Pendahuluan
Dalam
Islam hadis merupakan sumber hukum
yang kedua setelah Alquran. Hadis memiliki kedudukan otoritatif
karena hukum Islam bersumber dari Allah Swt dan Rasulullah Saw. Hukum yang tak
bisa diputuskan melalui Alquran, bisa ditelusuri melalui hadis. Selain hadis
berfungsi sebagai rumusan hukum secara independen, hadis juga merupakan
interpretasi dari ayat-ayat Alquran.
Terdapat beberapa hadis yang terkesan menyudutkan dan merendahkan
kaum perempuan jika dipahami secara tekstual tanpa mengkompromikan dengan ayat
Alquran, hadis-hadis lain dan pemahaman para ulama. Hadis-hadis misoginis
tersebut sayangnya justru dipahami secara mentah oleh sebagian kalangan
konservatif dan dipahami terlalu lebar dan bebas oleh sebagian kelompok liberal
sehingga menjadi budaya yang mempengaruhi relasi gender.
Adalah bertolakbelakang dan berpunggungan antara kondisi
perempuan saat zaman jahiliyah dan pasca datangnya Islam. Perempuan -yang
selama cahaya Islam belum terbit- merasakan ketertindasan, diskriminasi,
kelaliman di tangan kaum pria yang tak mengerti tujuan diciptakannya perempuan.
Perempuan adalah makhluk yang istimewa dan diperlakukan
oleh Allah Swt dan Rasulullah Saw sebagaimana semestinya. Adapun ayat Alquran
dan hadis misoginis yang ada, tentu membutuhkan pemahaman yang matang supaya
tidak terjadi kekeliruan dalam menginterpretasikan ayat Alquran dan hadis
misoginis.
Di antara hadis misoginis yang penulis paparkan dalam makalah ini adalah hadis yang menyebutkan bahwa perempuan memiliki kekurangan dalam akal dan agamanya dibandingkan laki-laki, sehingga mereka menjadi mayoritas penghuni neraka.
Arti Kata Misoginis
Misoginis
berasal dari kata bahasa Inggris Misoginy, dalam Kamus Inggris
Indonesia kata tersebut berarti kebencian terhadap wanita.[1]
Hadis-hadis misoginis merupakan hadis-hadis yang secara tekstual dan kasat mata
terkesan menyudutkan dan merendahkan hakikat perempuan, baik dalam penciptaan,
perlakuan, hak dan kewajiban.
Sebenarnya
kajian perihal hadis-hadis misoginis ini sudah ada, seperti Wanita di dalam
Islam yang ditulis oleh Fatima Mernissi dan dicetak pada tahun 1991. Nur
Khoirin juga telah menulis Telaah Otentisitas Hadis-hadis Misoginis pada
tahun 2000.[2]
Perempuan di Zaman Jahiliyah
Masa
jahiliyah adalah masa di mana kelaliman dan kesewenang-wenangan kaum borjuis
berada pada titik puncaknya. Hubungan antara kelompok elit dan bawahan sangat
berjarak. Kemiskinan dan perbudakan menjadi sebuah tradisi yang terus
diabadikan oleh kaum elit kepada kaum bawahan. Kesyirikan yang menjadi
kezaliman utama seakan tak menemui titik tepi. Di antara kebusukan masa
jahiliyah yang disebutkan Alquran adalah mengubur hidup-hidup bayi atau anak
perempuan. Masyarakat Quraisy sangat malu dan menganggap aib bila mereka
memiliki anak perempuan.[3]
Pada
masa jahiliyah, setiap kali seorang ayah diberitahu tentang kelahiran anak
perempuan, ia langsung bermuka masam dengan wajah merah-padam karena malu.
Sampai-sampai ia harus memilih antara bunuh diri atau menanggung aib seumur
hidupnya. Perempuan seolah menjadi momok dan aib yang mencoreng kehormatan kaum
laki-laki.[4] Surat al-Nahl ayat 58-59 menyatakan hal tersebut:
وَاِذَا بُشِّرَ اَحَدُهُمْ بِالْاُنْثٰى ظَلَّ وَجْهُهٗ
مُسْوَدًّا وَّهُوَ كَظِيْمٌۚ
يَتَوٰرٰى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوْۤءِ مَا بُشِّرَ بِهٖۗ
اَيُمْسِكُهٗ عَلٰى هُوْنٍ اَمْ يَدُسُّهٗ فِى التُّرَابِۗ اَلَا سَاۤءَ مَا
يَحْكُمُوْنَ
“Dan
apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan,
hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan Dia sangat marah. Ia Menyembunyikan
dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan
kepadanya. Apakah Dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah
akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ? Ketahuilah, Alangkah
buruknya apa yang mereka tetapkan itu.”[5]
Selain itu, dalam kebiasan masyarakat jahiliyah perempuan
tidak memiliki hak sedikitpun mendapatkan harta warisan. Menurut mereka harta
warisan tidak berguna sama sekali bagi perempuan dan yang berhak menerima harta
warisan adalah hanya laki-laki.[6]Adat yang demikian hampir mirip dengan adat bangsa-bangsa
lain seperti India, Cina, Barbar dan Eropa yang melarang perempuan mendapatkan
harta warisan. Hanya Yunani yang memperbolehkan perempuan menjadi ahli waris
dengan syarat tidak ada anggota keluarga lelaki yang menjadi ahli waris.[7]
Mengenai mahar, kebiasan masyarakat jahiliyah juga sangat
tidak memihak kaum perempuan. Mahar yang diberikan kepada perempuan diambil
oleh walinya baik itu bapaknya, saudaranya, atau keluarganya yang menjadi wali
nikahnya.[8]
Perempuan Pasca Datangnya Islam
Salah satu faktor suksesnya dakwah Rasulullah Saw karena
ajaran-ajaran yang dibawa olehnya adalah ajaran yang berisi tentang pembebasan
dari berbagai penindasan. Kemerdekaan pada saat –masa jahiliyah- itu hanya
dinikmati oleh kaum borjuis yang memiliki harta dan tahta. Perempuan salah satu
kaum yang tidak mendapatkan kemerdekaannya. Perempuan harus tunduk pada
struktur masyarakat dan tunduk pada suami dalam kehidupan rumah tangga. Oleh
karenya, tidak heran bila Islam menjadi angin segar dan segelas air dingin di
tengan padang pasir yang kering kerontang.[9]
Islam datang menghapus dan mengganti kebiasaan jahiliyah
dalam memperlakukan perempuan dengan semena-mena. Islam melarang dengan tegas
tentang pembunuhan bayi atau anak dengan alasan apapun, sebagaimana yang
difirmankan Allah dalam surat al-An’am ayat 151:
قُلْ تَعَالَوْا
اَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ اَلَّا تُشْرِكُوْا بِهٖ شَيْـًٔا
وَّبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًاۚ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَوْلَادَكُمْ مِّنْ
اِمْلَاقٍۗ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَاِيَّاهُمْ ۚوَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا
ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَۚ وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ
اللّٰهُ اِلَّا بِالْحَقِّۗ ذٰلِكُمْ وَصّٰىكُمْ بِهٖ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ
“Katakanlah:
"Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu Yaitu:
janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap
kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut
kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah
kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya
maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu
yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).”[10]
Berbicara tentang harta warisan, Islam memberikan hak
perempuan untuk mendapatkan warisan dari pewarisnya. Dalam surat al-Nisa ayat 7
Allah Swt dengan tegas memastikan bahwa perempuan memiliki hak waris dari
pewarisnya:
لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدٰنِ
وَالْاَقْرَبُوْنَۖ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدٰنِ وَالْاَقْرَبُوْنَ
مِمَّا قَلَّ مِنْهُ اَوْ كَثُرَ ۗ نَصِيْبًا مَّفْرُوْضًا
“Bagi orang laki-laki ada hak
bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita
ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik
sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”[11]
Islam juga menjawab perihal mahar bagi kaum perempuan.
Mahar adalah hak yang diterima seorang perempuan dan ia berhak pula menggunakan
mahar tersebut untuk apapun. Islam tidak mengharuskan perempuan menyerahkan
seluruh maharnya kepada walinya atau kerabat terdekat yang menjadi wali. Hal
ini dijelaskan pada surat al-Nisa ayat 4:
وَاٰتُوا
النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۗ فَاِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ
نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْۤـًٔا مَّرِيْۤـًٔا
“Berikanlah
maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”[12]
Berikut hadis-hadis tentang kemuliaan perempuan:
أَنَّ جَاهِمَةَ جَاءَ
إِلَى النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَدْتُ أَنْ
أَغْزُوَ وَقَدْ جِئْتُ أَسْتَشِيرُكَ فَقَالَ هَلْ لَكَ مِنْ أُمٍّ قَالَ نَعَمْ
قَالَ فَالْزَمْهَا فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلَيْهَا
“Sesungguhnya
Jahima mendatangi Nabi Saw dan bertanya: Rasulullah, aku ingin berperang dan
aku ingin meminta pendapatmu. Rasulullah Saw bertanya balik kepadanya: Apakah
kamu masih punya ibu? Ia menjawab: Ya, masih. Rasulullah Saw bersabda:
Pulanglah dan rawatlah Ibumu sesungguhnya surga ada di telapak kakinya.”[13]
جَاءَ
رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
مَنْ أَحَقُّ بِحُسْنِ صَحَابَتِى قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ أُمُّكَ
قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ
“Seseorang
mendatangi Rasulullah Saw dan berkata: Rasulullah, siapa yang paling berhak aku
layani? Rasulullah Saw menjawab: Ibumu. Ia bertanya lagi: Lalu siapa?
Rasulullah menjawab: Ibumu. Ia bertanya lagi: Lalu siapa? Rasulullah menjawab:
Ibumu. Ia bertanya lagi: Lalu siapa? Rasulullah menjawab: Bapakmu.”[14]
Hadis-Hadis Misoginis
لَوْ أَمَرْتُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ
لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا وَلَوْ أَنَّ رَجُلاً أَمَرَ
امْرَأَةً أَنْ تَنْقُلَ مِنْ جَبَلٍ أَحْمَرَ إِلَى جَبَلٍ أَسْوَدَ وَمِنْ
جَبَلٍ أَسْوَدَ إِلَى جَبَلٍ أَحْمَرَ لَكَانَ نَوْلُهَا أَنْ تَفْعَلَ
“Andaikan aku
perintahkan seseorang untuk bersujud pada orang lain, niscaya kuperintahkan
perempuan untuk bersujud kepada suaminya. Dan seandainya seorang laki-laki
memerintahkan istrinya memindah gunung Ahmar ke gunung Aswad, lalu sebaliknya,
maka istri harus melakukannya.”[15]
إِذَا
دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ
عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Jika seorang
lelaki mengajak istrinya ke tempat tidur (bersenggama), kemudian sang istri
enggan memenuhi ajakannya, lalu suami merasa kecewa hingga tertidur, Maka
sepanjang malam itulah malaikat melaknat istri hingga datang waktu subuh.”[16]
لَنْ
يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً
“Suatu kaum
tidak akan sukses jika dipimpin oleh perempuan.”[17]
لاَ
تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Seorang
perempuan tidak boleh berpuasa tatkala suaminya berada di rumah kecuali dengan
izinnya.”[18]
يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ وَأَكْثِرْنَ
الاِسْتِغْفَارَ فَإِنِّى رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ فَقَالَتِ
امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ جَزْلَةٌ وَمَا لَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ
قَالَ تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ وَمَا رَأَيْتُ مِنْ
نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَغْلَبَ لِذِى لُبٍّ مِنْكُنَّ قَالَتْ يَا رَسُولَ
اللَّهِ وَمَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ وَالدِّينِ قَالَ أَمَّا نُقْصَانُ الْعَقْلِ
فَشَهَادَةُ امْرَأَتَيْنِ تَعْدِلُ شَهَادَةَ رَجُلٍ فَهَذَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ
وَتَمْكُثُ اللَّيَالِىَ مَا تُصَلِّى وَتُفْطِرُ فِى رَمَضَانَ فَهَذَا نُقْصَانُ
الدِّينِ
“Hai kaum perempuan, bersedekahlah dan perbanyaklah
memohon ampunan karena aku melihat kalian menjadi mayoritas penduduk neraka.
Lalu salah seorang perempuan di antara mereka yang cerdas bertanya: “Wahai
Rasulullah, mengapa kami menjadi penduduk mayoritas di neraka?” Rasulullah Saw
menjawab: “Kalian sering melaknat dan tidak berterima kasih atas kebaikan suami
dan tidak kutemukan perempuan-perempuan yang kurang akal dan agamanya mampu
melumpuhkan hati seorang laki-laki yang tegas melebihi salah seorang dari kalian.” Perempuan yang cerdas itu bertanya lagi:
“Apa maksud dari kekurangan akal dan agama, wahai Rasulullah Saw?” Rasulullah
Saw menjawab: “Adapun kekurangan akal adalah persaksian dua orang perempuan
sama dengan persaksian seorang laki-laki, inilah yang dimaksud kurang akal. Dan
perempuan itu (haid) berhari-hari dengan meninggalkan salat dan tidak berpuasa
di bulan Ramadan, inilah maksud dari kekurangan agama itu.”[19]
Mengkaji
Hadis Misoginis “Kekurangan; Kodrat Perempuan”
Jika
dipahami secara tekstual dan mentah, kita akan mendapati sebuah hadis yang
menjelaskan perempuan memiliki beberapa kekurangan dibandingkan laki-laki.
Perempuan mempunyai kekurangan akal dan agamanya. Hadis tersebut sangat
menyudutkan dan merendahkan martabat perempuan. Namun bila
dikaji secara konverhensif dan teliti, kita akan mengetahui intisari hadis
tersebut.
Matan
Hadis
Matan
hadis yang menjelaskan tentang kurangnya akal dan agama perempuan dan kesaksian
perempuan yang dinilai lemah, setelah penulis lacak melalui Mausu’at
al-Hadith al-Sharif milik Jam’iyah al-Maknaz al-Islami versi
digital, terdapat beberapa riwayat di antaranya riwayat al-Bukhari, Muslim bin al-Hajjaj,
Abu Dawud, al-Tirmidhi, Ibn Majah dan Ahmad bin Hanbal. Berikut matan hadis
tersebut:
يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ وَأَكْثِرْنَ
الاِسْتِغْفَارَ فَإِنِّى رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ فَقَالَتِ
امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ جَزْلَةٌ وَمَا لَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ
قَالَ تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ وَمَا رَأَيْتُ مِنْ
نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَغْلَبَ لِذِى لُبٍّ مِنْكُنَّ قَالَتْ يَا رَسُولَ
اللَّهِ وَمَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ وَالدِّينِ قَالَ أَمَّا نُقْصَانُ الْعَقْلِ
فَشَهَادَةُ امْرَأَتَيْنِ تَعْدِلُ شَهَادَةَ رَجُلٍ فَهَذَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ
وَتَمْكُثُ اللَّيَالِىَ مَا تُصَلِّى وَتُفْطِرُ فِى رَمَضَانَ فَهَذَا نُقْصَانُ
الدِّينِ
“Hai kaum perempuan, bersedekahlah dan
perbanyaklah memohon ampunan karena aku melihat kalian menjadi mayoritas
penduduk neraka. Lalu salah seorang perempuan di antara mereka yang cerdas
bertanya: “Wahai Rasulullah, mengapa kami menjadi penduduk mayoritas di
neraka?” Rasulullah Saw menjawab: “Kalian sering melaknat dan tidak berterima
kasih atas kebaikan suami dan tidak kutemukan perempuan-perempuan yang kurang
akal dan agamanya mampu melumpuhkan hati seorang laki-laki yang tegas
melebihi salah seorang dari kalian.” Perempuan yang cerdas
itu bertanya lagi: “Apa maksud dari kekurangan akal dan agama, wahai Rasulullah
Saw?” Rasulullah Saw menjawab: “Adapun kekurangan akal adalah persaksian dua
orang perempuan sama dengan persaksian seorang laki-laki, inilah yang dimaksud
kurang akal. Dan perempuan itu (haid) berhari-hari dengan meninggalkan salat
dan tidak berpuasa di bulan Ramadan, inilah maksud dari kekurangan agama itu.”[20]
Sanad Hadis
Di antara riwayat-riwayat tersebut hanya al-Bukhari yang
melalui jalur Abu Sa’id al-Khudri, al-Tirmidhi melalui jalur sahabat Abu Hurairah,
sedangkan selain al-Tirmidhi melalui ‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khattab.
Berikut penulis paparkan skema atau bagan sanad hadis untuk memudahkan pembaca untuk mengkaji sanad hadis tersebut:
Dalam skema tersebut ada tiga sahabat nabi yang meriwayatkan hadis tentang kekurangan sebagai kodrat perempuan, yaitu Abu Sa’id al-Khudri, ‘Abdullah bin ‘Umar dan Abu Hurairah. Sahabat nabi dalam ilmu hadis dimasukkan dalam kategori ‘adl dan tak perlu lagi dilacak dan diragukan periwayatannya karena sebuah kaedah al-Sahabah kulluhum ‘udul. Ibn Hajar menempatkan sahabat nabi pada peringkat pertama dalam klasifikasi ilmu ta’dil para perawi hadis.[21]
Untuk melacak dan mendeteksi para
perawi hadis di atas, penulis merujuk ke kitab karya Ibn Hajar al-Asqalani
yaitu Taqribu al-Tahdhib. Al-Bukhari memiliki rawi Sa’id bin
Abi maryam, Muhammad bin Ja’far, Zaid bin Aslam, dan ‘Iyad bin ‘Abdillah. Ahmad
bin Hanbal, Muslim, Ibn Majah dan Abu Dawud meriwayatkan hadis tersebut melalui
3 rawi teratas yang sama yaitu ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Abdullah bin Dinar dan
Yazid bin al-Had. ‘Abdullah bin Dinar al-Adawi merupakan maula ‘Abdullah
bin ‘Umar (3300). Ia
dinilai thiqah (peringkat ke-3).[22] Adapun Yazid bin ‘Abdullah bin
Usamah bin al-Had al-Laithi (7737), thiqah (peringkat ke-3).[23]
Berikut rincian strata tingkatan
para perawi menurut Ibn Hajar dalam ilmu ta’dil:
A. Riwayat al-Bukhari
1.
‘Iyad bin
‘Abdillah bin Sa’ad bin Abi Sarh (5277), thiqah (peringkat ke-3).[24]
2.
Zaid bin Aslam
al-‘Adawi (2117), thiqah (peringkat-3).[25]
3.
Muhammad bin
Ja’far[26]
4.
Sa’id bin al-Hakam
bin Muhammad bin Salim bin Abi Maryam al-Jumahi (2286), thiqah thabat
(peringkat ke-2).[27]
B.
Riwayat Ahmad bin Hanbal
1.
Haiwah bin Shuraih bin Safwan al-Tujibi (1600), thiqah
thabat (peringkat ke-2).[28]
2.
‘Abdullah bin Wahb bin Muslim al-Qurashi (3694), thiqah
hafidz ‘abid (peringkat ke-2).[29]
3.
Harun bin Ma’ruf al-Maruzi (7242), thiqah
(peringkat ke-2).[30]
C.
Riwayat Muslim dan Ibn Majah
1.
al-Laith bin Sa’ad bin ‘Abd al-Rahman al-Fahmi (5684), thiqah
thabat (peringkat ke-2).[31]
2.
Muhammad bin Rumah bin al-Muhajir (5881), tsiqah
thabat (peringkat ke-2).[32]
D. Riwayat Abu Dawud
1.
Bakr bin Mudar bin Muhammad bin Hakim al-Misri (751), thiqah
thabat (peringkat ke-2).[33]
2.
‘Abdullah bin Wahb bin Muslim al-Qurashi (3694), thiqah
hafidz ‘abid (peringkat ke-2).[34]
3.
Ahmad bin ‘Amr bin ‘Abdillah bin ‘Amr bin Sarh (85), thiqah
(peringkat ke-3).[35]
E.
Riwayat al-Tirmidhi
1.
Dhakwan Abu Salih al-Samman al-Zayyat (1841), thiqah
thabat (peringkat ke-2).[36]
2.
Suhail bin Abi Salih (2675), saduq (peringkat
ke-5) dan hafalannya berubah di akhir hidupnya.[37]
3.
‘Abd al-Aziz bin Muhammad bin ‘Ubaid al-Darawardi (4119),
saduq (peringkat ke-5) dan ia meriwayatkan dari kitab ulama lain dengan
banyak kesalahan.[38]
4.
Huraim bin Mis’ar al-Azdi (7281), maqbul
(peringkat ke-6).[39]
Sesuai dengan penilaian Ibn Hajar
al-Asqalani, peringkat para perawi hadis di atas berkisar pada peringkat ke-2,
ke-3, ke-5 dan ke-6. Peringkat ke-2 merupakan tingkat tertinggi setelah sahabat
nabi, biasanya memakai isim tafdil seperti authaq atau bersifat
positif ganda semisal thiqah thabat. Adapun peringkat ke-3 hanya berbeda
tipis dari peringkat ke-2 seperti status thiqah, thabat, ‘adl, mutqin.
Peringkat ke-5 dikatakan saduq, sayiu al-hifdz, auham, yukhtiu atau
hafalannya berubah di akhir usianya. Peringkat ke-6 dikategorikan maqbul
dan meriwayatkan hadis hanya sedikit sekali.[40]
al-Azhari mengutip pendapat Ahmad
Muhammad Shakir dalam Baith al-Hathith bahwa tingkatan rawi –menurut Ibn
Hajar al-‘Asqalani- yang ke-2 dan ke-3 umumnya meriwayatkan hadis sahih dan
diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim. Adapun tingkatan ke-5 dan ke-6 maka
hadisnya ditolak dan tergolong da’if, kecuali jika memiliki jalur lain maka hadis
tersebut akan naik menjadi hasan li ghairihi.
Maka hadis tentang kekurangan kaum
perempuan secara akal dan agama tersebut bisa kita
pastikan maqbul atau diterima karena secara sanad riwayat al-Bukhari, Ahmad
bin Hanbal, Muslim, Ibn Majah, Abu Dawud tidak ada masalah dan riwayat
al-Tirmidhi menjadi hasan li ghoirihi sebab diperkuat oleh jalur riwayat
lain.
Kajian Hadis
Secara lahir hadis tersebut
merendahkan kaum perempuan dengan pernyataan bahwa kaum perempuan memiliki
kekurangan dalam akal dan agama mereka dibanding kaum laki-laki. Untuk memahami sebuah teks Alquran
atau hadis,
kita tidak boleh serta-merta memahaminya dengan tanpa berbekal ilmu-ilmu
perangkat yang menunjang dan mengantarkan kita ke pemahaman yang benar dan
semestinya atau mengkolaborasikan antara teks tersebut dengan
Alquran dan hadis lain.
Salah satu ilmu perangkat tersebut dalam ilmu hadis adalah asbab al-wurud,
yaitu sebab munculnya sebuah hadis yang mengindikasikan bahwa sesungguhnya
Rasulullah Saw berkehendak seperti ini atau seperti itu.
Dalam riwayat al-Tirmidhi ada sedikit
perbedaan yaitu sebelum teks atau matan hadis, ada tambahan kata sebagaimana
berikut:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم خَطَبَ النَّاسَ فَوَعَظَهُمْ ثُمَّ قَالَ يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ[41]
Dan berikut
riwayat al-Bukhari,
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِى مَرْيَمَ قَالَ أَخْبَرَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَ أَخْبَرَنِى زَيْدٌ هُوَ ابْنُ أَسْلَمَ عَنْ
عِيَاضِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
فِى أَضْحًى أَوْ فِطْرٍ إِلَى الْمُصَلَّى فَمَرَّ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ
يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ فَإِنِّى أُرِيتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ
النَّارِ فَقُلْنَ وَبِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ
وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ
لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ قُلْنَ وَمَا نُقْصَانُ دِينِنَا
وَعَقْلِنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَلَيْسَ شَهَادَةُ الْمَرْأَةِ مِثْلَ
نِصْفِ شَهَادَةِ الرَّجُلِ قُلْنَ بَلَى قَالَ فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ قُلْنَ بَلَى قَالَ فَذَلِكَ
مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا[42]
Dengan
membandingkan riwayat-riwayat di atas, bisa kita amati bahwa hadis tentang
kekurangan akal dan agama adalah kodrat perempuan, tidak tercetus dari lisan
Rasulullah Saw begitu saja namun ada sebuah momentum atau peristiwa yang
mengindikasikan Rasulullah Saw menyebutkan hadis tersebut. Dalam riwayat
al-Tirmidhi ada kata-kata khataba al-nas fa wa’adzahum thumma qala...,
Rasulullah Saw berceramah di depan sahabat dan menasehati mereka, kemudian
Rasulullah Saw bersabda... Riwayat al-Tirmidhi ini dilengkapi dengan riwayat
al-Bukhari yang dengan jelas menyebutkan kharaja Rasulullah Saw fi adha au
fitrin ila al-musalla fa marra ala al-nisai fa qala..., Rasulullah Saw
keluar untuk menunaikan salat idul adha atau idul fitri lalu di jalan Rasulullah
Saw melewati sekerumunan perempuan kemudian beliau bersabda... Dari dua riwayat
tersebut, bisa kita pahami bahwa Rasulullah Saw hendak melaksanakan salat ‘id,
di tengah jalan beliau bertemu sekerumunan perempuan lalu beliau bersabda
sesuai hadis tersebut. Kata al-Nas dalam riwayat al-Tirmidhi khataba
al-nas fa wa’adzahum thumma qala..., bisa berarti sekelompok perempuan.
Dalam hadis
tersebut Rasulullah Saw memerintahkan para perempuan untuk banyak bersedekah
karena mayoritas penduduk neraka adalah perempuan disebabkan banyak melaknat
atau mengomentari hal-hal jelek dari orang lain, khususnya saat seseorang
berjalan di depan mereka –sesuai konteks hadis riwayat al-Bukhari-, dan tidak
mensyukuri penghasilan suami. Sudah menjadi kebiasaan umum, para istri saling
merumpi satu sama lain tentang suami-suami mereka, dan Rasulullah Saw dengan
tegas menjelaskannya dalam hadis tersebut.
Adapun yang
dimaksud dengan kekurangan akal perempuan yaitu kesaksian seorang perempuan
sama dengan separoh kesaksian laki-laki, artinya kesaksian dua perempuan sama
halnya dengan kesaksian satu laki-laki, sesuai dengan surat al-Baqarah ayat 282:
وَاسْتَشْهِدُوْا شَهِيْدَيْنِ مِنْ رِّجَالِكُمْۚ فَاِنْ لَّمْ
يَكُوْنَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَّامْرَاَتٰنِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ
الشُّهَدَۤاءِ اَنْ تَضِلَّ اِحْدٰىهُمَا فَتُذَكِّرَ اِحْدٰىهُمَا الْاُخْرٰىۗ4
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari
orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua orang lelaki, Maka (boleh)
seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai,
supaya jika seorang lupa di antara keduanya (peempuan) Maka yang seorang
lainnya mengingatkannya.”[43]
Dalam ayat tersebut bisa kita pahami bahwa persaksian dua
orang perempuan sama halnya dengan persaksian satu orang lelaki. al-Qurtubi
salah seorang ahli tafsir terkenal mengatakan dalam kitab tafsirnya al-Jami’
li ahkami Alquran, persaksian dalam ayat tersebut hanya seputar perniagaan,
pendataan ekonomi atau materi bukan persaksian yang lain.[44]
Jika kita perhatikan ayat tersebut kita akan memahami
maksud dari redaksi hadis bahwa perempuan kekurangan akal. Dalam ayat tersebut,
setelah Allah Swt memperbolehkan kesaksian dua perempuan, Allah Swt mengatakan
“supaya jika seorang lupa di antara keduanya (peempuan) Maka yang seorang
lainnya mengingatkannya.” Kekurangan akal perempuan disebabkan sifat pelupanya.
Masa dulu, ruang lingkup perempuan memang masih sangat sempit sehingga dalam
dunia perniagan dan urusan pencatatan ekonomi dilakukan oleh kaum lelaki.
‘Abd Al-Halim Abu Shuqqah dalam Kebebasan Wanita,
mengutip pendapat Ibn al-Qayyim dalam bukunya al-Turuqat al-Hukmiyah yang
disandarkan pada Ibn Taimiyah bahwa ayat tersebut memperbolehkan dua perempuan
menjadi saksi dan mencatat transaksi perniagaan/materi sebagai ganti satu orang
lagi-lagi, agar jika salah satu di antara keduanya bisa saling mengingatkan
bilamana seseorang di antara keduanya lupa. Sifat lupa perempuan dalam hal
transaksi dikarenakan belum terbiasa dan perempuan pada masa dahulu lebih fokus
ke urusan-urusan domestik dan rumah tangga.[45]
Abu Shuqqah berpendapat bahwa ada beberapa kemungkinan
mengenai makna kurang akal pada hadis tersebut, di antaranya:[46]
1.
Kekurangan akal secara alamiyah yang bersifat umum;
artinya tingkat kecerdasannya menengah dan biasa saja.
2.
Kekurangan akal secara alamiyah dalam beberapa hal
tertentu, seperti dalam berhitung, daya imajinasi dan daya nalar.
3.
Kekurangan insidental dalam jenis tertentu yang sifatnya
berjangka pendek. Kekurangan semacam ini terjadi secara alamiyah karena
beberapa faktor seperti haid, nifas, atau masa-masa kehamilan.
4.
Kekurangan insidental dalam jenis tertentu yang sifatnya
berjangka panjang, seperti mengurus anak, melahirkannya, menyusui dan
memelihara.
al-Buti berpendapat dalam al-Maratu baina Tughyan
al-Nidzam al-Gharbi wa Lataif al-Tashri’ al-Rabbani dengan mengutip rumusan
ahli ilmu Psikologi, bahwa perasaan perempuan lebih kuat dan peka dibanding
laki-laki dan pola pikir perempuan lebih lemah daripada laki-laki.[47]
Kutipan al-Buti ini memang fakta karena perempuan lebih
mengedepankan perasaan mereka dibanding pikiran mereka. Jika kita cermati masa
sekarang, justru kita dapati banyak perempuan-perempuan yang mengurusi
kebendaharaan sebuah lembaga, organisasi, perusahaan, dan lain-lain. Dengan
demikian, maka sifat lupa perempuan dalam ayat tersebut bisa jadi ditiadakan
karena setiap hari seorang perempuan yang membidangi bidang ekonomi dan menjadi
bendahara, sekretaris pasti mengecek ulang catatan-catatan keuangan/transaksi
perniagaannya.
Adapun hikmah yang demikian antara penciptaan laki-laki
dan perempuan adalah saling melengkapi dan menguatkan antara pikiran yang kuat
pada diri laki-laki dan perasaan yang peka pada diri perempuan.[48]
Oleh karenanya, hadis tersebut tidak bisa kita klaim
menyudutkan dan merendahkan kaum perempuan karena pada hakikatnya bukan akal
perempuan yang kurang atau di bawah laki-laki, tapi penggunaan akal atau
pikiran itulah yang tidak seperti laki-laki pada umumnya. Sebab bila kita
cermati pada dewasa ini, terdapat banyak perempuan yang jauh lebih pintar dan
berprestasi dibanding laki-laki karena ia telah terbiasa menggunakan dan
mengandalkan akal serta pikiran mereka.
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa kekurangan akal
dalam hadis tersebut bisa bermakna satu di antara kemungkinan di bawah ini:
1.
Kekurangan kemampuan akal dalam penciptaan.
2.
Kurangnya dalam
menggunakan akal dikarenakan perempuan lebih mengedepankan perasaan.
Adapun redaksi hadis tentang kekurangan agama bagi
perempuan, penulis setuju dengan pendapat al-Buti. Kekurangan agama, menurut
al-Buti, ialah tidak dibebani beberapa hukum taklif. Seorang bayi atau anak
yang belum baligh juga kurang dalam beragama karena ia belum terbebani
hukum-hukum taklif. Kekurangan agama juga diartikan tidak menjalankan atau
meremehkan hukum-hukum taklif.[49]
Al-Buti melanjutkan, seseorang yang meninggalkan
hukum-hukum taklif -seperti tidak salat fardu, puasa Ramadan- dengan sengaja
dan tanpa alasan yang dibenarkan oleh agama, maka orang tersebut bisa
dikategorikan sebagai orang yang agamanya kurang. Namun perempuan yang sedang
haid atau nifas dan tidak menunaikan hukum-hukum taklif tidak sama dengan orang
yang meninggalkan hukum taklif dengan sengaja dan tanpa alasan. Kondisi
perempuan yang demikian, pada dasarnya Allah Swt ingin meringankan
kewajiban-kewajiban mereka dalam beragama sehingga Allah melarang mereka untuk
menunaikan kewajiban-kewajiban tersebut.[50]
Menurut al-Buti Seorang hamba baik laki-laki atau
perempuan akan diganjar oleh Allah dengan pahala dan balasan baik selama ia
memenuhi perintah Allah Swt. Perempuan yang sedang haid dan nifas tentu ia
meninggalkan salat, ihwal perempuan tersebut merupakan bentuk dari memenuhi
perintah Allah Swt, sebab Allah Swt melarang mereka untuk salat. Berarti
perempuan yang haid atau nifas tetap diganjar pahala oleh Allah seperti
laki-laki yang menunaikan salat, meski perempuan tersebut meninggalkan salat.[51]
فَٱسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّى لَآ
أُضِيعُ عَمَلَ عَٰمِلٍ مِّنكُم مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ ۖ...[52]
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan
berfirman): "Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang
beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan."[53]
Berbeda dengan al-Buti, Ibn Hajar al-Asqalani memilih
diam masalah pahala bagi perempuan yang meninggalkan salat, puasa, dan
lain-lain saat haid dan nifas. Menurutnya itu merupakan sesuatu yang
memungkinkan (muhtamal).[54]
Penutup
Dengan
penjelasan yang cukup panjang di atas, bisa kita tarik kesimpulan sebagai
berikut: Pertama, misoginis berarti kebencian terhadap kaum perempuan. Kedua, hadis
tersebut secara sanad dan matan diterima atau maqbul. Ketiga, riwayat
al-Bukhari melengkapi kekosongan informasi riwayat-riwayat yang lain, sehingga
kita bisa memahami hadis tersebut dari segi asbab al-wurud. Keempat,
kebiasaan duduk di pinggir jalan sembari bercengkrama, merumpi, dan
membicarakan orang yang sedang berjalan dengan hal-hal yang negatif hingga
melaknat menjadi titik fokus sebab tercetusnya hadis tersebut oleh Rasulullah
Saw. Kelima, hadis tersebut memang sahih, namun masih memerlukan kajian yang
mendalam dan memahaminya secara kontekstual bukan tekstual agar hadis tersebut
bisa bersifat dinamis dengan melihat realita sekarang yang berkembang di
masyarakat.
Namun Allah Swt
dengan jelas berfirman dalam surat Ali Imran ayat 36:
}§øs9ur ãx.©%!$# 4Ós\RW{$%x. (
“Dan anak laki-laki tidaklah seperti
anak perempuan.”[55]
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:
- MENGKAJI HADIS MISOGINIS
- KAJIAN TAFSIR AL-MARAGHI
- SUNAN AL-DARIMI
- SUNAN AL-BAIHAQI
- SUNAN IBN MAJAH
- MUSHANNAF ABD AL-RAZZAQ
- PERKEMBNGAN HADIS ABAD VII HIJRIYAH SAMPAI SEKARANG
- SEJARAH PENYUSUNAN KITAB SUNAN AL-NASAI
Daftar Pustaka
Abu Shiqqah ‘Abd al-Halim. Kebebasan Wanita terj. Chairul Halim. Jakarta: Gema Insani Press, 1990.
Asqalani (al), Ahmad bin ‘Ali bin Hajar . Taqrib al-Tahdhib. Damaskus: Dar al-Qalam, 1991.
Azhari (al), Rida bin Zakariya al-Sharqawi. al-Irshad ila Kaifiyati Dirasat al-Isnad. al-‘Ajuzah: al-Iman, 2002.
Bukhari (al), Isma’il. Al-Sahih. Stuttgart: Maknaz Al-Islami Digital, 2010.
Buti (al) ,Muhammad Sa’id Ramadan. al-Maratu baina Tughyan al-Nidzam al-Gharbi wa Lataif al-Tashri’ al-Rabbani. Damaskus: Dar al-Fikr, 1996.
Departemen Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Bandung: Sygma, 2009.
Gulen, Muhammad Fethullah. Al-Nur al-Khalid Muhammad
Mafkhirat al-Insaniyah, terj. Fuad Saefuddin.
Jakarta: Republika, 2014.
John M. Echols dan Hasan Shadily. Kamus Inggris Indonesia . Jakarta: Gramedia, 1987.
Muslim bin al-Hajjaj. Al-Sahih. Stuttgart: Maknaz Al-Islami Digital, 2010.
Mochamad Sodik dan Inayah Rohmaniyah. “Mendampingi yang Dibenci Membela yang Teraniaya”, dalam Hamim Ilyas, dkk, “Perempuan Tertindas”. Yogyakarta: Elsaq Press, 2005.
Qurtubi (al), Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad. al-Jami’ li Ahkami Alquran vol. 4. Beirut: Muassasatu al-Risalah, 2006.
Tirmidhi (al), Al-Sunan. Stuttgart: Maknaz Al-Islami Digital, 2010.
Umar, Nasaruddin.Argumen Kesetaraan Jender Prespektif Alquran. Jakarta: Paramadina, 1999.
[1] John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1987), 382.
[2] Mochamad Sodik dan Inayah Rohmaniyah, “Mendampingi yang Dibenci Membela yang Teraniaya”, dalam Hamim Ilyas, dkk, “Perempuan Tertindas” (Yogyakarta: Elsaq Press, 2005), 8.
[3] Muhammad Fethullah Gulen, Al-Nur al-Khalid Muhammad Mafkhirat al-Insaniyah, terj. Fuad Saefuddin, (Jakarta: Republika, 2014), 8.
[4] Ibid., 8.
[5] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung: Sygma, 2009), 273.
[6] Muhammad Sa’id Ramadan al-Buti, al-Maratu baina Tughyan al-Nidzam al-Gharbi wa Lataif al-Tashri’ al-Rabbani (Damaskus: Dar al-Fikr, 1996), 199.
[7] Ibid., 49.
[8] Ibid., 202.
[9] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Prespektif Alquran (Jakarta: Paramadina, 1999), 105.
[10] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya..,148.
[11] Ibid., 78.
[12] Ibid., 77.
[13] Al-Nasai, Al-Sunan (Stturgart: Maknaz al-Islami Digital, 2010), hadis nomor 3117.
[14] Al-Bukhari, Al-Sahih..., hadis nomor 6037.
[15] Ibn Majah, Al-Sunan..., hadis nomor 1925.
[16] Al-Bukhari, Al-Sahih..., hadis nomor 3273.
[17] Al-Bukhari, Al-Sahih..., hadis nomor 4429.
[18] Al-Bukhari, Al-Sahih..., hadis nomor 5237.
[19] Muslim bin Al-Hajjaj, Al-Sahih..., Hadis Nomor 250.
[20] Ibid., Hadis Nomor 250.
[21] Rida bin Zakariya al-Sharqawi al-Azhari, al-Irshad ila Kaifiyati Dirasat al-Isnad (al-‘Ajuzah: al-Iman, 2002), 132.
[22] Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-Asqalani, Taqrib al-Tahdhib (Damaskus: Dar al-Qalam, 1991), 302.
[23] Ibid., 602.
[24] Ibid., 437.
[25] Ibid., 222.
[26] Ibid., 471/472.
[27] Ibid., 234.
[28] Ibid., 185.
[29] Ibid., 328.
[30] Ibid., 569.
[31] Ibid., 464.
[32] Ibid., 478.
[33] Ibid., 127.
[34] Ibid., 328.
[35] Ibid., 83.
[36] Ibid., 203.
[37] Ibid., 259.
[38] Ibid., 358.
[39] Ibid., 572.
[40] al-Azhari, al-Irshad ila Kaifiyati Dirasat al-Isnad…, 132-133.
[41] al-Tirmidhi, Al-Sunan..., hadis nomor 2821.
[42] al-Bukhari, Al-Sahih..., hadis nomor 305.
[43] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya..,48.
[44] Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkami Alquran vol. 4. (Beirut: Muassasatu al-Risalah, 2006), 442.
[45] ‘Abd al-Halim Abu Shiqqah, Kebebasan Wanita terj. Chairul Halim, (Jakarta: Gema Insani Press, 1990) 280.
[46] Ibid., 275.
[47] al-Buti, al-Maratu baina Tughyan al-Nidzam al-Gharbi..., 174.
[48] Ibid., 174.
[49] Ibid., 178.
[50] Ibid., 178.
[51] Ibid., 179.
[52] al-Quran, 3:195.
[53] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya..,76.
[54] Abu Shiqqah, Kebebasan Wanita..., 288.
[55] QS. 3:36.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar