HOME

20 April, 2022

Biografi Ibn Hajar Al ‘Asqalani

Ibn Hajar memiliki peran aktif dalam perkembangan ulum al-hadith, karena selain membaca, meneliti dan mengamati kitab-kitab hadis para ulama sebelumnya, ia juga tak segan melancarkan kritik tajam jika dianggap hal tersebut kurang tepat, hal tersebut terangkum dalam kitabnya Nukat ala ibn al-Salah.

Selain ahli dalam ulum al-hadith, ibn Hajar juga mempunyai karya-karya yang fenomenal seperti Fath al-Bari, Nuzhatu al-Nazar, Bulughul Maram, Riyadu al-Salihin, Tahdhib al-Tahdhib, Taqrib al-Tahdhib dan masih banyak lagi. Berikut ini akan dijelaskan Biografi Ibn Hajar Al ‘Asqalani

1.      Lahir

Ibn Hajar bernama lengkap Shihabuddin Abu al-Fadl Ahmad ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn ‘Ali ibn Mahmud ibn Ahmad ibn Hajar al-Kinani, al-‘Asqalani al-Shafi‘i al-Misri.[1] Nenek moyangnya berasal dari ‘Asqalan, kota kuno yag terletak di pantai Suriah dan palestina, oleh karena itu ia bernisbah al-‘Asqalani.[2] Kunyahnya Abu al-Fadl, sedangkan laqabnya Shihabuddin dan lebih dikenal dengan ibn Hajar.[3]

Ibn Hajar dilahirkan pada bulan Sha‘ban tahun 773 H di tepi sungai Nil daerah Fustat. Mamun terkait dengan tanggal kelahirannya terdapat perbedaan pendapat, ada yang mengatakan 2[4] Sha‘ban, sedangkan yang lain berpendapat 12 Sha‘ban, 13 Sha‘ban dan 22[5] Sha‘ban.[6]

Ayahnya meninggal ketika ia masih berumur 4 tahun (777 H).[7] Lalu ia diasuh oleh Zakiyuddin al-Kharubi, seorang saudagar kaya raya.[8]

 

2.      Keilmuan

Ibn Hajar memulai pendidikan Alquran pada umur 5 tahun, dan menyelesaikan hafalannya pada umur 9 tahun. Pada umur 12 tahun (785 H), ia melakukan perjalan ke Makkah[9] bersama al-Kharubi[10]. Di Makkah ia mengkhatamkan ‘Umdatu al-Ahkam li al-Maqdisi di bawah asuhan al-Hafiz Abu Hamid ibn Zahir (w. 787 H)[11], Mukhtasar ibn Hajib fi al-Usul, Alfiyah al-‘Iraqi, Alfiyah ibn Malik, al-Tanbih fi Furu‘i al-Shafi‘iyyah li al-Shairazi dan lain-lain.[12] Ia juga mendengar periwayatan Sahih Bukhari oleh salah seorang ulama ternama di Hijaz. Pada tahun 793 H, muncullah kecintaan terhadap ilmu hadis, ia pun mendalami ilmu hadis dari para ahli hadis pada masanya. Salah satunya adalah Zainuddin al-‘Iraqi, dimana ia belajar dibawah asuhannya selama 10 tahun. Ia membacakan alfiyah kepada gurunya, serta sharhnya, serta membacakan nukat ‘ala ibn Salah (karyanya sendiri), serta beberapa kitab yang lain. Zainuddin al-iraqi pun orang pertama yang memberikan izin kepada ibn Hajar untuk mengajar Ulum al-Hadith (797 H).[13]

 

BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN :


3.      Perjalanan menuntut ilmu

Awal perjalanan ibn Hajar dimulai pada tahun 793 H ke daerah Sa‘id, Mesir. Disana ia belum mendalami hadis, namun hanya sekedar bertemu dengan para ulama dan ahli sastra Arab. Akhir tahun 797 H ia berkelana ke Iskandariah (Alexandrea). Tahun 799 H, ia pergi ke Yaman, kemudian menunaikan haji. Lalu ia kembali lagi ke Mesir. Tahun 802 ia pergi ke Suriah berkat anjuran dari gurunya ibn al-Jazari (w. 833 H). Tahun 806 ia pergi ke Yaman untuk kedua kalinya setelah meunaikan ibadah haji. Pada perjalanan inilah mendapat ujian, buku serta barang-barangnya tenggelam. Pada sekitar tahun 800 H – 824 H inilah ia sering melakukan perjalanan ke Hijaz, selain untuk haji juga untuk bertemu dengan para ulama, baik untuk belajar maupun untuk mengajar, serta memberikan beberapa karyanya. Tahun 836 ia melakukan perjalanan untuk kedua kalinya ke Suriah, selain mengambil manfaat (belajar) dari sekolah-sekolah disana, ia juga memberi manfaat (mengajar).[14]

 

4.      Kedudukan ibn Hajar

  Para ulama pada zamannya sepakat menjuluki beliau sebagai “al-Hafiz”, diantaranya adalah gurunya sendiri, yaitu al-‘Iraqi. Al-‘Iraqi mengatakan: “(ibn Hajar) adalah seorang Shaikh yang ‘alim, sempurna dan mempunyai keutamaan. Ia seorang ahli hadis, pemberi faedah yang sangat bagus, al-Hafiz yang mutqin, dabit (kuat), thiqah dan terpercaya”.

Sebelum al-‘Iraqi meninggal, ada seseorang yang bertanya kepadanya, “Siapa yang engkau angkat sebagai penggantimu setelah meninggal?”, beliau menjawab, “Ibn Hajar, kemudian anakku Abu Zur‘ah, kemudian al-Haithami.”

Al-‘Allamah al-Buqo’i, murid ibn Hajar berkata, “Beliau adalah Shaikhul Islam, hiasan manusia, bendera para Imam, bendera para ulama yang alim, awan bagi orang-orang yang mendapat hidayah dari pengikut para Imam, Hafiz di zamannya, ustadz di masanya, penguasanya para ulama dan raja para ahli fiqh.” [15]

 

5.      Guru-Guru

Ibn Hajar (w. 852 H) belajar dari ulama-ulama terkemuka pada zamannya, diantaranya:

a.       Zainuddin al-‘Iraqi, ibn Hajar belajar ulum al-hadith darinya selama 10 tahun.

b.      Al-Balqini, darinya ibn Hajar belajar fiqh madhhab Shafi‘i

c.       ibn al-Mulaqqin

d.      al-‘Izz ibn Jama‘ah dalam hadis dan fiqh.

e.       Al-Tanukhi dalam qira‘ah.  

f.       Muhibbuddin ibn Hisham dan Fairuz Abadi dalam lughah dan sarf.

g.      al-Shairazi

h.      al-Ghumari[16]

 

Imam Sakhawi menjelaskan dan menyebutkan dalam al-Jawahir wa al-Durar bahwa ibn Hajar memiliki banyak sekali guru, dan itu dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a.       Ibn Hajar mengambil riwayat dari shaikhnya dengan mendengar. Pada bagian ini jumlah guru ibn Hajar mencapai lebih dari 230, ditulis dan diurutkan oleh Sakhawi sesuai dengan huruf mu‘jam orang.

b.      Gurunya yang memberikan ijazah kepada ibn Hajar. Pada kelompok ini guru ibn Hajar mecapai lebih dari 220 orang, ditulis dan diurutkan oleh Sakhawi sesuai dengan huruf mu‘jam orang.

c.       Ibn Hajar mengambil dari shaikhnya dengan belajar langsung, membaca kitabnya, khutbah dan lain sebagainya. Pada bagian ini, jumlah gurunya mencapai lebih dari 180 orang, ditulis dan diurutkan oleh Sakhawi sesuai dengan huruf mu‘jam orang. Sehingga jika ditotal semua lebih dari 630 orang.[17]

 

6.      Murid

Imam Sakhawi telah menghitung dan menulis jumlah murid ibn Hajar (baik yang mengambil secara dirayah maupun riwayah) berjumlah 626 orang,[18] dan Imam Sakhawi adalah salah satunya.[19] Bahkan karena jumlah murid ibn Hajar sangat banyak, Shakir Mahmud ‘Abdul Mun‘im mengatakan bahwa ulama senior dari setiap madhhab dan benua merupakan murid dari ibn Hajar al-‘Asqalani.[20]

Dalam al-Jawahir wa al-Durar  Imam Sakhawi telah menulis murid-muridnya urut sesuai huruf mu‘jam, diantaranya adalah:

a.       Ibrahim ibn Ahmad ibn Hasan ibn Khalil al-‘Ajaluni

b.      Ibrahim ibn ‘Abdullah al-‘Iryani

c.       Ibrahim ibn Hasan ibn ‘Ali al-Jarahi

d.      Ibrahim ibn ‘Abdurrahman ibn Ahmad ibn Muhammad al-Ansari al-Khalili

e.       Ibrahim ibn ‘Ali bin Ahmad ibn Barakah

f.       Ibrahim ibn ‘Ali ibn Ahmad ibn Buraid al-Qadiri

g.      Ibrahim ibn ‘Ali Barakah ibn Sakhr al-Zuhri

h.      Ibrahim ibn ‘Ali bin Muhammad ibn Sulaiman dan masih banyak lagi.[21]

 

7.      Karya

Tahun 795 H ibn Hajar membuat menyelesaikan dua buah karyanya, yaitu Mukhtasar Talbis Iblis li ibn al-Jauzi dan Muqaddimah fi al-‘Arud (sharh dari al-Abyat al-‘Arudiyyah). Namun karya pertamanya yang sesungguhnya adalah Nazm al-Ali bi al-Mi’ah al-‘Awali pada tahun 796 H. Ibn Hajar adalah seorang ulama yang produktif menulis, bahkan Imam Sakhawi menyebut karyanya lebih dari 273 judul. Sementara ‘Abdu al-Sattar al-Shaikh menyebutkan karyanya mencapai 289 buah. Sedangkan Ahmad Shakir menyebut karyanya berjumlah 282 buah.[22]

Diantara karya beliau yang penting adalah:

a.       Fathu al-Bari Sharh Sahih al-Bukhari

b.      Tahdhib al-Tahdhib

c.       Lisan al-Mizan

d.      Al-Talkhis al-Habir

e.       Al-Durar al-Kaminah fi A‘yan al-Mi’ah al-Thaminah

f.       Nukhbatu al-Fikr

g.      Al-‘Ubab fi Bayani al-Asbab

h.      Shifa al-Ghilal fi Bayan al-‘Ilal

i.        Taghliq al-Ta‘liq

j.        Bulugh al-Maram

k.      Al-Isabah fi Tamyiz al-Sahabah

l.        Tahdhib al-Tahdhib

m.    Taqrib al-Tahdhib

n.      Al-Durar al-Kaminah

o.      Nuzhatu al-Nazar

p.      Nukat ala ibn al-Salah[23]  

 

8.      Istri dan anak

Al-Hafiz Ibnu Hajar menikah ketika berumur 25 tahun (798 H), dengan Uns, putri seorang hakim yang bernama Karimuddin ‘Abdul Karim ibn Ahmad ibn ‘Abdul ‘Aziz. Dari pernikahan ini, ibn Hajar dikaruniai beberapa anak perempuan, yaitu: Zain Khatun, Farhah, Ghalibah, Rabi‘ah dan Fatimah.

Istrinya yang lain adalah janda dari al-Zain Abi Bakr al-Amshati, dari pernikahan ini ibn Hajar dikaruniai dua anak perempuan.

 Kemudian menikah dengan, putri Mahmud ibn Tau‘an al-Halabiyyah, tetapi tidak dikaruniai anak dari pernikahan tersebut. Akhirnya anak yang ditunggu-tunggu pun lahir, tahun 815 lahir satu-satunya anak laki-laki, yang bernama Badruddin Abi al-Ma‘al Muhammad. Ibn Hajar sangat serius mendidik anaknya tersebut, sehingga ia mengarang kitab “Bulugh al-Maram min Adillati al-Ahkam”, sebagai bekal untuk anaknya di kemudian hari.[24]

 

9.      Meninggal

Ibn Hajar mulai merasakan sakit pencernaan pada bulan Dhulqo‘dah 852 H. Ia pun tetap menjalankan aktivitas mengajarnya. Namun penyakit tersebut semakin parah bahkan ketika buang air besar disertai dengan darah. Ibn Hajar pun tidak bisa melakukan shalat Idul Adha, padahal ia orang yang tidak pernah meninggalkan shalat jum’at ataupun shalat jama'ah. Semakin lama penyakitnya pun semakin memburuk, bahkan terpaksa shalat dengan duduk, tidak bisa melakukan qiyam lail. Kemudian ia beberapa kali terserang penyakit ayan (epilepsi / sawan). Para pemimpin, ulama, hakim dan pelajar banyak yang mengunjungi beliau guna mendo’akan. Namun pada malam sabtu 18 Dhulhijjah 852 H setelah shalat Isha, ibn Hajar menghembuskan nafas terakhirnya. Pada tanggal 19 Dhulhijjah sebelum shalat zuhur jenazahnya disholati oleh khalifah, petinggi-petinggi, ulama dan masyarakat.  Jenazah ibn Hajar dimakamkan di Qarafah, sekitar 50.000 orang hadir dalam pemakamannya. Bahkan umat Islam di Makkah, Baitul Maqdis, Suriah dan lain sebagainya melakukan shalat ghaib untuk beliau.[25]


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:


[1] Ibn Hajar, Hadyu al-Sari, Tahqiq: ‘Abdurrahman ibn Nasir al-Barrak (Riyad: Dar Tayyibah, 2005), 51. Lihat juga ibn Hajar, Bulugh al-Maram, Tahqiq: Shaikh ibn ‘Idrus al-‘Idrus (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 7.

[2] Imam Sakhawi, al-Jawahir wa al-Durar, Jilid 1 (Beirut: Dar ibn Hazm, 1999), 103.

[3] Ibn Hajar, Nuzhatu al-Nazar, Tahqiq: Nuruddin ‘Itr (Kairo: Dar al-Basair, 2011), 9.

[4] Ibn Hajar, Bulugh al-Maram, Tahqiq: Shaikh ibn ‘Idrus al-‘Idrus, 7.

[5] Imam Sakhawi, al-Jawahir wa al-Durar, Jilid 1, 104. Lihat juga: Ibn Hajar, Nuzhatu al-Nazar, Tahqiq: Nuruddin ‘Itr, 9.

[6] Ibn Hajar, Hadyu al-Sari, Tahqiq: ‘Abdurrahman ibn Nasir al-Barrak, 52.

[7] Ibn Hajar, Nuzhatu al-Nazar, Tahqiq: Nuruddin ‘Itr, 9.

[8] Ibn Hajar, Bulugh al-Maram, Tahqiq: Shaikh ibn ‘Idrus al-‘Idrus, 7.

[9] Ibn Hajar, Hadyu al-Sari, Tahqiq: ‘Abdurrahman ibn Nasir al-Barrak, 52.

[10] Ibn Hajar, Bulugh al-Maram, Tahqiq: Shaikh ibn ‘Idrus al-‘Idrus, 7.

[11] Ibn Hajar, Nuzhatu al-Nazar, Tahqiq: Nuruddin ‘Itr, 11.

[12] Ibn Hajar, Bulugh al-Maram, Tahqiq: Shaikh ibn ‘Idrus al-‘Idrus, 7.

[13] Ibn Hajar, Hadyu al-Sari, Tahqiq: ‘Abdurrahman ibn Nasir al-Barrak, 52.

[14] Ibid., 53.

[15] Ibn Hajar, Bulugh al-Maram, Terj.: Badru Salam (Bogor: Pustaka Ulil Albab, 2006), 1.

[16] Shakir Mahmud ‘Abdul Mun‘im, ibn Hajar al-‘Asqalani Musannafatuhu wa Dirasatun fi Manhajihi (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1997), 94. Lihat juga: Ibn Hajar, Bulugh al-Maram, Tahqiq: Shaikh ibn ‘Idrus al-‘Idrus, 8.  

[17] Imam Sakhawi, al-Jawahir wa al-Durar, Jilid 1, 200. Lihat juga: Shakir Mahmud ‘Abdul Mun‘im, ibn Hajar al-‘Asqalani Musannafatuhu wa Dirasatun fi Manhajihi, 93.

[18] Ibn Hajar, Hadyu al-Sari, Tahqiq: ‘Abdurrahman ibn Nasir al-Barrak, 54.

[19] Ibn Hajar, Bulugh al-Maram, Tahqiq: Shaikh ibn ‘Idrus al-‘Idrus, 8.

[20] Shakir Mahmud ‘Abdul Mun‘im, ibn Hajar al-‘Asqalani Musannafatuhu wa Dirasatun fi Manhajihi, 105.

[21] Imam Sakhawi, al-Jawahir wa al-Durar, Jilid 3, 1065.

[22] Ibn Hajar, Hadyu al-Sari, Tahqiq: ‘Abdurrahman ibn Nasir al-Barrak, 55.

[23] Imam Sakhawi, al-Jawahir wa al-Durar, Jilid 2, 659. Lihat juga: Ibn Hajar, Bulugh al-Maram, Terj.: Badru Salam, 2.

[24] Ibn Hajar, Bulugh al-Maram, Tahqiq: Shaikh ibn ‘Idrus al-‘Idrus, 8.

[25] Ibn Hajar, Hadyu al-Sari, Tahqiq: ‘Abdurrahman ibn Nasir al-Barrak, 56.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...