HOME

14 April, 2022

Kedudukan Hadis Dalam Pandangan Imam Shafi’i

 

Seperti yang kita pelajari bahwasanya Allah menurunkan dua wahyu berupa al-Qur’an dan al-Hikmah kepada Rasul-Nya dan mewajibkan seluruh hamba mengimani keduanya dan mengamalkan kandungannya. Allah berfirman:

 

وَأَنزَلَ ٱللَّهُ عَلَيْكَ ٱلْكِتَـٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ

Dan Allah telah menurunkan kitab dan hikmah kepadamu.[1]

Menurut kesepakatan ulama salaf, yang dimaksud “kitab” ialah al-Qur’an, sedang “hikmah” adalah sunnah Nabi  . Imam Shafi’i rahimahullah berkata:

فَذَكَرَ اللهُ الْكِتَابَ وَهُوَ الْقُرْآنُ وَذَكَرَ الْحِكْمَةَ فَسَمِعْتُ مَنْ أَرْضَى مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ بِالْقُرْآنِ يَقُوْلُ الْحِكْمَةُ سُنَّةُ رَسُوْلِ اللهِ

Allah menyebut al-Kitab yaitu al-Qur’an dan mengiringinya dengan al-hikmah. Saya mendengarkan orang-orang yang saya ridhoi dari para ahli ilmu tentang al-Qur’an, mereka mengatakan bahwa maksud al-Hikmah adalah sunnah Rasululloh  .[2]

            1.        Imam Shafi’i Membantah Para Pengingkar Hadis

Imam Shafi’i telah membantah secara tuntas para pengingkar sunnah yang hanya mencukupkan diri dengan al-Qur’an saja tanpa hadis. Beliau berdialog dengan mereka dengan hujjah-hujjah yang kuat. Banyak sekali ucapan beliau dalam masalah ini, tetapi kita nukil beberapa saja di sini.

 

وَكُلُّ مَا سَنَّ فَقَدْ أَلْزَمَنَا اللهُ اتِّبَاعَهُ وَجَعَلَ فِي اتِّبَاعِهِ طَاعَتَهُ, وَفِي الْعُنُوْدِ عَنِ اتِّبَاعِهَا مَعْصِيَتَهُ الَّتِيْ لَمْ يَعْذِرْ بِهَا خَلْقًا, وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ مِن اتِّبَاعِ سُنَنِ رَسُوْلِ اللهِ مَخْرَجًا لِمَا وَصَفْتُ وَمَا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ

Setiap apa yang dicontohkan oleh Nabi maka Allah mewajibkan kita untuk mengikutinya dan menjadikan hal itu sebagai ketaatan, dan Allah menjadikan sikap menyimpang dan tidak mengikutinya sebagai kemaksiatan yang Allah tidak memberikan udzur kepada makhluk, dan Allah tidak menjadikan jalan keluar dari mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah  , sebagaimana telah saya jelaskan dan sebagaimana sabda Nabi  .[3]

 

Lalu beliau membawakan sebuah hadis Abu Rofi’ r.a:

لاَ أَلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيْكَتِهِ يَأْتِيْهِ الأَمْرُ مِنْ أَمْرِيْ مِمَّا أَمَرْتُ بِهِ أَوْ نَهَيْتُ عَنْهُ فَيَقُوْلُ لاَ أَدْرِيْ مَا وَجَدْنَا فِيْ كِتَابِ اللهِ اتَّبَعْنَاهُ

Hampir saja saya mendapati salah seorang di antara kalian duduk seraya bersandar di atas ranjang hiasnya tatkala datangnya kepadanya perintah atau larangan dariku lalu dia berkomentar, ‘Saya tidak tahu, apa yang kami jumpai dalam al-Qur’an maka kami mengikutinya.[4]

Beliau berkomentar tentang hadis di atas:

وَفِيْ هَذَا تَثْبِيْتُ الْخَبَرِ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ وَإِعْلاَمُهُمْ أَنَّهُ لاَزِمٌ لَهُمْ وَإِنْ لَمْ يَجِدُوْا لَهُ نَصَّ حُكْمٍ فِيْ كِتَابِ اللهِ

Dalam hadis ini terdapat penjelasan tentang hujjahnya hadis dari Rasulullah dan penjelasan kepada hamba bahwa wajib bagi mereka mengikuti hadis sekalipun mereka tidak mendapati nas hukumnya dalam Kitabullah al-Qur’an.[5]

Imam al-Baihaqi r.a berkata, “Inilah kabar Rasulullatentang ingkarnya para ahli bid’ah terhadap hadis beliau. Sungguh apa yang beliau sampaikan telah nyata terjadi.”


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN :


            2.        Hadis Ahad Hujjah Menurut Imam Shafi’i

Masalah ini telah dibahas tuntas dan panjang lebar oleh Imam Shafi’i dalam banyak kesempatan. Imam Ibn al-Qoyyim berkata: “Kelompok ketiga mengatakan: “Kami menerima hadis-hadis Nabi yang mutawatir[6] dan kami menolak hadis-hadis ahad, baik berupa ilmu maupun amal. Shafi’i telah berdialog dengan  sebagian manusia pada zamannya tentang masalah ini, kemudian Shafi’i mematahkan syubhat kerancuan lawannya dan menegakkan hujjah-hujjah kepadanya. Shafi’i membuat satu bab yang panjang tentang wajibnya menerima hadis ahad. Tidaklah beliau dan seorangpun dari ahli hadis membedakan antara hadis masalah ahkam hukum dan sifat aqidah. Paham pembedaan seperti tidaklah dikenal dari seorangpun dari sahabat dan satupun dari tabi’in dan tabi’ut tabi’in maupun seorangpun dari kalangan imam Islam. Paham ini hanyalah dikenal dari para gembong Ahli bid’ah beserta cucu-cucunya.[7]

Di antara kata mutiara Imam Shafi’i tentang masalah ini adalah nukilan beliau tentang ijma’ ulama akan hujjahnya hadis ahad apabila shohih dari Nabi, beliau berkata:

لَمْ أَحْفَظْ عَنْ فُقَهَاءِ الْمُسْلِمِيْنَ أَنَّهُمْ اخْتَلَفُوْا فِيْ تَثْبِيْتِ خَبَرِ الْوَاحِد

Saya tidak mendapati perselisihan pendapat di kalangan ahli ilmu tentang menerima hadits ahad.[8]

 

Imam Ibnu Abd al-Barr berkata: “Ahli ilmu dari kalangan pakar fiqih dan hadis di setiap negeri telah bersepakat untuk menerima hadis ahad dan mengamalkannya. Inilah keyakinan seluruh ahli ilmu pada setiap masa semenjak masa sahabat hingga saat ini kecuali kelompok khowarij dan ahli bid’ah yang perselisihan mereka tidaklah dianggap”.[9]

Imam Abu Mudoffar as-Sam’ani berkata: “Sesungguhnya suatu hadis apabila telah Shohih dari Rasulullah maka dia mengandung ilmu. Inilah perkataan seluruh ahli hadis dan sunnah. Adapun paham yang menyatakan bahwa hadis ahad tidak mengandung ilmu dan harus berderajat mutawatir, maka paham ini hanyalah dibuat-buat oleh kaum Qodariyah dan Mu’tazilah dengan bertujuan menolak hadis Nabi. Paham ini kemudian diusung oleh orang-orang belakangan yang tidak berilmu mantap dan tidak mengetahui tujuan paham ini. Seandainya setiap kelompok mau adil, sungguh mereka akan menetapkan bahwa hadis ahad mengandung ilmu karena engkau lihat sekalipun keadaan mereka yang compang-camping dan beragam aqidah mereka, namun setiap kelompok dari mereka berhujjah dengan hadis ahad untuk menguatkan pahamnya masing-masing”.[10]

Imam Ibn al-Qas al-Shafi’i berkata: “Sesungguhnya ahli kalam filsafat itu menolak hadis ahad disebabkan lemahnya dia tentang ilmu hadis. Dia menganggap dirinya tidak menerima hadis kecuali yang mutawatir berupa khabar yang tidak mungkin salah atau lupa. Hal ini menurut kami adalah sumber untuk menggugurkan sunnah Nabi.” [11]

3.        Tidak Mungkin Al-Qur’an Bertentangan Dengan Hadis

Harus kita yakini bahwa dalil-dalil dari al-Qur’an dan hadis yang shahih tidaklah saling bertentangan sama sekali karena keduanya dari Allah. Allah berfirman:

أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيرا

Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. [12]

 

Inilah yang ditegaskan oleh Imam Shafi’i tatkala berkata:

وَلاَ تَكُوْنُ سُنَّةٌ أَبَدًا تُخَالِفُ الْقُرْآنَ

Tidak mungkin sunnah Nabi Muhammad menyelisihi Kitabullah sama sekali.[13]

Bahkan beliau menilai ucapan seseorang bahwa “hadis apabila menyelisihi tekstual al-Qur’an adalah suatu kejahilan.[14]

4.    Apabila Hadis Bertentangan dengan Pendapat

Imam Shafi’i telah berwasiat emas kepada kita semua apabila ada hadis yang bertentangan dengan pendapat kita, maka hendaknya kita mendahulukan hadis dan berani meralat pendapat kita.

Imam Ibnu Rojab berkata: “Adalah Imam Shafi’i sangat keras dalam hal ini, beliau selalu mewasiatkan kepada para pengikutnya untuk mengikuti kebenaran apabila telah nampak kepada mereka dan memerintahkan untuk menerima sunnah apabila datang kepada mereka sekalipun menyelisihi pendapat beliau”.[15]

Syaikh Jamal al-Din al-Qasimi juga berkata: “Imam Shafi’i sangat mengangungkan Sunnah, mendahulukan sunnah daripada akal, kapan saja sampai kepada beliau sebuah hadis maka beliau tidak melampui kandungan hadis tersebut”.[16]

 Rabi’ salah seorang murid senior Shafi’i berkata: “Saya pernah mendengar Imam Shafi’i meriwayatkan suatu hadis, lalu ada seorang yang hadir bertanya kepada beliau: “Apakah engkau berpendapat dengan hadis ini wahai Abu Abd Allah? Beliau menjawab:

مَتَى رَوَيْتُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ حَدِيْثًا صَحِيْحًا وَلَمْ آخُذْ بِهِ، فَأُشْهِدُكُمْ أَنَّ عَقْلِيْ قَدْ ذَهَبَ

 Kapan saja saya meriwayatkan sebuah hadis shohih dari Rasulullah kemudian saya tidak mengambilnya, maka saksikanlah dan sekalian jama’ah bahwa akalku telah hilang.[17]

Imam Shafi’i juga berkata:

يَا ابْنَ أَسَدٍ اقْضِ عَلَيَّ حَيِيْتُ أَوْ مِتُّ أَنَّ كُلَّ حَدِيْثٍ يَصِحُّ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ فَإِنِّيْ أَقُوْلُ بِهِ وَإِنْ لَمْ يَبْلُغْنِيْ

 Wahai Ibnu Asad, putuskanlah atasku, baik aku masih hidup atau setelah wafat bahwa setiap hadis yang shahih dari Rasulullah, maka sesungguhnya itulah pendapatku sekalipun hadis tersebut belum sampai kepadaku.[18]

       al-Humaidi salah seorang murid Shafi’i berkata: “Suatu kali Imam Shafi’i meriwayatkan suatu hadis, lalu saya bertanya kepada beliau: Apakah engkau berpendapat dengan hadits tersebut? Maka beliau menjawab

 

رَأَيْتَنِيْ خَرَجْتُ مِنْ كَنِيْسَةٍ، أَوْ عَلَيَّ زُنَّارٌ، حَتَّى إِذَا سَمِعْتُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم حَدِيْثًا لاَ أَقُوْلُ بِهِ وَلاَ أُقَوِّيْهِ؟

 Apakah kamu melihatku keluar dari gereja atau memakai pakaian para pendeta sehingga bila aku mendengar sebuah hadis Rasulullah, aku tidak berpendapat dengan hadis tersebut dan tidak mendukungnya.[19]

 

Ucapan emas dan berharga ini memberikan beberapa faedah kepada kita:

    a)      Madzhab Imam Shafi’i dan pendapat beliau adalah berputar bersama hadis Nabi. Oleh karena itu, seringkali beliau menggantungkan pendapatnya dengan shahihnya suatu hadis seperti ucapannya “Apabila hadis Dhuba’ah sahih maka aku bependapat dengannya”, “Apabila hadis tentang anjuran mandi setelah memandikan mayit sahih maka aku berpendapat dengannya” dan banyak lagi lainnya sehingga dikumpulkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitab berjudul al-Minhah fima ‘Allaqa al-Shafi’i al-Qaula fihi ‘ala Sihhah.[20]

        b)      Hadis yang lemah dan palsu bukanlah madzhab Imam Shafi’i, karena beliau mensyaratkan shohih.

Imam Nawawi berkata menjelaskan keadaan Imam Shafi’i: “Beliau sangat berpegang teguh dengan hadis shahih dan berpaling dari hadis-hadis palsu dan lemah. Kami tidak mendapati seorangpun dari fuqoha’ yang perhatian dalam berhujjah dalam memilah antara hadits shohih dan dho’if seperti perhatian beliau. Hal ini sangatlah nampak sekali dalam kitab-kitabnya, sekalipun kebanyakan sahabat kami tidak menempuh metode beliau”.[21]

al-Hafizh al-Baihaqi juga berkata setelah menyebutkan beberapa contoh kehati-hatian beliau dalam menerima riwayat hadits: “Madzhab beliau ini sesuai dengan madzhab para ulama ahli hadits dahulu”.[22]

    c)      Imam Shafi’i tidak mensyratakan suatu hadits itu harus mutawatir, tetapi cukup dengan sahih saja, bahkan beliau membantah secara keras orang-orang yang menolak hadits shohih dengan alasan bahwa derajatnya hanya ahad bukan mutawatir.

Demikianlah beberapa contoh pengagungan beliau terhadap sunnah Nabi dan peringatan keras beliau terhadap menolak Sunnah Nabi.


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:


[1] al-Qur’an, 4: 113.

[2]Muhammad Ibn Idris al-Syafi’i, al-Risalah (Beirut: Dar al-Fikr, 1969), 78.

[3]Ibid., 88-89.

[4]Hadis diriwayatkan oleh Abu Dawud pada Musnad Abi Daud hadis nomor: 4604 dan pada Musnad Ahmad bin Hanbal, nomor: 4/130–131. Hadits ini dishohihkan al-Albani dalam al-Misykah: 163 dan al-Hadith Hujjatun Binafsihi, 30.

[5] al-Syafi’i, al-Risalah..., 404. al-Syafi’i, Muhammad Ibn Idris. al-RisalahBeirut: Dar al-Fikr, 1969.

[6] Mutawatir secara bahasa berurutan atau beriringan. Adapun secara istilah yaitu hadits yang diriwayatkan dari jalan yang sangat banyak sehingga mustahil kalau mereka bersepakat dalam kedustaan karena mengingat banyak jumlahnya dan keadilannya serta perbedaan tempat tinggalnya. Ahad secara bahasa satu  Adapun secara istilah yaitu hadits yang diriwayatkan dari satu jalan, dua atau lebih tetapi tidak mencapai derajat mutawatir. (Lihat  Abdullah al-Jibrin, Akhbar al-Ahad fi al-Hadith al-Nabawi (Beirut:Dar al-Shuruq, 1996), 40-48: Mahmud ath-Tahhan, Taisir Mustalah al-Hadith (Beirut: Dar al-kutub al-Islamiyyah, 2001), 23.

[7]Ibid., juz 2, 433-435.

[8]al-Shafi’i, al-Risalah..., 457. al-Syafi’i, Muhammad Ibn Idris. al-RisalahBeirut: Dar al-Fikr, 1969.

[9]  Ibid.

[10] Ibid., 34-35.

[11] Ajjaj al-Khathib al-Baghdadi, al-Faqih wa al-Mutafaqqih, juz 1 (Mesir: Matbaah al-Misriyyah, 2002), 281.

[12] al-Qur’an, 4: 82.

[13] al-Shafi’i, al-Risalah..., 546.

[14] Ibid., Ikhtilaf al-Hadith, 59.

[15] Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, al-Taqrib wa al-Taysir li Ma’rifati Sunan al-Basyir al-Naz|ir fi Usuli al-Hadis, Cet. I (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1405 H / 1985 M),  25..

[16] Ibnu al-Salah (w.577 H / 1245 M), ‘Ulum al-Hadis , Cet. II ( al-Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1872 M), 10.

[17] al-Baghdadi, al-Faqih wa..., 389. al-Baghdadi, Ajjaj al-Khathib. al-Faqih wa al-Mutafaqqih. juz 1 Mesir: Matbaah al-Misriyyah, 2002.

[18] al-Salah, Ulum al-Hadis..., 133. al-Salah,  Ibnu. ‘Ulum al-Hadis. Cet. II  al-Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1872 M.

[19] Ibid., 475.

[20] Ibnu Hajar, Mu’jam Al-Mushonnafat Al-Waridah fi Fathil Bari  (Mesir: Matbaah al-shuruq, 1994), 415.

[21] Ibid.

[22] Abu Bakar Husein, Tabaqat al-Shafi’iyyah (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah,1971), 81

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...