PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Adalah
hadis nabawi, sebuah warisan yang diperoleh umat Islam dari nabinya sebagai
pedoman teman kalam Ilahi, yang mendampingi hidup manusia sampai akhir zaman.
Sebuah warisan yang tidak bisa didapatkan langsung secara utuh, karena
Rasulullah melarang para pewaris di zamannya mengacuhkan Al-Quran lantaran
menyibukkan diri dengan hadis,[1]
tanpa ada rasa remeh terhadap otoritas hadis itu sendiri, melainkan melihat
kemaslahatan untuk zaman tersebut. Salah satunya agar naskah hadis tidak
bercampur aduk dengan Al-Quran.[2]
Berkembangnya
zaman senada dengan majunya pengetahuan umat akan agamanya, maka kiranya para
ulama menyadari urgensi penghimpunan seluruh jejak warisan nabi yang tersebar
di beragam tempat menjadi seikat rumpun nan utuh, guna pencerahan bagi semua
urusan manusia. Dengan berlalunya waktu, berkembang pulalah sebuah peradaban.
Albert Aschweitzer mengatakan bahwa peradaban adalah kemajuan spiritual dan materialis bagi setiap
individu maupun masyarakat.[3]
Secara sederhana, produk sebuah peradaban adalah hasil jerih payah yang
dilakukan oleh para pelaku zaman tersebut, guna memenuhi kebutuhan untuk
keberlangsungan hidup manusia. Produk peradaban tak terbatas pada sisi-sisi
tertentu, melainkan mencakup berbagai aspek yang mampu mendukung kesempurnaan
kehidupan spiritual maupun material manusia dan menciptakan sebuah kemajuan,
karena hal inilah tujuan utama dari terwujudnya sebuah peradaban.[4]
Kiranya
gagasan kodifikasi hadis menjadi produk peradaban masa sahabat kecil dan tabiin
besar, yang diprakarsai oleh khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz ketika akhir abad ke
1 H. kodifikasi hadis mempunyai nilai yang vital bagi kelangsungan hidup ilmu
hadis yang notabene mengkaji semua warisan Nabi Muhammad SAW dan menjadi sangat
urgen untuk direalisasikan kala itu. Tak terhitung sudah berapa banyak ulama
yang menggagas kodifikasi ini semenjak Khulafa’ Rasyidin, namun baru di zaman
inilah secara resmi upaya kodifikasi terwujud.[5]
Kodifikasi
adalah bentuk dari produk peradaban, salah satu proses perkembangan yang
dialami hadis sebagai disiplin ilmu. Berangkat dari situ, dalam makalah ini
penulis akan membahas perkembangan hadis pada zaman tersebut. Yakni masa
sahabat kecil hingga tabiin besar, sekitar dimulai dari tahun 40 H sampai akhir
abad 1 H. Siapa sajakah yang dimaksud sahabat kecil dan tabiin besar, lalu
seperti apakah metode periwayatan kala itu, beserta bentuk perkembangan seperti
apakah yang dialami hadis sebagai sebuah disiplin ilmu.
B. Rumusan
Masalah
1. Apakah yang
dimaksud dengan hadis, sahabat kecil dan tabiin besar?
2. Bagaimana
kondisi sosial politik pada masa mereka dan apa dampak yang ditimbulkan bagi
hadis?
3. Bagaimana
metode periwayatan hadis pada masa tersebut?
4. Kontribusi apakah yang diberikan masa ini bagi perkembangan disiplin ilmu hadis?
C. Tujuan
Penelitian
1. Mengetahui
pengertian hadis, sahabat kecil dan tabiin besar
2. Mengetahui
kondisi sosial politik pada masa tersebut dan mengerti dampak yang ditimbulkan
terhadap hadis
3. Memahami
metode periwayatan pada masa tersebut
4. Mengetahui kontribusi masa tersebut bagi perkembangan hadis
D. Kegunaan
Penelitian
1. Memberikan
wawasan tentang definisi hadis, sahabat kecil dan tabi‘in besar bagi penulis
dan pembaca makalah.
2. Untuk menjelaskan aspek-aspek perkembangan hadis, beserta metode periwatan pada zaman sahabat kecil dan tabiin besar.
E. Kerangka
Makalah
Bab I: Pendahuluan
a. Latar
belakang masalah
b. Rumusan
masalah
c. Tujuan penelitian
d. Kegunaan
Penelitian
e. Kerangka Makalah
Bab II:
Studi Terminologi
a. Definisi
hadis
b. Definisi
sahabat
c. Definisi tabi‘in
Bab III: Hadis
pada Masa Sahabat Kecil dan Tabi‘in Besar
a. Kondisi
sosial politik era dinasti Umayyah
b. Implikasi
kondisi sosial politik bagi hadis
c. Perhatian
ulama terhadap hadis
d. Para perawi
hadis
e. Metode
periwayatan
f. Kontribusi masa sahabat kecil dan tabiin besar; gagasan kodifikasi hadis dan isnad.
Bab IV: Penutup
Daftar pustaka
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;
- PERKEMBANGAN HADIS PADA KE IV HIJRIYAH
- SUNAN ABU DAWUD
- PEMBUKUAN HADIS
- SEJARAH PENYUSUNAN KITAB SAHIH BUKHARI
- PERKEMBANGAN HADIS PADA MASA SAHABAT KECIL DAN TABI‘IN BESAR (40 H-AKHIR ABAD 1 H)
- SEJARAH PENYUSUNAN MUSNAD AHMAD BIN HANBAL
- PERKEMBANGAN HADIS PADA MASA KHULAFAUR RASYIDIN
BAB II
STUDI
TERMINOLOGI
A.
DEFINISI HADIS
Hadis secara etimologi berasal
dari bahasa Arab, yang berarti sebuah sifat yang menunjukkan kedekatan waktu,
atau sesuatu yang baru[6]
dan berita seperti yang dituturkan Fairuz Abadi dalam kamusnya Al-Muhit.[7]
Makna pertama merupakan antonim dari sesuatu yang terdahulu atau lama.[8]
Rasulullah SAW juga seringkali menggunakan istilah tersebut dalam sabdanya di
banyak riwayat. Salah satunya riwayat Anas tentang istisqa. “Suatu hari kami
dan Rasulullah SAW kehujanan,lalu beliau membuka bajunya hingga air hujan
membasahi tubuhnya, kami pun bertanya: wahai Rasulullah mengapa engkau lakukan
ini? Beliau menjawab: karena hujan ini baru datang (baru diciptakan) dari
Tuhannya –li’annahu hadithu ’ahdin bi Rabbihi Ta‘ala”.[9]
Sedang makna kedua yang dimaksud
adalah berita dan kalam, atau biasa disebut dengan percakapan. Ibnu Manzur
mengatakan hadis adalah kabar berita yang datang kepada sebagian kecil maupun
sebagian besar orang.[10]
Dalam Al-Quran akan kita temukan banyak sekali ungkapan berita ataupun kalam
dan kisah yang memakai ibarat hadis.
ö@ydur
y79s?r& ß]Ïym #ÓyqãB ÇÒÈ [11]
“Apakah telah sampai kepadamu kisah Musa?”
øÎ)ur
§| r&
ÓÉ<¨Z9$# 4n<Î)
ÇÙ÷èt/
¾ÏmÅ_ºurør&
$ZVÏtn
[12]
“Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang isterinya (Hafsah) suatu kabar peristiwa”
Adapun secara terminologi, pakar
hadis dan fikih berbeda dalam menjabarkan definisi. Perbedaan ini disebabkan
oleh lingkup objek dan sudut pandang tinjauan masing-masing dari ahli disiplin
ilmu tersebut. Muhadisin sibuk berkutat menelaah autentisitas transmisi yang
dinisbatkan kepada Nabi. Sedangkan, fukaha lebih memandangnya sebagai pedoman
syariat bagi umat, menelaahnya dalam bahasan hukum-hukum syar’i dan adab
nabawi, yang mana diteladani oleh para muslim selanjutnya.[13]
Inilah yang mendasari keduanya berbeda ketika memformulasikan kaidah untuk
menerima otoritas sebuah hadis.
Mayoritas muhadisin sendiri
mendefinisikannya sebagai segala sesuatu, baik ucapan, tindakan, statement,
postur diri dan personalitas yang dinisbahkan kepada baginda Rasulullah
SAW,para sahabat dan tabiin. Al-Tibby mengomentari definisi di atas, ia
mengatakan bahwa matan hadis masih diperdebatkan, apakah ia ucapan sahabat yang
dinisbahkan kepada Nabi atau sabda Nabi pribadi. Dan pendapat pertamalah yang
lebih tepat, mengingat ucapan, tindakan dan statement merupakan bagian dari
sunah.[14]
Di samping itu, salaf mendefinisikan hadis sebagai ucapan dari sahabat dan tabiin,
termasuk ajaran peninggalan mereka dan fatwanya.
Istilah khabar pun mengandung
arti yang sama dengan hadis menurut ulama disiplin ilmu ini.[15]
Meskipun menurut sekelompok dari muhadisin, hadis merupakan sesuatu yang
dinisbahkan kepada nabi Muhammad SAW, sementara khabar, lebih umum daripada
itu.[16]
Seperti yang dipaparkan Nuruddin ‘Itr, ketika mentahkik Sharh Nukhbah Nuzhah
Al-Nadr karya Ibnu Hajar Al-Asqolani.
Begitulah statement dari sahabat
dan tabiin pun dinilai sebagai bagian dari hadis, yang disebut mauquf
dan maqtu‘. perekrutan yang dilakukan muhadisin tersebut -seperti yang
diungkapkan ‘Adnan ‘Ali Khidir- dilandasi oleh sabda Nabi yang memuji keimanan
umatnya di tiga generasi. “Sebaik-baiknya umatku adalah mereka yang hidup
bersamaku, berikut generasi setelahnya dan setelahnya lagi”.[17]
Di lain sisi, dalam beberapa konteks, sebagian transmisi mauquf dan maqtu‘
dinilai marfu‘.[18]
B.
DEFINISI SAHABAT
Secara bahasa, sahabat berasal
dari kata suhbah, yang berarti bergaul, bertemu (melihat) dan berkumpul dalam
jangka waktu yang lama ataupun pendek.[19]
Adapun makna lain menyatakan suhbah berarti bertemu dan berkumpul bersama dalam
majelis. Makna inilah yang diambil para ulama usul sebagai pondasi dari
definisi sahabat. Sehingga bagi mereka, sahabat adalah seseorang yang memenuhi
kriteria sebagai berikut; pertama, yang telah lama menemani nabi. Dan kedua, ia
sering berkumpul dengan Nabi SAW. atau menghadiri majelisnya.[20]
Secara terminologi, Sahabat
adalah seorang yang bertemu Nabi SAW, dalam keadaan beriman kepadanya dan ia
mati dalam keadaan Islam (meninggal sebagai muslim).[21]
Itulah yang dituturkan Ibnu Hajar dalam kitabnya Sharh Nukhbah. Sementara itu,
ada sebagian muhadisin yang mengartikan sahabat adalah seorang muslim yang
melihat Nabi SAW. Bukhari juga mengatakan hal yang serupa di dalam karya
fenomenalnya. “Barang siapa yang menemani Nabi SAW atau melihatnya dan ia dari
kaum muslimin, maka ia termasuk para sahabatnya”.[22]
Disamping itu terdapat riwayat
yang dinukil dari Said bin Musayyab. Said bin Musayyab berpendapat bahwa
seseorang tidak bisa dikategorikan sebagai sahabat kecuali ia telah bermukim
bersama Nabi SAW. selama setahun atau dua tahun dan berperang bersama beliau
sekali atau dua kali. Perspektif Said bin Musayyab nampaknya mirip dengan
pendapat para ulama usul. Karena keduanya mensyaratkan masa tenggang waktu yang
tidak sebentar untuk mendapatkan posisi sahabat.[23]
Dan kiranya definisi Ibnu Hajar
ini lebih tepat dibandingkan dengan apa yang didefinisikan ulama lainnya.
Mengingat istilah rukyah (melihat) yang ditawarkan Bukhari dan sebagian
muhadisin yang lain, membuat Ibnu Ummi Maktum[24]
tidak termasuk sebagai sahabat melalui definisi ini, disebabkan beliau buta.[25]
Sedangkan, jumhur sepakat bahwa beliau termasuk sahabat Nabi. Dan pertemuan
atau liqa‘, istilah yang dipakai Ibnu Hajar rasanya tepat menjadi solusi dalam
hal ini. Kemudian sahabat haruslah seseorang yang meninggal dalam keadaan
muslim, meskipun ia pernah murtad sebelum ajalnya.
Kategori sahabat kecil terhitung
setelah tahun ke 40 hijriah, yakni setelah masa khulafa’ rashidin berakhir.
Al-Hakim membagi tabaqah sahabat
menjadi 12 tingkatan.[26]
Pertama, golongan yang telah masuk Islam di Makkah dahulu. Kedua, sahabat yang
telah masuk Islam sebelum adanya musyawarah penduduk Makkah di Dar Al- Nadwah.
Ketiga, muhajirin Habasyah. Keempat, golongan ‘Aqbah pertama. Kelima, golongan
‘Aqbah kedua. Ketujuh, Ahlu Badar. Kedelapan, yang berhijrah diantara Badar dan
Hudaibiyah. Kesembilan, ahlu bai‘ah ridwan di Hudaibiyah. Kesepuluh, yang
berhijrah antara Hudaibiyah dan Makkah. Kesebelas, yang masuk Islam ketika
fathu Makkah. Tingkatan terakhir adalah anak-anak kecil dan bayi yang lahir dan
melihat Rasulullah ketika fathu Makkah dan haji wada‘.[27]
Maka pastinya bisa dikatakan golongan yang ke delapan termasuk dalam kategori
sahabat kecil. Seperti Abdullah bin Abbas.
Dengan demikian, yang dimaksud
dengan sahabat kecil ialah sahabat yang jarang bergaul dengan nabi disebabkan
tempat tinggalnya yang jauh atau disebabkan keislamannya yang terhitung
terakhir.[28]
C. DEFINISI TABI‘IN
Secara etimologi, ia berasal
dari kata tabi‘ahu, yang berarti
berjalan dibelakangnya.[29]
Secara terminology, tabiin menurut para muhadisin tidak jauh berbeda dengan
pengertian sahabat. Tabiin adalah seseorang yang bertemu sahabat dalam keadaan
muslim dan mati dalam keadaan Islam. Disamping itu, ada yang mengatakan, ia
adalah seseorang yang menemani sahabat bukan sekedar berjumpa saja, seperti
yang paparkan Al-Khatib Al-Baghdadi.[30]
Menurut Al-Hakim yang disebut tabiin
adalah orang yang bertemu sahabat dan meriwayatkan hadis darinya meskipun belum
menemaninya. Sedangkan Ibnu Kathir berpendapat, tidaklah cukup hanya dengan
bertemu, sebagaimana sahabat didapatkan hanya dengan bertemu Rasulullah SAW.
karena nilai kemuliaan pertemuan dengan Nabi SAW sangatlah tinggi. Berbeda
dengan bertemu sahabat.[31]
Tabiin besar adalah tabiin yang
memiliki riwayat paling banyak dari para sahabat.[32] Ulama
sepakat dalam mengakategorikan tabiin, tingkatan pertama -dalam kata lain
adalah tabiin besar menurut penulis- ialah tabiin yang pernah bertemu dan
bersahabat dengan sepuluh sahabat yang dijanjikan surga (Abu Bakar Al-Siddiq,
Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Sa‘ad bin Abi Waqas,
Said bin Zaid bin Amr bin Nufail, Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam,
Abdurrahman bin Auf dan Abu Ubaidah bin Jarrah). Sedangkan tingkatan terakhir
atau tabiin kecil adalah tabiin yang sempat berjumpa atau melihat sahabat yang
paling akhir meninggal.[33]
Al-Hakim mengklasifikasikan tabiin
menjadi 15 tingkatan. Tingkatan yang paling atas adalah mereka yang
meriwayatkan hadis dari ashrah mubasshirin bi al-jannah. Seperti Sa‘id
bin Musayyab dan Qais bin Abi Hazim. Oleh sebagian ulama Sa‘id bin Musayyab
dinilai tabiin yang paling utama, sementara masyarakat di Basrah lebih
mengunggulkan Al-Hasan Al-Basri.[34]
Kemudian, sebutan tabiin besar kiranya dimulai setelah tahun 40 hijriah sampai
akhir abad ke 1. Dan masa tersebut adalah masa dimana bani Umayyah berkuasa
atas pemerintahan. Maka sesiapa dari kalangan tabiin yang hidup pada masa
tersebut bisa dikatakan bahwa ia adalah tabiin besar.
BAB III
HADIS
PADA MASA SAHABAT KECIL DAN TABI‘IN BESAR
D.
PERAWI HADIS ERA DINASTI UMAYYAH
Masa sahabat kecil dan tabi‘in
besar diperkirakan mulainya saat berakhirnya masa khulafa’ rashidin, yakni
tahun 40 hijriah. Dimana, kala itu kekuasaan pemerintahan dipegang oleh bani
Umayyah.[35]
Pada saat itu, ekspansi yang
dilakukan para muslimin sejak masa khulafa’ rashidin berhasil membuat wilayah
Islam meluas ke seluruh penjuru. Meliputi Mesir, Syam, Basrah, Kufah, Yaman,
Tunisia, di sebelah timur pada masa Muawiyah daerah kekuasaan melebar ke
Khurasan hingga ke sungai Oxus dan juga Afghanistan sampai ke Kabul. Lalu
kekuasaan melebar lagi di zaman khalifah Abdul Malik hingga ke India. Seluruh
Afrika utara mencakup Alexandria, Aljazair, Maroko juga telah berada dibawah
kekuasaan muslimin, beserta Spanyol.[36]
Oleh karena itu, sahabat yang
sebelumnya hanya di Madinah dan Makkah, akhirnya menyebar ke seluruh penjuru
akibat ekspansi Islam. Disamping misi memperluas wilayah, mereka juga
menyampaikan ajaran Nabi SAW. Hadis nabawi yang dibawa para sahabat pun ikut
tersebar ke seluruh penjuru. Sehingga lebih memudahkan tabi‘in yang ada di
berbagai wilayah yang jauh dari Makkah dan Madinah untuk mendapatkan hadis
nabi. Tak ayal, zaman tersebut dikenal sebagai masa menyebarnya periwayatan
hadis (intishar al- riwayah).[37]
Terdapat markas-markas ilmiah di
beberapa daerah, tempat majelis sahabat mengajar dan meriwayatkan hadis, di
antaranya seperti:
1. Madinah,
dari kalangan sahabat: khulafa rashidin, Abu Hurairah, Siti Aisyah, Abdullah
bin Umar dan Abu Sa‘id Al-Khudri. Menghasilkan pembesar tabiin seperti Sa‘id
bin Musayyab, Urwah bin Zubair dan Ibnu Shihab Al-Zuhri.[38]
2. Makkah,
dari kalangan sahabat: Muadh bin Jabal, ‘Atab bin Asid, ‘Utbah bin Haris. Dan tabiin:
Ikrimah maula Ibnu Abbas, Tawus bin Kaisan, Mujtahid bin Jabar dan ‘Ata’ bin
Rabah.[39]
3. Kufah, dari
kalangan sahabat: Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqas dan Abdullah bin
Mas‘ud. Dan tabiin: Al-Rabi‘ bin Qasim, Kamal bin Zaid Al-NakhaI, Sa‘id bin
Zubair Al-Asadi.[40]
4. Basrah,
dari kalangan sahabat: Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas dan Abu Sa‘id
Al-Ansari. Dan tabiin: Al-Hasan Al-Basri, Muhammad bin Sirrin, Yunus bin
Uba‘id.[41]
5. Syam, dari
kalangan sahabat: Bilal bn Rabah, Ubadah bin Samit, Muadh bin Jabal, Abu
Ubaidah Al-Jarrah. Dan tabiin: Salim bin Abdillah Al-Muharibi, Abu Idris
Al-Khaulani, Abu Sulaiman Al-Darani.[42]
6. Mesir, dari
kalangan sahabat: ‘Amru bin ‘As, ‘Uqbah bin Amr, Abdullah bin Al-Haris. Dan tabiin:
Amr bin Al-Haris, Khair bin Nu‘aimi Al-Hadrami dan Yazid bin Abi Habib.[43]
7. Maghribi
dan Andalus, dari kalangan sahabat: Mas‘ud bin Al-Aswad Al-Balwi, Walid bin
‘Uqbah bin Abi Muid, Bilal bin Haris bin ‘Asim Al-Muzani. Dari tabiin: Ziyad
bin An‘am Al-Muafil, Abdurrahman bin Ziyad, Muslim bin Yasar.[44]
8. Yaman, dari
kalangan sahabat: Muadh bin Jabal, Abu Musa Al-Ash‘ary. Dan tabiin: Hammam bin
Munabah, Wahab bin Munabah, Tawus dan Ma‘mar bin Rashid.[45]
9. Khurasan, dari
kalangan sahabat yang meriwayatkan hadis disana terdapat Buraidah bin Hasib
Al-Aslamy, Abu Barzah Al-Aslamy, Hakam bin ‘Amru Al-Ghifari.[46]
10. Jurjan, ada
beberapa sahabat yang pernah meriwayatkan hadis disana seperti Abu Abdullah
Al-Husain bin Ali, Hasan bin Ali, Abdullah bin Umar, Hudhaifah bin Yaman, Sa‘id
bin ‘As, Suwaid bin Muqarin, Abu Hurairah, dan Abdullah bin Zubair.[47]
11. Qazwen,
dari kalangan sahabat: Barra’ bin ‘Azib, Sa‘id bin ‘As, Salman Al-Farisi, Abu
Hurairah. Dan tabiin: Ibrahim bin Yazid Al-Nakh‘i, Shamr bin ‘Atiyyah bin
Abdurrahman, Talihah bin Khuwailid Al-Asadi.[48]
E.
METODE PERIWAYATAN HADIS
Sejak awal, para sahabat
sangatlah berhati-hati dalam meriwayatkan apapun yang dinisbahkan kepada nabi
Muhammad SAW. Mereka tidak akan menyampaikan hadis yang ia miliki kecuali
setelah ia yakin dan telah memastikan kebenaran huruf dalam lafal matannya dan
memahami betul isi dan maknanya.[49]
Bahkan ada diantara mereka yang
tidak mau meriwayatkan apapun dari Rasulullah SAW, sebab takut bila mengurangi
atau menambahi porsi yang ada. Diceritakan dalam sebuah riwayat dari Al-‘Ala’
bin Sa‘ad bin Mas‘ud, ia berkata: “Dikatakan kepada salah seorang dari sahabat
Rasulullah SAW. Mengapa anda tidak meriwayatkan hadis seperti Fulan dan Fulan?
Ia menjawab: saya mendengarkan hadis sebagaimana mereka mendengarnya, saya pula
menghadiri majlis Nabi SAW. sebagaimana mereka menghadirinya. Akan tetapi ia
belum mempelajari apa yang akan terjadi nanti, dan orang-orang berpegang
padanya. Maka saya temukan kiranya saya tidak meriwayatkan, dengan mereka pun
telah cukup. Dan saya tidak suka melakukan pengurangan atau penambahan terhadap
hadis Rasulullah SAW”.[50]
Lalu bagaimana metode mereka
meriwayatkan hadis? Apakah mereka meriwayatkan sesuai dengan lafal aslinya
(lafziyah) atau meriwayatkan hadis dengan lafal mereka sendiri tapi tidak
mengubah makna yang terkandung dalam hadis tersebut (secara maknawi)? Ajjaj
Al-Khatib menuturkan dalam Sunnah Qabla Tadwin, mayoritas para sahabat menekuni
periwayatan sesuai lafal Nabi SAW. Disisi lain memang ada beberapa sahabat yang
melonggarkan dirinya untuk meriwayatkan secara maknawi saat berada dalam suatu
kondisi yang mendesak. Apa yang ditempuh sahabat dalam metode periwayatan di
atas, nampaknya diikuti oleh para tabiin sesudahnya.[51]
Namun, tanpa diragukan
sesungguhnya seluruh sahabat pastinya menghendaki periwayatan lafziyah,
sebagaimana yang Nabi SAW. ucapkan. Bahkan sebagian dari mereka tidak ridho,
tidak mau mengubah satu huruf dengan huruf yang lain ataupun mengubah tatanan
kalimatnya, dengan mendahulukan satu kalimat dan mengakhirkan kalimat yang
lain. Diriwayatkan dari Umar RA, ia berkata “siapa yang mendengar hadis lalu
meriwayatkan hadis tersebut sebagaimana yang ia dengar, maka ia telah selamat”.
Diriwayatkan pula dari Abdullah bin Umar dan Zaid bin Arqam riwayat yang
serupa.[52]
Sahabat yang terkenal sangat
keras menekuni periwayatan lafziyah sesuai dengan apa yang diucapkan Nabi SAW.
adalah Abdullah bin Umar. Diceritakan dari Muhammad bin Sauqah, ia berkata: aku
mendengar Abu Ja‘far berkata: jika Abdullah bin Umar mendengar sesuatu dari
Nabiyullah SAW, atau menyaksikan suatu peristiwa bersamanya, tidak melewatkan
atau memendekkan apapun.[53]
Adapula sebagian dari sahabat
yang sangat keras kala menjaga lafal dalam naskah hadis. Mereka melarang menambahi
satu huruf atau menghilangkannya, meskipun bila hal tersebut dilakukan tidak
akan mengubah makna dan isi dari hadis itu sendiri.
Periwayatan maknawi juga
dilakukan oleh sahabat, akan tetapi periwayatan ini tidak dapat dilakukan oleh
sembarang orang. Terdapat ada ketentuan dan syaratnya. Kondisi ini
diperbolehkan ketika sahabat sedang berada dalam situasi yang sangat mendesak.
Contohnya, ketika kejadian perawi lupa dengan lafal tertentu dalam hadis yang
ingin disampaikan, namun ia berada dalam kondisi yang sangat membutuhkan
pengetahuan hadis tersebut. Maka, ia diperbolehkan meriwayatkan secara maknawi
dalam kondisi terdesak seperti di atas.[54]
Terdapat riwayat-riwayat yang
memperbolehkan periwayatan hadis maknawi dari beberapa sahabat seperti Abdullah
bin Mas‘ud, Abu Darda’, Anas bin Malik, Siti Aisyah dan ‘Amru bin Dinar.[55]
F.
KONDISI SOSIAL POLITIK PADA MASA SAHABAT KECIL DAN
TABI‘IN BESAR
Berangkat dari peristiwa tahkim
(arbitrase) -sebagai tanda berakhirnya khulafa’ rashidin dengan digulingkannya
Ali bin Abi Thalib dari jabatan khalifah oleh kubu Muawiyah- periode sahabat
kecil dan tabiin besar dimulai. Bila disebut, periode ini dimulai dari tahun 40
hijriah hingga akhir abad ke 1. Maka masa ini dimulai sejak arbitrase hingga
pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (99 H-102H).[56]
Pada zaman tersebut, kondisi
sosial politik umat Islam sangatlah rumit. Telah terjadi perpecahan diantara
umat, akibat tipu daya kubu Muawiyah dalam arbitrase. Meskipun sebenarnya,
bibit-bibit perpecahan ini telah tercium sejak pemerintahan separuh terakhir
dari Ustman bin Affan. Dimana ia mengganti para pejabat pemerintah dengan
orang-orang yang notabene adalah keluarga besarnya sendiri. Sehingga tak elak,
menimbulkan perselisihan antar umat Islam kala itu. Hanya saja, puncaknya
ketika golongan pengikut Ali keluar dalam barisan pasca arbitrase. Dan
mengikrarkan diri sebagai kelompok khawarij. Yang awalnya memihak Ali, namun
kemudian keluar dari barisan, tetapi juga tidak memihak pada Muawiyah.[57]
Semenjak itu ada kelompok
khawarij, kubu syiah pengikut Ali, kubu Muawiyah dan sebagian masyarakat yang
tidak mau ikut-ikutan dan masuk dalam medan politik tersebut, mereka ini ada yang
berada dalam kubu Muawiyah dan ada yang berada dalam kubu Ali. Golongan yang
terakhir ini banyak diisi oleh para ulama kala itu. [58]
Muhammad Muhammad Abu Zahwu
menyatakan, pada waktu itu yang terjadi adalah fitnah bagi muslimin. Dan kaum
khawarij menjadi golongan yang berbahaya bagi prajurit Ali maupun Muawiyah.
Karena, khawarij menganggap barangsiapa yang tidak menentukan hukum sesuai
dengan apa yang diturunkan Allah maka mereka termasuk golongan kafir. Dan hasil
arbitrase dalam kacamata mereka bukanlah keputusan yang sesuai dengan hukum
Allah. Dan mereka melimpahkan kesalahan kepada Ali bin Abi Thalib, Muawiyah dan
Amru bin ‘As. Hingga akhirnya mereka
berniat membunuh ketiga orang ini, namun hanya pembunuhan Ali lah yang
berhasil. Abdurrahman bin Muljam yang menikamnya.[59]
Khawarij sendiri adalah orang
badui Arab. Sebagaimana diketahui orang badui Arab sangatlah literlek dalam
memahami nas Quran ataupun hadis. Dan sangat disayangkan bahwa mereka tidak
mempercayai dan mengakui riwayat hadis dari jumhur muslimin. Mereka hanya
mengakui hadis yang diriwayatkan oleh imam yang notabene dari kalangan mereka
sendiri.[60]
Mereka mempunyai paham orang
yang berdusta adalah kafir. Karena pelaku dosa besar adalah kafir. Dan
berbohong dalam perspektif mereka termasuk dosa besar. Namun, disamping paham
yang mereka anut, tak mengelakkan bahwa mereka juga melakukan dusta dengan
memalsukan hadis nabi. Gunanya, tentu untuk memperkuat otoritas paham batil
mereka. Salah satunya adalah hadis yang berbunyi “jika datang kepadamu sebuah
hadis dariku maka bandingkanlah dengan Al-Quran. Apabila sesuai dengan kitab
Allah maka memang aku yang mengatakannya…”[61]
Kemudian, beralih ke Syiah.
Kelompok ini menghendaki Ali sebagai khalifah pasca wafatnya nabi. Mereka
berpendapat bahwa khilafah adalah warisan. Karena warisan, maka Ali lah yang
lebih berhak. Disamping karena warisan, dari sisi kedekatan dan keutamaan, Ali
lebih unggul dibanding sahabat lainnya. Dari ikatan darah ialah yang terdekat,
dan ia termasuk orang yang pertama masuk Islam, ikut dalam perang Badar dan
perang-perang lainnya. Dan ia adalah suami buah hati Nabi SAW., Fatimah
Al-Zahra. Hanya saja ketika jabatan itu diamanahkan kepada Abu Bakar, mereka
tidak memberontak demi menjaga persatuan umat Islam. Begitu juga ketika Umar menjabat
dan Ustman.[62]
Pergerakan mereka semakin
menjadi-jadi dan berkembang pesat pasca arbitrase. Yang awalnya hanyalah
gerakan politik, ia terus berkembang menjadi sebuah ideologi. Mereka menganggap
bahwa Ali tidak mati. Ia akan kembali lagi suatu hari nanti dan memerintah
dengan sangat adil, juga ada yang beranggapan bahwa Ali adalah nabi. Jibril
keliru ketika menurunkan risalah kepada Muhammad, karena sebetulnya itu untuk
Ali. Bahkan ada yang menganggapnya sebagai Tuhan.[63]
Ketiga kelompok tersebut, Bani
Umayyah, Syiah dan Khawarij kesemuanya berusaha untuk menguasai khilafah. Tidak
sedikit pertumpahan darah yang terjadi hanya karena kekuasaan. Masing-masing
satu sama lain saling menguatkan otoritasnya dengan memalsukan hadis nabawi.
G.
IMPLIKASI KONDISI SOSIAL POLITIK TERHADAP HADIS
Setiap kelompok berusaha
membenarkan mazhabnya, memperkuat otoritasnya melalui berbagai cara. Memalsukan
hadis salah satunya. Syiah memalsukan hadis-hadis yang berkaitan tentang sifat
Ali bin Abi Thalib. Mereka meninggikan derajat Ali bin Abi Thalib dari yang
seharusnya. Diantara hadis palsunya “barangsiapa yang meninggal dan di dalam
hatinya ada rasa benci pada Ali bin Abi Thalib maka ia mati Yahudi dan
Nasrani”. “ sesungguhnya setiap nabi mempunyai wasiat dan warisan, dan aku mewasiatkan
dan mewariskannya kepada Ali bin Abi Thalib”.[64]
Itupula yang dilakukan oleh golongan lainnya. Meskipun dari segi kuantitas,
khawarij dipandang paling sedikit memalsukan hadis.
Sehingga pada masa ini tidak
bisa dielakkan, ia membawa pengaruh negatif pada sejarah perkembangan hadis.
Pergolakan politik yang terjadi secara langsung maupun tak langsung mampu
mempengaruhi perkembangan ilmu hadis.[65]
Karena banyaknya pemalsuan, sejak perang Shiffin Ibnu Sirrin mengatakan
orang-orang mulai menyebutkan sanad ketika meriwayatkan hadis. Kiranya ada
pengaruh positif dalam masa ini.
Selain itu, masa inilah yang
memberikan kontribusi ide atas kodifikasi hadis. Dimana Umar bin Abdul Aziz
memandang hadis palsu yang sudah merajalela di khalayak menjadi suatu kondisi yang
mendesak dan membutuhkan suatu kegiatan yaitu pembukuan hadis, untuk
mengumpulkan hadis-hadis asli, sahih ditengah-tengah wabah hadis palsu, dan
menyelamatkannya dari kemusnahan.[66]
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Secara bahasa, sahabat berasal dari kata suhbah,
yang berarti bergaul, bertemu (melihat) dan berkumpul dalam jangka waktu yang
lama ataupun pendek. sahabat kecil ialah sahabat yang jarang bergaul dengan
nabi disebabkan tempat tinggalnya yang jauh atau disebabkan keislamannya yang
terhitung terakhir.
2.
Tabiin adalah seseorang yang bertemu sahabat dalam
keadaan muslim dan mati dalam keadaan Islam. Tabiin besar adalah tabiin yang
memiliki riwayat paling banyak dari para sahabat.
3. Para sahabat tidak akan menyampaikan hadis yang ia miliki kecuali setelah ia yakin dan telah memastikan kebenaran huruf dalam lafal matannya dan memahami betul isi dan maknanya. Mayoritas para sahabat menekuni periwayatan sesuai lafal Nabi SAW. Disisi lain beberapa sahabat yang melonggarkan dirinya untuk meriwayatkan secara maknawi saat berada dalam suatu kondisi yang mendesak. Apa yang ditempuh sahabat dalam metode periwayatan diikuti oleh para tabiin sesudahnya.
4. Pada masa ini pergolakan politik yang terjadi secara langsung maupun tak langsung memberi pengaruh negatif terhadap perkembangan ilmu hadis, karena banyaknya pemalsuan hadis yang terjadi.
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;
- PANDANGAN IMAM SHAFI'I TERHADAP HADIS
- HADIS PADA MASA RASULULLAH
- IMAM MALIK IBN ANAS DAN KITAB AL-MUWATTA’
- SUNNAH ANTARA WAHYU ILAHI DAN IJTIHAD NABI SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP TASYRI’
- PEMIKIRAN K. H. MUHAMMAD AHMAD SAHAL MAHFUZ AL-HAJINI TENTANG HADIS
- MUHAMMAD NASIR AL-DIN AL-ALBANI
- KAJIAN HADIS DI INDIA
- STUDI KRITIS PEMIKIRAN IBN HAJAR AL-‘ASQALANI DALAM KAJIAN ILMU HADIS
- IMAM NAWAWI
- HADIS DALAM PANDANGAN SYAIKH NAWAWI AL-BANTANI
DAFTAR PUSTAKA
Asqolani
(Al), Ibnu Hajar. Sharh Nukhbah Nuzhah
Al-Nadr fi Taudihi Nukhbat Al-Fikr. Ed. Nuruddin ‘Itr. Kairo: Dar
Al-Basa’ir. 2011.
Azra,
Azyumardi, “Tabiin”, Ensiklopedi Islam, Vol. 7, Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve, t.th.
Bukhari
(Al), Al-Jami‘ Al-Sahih Al-Mukhtasar,
Beirut: Dar Ibn Kathir, 1407 H.
Chair,
Abd, “Dinasti Bani Umayyah”, Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam, Vol. 2, ed. Taufik Abdullah, et al., Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, t.th.
Idri,
Studi Hadis, Jakarta: Kencana, 2013.
Ismail,
M. Syuhudi, Pengantar Ilmu Hadis, Bandung: Angkasa, 1991.
Kathir,
Ibnu, Al-Ba’ith Al-Hathith Sharh Ikhtisar
Ulumi Al-Hadith, tq. Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Athary, Riyadh:
Maktabah Al-Ma‘arif, 1996.
Khatib
(Al), Muhammad Ajjaj, Usul Al-Hadith
Ulumuhu wa Mustalahuhu, Lebanon: Dar Al-
Fikr, 1989.
______,
Al-Sunnah Qabla Al-Tadwin, Lebanon:
Dar Al-Fikr, 2008.
Khidir
(Al), ‘Adnan ‘Ali, Al-Muwazanah baina
Manhaj Al-Hanafiyah wa Manhaj Al- Muhaddisin
fi Qabuli Al-’Ahadith wa Raddiha, Syiria: Dar Al-Nawadir, 2010.
Manzur,
Ibnu, Lisan Al-‘Arab, Vol. 2, tq.
Abdullah Ali Al-Kabir, Kairo: Dar Al-Ma‘arif, t.th.
Muslim,
Al-Sahih, tq. Muhammad Fuad Abdul
Baqy, Beirut: Dar Ihya’ Al-Turath Al-‘Araby, t.th.
Shuhbah,
Muhammad Muhammad Abu, Fi Rihabi
Al-Sunnah Al-Kutub Al-Sihhah Al-Sittah, Kairo: Majma‘ Al-Buhuth
Al-Islamiyah, 1969.
______, Al-Wasit fi Ulumi wa Mustalah Al-Hadith,
Kairo: Maktabah Sunnah, 2006.
Suparta,
Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta:
Rajawali Press, 2013.
‘Uwais,
‘Abdul Halim, Al-Hadarah Al-Islamiyah
Ibda‘ Al-Mady wa `Afaq Al-Mustaqbal,
Kairo: Maktabah `Usrah, 2012.
Yatim,
Badri, Sejarah Peradaban Islam Dirasah
Islamiyah II, Jakarta: Rajawali Press, 2013.
Zabidy
(Al), Muhammad Murtada Al-Husaini, Taj
Al-‘Urush min Jawahir Al-Qamus, Vol. 5, tq. Abdu Al-Satar Ahmad Faraj, Kuwait: Wizarat Al-’Irshad
wa Al-’Anba’, 1965.
Zahwu,
Muhammad Muhammad Abu, Al-Hadis wa
Al-Muhadisun, Lebanon: Dar Al-Fikr, t.th.
Zuhri,
Muh., Tela’ah Matan Hadis Sebuah Tawaran Metodologis, Yogyakarta: Lesfi,
2003.
Http:// anasafrida.blogspot.co.id/2012/01/materi-ulumul-hadist.html?m=1
[1] “Janganlah kalian menulis
apa-apa dariku. Dan barangsiapa yang menulis sesuatu dariku selain Al-Quran
maka hapuslah” diriwayatkan dari Abu Sa‘id Al-Khudriy, HR. Muslim.
[2] Muhammad Muhammad Abu Syuhbah, Fi Rihabi Al-Sunnah Al-Kutub Al-Sihhah Al-Sittah, (Kairo: Majma‘ Al-Buhuth Al-Islamiyah, 1969), 17.
[3] ‘Abdul Halim ‘Uwais, Al-Hadarah Al-Islamiyah Ibda‘ Al-Mady
wa `Afaq Al-Mustaqbal, (Kairo:
Maktabah `Usrah, 2012), 15.
[4] Ibid., 16.
[5]
‘Umar bin Khattab pernah
berencana menkodifikasikan hadis, namun diurungkan setelah beliau menunaikan
salat istikharah berkali-kali. Menurut Muh. Zuhri, konon bukan karena khawatir
hadis bercampur dengan Al-Qur’an melainkan takut bila umat lebih memperhatikan
hadis nabawi dibanding kitab suci. Lihat Muh. Zuhri, Tela’ah Matan Hadis
Sebuah Tawaran Metodologis, (Yogyakarta: Lesfi, 2003), 6.
[6] Muhammad Murtada Al-Husaini
Al-Zabidy, Taj Al-‘Urush min Jawahir
Al-Qamus, Vol. 5, tq. Abdu Al-Satar Ahmad Faraj, (Kuwait: Wizarat
Al-’Irshad wa Al-’Anba’, 1965), 205.
[7] ‘Adnan ‘Ali Al-Khidir, Al-Muwazanah baina Manhaj Al-Hanafiyah wa
Manhaj Al-Muhaddisin fi Qabuli Al-’Ahadith wa Raddiha, (Syiria: Dar
Al-Nawadir, 2010), 59.
[8] Al-Zabidy, Taj Al-Urush, 205.
[9] HR. Muslim, Al-Sahih, tq. Muhammad Fuad Abdul Baqy, (Beirut: Dar Ihya’
Al-Turath Al-‘Araby, t.th), Kitab. Al-Istisqa’,
Bab Raf’u Al-Yadain fi Al-Istisqa’,
no. 898.
[10] Ibnu Manzur, Lisan Al-‘Arab, Vol. 2, tq. Abdullah Ali Al-Kabir, (Kairo: Dar
Al-Ma‘arif, t.th), 797.
[11] Al-Qur’an, 20:11.
[12] Al-Qur’an, 66:3.
[13] Khidir, Al-Muwazanah baina Manhaj, 61.
[14]
Penulis berpendapat maksud
matan hadis yang dikomentari Al-Tibby ini adalah matan hadis mauquf,
hadis yang dinisbahkan kepada sahabat.
[15] Ibnu Hajar Al-Asqolani, Sharh Nukhbah Nuzhah Al-Nadr fi Taudihi Nukhbat Al-Fikr, Ed. Nuruddin ‘Itr (Kairo: Dar Al-Basa’ir, 2011), 41.
[16]
Ibid., 41.
[17]
HR. Bukhari, Al-Jami‘ Al-Sahih Al-Mukhtasar, (Beirut:
Dar Ibn Kathir, 1407 H.) Kitab Al-Shahadat,
Bab La Yashhad ‘ala Shahadat Zur Iza
Ashhada, no. 2509 dan Kitab Fada’il
Sahabah, Bab Fada’il Ashabu Al-Nabi,
no. 3451 dan Kitab Al-Riqaq, Bab Ma
Yuhdharu min Zahrati Al-Dunya wa Al-Tanafus fiha, no. 6065 dan HR. Muslim, Al-Sahih, Kitab Fadail Sahabah, Bab Fadlu
Al-Sahabah thumma al-ladhina Yalunahum thumma al-ladhina Yalunahum, no.
2533.
[18] Yakni marfu‘ hukmy,
hadis yang berisi ucapan, perilaku beserta statement yang tidak secara tegas
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Biasanya terdapat keterangan yang
berkaitan (qarinah) dengan yang lain, yang mendasari naiknya derajat
hadis menjadi sepadan dengan hadis marfu‘. Misalnya ucapan sahabat yang
berbau gaib atau berkaitan dengan hal ubudiyah,yang mana akal rasio manusia
tidak dapat beraksi di dalamnya. Seperti bacaan do’a iftitah, tidak mungkin
murni ucapan tersebut berasal dari sahabat. Pastinya, sahabat mendapatkan
doa/lafal tersebut dari Rasulullah SAW. Maka dari itu, ia juga bisa dikatakan
hadis marfu’. Hadis marfu‘ model lain. Syuhudi Ismail
mengklasifikasikan hadis marfu‘ hukmy menjadi 3. Marfu‘ qauly hukmy,
Marfu‘ fi‘ly hukmy dan Marfu‘ taqriry hukmy. Lihat M. Syuhudi
Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung: Angkasa, 1991), 162-163.
Bandingkan dengan Khidir, Al-Muwazanah
baina Manhaj, 63.
[19]
Muhammad bin Muhammad Abu
Shuhbah, Al-Wasit fi Ulumi wa Mustalah
Al-Hadith, (Kairo: Maktabah Sunnah, 2006), 504.
[20] Ibid., 509.
[21] Al-Asqalani, Sharh Nukhbah, 41.
[22] Abu Shuhbah, Al-Wasit fi Ulumi, 506.
[23] Abu Shuhbah, Al-Wasit fi Ulumi, 506.
[24]
Bernama lengkap Abdullah
bin Qais bin Zaidah, ada yang mengatakan ‘Amru bin Qais bin Zaidah. Masuk Islam
pada masa awal. Ia pernah mengimami sholat jamaah ketika nabi bepergian.
[25] Al-Asqalani, Sharh Nukhbah, 41.
[26]
Muhammad Ajjaj Al-Khatib, Usul Al-Hadith Ulumuhu wa Mustalahuhu,
(Lebanon: Dar Al-Fikr, 1989), 390.
[27] Ibid., 390.
[28]Anasafrida, Tentang Periwayatan Hadis, http://anasafrida.blogspot.co.id/2012/01/materi-ulumul-hadist.html?m=1,(2 November 2015).
[29] Ibid., 408.
[30]
Ibnu Kathir, Al-Ba’ith Al-Hathith Sharh Ikhtisar Ulumi
Al-Hadith, tq. Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Athary, (Riyadh:
Maktabah Al-Ma‘arif, 1996), 520. Bandingkan dengan Azyumardi Azra, “Tabiin”, Ensiklopedi
Islam, Vol. 7, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, t.th), 4.
[31] Ibid., 520.
[32] ‘Uthaimin menjelaskan tabiin terdiri atas 3 kategori, tabiin besar, tabiin kecil dan tabiin wusta. kategori tersebut dilihat dari segi periwayatan dan masa kedekatannya dengan para sahabat. Lihat lebih lanjut Muhammad Salih ‘Uthaimin, Mustalah Hadith, (Saudi Arabia: Dar Ibnu Al-Jauzi, 1424 H), 58.
[33] Azra, Tabiin, 4.
[34] Ibid., 520.
[35] Abd Chair, “Dinasti Bani Umayyah”, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Vol. 2, ed. Taufik Abdullah, et al. (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, t.th), 65.
[36]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II
(Jakarta: Rajawali Press, 2013), 43.
[37] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Rajawali Press,
2013), 85.
[38] Ibid., 86. Lihat juga Endang
Soetari, Ilmu Hadis (Bandung: Amal Bakti Press, 1997), 48.
[39] Ibid., 48. Suparta, Ilmu
Hadis, 86.
[40] Endang Soetari, Ilmu Hadis,
48-49. Lihat Suparta, Ilmu Hadis, 86.
[41] Endang Soetari, Ilmu Hadis,
48-49. Lihat Suparta, Ilmu Hadis, 86.
[42] Ibid., 87.
[43] Ibid., 87.
[44] Ibid., 87.
[45] Ibid., 87.
[46] Ajjaj Al-Khatib, Usul Al-Hadith, 125-126.
[47] Ajjaj Al-Khatib, Usul Al-Hadith, 125-126.
[48] Ajjaj Al-Khatib, Usul Al-Hadith, 125-126.
[49] Muhammad Ajjaj Al-Khatib, Al-Sunnah Qabla Al-Tadwin, (Lebanon: Dar Al-Fikr, 2008),85-87.
[50]
Ibid., 85-87.
[51] Ibid., 85-87.
[52] Ibid., 85-87.
[53]Ibid., 85-87.
[54]Ibid., 89.
[55]Ibid., 89.
[56] Abd Chair, Dinasti Bani Umayyah, 65.
[57] Muhammad Muhammad Abu Zahwu, Al-Hadis wa Al-Muhadisun, (Lebanon: Dar Al-Fikr, t.th), 82.
[58] Ibid., 82.
[59] Ibid., 83.
[60] Ibid., 84.
[61] Ibid., 87.
[62] Ibid., 88.
[63] Ibid., 90.
[64] Ibid., 93.
[65] Suparta, Ilmu Hadis, 88.
[66] Suparta, Ilmu Hadis, 88.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar