BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam dunia pesantren kitab kuning bukanlah hal yang asing, karna kitab kuning merupakan pegangan para santri selama menimba ilmu di pesantren, tak heran jika pesantren sangat identik dengan kitab kuning nya, tapi bukan lah tanpa alasan kenapa kitab kuning sangat “mendunia” di kalangan pesantren itu di karenakan segala ilmu pengetahuan agama baik yang klasik maupun modern, terdapat disitu semua.
Siapakah penulis kitab kitab kuning yang ada di pesantren Nusantara? Jawabanya adalah para ulama’-ulama’ timur tengah. Memang kebanyakan penulis kitab kuning di dominasi dari ulama’-ulama’ timur tengah, akan tetapi apakah Indonesia tidak memiliki ulama’-ulama’ seperti itu, jawabanya adalah tidak.
Sebut saja Syaikh Nawawi al-Bantani
beliau adalah Ulama’ besar dari Banten Indonesia yang tidak mau kalah dengan
ulama’-ulama’ pendahulunya, itu terbukti dari banyaknya karya Imam Nawawi yang
termuat dalam kitab – kitab kuning. Dari sinilah penulis ingin sedikit membahas
tentang Biografi Imam Nawawi.
B.
Rumusan Masalah
1.
Siapakah Syaikh Nawawi al-Bantani?
2.
Bagaimana Peran Beliau Dalam Dunia Islam?
3.
Apa sajakah Karya-karya Syaikh Nawawi Bantani?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani
Imam Nawawi
al-Bantani yang bernama asli Muhammad Nawawi bin Umar bin ‘Arabi, merupakan
ulama’ asli Indonesia yang telah banyak dikenal oleh masyarakat terlebih di
kalangan pesantren. Beliau dikenal
dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Jawi[1]/al-Bantani[2], dan dalam keluarga ia
lebih dikenal dengan sebutan Abu ‘Abd al-Mu’thi atau lengkapnya Abu ‘Abd Mu’thi
Muhammad Ibn ‘Umar al-Tanara al-Bantani. Abd Mu’thi adalah satu-satunya anak beliau
yang wafat ketika masih Muda[3].
Al-Bantani di
lahirkan di kampung Tanara Serang Banten pada tahun 1813 M/1230H[4], kata Tanara Muncul dari Bahasa ‘Arab yang mempunyai arti menerangi,
[5]
hal itu cocok seperti kepribadian beliau yang menjadi penerang
bagi dunia Islam. Beliau wafat di Ma’la (Makkah) Saudi Arabia, pada tahun 1897M,
bertepatan dengan tanggal 25 Syawal tahun 1314 H. Makam beliau
berseberangan dengan makam Sayyidatina Khadijah, isteri Nabi, dan juga dekat
dengan kuburan Asma, putri sahabat Abu Bakr al-Siddiq, dan sahabat Nabi Abdullah Ibn Zubair.[6]
Beliau Terlahir
dari pasangan ‘Umar ibn ‘Arabi, yang merupakan seorang pejabat penghulu di Tanara, dan dari ibu bernama Zubaidah yang
merupakan penduduk asli Tanara.
Di Tanara, Nawawi
kecil bersama kedua saudaranya yaitu
Tamim dan Ahmad, di ajar langsung oleh
ayah nya sendiri yaitu ‘Umar bin ‘Arabi[7]. Ia anak tertua dari empat
bersaudara laki laki, yaitu :Ahmad Shihabuddin, Said, Tamim, Abdullah, dan dua anak perempuan, yaitu:
Shakila, dan Shahriya[8].
Jika di amati dari
silsilah ayahnya, al-Bantani merupakan keturunan yang ke 12 dari Syaikh Sharif Hidayatullah, atau yang telah di kenal oleh
masyarakat dengan sebutan Sunan Gunung Jati, nasabnya sambung sampai kepada
Nabi Muhammad melalui Imam Ja’far al-Sadiq,
Imam Muhammad al-Baqir, Imam Ali Zainal ‘Abidin, Sayyidina Husain, Fatimah
al-Zahra[9]. Sampai sekarang keturunan
dari Nawawi al-Bantani ke bawah disebut Tubagus, yang sering di
cantumkan di depan nama yang asli.[10]
B.
Pendidikan Syaikh Nawawi
al-Bantani
Bersama saudara-saudaranya Nawawi mulai belajar
pertama tama pada ayah kandungnya sendiri, KH Umar sejak beliau berusia lima
tahun. Beliau belajar bahasa arab, Ilmu kalam, fiqih, tafsir al-qur’an. Ia juga
belajar ilmu keislaman kepada haji sahal, seorang guru yang di hormati di
Banten pada masa itu. Ketika menjelang
usia delapan tahun, Nawawi pergi ke jawa
timur untuk menuntut ilmu bersama teman temannya selama tiga tahun.[11]
Dengan belajar
beberapa tahun di tanah jawa Nawawi memiliki ilmu yang mumpuni dan memadai untuk
mengajar di Banten. Akan tetapi beliau belum merasa puas dengan ilmu yang
beliau peroleh, ini yang menjadikan Nawawi bertekat untuk menuntut ilmu di kota
Makkah,
Di saat Nawawi berumur
lima belas tahun, Beliau berangkat ke kota Makkah untuk menuntut ilmu yang
tinggi dan menunaikan ibadah haji dan bermukim di sana. Selama di Makkah beliau
tinggal di lingkungan Syi’ip Ali, yang di situ banyak sekali orang
Indonesia menetap. Kira kira jarak antara tempat Nawawi menetap dengan Masjid
al-Haram kurang lebih sekitar 500 meter, dan juga dekat dengan madrasah Darul
‘Ulum.[12]
Selama beliau di
Makkah sampai beliau wafat, Syaikh Nawawi memiliki dua istri, Nasimah dan
Hamdanah, Dari Nasimah terlahirlah Maryam, Nafisah, dan Ruqayyah, sedangkan
dari istri yang ke dua terlahir satu anak perempuan bernama Zahra. Dari peneltian
yang ada menunjukkan bahwa Syaikh Nawawi tidak memiliki putra laki laki dari
istri yang ke dua ini.[13]
Bentuk fisik
beliau tidak seperti orang Makkah pada umumnya, tubuh beliau terbilang pendek,
bahkan untk ukuran orang Indonesia sekalipun. Badanya bungkuk, akibat sering
dan senag membaca.
Di Makkah beliau memanfaatkan
waktunya untuk belajar ilmu kalam (teologi), bahasa dan sastra Arab, ilmu
hadis, tafsir, tasawuf, dan fiqh. Beliau berguru kepada Syaikh Khatib Sambas
(Kalimantan) dan Syaikh Abd al-Ghani (Bima, Nusa Tenggara Barat). Imam Nawawi
juga belajar kepada Syaikh Ahmad Dimyati, pengajar di Masjidil Haram, Ahmad bin
Abd Rahman al-Nahrawi, dan Ahmad Zaini Dahlan, Mufti Shafi’iyyah Makkah
yang juga Rektor Universitas Al-Haram ketika itu.[14] Beliau memiliki
kecerdasan yang kuat, dan pada saat beliau berumur 18 tahun beliau sudah hafal
kitab suci Al-Qur’an.[15]
Selain di Makkah
Syaikh Nawawi juga belajar di Madinah al-Munawwarah, di sana beliau memiliki
beberapa guru salah satunya ialah Syaikh Muhammad Khatib al-Hambali.[16]
Semangat akan
hausnya rasa ingin tahu rupanya belum terpuaskan hanya dengan belajar di Makkah
dan Madinah. Hal ini menuntun Syaikh Nawawi Banten untuk berangkat ke Mesir dan
belajar kepada ulama ulama besar di sana, ia juga melanjutkan perjalaanya untuk menuntut
ilmu sampai ke Sham (Shiria) untuk belajar kepada beberapa para ulama di sana.[17]
Seusai menimba
ilmu di banyak negara, Nawawi memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Sesaimpainya
di Indonesia dengan Hazanah keilmuan yang yang relatif cukup lengkap,
Nawawi ahirnya dapat membantu ayahnya mengajar para santri. Nawawi yang sejak
kecil telah menunjukkan kecerdasanya, langsung mendapat simpati dari
masyarakat, khususnya masyarakat Banten sendiri. Kedatangannya membuat
pesantren yang dibina ayahnya di datangi oleh santri yang datang membeludak
dari berbagai pelosok. Namun tak berselang lama ia memutuskan untuk berangkat
lagi ke Makkah sesuai dengan impianya untuk mukim dan (menetap) di sana.
Keinginan Syaikh
Nawawi untuk menetap di Makkah juga tak lepas dari sikap pemerintah kolonial
belanda yang saat itu selalu memantau dan mengawasi setiap aktifitasnya. Hal
ini membuatnya tidak betah tinggal di Indonesia.[18] Dalam menghadapi pemerintah kolonial Belanda,
Syaikh Nawawi memiliki beberapa pandangan dan pendirian yang berbeda dari yang
lain. Di antaranya ia sangat anti bekerja sama dengan pihak kolonial belanda dalam
semua macam bentuk. Sedangkan dengan orang kafir yang tidak menjajah negara
ini, ia memperbolehkan ummat Islam untuk berhubungan dengan mereka untuk
kemaslahatan dan kebaikan di dunia.[19]
Syaikh Nawawi
meninggalkan kampung halamanya pada tahun 1855 M, kemudian beliau Tinggal di
Makkah bersama dengan istrinya, Tamim (adiknya), dan Marzuqi (keponakanya),
Syaikh Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjidal-Haram, di perguruan Nasyr
al-Ma’arif al-Diniyah. Setiap pagi ia memberi kuliyah yang di mulai pukul 7:30
dan berahir pada pukul 12:00.
Sesungguhnya
beliau merasa tidak pantas mengajar di Masjid al-Haram, beliau menganggap
pakaianya amatlah jelek dan juga beliau menganggap kepribadian beliau kurang
mulia kalau dibanding dengan profesor asli Arab.
Akan tetapi beliau
memiliki prestasi yang sangat memuaskan dalam
mengajar tak lain karena kedalaman ilmu dan pengetahuan agamanya, maka
tak heran jika beliau di sana tercatat sebagai Syaikh. Di saat mengajar, beliau
sering mendapatkan inspirasi untuk bahan tulisan-tulisannya.
Selama mengajar di
Masjid al-Haram beliau memiliki banyak sekali murid, di antara murid beiau yang
kemudian di kenal oleh bangsa dan ummat muslim di Indonesia sebagai ulama besar
yang di segani, antara lain KH. Hasyim Ash’ari
Jombangi, KH. Khalil Bangkalan, Raden Asnawi Kudus, dan lain-lain.[20]
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;
- PERKEMBANGAN HADIS PADA KE IV HIJRIYAH
- SUNAN ABU DAWUD
- PEMBUKUAN HADIS
- SEJARAH PENYUSUNAN KITAB SAHIH BUKHARI
- PERKEMBANGAN HADIS PADA MASA SAHABAT KECIL DAN TABI‘IN BESAR (40 H-AKHIR ABAD 1 H)
- SEJARAH PENYUSUNAN MUSNAD AHMAD BIN HANBAL
- PERKEMBANGAN HADIS PADA MASA KHULAFAUR RASYIDIN
C.
Karya-karya Syaikh Nawawi al-Bantani.
Sebagai Seorang
yang yang cerdas dan berpendidikan, Syaikh Nawawi terbilang sangat produktif dalam mengarang kitab, ia mulai menulis ketika
sudah menetap di kota suci Makkah setelah tidak betah dengan sikap belanda yang
selalu mengawasinya ketika beliau mengajar[21]. Dengan usaha yang
maksimal Syaikh Nawawi Ahirnya dapat menghasilkan banyak sekali karya tulis
yang kemudian hari menjadi bahan pokok untuk mendalami ajaran agama Islam,
khususnya bagi penuntut ilmu yang tersebar di seluruh Nusantara.
Adanya ketidak
sepakatan di antara para ulama’ tentang jumlah karangan Syaikh Nawawi menjadi
indikasi tentang keluasan ilmu yang dimiliki syaikh Nawawi. Ada beberapa
pendapat tentang banyaknya jumlah karya tulis yang dimiliki Syaikh Nawawi al-Bantani sebagian ada yang
berpendapat 115 buah kitab, dan ada pula yang berpendapat 99 buah,[22] yang terdiri dari
berbagai disiplin ‘ilmu. Wallahu
a’lam.
Di bawah ini sedikit penulis sebutkan sebagaian dari karya tulis Syaikh Nawawi, yang lebih di dominasai oleh karya komentar atau Sharh, berikut di antaranya:
1.
Hadis
Nabi :
Tanqih al-Qaul al-Hathith, komentar atas Lubab al-Hadis\ karya Jalaluddin
al-Suyuti.
2.
Tafsir Alqur’an:
Tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil al-Musfir ‘an Wujuh
Mahasin al-Ta’wil, juga dikenal
dengan Marah Labid li Kashf Ma’na Qur’an al-Majid.
3. Tauhid / Ushuluddin :
a) Bahjah al-Wasa’il bi Sharh
al-Masa’il, komentar atas Al-Risalat al Jami’ah karya Sayyid Ahmad bin Zain al-Habshi.
b) Al-Futuhat
al-Madaniyyah, komentar tentang
cabang-cabang iman (syu’ab al-iman) diambil dari Al-Nuqayah
karya Al-Suyuthi dan Futuhat al-Makkiyyah karya Ibnu Arabi.
c) Al-Tijan al-Dharari, komentar
atas Risalat fi Il’m al-Tauhid karya Imam al-Bajuri.
d) Al-Thimar al-Yani’ah, komentar atas Al-Riyadh al-badi’ah fi Ushul al-Din wa
Ba’dah Furu’ al-Syari’ah karya
Muhammad bin Sulaiman
Hasbullah.
e) Dhari’at al-Yaqin, komentar atas Umm al-Baharim karya Al-Sanusi.
f)
Fath al-Majid,
komentar atas Al-Durr
al-Farid karya guru
Nawawi, Ahmad al-Nahrawi.
g) Hilyat al-Sibyan, komentar atas Fath al-Rahman.
h)
Nur al-Zalam, komentar
atas Al-Aqidat Awwam karya Ahmad al-Marzuqi.
i)
Qathr al-Ghais\,
komentar atas Al-Masa’il karya
Abu al-Laits.
4. Fikih :
a) Al-‘Iqad al-Ts\amin, sebuah penjelasan atas 601 pertanyaan karya Ahmad bin
Muhammad al-Zahid, yang diubah dalam bentuk oleh sejawatnya, Mustafa bin Utsman
al-jawi al-Quruti dengan judul Fath al-Mubin.
b)
Fath al-Mujib,
komentar atas Al
Manaqib al-Hajj karya Muhammad
bin Muhammad al-Shirbini al-Khatib.
c)
Kasyifat al-Saja’,
komentar atas Al-Safinat
al-Naja karya seorang Hadhrami, Salim bin Samir.
d)
Maraqi al-Ubudiyyah, komentar atas Bidayat al-Hidayah karya
Al-Ghazali.
e) Mirqat Su’ud al-Tashdiq, komentar atas Sullam al-Taufiq ila Mahabbat Allah ‘ala
al-Tahqiq karya Abdullah
al-Ba’lawi.
f)
Nihayat al-Zain, komentar
atas Qurrat al-‘Ayn bi Muhimmat al-Din karya
Zainuddin Abd al-Aziz al-Malabari.
g) Qut al-Habib al-Gharib,
judul lain bagi Al-Tawsih, komentar atas Fath al-Qarib karya Muhammad bin Qasim al-Ghazzi, komentar atas Al-Taqrib karangan Abu Shuja’ al-Isfahani.
h)
Sullam al-Munajat,
komentar atas Al-Safinat
al-Sala karangan Abdullah bin Yahya al-Hadhrami.
i) ‘Uqud al-Lujjayn fi Bayan al-Huquq
al-Zaujayn, kitab singkat
tentang kewajiban suami isteri.
5. Tasawwuf :
a) Mishbah al-Zolam, komentar atas karya Ali bin Husam al-Din al-Hindi, Al-Manhaj al-Atamm fi
Tabwib al-Hukm.
b)
Nasha’ih al-Ibad,
komentar atas Syekh Syihabuddin
Ahmad al-Asqalani.
c)
Qami al-Thugyan,
komentar atas Manzhumah fi Shu’ab al-Iman karya Zainuddin
al-Malibari.
d)
Salalim al-Fudhala
komentar atas Manzhumat Hidayat al Adzkiya ila Thariq al-Auliya susunan
Al-Malibari.
6. Biografi Nabi
a) Al-Ibriz al-Dani fi
Maulid Sayyidina Muhammad al-Sayyid al-Adnani, ringkasan dari Maulid karya Al-Qathalani.
b) Fath al-Samad al-Alim
‘ala Maulid al-Syaikh Ahmad Ibn al-Qasim wa Bulugh al-Fauzi li Bayan Alfa Maulid
Sayyid al-Anam li Ibn al-Jawzi,
komentar atas Maulid al-Nabi berjudul Al-‘Arus karangan
Ibn al-Jawzi.
g)
Targhib al-Musytaqqin, komentar
atas Maulid karya Ja’far
al-Barzanji.
7. Tata Bahasa Arab :
a) Al-Fusus al Yaqutiyyah, komentar atas Al-Rawdat al Bahiyyah fi Abwab
al-Tashrifiyyah susunan Abd
al-Mun’im ‘Iwad al-Jirjawi.
b)
Al-Riyadh al-Fuliyyah,
komposisi Nawawi sendiri tentang morfologi
bahasa Arab (Sharf).
c) Fath al-Ghafir
al-Khattiyyah ala al-Kawakib al-Jaliyyah fi Nazm al-Ajurumiyyah, komentar atas Al-Jurumiyyah versi sajak karya Al-Sanhaji.
d) Kashf al-Murutiyyah, komentar atas Al-Jurumiyyah karya Abu Abdullah Muhammad bin Muhammad bin Daud
al-Sanhaji.
e) Lubab al-Bayan,
komentar atas Al-Risalat al-‘Isti’arat karya Husain al-Nawawi
al-Maliki.
Dari sini agak nya kita bisa melihat bahwa Syaikh Nawawi
lebih condong ke ‘ilmu Fiqh dan Tauhid sebagai sasaran penyebaran keilmuanya, kalo
di banding dengan fan yang lain, terlebih fan hadis.
Dari sekian banyaknya karya Syaikh Nawawi ada sebagian
yang sudah tidak di cetak lagi dan sebagian besar masih bisa di cetak ulang dan
masih bisa di pergunakan untuk kurikulum pelajaran di pesantren pesantren.[23]
D.
Cermin Pemikiran Syaikh Nawawi dalam kitab ‘Uqud
al-Lujayni.
Ketika Syaikh
Nawawi memutuskan untuk meninggalkan
tanah kelahirannya, pada tahun 1855 Syaikh Nawawi ahirnya secara
permanen tinggal di kota Makkah, di sana
beliau merasakan suasana tentram dan kebebasan
hal itu tidak disa-siakan oleh beliau untuk menyalurkan semua
pengetahuannya lewat karya tulisnya, seperti yang penulis sebutkan di atas,
kebanyakan karya tuis beliau merupakan sharh atau komentar terhadap kaya
karya pendahulunya.
Uqud al-Lujain, merupakan salah satu di
antara karya Syaikh Nawawi yang merupakankan
Sharh, yang memiliki arti ikatan dua gelombang, mungkin Syaikh Nawawi
memaksudkan dua gelombang itu adalah suami dan istri.[24]
Syaikh Nawawi
dalam kitab ini telah mengutib kurang lebih 100 buah hadis dan cerita-cerita,
yang mana cerita ini di tampilkan oleh Syaikh Nawawi sebagai pendukung terhadap
hadis-hadis tersebut, atau untuk memperjelas maknanya, akan tetapi beliau sering tidak memberikan catatan apa apa
tentang nilai keabsahan hadis tersebut, beliau juga tikak melakukan takhrij atau
penilaian, yang mana ini sangatlah penting bagi kalangan muhaddithin.
Dari situ lah
agaknya kita dapat mengetahui bahwa kitab Uqud al-Lujain merupakan karya
yang disiapkan oleh Syaikh Nawawi sebagai kitab petunjuk praktis bagi
masyarakat umum tentang suatu tema pembahasan. Dalam hal seperti ini
penjelasan-penjelasan yang mendetail dan panjang lebar dan terlalu ilmiah di
pandang terlalu membikin rumit dan bukan pada tempatnya, dan bahkan akan
kehilangan urgensi dan tujuannya, yaitu sebagai kitab praktis pedoman untuk
membina rumah tangga. Itu juga terbukti dari sedikitnya halaman di kitab
tersebut yang cuma 64 halaman, bahkan itu juga di ucapkan oleh Imam Nawawi
sendiri dengan ungkapan جدا صغير (suatu karya yang sangat “kecil”
sekali)[25]
Seperti yang tersirat dalam judul nama kitab nya Sharh
‘Uqud al-Lujaini Fi Bayani Huquq al-Zaujaini , Syaikh Nawawi ingin
memberikan penjelasan kepada kita semua tentang hak-hak suami istri menurut
pandangan agama islam yang perlu untuk
kita fahami dan kita penuhi bersama. Tegasnya , inilah menurut Nawawi,
pandangan Islam tentang ahwal al-Syakhshiyyah khususnya tentang hak
suami isteri dalam rumah tangga.
Menurut Muhammad Husain dalam Kitab Fiqh Perempuan-nya,
“sejauh penelitian yang di lakukan oleh para peneliti dalam kitab Sharh
‘Uqud al-Lujain ini Syaikh Nawawi menjadikan beberapa sumber sebagai
rujukannya. Di antaranya ialah:
1.
Ihya’ Ulum
al-Din karya Abu Hamid al-Ghazali.
2.
Al-Jami’ al-Saghir
karya Jalaluddin
al-Suyithi.
3.
‘Uqubat Ahl
al-Kabir karya Abu Laits
al-Samarqandi.
4.
Al-Zawajir karya Ibn Hajar
al-Haitami.
5.
Al-Kabir al-Dhahabi
6.
Al-Targhib wa
al-Tarhib karya al-Munziri
7.
Sharh Ghayah wa
al-Taqrib, Tafsir Khazin, karya Khatib al-Sharbini[26]
Dalam
sistematika penulisan kitab ini, yang di lakukan oleh Syaikh Nawawi ialah
dengan menyusunnya menjadi empat bab.[27]
Bab pertama,
menerangkan kewajiban-kewajiban suami terhadap isteri yang wajib di penuhi,
Antara lain, menggauli dengan baik, memberi nafkah, membayar mahar dan adil
dalam bergilir, jika isti lebih dari satu. Juga mengajarkan masalah masalah
yang di butuhkan oleh isteri, misalnya ibadah ibadah wajib dan sunah, walaupun
sunah Ghaoiru mu’akkadah. Dan hal-hal yang berhubungan dengan masalah
haidh, serta wajibnya taat kepada suami selain dalam kemaksiatan.[28]
Bab kedua,
menerangkan kewajiban kewajiban isteri yaitu taat kepada suami selaih pada
perkara perkara maksiat, dan bergaul dengan baik menyerahkan seluruh jiwa raga
kepada suami, menetap di rumah, menjaga diri dari godaan laki-laki lain,
menutup anggota badanya dari penglihatan laki laki lain, meski sebatas wajah
dan telapak tangannya, menghindari tuntutan terhadap suami yang melebihi
kebutuhan, walaupun tahu bahwa suaminya mampu memenuhinya, menjaga diri dari
menerima nafkah yang haram dan tidak boleh atas datangnya haidhataupun
hilangnya.
Bab ketiga,
menjelaskan keutamaan sholatnya istri di dalam rumahnya sendiri.
Bab keempat,
menerangkan haramnya seorang pria memandang wanita yang bukan mahramnya atau
sebaliknya. Termasuk kata gori laki laki disini adalah anak laki laki yang
beranjak dewasa (remaja) dan termasuk katagori perempuan adalah memandang anak
laki laki yang tampan wajahnya.[29]
Sebagai
pembuka pada bagian pertama syaikh Nawawi al-Bantani menguraikan hak-hak isteri
dengan mengutib firman Allah dalam surat Al-Nisa ayat 19 yang berbunyi :
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan bergaullah
dengan mereka secara patut[30]”
Beliau juga
mengutip firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 228 yang berbunyi:
وَلَهُنَّ
مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibanya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu
tingkatan kelebihan daripada isterinya”[31]
Dari dua ayat di atas tercermin hak istri, yaitu
diperlakukan dengan baik oleh suami. Selanjutnya Syaikh Nawawi menafsirkan kata
al-ma’ruf dengan arti berlaku adil dalam mengatur waktu untuk para
istri, memberi nafkah dan berbicara lemah lembut kepada mereka,[32]
Di sini kami
akan lampirkan sedikit contoh isi dari kitab Uqud al-Lujain.
BAB
III
PENUTUP
Syaikh Nawawi
al-Bantani terlahir sebagai anak yang cerdas karna sejak kecil beliau langsung
di ajar oleh kedua orang tuanya, Syaikh Nawawi beranjak besar dan langsung di
arahkan oleh orang tuanya untuk belajar di daerah daerah, puncaknya ketika
beliau berumur 15 tahun belia memantapkan niat untuk berangkat ke kota suci
Makkah untuk menimbah ‘Ilmu dan sekaligus menunaikan haji.
Syaikh Nawawi
yang sedah beberapa tahun belajar di kota suci Makkah, akhirnya dengan segenap
keilmuanya, beliau kembali ke tanah Jawa, untuk ikut membantu ayahnya
mengajarkan ‘ilmu kepada masyarakat sekitar, hingga akhirnya datang lah
kolonial Belanda yang sedikit demi sedikit “mengusik” ketentraman hati Syaikh
Nawawi al-Bantani hingga akhirnya beliau bertekat untuk kembali lagi ke tanah
suci Makkah untuk menetap di sana secara permanen.
Di sana
beliau menikah dan memiliki banyak karya tulis, yang akhirnya karya-karya
tersebut bisa kita rasakan hingga sekarang, itu semua tidak lepas dari kesungguhan
beliau dalam menuntut ‘Ilmu.
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;
- PANDANGAN IMAM SHAFI'I TERHADAP HADIS
- HADIS PADA MASA RASULULLAH
- IMAM MALIK IBN ANAS DAN KITAB AL-MUWATTA’
- SUNNAH ANTARA WAHYU ILAHI DAN IJTIHAD NABI SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP TASYRI’
- PEMIKIRAN K. H. MUHAMMAD AHMAD SAHAL MAHFUZ AL-HAJINI TENTANG HADIS
- MUHAMMAD NASIR AL-DIN AL-ALBANI
- KAJIAN HADIS DI INDIA
- STUDI KRITIS PEMIKIRAN IBN HAJAR AL-‘ASQALANI DALAM KAJIAN ILMU HADIS
- IMAM NAWAWI
- HADIS DALAM PANDANGAN SYAIKH NAWAWI AL-BANTANI
Daftar Pustaka
Amin, Ma’ruf dan Nasiruddin Ansari, Pemikiran Syaikh Nawai al-Bantani, (Bandung ,al-Ma’arif, 1996)
Burhanudin, Mamat S., Hermeneutika Al-Qur’an ala Pesantren , analisis terhadap Tafsir Marah Labid Karya K.H Nawawi Banten”, (Banten: Harian Fajar Banten : 2006)
Chaidar, Sejarah Pujangga Islam Syaikh Nawawi
al-Banteni, (Banten;Yayasan Pendidikan Pelajar al-Haddad Padenglang, 1999)
Depag RI,
Al-Qur’an Dan Terjemahnya.
Ensiklopedia Islam, (Jakarta:
Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2003)
Ibn Umar, Ibn Ali Nawawi Muhammad, al-Banteni al-Jawi Sharh ‘Uqud
al-Lujaini Fi Bayani Huquq al-Zaujaini (Pdf
Version ) h 1
Muhammad Iqbal, Asep , Yahudi dan Nasrani dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Teraju, 2004),
Muhammad, Husein Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai
atas Wacana Agama dan Jender,(Yogyakarta:
LKiS, 2001)
Syatibi , Ahmad, jejak Syekh Nawawi al-Bantani, (Banten: Harian Fajar Banten, 2004)
[1] Al-Jawi adalah
sebutan an bagi pelajar asal Indonesia ataupun melayu yang menuntut ‘ilmu di
kota suci makkah,Madinah dan mesir.
[2] Banten
merupakan Salah satu daerah yang terdapat di wilayah Indonesia, yang berada di
paling barat dari Pulau Jawa
[3] Ahmad
Syatibi , jejak Syekh Nawawi al-Bantani, (Banten: Harian Fajar Banten,
2004),Hal 4
[4] Mamat S.
Burhanudin, Hermeneutika Al-Qur’an
ala Pesantren , analisis terhadap Tafsir Marah Labid Karya K.H
Nawawi Banten”, (Banten: Harian Fajar Banten : 2006) Hal 20
[5] Ahmad
Syatibi , jejak Syekh Nawawi al-Bantani., Hal 4
[6]Ensiklopedia
Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2003) , Hal 23
[7] Chaidar,
Sejarah Pujangga Islam Syaikh Nawawi al-Banteni, (Banten;Yayasan Pendidikan
Pelajar al-Haddad Padenglang, 1999) hal 3
[8] Ibid
[9] Ma’ruf Amin
dan Nasiruddin Ansari, Pemikiran Syaikh Nawai al-Bantani, (Bandung
,al-Ma’arif, 1996) hal 95-96
[10] Mamat
S. Burhanudin, Hermeneutika Al-Qur’an
ala Pesantren,,,,.Hal 21.
[11] Ibid
[12] Chaidar,
Sejarah Pujangga Islam Syaikh Nawawi al-Banteni,,,Hal 49.
[13] Ibid
,32
[14]
Asep Muhammad Iqbal, Yahudi dan Nasrani dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Teraju, 2004),h. 51
[15] Ensiklopedia
Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2003) , Hal 24
[16] Ahmad Syatibi, “Jejak Syekh Nawawi al-Bantani” Hal 4
[17]
Ibid.
[18] Husein
Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai
atas Wacana Agama dan Jender,(Yogyakarta:
LKiS, 2001), h. 172
[19] Ensiklopedi
Islam, Ensiklopedi Islam,
h. 24
[20] Chaidar, Sejarah Pujangga Islam Syaikh Nawawi al-Banteni,,,Hal 51
[21] Asep
Muhammad Iqbal, Yahudi dan Nasrani dalam Al-Qur’an, hal 71
[22] Ensiklopedi
Islam, hal. 24.
[23] Asep
Muhammad Iqbal , Yahudi dan Nasrani dalam Al-Qur’an,,, hal 71
[24] ibid
[25] Muhammad
Ibn Umar,Ibn Ali Nawawi al-Banteni al-Jawi Sharh ‘Uqud
al-Lujaini Fi Bayani Huquq al-Zaujaini (Pdf
Version ) h 1
[26] Husein
Muhammad, Fiqih Perempuan, (Yogyakarta
: LKIS, 2001), h. 176.
[27] Muhammad Ibn Umar,Ibn Ali Nawawi al-Banteni al-Jawi Sharh ‘Uqud al-Lujaini,,h 3
[28] Ibid
[29] ibid
[30] Depag
RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, h 80
[31] Ibid
h,36
[32] Nawawi al-Bantani, ‘Uqud
al-Lujjayn, h. 3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar