HOME

20 April, 2022

IMAM NAWAWI


 

BAB I

PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG

Telah menjadi kesepakatan ulama ahli syariat bahwa ilmu paling utama setelah al-Qur’an adalah al-hadith, kebanyakan hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’an yang tidak dijelaskan baik dalam hal ringkas dan luasnya ruang lingkup, khusus dan umum, nasikh dan mansukh kecuali akan dijelaskan dengan hadith rasulullah saw. Maka keberedaan hadith merupakan tabyin dan tashri’ dan merupakan ilmu paling utama setelah al-Qur’an bagi seorang fakih, ahli dakwah, dan ahli bahasa.

Sejak abad pertama para ulama hadith telah bekerja keras dalam memurnikan hadith, seperti al-bukhari dengan al-sahihnya yang didalamnya memuat 4 ribu hadith dengan tanpa diulang dari kumpulan hadith sekitar 600 ribu, begitu juga denga muslim dan imam ahmad dengan 750 ribu hadithnya.

Ketika ilmu hadith mengalami stagnan muncullah ulama-ulama hadith yang berkecimpung di dalamnya. Dengan memunculkan kitab mustadrak, sharah dan kritik hadith. Dan di abad pertengahan muncul ahli hadith seperti ibnu salah dan al-nawawi, almizi, al-dhahabi dan termasuk pemebesar ahli hadith yang terakhir adala ibnu hajar yang menshrahi sahih bukhari.

Disisni penulis akan memebahas al-nawawi yang merupakan “fakih al-ummah di antara mereka.[1]

    

    B.     RUMUSAN MASALAH

1.      Siapakah imam al-Nawawi ?

2.      Bagaimana pemikiran hadith al-Nawawi ?

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.      Biografi

    1.      Nama Dan Nasab al-Nawawi

 Nama beliau adalah Abu zakariya[2] Yahya ibnu Zahid al-Wara’ waliyullah abi Yahya bin Sharaf bin Muri[3] bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jam’ah bin Hizam al-Hizami al-Nawawi. al-Hizami adalah gelar yang dinisbatkan pada Hizam abi Hakim al-Sahabi (sahabat Nabi Saw),[4] hal ini dibenarkan oleh al-nawawi.[5] al-Nawawi lahir pada pertengahan bulan Muharram 631H/1233M di desa Nawa.[6] laqab al-Nawawi di sandarkan pada desa kelahirannya yang akan kekal selama islam kekal di dalamnya, tidak dengan laqab ahli fikih ataupun ahli hadith. Ada yang mengatakan Nawawi dengan huruf wau yang pertama dibaca pendek dan Nawawi dengan dibaca panjang. Aba Hafsin al-Wardi ketiaka mengatalan Nawa maka wau nya dibaca pendek.[7]

Al-Nawawi mempunyai laqab “muhyi al-din” beliau tidak suka dengan laqab ini karna rasa tawadu beliau. Dan agama oleh Allah SWT akan selalu dihidupkan tanpa butuh bantuan siapaun. Al-Nawawi pernah berkata “saya tidak akan memafkan apa yang orang laqabkan ke saya yaitu “muhyi al-din”[8]

Orang tuanya Sharaf bin Muri adalah seorang pedagang dengan membuka toko. Murid al-Nawawi “’Ulauddin al-‘Attar” mengatakan bahwa al-Nawawi adalah pribadi yang zuhud, wara’, seorang waliyullah.[9] Sedang al-Dhahabi mengatakan beliau adalah seorang guru yang penuh dengan barakah.[10] Baliau wafat pada malam rabu 24 rajab 676H,[11] sebagian mengatakan tahun 685 H/1277M.[12]

    2.      Situasi Politik :

Al-Nawawi hidup pada akhir pemerintahan dinasti al-Ayyubiyah yang dipimpin oleh Nuruddin dan Shalahuddin, yaitu masa penyerangan kota Syam oleh tentara Salib dan Tatar.[13] Syam terutama Dimshiq mereka telah menikmati dengan kehidupan mereka yang tenang. Kalau dibandingkan dengan masa sebelumnya yaitu akhir dinasti al-Ayyubi dan kebanyakan masa sesudahnya maka masa ini adalah masa yang makmur.

Dari segi keilmuan maka masa ini dan setelahnya yakni abad ke VII dan VIII merupakan masa yang gemilang dengan banyak bermunculan para ulama yang produktif yang banyak meninggalkan karangan yang berguna untuk keilmuan setelahnya.

B.       Kehidupan Dan Pendidkan

    1.      Kehidupan al-Nawawi.

Al-Nawawi hidup dibawah asuhan ayahnya, sedangkan ayahnya tertutup dalam hal duniawi, rizqinya diberi keberkahan, sebagaimana dikatakan oleh al-dhahabi; “al-nawawi hidup dalam kebaikan dan kecukupan”.[14]beliau adalah pewaris kenabian dalam ilmu, wara’ dan terkenal kesalihannya.[15]dalam sebuah kisah al-Nawawi ketika berumur 7 tahun beliau tidur di sampaing ayahnya pada malam ke 27 ramadan. Seketika dia terbangun di pertengahan malam, sehingga ayahnya ikut terbangun, dan al-nawawi berkata; wahai ayah cahaya apa ini yang menyelimuti rumah ini, kemudian semua terbangun tapi mereka tidaklah melihat apa-apa. Ayahnya berkata inilah Lailatul Qadar.[16]

Ketika umurnya 10 tahun ayahnya menempatkan beliau di toko, akan tetapi beliau lebih sibu dengan al-qur’an dari pada jual beli. Suatu ketika syaikh yasin bin yusuf al-marakisi yang terkenal dengan keawiliayannya, melihat al-nawawi sedang bermain dengan teman-temannya akan tetapi teman-temennya tidak menyukainya, kemudian dia menjahui mereka dan menangis sambil membaca al-Qur’an. Berkata shaikh yasin; saya cinta pada anak ini, kemudian beliau mendatangi al-Nawawi dan berpesan; anak ini akan menjadi orang alim, zuhud dan wara’ pada zamannya. Dan manusia banyak memperoleh manfaat darinya.[17] Perkataan shaikh yasin terbukti, al-Nawawi banyak memeberi manfaat dari setiap amal baiknya, tidak tergantikan baik pada zaman setelahnya, Allah swt memberikan keberkahan pada beliau walaupun tidak berumur panjang. Al-Nawawi tinggal di desanya hingga usianya 18 tahun sebelum akhirnya melakukan perjalanannya ke Dimshiq.[18]

    2.      Rihlahnya.

Al-Nawawi melakukan perjalannya ke Dimshiq untuk mencari ilmu pada tahun 649H. bersama ayahnya sedang beliau kala itu berumur 18 tahun.[19]Beliau belajar di madrasah “al-Rawahiyah” selama dua tahun beliau belajar tidak pernah tidur dan melaksanakan smua tugas-tugas madrasah, beliau juga menghafal kitab “al-tanbih”[20]selama 4 bulan lebih. Kemudian menghafal “Rub’ul al-Ibadat Minal-Muhaddhab” fikih shafi’i karya abu ishaq al-sharazi, yang kemudian disharahi oleh al-Nawawi dalam karyanya “Al-Majmu’”.[21]Dimshiq terkenal dengan para ulama dan keilmuannya, seperti ibnu Asakir (penyusun Tarikh Dimshiq.[22] Beliau bertemu dengan shaikh Jamal al-Din Abdulkafi al-Raba’i al-Dimshiqi. Beliau tidak berguru sehingga jelas tujuannya untuk mencari ilmu, kemudian kepada Mufti Sham Tajuddin Abdu al-Rahman bin ibrahim bin Diya’al-fazari, yang terkenal denga al-Firkah. Al-Nawawi belajar banyak fan ilmu kepada beliau dan menjadi guru pertamanya.[23] Setelah dua tahun di Dimshiq beliau melasanakan haji dengan ayahnya.[24]beliau mencari ilmu dengan hati dan pikiranya secara sungguh-sungguh, seperti perkataanya “selama dua tahun saya tidak pernah memberingkan tubuh saya untuk tidur”. Sebagaimana dituturkan oleh al-Dhahabi, al-Qutb al-Yanuni, dan al-Badru bin Jama’ah.[25]

    3.      Ulama –ulama pada masanya:

Diantara ulama yang terkenal pada masa al-Nawawi adalah Ibnu Salah (ahli hadith), al-rafi’i (ahli fikih shafi’i di qazwan), al-nawawi (ahli fikih dan hadith), ismail bin abdul karim yang terkenal dengan ibnu al-muallim (ulama fikih hanafiah), abdurrahman bin muhammad bin asakir bin abi al-qasim al-hafiz (ahli fikih), abdul karin al-harrastani khatib dimshiq, al-firkah al-fazari (guru imam al-nawawi),

Dalam bidang Ilmu Bahasa dan Adab, pada masa itu ada ibnu yuaish (yang mensharahi kitab Al-Mufassal karya al-Zamakhshari), ibnu malik, abnu al-qifti yakni pembesar ulama pada masa itu yang mahir dalam berbagai bidag ilmu. di antaranya, ilmu bahasa dan nahwu, fikih dan hadith, ulum al-qur’an dan ilmu usul, ilmu mantiq, ilmu nujum, arsitek dan sejarah.[26]

Dalam bidang Sejarah dan Biografi ada ibnu al-‘Adim (penyusun Tarikh Halab), ibnu Khallikan (penyusun al-a’yan), Yaqut al-Hamawi al-Rumi al-Jughrafi (penyusun Mu’jam al-Buldan dan Mu’jam al-Adaba’), ibnu al-Qifti, abu Shamah (penyusun al-Raudatain).

Dalam bidang Tasawuf, beliau berguru kepada Muhyiddin bin Arabi al-Andalusi (penyusun Futuhat al-Makkiyah dan al-Fusus) Dan para ulama yang ahli dibiadang yang lain seperti hikmah dan pengobatan yang hidup dimasa imam al-nawawi. Itulah keilmuan pada masa imam al-nawawi beberapa bidang ilmu yang bisa dikembangkan oleh orang-orang setelahnya, seperti ilmu hadith, para ulama mengumpulkan hadith, kemudian memisah antara yang sahih dan yang daif, kemudian menjelaskan para perawinya dalam jarh wa al-ta’dil ini terjadi pada abad ke II dan III yang diikuti oleh orang-orang pada abad ke IV hingga abad ke VII sehingga ilmu ini mendekati sempurna. [27]

Dan yang menjadi ciri ulama pada masa ini adalah mereka menjaga akan ilmu mereka dengan cara mengamalkannya. Maka taqwa dan wara’lah yang menjadi pakian mereka. Dan ibadah mereka menetapi akan sunnah Nabi saw.

    4.      Guru-guru.

Imam al-Nawawi mempunyai banyak guru sesuai bidangnya terutama fikih dan hadith. Dibidang haidth;

Abi Ishaq Bin Ibrahim Bin Isa Al-Muradi Al-Andalusi Al-Shafi’i dengan mensharahi sahih Muslim dan al-Bukahari juga sebagian dari jami’ al-Sahihain karya al-Hamidi.

Mengambil sanad jami’ Sahih Muslim Bin Al-Hajjaj Kepada Abu Ishaq Ibrahim Bin Abi Hafs Umar Bin Mudar Al-Wasiti.

Juga kepada Zain al-din abu al-baqa’ khalid bin yusuf bin said al-nabalisi dan Shamsu Al-Din Abi Al-Farj Abdu Al-Rahman Ibnu Abi Umar Muhammad Bin Ahmad Bin Qadamah Al-Maqdisi yang merupakan guru utama beliau. Dan masih banyak lagi.[28]  Beliau tidak belajar kecuali pada seorang guru yang jelas agama dan kearifannya.[29] Al-rida abi ishaq ibrahim bin amr bin nasr al-wasiti yang menjadi sanadnya dalam sahih muslim.[30]

    5.      Murid beliau dalam hadith.

Ibnu abi al-Fath, al-Mizi dan ibnu ‘Attar adalah murid beliau dalam bidang hadith, al-Subuki mengatakan al-Mizi berguru pada al-Nawawi atas empat kitab Hadith, dan menjelaskan kemushkilan-kemushkilannya. Juga abu Hasan al-Attar, abu al-Abbas al-Ashbili. Juga al-Rashid bin Ismail bin al-Ma’alim al-Hanafi dalam Sharah Ma’ani Al-Athar karya al-Thahawi.

    6.      Pujian ulama terhadap al-Nawawi;

Al-Dhahabi mengatakan dalam Siyaru a’lam al-Nubala’; beliau adalah al-Shaikh al-Qudwah, al-Hafidh, al-zahid, al-Abid, al-Fakih al-mujtahid, shaikh al-islam, muhyiddin, ahli dalam hadith,[31] fikih dan bahasa.[32]ibnu Kathir berkata dalam tabaqad shafi’iyah; beliau al-Allamah al-Hafidh, al-Faqih, Dabit, Zuhud, ahli ilmu dan amal.[33]

Ibnu ‘Attar mengatakan, beliau tidak pernah menyia-nyiakan waktunya siang dan malam, tanpa menyibukkan dirinya dengan ilmu. Hingga pulang perginya dari pasarpun beliau tetap mengulang akan hafalannya hal ini berjalan hingga enam tahun. Sibuk dengan menyusun kitab, mujahadah, dakwah, mengamalkan ilmunya, dan berusaha menghindari dari perbedaan pendapat dengan ulama yang lain.[34]al-Nawawi tidak menikah mungkin alasannya karena beliau menghindari kesenangan dunia secara keseluruhan.[35] Al-Dhahabi mengatakan al-Nawawi merupakan pimpinan Tabaqat ini. Ibnu ‘Attar mengatakan; beliau menjaga akan hadith Nabi, mengetahui dengan macam-macamnya secara keseluruhan. Dari yang Sahih dan yang Saqim (rusak), Gharib-nya lafadh, benarnya makna, dan penggalian hukum fikihnya.[36]

    7.      Karya Al-Nawawi.[37]

            a.       Al-Minhaj fi Sarh sahih muslim

            b.      Al-Mubhamat.

            c.       Riyadu al-Salihin.

Kitab ini banyak dikaji oleh halayak umum karna besarnya manfaat yang ada didalamnya, dalam muqaddimahnya dikatakan al-Nawawi mengumpulkan hadith-hadith sahih dari kitab-kitab Mu’tabarah, yang menjelaskan akan jalan menuju allah, dan budi pekerti secara lahir batin. Pada tiap bab disertai denga ayat-ayat al-qur’an dan penjelasan-penjelasan. Di dalamnya terdapat anjuran dan nasihat dan tatakrama seorang salik. Yaitu hadith tentang zuhud, melatih diri, akhlaq, penyucian dan pengobatan hati dan lain sebagainya yang intinya jalan orang-orang yang arif pada allah swt. Kitab ini kemudian disharahi oleh muhammad bin ali bin muhammad alan al-Siddiqi al-Shafi’i (w1057). Dengan nama “Dalil Al-Falihin[38]

            d.      Hilyah al-Abror yang terkenal dengan nama “Al-Adzkar”[39]

Dalam muqaddimahnya al-Nawawi menuturkan bahwa motivasi beliau dalam menyusun kitab ini adalah keikutsertaan beliau diantara ulama dalam penyusunan hadith yang berisikan amaliah, do’a dan dhikir yang telah dituntunkan oleh Rasulullah saw;

 6980 – حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَابْنُ حُجْرٍقَالُوا حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ – يَعْنُونَ ابْنَ جَعْفَرٍ – عَنِ الْعَلاَءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم - قَالَ « مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُمِ نَال أَجْرِ مِثْلُ أُجُورِمَنْ تَبِعَهُ لاَيَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الإِثْمِ مِثْلُآثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَيَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا ».

Barang siapa yang mengajak pada Allah, maka dia akan mendapatkan pahala sebagaiman orang yang mengikutinya dengan tanpa dikurangi sedikitpun, dan barang siapa mengajak pada kesesatan maka baginya balasan sebagai mana orang yang mengikutinya tidak dikurangi sedikitpun.[40]

 

Dari hadith tersebut al-Nawawi bermaksud untuk membantu mempermudah bagi semua orang dalam mengamalkan apa yang di isharahkan, dan menjelaskan jalan dan petunjuk dalam mengamalkan hadith tersebut.

Dikarnakan susunan yang telah ada dianggap oleh beliau kurang ringkas dengan sanad yang panjang, yang menyebabkan enggannya orang-orang untuk mempelajarinya. Sehingga beliau menyusunnya dengan ringkas yang diperuntukkan bagi para hamba Allah bukan untuk mempelajari sanad seperti kebanyakan ahli hadith. Sebagai gantinya maka dijelaskan tentang derajat hadith seperti sahih hasan dan daif.

sanad Kitab ini disharahi oleh muhammad bin ali bin muhammad bin ‘alan al-shafi’i(w1057) dan diberi nama Al-Futuhat Al-Rabbaniyah Ala Al-Adhkar Al-Nawawiyah. Kemudian samsuddin muhammad bin tulun al-dimshiqi menambahkan catatannya dalam kitabnya yang berjudul Ittihaf Al-Akhyar Fi Nukt Al-Adhkar, yang diringkas oleh al-suyuti dengan nama Adhkar Al-Adhkar, kemudian disharahi dan ditakhrij dan diringkas oleh shihab al-din ahmad bin al-husain al-ramli al-shafi’i(w844) dan diberi nama Mukhtasar Al-Adhkar dan ditakhrij oleh ibnu hajar dengan nama “nataij al-afkar fi takhrij ahadith al-adhkar[41]

                e.       Al-Arbain.

Dilihat dari Muqaddimah kitab tersebut, al-Nawawi menulisnya karna terinspirasi dengan sebuah hadith:

 1597 – أَخْبَرَنَا أَبُو الْحَسَنِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَالْفَقِيهُ، قَالَ : حَدَّثَنِي أَبُو الْحُسَيْنِ مُحَمَّدُ بْنُ -[241]- عَلِيِّ بْنِ حُبَيْشٍ، حَدَّثَنِي عَمِّيَ أَحْمَدُ بْنُ حُبَيْشٍ، حَدَّثَنِي عَبْدُاللهِ بْنُ النُّعْمَانِ الْبَصْرِيُّ، حدثنا عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ، حدثنا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ هَارُونَ بْنِ عَنْتَرَةَح، وَأَخْبَرَنَا أَبُوعَبْدِالرَّحْمَنِ السُّلَمِيُّ، أخبرنا أَبُوعَبْدِاللهِ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِاللهِ الصَّفَّارُ، حدثنا إِبْرَاهِيمُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ السُّيُوطِيُّ، حدثنا عَمْرُو بْنُ مُحَمَّدٍ صَاحِبُ يَعْلَى بْنِ الْأَشْدَقِ، حدثنا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ هَارُونَ بْنِ عَنْتَرَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ،عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ، قَالَ: سُئِل رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَاحَدُّ الْعِلْمِ إِذَا بلغهُ الرَّجُلُ كَانَ فَقِيهًا؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ حَفِظَ عَلَى أُمَّتِي أَرْبَعِينَ حَدِيثًا مِنْ أَمْرِ دِينِهَ بَعَثَهُ اللهُ فَقِيهًا، وَكُنْتُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَافِعًا وَشَهِيدًا ""

Barangsiapa umatku yang menghafal 40 hadits yang berisi masalah agama, niscaya Allah akan membangkitkannya di hari kiamat kelak sebagai orang yang alim. Dan dijadikan sebagai penolong dan saksi”[42]

 

                f.       Al-Taisir fi Mukhtasar al-Irshad fi Ulum al-Hadith.

                g.      Irshad tullab al-haqaiq ila ma’rifat sunan al-haqaiq (kitab ini mempunyai banyak nama)[43]

                h.      Al-taqrib lima’rifat sunan al-bashir al-nadhir.(ringkasan al-irshad).

                i.        Al-Tahrir fi al-Fadh al-Tanbih

                j.        Umdah fi Tashih al-Tanbih

                k.      Al-Idah fi al-Manasik.

                l.        Al-Ijaz fi al-Manasik.

                m.    Al-Tibyan fi Adab Hamalat al-Qur’an

                n.      Mukhtasar al-Tibyan fi adab Hamalat al-Qur’an

                o.      Mas’alah al-Ghanimah

                p.      Al-Qiyam

                q.      Al-Fatawi

                r.        Raudah fi Mukhtasar Sharah al-Rafi’i

                s.       Al-Majmu’ fi Sharah al-Muhadzab

Kitab yang belum di sempurnakan;

                a.       sharh al-Tanbih

                b.      sharah al-Wasit

                c.       sharah al-Bukhari dengan judul “al-talkhis”

                d.      sharah sunan abi Daud

                e.       al-Imla’ ala Hadith A’mal bi al-Niat

                f.       al-Ahkam

                g.      al-tahdhib fi al-Asma’ wa al-Lughat

                h.      tabaqat al-Fuqaha’

                i.        Tahqiq fi al-Fikhi ila bab Salat al-Musafir.

                j.        Al-Minhaj ringkasan dari al- Muharrar karya al-Rafi’i

 

    8.      Al-Nawawi dan pemikiran Hadith.[44]

a.Pedapat al-Nawawi tentang macam-macam hadith.

Pembagian hadith menurut al-Nawawi ada tiga; sahih, hasan dan daif.

1).Hadith sahih                                                                      

Dalam pembahsan hadith sahih al-Nawawi menuturkan beberapa masalah dinataranya;

Peratama; Definisi hadith sahih menurut al-nawawi;

ما اتصل سنده بالعدول الضابطين من غير شذوذ ولا علة

Matan yang sanadnya bersambung dengan periwayat yang adil dan dabit dengan tanpa ada shadh dan juga ilat.

Sehingga jika dikatakan suatu hadith sahih maka yang dimaksud adalah sanadnya  tidak putus, dan yang dimaksud dengan  ghairu sahih adalah sanad hadith tersebut tidak sah (putus) sanadnya.[45]

Kedua; yang pertama kali menyusun kitab hadith yang menhimpun hanya hadith sahih saja adalah al-bukhari (sahih bukhari) kemuadian imam muslim (sahih muslim). sahih bukhari lebih sahih dari sahih muslim. juga termasuk dalah kitab sahih adalah kitab-kitab sunan, seperti sunan abi daud, tirmidhi, nasa’i, ibnu kuzaimah, al-daruqutni, al-hakim, dan al-baihaqi dan lain-lain.

Al-Nawawi memasukkan al-hakim dalam jajaran kitab sahih, sedang al-hakim sendiri adalah ulama’ yang mutasahil (longgar). Maka hadith yang sahihkan oleh al-hakim dan tidak ada ulama lain yang memberi penilain apapun terhadapnya maka al-nawawi menghukuminya dengan hadith hasan. Kecuali memang terdapat illat yang kemudain mewajibkan untuk memberi penilaian daif.

Ketiga; tentang kitab-kitab yang men-takhrij hadith dari keduanya.

Hadith yang ditakhrij dari Sahih Bukhari dan sahih Muslim, Tidaklah harus sama dalam lafadh dan maknanya. Sehingga terdapat perbedaan di dalamnya. Senada dengan riwayat al-baihaqi dan al-baghawi. Beda halnya dengan kitab ringkasan dari kedua kitab tersebut, maka mereka akan meriwayatkankan dengan lafadhnya secara utuh. Sedang kitab-kitab mustkhraj itu mempunya dua faidah yaitu tingginya sanad, dan yang kedua adalah bertambahnya hadith yang sahih karna sanad hadith-hadith tersebut memakai sanad dari sahih bukhari dan muslim.

Keempat; tentang sanad Muttasil dan Muallaq.

Hadith yang diriwayatkan dengan sanad yang bersambung (muttasil) maka dihukumi sahih. Sedang hadith yang diawal sandnya terbuang (putus) satu atau lebih, sedangkan di dalamnya terdapat sighat jamzem seperti lafadh Qala, Fa’ala, Amara, Ruwiya dan Dhakara Fulan, maka dihukumi sahih karna disandarkannya.

Kelima; Tentang Pembagian hadith Sahih.

1.                   Hadith yang disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim

2.                   Haith yang dinilai sahih oleh al-Bukhari.

3.                   Haith yang dinilai sahih oleh Muslim.

4.                   Hadith memenuhi sharat al-Bukhari dan Muslim

5.                   Hadith memenuhi sharat al-Bukhari.

6.                   Hadith memenuhi sharat muslim.

7.                   Hadith yang diniali sahih oleh yang lain.

Jika dikatan صحيح متفق عليه atau على صحتهmaka yang dimaksud adalah hadith yang dinilai sahih oleh al-bukhari dan muslim.

Keenam; dengan berpegangan pada pendapat imam Taqiyudin beliau jelaskan tentang ketidakbolehan menghukumi hadith dengan sahih ataupun daif pada zaman-zaman sekarang karna ketidakmampuan orang-orang zaman sekarang. bagi orang yang ingin mengamalkan suatu hadith maka hendaklah mengambilnya dari kitab-kitab hadith yang bisa dibuat pegangan (Mu’tamad).[46]

2). Hadith Hasan.

Dengan mengikuti pendapat al-khattabi menurut beliau hadith hasan adalah hadith yang diketahui siapa yang mengeluarkannya (Mukharrij). Diketahui semua periwayat yang ada dalam sanad. Diterima oleh kebanyakan ulama’. Dan digunakan oleh umumnya para fuqaha’. Al-khattabi membagi hadith hasan menjadi dua bagian;

1.                   Hadith yang di dalamnya terdapat rawi yang tertutup (mastur) dan tidak jelas akan keadaannya. Tidak termasuk pelupa dan banyak kesalahannya. Tidak jelas akan sebab-sebab sifat kefasikannya. Dan terdapat hadith dari riwayat lain yang lebih tinggi derajatnya atau sama.

2.                   Adanya rawi hadith tersebut terkenal dengan sifat saduq dan amanah. Akan tetapi tidak sampai pada derajat sahih. Karna kurang dalam hafalan (Hifdh) dan kecakapannya (Itqan). Yaitu hadith yang naik derajatnya dari hadith munkar karna kesendiriannya rawi. Seperti contoh hadith riwayat al-tirmidhi;

 

1760 –حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ الضُّبَعِىُّ عَنْ أَبِى عِمْرَانَ الْجَوْنِىِّ عَنْ أَبِى بَكْرِ بْنِ أَبِى مُوسَى الأَشْعَرِىِّقَالَ سَمِعْتُ أَبِى بِحَضْرَةِ الْعَدُوِّ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ أَبْوَابَ الْجَنَّةِ تَحْتَ ظِلاَلِ السُّيُوفِ ».

Bercerita kepadaku qutaibah, Bercerita kepadaku jakfar, dari abi imran, dari abi bakr, berkata saya mendengar ayahku berkata di depan para musuh; rasulullah bersabda; sesungguhnya pintu-pintu surga itu di bawah bayang-bayang pedang.[47]

Hadith di atas oleh al-Tirmidhi dinilai hadith Hasan Gharib karna keempat rawinya thiqah kecuali Jakfar bin Sulaiman al-Dabi’i, dia adalah saduq, dari itu derajat hadith tersebut turun dari Sahih menjadi Hasan.

Al-Nawawi berpenapat hadith hasan sama dengan hadith sahih dari segi kehujjahannya, walupun tidak sekuat hadith sahih. Dari itu sebagian ulama memasukkan hadith hasan dalam derajat hadith sahih. Dlam menilai hadith para ulama tidak serta merta menggunakan sahih atau hasan, akan tetapi sahih al-sanad atau matan. Juga hasan al-sanad atau al-matan. Karna terkadang sebuah hadith hanya sanadnya yang sahih tapi tidak matannya begitu juga sebaliknya.

Mengenai perkataan al-Tirmidhi tentang hadith hasan sahih maka menurut al-Nawawi yang dimaksudkan adalah hadith tersebut diriwayatkan dengan dua sanad yang satu menuntut derajat sahih, sedang yang lain menuntut nilai hasan.[48] Sedangkan pembagian hadith menurut al-baghawi dalam kitabnya al-mashabih menjadi hasan sahih, sedang yang dimaksud sahih adalah hadith yang terdapat dalam kitab sahihain sedang hasan adalah hadith yang terdapat dalam dalam kitab sunan maka hal itu adalah tidak benar, karna dalam kitab al-sunan terdapat hadith sahih, hasan, da’if, juga munkar.

a). Asal istilah Hadith Hasan.

Al-Nawawi berpendapat asal dari istilah hadith hasan adalah dari kitab al-Tirmidhi juga dari sunan abi daud, dalam sunan abi daud terkadang disebutkan hadith sahih dan yang mendekati derajat sahih, dan apabila ada kelemahan maka akan dijelaskannya. sedang hadith yang tidak dijelaskan sama sekali maka dikatakan hadith tersebut dengan derajat salih. Dari itu menurut al-nawawi karna tidak adanya ulama (yang mu’tamad) yang menilai akan kitab sunan abi daud, maka itulah yang disebut hasan menurut abi daud.

b). Derajat hasan naik menjadi sahih dan daif menjadi hasan.

al-nawawi berpendapat apabila seorang rawi tidak sampai pada derajat al-hafidh al-dabit sedang dia terkenal dengan saduq dan tertutup (mastur), sedang hadithnya diriwayatkan dengan banyak sanad maka hadithnya menjadi kuat sehingga naik dari hasan menjadi sahih. Jika sebuah hadith diriwayatkan dengan banyak jalur atau redaksi, sedangkan kesemuanya adalah daif maka dari kumpulan riwayat tersebut tidak bisa serta merta hadth tersebut naik derajatnya menjadi hasan, akan tetapi hadith yang daif dengan sebab lemahnya hafalan rawi yang saduq, maka cacat rawi tersebut akan hilang dengan adanya hadith dari jalur lain sehingga hadith tersebut naik derajatnya menjadi hasan. Begitu juga sanad yang mursal. Adapun daifnya hadith karna sifat fasiq rawi hadith maka tidak ada yang menyamainya.[49]


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;


3). Hadith Da’if.

Hadith daif menurut al-Nawawi adalah;

ما لم يجمع صفة الصحيح أو الحسن

Hadith yang tidak terdapat sifat sahih atau hasan.

Hadith daif sendiri memiliki beberapa julukan seperti Maudu’, Shadh dan lain-lain.[50] Yang dijelaskan al-Nawawi secara jelas baik hal itu dari pendapatnya sendiri ataupun pendapat ulama yang lain[51]al-nawawi mengikuti pendapat akan kebolehan mengamalkan hadith daif dalam fadoilu al-a’mal.[52]

4). Tentang sifat-sifat rawi yang diterima riwayatnya, dan masalah yang berhubungan.

Dalam hal ini al-nawawi menuturkan beerapa pembahasan;[53]

a.                   Ulama jumhur sepakat baik ahli hadith dan fiqih bahwa hadith yang dapat diterima adalah hadith yang diriwaytkan oleh rawi yang adil dan dabit, yaitu islam, baligh, berakal, tidak fasiq dan terhindar dari sifat-sifat tercela. Kuat hafalannya apabila dia meriwayatkan dari hafalnnya, hafal kitabnya apa bila dia meriwayatkan dari kitab. Alim dengan makna hadith apabila meriwayatkan hadith dengan bi al-Makna.

b.                   Penetapan akan keadalahan, yang ditetapkan oleh dua orang yang adil. Atau dengan penelitian yang mendalam maka apabila jelas sifat adilnya di antara ahli ilmu dan tersebar luas pujian atasnya maka itu dianggap cukup. Sepeti malik, sufyan, al-auza’i, al-shafi’i, ahmad dan yang lain.

c.                   Keadalahannya diketahui dari kesepakan orang-orang yang thiqah secara umum.

d.                  Keadalahannya diterima dengan tanpa dijelaskan sebab-sebanya. Sebaliknya tidak diterimanya Jarh dengan tanpa adanya penjelasan.

e.                   Jarh dan ta’dil harus ditetapkan dari satu orang.

f.                    Riwayat rawi majhul yang adil lahir batin maka tidak diterima menurut jumhur.

g.                   Riwayat ahli al-Bida’ tidak diterima menurut kesepakatan ulama.

h.                   Diterimanya Riwayat orang yang bertaubat dari kepasikannya. Kecuali dia berbohong atas hadith Nabi, maka riwayatnya tidak diterima selamanya walaupun sandnya sahih.

i.                     Rawi yang meriwayatkan sebuah hadith kemudian yang mengambil riwayat tidak merasa, maka wajib menulak riwayat tersebut.

j.                     Riwayat dengan mengambil upah maka tidak diterima, ini adalah pendapat ahmad, ishaq dan abi hatim. Dan diterima menurut abi nuaim dan ali bn abdul aziz dan yang lain.

k.                   Tidak diterima riwayatnya rawi yang longgar (tasahul) ketika mengambil riwayat seperti kurang memperhatiakan dengan cara tidur.

l.                     Orang-orang berpaling dari sharat-sharat yang disebutkan di atas, karna tujuan dari periwayatan hanyalah menjaga silsilah sanad yang menjadi ciri khusus ummat islam.

5). Tatacara periwayatan hadith.

Diterima Riwayat orang islam yang baligh, walaupun dia mengambil riwayat tersebut sebelum islam dan baligh. Menurut ulama hendaknya periwayatan tersebut dimulai ketika anak sudah berumur 3 tahun ada yang mengatakan 10 tahun. Menurut al-nawawi yang paling tepat hendaknya melihat kecerdasan seseorang sekiranya sah untuk melakukan periwayatan.[54]

6). Metode pengambilan riwayat.

Menurut al-Nawawi ada delapan metode.[55]

1.                   Mendengarkan lafadz gurunya.

2.                   Membacakan atas gurunya.

3.                   Ijazah (pemberian ijin)

4.                   Munawalah (pemberian)

5.                   Kitabah (catatan).

6.                   I’lam (pemberitahuan).

7.                   Wasiat.

8.                   Wijadah (temuan).

7). Tatakrama Muhaddith.

a.                   hendaknya seorang muhaddith tidak melakukan periwayatan di depan orang yang lebih tua ataupun lebih alim darinya ataupun hal lain.

b.                   Bersesuci dan Memakai wewangian ketika hendak mengahdiri sebuah masjlis.

c.                   Mengadakan majlis imla’ al-hadith. Karna itu paling tingginya tingkat riwayat.

8). Tatakrama murid.

Al-nawawi mengatakan; Hendaknya seorang murid meluruskan niat, ikhlas dalam mencari ilmu, tidak dengan niat untuk memperoleh dunia. Meminta pertolongan dan kemudahan kepada allah dan berbudi pekerti yang baik dan mulya. Hendaknya memulai belajar dan mengambil sanad dari guru terdekat di mana dia tinggal. Dan ketika telah sempurna bolehlah dia melakukan pengembaraan.

Mengagungkan dan memperhatikan karna merupakan agungnya ilmu dan menjadi sebab manfaat. Tidak cukup hanya dengan mendengar dan menulis akan tetapi disertai dengan pemahaman tentang sahih, daif, makna, bahasa, i’rab dan juga nama-nama rawi hadith dengan secara jelas.

Dimulai dengan menkaji kitab sahihain (al-bukhari dan muslim) kemudian sunan abi daud, tirmidzi dan al-nasa’i. Kemudian sunan al-kubra karya al-baihaqi dan kitab lain yang dibutuhkan. Dilanjutkan dengan mempelajari kitab musnad, diantaranya musnad ahmad bin hanbal dan yang lain. Kemudian kitab al-ilal seperti al-ilal karya ahmad bin hanbal dan al-dar al-qutni dan kitab al-rijal al-hadith seperti tarikh al-bukhrai dan ibnu abi khuthaimah, ibnu abi hatim dan ibnu makulan. juga mempelajari kitab yang membehas tentang na’ani al-hadith seperti kitab gharib al-hadith dan sharahnya.[56]

9). Tentang sanad Ali dan Nazil.

Disisni al-Nawawi membagi sanad Ali dan Nazil menjadi beberapa tingkatan;

1.                   sanad tertinggi yaitu sanad yang dekat dengan Rasulullah saw.

2.                   Sanad yang dekat dengan imam hadith.

3.                   Sanad yang dinisbatkan pada salah kitab yang lima (Usul Al-Khamtha) atau kitab yang lain yang bisa dibuat pegangan (Mu’tamad).

4.                   Sanad yang disandarkan pada rawi yang lebih dulu wafat.

5.                   Riwayat yang lebih dahulu didengar.

Sedang sanad nazil juga terbagi menjadi lima yaitu yang menjadi kebalikan dari tingkatan sanad yang sudah disebutkan di atas.[57]

10). Sahabat danTabi’in

Al-Nawawi menilai semua sahabat nabi adalah udul, baik yang timpa fitnh ataupun tidak. Diantara faidah mengetahui sahabat nabi dan tabi’in adalah bisa diketahui hadith mutasil atau mursal.[58]

11). Riwayat Akabir dan Asaghir.

Al-Nawawi mengatakan Faidah dari mengetahui ilmu ini adalah agar tidak terjadi keraguan bahwa yang diriwayatkan itu lebih tinggi dan utama. Sperti adanya rawi lebi tua umurnya, atau dilihat dari segi hafalan. Atau dari keduanya.[59] Dan tidak kalah penting adalah pengetahuan tentang saudara kandung dalam tabaqat.[60]juga mengetahui rawi yang hanya meriwayatkan hanya pada seorang murid saja, seperti wahab bin khambish, amir bin sahr, ‘urwah bin mudarris, muhammad ibnu safwan, muhammad bin saifi yang kesemuanya adalah dari kalangan sahabat yang tidak meriwayatkan dari mereka kecuali al-sha’bi.[61]

12). Mengetahui Rawi yang mempunyai banyak nama dan sifat.

Ilmu ini sangat penting untuk mengetahui adanya tadlis atau tidak pada sebuah riwayat hadith. Abdul ghani ibnu said telah menyusun kitab yang membahas permaslahan ini. Juga mengetahui Mufradat(penjelasan perkata) nama-nama rawi hadith[62] dan nama yang mempunyai gelar .[63]

13). Tentang Mu’talif dan Mukhtalif.

Al-nawawi berpendapat bagi ahli ilmu terlebih ahli hadith akan tercela apabila tidak mengetahui tentang hal ini, karna akan terjadi banyak kesalahan. Yaitu nama yang di sepakati hanya dalam tulisan tidak secara ucapan. Seperti nama salam semuanya denga tashdid kecuali lima orang, diantaranya Muhammad bin Salam (guru al-bukhari). Karangan yang paling sempurna dalam hal ini adalah kitab karya ibnu Makulan. Dan masih banyak lagi tentang ulum hadith yang perlu untuk diketahui.[64]

14). Sanad Hadith

Ibnu ‘Attar berkata; al-Nawawi mengambil sanad dari kitab al-Bukhari, Muslim, sunan abi Daud, Tirmidhi, al-Nasa’i, Muwatta’ Malik, musnad Shafi’i, musnad Ahmad bin Hambal, al-Darimi, abi ‘Awanah al-Isfarayini, abu Ya’la al-Musili, sunan ibnu Majah, al-Daraqutni, al-Baihaqi, Sharhu al-Sunnah karya al-Baghawi, Mualim al-Tanzil bidang Tafsir, al-Ansab Karya Zubair bin Bakkar, Khatbu al-Nabatiyah, Risalah al-Qusyairiyah, amal al-Yaumi wa al-lailah karya ibnu Sina, adab al-Sami’ wa al-Rawi karya Khatib, dan masih banyak lagi yang lain yang kesemuanya itu saya ambil dari Khat al-Shaikh al-Nawawi.[65]

Al-Nawawi menjelaskan satu persatu sanad keguruan beliau hal ini menunjukkan bahwa beliau menilai pentingnya akan sanad.[66] Beliau meriwayatkan kitab tersebut dengan sanad aly hingga bersambung pada imam Muslim. sanad beliau kepada imam muslim disebutkan dalam Muqaddimah Sharah Sahih Muslim sebagai berikut;[67]

( فصل )

 في بيان اسناد الكتاب وحال رواته منا إلى الامام مسلم رضي الله عنه مختصرا )

 أما اسنادي فيه فأخبرنا بجميع صحيح الامام مسلم بن الحجاج رحمه الله الشيخ الأمين العدل الرضى أبو إسحاق ابراهيم بن أبي حفص عمر بن مضر الواسطى رحمه الله بجامع دمشق حماها الله وصانها وسائر بلاد الاسلام وأهله قال أخبرنا الامام ذو الكنى أبو القاسم أبو بكر أبوالفتح منصور بن عبد المنعم الفراوي قال أخبرنا الامام فقيه الحرمين أبو جدى أبو عبد الله محمد بن الفضل الفراوي قال أخبرنا أبو الحسين عبد الغافر الفارسي قال أنا أحمد محمد بن عيسى الجلودي قال أنا أبو إسحاق ابراهيم بن محمد بن سفيان الفقيه انا الامام أبو الحسين مسلم بن الحجاج رحمه الله وهذا الاسناد الذي حصل لنا ولاهل زماننا ممن يشاركنا فيه في نهاية من العلو بحمد الله تعالى.

Juga dengan lima kitab yang lain yang menjadi usul al-Islam, sahih Bukhari, Muslim, sunan abi Daud, al-Tirmidhi, al-Nasa’i. Juga sanad dari musnad Ahmad bin Hanbal dan ibnu Majah. Dalam sanad Muwatta’ Malik antara al-Nawawi dengan imam Malik terdapat tujuh periwayat.[68]

Al-Nawawi berkata; Macam ilmu Hadith yang terpenting adalah memantapkan pengetahuan Hadith Nabi yakni mengatahui hakikat hadith Nabi yakni Matan hadith, baik dari segi Sahih, Hasan dan Dhaifnya. Muttasil Mursal, Munqati’, Mu’dal dan Maqlubnya,  Mashhur  Gharib dan Aziznya, Mutawatir, Ahad dan Ifradnya, Mahfudh, Shadh dan Munkar-nya, Muallal, Maudu’, Mudrajnya, Nasikh mansukh-nya, Khas Amnya, Mujmal Mubyan, Mukhtalif-nya dan yang lain sebagainya.

Mengetahui ilmu Isnad yaitu pengetahuan akan para periwayat hadith. Seperti sifat, Mu’tabarah,  dabit, nama, Nasab, lahir dan wafat. mengetahui Tadlis-nya para periwayat. Mengetahui Metode ‘I’tibar dan Mutabi’. Mengetahui hukum perbedaan periwayat dalam Sanad dan Matan. Wasal dan Irsal, Mauquf, Marfu’, Maqtu’, Munqati’ dan dan Ziyada Thiqah. Mengetahui Sahabat, Tabi’in, dan orang-orang setelahnya. semuanya telah ditetapkan dalam al-Qur’an dan al-hadith. Banyak dari hadith Nabi itu membahas hukum fikih, dan kebanyakan ayat-ayat yang membahas perkara yang Furuiyah itu bersifat Mujmal (umum) sehingga perlu penjelasan dari hadith.[69]

Seharusnya seorang Mujtahid, Qodi dan Mufti itu menguasai akan hadith-hadith hukum, dan ini sudah menjadi kesepakatan ulama. Menurut pandangan al-Nawawi lambat laun ulama yang berkecimpung dalam hadith terus berkurang kecuali hanya sedikit sekali.[70]Al-Nawawi merupakan ahli hadith yang sempurna. hal itu bisa terlihat pada karyanya dalam bidang Fikih dan Hadith, dalam bidang hadith seperti kitab al-Irshad yang merupakan ringkasan dari kitab Mustalah Hadith karya ibnu Salah, dan kitab Taqrib ringkasan dari al-Irshad dan Sharah Muqaddimad Sahih Muslim dalam Mustalah.[71]

Ibnu Attar berkata; al-Nawawi belajar kitab al-Kamal fi Asma al-Rijal, karya Abdul Ghani al-Maqdisi. kepada Shaikh abi al-Baqa’ Khalid bin Yusuf bin Said al-Nabalisi, dan Menta’liqkan kepadanya.[72] Beliau juga Menta’liq kitab Fawaid ala al-Ansab karya ibnu Athir.[73]

Dengan mengikuti pemikiran ibnu Salah, dalam Muqaddimah Sharah Sahih Muslim, al-Nawawi berpendapat riwayat dengan sanad yang bersambung hal itu yang dimaksud bukanlah menetapkan apa yang diriwayatkannya akan tetapi yang dimaksud adalah menjaga  akan silsilah sanad yang menjadi keistimiwaan umat islam.[74] pendapat al-Nawawi tentang kaidah ilmu hadith dalam sharah sahih muslim lebih banyak berpegangan pada pendapat ibnu Salah seperti setatus sanad hadith muallaq pada sahihain, juga pendapat-pendapat beliau yang lain yang di sandarkan kepada para muhaddith pedahulunya seperti Abu Bakar Al-Ismaili, al-Daruqutni, dan juga jumhur al-Ulama antara lain;[75]

a)                   Pejelasan beliau tentang pembagian hadith yakni sahih, hasan dan daif, dengan berbagai sharat, perbedaan dan perincian ini adalah pendapat ulama hadith, sedang pendapat al-Khattabi hadith dibagi menjadi sahih, hasan dan saqim. Istilah ini banyak dipakai oleh kebanyakan ulama secara umum dan ahli fikih. Sedang saqim terbagi mejadi tiga tabaqat yakni Maudu’ maqlub kemudian majhul. Sedang al-hakim berpendapat hadith sahih ada sepuluh, yang lima disepakati, sedang yang lima masih diperselisihkan. a. Hadith yang disepakati bukhari dan muslim. b. sanad dengan satu periwayat sahabat. C. sanad dengan satu periwayat tabiin. D. Hadith ahad gharib yang diriwayatkan oleh rawi thqah yang adil. E. Hadith riwayat jamaah yang mutawatir hanya dari keluarga mereka sendiri.[76]

b)                  Penjelasan al-nawawi tentang riwayat sahabat dengan redaksi Kunna Naqul, Naf’alu, abu bakar alismaili mengatakn bahwa riwayat tersebut bukanlah Marfu’ akan tetapi Mauquf. Dan riwayat sahanbat yang mauquf menurut pendapat al-shafi’i tidak bisa dibuat hujjah. Sedang qaul qadimnya mengatakan hujjah.[77]

c)                   Penjelasan beliau tentang sand muan’an. Sebagian ulama menghumu sanad tersebut dengan mursal. Sedang jumhur yakni dari kalangan ahili hadith, fikih dan usul mengtakan muttasil dengan sharat bukan periwayat mudallis, dan memungkinkan bertemu.[78] Juga penjelasan al-nawawi tentang permaslahan ulum hadith yang lai sepeti diterimanya riwayat ziyadah al-thiqah, pembagian macam tadlis, pengertian i’tibar, mutabi’, shahid, ifrad, shadh, dan munkar.[79]pendapat beliau tentang Ikhtilat periwayat yang bisa diterima apabila meriwayatkan sebelum terjadi Ikhtilat.

d)                  Penjelasan beliau tentang devinisi sahabat dan tabiin. Sahabat adalah setiap muslim yang pernah meliaht nabi walaupun sebantar ini adalah pendapat madhhab ahmad bin hanbal. Al-bukhari dan ulama hadith. Sedang kalangan fuqaha’ dan usuliyin mengatakan sahabat adalah mereka yang lama berkumpul dengan rasulullah.

e)                   Pendapat beliau tentang riwayat bi al-makna, beliau berkata tidak baoleh riwayat bi al-makna apabila periwayat tidak mengetahui akan lafadh dan maksudnya. Sedang sebagian ahli hadith dan fikih mengatakan tidak boleh secara mutlak. Dan juga pendapat-pendapat beliau yang lain.[80]

 

9.                   Al-Nawawi Dan Fikh Al-Hadith

Kebanyakan para Muhaddith berlomba-lomba untuk mendapatkan sanad ali karna sanad yang dekat dengan Nabi lebih mendekati pada kebenaran. Penulis telah sebutkan semangat beliau dalam mempelajari ilmu hadith dalam Muqaddimah Sharah Sahih Muslim-nya. Dalam bidang Fikh al-Hadith al-Nawawi mempunyai beberapa guru antara lain; abu Ishaq bin Ibrahim bin ‘Isa al-Maradi al-Andalusi al-Shafi’i yang Men-sharahi muslim dan sebagian besar al-Bukhari, dan sebagian dari al Jami’ baina al-Sahihain karya al-Hamidi.[81]

Disini penulis mencontohkan salah satu kitab sharah hadith yang di-shara-hi al-Nawawi yaitu Sahih Muslim. Dalam mensharahi sahih muslim beliau mejelaskan pokok-pokok agama (usul), furu’, adab (tatakrama), zuhud (tasawuf). Juga menjelaskan kaidah usul, mejelaskan makna lafadh secara bahasa, juga penjelsan tentang periwayat hadith. Penjelasan tentang gelar, nama ayah dan anak, juga penjelasan tentang keadaan periwayat yang masih samar yang terjadi pada sebagian waktu. Penjelasan tentang hal yang samar baik yang  terjadi dalam sanad ataupun matan.[82] Kitab sharah sahih muslim yang di sharahi oleh imam al-Nawawi oleh para ulama dinilai  sebagai kitab sharah Sahih muslim terbaik.[83]

Beliau berpendapat lambang Hadthana dan Akhbarana dalam istilah muslim terdapat perbedaan yakni tidak boleh memutlakkan lafadh Hadthana kecuali untuk hadith yang lafadhnya didengar dari gurunya secara khusus. Sedang lafadh Akhbarana adalah untuk hadith yang dibacakan kepada gurunya.[84]

Contoh hadith dapat dilihat dalam Hadis larangan berdusta atas nama Rasulullah saw. pada bab “Tahglit Al-Kadhb Ala Rasulillah Saw

Pada kasus hadith diatas al-Nawawi tidak melakukan pensharahan terhadap redakaksi hadith, beliau hanya menampilakan dan membandingkan dengan hadith yang lain yang semakna, hal ini mungkain karna kandungan hadith yang mudah dipahami. Sebaliknya beliau melakukan pensharahan terhadap sanad dengan menampilkan beberapa riwayat dan penjelasan perkata.[85]

Contoh Hadith dapat dilihat dalam Hadis “Agama adalah nasihat”

بَاب بَيَانِ أَنَّ الدِّينَ النَّصِيحَةُ

Pada contoh hadith diatas al-Nawawi tidak menampilkan haith yang lain karna walaupun muslim menampilkan tiga matan hadith akan tetapi semua  redaksinya sama persis. Al-nawawi hanya melakukan perbandingan sanad dengan Sahih Bukhari, sedangkan untuk pensharahan hadithnya dilakukan secara luas.[86]

 

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Nama beliau adalah Abu zakariya Yahya ibnu Zahid al-Wara’ waliyullah abi Yahya bin Sharaf bin Mira bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jam’ah bin Hizam al-Hizami al-Nawawi. al-Hizami adalah gelar yang dinisbatkan pada Hizam abi Hakim al-Sahabi (sahabat Nabi Saw), hal ini dibenarkan oleh al-nawawi. al-Nawawi lahir pada pertengahan bulan Muharram 631 H di desa Nawa.

Orang tuanya Sharaf bin Mira adalah seorang pedagang dengan membuka toko. Murid al-Nawawi “’Ulauddin al-‘Attar” mengatakan bahwa al-Nawawi adalah pribadi yang zuhud, wara’, seorang waliyullah. Baliau wafat pada malam rabu 24 rajab 676H, sebagian mengatakan tahun 685 H,

Al-Nawawi menekankan akan pentingnya ilmu Hadith, Naqd al-Hadith baik sanad ataupu Matan. dan juga pentingnya mengetahui metode Ma’ani AL-Hadith. Untuk mendapatkan pemahaman yang benar dan konprehensip.


Daftar pustaka:

Abi Zakariya Yahya bin Sharaf  al-Nawawi al-Dimshiqi, Sharah Sahih Muslim (Beirut: Dar al-Fikr, 2004).

Baihaqi (al), Ahmad bin al-Husain bin Ali, bin Musa al-Khusraujirdi al-Kharasani abu

Bakar, Shu’b Al-Iman (Hindi: Maktabah al-Rashid, 2003)

Daqir, Abdul Ghani, al-Imam Al-Nawawi (Beirut: Dar al-Qalam, 1994)

Ibnu Attar, ‘Ulau al-Din ali bin Ibrahim ibnu Daud al-Shafi’i, Tuhfah al-Talibin (Amman: Dar athiriyah,2007)

Kamiliya(al), Kamal al-Din muhammad bin Muhammad bin Abdurrahman al-Shafi’i al-Qahiri, Bughyah al-Rawi fi Tarjamah al-Imam al-Nawawi.(Beirut: Dar al-Basha’ir al-Islamiyah,1983).

Nawawi (al).Muhyiddin bin Sharaf. Irshad Al-Tullab Al-Haqaiq (Madinah: Maktabah al-Iman, 1987)

________, Taqrib Wa Al-Taisir Li Ma’rifat Sunan Al-Bashir Al-Nadhir (dar kitab al-arabi, 1985)

________, al-Adhkar(Beirut: dar al-kutub,2004)

________, al-Arbain al-Nawawiyah (Surabaya: al-Hidayah, tt)

________, riyad al-salihin (Surabaya: Makatabh Imarullah, tt)

________, shrah sahih muslim (Beirut: Dar al-fikr,2004)

Suyuti(al), Jalal al-din Abdu al-Rahman, Manhaj al-sawi fi Tarjamati al-Imam al-Nawawi. T. Ahmad Shafiq Damj (Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1408/1988).

Sakhawi(al), Shamsu al-din muhammad bin abdu al-rahman bin abu bakar ibnu ‘uthman bin muhammad,  Minhal al-azb al-rawi fi tarjamah qutb al-aulia’ al-nawawi.(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,1971).

Subuki (al), taj al-din abi nasr abdu al-wahab, Tabaqat Al-Shafi’iyah Al-Kubra (ttp:tp.tt)

Suyuti (al), abdu alrahman bn abi bakar bin muhammad bin sabiq al-din al-khadiri, Tabaqat al-Huffadh(ttp:tp,tt)

_______, Tuhfat Al-Abrar Bi Nukti Al-Adhkar Al-Nawawiyah(ttp: tp, tt)

Zurkali(Al) , khoiru al-din bin mahmud bin muhammad bin ali nim faris al-dimshiqi, al-A’lam(malayin: dar al-ilmi, 2002).


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;



[1]Abdul ghani dAqir, al-Imam al-Nawawi, (Beirut : Dar al-qalam, 1994/1415),55-56

[2]Abi zakariya adalah Kuniahnya, sebenarnya tanpa kuniah karna beliau tidak menikah.

[3]Ada yang menyebutkan mira akan tetapi sedikit, lihat Al-nawawi, Irshad Al-Tullab Al-Haqaiq, 7. Lihat, abdu al-ghani daqir, Al-Imam Al-Nawawi, 20. Lihat al-suyuti, al-minhaj al-sawi fi tarjamah al-imam al-nawawi, 25.

[4]Ibnu attar, tuhfah al-tialibin fitarjamah al-imam muhyi al-din,39 hizam adalah buyut dari al-nawawi yang tingal di julan di desa nawa.

[5]Abdul ghani daqir, Al-Iamam Al-Nawawi, (beirut : dar al-qalam, 1994/1415),20

[6]Ibnu attar, Tuhfah Al-Talibin Fitarjamah Al-Imam Muhyi Al-Din,42. Lihat juga, Abdul ghani daqir, Al-Imam Al-Nawawi, (beirut : Dar Al-Qalam, 1994/1415),22, al-suyuti, Tabaqat Al-Huffadh, 1,106. Alnawawi, Al-Taqrib Wa Al-Taisir Lima’rifat Sunan Al-Bashir Al-Nadzir, 11

[7]Tanpa alif di antara huruf wawu dan boleh diberi alif karna terbiasa. Nawa termasuk wilayah julan, di desa huran kota dimshiq. Lihat Ibnu attar, tuhfah al-talibin fitarjamah al-imam muhyi al-din,41 lihat, Abdul ghani daqir, al-nawawi, (beirut : dar al-qalam, 1994/1415),19

[8]Abdul ghani daqir, al-nawawi, (beirut : dar al-qalam, 1994/1415),21, lihat : al-sakhawi, tarjamah al-nawawi, 4

[9]Tuhfah al-talibin musawwar, 2

[10]Abdul ghani daqir, al-nawawi, (beirut : dar al-qalam, 1994/1415), 21. Lihat , Al-sakhawi, tarjamah al-nawawi, 76

[11]Ibnu attar, tuhfah al-talibin, 42

[12]Abdul ghani daqir, al-nawawi, (beirut : dar al-qalam, 1994/1415),21 taqrib aw al-taisir li ma’rifat sunan al-bashir al-nadhir, 11

[13]Abdul ghani daqir, al-ImamAl-Imam Al-Nawawi, (Beirut : dar al-Qalam, 1994/1415), 13

[14]Ibid., (beirut : dar al-qalam, 1994/1415),22 lihat tuhfah al-talibin, 3

[15]Ibid., (beirut : dar al-qalam, 1994/1415),22 lihat al-sakhawi, 24

[16]Ibnu attar, Tuhfah Al-Talibin, 43, lihat, Abdul ghani daqir, al-nawawi, (beirut : dar al-qalam, 1994/1415),23, lihat, Al-subuki, tabaqat kubra, 8, 296

[17]Ibnu Attar, Tuhfah Al-Talibin, 44-45 lihat, Abdul ghani daqir, al-Nawawi, (beirut : dar al-qalam, 1994/1415),23

[18]Abdul ghani daqir, al-nawawi, (beirut : dar al-qalam, 1994/1415), 24

[19]Riwayat lain menyebutkan umur beliau 19 tahun.

[20]Kitab fikih shafi’iyah.

[21]Madrasah ini dibangun oleh al-zaki abu al-qasim habbatullah (w662) berada di selah timur masjib ibnu urwah yang berdekatan dengan masjid al-umawi, namun sekarang berubah menjadi rumah. Lihat alnawawi. Irshad Al-Tullab Al-Haqaiq, 8-9

[22]Abdul ghani daqir, al-nawawi, (beirut : dar al-qalam, 1994/1415)25, lihat tuhfat al-talibin, al-sakhawi, al-bidayah wa al-nihayah. Tidak ada perbedaan dalam hal ini kecuali dalam kitab Miftah Al-Sa’adah, karya thash kubra zadah,1, 398.  yang menyebutkan angka 650 H

[23]Abdul ghani daqir,Al-Imam  Al-Nawawi, (beirut : dar al-qalam, 1994/1415), 26

[24]Ibid., (beirut : dar al-qalam, 1994/1415), 28

[25]Abdul ghani daqir, Al-Nawawi, (beirut : dar al-qalam, 1994/1415),30

[26]Ibid., (beirut : dar al-qalam, 1994/1415), 14

[27]Ibid.,, (beirut : dar al-qalam, 1994/1415), 16

[28]Ibnu attar, Tuhfah Al-Talibin, 59 lihat, abdul ghani, al-imam al-nawawi, 42, lihat, al-suyuti, al-mihaj al-sawi, 38. Al-nawawi, Irshad Al-Tullab Al-Haqaiq, 10

[29]Ibnu Attar, tuhfah al-talibin, 95

[30]Al-nawawi, Sharah Sahih Muslim, 1,6

[31]kebanyakan umat mengira al-nawawi lebih alim dalam bidang hadith dari pada l-rafi’i, hal ini berbeda dengan pendapat Al-dhahabi yang mengatakan al-rafi’i lebih alim dalam bidamg hadith. Al-suyuti, Tuhfah Al-Abrar Bi Nukta Al-Adhkar Al-Nawawiyah, 1,8

[32]Abdul ghani daqir, Al-Imam Al-Nawawi, (beirut : dar al-qalam, 1994/1415),138

[33]Ibid., (beirut : dar al-qalam, 1994/1415),148

[34]Ibnu attar, tuhfah al-talibin, 64

[35]Abdul ghani daqir, al-nawawi, (beirut : dar al-qalam, 1994/1415),151

[36]Ibid., (beirut : dar al-qalam, 1994/1415),59

[37]Ibnu attar, tuhfah al-talibin, 70-84. Penjelasan lengkap tentang karya al-nawawi bisa dilihat dalam al-Imam al-Nawawi, karya abdul ghani daqir, 157 juga al-Suyuti, Al-Minhaju Al-Sawi Fitarjamah Al-Imam Al-Nawawi, 63.

[38]Al-nawawi, Riyad Al-Salihin, 3 al-nawawi, Al-Irshad Al-Haqaiq, 18

[39]Khoruddin bin Mahmud al-zurkali, Al-i’lam, 8,149

[40]Sahih Muslim 8,62

[41]Al-nawawi, Irshad al-tullab al-haqaiq, 19 lihat al-nawawi, al-adhkar, 9

[42]Al-baihaqi, Shu’b Al-Iman, 3, 240

[43]Al-nawawi, Irshad, 72

[44]Abdul ghani daqir, al-nawawi, (beirut : dar al-qalam, 1994/1415),54

[45]Al-nawawi, al-Taqrib. 25

[46]Al-Nawawi, al-Taqrib, 28

[47]Sunan al-Tirmidhi, 6, 417

[48]Al-Nawawi, al-Taqrib, 29

[49]Ibid., 30-31

[50]Al-nawawi, Al-Taqrib, 31

[51]Ibid., 31-48

[52]Al-arbain al-nawawiah, 3

[53]Al-nawawi, al-taqrib, 48-52

[54]Al-nawawi, al-taqrib, 54

[55]Al-nawawi, al-taqrib, 54

[56]Al-nawawi, Al-Taqrib, 82

[57]Ibid., 85

[58]Al-nawawi, al-taqrib, 98

[59]Ibid., 95

[60]Ibid., 96

[61]Ibid., 99

[62]Kitab yang membhas permasalahan ini adalah Al-Mutarajjim Bi Al-Asma’ Al-Mufradah karya ahmad bin Harun al-bardiji.

[63]Beberapa ulama telah menyusun kitab dalam bab ini Seperti karya ibnu al-madini, muslim, al-nasa’i, dan yang lain. Al-nawawi, Al-Taqrib, 100-101

[64]Al-nawawi, al-taqrib, 106

[65]Abdul ghani daqir, al-nawawi, (beirut : dar al-qalam, 1994/1415),56-57, lihat ibnu attar, tuhfah al-talibin, 60

[66]Al-nawawi, sharah sahih muslim, 18

[67]Abdul ghani daqir, al-nawawi, (beirut : dar al-qalam, 1994/1415),58 lihat mudaddimah sharah sahih muslim li al-nawawi, 1, 23

[68]Abdul ghani daqir, al-nawawi, (beirut : dar al-qalam, 1994/1415),58

[69]Al-nawawi, muqaddimah sharah sahih muslim,(beirut: dar al-fikr,2004),16 lihat juga, Abdul ghani daqir, al-nawawi, (beirut : dar al-qalam, 1994/1415),60, lihat juga, ibnu imam al-kamiliah, bughyah al-rawi fi tarjamah al-imam al-nawawi,42

[70]Al- nawawi, muqaddimah sharah sahih muslim,16

[71]Abdul ghani daqir, al-nawawi, (beirut : dar al-qalam, 1994/1415),61

[72]Tuhfah al-talibin

[73]Abdul ghani daqir, al-nawawi, (beirut : dar al-qalam, 1994/1415),61

[74]Ibid,. 23

[75]Ibid,.15

[76]Ibid,. 34-35

[77]Ibid., 37

[78]Ibid,. 38

[79]Ibid 39

[80]Ibid 41-42

[81]Abdul ghani daqir, al-nawawi, (beirut : dar al-qalam, 1994/1415),63

[82]Al-nawawi, Muqaddimah Sahih Muslim, (beirut: dar al-fikr, 1994)17

[83]Muhammad muhammad abu shuhbah, Firihab Al-Sunnah,  99

[85]Al-nawawi. Sharah Sahih Muslim, 64

[86]Al-nawawi, Sharah Sahih Muslim, 32

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...