
عنه وقوى سلطانه حتى لا يجرؤ على أهله أحد.
والفتن
تكفّ بأحد أمرين:
(1)
بإظهار المعاندين الإسلام ولو باللسان، وبدا لا يكونون من خصومنا ولا يناصبوننا
العداء، ولا يمنعون أحدا من الدعوة إليه.
(2)
بقبول الجزية وهى جزء من المال يؤخذ من أهل الكتاب جزاء حمايتنا لهم بعد أن يخضعوا
لنا فنكفى شرهم.
(اللَّهُ
وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُماتِ إِلَى النُّورِ) أي إن
المؤمن لا ولىّ له ولا سلطان لأحد على اعتقاده إلا الله تعالى، فهو يهديه إلى
استعمال ضروب الهدايات التي وهبها له (الحواس والعقل والدين) على الوجه الصحيح،
وإذا عرضت له شبهة لاح له شعاع من نور الحق يطرد هذه الظلمة حتى يخلص منها كما
قال: «إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذا مَسَّهُمْ طائِفٌ مِنَ الشَّيْطانِ تَذَكَّرُوا
فَإِذا هُمْ مُبْصِرُونَ»
فنظر
الحواس في الأكوان وإدراكها ما فيها من بديع الإتقان ينير هذه الحواس، ونظر العقل
في المعقولات يزيده نورا على نور، والنظر فيما جاء به الدين من الآيات يتمم له ما
يصل به إلى أوج سعادته ومنتهى فوزه وفلاحه.
(وَالَّذِينَ
كَفَرُوا أَوْلِياؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى
الظُّلُماتِ) أي والكافرون لا سلطان على نفوسهم إلا لتلك المعبودات الباطلة التي
تسوقهم إلى الطغيان، فإن كانت من الأحياء الناطقة ورأت أن عابديها قد لاح لهم شعاع
من نور الحق نبههم إلى فساد ما هم فيه- بادرت إلى إطفائه وصرفه عنهم بإلقاء حجب
الشبهات، وإن كانت من غير الأحياء فسدنة هياكلها وزعماء حزبها لا يقصّرون في تنميق
هذه الشبهات، ببيان أن الواجب الاعتقاد بتلك السلطة وبما ينبغي لأربابها من
التعظيم، وهو لا شك عبادة وإن سموه توسلا أو استشفاعا أو غير ذلك من الأسماء.
(أُولئِكَ
أَصْحابُ النَّارِ هُمْ فِيها خالِدُونَ) فإن ما يكون في الآخرة ما هو إلا جزاء
لما كان عليه الإنسان في الدنيا، ولا يليق بأهل الظلمات الذين لم يبق لنور الحق
مكان فى نفوسهم إلا تلك الدار التي وقودها الناس والحجارة.
ونحن
لا نبحث عن حقيقتها، وإن كنا نعتقد مما جاء فيها من نصوص الدين أنها دار شقاء
وعذاب، جزاء ما قدمته أيدى العاصين من سيئ أعمالهم.[21]
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:
- MENGKAJI HADIS MISOGINIS
- KAJIAN TAFSIR AL-MARAGHI
- SUNAN AL-DARIMI
- SUNAN AL-BAIHAQI
- SUNAN IBN MAJAH
- MUSHANNAF ABD AL-RAZZAQ
- PERKEMBNGAN HADIS ABAD VII HIJRIYAH SAMPAI SEKARANG
- SEJARAH PENYUSUNAN KITAB SUNAN AL-NASAI
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Nama
lengkapnya adalah Ahmad
Mustafa bin Muhammad bin ‘Abd al-Mun‘im al-Maraghi. Ia lahir
pada tahun 1300 H/1883 M di Kota Maragha. Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh gurunya
yakni Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla.
2. Sumber penafsiran kitab Tafsir al-Maraghi adalah bi
al-iqtiran, cara menjelaskannya
dengan metode muqarin, keluasan
penjelasannya dengan metode tafsili, susunan tertibnya sesuai tertib ayat yakni tahlili, dan ia cenderung dengan adaby lughaghi.
DAFTAR PUSTAKA
‘Abdurrahman, A. Said Aqil Human. Keadilan Sahabat. Bogor:
al-Azhar Press. 2004.
Baidan, Nasruddin.
Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011.
al-Dhahabi, Muhammad Husain. Al-Tafsir wa al-Mufassirun,
Juz. 2. t.t: Maktabah Mus‘ab
bin ‘Amir al-Islamiyyah. 2004.
Djalal, H. A.
Abdul. Tafsir al-Maraghi & Tafsir an-Nur, Sebuah Studi Perbandingan. Yogyakarta:
IAIN Sunan Kalijaga. 1985.
Ghafur, Saiful Amin. Profil Para Mufasir Al-Quran. Jogjakarta:Insan
Madani. 2008.
Khalid, Abd. Kuliah
Sejarah Perkembangan Kitab Tafsir. Surabaya: t.p. 2007.
al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir al-Maraghi, terj. Bahrun Abu Bakar dkk, juz.1. Semarang:
PT. Karya Toha Putra Semarang, 1993.
al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir
al-Maraghi. vol. I. Mesir: Mustafa al-Babi al-Halaby. 1974.
al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir
al-Maraghi. juz. 1. Mesir: Shirkah Maktabah wa Matba‘ah Mustafa. 1946.
Nasir, M.
Ridlwan. Perspektif Baru Metode dalam Memahami al-Qur’an. Surabaya:
Imtiyaz. 2011.
Nasution, Harun. pembaharuan
dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: PT Margenta Bhakti
Guna. 1994.
Zaini, Hasan. Tafsir
Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-Maraghi. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
1997.
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Specian for Women. Bandung: Syamil al-Qur’an, t. th.
[1] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Special for Women (Bandung: Syamil al-Qur’an, t. th), 262.
[2] A. Said Aqil Human ‘Abdurrahman, Keadilan Sahabat (Bogor: al-Azhar Press, 2004),12.
[3] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, terj. Bahrun Abu Bakar dkk, juz.1 (Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, 1993), 7.
[4] Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufasir Al-Quran (Jogjakarta:Insan Madani, 2008), 151.
[5] Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir Al-Maraghi (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1997), 15.
[6] Abd. Khalid, Kuliah Sejarah Perkembangan Kitab Tafsir (Surabaya: t.p. 2007), 97-98.
[7] Muhammad Husain al-Dhahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz. 2, (t.t: Maktabah Mus‘ab bin ‘Amir al-Islamiyyah, 2004), 264.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Ghafur, Profil Para, 36.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, vol. I (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halaby, 1974), 16-20.
[14] Nasruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 427. Lihat pula Zaini, Tafsir Tematik, 29.
[15] M. Ridlwan Nasir, Perspektif Baru Metode dalam Memahami al-Qur’an (Surabaya: Imtiyaz, 2011), 6.
[16] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, juz. 1 (Mesir: Shirkah Maktabah wa Matba‘ah Mustafa, 1946), 28-29.
[17] al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, 38.
[18] H. A. Abdul Djalal, Tafsir al-Maraghi & Tafsir an-Nur, Sebuah Studi Perbandingan (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1985), 69.
[19] al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, 41-43.
[20] Djalal, Tafsir al-Maraghi, 70.
[21] al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, juz. 3, 15-19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar