HOME

03 April, 2022

MENGKAJI HADIS MISOGINIS

 

Pendahuluan

Dalam Islam hadis merupakan sumber hukum yang kedua setelah Alquran. Hadis memiliki kedudukan otoritatif karena hukum Islam bersumber dari Allah Swt dan Rasulullah Saw. Hukum yang tak bisa diputuskan melalui Alquran, bisa ditelusuri melalui hadis. Selain hadis berfungsi sebagai rumusan hukum secara independen, hadis juga merupakan interpretasi dari ayat-ayat Alquran.

Terdapat beberapa hadis yang terkesan menyudutkan dan merendahkan kaum perempuan jika dipahami secara tekstual tanpa mengkompromikan dengan ayat Alquran, hadis-hadis lain dan pemahaman para ulama. Hadis-hadis misoginis tersebut sayangnya justru dipahami secara mentah oleh sebagian kalangan konservatif dan dipahami terlalu lebar dan bebas oleh sebagian kelompok liberal sehingga menjadi budaya yang mempengaruhi relasi gender.

Adalah bertolakbelakang dan berpunggungan antara kondisi perempuan saat zaman jahiliyah dan pasca datangnya Islam. Perempuan -yang selama cahaya Islam belum terbit- merasakan ketertindasan, diskriminasi, kelaliman di tangan kaum pria yang tak mengerti tujuan diciptakannya perempuan.

Perempuan adalah makhluk yang istimewa dan diperlakukan oleh Allah Swt dan Rasulullah Saw sebagaimana semestinya. Adapun ayat Alquran dan hadis misoginis yang ada, tentu membutuhkan pemahaman yang matang supaya tidak terjadi kekeliruan dalam menginterpretasikan ayat Alquran dan hadis misoginis.

Di antara hadis misoginis yang penulis paparkan dalam makalah ini adalah hadis yang menyebutkan bahwa perempuan memiliki kekurangan dalam akal dan agamanya dibandingkan laki-laki, sehingga mereka menjadi mayoritas penghuni neraka.


Arti Kata Misoginis

Misoginis berasal dari kata bahasa Inggris Misoginy, dalam Kamus Inggris Indonesia kata tersebut berarti kebencian terhadap wanita.[1] Hadis-hadis misoginis merupakan hadis-hadis yang secara tekstual dan kasat mata terkesan menyudutkan dan merendahkan hakikat perempuan, baik dalam penciptaan, perlakuan, hak dan kewajiban.

Sebenarnya kajian perihal hadis-hadis misoginis ini sudah ada, seperti Wanita di dalam Islam yang ditulis oleh Fatima Mernissi dan dicetak pada tahun 1991. Nur Khoirin juga telah menulis Telaah Otentisitas Hadis-hadis Misoginis pada tahun 2000.[2]


Perempuan di Zaman Jahiliyah

Masa jahiliyah adalah masa di mana kelaliman dan kesewenang-wenangan kaum borjuis berada pada titik puncaknya. Hubungan antara kelompok elit dan bawahan sangat berjarak. Kemiskinan dan perbudakan menjadi sebuah tradisi yang terus diabadikan oleh kaum elit kepada kaum bawahan. Kesyirikan yang menjadi kezaliman utama seakan tak menemui titik tepi. Di antara kebusukan masa jahiliyah yang disebutkan Alquran adalah mengubur hidup-hidup bayi atau anak perempuan. Masyarakat Quraisy sangat malu dan menganggap aib bila mereka memiliki anak perempuan.[3]

Pada masa jahiliyah, setiap kali seorang ayah diberitahu tentang kelahiran anak perempuan, ia langsung bermuka masam dengan wajah merah-padam karena malu. Sampai-sampai ia harus memilih antara bunuh diri atau menanggung aib seumur hidupnya. Perempuan seolah menjadi momok dan aib yang mencoreng kehormatan kaum laki-laki.[4] Surat al-Nahl ayat 58-59 menyatakan hal tersebut:

وَاِذَا بُشِّرَ اَحَدُهُمْ بِالْاُنْثٰى ظَلَّ وَجْهُهٗ مُسْوَدًّا وَّهُوَ كَظِيْمٌۚ

يَتَوٰرٰى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوْۤءِ مَا بُشِّرَ بِهٖۗ اَيُمْسِكُهٗ عَلٰى هُوْنٍ اَمْ يَدُسُّهٗ فِى التُّرَابِۗ اَلَا سَاۤءَ مَا يَحْكُمُوْنَ

“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan Dia sangat marah. Ia Menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah Dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ? Ketahuilah, Alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.”[5]

Selain itu, dalam kebiasan masyarakat jahiliyah perempuan tidak memiliki hak sedikitpun mendapatkan harta warisan. Menurut mereka harta warisan tidak berguna sama sekali bagi perempuan dan yang berhak menerima harta warisan adalah hanya laki-laki.[6]Adat yang demikian hampir mirip dengan adat bangsa-bangsa lain seperti India, Cina, Barbar dan Eropa yang melarang perempuan mendapatkan harta warisan. Hanya Yunani yang memperbolehkan perempuan menjadi ahli waris dengan syarat tidak ada anggota keluarga lelaki yang menjadi ahli waris.[7]

Mengenai mahar, kebiasan masyarakat jahiliyah juga sangat tidak memihak kaum perempuan. Mahar yang diberikan kepada perempuan diambil oleh walinya baik itu bapaknya, saudaranya, atau keluarganya yang menjadi wali nikahnya.[8]


Perempuan Pasca Datangnya Islam

Salah satu faktor suksesnya dakwah Rasulullah Saw karena ajaran-ajaran yang dibawa olehnya adalah ajaran yang berisi tentang pembebasan dari berbagai penindasan. Kemerdekaan pada saat –masa jahiliyah- itu hanya dinikmati oleh kaum borjuis yang memiliki harta dan tahta. Perempuan salah satu kaum yang tidak mendapatkan kemerdekaannya. Perempuan harus tunduk pada struktur masyarakat dan tunduk pada suami dalam kehidupan rumah tangga. Oleh karenya, tidak heran bila Islam menjadi angin segar dan segelas air dingin di tengan padang pasir yang kering kerontang.[9]

Islam datang menghapus dan mengganti kebiasaan jahiliyah dalam memperlakukan perempuan dengan semena-mena. Islam melarang dengan tegas tentang pembunuhan bayi atau anak dengan alasan apapun, sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surat al-An’am ayat 151:

قُلْ تَعَالَوْا اَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ اَلَّا تُشْرِكُوْا بِهٖ شَيْـًٔا وَّبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًاۚ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَوْلَادَكُمْ مِّنْ اِمْلَاقٍۗ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَاِيَّاهُمْ ۚوَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَۚ وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللّٰهُ اِلَّا بِالْحَقِّۗ ذٰلِكُمْ وَصّٰىكُمْ بِهٖ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ 

“Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).”[10]

Berbicara tentang harta warisan, Islam memberikan hak perempuan untuk mendapatkan warisan dari pewarisnya. Dalam surat al-Nisa ayat 7 Allah Swt dengan tegas memastikan bahwa perempuan memiliki hak waris dari pewarisnya:

لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدٰنِ وَالْاَقْرَبُوْنَۖ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدٰنِ وَالْاَقْرَبُوْنَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ اَوْ كَثُرَ ۗ نَصِيْبًا مَّفْرُوْضًا

“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”[11]

Islam juga menjawab perihal mahar bagi kaum perempuan. Mahar adalah hak yang diterima seorang perempuan dan ia berhak pula menggunakan mahar tersebut untuk apapun. Islam tidak mengharuskan perempuan menyerahkan seluruh maharnya kepada walinya atau kerabat terdekat yang menjadi wali. Hal ini dijelaskan pada surat al-Nisa ayat 4:

وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۗ فَاِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْۤـًٔا مَّرِيْۤـًٔا 

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”[12]

Berikut hadis-hadis tentang kemuliaan perempuan:

 أَنَّ جَاهِمَةَ جَاءَ إِلَى النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَدْتُ أَنْ أَغْزُوَ وَقَدْ جِئْتُ أَسْتَشِيرُكَ فَقَالَ هَلْ لَكَ مِنْ أُمٍّ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَالْزَمْهَا فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلَيْهَا

“Sesungguhnya Jahima mendatangi Nabi Saw dan bertanya: Rasulullah, aku ingin berperang dan aku ingin meminta pendapatmu. Rasulullah Saw bertanya balik kepadanya: Apakah kamu masih punya ibu? Ia menjawab: Ya, masih. Rasulullah Saw bersabda: Pulanglah dan rawatlah Ibumu sesungguhnya surga ada di telapak kakinya.”[13]

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ بِحُسْنِ صَحَابَتِى قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ

“Seseorang mendatangi Rasulullah Saw dan berkata: Rasulullah, siapa yang paling berhak aku layani? Rasulullah Saw menjawab: Ibumu. Ia bertanya lagi: Lalu siapa? Rasulullah menjawab: Ibumu. Ia bertanya lagi: Lalu siapa? Rasulullah menjawab: Ibumu. Ia bertanya lagi: Lalu siapa? Rasulullah menjawab: Bapakmu.”[14]

 

Hadis-Hadis Misoginis

 لَوْ أَمَرْتُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا وَلَوْ أَنَّ رَجُلاً أَمَرَ امْرَأَةً أَنْ تَنْقُلَ مِنْ جَبَلٍ أَحْمَرَ إِلَى جَبَلٍ أَسْوَدَ وَمِنْ جَبَلٍ أَسْوَدَ إِلَى جَبَلٍ أَحْمَرَ لَكَانَ نَوْلُهَا أَنْ تَفْعَلَ

“Andaikan aku perintahkan seseorang untuk bersujud pada orang lain, niscaya kuperintahkan perempuan untuk bersujud kepada suaminya. Dan seandainya seorang laki-laki memerintahkan istrinya memindah gunung Ahmar ke gunung Aswad, lalu sebaliknya, maka istri harus melakukannya.”[15]

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

“Jika seorang lelaki mengajak istrinya ke tempat tidur (bersenggama), kemudian sang istri enggan memenuhi ajakannya, lalu suami merasa kecewa hingga tertidur, Maka sepanjang malam itulah malaikat melaknat istri hingga datang waktu subuh.”[16]

لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً

“Suatu kaum tidak akan sukses jika dipimpin oleh perempuan.”[17]

لاَ تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

“Seorang perempuan tidak boleh berpuasa tatkala suaminya berada di rumah kecuali dengan izinnya.”[18]

 

يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ وَأَكْثِرْنَ الاِسْتِغْفَارَ فَإِنِّى رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ فَقَالَتِ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ جَزْلَةٌ وَمَا لَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ قَالَ تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ وَمَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَغْلَبَ لِذِى لُبٍّ مِنْكُنَّ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ وَالدِّينِ قَالَ أَمَّا نُقْصَانُ الْعَقْلِ فَشَهَادَةُ امْرَأَتَيْنِ تَعْدِلُ شَهَادَةَ رَجُلٍ فَهَذَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ وَتَمْكُثُ اللَّيَالِىَ مَا تُصَلِّى وَتُفْطِرُ فِى رَمَضَانَ فَهَذَا نُقْصَانُ الدِّينِ

“Hai kaum perempuan, bersedekahlah dan perbanyaklah memohon ampunan karena aku melihat kalian menjadi mayoritas penduduk neraka. Lalu salah seorang perempuan di antara mereka yang cerdas bertanya: “Wahai Rasulullah, mengapa kami menjadi penduduk mayoritas di neraka?” Rasulullah Saw menjawab: “Kalian sering melaknat dan tidak berterima kasih atas kebaikan suami dan tidak kutemukan perempuan-perempuan yang kurang akal dan agamanya mampu melumpuhkan hati seorang laki-laki yang tegas melebihi salah seorang dari kalian.” Perempuan yang cerdas itu bertanya lagi: “Apa maksud dari kekurangan akal dan agama, wahai Rasulullah Saw?” Rasulullah Saw menjawab: “Adapun kekurangan akal adalah persaksian dua orang perempuan sama dengan persaksian seorang laki-laki, inilah yang dimaksud kurang akal. Dan perempuan itu (haid) berhari-hari dengan meninggalkan salat dan tidak berpuasa di bulan Ramadan, inilah maksud dari kekurangan agama itu.”[19]

 

Mengkaji Hadis Misoginis “Kekurangan; Kodrat Perempuan”

Jika dipahami secara tekstual dan mentah, kita akan mendapati sebuah hadis yang menjelaskan perempuan memiliki beberapa kekurangan dibandingkan laki-laki. Perempuan mempunyai kekurangan akal dan agamanya. Hadis tersebut sangat menyudutkan dan merendahkan martabat perempuan. Namun bila dikaji secara konverhensif dan teliti, kita akan mengetahui intisari hadis tersebut.

 

Matan Hadis

Matan hadis yang menjelaskan tentang kurangnya akal dan agama perempuan dan kesaksian perempuan yang dinilai lemah, setelah penulis lacak melalui Mausu’at al-Hadith al-Sharif milik Jam’iyah al-Maknaz al-Islami versi digital, terdapat beberapa riwayat di antaranya riwayat al-Bukhari, Muslim bin al-Hajjaj, Abu Dawud, al-Tirmidhi, Ibn Majah dan Ahmad bin Hanbal. Berikut matan hadis tersebut:

يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ وَأَكْثِرْنَ الاِسْتِغْفَارَ فَإِنِّى رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ فَقَالَتِ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ جَزْلَةٌ وَمَا لَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ قَالَ تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ وَمَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَغْلَبَ لِذِى لُبٍّ مِنْكُنَّ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ وَالدِّينِ قَالَ أَمَّا نُقْصَانُ الْعَقْلِ فَشَهَادَةُ امْرَأَتَيْنِ تَعْدِلُ شَهَادَةَ رَجُلٍ فَهَذَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ وَتَمْكُثُ اللَّيَالِىَ مَا تُصَلِّى وَتُفْطِرُ فِى رَمَضَانَ فَهَذَا نُقْصَانُ الدِّينِ

 “Hai kaum perempuan, bersedekahlah dan perbanyaklah memohon ampunan karena aku melihat kalian menjadi mayoritas penduduk neraka. Lalu salah seorang perempuan di antara mereka yang cerdas bertanya: “Wahai Rasulullah, mengapa kami menjadi penduduk mayoritas di neraka?” Rasulullah Saw menjawab: “Kalian sering melaknat dan tidak berterima kasih atas kebaikan suami dan tidak kutemukan perempuan-perempuan yang kurang akal dan agamanya mampu melumpuhkan hati seorang laki-laki yang tegas melebihi salah seorang dari kalian.” Perempuan yang cerdas itu bertanya lagi: “Apa maksud dari kekurangan akal dan agama, wahai Rasulullah Saw?” Rasulullah Saw menjawab: “Adapun kekurangan akal adalah persaksian dua orang perempuan sama dengan persaksian seorang laki-laki, inilah yang dimaksud kurang akal. Dan perempuan itu (haid) berhari-hari dengan meninggalkan salat dan tidak berpuasa di bulan Ramadan, inilah maksud dari kekurangan agama itu.”[20]

 

Sanad Hadis

Di antara riwayat-riwayat tersebut hanya al-Bukhari yang melalui jalur Abu Sa’id al-Khudri, al-Tirmidhi melalui jalur sahabat Abu Hurairah, sedangkan selain al-Tirmidhi melalui ‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khattab.

Berikut penulis paparkan skema atau bagan sanad hadis untuk memudahkan pembaca untuk mengkaji sanad hadis tersebut:

Dalam skema tersebut ada tiga sahabat nabi yang meriwayatkan hadis tentang kekurangan sebagai kodrat perempuan, yaitu Abu Sa’id al-Khudri, ‘Abdullah bin ‘Umar dan Abu Hurairah. Sahabat nabi dalam ilmu hadis dimasukkan dalam kategori ‘adl dan tak perlu lagi dilacak dan diragukan periwayatannya karena sebuah kaedah al-Sahabah kulluhum ‘udul. Ibn Hajar menempatkan sahabat nabi pada peringkat pertama dalam klasifikasi ilmu ta’dil para perawi hadis.[21]

Untuk melacak dan mendeteksi para perawi hadis di atas, penulis merujuk ke kitab karya Ibn Hajar al-Asqalani yaitu Taqribu al-Tahdhib. Al-Bukhari memiliki rawi Sa’id bin Abi maryam, Muhammad bin Ja’far, Zaid bin Aslam, dan ‘Iyad bin ‘Abdillah. Ahmad bin Hanbal, Muslim, Ibn Majah dan Abu Dawud meriwayatkan hadis tersebut melalui 3 rawi teratas yang sama yaitu ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Abdullah bin Dinar dan Yazid bin al-Had. ‘Abdullah bin Dinar al-Adawi merupakan maula ‘Abdullah bin ‘Umar (3300). Ia dinilai thiqah (peringkat ke-3).[22] Adapun Yazid bin ‘Abdullah bin Usamah bin al-Had al-Laithi (7737), thiqah (peringkat ke-3).[23]

Berikut rincian strata tingkatan para perawi menurut Ibn Hajar dalam ilmu ta’dil:

A.  Riwayat al-Bukhari

1.    ‘Iyad bin ‘Abdillah bin Sa’ad bin Abi Sarh (5277), thiqah (peringkat ke-3).[24]

2.    Zaid bin Aslam al-‘Adawi (2117), thiqah (peringkat-3).[25]

3.    Muhammad bin Ja’far[26]

4.    Sa’id bin al-Hakam bin Muhammad bin Salim bin Abi Maryam al-Jumahi (2286), thiqah thabat (peringkat ke-2).[27]

 

B.   Riwayat Ahmad bin Hanbal

1.    Haiwah bin Shuraih bin Safwan al-Tujibi (1600), thiqah thabat (peringkat ke-2).[28]

2.    ‘Abdullah bin Wahb bin Muslim al-Qurashi (3694), thiqah hafidz ‘abid (peringkat ke-2).[29]

3.    Harun bin Ma’ruf al-Maruzi (7242), thiqah (peringkat ke-2).[30]

 

C.   Riwayat Muslim dan Ibn Majah

1.    al-Laith bin Sa’ad bin ‘Abd al-Rahman al-Fahmi (5684), thiqah thabat (peringkat ke-2).[31]

2.    Muhammad bin Rumah bin al-Muhajir (5881), tsiqah thabat (peringkat ke-2).[32]

 

D.  Riwayat Abu Dawud

1.    Bakr bin Mudar bin Muhammad bin Hakim al-Misri (751), thiqah thabat (peringkat ke-2).[33]

2.    ‘Abdullah bin Wahb bin Muslim al-Qurashi (3694), thiqah hafidz ‘abid (peringkat ke-2).[34]

3.    Ahmad bin ‘Amr bin ‘Abdillah bin ‘Amr bin Sarh (85), thiqah (peringkat ke-3).[35]

 

E.   Riwayat al-Tirmidhi

1.    Dhakwan Abu Salih al-Samman al-Zayyat (1841), thiqah thabat (peringkat ke-2).[36]

2.    Suhail bin Abi Salih (2675), saduq (peringkat ke-5) dan hafalannya berubah di akhir hidupnya.[37]

3.    ‘Abd al-Aziz bin Muhammad bin ‘Ubaid al-Darawardi (4119), saduq (peringkat ke-5) dan ia meriwayatkan dari kitab ulama lain dengan banyak kesalahan.[38]

4.    Huraim bin Mis’ar al-Azdi (7281), maqbul (peringkat ke-6).[39]

Sesuai dengan penilaian Ibn Hajar al-Asqalani, peringkat para perawi hadis di atas berkisar pada peringkat ke-2, ke-3, ke-5 dan ke-6. Peringkat ke-2 merupakan tingkat tertinggi setelah sahabat nabi, biasanya memakai isim tafdil seperti authaq atau bersifat positif ganda semisal thiqah thabat. Adapun peringkat ke-3 hanya berbeda tipis dari peringkat ke-2 seperti status thiqah, thabat, ‘adl, mutqin. Peringkat ke-5 dikatakan saduq, sayiu al-hifdz, auham, yukhtiu atau hafalannya berubah di akhir usianya. Peringkat ke-6 dikategorikan maqbul dan meriwayatkan hadis hanya sedikit sekali.[40]

al-Azhari mengutip pendapat Ahmad Muhammad Shakir dalam Baith al-Hathith bahwa tingkatan rawi –menurut Ibn Hajar al-‘Asqalani- yang ke-2 dan ke-3 umumnya meriwayatkan hadis sahih dan diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim. Adapun tingkatan ke-5 dan ke-6 maka hadisnya ditolak dan tergolong da’if,  kecuali jika memiliki jalur lain maka hadis tersebut akan naik menjadi hasan li ghairihi.

Maka hadis tentang kekurangan kaum perempuan secara akal dan agama tersebut bisa kita pastikan maqbul atau diterima karena secara sanad riwayat al-Bukhari, Ahmad bin Hanbal, Muslim, Ibn Majah, Abu Dawud tidak ada masalah dan riwayat al-Tirmidhi menjadi hasan li ghoirihi sebab diperkuat oleh jalur riwayat lain.

Kajian Hadis

Secara lahir hadis tersebut merendahkan kaum perempuan dengan pernyataan bahwa kaum perempuan memiliki kekurangan dalam akal dan agama mereka dibanding kaum laki-laki. Untuk memahami sebuah teks Alquran atau hadis, kita tidak boleh serta-merta memahaminya dengan tanpa berbekal ilmu-ilmu perangkat yang menunjang dan mengantarkan kita ke pemahaman yang benar dan semestinya atau mengkolaborasikan antara teks tersebut dengan Alquran dan hadis lain. Salah satu ilmu perangkat tersebut dalam ilmu hadis adalah asbab al-wurud, yaitu sebab munculnya sebuah hadis yang mengindikasikan bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw berkehendak seperti ini atau seperti itu.

Dalam riwayat al-Tirmidhi ada sedikit perbedaan yaitu sebelum teks atau matan hadis, ada tambahan kata sebagaimana berikut:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم خَطَبَ النَّاسَ فَوَعَظَهُمْ ثُمَّ قَالَ يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ[41]

Dan berikut riwayat al-Bukhari,

حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِى مَرْيَمَ قَالَ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَ أَخْبَرَنِى زَيْدٌ هُوَ ابْنُ أَسْلَمَ عَنْ عِيَاضِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِى أَضْحًى أَوْ فِطْرٍ إِلَى الْمُصَلَّى فَمَرَّ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ فَإِنِّى أُرِيتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ فَقُلْنَ وَبِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ قُلْنَ وَمَا نُقْصَانُ دِينِنَا وَعَقْلِنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَلَيْسَ شَهَادَةُ الْمَرْأَةِ مِثْلَ نِصْفِ شَهَادَةِ الرَّجُلِ قُلْنَ بَلَى قَالَ فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ قُلْنَ بَلَى قَالَ فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا[42]

Dengan membandingkan riwayat-riwayat di atas, bisa kita amati bahwa hadis tentang kekurangan akal dan agama adalah kodrat perempuan, tidak tercetus dari lisan Rasulullah Saw begitu saja namun ada sebuah momentum atau peristiwa yang mengindikasikan Rasulullah Saw menyebutkan hadis tersebut. Dalam riwayat al-Tirmidhi ada kata-kata khataba al-nas fa wa’adzahum thumma qala..., Rasulullah Saw berceramah di depan sahabat dan menasehati mereka, kemudian Rasulullah Saw bersabda... Riwayat al-Tirmidhi ini dilengkapi dengan riwayat al-Bukhari yang dengan jelas menyebutkan kharaja Rasulullah Saw fi adha au fitrin ila al-musalla fa marra ala al-nisai fa qala..., Rasulullah Saw keluar untuk menunaikan salat idul adha atau idul fitri lalu di jalan Rasulullah Saw melewati sekerumunan perempuan kemudian beliau bersabda... Dari dua riwayat tersebut, bisa kita pahami bahwa Rasulullah Saw hendak melaksanakan salat ‘id, di tengah jalan beliau bertemu sekerumunan perempuan lalu beliau bersabda sesuai hadis tersebut. Kata al-Nas dalam riwayat al-Tirmidhi khataba al-nas fa wa’adzahum thumma qala..., bisa berarti sekelompok perempuan.

Dalam hadis tersebut Rasulullah Saw memerintahkan para perempuan untuk banyak bersedekah karena mayoritas penduduk neraka adalah perempuan disebabkan banyak melaknat atau mengomentari hal-hal jelek dari orang lain, khususnya saat seseorang berjalan di depan mereka –sesuai konteks hadis riwayat al-Bukhari-, dan tidak mensyukuri penghasilan suami. Sudah menjadi kebiasaan umum, para istri saling merumpi satu sama lain tentang suami-suami mereka, dan Rasulullah Saw dengan tegas menjelaskannya dalam hadis tersebut.

Adapun yang dimaksud dengan kekurangan akal perempuan yaitu kesaksian seorang perempuan sama dengan separoh kesaksian laki-laki, artinya kesaksian dua perempuan sama halnya dengan kesaksian satu laki-laki, sesuai dengan surat al-Baqarah ayat 282:

 وَاسْتَشْهِدُوْا شَهِيْدَيْنِ مِنْ رِّجَالِكُمْۚ فَاِنْ لَّمْ يَكُوْنَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَّامْرَاَتٰنِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَۤاءِ اَنْ تَضِلَّ اِحْدٰىهُمَا فَتُذَكِّرَ اِحْدٰىهُمَا الْاُخْرٰىۗ4

“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua orang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa di antara keduanya (peempuan) Maka yang seorang lainnya mengingatkannya.”[43]

Dalam ayat tersebut bisa kita pahami bahwa persaksian dua orang perempuan sama halnya dengan persaksian satu orang lelaki. al-Qurtubi salah seorang ahli tafsir terkenal mengatakan dalam kitab tafsirnya al-Jami’ li ahkami Alquran, persaksian dalam ayat tersebut hanya seputar perniagaan, pendataan ekonomi atau materi bukan persaksian yang lain.[44]

Jika kita perhatikan ayat tersebut kita akan memahami maksud dari redaksi hadis bahwa perempuan kekurangan akal. Dalam ayat tersebut, setelah Allah Swt memperbolehkan kesaksian dua perempuan, Allah Swt mengatakan “supaya jika seorang lupa di antara keduanya (peempuan) Maka yang seorang lainnya mengingatkannya.” Kekurangan akal perempuan disebabkan sifat pelupanya. Masa dulu, ruang lingkup perempuan memang masih sangat sempit sehingga dalam dunia perniagan dan urusan pencatatan ekonomi dilakukan oleh kaum lelaki.

‘Abd Al-Halim Abu Shuqqah dalam Kebebasan Wanita, mengutip pendapat Ibn al-Qayyim dalam bukunya al-Turuqat al-Hukmiyah yang disandarkan pada Ibn Taimiyah bahwa ayat tersebut memperbolehkan dua perempuan menjadi saksi dan mencatat transaksi perniagaan/materi sebagai ganti satu orang lagi-lagi, agar jika salah satu di antara keduanya bisa saling mengingatkan bilamana seseorang di antara keduanya lupa. Sifat lupa perempuan dalam hal transaksi dikarenakan belum terbiasa dan perempuan pada masa dahulu lebih fokus ke urusan-urusan domestik dan rumah tangga.[45]

Abu Shuqqah berpendapat bahwa ada beberapa kemungkinan mengenai makna kurang akal pada hadis tersebut, di antaranya:[46]

1.    Kekurangan akal secara alamiyah yang bersifat umum; artinya tingkat kecerdasannya menengah dan biasa saja.

2.    Kekurangan akal secara alamiyah dalam beberapa hal tertentu, seperti dalam berhitung, daya imajinasi dan daya nalar.

3.    Kekurangan insidental dalam jenis tertentu yang sifatnya berjangka pendek. Kekurangan semacam ini terjadi secara alamiyah karena beberapa faktor seperti haid, nifas, atau masa-masa kehamilan.

4.    Kekurangan insidental dalam jenis tertentu yang sifatnya berjangka panjang, seperti mengurus anak, melahirkannya, menyusui dan memelihara.

al-Buti berpendapat dalam al-Maratu baina Tughyan al-Nidzam al-Gharbi wa Lataif al-Tashri’ al-Rabbani dengan mengutip rumusan ahli ilmu Psikologi, bahwa perasaan perempuan lebih kuat dan peka dibanding laki-laki dan pola pikir perempuan lebih lemah daripada laki-laki.[47]

Kutipan al-Buti ini memang fakta karena perempuan lebih mengedepankan perasaan mereka dibanding pikiran mereka. Jika kita cermati masa sekarang, justru kita dapati banyak perempuan-perempuan yang mengurusi kebendaharaan sebuah lembaga, organisasi, perusahaan, dan lain-lain. Dengan demikian, maka sifat lupa perempuan dalam ayat tersebut bisa jadi ditiadakan karena setiap hari seorang perempuan yang membidangi bidang ekonomi dan menjadi bendahara, sekretaris pasti mengecek ulang catatan-catatan keuangan/transaksi perniagaannya.

Adapun hikmah yang demikian antara penciptaan laki-laki dan perempuan adalah saling melengkapi dan menguatkan antara pikiran yang kuat pada diri laki-laki dan perasaan yang peka pada diri perempuan.[48]

Oleh karenanya, hadis tersebut tidak bisa kita klaim menyudutkan dan merendahkan kaum perempuan karena pada hakikatnya bukan akal perempuan yang kurang atau di bawah laki-laki, tapi penggunaan akal atau pikiran itulah yang tidak seperti laki-laki pada umumnya. Sebab bila kita cermati pada dewasa ini, terdapat banyak perempuan yang jauh lebih pintar dan berprestasi dibanding laki-laki karena ia telah terbiasa menggunakan dan mengandalkan akal serta pikiran mereka.

Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa kekurangan akal dalam hadis tersebut bisa bermakna satu di antara kemungkinan di bawah ini:

1.      Kekurangan kemampuan akal dalam penciptaan.

2.     Kurangnya dalam menggunakan akal dikarenakan perempuan lebih mengedepankan perasaan.

Adapun redaksi hadis tentang kekurangan agama bagi perempuan, penulis setuju dengan pendapat al-Buti. Kekurangan agama, menurut al-Buti, ialah tidak dibebani beberapa hukum taklif. Seorang bayi atau anak yang belum baligh juga kurang dalam beragama karena ia belum terbebani hukum-hukum taklif. Kekurangan agama juga diartikan tidak menjalankan atau meremehkan hukum-hukum taklif.[49]

Al-Buti melanjutkan, seseorang yang meninggalkan hukum-hukum taklif -seperti tidak salat fardu, puasa Ramadan- dengan sengaja dan tanpa alasan yang dibenarkan oleh agama, maka orang tersebut bisa dikategorikan sebagai orang yang agamanya kurang. Namun perempuan yang sedang haid atau nifas dan tidak menunaikan hukum-hukum taklif tidak sama dengan orang yang meninggalkan hukum taklif dengan sengaja dan tanpa alasan. Kondisi perempuan yang demikian, pada dasarnya Allah Swt ingin meringankan kewajiban-kewajiban mereka dalam beragama sehingga Allah melarang mereka untuk menunaikan kewajiban-kewajiban tersebut.[50]

Menurut al-Buti Seorang hamba baik laki-laki atau perempuan akan diganjar oleh Allah dengan pahala dan balasan baik selama ia memenuhi perintah Allah Swt. Perempuan yang sedang haid dan nifas tentu ia meninggalkan salat, ihwal perempuan tersebut merupakan bentuk dari memenuhi perintah Allah Swt, sebab Allah Swt melarang mereka untuk salat. Berarti perempuan yang haid atau nifas tetap diganjar pahala oleh Allah seperti laki-laki yang menunaikan salat, meski perempuan tersebut meninggalkan salat.[51]

فَٱسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّى لَآ أُضِيعُ عَمَلَ عَٰمِلٍ مِّنكُم مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ ۖ...[52] 

“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan."[53]

Berbeda dengan al-Buti, Ibn Hajar al-Asqalani memilih diam masalah pahala bagi perempuan yang meninggalkan salat, puasa, dan lain-lain saat haid dan nifas. Menurutnya itu merupakan sesuatu yang memungkinkan (muhtamal).[54]

Penutup

Dengan penjelasan yang cukup panjang di atas, bisa kita tarik kesimpulan sebagai berikut: Pertama, misoginis berarti kebencian terhadap kaum perempuan. Kedua, hadis tersebut secara sanad dan matan diterima atau maqbul. Ketiga, riwayat al-Bukhari melengkapi kekosongan informasi riwayat-riwayat yang lain, sehingga kita bisa memahami hadis tersebut dari segi asbab al-wurud. Keempat, kebiasaan duduk di pinggir jalan sembari bercengkrama, merumpi, dan membicarakan orang yang sedang berjalan dengan hal-hal yang negatif hingga melaknat menjadi titik fokus sebab tercetusnya hadis tersebut oleh Rasulullah Saw. Kelima, hadis tersebut memang sahih, namun masih memerlukan kajian yang mendalam dan memahaminya secara kontekstual bukan tekstual agar hadis tersebut bisa bersifat dinamis dengan melihat realita sekarang yang berkembang di masyarakat.

Namun Allah Swt dengan jelas berfirman dalam surat Ali Imran ayat 36:

}§øŠs9ur ãx.©%!$# 4Ós\RW{$%x. (

“Dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan.”[55]


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:

 

Daftar Pustaka

Abu Shiqqah ‘Abd al-Halim. Kebebasan Wanita terj. Chairul Halim. Jakarta: Gema Insani Press, 1990.

Asqalani (al), Ahmad bin ‘Ali bin Hajar . Taqrib al-Tahdhib. Damaskus: Dar al-Qalam, 1991.

Azhari (al), Rida bin Zakariya al-Sharqawi. al-Irshad ila Kaifiyati Dirasat al-Isnad. al-‘Ajuzah: al-Iman, 2002.

Bukhari (al), Isma’il. Al-Sahih. Stuttgart: Maknaz Al-Islami Digital, 2010.

Buti (al) ,Muhammad Sa’id Ramadan. al-Maratu baina Tughyan al-Nidzam al-Gharbi wa Lataif al-Tashri’ al-Rabbani. Damaskus: Dar al-Fikr, 1996.

Departemen Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Bandung: Sygma, 2009.

Gulen, Muhammad Fethullah. Al-Nur al-Khalid Muhammad Mafkhirat al-Insaniyah, terj. Fuad Saefuddin. Jakarta: Republika, 2014.

John M. Echols dan Hasan Shadily.  Kamus Inggris Indonesia . Jakarta: Gramedia, 1987.

Muslim bin al-Hajjaj. Al-Sahih. Stuttgart: Maknaz Al-Islami Digital, 2010.

Mochamad Sodik dan Inayah Rohmaniyah. “Mendampingi yang Dibenci Membela yang Teraniaya”, dalam Hamim Ilyas, dkk, “Perempuan Tertindas”. Yogyakarta: Elsaq Press, 2005.

Qurtubi (al), Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad. al-Jami’ li Ahkami Alquran vol. 4. Beirut: Muassasatu al-Risalah, 2006.

Tirmidhi (al), Al-Sunan. Stuttgart: Maknaz Al-Islami Digital, 2010.

Umar, Nasaruddin.Argumen Kesetaraan Jender  Prespektif Alquran. Jakarta: Paramadina, 1999.


[1] John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1987), 382.

[2] Mochamad Sodik dan Inayah Rohmaniyah, “Mendampingi yang Dibenci Membela yang Teraniaya”, dalam Hamim Ilyas, dkk, “Perempuan Tertindas” (Yogyakarta: Elsaq Press, 2005), 8.

[3] Muhammad Fethullah Gulen, Al-Nur al-Khalid Muhammad Mafkhirat al-Insaniyah, terj. Fuad Saefuddin, (Jakarta: Republika, 2014), 8.

[4] Ibid., 8.

[5] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung: Sygma, 2009), 273.

[6] Muhammad Sa’id Ramadan al-Buti, al-Maratu baina Tughyan al-Nidzam al-Gharbi wa Lataif al-Tashri’ al-Rabbani (Damaskus: Dar al-Fikr, 1996), 199.

[7] Ibid., 49.

[8] Ibid., 202.

[9] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender  Prespektif Alquran (Jakarta: Paramadina, 1999), 105.

[10] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya..,148.

[11] Ibid., 78.

[12] Ibid., 77.

[13] Al-Nasai, Al-Sunan (Stturgart: Maknaz al-Islami Digital, 2010), hadis nomor 3117.

[14] Al-Bukhari, Al-Sahih..., hadis nomor 6037.

[15] Ibn Majah, Al-Sunan..., hadis nomor 1925.

[16] Al-Bukhari, Al-Sahih..., hadis nomor 3273.

[17] Al-Bukhari, Al-Sahih..., hadis nomor 4429.

[18] Al-Bukhari, Al-Sahih..., hadis nomor 5237.

[19] Muslim bin Al-Hajjaj, Al-Sahih..., Hadis Nomor 250.

[20] Ibid., Hadis Nomor 250.

[21] Rida bin Zakariya al-Sharqawi al-Azhari, al-Irshad ila Kaifiyati Dirasat al-Isnad (al-‘Ajuzah: al-Iman, 2002), 132.

[22] Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-Asqalani, Taqrib al-Tahdhib (Damaskus: Dar al-Qalam, 1991), 302.

[23] Ibid., 602.

[24] Ibid., 437.

[25] Ibid., 222.

[26] Ibid., 471/472.

[27] Ibid., 234.

[28] Ibid., 185.

[29] Ibid., 328.

[30] Ibid., 569.

[31] Ibid., 464.

[32] Ibid., 478.

[33] Ibid., 127.

[34] Ibid., 328.

[35] Ibid., 83.

[36] Ibid., 203.

[37] Ibid., 259.

[38] Ibid., 358.

[39] Ibid., 572.

[40] al-Azhari, al-Irshad ila Kaifiyati Dirasat al-Isnad…, 132-133.

[41] al-Tirmidhi, Al-Sunan..., hadis nomor 2821.

[42] al-Bukhari, Al-Sahih..., hadis nomor 305.

[43] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya..,48.

[44] Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkami Alquran vol. 4. (Beirut: Muassasatu al-Risalah, 2006), 442.

[45] ‘Abd al-Halim Abu Shiqqah, Kebebasan Wanita terj. Chairul Halim, (Jakarta: Gema Insani Press, 1990)  280.

[46] Ibid., 275.

[47] al-Buti, al-Maratu baina Tughyan al-Nidzam al-Gharbi..., 174.

[48] Ibid., 174.

[49] Ibid., 178.

[50] Ibid., 178.

[51] Ibid., 179.

[52] al-Quran, 3:195.

[53] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya..,76.

[54] Abu Shiqqah, Kebebasan Wanita..., 288.

[55] QS. 3:36.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...