BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Al-Qur’an
dan hadis merupakan sumber rujukan umat Islam dalam ibadah serta kehidupan kaum
muslimin. Namun secara historis, perjalan hadis tidak semulus dengan perjalanan
al Qur’an.
Jika al Qur’an sejak awal
sudah diadakan pencatatan secara resmi oleh para pencatat wahyu atas petunjuk
dari Nabi, maka tidak demikian halnya dengan hadis Nabi. Jika al Qur’an telah
ada garansi dari Allah dan tidak ada keraguan di dalamnya, maka tidak demikian
dengan hadis Nabi.
Hadis Nabi saw memang belum
ditulis secara umum pada zaman Nabi masih hidup, karena ketika itu Al-Qur’an
masih dalam proses diturunkan dan diurutkan. Bahkan Nabi melarang masyarakat
umum dari menulis hadis, sebagaimana sabdanya:
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ
الْخُدْرِىِّ[1] أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ لا تَكْتُبُوْا عَنِّيْ وَ مَنْ كَتَبَ
عَنِّيْ غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ وَ حَدِّثُوْا عَنِّيْ وَ لا حَرَجَ وَمَنْ
كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
Dari Abu Sa’id al-Khudry t bahwasannya Rasulullah r bersabda: “Janganlah kalian menulis sesuatu
pun dariku, barangsiapa yang telah menulis dariku selain Al-Qur’an hendaklah
dia menghapusnya, dan beritakanlah hadis dariku, yang demikian tidak berdosa,
namun barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaklah dia
mengambil tempat duduknya dari api neraka.”[2]
Dalam hal pembukuan hadis, baru dilakukan sepeninggal Rasulullah r. Tentunya ini akan menjadi sasaran empuk bagi para musuh islam untuk menyerang dari belakang. Belum lagi ditambah dengan situasi politik yang cukup memprihatinkan pada masa khalifah Ali t dan setelahnya, yang menambah rancu keaslian hadis dengan hadirnya hadis-hadis maudu’ (palsu) yang tersebar luas dan dikonsumsi bebas oleh kaum muslimin.
Pun dengan metode apa yang
layak digunakan untuk membukukan hadis. Sedangkan Rasulullah semasa
hidupnya tidak pernah memerintahkan untuk menulis hadis, juga tidak pernah
memberitau metode yang harus digunakan untuk menulis buku hadis.
Tentunya pembukuan hadis membutuhkan
proses yang sangat panjang dan pastinya menjadi bahan yang sangat menarik untuk
dibahas, dikaji dan diteliti.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Sejarah pembukuan hadis
2.
Urgensi pembukuan hadis
3.
Perintah Umar ibn ‘Abdul
‘Aziz untuk pembukuan hadis
4.
Mengapa Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz
mengkhususkan perintah tersebut kepada ibn Shihab?
5.
Proses pembukuan hadis
6.
Ulama’ yang berperan dalam
pembukuan hadis
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Pembukuan Hadith
Sebuah bencana yang besar
menimpa kaum muslimin, yaitu ketika masa amiru al-mu’minin ke-empat,
khalifah Ali ibn Abi Talib. Peta perpolitikan umat islam sangat kacau, belum
lagi memakan korban jiwa dan harta yang pastinya tidak sedikit.
Awalnya pihak yang bersekutu
hanya memperebutkan kekhalifahan saja. Tapi seiring berjalannya waktu, bergeser
ke ranah syari’ah dan ‘aqidah dengan membuat hadis maudu’
(palsu) dengan jumlah yang banyak. Tidak lain tujuannya hanyalah untuk
membenarkan ideologi dan golongan mereka.
Sejarah terus berjalan dan
semakin memprihatinkan dengan terbunuhnya Husain ibn Ali ibn Abi Thalib dalam peristiwa
Karbala[3].
Beban berat dipikul para sighoru al-tabi’in (sahabat kecil) sehingga
kebanyakan dari mereka mengambil sikap tidak mau menerima hadis baru.
Masa terus berlanjut sampai pada masa pemerintahan Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz[4]. Ide pembukuan hadis pertama-tama dicetuskan oleh khalifah Umar ibn Abdul Aziz[5]. Sebagai Khalifah pada masa itu beliau memandang perlu untuk membukukan hadis. Karena ia meyadari bahwa para perawi hadis semakin lama semakin banyak yang meninggal. Apabila hadis-hadis tersebut tidak dibukukan maka di khawatirkan akan lenyap dari permukaan bumi. Di samping itu, timbulnya berbagai golongan yang bertikai dalam persoalan kekhalifahan menyebabkan adanya kelompok yang membuat hadis maudu’ (palsu) untuk memperkuat pendapatnya. kebutuhan masyarakat luas untuk mengetahui hadis sudah tidak bisa dipungkiri.
Selain itu banyak dari
kalangan tabi’in yang meriwayatkan dengan ma’na, tentunya hal
tersebut banyak mengarah kepada kesalahan dalam memahami hadis tersebut[6]. Karenanya,
Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz merasa bahwa pembukuan hadis perlu dilakukan.
Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz
ditengarai menjadi seorang khalifah yang pertama kali ingin melakukan pembukuan
terhadap hadis. Ini bisa dikatakan sebagai periode awal pembukuan hadis secara
resmi.
Prof. Dr. Ahmad Muharram Sheikh
Naji menjelaskan dalam ensiklopedi hadis, Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz seakan-akan
menetapkan manhaj muhaddithin, yaitu memperhatikan pentingnya pemisahan
antara hadis nabi saw dan perkataan sahabat, serta fatwa dari para tabi’in.
Kemudian hendaknya bagi ahli hadis lebih sering membentuk sebuah majlis hadis,
tidak hanya menulis dan membukukan hadis saja.”[7]
Pentingnya pembukuan hadis
tersebut mengundang para ulama untuk ikut serta berperan dalam meneliti dan
menyeleksi dengan cermat kebenaran hadis-hadis. Dan penulisan hadis pada abad 2
H ini belum ada pemisahan antara hadis Nabi dengan ucapan sahabat maupun fatwa ‘ulama.
Kitab yang terkenal pada masa itu ialalah al-Muwatta karya Imam Malik ibn Anas
(w. 179).
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;
- PERKEMBANGAN HADIS PADA KE IV HIJRIYAH
- SUNAN ABU DAWUD
- PEMBUKUAN HADIS
- SEJARAH PENYUSUNAN KITAB SAHIH BUKHARI
- PERKEMBANGAN HADIS PADA MASA SAHABAT KECIL DAN TABI‘IN BESAR (40 H-AKHIR ABAD 1 H)
- SEJARAH PENYUSUNAN MUSNAD AHMAD BIN HANBAL
- PERKEMBANGAN HADIS PADA MASA KHULAFAUR RASYIDIN
B. Mengapa dibutuhkan pembukuan hadis?
Secara garis besar Prof. Dr. Ahmad Muharram Sheikh
Naji menjelaskan penyebab akan pentingnya perintah pembukuan hadis oleh Umar
ibn ‘Abdul ‘Aziz pada saat itu:
1.
Semakin banyak bermunculan
pemalsu hadis. Musuh-musuh Islam berusaha untuk menghancurkan Islam dari dalam,
oleh karenanya salah satu senjata yang bisa digunakan adalah dengan memalsukan hadis.
2.
Para sahabat dan tabi’in
sudah menyebar ke seluruh penjuru dunia. Oleh karenanya sangat perlu untuk
mengumpulkan apa yang sudah menyebar ini, yaitu dengan pembukuan hadis.
3.
Semakin luasnya wilayah kaum
muslimin serta banyaknya kaum yang sibuk dengan dunia, sehingga menyebabkan
melemahnya hafalan. Maka dibutuhkan pembukuan hadis untuk menghindari hilangnya
sunnah nabi.
C. Perintah Umar ibn ‘Abdul
‘Aziz untuk membukukan hadis:
Pada
masa pemerintahannya sebagai khalifah Bani Umayyah, Umar ibn ‘Abdul
‘Aziz memerintahkan kepada para ulama’ untuk membukukan hadis, diantaranya:
a)
Kepada ibn Shihab al-Zuhry
(51 - 124 H / 671 - 742 M) [8]
Ibn Hajar menjelaskan dalam Fath-nya bahwa ibn
Shihab adalah orang pertama yang membukukan hadis atas perintah Umar ibn Abdul
‘Aziz, sebagaimana dalam riwayat Muhammad ibn Hasan dari Malik: “Orang pertama
yang membukukan ilmu (hadis) adalah ibn Shihab al-Zuhry”.[9]
Ibnu Shihab berkata: “Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz
telah memerintahkan kepada kami untuk mengumpulkan hadis, lalu kami tulis
menjadi buku, dan kami kirimkan ke seluruh negara muslim”[10]
Untuk itu dia Az Zuhri menggunakan para ulama’ hadis
yang terkenal yaitu:
عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الْمُبَارَكِ[11]
يَقُولُ الإِسْنَادُ مِنَ الدِّينِ وَلَوْلاَ الإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
‘Abdullah ibn Mubarak berkata isnad itu bagian dari agama, sekiranya tidak ada isnad maka berkatalah siapa saja tentang apa saja.[12]
Al-Zuhri melaksanakan perintah itu dengan kecermatan yang
setinggi-tingginya, ditentukannya mana yang maqbul dan mana yang mardud.
Para ahli hadis menyatakan bahwa Az Zuhri telah menyelamatkan 90 hadis yang
tidak sempat diriwayatkan oleh perawi-perawi yang lain.
b)
Kepada Abu Bakr ibn Hazm[13]
Terdapat sebuah riwayat dari Muhammad ibn Hasan
dalam muwatha’ Imam Malik, Telah menceritakan kepada kami Yahya ibn
Said, bahwa Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz telah mengirim surat kepada Abu Bakar ibn
‘Amru ibn Hazm: “Telitilah pada hadis Rasulullah r, lalu tuliskanlah padaku.
Sesungguhnya aku takut akan kehilangan ilmu dan para ulama”.[14]
Imam Bukhari menuliskan hadis tersebut mu’allaqan
dengan lafadz yang lebih lengkap sebagai berikut:
وَكَتَبَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ
الْعَزِيزِ إِلَى أَبِى بَكْرِ بْنِ حَزْمٍ انْظُرْ مَا كَانَ مِنْ حَدِيثِ
رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَاكْتُبْهُ فَإِنِّى خِفْتُ دُرُوسَ
الْعِلْمِ وَذَهَابَ الْعُلَمَاءِ وَلاَ تَقْبَلْ إِلاَّ حَدِيثَ النَّبِىِّ صلى
الله عليه وسلم وَلْتُفْشُوا الْعِلْمَ وَلْتَجْلِسُوا حَتَّى يُعَلَّمَ مَنْ لاَ
يَعْلَمُ فَإِنَّ الْعِلْمَ لاَ يَهْلِكُ حَتَّى يَكُونَ سِرًّا
Umar ibn
‘Abdul Aziz menulis surat kepada Abi Bakr ibn Hazm: “Lihatlah kepada hadis
Rasulullah dan tulislah. Sesungguhnya aku takut akan hilangnya ilmu dan ulama’.
Dan janganlah terima sebuah hadis kecuali yang berasal dari Rasulullah saw.
Sebarkanlah ilmu dan buatlah majlis-majlis ilmu sampai orang yang tidak berilmu
menjadi berilmu. Sesunguhnya ilmu tidak akan musnah sampai menjadi rahasia
(orang bakhil akan ilmu).[15]
Dijelaskan pula oleh Imam Bukhari melalui riwayat
dari ‘Abdullah ibn Dinar bahwa Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz memerintahkan demikian,
hanya saja lafadznya sampai dengan ذهاب العلماء.
Dari beberapa riwayat tersebut dan beberapa
riwayat lain yang serupa, dapat kita pahami bahwa:
1.
Pada zaman kekhalifahan Umar
ibn ‘Abdul ‘Aziz merupakan pembukuan hadis secara resmi yang diperintahkan
langsung oleh khalifah saat itu.
2.
Perintah pembukuan hadis tidak
hanya terbatas kepada beberapa orang saja, melainkan kepada seluruh ulama’ di
dunia. Sehingga waktu itu merupakan masa dimana gairah dan semangat para ulama’
sangat bergelora untuk membukukan hadis.
3.
Setelah hadis dibukukan,
kemudian dikirim ke seluruh negara muslim.
4.
Pada masa tersebut para ulama
belum melakukan kritik terhadap derajat sebuah hadis.
D. Mengapa Umar ibn ‘Abdul
‘Aziz mengkhususkan perintah tersebut kepada ibn Shihab?
a)
Karena ibn Shihab adalah salah
seorang ulama’ yang sejak lama sangat memperhatikan pentingnya pembukuan hadis.
قال أبو الزناد: كنا نكتب الحلال
والحرام، وكان ابن شهاب يكتب كلما سمع، فلما احتيج إليه، علمت أنه أعلم الناس،
وبصر عيني به ومعه ألواح أو صحف، يكتب فيها الحديث، وهو يتعلم يومئذ.
Abu Zinad: “Dahulu kami
menulis tentang halal dan haram, sedangkan ibn Shihab menulis setiap apa yang
didengarnya. Maka apabila dibutuhkan, aku tau bahwa dia orang yang paling
berilmu. Dan dia melihat kepadaku, sedang bersamanya papan atau lembaran,
tempat dia menulis hadis. Pada waktu itu dia sedang belajar”.[16]
وعن أبي الزناد،
قال: كنت أطوف أنا والزهري ومعه الالواح والصحف فكنا نضحك به.
Dari Abi
Zinad berkata: “Suatu ketika aku sedang berthawaf, sedangkan ibn Shihab al-Zuhri
sedang membawa papan dan lembaran, maka kami menertawakannya”. [17]
b)
Selain itu ibn Shihab tidak
hanya memperhatikan hadis yang marfu’ kepada Rasulullah r saja,
melainkan juga hadis mauquf (hadis yang sampai kepada sahabat). Prof.
Dr. Khushu’i Khushu’i[18]
dalam tarikh sunan nubuwwah menjelaskan:[19]
وَأُخْبِرْتُ عَنْ عَبْدِ الرَّزَّاقِ
، قَالَ : قَالَ : أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ ، أَخْبَرَنِي صَالِحُ بْنُ كَيْسَانَ ،
قَالَ : " اجْتَمَعْتُ أَنَا وَالزُّهْرِيُّ ، وَنَحْنُ ، نَطْلُبُ الْعِلْمَ
فَقُلْنَا نَكْتُبُ السُّنَنَ قَالَ : وَكَتَبْنَا مَا جَاءَ عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ثُمَّ قَالَ نَكْتُبُ مَا جَاءَ عَنِ
الصَّحَابَةِ فَإِنَّهُ سَنَّةٌ ، قَالَ : قُلْتُ إِنَّهُ لَيْسَ بِسُنَّةٍ فَلا
نَكْتُبُهُ ، قَالَ : فَكَتَبَ وَلَمْ أَكْتُبْ فَأَنْجَحَ وَضَيَّعْتُ
Aku
telah mendapat kabar dari ‘Abdu al-Rozaq, telah memberi kabar kepadaku Ma’mar,
telah memberitakan kepadaku Salih ibn Kaisan, dia berkata: “Suatu ketika aku
bersama ibn Shihab al-Zuhry, pada waktu itu kami sedang belajar ilmu. Maka kami
berkata: “Kami menulis sunnah”. Dia berkata: “Dan kami menulis apa yang datang
dari Rasulullah r”. Ibn Shihab berkata: “Kami
(juga) menulis apa yang datang dari sahabat, karena itu sunnah”. Salih ibn
Kaisan berkata: “Itu bukan merupakan sunnah, maka kami tidak menulisnya”. Maka
ibn Shihab tetap menulisnya, sedangkan kami tidak. Dia memenangkannya sedangkan
aku kehilangan hadis-hadis tersebut.[20]
E. Proses pembukuan hadis
Amir al-Mu’minin fi al-Hadith,
Ibn Hajar al-Athqalany dalam Nukatnya membagi periode perkembangan ilmu hadis menjadi
3 periode:
1. Periode dimana para sahabat sedikit yang meriwayatkan hadis. Hal ini dikarenakan karena takut terjadi kesalahan atau lupa terhadap hadis rasul sehingga termasuk orang yang mendustakan hadis rasul. Oleh karenanya para sahabat, diantaranya: Abu Bakr, Umar, Ali, Ibnu Mas’ud dan Zubair Ibnu Awwam y sangat sedikit meriwayatkan hadis dan memperingatkan umat islam agar tidak banyak meriwayatkan hadis (jika tidak benar-benar hafal).
2.
Memastikan riwayat, baik
ketika mengambil riwayat maupun ketika meriwayatkan kepada orang lain.
3. Masa Pembukuan hadis[21]
Hal hampir senada juga
disampaikan oleh Prof. Dr. Yasir Shahatah Diyab yang mengatakan sejarah
pembukuan hadis dibagi menjadi tiga periode:
a)
Pembukuan hadis perorangan
yang dimulai pada zaman Nabi
b)
Pembukuan hadis resmi,
dimulai pada masa pemerintahan Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz
c)
Tasnif ‘ilmi buku hadis
dimulai abad 3
Beliau mengistilahkan pembukuan hadis pada abad
kedua dengan تدوين رسمي karena
melalui perintah langsung dari Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz. Maka para ulama’ memenuhi
perintah sang khalifah termasuk orang pertama yang membukukan hadis ibn Shihab
al-Zuhri (124 H). Tetapi pada tahun ini hanya sebatas pembukuan hadis tanpa
adanya tahqiq (kritisi terhadap derajat hadis).[22]
Sementara
Al-Hakami lebih cenderung mengelompokkan pembukuan hadis menurut metode yang
digunakan penulis[23]:
1.
Pembukuan hadis tanpa
memperhatikan urutan.
Hal ini terjadi pada awal abad pertama ketika
Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz mengirimkan surat kepada Abu Bakar ibn ‘Amru ibn Hazm.
2.
Pembukuan hadis dengan
memperhatikan urutan buku.
Beberapa ulama’ yang mempelopori pembukuan hadis
semacam ini adalah:
a)
Di Makkah: ‘Abdul Malik ibn
‘Abdul ‘Aziz ibn Jurayj
b)
Madinah: Imam Malik, Muhammad
ibn Ishaq dan ibn Abi Di’b
c)
Basrah: Rabi’ ibn Sabih,
Sa’id ibn Abi ‘Urubah dan Hammad ibn Salmah
d)
Kufah: Sufyan al-Thawri
e)
Yaman: Ma’mar ibn Rashid
f)
Khurrasan: ‘Abdullah ibn
Mubarak
3.
Pembukuan hadis marfu’
secara khusus. ‘Ubaidillah Musa al ‘Abbasy dan Na’im ibn Hammad al Khaza’i al-Misry
mengarang musnad. Kemudian diikuti Ahmad ibn Hanbal, Ishaq ibn Rahawiyah
dan Uthman ibn Shaibah.
4.
Pembukuan hadis sahih secara
khusus.
a)
Kutub sahih, seperti: Sahih
Bukhari dan Sahih Muslim
b)
Sunan, seperti: Sunan Abu Dawud,
Tirmidzi, Nasai dan ibn Majah
c)
Mustakhrajat, seperti:
· Mustakhraj Isma’ily, al-Barqany,
ibn Abi Dhihl, Abu Bakr Mardawih untuk sahih Bukhari.
·
Mustakhraj Abu ‘Awanah, ibn
Hamdan, ibn Naysabury untuk sahih Muslim.
F. Ulama’
yang berperan dalam pembukuan hadis
Mengutip perkataan Prof. Dr.
Ahmad Muharram Syeikh Naji dalam mausu’ah ulum al-Hadith al-Sharif:
“Telah muncul bintang pada masa itu, yaitu imam empat:
a.
Imam Abu Hanifah (w.150 H)
b.
Imam Malik (w.179 H)
c.
Imam Shafi’i (w.204 H)
d.
Imam Ahmad ibn Hanbal (w.241
H)
Meskipun sebagian besar hidup
Imam Ahmad pada abad 3 H. Selain itu juga muncul Sufyan ibn ‘Uyaynah, begitu
juga ibn Ishaq, Musa ibn ‘Uqbah, Shu’bah dan Tsawri. Seluruhnya layak mendapat
julukan amirul mu’minin fi al- hadis.”[24]
Di tempat lain, pada masa ini
muncul juga penghimpun hadis Rasulullah r antara lain:
·
Makkah - Ibn Juraij (tahun 80
- 150 H / 699 - 767 M)
·
Madinah - Ibn Ishaq (w. 150 H
/ 767 M)
·
Madinah - Sa'id ibn 'Arubah (w.
156 H / 773 M)
·
Madinah – Malik ibn Anas
(tahun 93 - 179 H / 712 - 798 M)
·
Yaman - Ma'mar al-Ardi (w. 152
H / 768 M)
·
Sham - Abu 'Amar al-Auza’i
(tahun 88 - 157 H / 707 - 773 M)
·
Kuffah – Sufyan al-Tsawri (w.
161 H / 778 M)
·
Basrah – Hammad ibn Salamah (w.
167 H / 773 M)
·
Khurrasan - 'Abdullah ibn
Mubarak (117 - 181 H / 735 - 798 M)
·
Wasith (Irak) – Hashim (tahun
95 - 153 H / 713 - 770 M)
· Jarir ibn 'Abdullah Hamid (tahun 110 - 188 H / 728 - 804 M)
BAB III
PENUTUP
1.
Tradisi menulis hadis memang
sudah ada sejak masa Rasulullah r, tapi bukan berarti para
sahabat sudah membukukannya pada waktu tersebut. Hal ini bisa kita lihat tidak
adanya hadis yang sudah dibukukan secara resmi saat itu.
2.
Kebutuhan akan pembukuan hadis
sangat berdampak pada perkembangan hazanah keilmuan muslim secara
keseluruhan. Terbukti dengan masuknya masa pembukuan hadis, semakin banyak
ulama’-ulama’ yang bermunculan sesuai bidang keilmuan yang dikuasainya.
3.
Ilmu hadis dari masa ke masa
selalu berkembang. Mulai dari hadis yang terucap dari lisan, hadis yang
dibukukan, sampai pada pengkhususan hadis-hadis tertentu pada pembukuan hadis
riwayah dan dirayah.
4.
Rasulullah r merupakan
uswah bagi seluruh umat Islam. Setiap ucapan dan tutur kata Nabi selalu menjadi
tumpuan perhatian para sahabat. Segala gerak-gerik Nabi menjadi contoh dan
pedoman hidup mereka. Para sahabat sangat memperhatikan perilaku Nabi dan
sangat memerlukan untuk mengetahui segala apa yang disabdakan Nabi.
5. Seorang khalifah (pemimpin) sepatutnya tidak hanya mengurusi masalah negara dan ekonomi semata, tapi juga harus memperhatikan sisi agamis dan rohani masyarakat yang dipimpinnya.
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;
- PANDANGAN IMAM SHAFI'I TERHADAP HADIS
- HADIS PADA MASA RASULULLAH
- IMAM MALIK IBN ANAS DAN KITAB AL-MUWATTA’
- SUNNAH ANTARA WAHYU ILAHI DAN IJTIHAD NABI SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP TASYRI’
- PEMIKIRAN K. H. MUHAMMAD AHMAD SAHAL MAHFUZ AL-HAJINI TENTANG HADIS
- MUHAMMAD NASIR AL-DIN AL-ALBANI
- KAJIAN HADIS DI INDIA
- STUDI KRITIS PEMIKIRAN IBN HAJAR AL-‘ASQALANI DALAM KAJIAN ILMU HADIS
- IMAM NAWAWI
- HADIS DALAM PANDANGAN SYAIKH NAWAWI AL-BANTANI
DAFTAR PUSTAKA
Al-Athqalani, Ibnu Hajar, Nukat ‘ala Kitabi ibn Solah
(Riyad: Dar al-Royah, Cetakan 3, 1994 M / 1415 H)
Al-Bar, Abu ‘Amru Yusuf ibn ‘Abdi, Jami’u bayan al-‘Ilm wa Fadlihi
(t.t.: Dar ibn al Jauzi, Cetakan 1, 1994 M / 1414 H)
Al-Bukhari, Imam Muhammad ibn Isma’il, al-Jami’ al-Musnad al-Sahih
al Mukhtasar min Umuri al-Rasulillah (Stuttgart – Germany: Jam’iyyah Maknaz
Islamy, 2000 M / 1421 H)
Al-Dhahabi, Shamsuddin, Sairu A’lami al-Nubala (t.t.: Muassasah
ar Risalah, Cetakan 2, 1982 M / 1402 H)
Diyab, Yasir Shahatah, “Tarikh ‘Ulum al-Sunnah wa Marahili
Ta’lifiha, dalam Mausu’ah Ulumi al-Hadith al-Sharif, ed. Mahmud Hamdi
Zaqzuq, et al. (Kairo: Majlis al-A’la Wizaratu al-Auqof
al-Masri, 2009 M / 1430 H)
Ghuddah, ‘Abdu al-Fattah Abu, Taujihu al-Nazar ila Usuli al-Athar
(Halab: Maktabah al-Matbu’ah al-Islamiyyah, Cetakan 1, 1995 M / 1416 H)
Al-Hakami, Syeikh Hafidz ibn Ahmad, Dalil Arbabi al-Falah li
Tahqiqi Fanni al-Ishtilah (Madinah: Maktabah al-Ghuraba’ al-Atsariyah,
Cetakan 1, 1993 M / 1414 H)
‘Itr, Nuruddin, Manhaju Naqd fi ulum al-Hadith (Suriah: Dar al-Fikr,
Cetakan 3, 1981 M / 1401 H)
Al-Khushu’i, al-Khushu’i al-Khushu’i Muhammad, Tarikh Sunnah
Nabawiyyah (Kairo: Diktat Kuliah Universitas al Azhar, 2009-2010 H)
Al-Ma’lami, ‘Abdurrahman ibn Yahya, al-Anwar al-Kashifah (Beirut: ‘Alamul Kutub, t.th.)
Malik, Imam, Muwatta’ (Stuttgart – Germany: Jam’iyyah Maknaz
Islamy, 2000 M / 1421 H)
Naji, Ahmad Muharram al-Sheikh, “Periode 2: Metode Ahli Hadith Masa
Tabi’in dan Setelahnya”, dalam Mausu’ah ‘Ulumi al-Hadith al-Syarif, ed.
Mahmud Hamdi Zaqzuq, et al. (Kairo:
Majlis al-A’la Wizaratu al-Auqof al-Masri, 2009 M / 1430 H)
Al-Qasimi, Jamaluddin, Qowa’idu Tahdith min Fununi Mustolahi al-Hadith
(t.t.: t.p., t.th.)
Al-Suyuti, Abu Bakar Jalaluddin, Tadrib al-Rawi (Riyad: Dar al-‘Asimah,
Cetakan I, 2003 H / 1434 H)
Al-Yamani, ‘Abdurrahman ibn Yahya al-Ma’lami, Al Anwar al
Kâsyifah (t.t.: t.p., t.th.)
[1] حَدَّثَنَا هَدَّابُ بْنُ خَالِدٍ
الأَزْدِىُّ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ
يَسَارٍ عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ
[2] Imam Muslim, Sahih Muslim
(Stuttgart – Germany: Jam’iyyah Maknaz Islamy, 2000 M / 1421 H), hlm. 1259, hadis
no. 7702.
[3] Tahun 61 H / 681 M
[4] Umar ibn ‘Abdul Aziz bergelar Umar II, lahir pada tahun 63 H / 682 M (umur 37–38 tahun) adalah khalifah Bani Umayyah yang berkuasa dari tahun 717 - 720 / 99 - 101 H (selama 2–3 tahun).
Umar ibn ‘Abdul Aziz merupakan keturunan Umar ibn
Khattab. Yaitu ketika Umar ibn khattab yang terkenal dengan kegiatannya beronda
pada malam hari di sekitar daerah
kekuasaannya, pada suatu malam ia mendengar kejujuran seorang anak perempuan
penjual susu yang menasehati ibunya agar tidak curang dalam dagangannya. Lalu
umar menangis dan ketika pulang ke rumahnya. Dia menyuruh anak lelakinya, Asim
untuk menikahi gadis tersebut. Sehingga melahirkan Laila, lalu Laila (Ummi
Ashim) menikah dengan ‘Abdul Aziz ibn Marwan seorang Gubernur Mesir di era
khalifah Abdul Malik ibn Marwan (685 – 705 M) yang merupakan kakaknya, lalu
mempunyai keturunan Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz.
[5] Abu Bakr Jalaluddin al-Suyuti, Tadrib
al-Rawi, Juz 1 (Riyadh: Daru al-‘Asimah, cet. I, 2003 H / 1434 H), hlm. 117.
[6] ‘Abdu al-Fattah Abu al-Ghuddah,
Taujihu al-Nazar ila Usuli al-Athar, Juz 2 (Halab: Maktabah al-Matbu’ah
al-Islamiyyah, Cet. 1, 1995 M / 1416 H), hlm. 789.
[7] Ahmad Muharram al-Sheikh Naji,
“Periode 2: Metode Ahli Hadith Masa Tabi’in dan Setelahnya”, dalam Mausu’ah
‘Ulumi al-Hadith al-Syarif, ed. Mahmud Hamdi Zaqzuq, et al. (Kairo: Majlis al-A’la Wizaratu al-Auqof
al-Masri, 2009 M / 1430 H), hlm. 849.
[8] Bernama lengkap Muhammad ibn
Muslim ibn ‘Ubaidillah ibn ‘Abdullah ibn Shihab
[9] Jamaluddin al-Qasimi, Qowa’idu
al-Tahdith min Fununi Mustolahi al-Hadith, Jilid 1 (t.t.: t.p., t.th.) hlm.
24.
[10] ‘Abdu al-Rahman ibn Yahya
al-Ma’lami al-Yamani, al-Anwar al-Kashifah (t.t.: t.p., t.th.) hlm. 240
[11] وَحَدَّثَنِى مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ قُهْزَاذَ مِنْ أَهْلِ مَرْوَ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَانَ بْنَ
عُثْمَانَ يَقُولُ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الْمُبَارَكِ
[12] Imam Muslim, Mukaddimah
Sahih Muslim, Bab al-Isnad min al-Din, Juz 1 (Stuttgart – Germany:
Jam’iyyah Maknaz Islamy, 2000 M / 1421 H), hlm. 10, hadis no. 32.
[13] Bernama lengkap Ibn Muhammad
ibn ‘Amru ibn Hazm al-Anshori.
[14] Hafidz ibn Ahmad Al-Hakami, Dalil
Arbabi al-Falah li Tahqiqi Fanni al-Ishtilah (Madinah: Maktabah al-Ghuraba’
al-Atsariyah, Cetakan 1, 1993 M / 1414
H), hlm. 4.
[15] Imam Bukhari, Sahih al-Bukhari,
Juz 1, Kitab ‘Ilm, Bab Bagaimana Hilangnya Ilmu (Stuttgart – Germany: Jam’iyyah
Maknaz Islamy, 2000 M / 1421 H), hlm. 28.
[16] Shamsuddin al-Dhahabi, Sairu
A’lamin Nubala, Juz 5 (t.t.: Muassasah ar Risalah, Cetakan 2, 1982 M / 1402
H), hlm. 332.
[17] Ibid. hlm. 332.
[18] Guru Besar Ilmu Hadith Universitas
Al Azhar
[19] Al-Khushu’i al-Khushu’i
Muhammad al-Khushu’i, Tarikh Sunnah Nabawiyyah (Kairo: Diktat
Universitas Al Azhar Mesir, t.th.), hlm. 283.
[20] Abu ‘Amru Yusuf ibn ‘Abdi al-Bar,
Jami’u Bayani al-‘Ilm wa Fadlihi, Juz 1 (t.t.: Dar ibn al Jauzi, Cetakan
1, 1994 M / 1414 H), hlm. 332.
[21] Ibnu Hajar al-Athqalani, Nukat
‘ala Kitabi ibn Solah, Jilid 1 (Riyadh: Dar Royah, t.th.), hlm. 11.
[22] Yasir Shahatah Diyab, “Tarikh
‘Ulum al-Sunnah wa Marahili Ta’lifiha, dalam Mausu’ah Ulumi al-Hadith al-Sharif,
ed. Mahmud Hamdi Zaqzuq, et al. (Mesir: Majlis A’la Wizaratu al-Auqof Masri), hlm.
192.
[23] Hafidz ibn Ahmad al-Hakami, Dalil
arbabi al-Falah li Tahqiqi Fanni al-istilah (Madinah: Maktabah al-Ghuraba’
al-Atsariyah, Cetakan 1, 1993 M / 1414
H), hlm. 4.
[24] Ahmad Muharram al-Sheikh Naji,
“Periode 2: Metode Ahli Hadith Masa Tabi’in dan Setelahnya”, dalam Mausu’ah
‘Ulumi al-Hadith al-Syarif, ed. Mahmud Hamdi Zaqzuq, et al. (Kairo: Majlis al-A’la Wizaratu al-Auqof
al-Masri, 2009 M / 1430 H), hlm. 850.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar