HOME

20 April, 2022

HADIS DALAM PANDANGAN SYAIKH NAWAWI AL-BANTANI

 

BAB I

PENDAHULUAN

    A.    Latar Belakang

Dalam dunia pesantren kitab kuning bukanlah hal yang asing, karna kitab kuning merupakan pegangan para santri selama menimba ilmu di pesantren, tak heran jika pesantren sangat identik dengan kitab kuning nya, tapi bukan lah tanpa alasan kenapa kitab kuning sangat “mendunia” di kalangan pesantren itu di karenakan segala ilmu pengetahuan agama baik yang klasik maupun modern, terdapat disitu semua.

Siapakah penulis kitab kitab kuning yang ada di pesantren Nusantara? Jawabanya adalah para ulama’-ulama’ timur tengah. Memang kebanyakan penulis kitab kuning di dominasi dari ulama’-ulama’ timur tengah, akan tetapi apakah Indonesia tidak memiliki ulama’-ulama’ seperti itu, jawabanya adalah tidak.

Sebut saja Syaikh Nawawi al-Bantani beliau adalah Ulama’ besar dari Banten Indonesia yang tidak mau kalah dengan ulama’-ulama’ pendahulunya, itu terbukti dari banyaknya karya Imam Nawawi yang termuat dalam kitab – kitab kuning. Dari sinilah penulis ingin sedikit membahas tentang Biografi Imam Nawawi.

    B.     Rumusan Masalah

1.      Siapakah Syaikh Nawawi al-Bantani?

2.      Bagaimana Peran Beliau Dalam Dunia Islam?

3.      Apa sajakah Karya-karya Syaikh Nawawi Bantani?

 

BAB II

PEMBAHASAN

    A.    Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani

Imam Nawawi al-Bantani yang bernama asli Muhammad Nawawi bin Umar bin ‘Arabi, merupakan ulama’ asli Indonesia yang telah banyak dikenal oleh masyarakat terlebih di kalangan pesantren. Beliau  dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Jawi[1]/al-Bantani[2], dan dalam keluarga ia lebih dikenal dengan sebutan Abu ‘Abd al-Mu’thi atau lengkapnya Abu ‘Abd Mu’thi Muhammad Ibn ‘Umar al-Tanara al-Bantani.  Abd Mu’thi adalah satu-satunya anak beliau yang wafat ketika masih Muda[3].

Al-Bantani di lahirkan di kampung Tanara Serang Banten pada tahun 1813 M/1230H[4], kata Tanara  Muncul dari Bahasa ‘Arab yang mempunyai arti menerangi, [5] hal itu cocok seperti kepribadian beliau yang menjadi penerang bagi dunia Islam. Beliau wafat di Ma’la (Makkah) Saudi Arabia, pada tahun 1897M, bertepatan dengan tanggal 25 Syawal tahun 1314 H. Makam beliau berseberangan dengan makam Sayyidatina Khadijah, isteri Nabi, dan juga dekat dengan kuburan Asma, putri sahabat Abu Bakr al-Siddiq, dan sahabat Nabi  Abdullah Ibn Zubair.[6]

Beliau Terlahir dari pasangan ‘Umar ibn ‘Arabi, yang merupakan seorang pejabat penghulu  di Tanara, dan dari ibu bernama Zubaidah yang merupakan penduduk asli Tanara.

Di Tanara, Nawawi kecil bersama kedua  saudaranya yaitu Tamim dan Ahmad,  di ajar langsung oleh ayah nya sendiri yaitu ‘Umar bin ‘Arabi[7]. Ia anak tertua dari empat bersaudara laki laki, yaitu :Ahmad Shihabuddin, Said, Tamim,  Abdullah, dan dua anak perempuan, yaitu: Shakila, dan Shahriya[8].

Jika di amati dari silsilah ayahnya, al-Bantani merupakan keturunan yang ke 12 dari Syaikh Sharif  Hidayatullah, atau yang telah di kenal oleh masyarakat dengan sebutan Sunan Gunung Jati, nasabnya sambung sampai kepada Nabi Muhammad  melalui Imam Ja’far al-Sadiq, Imam Muhammad al-Baqir, Imam Ali Zainal ‘Abidin, Sayyidina Husain, Fatimah al-Zahra[9]. Sampai sekarang keturunan dari Nawawi al-Bantani ke bawah disebut Tubagus, yang sering di cantumkan di depan nama yang asli.[10]

 

    B.     Pendidikan  Syaikh Nawawi al-Bantani

Bersama  saudara-saudaranya Nawawi mulai belajar pertama tama pada ayah kandungnya sendiri, KH Umar sejak beliau berusia lima tahun. Beliau belajar bahasa arab, Ilmu kalam, fiqih, tafsir al-qur’an. Ia juga belajar ilmu keislaman kepada haji sahal, seorang guru yang di hormati di Banten pada masa itu. Ketika  menjelang usia  delapan tahun, Nawawi pergi ke jawa timur untuk menuntut ilmu bersama teman temannya selama tiga tahun.[11]

Dengan belajar beberapa tahun di tanah jawa Nawawi  memiliki ilmu yang mumpuni dan memadai untuk mengajar di Banten. Akan tetapi beliau belum merasa puas dengan ilmu yang beliau peroleh, ini yang menjadikan Nawawi bertekat untuk menuntut ilmu di kota Makkah,

Di saat Nawawi berumur lima belas tahun, Beliau berangkat ke kota Makkah untuk menuntut ilmu yang tinggi dan menunaikan ibadah haji dan bermukim di sana. Selama di Makkah beliau tinggal di lingkungan Syi’ip Ali, yang di situ banyak sekali orang Indonesia menetap. Kira kira jarak antara tempat Nawawi menetap dengan Masjid al-Haram kurang lebih sekitar 500 meter, dan juga dekat dengan madrasah Darul ‘Ulum.[12]

Selama beliau di Makkah sampai beliau wafat, Syaikh Nawawi memiliki dua istri, Nasimah dan Hamdanah, Dari Nasimah terlahirlah Maryam, Nafisah, dan Ruqayyah, sedangkan dari istri yang ke dua terlahir satu anak perempuan bernama Zahra. Dari peneltian yang ada menunjukkan bahwa Syaikh Nawawi tidak memiliki putra laki laki dari istri yang ke dua ini.[13]

Bentuk fisik beliau tidak seperti orang Makkah pada umumnya, tubuh beliau terbilang pendek, bahkan untk ukuran orang Indonesia sekalipun. Badanya bungkuk, akibat sering dan senag membaca.

Di Makkah beliau memanfaatkan waktunya untuk belajar ilmu kalam (teologi), bahasa dan sastra Arab, ilmu hadis, tafsir, tasawuf, dan fiqh. Beliau berguru kepada Syaikh Khatib Sambas (Kalimantan) dan Syaikh Abd al-Ghani (Bima, Nusa Tenggara Barat). Imam Nawawi juga belajar kepada Syaikh Ahmad Dimyati, pengajar di Masjidil Haram, Ahmad bin Abd Rahman al-Nahrawi, dan Ahmad Zaini Dahlan, Mufti Shafi’iyyah Makkah yang juga Rektor Universitas Al-Haram ketika itu.[14] Beliau memiliki kecerdasan yang kuat, dan pada saat beliau berumur 18 tahun beliau sudah hafal kitab suci Al-Qur’an.[15]

Selain di Makkah Syaikh Nawawi juga belajar di Madinah al-Munawwarah, di sana beliau memiliki beberapa guru salah satunya ialah Syaikh Muhammad Khatib al-Hambali.[16]

Semangat akan hausnya rasa ingin tahu rupanya belum terpuaskan hanya dengan belajar di Makkah dan Madinah. Hal ini menuntun Syaikh Nawawi Banten untuk berangkat ke Mesir dan belajar kepada ulama ulama besar di sana, ia  juga melanjutkan perjalaanya untuk menuntut ilmu sampai ke Sham (Shiria) untuk belajar kepada beberapa para ulama di sana.[17]

Seusai menimba ilmu di banyak negara, Nawawi memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Sesaimpainya di Indonesia dengan Hazanah keilmuan yang yang relatif cukup lengkap, Nawawi ahirnya dapat membantu ayahnya mengajar para santri. Nawawi yang sejak kecil telah menunjukkan kecerdasanya, langsung mendapat simpati dari masyarakat, khususnya masyarakat Banten sendiri. Kedatangannya membuat pesantren yang dibina ayahnya di datangi oleh santri yang datang membeludak dari berbagai pelosok. Namun tak berselang lama ia memutuskan untuk berangkat lagi ke Makkah sesuai dengan impianya untuk mukim dan (menetap) di sana.

Keinginan Syaikh Nawawi untuk menetap di Makkah juga tak lepas dari sikap pemerintah kolonial belanda yang saat itu selalu memantau dan mengawasi setiap aktifitasnya. Hal ini membuatnya tidak betah tinggal di Indonesia.[18]  Dalam menghadapi pemerintah kolonial Belanda, Syaikh Nawawi memiliki beberapa pandangan dan pendirian yang berbeda dari yang lain. Di antaranya ia sangat anti bekerja sama dengan pihak kolonial belanda dalam semua macam bentuk. Sedangkan dengan orang kafir yang tidak menjajah negara ini, ia memperbolehkan ummat Islam untuk berhubungan dengan mereka untuk kemaslahatan dan kebaikan di dunia.[19]

Syaikh Nawawi meninggalkan kampung halamanya pada tahun 1855 M, kemudian beliau Tinggal di Makkah bersama dengan istrinya, Tamim (adiknya), dan Marzuqi (keponakanya), Syaikh Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjidal-Haram, di perguruan Nasyr al-Ma’arif al-Diniyah. Setiap pagi ia memberi kuliyah yang di mulai pukul 7:30 dan berahir pada pukul 12:00.

Sesungguhnya beliau merasa tidak pantas mengajar di Masjid al-Haram, beliau menganggap pakaianya amatlah jelek dan juga beliau menganggap kepribadian beliau kurang mulia kalau dibanding dengan profesor asli Arab.

Akan tetapi beliau memiliki prestasi yang sangat memuaskan dalam  mengajar tak lain karena kedalaman ilmu dan pengetahuan agamanya, maka tak heran jika beliau di sana tercatat sebagai Syaikh. Di saat mengajar, beliau sering mendapatkan inspirasi untuk bahan tulisan-tulisannya.

Selama mengajar di Masjid al-Haram beliau memiliki banyak sekali murid, di antara murid beiau yang kemudian di kenal oleh bangsa dan ummat muslim di Indonesia sebagai ulama besar yang di segani, antara lain KH. Hasyim Ash’ari  Jombangi, KH. Khalil Bangkalan, Raden Asnawi Kudus, dan lain-lain.[20]

 

BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;


    C.    Karya-karya Syaikh Nawawi al-Bantani.

Sebagai Seorang yang yang cerdas dan berpendidikan, Syaikh Nawawi terbilang sangat produktif  dalam mengarang kitab, ia mulai menulis ketika sudah menetap di kota suci Makkah setelah tidak betah dengan sikap belanda yang selalu mengawasinya ketika beliau mengajar[21]. Dengan usaha yang maksimal Syaikh Nawawi Ahirnya dapat menghasilkan banyak sekali karya tulis yang kemudian hari menjadi bahan pokok untuk mendalami ajaran agama Islam, khususnya bagi penuntut ilmu yang tersebar di seluruh Nusantara.

Adanya ketidak sepakatan di antara para ulama’ tentang jumlah karangan Syaikh Nawawi menjadi indikasi tentang keluasan ilmu yang dimiliki syaikh Nawawi. Ada beberapa pendapat tentang banyaknya jumlah karya tulis yang dimiliki  Syaikh Nawawi al-Bantani sebagian ada yang berpendapat 115 buah kitab, dan ada pula yang berpendapat 99 buah,[22] yang terdiri dari berbagai disiplin ‘ilmu.  Wallahu a’lam.

Di bawah ini sedikit penulis sebutkan sebagaian dari karya tulis Syaikh Nawawi, yang lebih di dominasai oleh karya komentar atau Sharh, berikut di antaranya:

1.      Hadis Nabi :

Tanqih al-Qaul al-Hathith, komentar atas Lubab al-Hadis\ karya Jalaluddin al-Suyuti.

 

2.      Tafsir Alqur’an:

Tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil al-Musfir ‘an Wujuh Mahasin al-Ta’wil, juga dikenal dengan Marah Labid li Kashf Ma’na Qur’an al-Majid.

 

3.  Tauhid / Ushuluddin :

a) Bahjah al-Wasa’il bi Sharh al-Masa’il, komentar atas Al-Risalat al Jami’ah karya Sayyid Ahmad bin Zain al-Habshi.

b) Al-Futuhat al-Madaniyyah, komentar tentang cabang-cabang iman (syu’ab al-iman) diambil dari Al-Nuqayah karya Al-Suyuthi dan Futuhat al-Makkiyyah karya Ibnu Arabi.

c) Al-Tijan al-Dharari, komentar atas Risalat fi Il’m al-Tauhid karya Imam al-Bajuri.

d) Al-Thimar al-Yani’ah, komentar atas Al-Riyadh al-badi’ah fi Ushul al-Din wa Ba’dah Furu’ al-Syari’ah karya Muhammad bin Sulaiman Hasbullah.

e)  Dhari’at al-Yaqin, komentar atas Umm al-Baharim karya Al-Sanusi.

f) Fath al-Majid, komentar atas Al-Durr al-Farid karya guru Nawawi, Ahmad al-Nahrawi.

g) Hilyat al-Sibyan, komentar atas Fath al-Rahman.

h) Nur al-Zalam, komentar atas Al-Aqidat Awwam karya Ahmad al-Marzuqi.

i) Qathr al-Ghais\, komentar atas Al-Masa’il karya Abu al-Laits.

 

4. Fikih :

a) Al-‘Iqad al-Ts\amin, sebuah penjelasan atas 601 pertanyaan karya Ahmad bin Muhammad al-Zahid, yang diubah dalam bentuk oleh sejawatnya, Mustafa bin Utsman al-jawi al-Quruti dengan judul Fath al-Mubin.

b) Fath al-Mujib, komentar atas Al Manaqib al-Hajj karya Muhammad bin Muhammad al-Shirbini al-Khatib.

c) Kasyifat al-Saja’, komentar atas Al-Safinat al-Naja karya seorang Hadhrami, Salim bin Samir.

d) Maraqi al-Ubudiyyah, komentar atas Bidayat al-Hidayah karya Al-Ghazali.

e) Mirqat Su’ud al-Tashdiq, komentar atas Sullam al-Taufiq ila Mahabbat Allah ‘ala al-Tahqiq karya Abdullah al-Ba’lawi.

f) Nihayat al-Zain, komentar atas Qurrat al-‘Ayn bi Muhimmat al-Din karya Zainuddin Abd al-Aziz al-Malabari.

g) Qut al-Habib al-Gharib, judul lain bagi Al-Tawsih, komentar atas Fath al-Qarib karya Muhammad bin Qasim al-Ghazzi, komentar atas Al-Taqrib karangan Abu Shuja’ al-Isfahani.

h) Sullam al-Munajat, komentar atas Al-Safinat al-Sala karangan Abdullah bin Yahya al-Hadhrami.

i) ‘Uqud al-Lujjayn fi Bayan al-Huquq al-Zaujayn, kitab singkat tentang kewajiban suami isteri.

 

5. Tasawwuf :

a) Mishbah al-Zolam, komentar atas karya Ali bin Husam al-Din al-Hindi, Al-Manhaj al-Atamm fi Tabwib al-Hukm.

b) Nasha’ih al-Ibad, komentar atas Syekh Syihabuddin Ahmad al-Asqalani.

c) Qami al-Thugyan, komentar atas Manzhumah fi Shu’ab al-Iman karya Zainuddin al-Malibari.

d) Salalim al-Fudhala komentar atas Manzhumat Hidayat al Adzkiya ila Thariq al-Auliya susunan Al-Malibari.

 

6. Biografi Nabi   

a) Al-Ibriz al-Dani fi Maulid Sayyidina Muhammad al-Sayyid al-Adnani, ringkasan dari Maulid karya Al-Qathalani.

b) Fath al-Samad al-Alim ‘ala Maulid al-Syaikh Ahmad Ibn al-Qasim wa Bulugh al-Fauzi li Bayan Alfa Maulid Sayyid al-Anam li Ibn al-Jawzi, komentar atas Maulid al-Nabi berjudul Al-‘Arus karangan Ibn al-Jawzi.

g) Targhib al-Musytaqqin, komentar atas Maulid karya Ja’far al-Barzanji.

 

7. Tata Bahasa Arab :

a) Al-Fusus al Yaqutiyyah, komentar atas Al-Rawdat al Bahiyyah fi Abwab al-Tashrifiyyah susunan Abd al-Mun’im ‘Iwad al-Jirjawi.

b) Al-Riyadh al-Fuliyyah, komposisi Nawawi sendiri tentang morfologi bahasa Arab (Sharf).

c) Fath al-Ghafir al-Khattiyyah ala al-Kawakib al-Jaliyyah fi Nazm al-Ajurumiyyah,  komentar atas Al-Jurumiyyah versi sajak karya Al-Sanhaji.

d) Kashf al-Murutiyyah, komentar atas Al-Jurumiyyah karya Abu Abdullah Muhammad bin Muhammad bin Daud al-Sanhaji.

 e) Lubab al-Bayan, komentar atas Al-Risalat al-‘Isti’arat karya Husain al-Nawawi al-Maliki.

Dari sini agak nya kita bisa melihat bahwa Syaikh Nawawi lebih condong ke ‘ilmu Fiqh dan Tauhid sebagai sasaran penyebaran keilmuanya, kalo di banding dengan fan yang lain, terlebih fan hadis.

Dari sekian banyaknya karya Syaikh Nawawi ada sebagian yang sudah tidak di cetak lagi dan sebagian besar masih bisa di cetak ulang dan masih bisa di pergunakan untuk kurikulum pelajaran di pesantren pesantren.[23]


    D.    Cermin Pemikiran Syaikh Nawawi dalam kitab ‘Uqud al-Lujayni.

Ketika Syaikh Nawawi memutuskan untuk meninggalkan  tanah kelahirannya, pada tahun 1855 Syaikh Nawawi ahirnya secara permanen tinggal di kota  Makkah, di sana beliau merasakan suasana tentram dan kebebasan  hal itu tidak disa-siakan oleh beliau untuk menyalurkan semua pengetahuannya lewat karya tulisnya, seperti yang penulis sebutkan di atas, kebanyakan karya tuis beliau merupakan sharh atau komentar terhadap kaya karya pendahulunya.

 Uqud al-Lujain, merupakan salah satu di antara  karya Syaikh Nawawi yang merupakankan Sharh, yang memiliki arti ikatan dua gelombang, mungkin Syaikh Nawawi memaksudkan dua gelombang itu adalah suami dan istri.[24]

Syaikh Nawawi dalam kitab ini telah mengutib kurang lebih 100 buah hadis dan cerita-cerita, yang mana cerita ini di tampilkan oleh Syaikh Nawawi sebagai pendukung terhadap hadis-hadis tersebut, atau untuk memperjelas maknanya, akan tetapi beliau  sering tidak memberikan catatan apa apa tentang nilai keabsahan hadis tersebut, beliau juga tikak melakukan takhrij atau penilaian, yang mana ini sangatlah penting bagi kalangan muhaddithin.

Dari situ lah agaknya kita dapat mengetahui bahwa kitab Uqud al-Lujain merupakan karya yang disiapkan oleh Syaikh Nawawi sebagai kitab petunjuk praktis bagi masyarakat umum tentang suatu tema pembahasan. Dalam hal seperti ini penjelasan-penjelasan yang mendetail dan panjang lebar dan terlalu ilmiah di pandang terlalu membikin rumit dan bukan pada tempatnya, dan bahkan akan kehilangan urgensi dan tujuannya, yaitu sebagai kitab praktis pedoman untuk membina rumah tangga. Itu juga terbukti dari sedikitnya halaman di kitab tersebut yang cuma 64 halaman, bahkan itu juga di ucapkan oleh Imam Nawawi sendiri dengan ungkapan  جدا صغير (suatu karya yang sangat “kecil” sekali)[25]

Seperti yang tersirat dalam judul nama kitab nya Sharh ‘Uqud al-Lujaini Fi Bayani Huquq al-Zaujaini , Syaikh Nawawi ingin memberikan penjelasan kepada kita semua tentang hak-hak suami istri menurut pandangan agama islam  yang perlu untuk kita fahami dan kita penuhi bersama. Tegasnya , inilah menurut Nawawi, pandangan Islam tentang ahwal al-Syakhshiyyah khususnya tentang hak suami isteri dalam rumah tangga.

Menurut Muhammad Husain dalam Kitab Fiqh Perempuan-nya, “sejauh penelitian yang di lakukan oleh para peneliti dalam kitab Sharh ‘Uqud al-Lujain ini Syaikh Nawawi menjadikan beberapa sumber sebagai rujukannya. Di antaranya ialah:

1.      Ihya’ Ulum al-Din karya Abu Hamid al-Ghazali.

2.      Al-Jami’ al-Saghir  karya Jalaluddin al-Suyithi.

3.      ‘Uqubat Ahl al-Kabir  karya Abu Laits al-Samarqandi.

4.      Al-Zawajir karya Ibn Hajar al-Haitami.

5.      Al-Kabir al-Dhahabi

6.      Al-Targhib wa al-Tarhib karya al-Munziri

7.      Sharh Ghayah wa al-Taqrib, Tafsir Khazin, karya Khatib al-Sharbini[26]

Dalam sistematika penulisan kitab ini, yang di lakukan oleh Syaikh Nawawi ialah dengan menyusunnya menjadi empat bab.[27]

Bab pertama, menerangkan kewajiban-kewajiban suami terhadap isteri yang wajib di penuhi, Antara lain, menggauli dengan baik, memberi nafkah, membayar mahar dan adil dalam bergilir, jika isti lebih dari satu. Juga mengajarkan masalah masalah yang di butuhkan oleh isteri, misalnya ibadah ibadah wajib dan sunah, walaupun sunah Ghaoiru mu’akkadah. Dan hal-hal yang berhubungan dengan masalah haidh, serta wajibnya taat kepada suami selain dalam kemaksiatan.[28]

Bab kedua, menerangkan kewajiban kewajiban isteri yaitu taat kepada suami selaih pada perkara perkara maksiat, dan bergaul dengan baik menyerahkan seluruh jiwa raga kepada suami, menetap di rumah, menjaga diri dari godaan laki-laki lain, menutup anggota badanya dari penglihatan laki laki lain, meski sebatas wajah dan telapak tangannya, menghindari tuntutan terhadap suami yang melebihi kebutuhan, walaupun tahu bahwa suaminya mampu memenuhinya, menjaga diri dari menerima nafkah yang haram dan tidak boleh atas datangnya haidhataupun hilangnya.

Bab ketiga, menjelaskan keutamaan sholatnya istri di dalam rumahnya sendiri.

Bab keempat, menerangkan haramnya seorang pria memandang wanita yang bukan mahramnya atau sebaliknya. Termasuk kata gori laki laki disini adalah anak laki laki yang beranjak dewasa (remaja) dan termasuk katagori perempuan adalah memandang anak laki laki yang tampan wajahnya.[29]

Sebagai pembuka pada bagian pertama syaikh Nawawi al-Bantani menguraikan hak-hak isteri dengan mengutib firman Allah dalam surat Al-Nisa ayat 19 yang berbunyi :

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan bergaullah dengan mereka secara patut[30]

Beliau juga mengutip firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 228 yang berbunyi:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibanya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya”[31]

Dari dua ayat di atas tercermin hak istri, yaitu diperlakukan dengan baik oleh suami. Selanjutnya Syaikh Nawawi menafsirkan kata al-ma’ruf dengan arti berlaku adil dalam mengatur waktu untuk para istri, memberi nafkah dan berbicara lemah lembut kepada mereka,[32]

Di sini kami akan lampirkan sedikit contoh isi dari kitab Uqud al-Lujain.


BAB III

PENUTUP

Syaikh Nawawi al-Bantani terlahir sebagai anak yang cerdas karna sejak kecil beliau langsung di ajar oleh kedua orang tuanya, Syaikh Nawawi beranjak besar dan langsung di arahkan oleh orang tuanya untuk belajar di daerah daerah, puncaknya ketika beliau berumur 15 tahun belia memantapkan niat untuk berangkat ke kota suci Makkah untuk menimbah ‘Ilmu dan sekaligus menunaikan haji.

Syaikh Nawawi yang sedah beberapa tahun belajar di kota suci Makkah, akhirnya dengan segenap keilmuanya, beliau kembali ke tanah Jawa, untuk ikut membantu ayahnya mengajarkan ‘ilmu kepada masyarakat sekitar, hingga akhirnya datang lah kolonial Belanda yang sedikit demi sedikit “mengusik” ketentraman hati Syaikh Nawawi al-Bantani hingga akhirnya beliau bertekat untuk kembali lagi ke tanah suci Makkah untuk menetap di sana secara permanen.

Di sana beliau menikah dan memiliki banyak karya tulis, yang akhirnya karya-karya tersebut bisa kita rasakan hingga sekarang, itu semua tidak lepas dari kesungguhan beliau dalam menuntut ‘Ilmu.


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;


Daftar Pustaka

Amin, Ma’ruf dan Nasiruddin Ansari, Pemikiran Syaikh Nawai al-Bantani, (Bandung ,al-Ma’arif, 1996)

Burhanudin, Mamat S.,  Hermeneutika Al-Qur’an  ala Pesantren , analisis terhadap Tafsir Marah Labid Karya K.H Nawawi Banten”, (Banten: Harian Fajar Banten : 2006)

Chaidar, Sejarah Pujangga Islam Syaikh Nawawi al-Banteni, (Banten;Yayasan Pendidikan Pelajar al-Haddad Padenglang, 1999)

Depag RI,  Al-Qur’an Dan Terjemahnya.

Ensiklopedia Islam,  (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2003)

Ibn Umar, Ibn Ali Nawawi Muhammad, al-Banteni al-Jawi Sharh ‘Uqud al-Lujaini Fi Bayani Huquq al-Zaujaini (Pdf  Version ) h 1

Muhammad Iqbal, Asep , Yahudi dan Nasrani dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Teraju, 2004),

Muhammad, Husein  Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Jender,(Yogyakarta: LKiS, 2001)

Syatibi , Ahmad,  jejak Syekh Nawawi al-Bantani, (Banten: Harian Fajar Banten, 2004)


[1] Al-Jawi adalah sebutan an bagi pelajar asal Indonesia ataupun melayu yang menuntut ‘ilmu di kota suci makkah,Madinah dan mesir.

[2] Banten merupakan Salah satu daerah yang terdapat di wilayah Indonesia, yang berada di paling barat dari Pulau Jawa

[3] Ahmad Syatibi , jejak Syekh Nawawi al-Bantani, (Banten: Harian Fajar Banten, 2004),Hal 4

[4] Mamat S. Burhanudin, Hermeneutika Al-Qur’an  ala Pesantren , analisis terhadap Tafsir Marah Labid Karya K.H Nawawi Banten”, (Banten: Harian Fajar Banten : 2006) Hal 20

[5] Ahmad Syatibi , jejak Syekh Nawawi al-Bantani., Hal 4

[6]Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2003) , Hal 23

[7] Chaidar, Sejarah Pujangga Islam Syaikh Nawawi al-Banteni, (Banten;Yayasan Pendidikan Pelajar al-Haddad Padenglang, 1999) hal 3

[8] Ibid

[9] Ma’ruf Amin dan Nasiruddin Ansari, Pemikiran Syaikh Nawai al-Bantani, (Bandung ,al-Ma’arif, 1996) hal 95-96

[10] Mamat S. Burhanudin, Hermeneutika Al-Qur’an  ala Pesantren,,,,.Hal 21.

[11] Ibid

[12] Chaidar, Sejarah Pujangga Islam Syaikh Nawawi al-Banteni,,,Hal 49.

[13] Ibid ,32

[14] Asep Muhammad Iqbal, Yahudi dan Nasrani dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Teraju, 2004),h. 51

[15] Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2003) , Hal 24

[16] Ahmad Syatibi, “Jejak Syekh Nawawi al-Bantani” Hal 4

[17] Ibid.

[18] Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Jender,(Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 172

[19] Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, h. 24

[20] Chaidar, Sejarah Pujangga Islam Syaikh Nawawi al-Banteni,,,Hal 51

[21] Asep Muhammad Iqbal, Yahudi dan Nasrani dalam Al-Qur’an, hal 71

[22] Ensiklopedi Islam,  hal. 24.

[23] Asep Muhammad Iqbal , Yahudi dan Nasrani dalam Al-Qur’an,,, hal 71

[24] ibid

[25] Muhammad Ibn Umar,Ibn Ali Nawawi al-Banteni al-Jawi Sharh ‘Uqud al-Lujaini Fi Bayani Huquq al-Zaujaini (Pdf  Version ) h 1

[26] Husein Muhammad, Fiqih Perempuan, (Yogyakarta : LKIS, 2001), h. 176.

[27] Muhammad Ibn Umar,Ibn Ali Nawawi al-Banteni al-Jawi Sharh ‘Uqud al-Lujaini,,h 3

[28] Ibid

[29] ibid

[30] Depag RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, h 80

[31] Ibid h,36

[32] Nawawi al-Bantani, ‘Uqud al-Lujjayn, h. 3.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...