HOME

13 April, 2022

PEMBUKUAN HADIS

 

BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

           Al-Qur’an dan hadis merupakan sumber rujukan umat Islam dalam ibadah serta kehidupan kaum muslimin. Namun secara historis, perjalan hadis tidak semulus dengan perjalanan al Qur’an.

Jika al Qur’an sejak awal sudah diadakan pencatatan secara resmi oleh para pencatat wahyu atas petunjuk dari Nabi, maka tidak demikian halnya dengan hadis Nabi. Jika al Qur’an telah ada garansi dari Allah dan tidak ada keraguan di dalamnya, maka tidak demikian dengan hadis Nabi.

Hadis Nabi saw memang belum ditulis secara umum pada zaman Nabi masih hidup, karena ketika itu Al-Qur’an masih dalam proses diturunkan dan diurutkan. Bahkan Nabi melarang masyarakat umum dari menulis hadis, sebagaimana sabdanya:

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ[1] أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ لا تَكْتُبُوْا عَنِّيْ وَ مَنْ كَتَبَ عَنِّيْ غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ وَ حَدِّثُوْا عَنِّيْ وَ لا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

Dari Abu Sa’id al-Khudry t bahwasannya Rasulullah r bersabda: “Janganlah kalian menulis sesuatu pun dariku, barangsiapa yang telah menulis dariku selain Al-Qur’an hendaklah dia menghapusnya, dan beritakanlah hadis dariku, yang demikian tidak berdosa, namun barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaklah dia mengambil tempat duduknya dari api neraka.”[2]

Dalam hal pembukuan hadis, baru dilakukan sepeninggal Rasulullah r. Tentunya ini akan menjadi sasaran empuk bagi para musuh islam untuk menyerang dari belakang. Belum lagi ditambah dengan situasi politik yang cukup memprihatinkan pada masa khalifah Ali t dan setelahnya, yang menambah rancu keaslian hadis dengan hadirnya hadis-hadis maudu’ (palsu) yang tersebar luas dan dikonsumsi bebas oleh kaum muslimin.

Pun dengan metode apa yang layak digunakan untuk membukukan hadis. Sedangkan Rasulullah semasa hidupnya tidak pernah memerintahkan untuk menulis hadis, juga tidak pernah memberitau metode yang harus digunakan untuk menulis buku hadis.

Tentunya pembukuan hadis membutuhkan proses yang sangat panjang dan pastinya menjadi bahan yang sangat menarik untuk dibahas, dikaji dan diteliti.

 

B. RUMUSAN MASALAH

    1.      Sejarah pembukuan hadis

    2.      Urgensi pembukuan hadis

    3.      Perintah Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz untuk pembukuan hadis

    4.      Mengapa Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz mengkhususkan perintah tersebut kepada ibn Shihab?

    5.      Proses pembukuan hadis

    6.      Ulama’ yang berperan dalam pembukuan hadis



BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Pembukuan Hadith

Sebuah bencana yang besar menimpa kaum muslimin, yaitu ketika masa amiru al-mu’minin ke-empat, khalifah Ali ibn Abi Talib. Peta perpolitikan umat islam sangat kacau, belum lagi memakan korban jiwa dan harta yang pastinya tidak sedikit.

Awalnya pihak yang bersekutu hanya memperebutkan kekhalifahan saja. Tapi seiring berjalannya waktu, bergeser ke ranah syari’ah dan ‘aqidah dengan membuat hadis maudu’ (palsu) dengan jumlah yang banyak. Tidak lain tujuannya hanyalah untuk membenarkan ideologi dan golongan mereka.

Sejarah terus berjalan dan semakin memprihatinkan dengan terbunuhnya Husain ibn Ali ibn Abi Thalib dalam peristiwa Karbala[3]. Beban berat dipikul para sighoru al-tabi’in (sahabat kecil) sehingga kebanyakan dari mereka mengambil sikap tidak mau menerima hadis baru.

Masa terus berlanjut sampai pada masa pemerintahan Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz[4]. Ide pembukuan hadis pertama-tama dicetuskan oleh khalifah Umar ibn Abdul Aziz[5]. Sebagai Khalifah pada masa itu beliau memandang perlu untuk membukukan hadis. Karena ia meyadari bahwa para perawi hadis semakin lama semakin banyak yang meninggal. Apabila hadis-hadis tersebut tidak dibukukan maka di khawatirkan akan lenyap dari permukaan bumi. Di samping itu, timbulnya berbagai golongan yang bertikai dalam persoalan kekhalifahan menyebabkan adanya kelompok yang membuat hadis maudu’ (palsu) untuk memperkuat pendapatnya. kebutuhan masyarakat luas untuk mengetahui hadis sudah tidak bisa dipungkiri.

Selain itu banyak dari kalangan tabi’in yang meriwayatkan dengan ma’na, tentunya hal tersebut banyak mengarah kepada kesalahan dalam memahami hadis tersebut[6]. Karenanya, Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz merasa bahwa pembukuan hadis perlu dilakukan.

Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz ditengarai menjadi seorang khalifah yang pertama kali ingin melakukan pembukuan terhadap hadis. Ini bisa dikatakan sebagai periode awal pembukuan hadis secara resmi.

Prof. Dr. Ahmad Muharram Sheikh Naji menjelaskan dalam ensiklopedi hadis, Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz seakan-akan menetapkan manhaj muhaddithin, yaitu memperhatikan pentingnya pemisahan antara hadis nabi saw dan perkataan sahabat, serta fatwa dari para tabi’in. Kemudian hendaknya bagi ahli hadis lebih sering membentuk sebuah majlis hadis, tidak hanya menulis dan membukukan hadis saja.”[7]

Pentingnya pembukuan hadis tersebut mengundang para ulama untuk ikut serta berperan dalam meneliti dan menyeleksi dengan cermat kebenaran hadis-hadis. Dan penulisan hadis pada abad 2 H ini belum ada pemisahan antara hadis Nabi dengan ucapan sahabat maupun fatwa ‘ulama. Kitab yang terkenal pada masa itu ialalah al-Muwatta karya Imam Malik ibn Anas (w. 179).


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;

 

B. Mengapa dibutuhkan pembukuan hadis?

        Secara garis besar Prof. Dr. Ahmad Muharram Sheikh Naji menjelaskan penyebab akan pentingnya perintah pembukuan hadis oleh Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz pada saat itu:

    1.      Semakin banyak bermunculan pemalsu hadis. Musuh-musuh Islam berusaha untuk menghancurkan Islam dari dalam, oleh karenanya salah satu senjata yang bisa digunakan adalah dengan memalsukan hadis.

    2.      Para sahabat dan tabi’in sudah menyebar ke seluruh penjuru dunia. Oleh karenanya sangat perlu untuk mengumpulkan apa yang sudah menyebar ini, yaitu dengan pembukuan hadis.

    3.      Semakin luasnya wilayah kaum muslimin serta banyaknya kaum yang sibuk dengan dunia, sehingga menyebabkan melemahnya hafalan. Maka dibutuhkan pembukuan hadis untuk menghindari hilangnya sunnah nabi.

 

C. Perintah Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz untuk membukukan hadis:

    Pada masa pemerintahannya sebagai khalifah Bani Umayyah, Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz memerintahkan kepada para ulama’ untuk membukukan hadis, diantaranya:

    a)      Kepada ibn Shihab al-Zuhry (51 - 124 H / 671 - 742 M) [8]

Ibn Hajar menjelaskan dalam Fath-nya bahwa ibn Shihab adalah orang pertama yang membukukan hadis atas perintah Umar ibn Abdul ‘Aziz, sebagaimana dalam riwayat Muhammad ibn Hasan dari Malik: “Orang pertama yang membukukan ilmu (hadis) adalah ibn Shihab al-Zuhry”.[9]

Ibnu Shihab berkata: “Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz telah memerintahkan kepada kami untuk mengumpulkan hadis, lalu kami tulis menjadi buku, dan kami kirimkan ke seluruh negara muslim”[10]

Untuk itu dia Az Zuhri menggunakan para ulama’ hadis yang terkenal yaitu:

عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الْمُبَارَكِ[11] يَقُولُ الإِسْنَادُ مِنَ الدِّينِ وَلَوْلاَ الإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ

‘Abdullah ibn Mubarak berkata isnad itu bagian dari agama, sekiranya tidak ada isnad maka berkatalah siapa saja tentang apa saja.[12]

Al-Zuhri melaksanakan perintah itu dengan kecermatan yang setinggi-tingginya, ditentukannya mana yang maqbul dan mana yang mardud. Para ahli hadis menyatakan bahwa Az Zuhri telah menyelamatkan 90 hadis yang tidak sempat diriwayatkan oleh perawi-perawi yang lain.

 

    b)      Kepada Abu Bakr ibn Hazm[13]

Terdapat sebuah riwayat dari Muhammad ibn Hasan dalam muwatha’ Imam Malik, Telah menceritakan kepada kami Yahya ibn Said, bahwa Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz telah mengirim surat kepada Abu Bakar ibn ‘Amru ibn Hazm: “Telitilah pada hadis Rasulullah r, lalu tuliskanlah padaku. Sesungguhnya aku takut akan kehilangan ilmu dan para ulama”.[14]

 

Imam Bukhari menuliskan hadis tersebut mu’allaqan dengan lafadz yang lebih lengkap sebagai berikut:

وَكَتَبَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ إِلَى أَبِى بَكْرِ بْنِ حَزْمٍ انْظُرْ مَا كَانَ مِنْ حَدِيثِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَاكْتُبْهُ فَإِنِّى خِفْتُ دُرُوسَ الْعِلْمِ وَذَهَابَ الْعُلَمَاءِ وَلاَ تَقْبَلْ إِلاَّ حَدِيثَ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم وَلْتُفْشُوا الْعِلْمَ وَلْتَجْلِسُوا حَتَّى يُعَلَّمَ مَنْ لاَ يَعْلَمُ فَإِنَّ الْعِلْمَ لاَ يَهْلِكُ حَتَّى يَكُونَ سِرًّا

Umar ibn ‘Abdul Aziz menulis surat kepada Abi Bakr ibn Hazm: “Lihatlah kepada hadis Rasulullah dan tulislah. Sesungguhnya aku takut akan hilangnya ilmu dan ulama’. Dan janganlah terima sebuah hadis kecuali yang berasal dari Rasulullah saw. Sebarkanlah ilmu dan buatlah majlis-majlis ilmu sampai orang yang tidak berilmu menjadi berilmu. Sesunguhnya ilmu tidak akan musnah sampai menjadi rahasia (orang bakhil akan ilmu).[15]

 

Dijelaskan pula oleh Imam Bukhari melalui riwayat dari ‘Abdullah ibn Dinar bahwa Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz memerintahkan demikian, hanya saja lafadznya sampai dengan ذهاب العلماء.

Dari beberapa riwayat tersebut dan beberapa riwayat lain yang serupa, dapat kita pahami bahwa:

1.      Pada zaman kekhalifahan Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz merupakan pembukuan hadis secara resmi yang diperintahkan langsung oleh khalifah saat itu.

2.      Perintah pembukuan hadis tidak hanya terbatas kepada beberapa orang saja, melainkan kepada seluruh ulama’ di dunia. Sehingga waktu itu merupakan masa dimana gairah dan semangat para ulama’ sangat bergelora untuk membukukan hadis.

3.      Setelah hadis dibukukan, kemudian dikirim ke seluruh negara muslim.

4.      Pada masa tersebut para ulama belum melakukan kritik terhadap derajat sebuah hadis.

 

D. Mengapa Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz mengkhususkan perintah tersebut kepada ibn Shihab?

a)      Karena ibn Shihab adalah salah seorang ulama’ yang sejak lama sangat memperhatikan pentingnya pembukuan hadis.

قال أبو الزناد: كنا نكتب الحلال والحرام، وكان ابن شهاب يكتب كلما سمع، فلما احتيج إليه، علمت أنه أعلم الناس، وبصر عيني به ومعه ألواح أو صحف، يكتب فيها الحديث، وهو يتعلم يومئذ.

            Abu Zinad: “Dahulu kami menulis tentang halal dan haram, sedangkan ibn Shihab menulis setiap apa yang didengarnya. Maka apabila dibutuhkan, aku tau bahwa dia orang yang paling berilmu. Dan dia melihat kepadaku, sedang bersamanya papan atau lembaran, tempat dia menulis hadis. Pada waktu itu dia sedang belajar”.[16]

وعن أبي الزناد، قال: كنت أطوف أنا والزهري ومعه الالواح والصحف فكنا نضحك به.

Dari Abi Zinad berkata: “Suatu ketika aku sedang berthawaf, sedangkan ibn Shihab al-Zuhri sedang membawa papan dan lembaran, maka kami menertawakannya”. [17]

 

b)      Selain itu ibn Shihab tidak hanya memperhatikan hadis yang marfu’ kepada Rasulullah r saja, melainkan juga hadis mauquf (hadis yang sampai kepada sahabat). Prof. Dr. Khushu’i Khushu’i[18] dalam tarikh sunan nubuwwah menjelaskan:[19]

وَأُخْبِرْتُ عَنْ عَبْدِ الرَّزَّاقِ ، قَالَ : قَالَ : أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ ، أَخْبَرَنِي صَالِحُ بْنُ كَيْسَانَ ، قَالَ : " اجْتَمَعْتُ أَنَا وَالزُّهْرِيُّ ، وَنَحْنُ ، نَطْلُبُ الْعِلْمَ فَقُلْنَا نَكْتُبُ السُّنَنَ قَالَ : وَكَتَبْنَا مَا جَاءَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ثُمَّ قَالَ نَكْتُبُ مَا جَاءَ عَنِ الصَّحَابَةِ فَإِنَّهُ سَنَّةٌ ، قَالَ : قُلْتُ إِنَّهُ لَيْسَ بِسُنَّةٍ فَلا نَكْتُبُهُ ، قَالَ : فَكَتَبَ وَلَمْ أَكْتُبْ فَأَنْجَحَ وَضَيَّعْتُ

Aku telah mendapat kabar dari ‘Abdu al-Rozaq, telah memberi kabar kepadaku Ma’mar, telah memberitakan kepadaku Salih ibn Kaisan, dia berkata: “Suatu ketika aku bersama ibn Shihab al-Zuhry, pada waktu itu kami sedang belajar ilmu. Maka kami berkata: “Kami menulis sunnah”. Dia berkata: “Dan kami menulis apa yang datang dari Rasulullah r”. Ibn Shihab berkata: “Kami (juga) menulis apa yang datang dari sahabat, karena itu sunnah”. Salih ibn Kaisan berkata: “Itu bukan merupakan sunnah, maka kami tidak menulisnya”. Maka ibn Shihab tetap menulisnya, sedangkan kami tidak. Dia memenangkannya sedangkan aku kehilangan hadis-hadis tersebut.[20]

 

E. Proses pembukuan hadis

Amir al-Mu’minin fi al-Hadith, Ibn Hajar al-Athqalany dalam Nukatnya membagi periode perkembangan ilmu hadis menjadi 3 periode:

    1.      Periode dimana para sahabat sedikit yang meriwayatkan hadis. Hal ini dikarenakan karena takut terjadi kesalahan atau lupa terhadap hadis rasul sehingga termasuk orang yang mendustakan hadis rasul. Oleh karenanya para sahabat, diantaranya: Abu Bakr, Umar, Ali, Ibnu Mas’ud dan Zubair Ibnu Awwam y sangat sedikit meriwayatkan hadis dan memperingatkan umat islam agar tidak banyak meriwayatkan hadis (jika tidak benar-benar hafal).

    2.      Memastikan riwayat, baik ketika mengambil riwayat maupun ketika meriwayatkan kepada orang lain.

     3.      Masa Pembukuan hadis[21]

Hal hampir senada juga disampaikan oleh Prof. Dr. Yasir Shahatah Diyab yang mengatakan sejarah pembukuan hadis dibagi menjadi tiga periode:

    a)      Pembukuan hadis perorangan yang dimulai pada zaman Nabi

    b)      Pembukuan hadis resmi, dimulai pada masa pemerintahan Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz

    c)      Tasnif ‘ilmi buku hadis dimulai abad 3

 

Beliau mengistilahkan pembukuan hadis pada abad kedua dengan تدوين رسمي karena melalui perintah langsung dari Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz. Maka para ulama’ memenuhi perintah sang khalifah termasuk orang pertama yang membukukan hadis ibn Shihab al-Zuhri (124 H). Tetapi pada tahun ini hanya sebatas pembukuan hadis tanpa adanya tahqiq (kritisi terhadap derajat hadis).[22]

 

Sementara Al-Hakami lebih cenderung mengelompokkan pembukuan hadis menurut metode yang digunakan penulis[23]:

    1.      Pembukuan hadis tanpa memperhatikan urutan.

Hal ini terjadi pada awal abad pertama ketika Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz mengirimkan surat kepada Abu Bakar ibn ‘Amru ibn Hazm.

    2.      Pembukuan hadis dengan memperhatikan urutan buku.

Beberapa ulama’ yang mempelopori pembukuan hadis semacam ini adalah:

a)      Di Makkah: ‘Abdul Malik ibn ‘Abdul ‘Aziz ibn Jurayj

b)      Madinah: Imam Malik, Muhammad ibn Ishaq dan ibn Abi Di’b

c)      Basrah: Rabi’ ibn Sabih, Sa’id ibn Abi ‘Urubah dan Hammad ibn Salmah

d)     Kufah: Sufyan al-Thawri

e)      Yaman: Ma’mar ibn Rashid

f)       Khurrasan: ‘Abdullah ibn Mubarak

    3.      Pembukuan hadis marfu’ secara khusus. ‘Ubaidillah Musa al ‘Abbasy dan Na’im ibn Hammad al Khaza’i al-Misry mengarang musnad. Kemudian diikuti Ahmad ibn Hanbal, Ishaq ibn Rahawiyah dan Uthman ibn Shaibah.

     4.      Pembukuan hadis sahih secara khusus.

a)      Kutub sahih, seperti: Sahih Bukhari dan Sahih Muslim

b)      Sunan, seperti: Sunan Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai dan ibn Majah

c)      Mustakhrajat, seperti:

·    Mustakhraj Isma’ily, al-Barqany, ibn Abi Dhihl, Abu Bakr Mardawih untuk sahih Bukhari.

·         Mustakhraj Abu ‘Awanah, ibn Hamdan, ibn Naysabury untuk sahih Muslim.


F. Ulama’ yang berperan dalam pembukuan hadis

Mengutip perkataan Prof. Dr. Ahmad Muharram Syeikh Naji dalam mausu’ah ulum al-Hadith al-Sharif: “Telah muncul bintang pada masa itu, yaitu imam empat:

a.       Imam Abu Hanifah (w.150 H)

b.      Imam Malik (w.179 H)

c.       Imam Shafi’i (w.204 H)

d.      Imam Ahmad ibn Hanbal (w.241 H)

Meskipun sebagian besar hidup Imam Ahmad pada abad 3 H. Selain itu juga muncul Sufyan ibn ‘Uyaynah, begitu juga ibn Ishaq, Musa ibn ‘Uqbah, Shu’bah dan Tsawri. Seluruhnya layak mendapat julukan amirul mu’minin fi al- hadis.”[24]

Di tempat lain, pada masa ini muncul juga penghimpun hadis Rasulullah r antara lain:

·         Makkah - Ibn Juraij (tahun 80 - 150 H / 699 - 767 M)

·         Madinah - Ibn Ishaq (w. 150 H / 767 M)

·         Madinah - Sa'id ibn 'Arubah (w. 156 H / 773 M)

·         Madinah – Malik ibn Anas (tahun 93 - 179 H / 712 - 798 M)

·         Yaman - Ma'mar al-Ardi (w. 152 H / 768 M)

·         Sham - Abu 'Amar al-Auza’i (tahun 88 - 157 H / 707 - 773 M)

·         Kuffah – Sufyan al-Tsawri (w. 161 H / 778 M)

·         Basrah – Hammad ibn Salamah (w. 167 H / 773 M)

·         Khurrasan - 'Abdullah ibn Mubarak (117 - 181 H / 735 - 798 M)

·         Wasith (Irak) – Hashim (tahun 95 - 153 H / 713 - 770 M)

·         Jarir ibn 'Abdullah Hamid (tahun 110 - 188 H / 728 - 804 M)          

BAB III

PENUTUP

1.      Tradisi menulis hadis memang sudah ada sejak masa Rasulullah r, tapi bukan berarti para sahabat sudah membukukannya pada waktu tersebut. Hal ini bisa kita lihat tidak adanya hadis yang sudah dibukukan secara resmi saat itu.

2.      Kebutuhan akan pembukuan hadis sangat berdampak pada perkembangan hazanah keilmuan muslim secara keseluruhan. Terbukti dengan masuknya masa pembukuan hadis, semakin banyak ulama’-ulama’ yang bermunculan sesuai bidang keilmuan yang dikuasainya.

3.      Ilmu hadis dari masa ke masa selalu berkembang. Mulai dari hadis yang terucap dari lisan, hadis yang dibukukan, sampai pada pengkhususan hadis-hadis tertentu pada pembukuan hadis riwayah dan dirayah.

4.      Rasulullah r merupakan uswah bagi seluruh umat Islam. Setiap ucapan dan tutur kata Nabi selalu menjadi tumpuan perhatian para sahabat. Segala gerak-gerik Nabi menjadi contoh dan pedoman hidup mereka. Para sahabat sangat memperhatikan perilaku Nabi dan sangat memerlukan untuk mengetahui segala apa yang disabdakan Nabi.

5.      Seorang khalifah (pemimpin) sepatutnya tidak hanya mengurusi masalah negara dan ekonomi semata, tapi juga harus memperhatikan sisi agamis dan rohani masyarakat yang dipimpinnya.

 

BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;

DAFTAR PUSTAKA

Al-Athqalani, Ibnu Hajar, Nukat ‘ala Kitabi ibn Solah (Riyad: Dar al-Royah, Cetakan 3, 1994 M / 1415 H)

Al-Bar, Abu ‘Amru Yusuf ibn ‘Abdi, Jami’u bayan al-‘Ilm wa Fadlihi (t.t.: Dar ibn al Jauzi, Cetakan 1, 1994 M / 1414 H)

Al-Bukhari, Imam Muhammad ibn Isma’il, al-Jami’ al-Musnad al-Sahih al Mukhtasar min Umuri al-Rasulillah (Stuttgart – Germany: Jam’iyyah Maknaz Islamy, 2000 M / 1421 H)

Al-Dhahabi, Shamsuddin, Sairu A’lami al-Nubala (t.t.: Muassasah ar Risalah, Cetakan 2, 1982 M / 1402 H)

Diyab, Yasir Shahatah, “Tarikh ‘Ulum al-Sunnah wa Marahili Ta’lifiha, dalam Mausu’ah Ulumi al-Hadith al-Sharif, ed. Mahmud Hamdi Zaqzuq, et al. (Kairo: Majlis al-A’la Wizaratu al-Auqof al-Masri, 2009 M  / 1430 H)

Ghuddah, ‘Abdu al-Fattah Abu, Taujihu al-Nazar ila Usuli al-Athar (Halab: Maktabah al-Matbu’ah al-Islamiyyah, Cetakan 1, 1995 M / 1416 H)

Al-Hakami, Syeikh Hafidz ibn Ahmad, Dalil Arbabi al-Falah li Tahqiqi Fanni al-Ishtilah (Madinah: Maktabah al-Ghuraba’ al-Atsariyah, Cetakan 1, 1993 M  / 1414 H)

‘Itr, Nuruddin, Manhaju Naqd fi ulum al-Hadith (Suriah: Dar al-Fikr, Cetakan 3, 1981 M / 1401 H)

Al-Khushu’i, al-Khushu’i al-Khushu’i Muhammad, Tarikh Sunnah Nabawiyyah (Kairo: Diktat Kuliah Universitas al Azhar, 2009-2010 H)

Al-Ma’lami, ‘Abdurrahman ibn Yahya, al-Anwar al-Kashifah (Beirut: ‘Alamul Kutub, t.th.)

Malik, Imam, Muwatta’ (Stuttgart – Germany: Jam’iyyah Maknaz Islamy, 2000 M / 1421 H)

Naji, Ahmad Muharram al-Sheikh, “Periode 2: Metode Ahli Hadith Masa Tabi’in dan Setelahnya”, dalam Mausu’ah ‘Ulumi al-Hadith al-Syarif, ed. Mahmud Hamdi Zaqzuq, et al.  (Kairo: Majlis al-A’la Wizaratu al-Auqof al-Masri, 2009 M  / 1430 H)

Al-Qasimi, Jamaluddin, Qowa’idu Tahdith min Fununi Mustolahi al-Hadith (t.t.: t.p., t.th.)

Al-Suyuti, Abu Bakar Jalaluddin, Tadrib al-Rawi (Riyad: Dar al-‘Asimah, Cetakan I, 2003 H / 1434 H)

Al-Yamani, ‘Abdurrahman ibn Yahya al-Ma’lami, Al Anwar al Kâsyifah (t.t.: t.p., t.th.)



[1] حَدَّثَنَا هَدَّابُ بْنُ خَالِدٍ الأَزْدِىُّ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ

[2] Imam Muslim, Sahih Muslim (Stuttgart – Germany: Jam’iyyah Maknaz Islamy, 2000 M / 1421 H), hlm. 1259, hadis no. 7702.

[3] Tahun 61 H / 681 M

[4] Umar ibn ‘Abdul Aziz bergelar Umar II, lahir pada tahun 63 H / 682 M (umur 37–38 tahun) adalah khalifah Bani Umayyah yang berkuasa dari tahun 717 - 720 / 99 - 101 H (selama 2–3 tahun).

Umar ibn ‘Abdul Aziz merupakan keturunan Umar ibn Khattab. Yaitu ketika Umar ibn khattab yang terkenal dengan kegiatannya beronda pada malam  hari di sekitar daerah kekuasaannya, pada suatu malam ia mendengar kejujuran seorang anak perempuan penjual susu yang menasehati ibunya agar tidak curang dalam dagangannya. Lalu umar menangis dan ketika pulang ke rumahnya. Dia menyuruh anak lelakinya, Asim untuk menikahi gadis tersebut. Sehingga melahirkan Laila, lalu Laila (Ummi Ashim) menikah dengan ‘Abdul Aziz ibn Marwan seorang Gubernur Mesir di era khalifah Abdul Malik ibn Marwan (685 – 705 M) yang merupakan kakaknya, lalu mempunyai keturunan Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz.

[5] Abu Bakr Jalaluddin al-Suyuti, Tadrib al-Rawi, Juz 1 (Riyadh: Daru al-‘Asimah, cet. I, 2003 H / 1434 H), hlm. 117.

[6] ‘Abdu al-Fattah Abu al-Ghuddah, Taujihu al-Nazar ila Usuli al-Athar, Juz 2 (Halab: Maktabah al-Matbu’ah al-Islamiyyah, Cet. 1, 1995 M / 1416 H), hlm. 789.

[7] Ahmad Muharram al-Sheikh Naji, “Periode 2: Metode Ahli Hadith Masa Tabi’in dan Setelahnya”, dalam Mausu’ah ‘Ulumi al-Hadith al-Syarif, ed. Mahmud Hamdi Zaqzuq, et al.  (Kairo: Majlis al-A’la Wizaratu al-Auqof al-Masri, 2009 M  / 1430 H), hlm. 849.

[8] Bernama lengkap Muhammad ibn Muslim ibn ‘Ubaidillah ibn ‘Abdullah ibn Shihab

[9] Jamaluddin al-Qasimi, Qowa’idu al-Tahdith min Fununi Mustolahi al-Hadith, Jilid 1 (t.t.: t.p., t.th.) hlm. 24.

[10] ‘Abdu al-Rahman ibn Yahya al-Ma’lami al-Yamani, al-Anwar al-Kashifah (t.t.: t.p., t.th.) hlm. 240

[11] وَحَدَّثَنِى مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ قُهْزَاذَ مِنْ أَهْلِ مَرْوَ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَانَ بْنَ عُثْمَانَ يَقُولُ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الْمُبَارَكِ

[12] Imam Muslim, Mukaddimah Sahih Muslim, Bab al-Isnad min al-Din, Juz 1 (Stuttgart – Germany: Jam’iyyah Maknaz Islamy, 2000 M / 1421 H), hlm. 10, hadis no. 32.

[13] Bernama lengkap Ibn Muhammad ibn ‘Amru ibn Hazm al-Anshori.

[14] Hafidz ibn Ahmad Al-Hakami, Dalil Arbabi al-Falah li Tahqiqi Fanni al-Ishtilah (Madinah: Maktabah al-Ghuraba’ al-Atsariyah, Cetakan 1, 1993 M  / 1414 H), hlm. 4.

[15] Imam Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz 1, Kitab ‘Ilm, Bab Bagaimana Hilangnya Ilmu (Stuttgart – Germany: Jam’iyyah Maknaz Islamy, 2000 M / 1421 H), hlm. 28.

[16] Shamsuddin al-Dhahabi, Sairu A’lamin Nubala, Juz 5 (t.t.: Muassasah ar Risalah, Cetakan 2, 1982 M / 1402 H), hlm. 332.

[17] Ibid. hlm. 332.

[18] Guru Besar Ilmu Hadith Universitas Al Azhar

[19] Al-Khushu’i al-Khushu’i Muhammad al-Khushu’i, Tarikh Sunnah Nabawiyyah (Kairo: Diktat Universitas Al Azhar Mesir, t.th.), hlm. 283.

[20] Abu ‘Amru Yusuf ibn ‘Abdi al-Bar, Jami’u Bayani al-‘Ilm wa Fadlihi, Juz 1 (t.t.: Dar ibn al Jauzi, Cetakan 1, 1994 M / 1414 H), hlm. 332.

[21] Ibnu Hajar al-Athqalani, Nukat ‘ala Kitabi ibn Solah, Jilid 1 (Riyadh: Dar Royah, t.th.), hlm. 11.

[22] Yasir Shahatah Diyab, “Tarikh ‘Ulum al-Sunnah wa Marahili Ta’lifiha, dalam Mausu’ah Ulumi al-Hadith al-Sharif, ed. Mahmud Hamdi Zaqzuq, et al. (Mesir: Majlis A’la Wizaratu al-Auqof Masri), hlm. 192.

[23] Hafidz ibn Ahmad al-Hakami, Dalil arbabi al-Falah li Tahqiqi Fanni al-istilah (Madinah: Maktabah al-Ghuraba’ al-Atsariyah, Cetakan 1, 1993 M  / 1414 H), hlm. 4.

[24] Ahmad Muharram al-Sheikh Naji, “Periode 2: Metode Ahli Hadith Masa Tabi’in dan Setelahnya”, dalam Mausu’ah ‘Ulumi al-Hadith al-Syarif, ed. Mahmud Hamdi Zaqzuq, et al.  (Kairo: Majlis al-A’la Wizaratu al-Auqof al-Masri, 2009 M  / 1430 H), hlm. 850.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...