HOME

02 April, 2022

MEMAHAMI HADIS SECARA KOMPREHENSIF

Pendahuluan

Hadis memiliki kekuatan dalam menentukan hukum dan pola hidup yang dijalani umat muslim. Umat muslim dari berbagai tempat dan zaman seluruhnya berpegang kepada apa yang disabdakan Nabi Muhammad SAW dan dilakukannya. Sepantasnya bila urgensitasnya tak begitu jauh dari firman Allah. Satu hal kiranya yang harus disadari bahwa dinamika semesta selalu berjalan tak pernah berhenti. Dunia yang fana selalu menuntut perubahan. Naif jadinya bila mengatakan kondisi saat ini, sama halnya dengan zaman Nabi dahulu, sehingga sunnah harus diaplikasikan tanpa kompromi, apapun yang terjadi. Pada akhirnya, cap agama yang jumud, kolot, kaku, tidak relevan dan berbagai penilaian negatif tak terelakkan akibat pola pikir “opo jare” atau pemahaman literlek atas sebuah teks.

Sedang al-fahm sesuai dengan apa yang tertulis dalam al-Ta‘rifat milik Al-Jurjani ialah menangkap pengertian suatu pernyataan yang bersumber dari seorang pembicara. Dalam kata lain, memahami hadis nabi berarti berusaha mencari makna dan maksud dari apa yang disabdakan Nabi Muhammad SAW secara komprehensif. Komprehensif dalam kamus besar bahasa Indonesia mempunyai arti bersifat mampu menangkap dengan baik, luas dan lengkap dan memperlihatkan wawasan yang luas. Makalah ini akan membahas tentang berbagai konsep yang ditawarkan para ulama untuk memahami hadis secara ideal dan komprehensif. Meliputi beberapa disiplin ilmu seperti asbab al-wurud yang tak akan pernah bisa dilewatkan bila ingin mendapatkan pemahaman hadis secara komprehensif.

Metode Memahami Hadis Ideal; Muhadisin Terdahulu sebagai Model

Ulama hadis dalam menelaah hadis untuk mendapatkan pemahaman komprehensif, aktivitasnya tak lepas dari telisik elemen sanad dan matan. Kajiannya berkutat pada ilmu dirayah dan ilmu riwayah. Hal pertama yang dilihat dari sebuah hadis adalah sanad. Sesuai dengan perkataan Ali bin Abi Talib sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah kepada siapa kamu mendapatkannya. Sehingga, tidak mengherankan banyak sekali ulama-ulama hadis yang mencurahkan perhatiannya kepada sanad. Sampai-sampai bila ditimbang perhatian mereka akan sanad lebih besar ketimbang matan. Karena dalam persepsi muhadisin bila suatu sanad aman, terhindar dari cacat, maka kemungkinan matan tersebut palsu sangat kecil sekali.

Dalam menentukan hadis sahih, mereka mempunyai 4 kriteria: sanad harus bersambung, perawi haruslah ‘adil dan dabit dari rawi pertama hingga terakhir, tanpa adanya shadh dan ‘illat.

ماَ اتَصَلَ إِسنَادُهُ بِعَدلٍ ضَابِط عَن مِثلِهِ بِدُونِ عِلَة وَلَا شُذُوذ[1]

poin pertama dan kedua bisa ditelusuri menggunakan perangkat ilmu jarh wa ta‘dil. Dengan ilmu jarh wa ta‘dil, muhadisin mampu mengetahui kapabelitas para perawi berikut kemungkinan bertemunya seorang rawi dengan gurunya atau rawi yang berada di atas tingkatannya. Dengan demikian, elemen sanad sebagian besar sudah terobservasi. Beralih ke poin ketiga dan keempat yang mayoritas berhubungan dengan matan, keduanya bisa ditelisik melalui perangkat ilmu ‘ilal dan dalam mendapatkan suatu pemahaman atas matan, ulama hadis biasanya menggunakan perangkat ilmu lain, mencakup ilmu mukhtalif hadis, asbab al-wurud dan tentunya ilmu bahasa Arab.

Bisa dilihat ketika membuka buku-buku sharh hadis, Fath al-Bari misalnya, akan kita dapatkan seorang Ibn Hajar al-Asqalani dalam menghadirkan pemahaman hadis yang sesuai dengan apa yang dikehendaki hadis tersebut maupun apa yang terkandung di dalamnya, seorang Ibn Hajar menggunakan pola pikir episteme bayani dan menelaah matan dari sudut bahasa. Contohnya, dalam memaparkan sharh terhadap hadis niat “إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِIbn Hajar memulainya dengan pembahasan sanad beserta pengecekan kapabelitas tiap rawi, membahas sisi historis dari hadis tersebut (asbab al-wurud) sekaligus beberapa perspektif ulama terhadapnya, berikutnya gramatikal bahasa dan sisi fiqhiyah juga disinggung di dalamnya.[2]

Al-Khatib al-Baghdadi mempunyai tolak ukur sendiri dalam menelaah matan. Baginya matan sahih harusnya tidak bertentangan dengan akal sehat, hukum Al-Quran yang telah muhkam, hadis mutawatir, amalan yang menjadi kesepakatan ulama masa lalu, dalil yang qat‘i (pasti) dan hadis yang berkualitas lebih sahih.[3]


BACA ARTIKEL LAIN YANG BERKAITAN:


Metode Memahami Hadis Ideal; Perspektif Ulama Kontemporer

Fazlur Rahman mengatakan sejatinya masyarakat Islam telah mendapat serangan dalam pakaian mereka sendiri oleh kekuatan modernitas. Hingga selanjutnya menimbulkan dua bentuk ekstrem dalam menghadapinya. Pertama, komunitas yang ia gambarkan sebagai sikap kabur dari kenyataan masa kini dan lari kepada romantisme masa lalu yang secara emosional lebih cepat memuaskan tapi justru hakikatnya lebih fatal, karena dirinya telah gagal melewati masa transformasi dan tergerus tertelan oleh organisme sosio kultural yang lain, dirinya gagal menghadapi realitas masa kini secara jujur, yang kemudian menjadikannya sebagai fosil. Kedua, akibat dari sindrom kemalasan intelektual beberapa akhirnya mengambil sikap takjub akan munculnya gagasan dan kekuatan baru yang akhirnya membuat seseorang terhanyut jauh dari jati diri.[4]

Fazlur Rahman pun berinisiatif sebagaimana yang dikutip Suryadi untuk melakukan formalisasi sunah, ia menyebut hadis nabi sebagai sunah yang hidup, sehingga apabila dikatakan Islam adalah agama yang bersifat salih li kull zaman wa makan maka hadis nabi harus ditafsirkan secara situasional dan diadaptasikan ke dalam situasi saat ini. Namun, apabila ia dipahami sebagai sesuatu yang kaku, statis, mau tak mau akan menutup keberadaan sifat Islam diatas. Berangkat dari situlah kiranya Suryadi berpendapat bahwa keliru bila menganggap pemikiran-pemikiran ulama terdahulu berikut komentar dalam sharhnya itu bersifat final dan dogmatis. Karena bagaimanapun juga harus dipahami bahwa pemikiran mereka muncul dalam kerangka ruang waktu tertentu dan pastinya dipengaruhi dengan perubahan zaman dan ruang juga. Naif rasanya bila menganggap atau memaksakan hal tersebut sebagai kebenaran yang hakiki sampai akhir zaman.[5]

Penulis sendiri mengamini pernyataan di atas, pemikiran ulama terdahulu memang bukanlah hasil akhir dan absah sepanjang zaman. Namun, menafikan pemikiran mereka seutuhnya bukanlah suatu sikap yang bijak. Pemikiran mereka masih tetap dibutuhkan untuk mengembangkan ilmu. Melewati mereka begitu saja sama halnya dengan meloncat naik tanpa tangga, tak ada pegangan tak ada pondasi dasar yang kuat. Terlebih dalam menelisik bahasa yang hanya digunakan pada masa silam, seseorang membutuhkan informasi dari orang-orang lampau sebagai jembatan mengetahui makna sesungguhnya di masa nabi.

Dalam memahami matan, menurut Suryadi perlu adanya menelaah lebih lanjut peran nabi ketika mengeluarkan sabda tersebut. Sebagaimana yang ketahui Nabi Muhammad selain sebagai Rasul, beliau juga kepala negara, pemimpin masyarakat, panglima perang maupun hakim. Sehingga mampu mendapatkan pemahaman hadis yang bersifat universal, lokal, situasional, temporal, tekstual dan kontekstual. Senada dengan apa yang digagas Syah wali Allah al-Dahlawi bahwa dalam tubuh hadis ada bagian dari risalah, ada juga yang bukan bagian dari risalah. Menurutnya, hadis yang tidak termasuk bagian dari risalah ialah pernyataan nabi Muhammad SAW mengenai sesuatu yang khusus pada masanya, tidak dimaksudkan untuk seluruh umat.[6] Ditambah lagi Rif‘at Fawzi mengatakan hanya hadis-hadis pasca kenabian yang sepakat untuk diaplikasikan dan diimani oleh umat Islam.[7]

Umi Sumbulah menawarkan beberapa metode untuk menelaah matan, yang tidak jauh berbeda dengan pendapat ulama hadis terdahulu. Pertama, membandingkan hadis tersebut dengan ayat Al-Quran yang sesuai, selanjutnya dengan hadis lain yang sahih atau lebih sahih derajatnya, membandingkannya dengan fakta sejarah, rasio dan perkembangan ilmu pengetahuan. Lalu diakhir mengambil kesimpulan tentang nilai matan hadis tersebut.[8] Bagi penulis, adanya ilmu asbab al-wurud kiranya telah cukup banyak membantu akademisi untuk menentukan maksud hadis tersebut. Bersifat umum atau khususkah, mutlak atau muqayyad, adakah nasikh mansukh di dalamnya. Ditambah lagi, Nuruddin ‘Itr berkesimpulan ilmu tersebut merupakan jalan yang tepat untuk memahami hadis, karena mengetahui sebuah sebab akan melahirkan pengetahuan tentang musabab.[9]

Pada akhirnya, penulis merasa skema pemahaman yang ditawarkan oleh Muh. Zuhri berikut ini, cukup mewakili langkah-langkah atau metode untuk memahami hadis secara komprehensif.

 

Keterangan:[10]

    1.      Karena hadis berbahasakan bahasa Arab, maka dalam memahami isi hadis perlu pemahaman penuh atas ilmu bahasa Arab sendiri, disinilah Ilmu Gharib Hadis berperan. Dalam ilmu bahasa pun, pola hakiki dan majasi termasuk logika bahasa universal yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Sehingga semua unsur-unsur diatas sangatlah berkaitan dan bersinambungan dari segi pemahaman makna bahasa matan.[11]

    2.      Salah satu fungsi hadis ialah sebagai penjelas ayat-ayat Al-Quran, sehingga melalui pendekatan studi tematik, perlu rasanya mencari ayat-ayat yang mempunyai korelasi dengan hadis yang tengah kita baca.

    3.      Adanya kemungkinan keberadaan hadis-hadis lain yang senada dengan hadis yang kita baca, mengingat sebuah hadis bisa ditransmisikan oleh beberapa transmitter. Dalam hal ini, kita menggunakan pendekatan tematik lagi. Apabila kita berhasil mendapatkan hadis-hadis yang senada dengan hadis yang tengah ditelaah, maka ia termasuk kategori maqbul. Sementara, jika hadis-hadis yang ditemukan malah bertentangan, maka perlu tindak lanjut dengan mengaplikasikan metode jam‘u, nasakh maupun tarjih. [12] Dari hasil metode di atas, hadis yang lebih kuat nilainya disebut dengan hadis mahfudh dan yang bertentangan disebut dengan hadis shadh.[13] Penalaran ini umumnya berlaku bagi hadis-hadis yang bermuatan dogma dan akidah beserta ritual ibadah.

    4.      Dalam suatu kesempatan, hadis tidak hanya membicarakan tentang “agama”. Namun, adakalanya ia juga menembus kepada dunia empiri. Hadis yang semacam ini perlu dipahami dengan ilmu empiri yang ada dibidangnya. Yang dimaksud empiri disini bukan semata fisikal akan tetapi juga sosial. Isi hadis yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan akan ditolak karena agama sejatinya tidak bertolak belakang dengan ilmu.

    5.      Hadis merupakan produk masa lampau. Supaya mendapatkan pemahaman yang utuh, dibutuhkan informasi utuh mengenai konfigurasi yang menyelimuti munculnya hadis tersebut.[14] Penyebab ataupun setting sosial budaya perlu ditelisik. Penalaran ini umumnya berlaku terhadap hadis-hadis yang mengandung norma kemanusiaan. Sedangkan hadis yang bermuatan dogma dan akidah tidak dapat didekati dengan langkah ini.   

 

Memahami Hadis secara Komprehensif; Hadis Hijrah Jihad dan Niat sebagai Contoh

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، قَالَ: حَدَّثَنِي مَنْصُورٌ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنْ طَاوُسٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لاَ هِجْرَةَ بَعْدَ الفَتْحِ، وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ، وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا»[15]

Diriwayatkan kepada kami dari ‘Ali bin Abdullah, diriwayatkan kepada kami dari Yahya bin Sa‘id, diriwayatkan kepada kami dariSufyan, ia berkata diriwayatkan kepadaku dari Mansur dari Mujahid dari Tawus dari Ibn ‘Abbas RA. Ia berkata Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada hijrah setelah al-Fath akan tetapi yang ada ialah jihad dan niat. Dan apabila kalian diperintahkan untuk berjihad maka berangkatlah”.

Hadis tersebut termaktub dalam Sahih Bukhari, sehingga untuk masalah keabsahan sanad lebih bisa dipertanggungjawabkan. Dalam Fath al-Bari pun, Ibn Hajar tidak mengupas kapabelitas perawi satu persatu sebagaimana yang ia lakukan dalam hadis innama al-a‘mal bi al-niyat. penulis pun berasumsi kiranya Ibn Hajar hanya mencantumkan kajian sanad apabila hadis tersebut rawan digugat keabsahannya atau elemen keabsahannya tak sesempurna hadis sahih lainnya. Mengingat hadis innama al-a‘mal bin al-niyat hanya muncul dari sosok Umar bin Khattab saja, dan ia juga termasuk hadis gharib dalam disiplin ilmu hadis.[16]

Secara zahir riwayat hadis diatas bertentangan dengan riwayat hadis yang lain

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا الْمُفَضَّلُ حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ حَرْمَلَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحُصَيْنِ عَنْ عَمْرِو بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جَرْهَدٍ قَالَ سَمِعْتُ رَجُلًا يَقُولُ لِجَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ مَنْ بَقِيَ مَعَكَ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَقِيَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ وَسَلَمَةُ بْنُ الْأَكْوَعِ فَقَالَ رَجُلٌ أَمَّا سَلَمَةُ فَقَدْ ارْتَدَّ عَنْ هِجْرَتِهِ فَقَالَ جَابِرٌ لَا تَقُلْ ذَلِكَ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لِأَسْلَمَ ابْدُوا يَا أَسْلَمُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّا نَخَافُ أَنْ نَرْتَدَّ بَعْدَ هِجْرَتِنَا فَقَالَ إِنَّكُمْ أَنْتُمْ تُهَاجِرُونَ حَيْثُ كُنْتُمْ[17]

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ghailan, Telah menceritakan kepada kami Al Mufaddal Telah menceritakan kepada ku Yahya bin Ayyub dari Abd Al-Rahman bin Harmalah dari Muhammad bin Abdullah bin Al Husain dari 'Amr bin Abd Al-Rahman bin Jarhad berkata saya telah mendengar seorang laki-laki yang berkata kepada Jabir bin Abdullah, siapa yang masih hidup bersamamu dari kalangan sahabat Rasulullah SAW ? Jabir bin Abdullah RA menjawab, masih hidup Anas bin Malik dan Salamah bin Al 'Akwa'. Ada seorang yang berkata; Salamah telah murtad dari hijrahnya. Jabir berkata; jangan berkata seperti itu karena saya mendengar Rasulullah SAW bersabda kepada Aslam, "Tampakkan wahai orang Aslam!" mereka berkata: Wahai Rasulullah, kami takut jika kami murtad setelah hijrah, maka Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya kalian berhijrah dimanapun kalian berada".

Hadis ini termaktub dalam Musnad Ahmad nomor 14363. Ia mempunyai arti bahwa hijrah masih ada dimanapun orang Aslam berada. Yang mana secara kasat mata hadis ini menafikan hadis pertama bahwa hijrah telah tidak ada. Dalam kondisi yang seperti ini tampaklah urgensitas ilmu mukhtalif hadis. Namun, sebelum melangkah dalam kajian ilmu mukhtalif hadis layaknya membahas makna lughawi hadis pertama. Karena bahasa merupakan langkah pertama yang harus ditempuh akademisi ketika menelisik sebuah teks.

Yang dimaksud lafal al-fath dalam hadis adalah Fathu Makkah. Sedang hijrah berarti keluar dari dar harb menuju dar Islam. Sedangkan pasca Fathu Makkah, Makkah menjadi dar Islam sehingga sudah tidak dibutuhkan adanya hijrah. Selanjutnya kata jihad berarti memerangi musuh,  sedang secara epistemologi ia mempunyai makna berperang melawan orang kafir demi menegakkan kalimat Allah, jihad fi sabilillah (di jalan Allah), sementara orang yang berjihad untuk mencari harta dan popularitas serta kepemimpinan tidak termasuk dalam jihad yang dimaksud disini. Sedangkan maksud dari lafal niat adalah berazimat dan niat ikhlas untuk mencari ridha Nya. Selanjutnya arti lafal istunfirtum fa anfiru adalah apabila negara kita maupun rumah kita diserang oleh pihak lain, dan imam atau pemimpin disitu menyuruh kita untuk siap-siap berperang di jalan Allah, maka kita harus menaati perintahnya dan keluar berperang.[18] 

Selanjutnya, kembali lagi ke dalam pembahasan mukhtalif hadis. Untuk mendapatkan pemahaman yang baik terhadap matan hadis pertama. Maka dalam menanggapi kedua hadis ini yang saling bertentangan, al-jam’u  antara kedua hadis yang saling bertentangan tersebut merupakan langkah kompromi yang tepat. Hijrah sebelum peristiwa Fathu Makkah mengandung unsur jihad fi sabilillah, hijrah ketika itu mengharuskan seseorang mulazamah untuk terus berjihad bersama Rasulullah sepanjang hayatnya, kecuali bila ada uzur shar’i yang membolehkannya meninggalkan Nabi dan tentunya dengan seizin Nabi Muhammad SAW. Hijrah yang dimaksudkan disini adalah hijrah dari daerah yang berbahaya bagi eksistensi akidah umat Islam menuju daerah yang lebih tenang, aman, tempat yang memberikan kesempatan bagi umat Islam untuk melaksanakan perintah agama dan menegakkan shariat Allah dengan leluasa. Maka dari itu, umat Islam Makkah berpindah berbondong-bondong ke Madinah, karena hijrah menuju Madinah meninggalkan harta dan keluarga merupakan kewajiban umat Islam kala itu, sebelum Fathu Makkah.

Sedangkan pasca Fathu Makkah, hijrah ke Madinah tidak menjadi suatu kewajiban lagi. Karena ilat atau penyebab diharuskannya hijrah sudah hilang. Makkah telah menjadi daerah kekuasaan Islam, sehingga tidak ada kemudharatan, Makkah telah aman bagi umat Islam untuk menegakkan shariat agama disana. Terlebih sebagaimana yang dikatakan Imam Nawawi bahwa hijrah sebelum Fathu Makkah atau masa-masa awal Islam memang sangat dibutuhkan untuk menegakkan daulah Islamiyah beserta menguatkan kekuatan Islam yang di fokuskan di Madinah. [19]

Maka, hijrah yang seperti diatas sudah tidak ada lagi setelah Fathu Makkah. Bukan hijrahnya sendiri yang ditiadakan. Perilaku nomaden orang –orang badui sudah melekat dalam diri mereka. Sudah menjadi kebiasaan mereka hidup berpindah-pindah dan hal tersebut pastinya tak bisa di lepas begitu saja dari diri mereka. Sehingga, bisa dipahami hijrah yang dilakukan orang badui berbeda dengan hijrah yang dimaksud hadis pertama. Secara global, hadis pertama bermakna bahwa mencari kebaikan lewat hijrah sudah terhenti dengan adanya Fathu Makkah, namun kebaikan dan pahala masih bisa diperoleh melalui jihad fi sabilillah dan niat ikhlas lillahi ta‘ala dalam mengerjakan amal baik, apapun bentuknya dan dimana pun tempatnya.

Selanjutnya, dari sisi historis atau asbab wurudnya, hadis ini disabdakan nabi ketika Makkah sudah dikuasai dan kondisinya telah menjadi kondusif serta aman bagi umat Islam. Maka dari itu beliau berkata la hijrah ba‘da al-fath. Berangkat dari sini, bisa diketahui bahwa hadis tersebut mengandung nasakh. Ia menghapus hijrah yang wajib sebelumnya. Yang mana dalam Al-Quran dikatakan

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يُهَاجِرُوا مَا لَكُمْ مِنْ وَلَايَتِهِمْ مِنْ شَيْءٍ حَتَّى يُهَاجِرُوا[20]

“Dan (terhadap) orang-orang yang beriman tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikit pun atasmu melindungi mereka sebelum mereka berhijrah”.

Senada dengan riwayat Ibn Hibban, Ata’ telah menceritakan kepada kami, ia berkata bahwa dirinya mengunjungi Aishah bersama Ubaid bin ‘Umair al-Laithi ketika itu dirinya dekat dengan Jabal Thabir. Ia menanyakan perihal hijrah yang wajib kepada Aishah. Aishah menjawab bahwa hijrah (yang dimaksud wajib) adalah sebelum Fathu Makkah dalam posisi Nabi Muhammad SAW berada di Madinah, sedangkan sekarang sudah tidak ada hijrah lagi (yakni pasca Fathu Makkah). Lalu Aishah memaparkan alasannya yaitu khauf al-fitnah.[21]

Dari sisi fiqhiyah, hukum jihad, berperang di jalan Allah merupakan fardu kifayah bukan fardu ain sebagaimana yang dipaparkan Imam Nawawi dan kalangan Shafi’iyah. Jihad masa kini bersifat fardu kifayah, kecuali bila di suatu negara Islam diserang oleh orang-orang kafir, lalu pemimpin Islam tersebut menunjuk beberapa orang untuk berjihad, maka hukumnya fardu ain bagi orang yang telah ditunjuk tersebut. Berbeda dengan masa Nabi, waktu itu jihad bersifat fardu ain bagi setiap muslim mengingat kuantitasnya yang masih sedikit dibanding penyerangnya.

Hukum hijrah sendiri menjadi wajib apabila berada dalam posisi yang sama dengan masa nabi, yakni ia mampu untuk berhijrah ke tempat lain dan kala itu ia berada di tempat yang mana dirinya tidak bisa menampakkan keislamannya dan menunaikan kewajibannya sebagai umat muslim. Kedua, apabila ia mampu untuk berhijrah namun ditempat ia berdomisili, ia masih bisa menampakkan keislamannya dan menunaikan kewajibannya, maka hijrah menjadi suatu hal yang mustahab baginya. Mengingat pastinya kuantitas muslim di tempat ia tinggal tidaklah sedikit, sehingga mampu bergotong royong dan tolong menolong ketika menghadapi orang-orang kafir. Ketiga, ketika seseorang tidak bisa berhijrah karena uzur, entah tua maupun sakit, maka ketika hal itu terjadi, ia boleh masih berdomisili di daerah kafir. Akan tetapi bila ia berazimat untuk keluar dari kawasan tersebut dengan usahanya, maka ia mendapat pahala atas usahanya tersebut.[22]


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:


Daftar Pustaka

1.      Asqalani (al), Ibn Hajar. Fath al-Bari Sharh Shahih Bukhari. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1379 H.

2.    Bukhari (al), Muhammad bin Ismail Abu Abdillah. Shahih al-Bukhari. tahq. Muhammad Zuhair bin Nasir al-Nasir. t.tp: Dar Tauq al-Najat, 1422 H.

3.      Hanbal, Ahmad bin. Musnad Ahmad. Kairo: Muassasah Risalah, 2001.

4.   ‘Itr, Nuruddin. Ulumul Hadis. terj. Mujiyo. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014.

5.      Juned, Daniel. Rekonstruksi Ilmu Hadis, Sebuah Tawaran Metodologis. Jakarta: Erlangga, 2010.

6.      Muin, Munawir. Pemahaman Komprehensif Hadis melalui Asbab al-Wurud dalam Jurnal Addin. Vol VII, no. 2, Agustus 2013.

7.      Najjar (al), ‘Afaf ‘Ali. al-Tafsir al-Maudu‘i. Kairo: al-Azhar University Press, 2001.

8.      Qardawi, Yusuf. Sunnah, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban. terj. Abad Badruzzaman. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001.

9.      Rahman, Fazlur. “Perubahan Sosial dan Sunnah Awal” dalam Wacana Studi Hadis Kontemporer. terj. Ahmad Baidowi. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002.

10.  Salim, Dalal Muhammad Abu. al-Jam‘u baina Mukhtalif  Hadith wa Mushkilatuh. Kairo: al-Azhar University Press, t.th.

11.  Soetari, Endang.  Ilmu Hadits. Bandung: Amal Bakti Press, 1997.

12.  Sumbulah, Umi. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN Maliki Press, 2010.

13.  Suryadi. “Rekonstruksi Metodologis Pemahaman Hadis Nabi” dalam Wacana Studi Hadis Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002.

14.   Tahhan, Mahmud. Taysir Mustalah Hadith. t.tp: Markaz al-Huda li al-Dirasat, 1405 H.

15.   Zuhri, Muh. Telaah Matan Hadis Sebuah Tawaran Metodologis. Yogyakarta: Lesfi, 2003.


[1] Mahmud Tahhan, Taysir Mustalah Hadith, (t.tp: Markaz al-Huda li al-Dirasat, 1405 H), 30.

[2] Lihat Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Sharh Shahih Bukhari, (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1379 H), Vol. I, 10-15.

[3] Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), 189.

[4] Fazlur Rahman, “Perubahan Sosial dan Sunnah Awal” dalam Wacana Studi Hadis Kontemporer, terj. Ahmad Baidowi,  (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002), 119-121.

[5] Suryadi, “Rekonstruksi Metodologis Pemahaman Hadis Nabi” dalam Wacana Studi Hadis Kontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002), 140-141.

[6] Yusuf Qardawi, Sunnah, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, terj. Abad Badruzzaman, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001), 38-42.

[7] Daniel Juned, Rekonstruksi Ilmu Hadis, Sebuah Tawaran Metodologis, (Jakarta: Erlangga, 2010), 79.

[8]Umi Sumbulah, Kajian Kritis, 192.

[9] Munawir Muin, Pemahaman Komprehensif Hadis melalui Asbab al-Wurud dalam Jurnal Addin, Vol VII, no. 2, Agustus 2013, 293-294.  Lihat juga Endang Soetari, Ilmu Hadits, (Bandung: Amal Bakti Press, 1997), 211. Bandingkan dengan Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadis, terj. Mujiyo, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), 346.

[10] Muh Zuhri, Telaah Matan Hadis Sebuah Tawaran Metodologis, (Yogyakarta: Lesfi, 2003), 88-89.

[11] Ibid., 88. Bandingkan dengan ‘Itr, Ulumul Hadis, 343-345. Lihat juga Soetari, Ilmu Hadits, 209-210.

[12]Lihat juga ‘Itr, Ulumul Hadis, 350-355. Bandingkan dengan Soetari, Ilmu Hadits, 212-213.

[13]Lihat juga ‘Itr, Ulumul Hadis, 357. Bandingkan dengan Soetari, Ilmu Hadits, 214.

[14]Lihat juga ‘Itr, Ulumul Hadis, 346-347.

[15] Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, tahq. Muhammad Zuhair bin Nasir al-Nasir, ( t.tp: Dar Tauq al-Najat, 1422 H.) Bab Fadl al-Jihad wa al-Siyar, Vol IV, nomor hadis 2783, 15. Hadis di atas juga disebutkan dalam Bab Wujub al-Nafir wa Ma Yajibu min al-Jihad wa al-Niyah, Vol IV, nomor hadis 2825, 23.

[16] Lihat al-Asqalani, Fath al-Bari, Vol. I, 10-15. Bandingkan dengan Vol. VII, 229.

[17] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, (Kairo: Muassasah Risalah, 2001), Bab Musnad Jabir RA., Vol XXII, 263.

[18] Dalal Muhammad Abu Salim, al-Jam‘u baina Mukhtalif Hadith wa Mushkilatuh, (Kairo: al-Azhar University Press, t.th), 134-135. Lihat juga ‘Afaf ‘Ali al-Najjar, al-Tafsir al-Maudu‘i, (Kairo: al-Azhar University Press, 2001), 11.

[19] Abu Salim, al-Jam‘u baina Mukhtalif, 137.

[20] al-Quran, 8: 72.

[21] al-Asqalani, Fath al-Bari, Vol. VII, 229.

[22]al-Asqalani, Fath Al-Bari, Vol. VI, 190.
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...