HOME

13 April, 2022

PERKEMBANGAN HADIS PADA KE IV HIJRIYAH

 

BAB I

PENDAHULUAN

 A.    Latar Belakang Masalah

Hadith Pada abad pertama Hijriah sampai hingga akhir abad Hijriah, hadith-hadith itu berpindah dari mulut ke mulut, masing-masing perawi meriwayatkannya berdasarkan kepada kekuatan hapalannya. Saat itu mereka belum mempunyai motif yang kuat untuk membukukan hadith, karna hapalan mereka terkenal kuat. Namun demikian, upaya perubahan dari hapalan menjadi tulisan sebenarnya sudah bekembang disaat masa Nabi. Setelah Nabi wafat, pada masa Umar Bin Khattab menjadi Khalifah ke-2 juga merencana kan meghimpun hadith-hadith Rasul dalam satu kitab.

Dikala kendali Khalifah dipegang oleh Umar Bin Abdul Aziz yang dinobatkan dalam tahun 99 Hijriah, seorang khalifah dari Dinasti Umaiyah yang terkenal adil dan wara’, sehingga beliau dikenal sebagai Khalifah Al-Rasyidun yang kelima, tergerak hatinya membukukan hadith karna dia khawatir para perawi yang membendaharakan hadith didalam dadanya telah banyak yang meninggal, apabila tidak dibukukan akan lenyap dan dibawa oleh para penghafalnya kedalam alam barzah dan juga semakin banyak kegiatan pemalsuan hadith yang dilakukan yang dilatar belakangi oleh perbedaan politik dan perbedaan madzhab dikalangan umat islam dan semakin luasnya daerah kekuasaan islam maka semakin komplek juga permasalahan yang dihadapi umat islam[1]


    B.     Rumusan Masalah

1.  Bagaiamana Situasi Politik Islam Pada Abad ke-IV hijriah?

2.   Bagaimana kegiatan keilmuan Islam pada Abad ke-IV hijriah?

3.   Bagaimana penyusunan kitab-kitab Hadith pada Abab ke-IV hijriah?

4.  Apa saja Manhaj yang dipergunakan dalam penyusunan Kitab?

5.  Apa saja Kitab-kitab terkenal Pada Abad ke-IV hijriah?


BAB II

PEMBAHASAN

A.      Situasi Politik Islam Pada Abad ke-IV Hijriah

Dunia Islam sejak awal abad ke-empat hijriyah mengalami kemunduran dalam bidang politik dan menjadi negara-negara kecil yang tersebar berserakan dan terpecah belah. Daulah Bani Umayyah di Andalusia yang dipimpin Abdurrahman bin Mu’awiyah bin Hisyam bin Abdul Malik Bin Marwan pada  tahun 138 H.[2]

Persoalannya karena Daulah Bani Abbas telah lemah, Bani Fatimiyah di Afrika utara telah memerdekakan diri, Daulah Ikhshidiah di Mesir sekalipun secara de jure masih di bawah kekuasaan Bani abbas namun secara de facto telah memerdekakan diri, Daulah Bani Hamdan menguasai Mousul dan Alepo dan mereka masih mengaku berafiliasi dengan Bani Abbas.

Sementara Shi’ah Zaidiyah mendirikan negara merdeka di Yaman, Daulah Samaniyah menguasai wilayah timur, Daulah Bani Buwayhid menguasai Baghdad, dan secara umum kekuasaan Bani Abbas hanya tinggal nama belaka. Keadaan politik tidak stabil, dan keadaan yang menyedihkan itu berlangsung hingga datangnya tentara Tartar yang yang dikenal dengan pasukan yang ganas dan bengis dari daratan Cina, dan juga datangnya pasukan yang dikomandani Jengis Khan. Mereka memporak-porandakan negeri-negeri Islam dalam waktu singkat, membunuh para pembesar negara hingga menguasai Baghdad, membunuh khalifah, dan kemudian menjatuh-kan khilafah Abbasiah pada tahun 656 hijrah.

Sekalipun situasi politik keadaannya menyedihkan sebagaimana disebutkan di atas, kegiatan keilmuan tidak mengalami hambatan, bahkan kegiatan keilmuan tetap eksis. Para ulama tetap melakukan perlawatan (Rihlah) mencari ilmu dari suatu negeri ke negeri yang lain, mendengarkan kitab-kitab yang dibacakan gurunya, serta mendengarkan pengajaran-pengajaran gurunya.


B.     Kegiatan Keilmuan

Pada abad ke-empat muncul gagasan bahwa para ahli hadith dalam periwayatan hadith cukup mengkaji dari apa yang telah dibukukan dalam kitab-kitab hadith karya sebelumnya. Mereka mengatakan bahwa Ibnu Mandah adalah pelawat terakhir dalam pencarian hadith. Mereka juga menganggap bahwa Ibnu Yunus al-Safady (w. 347 H) adalah Imam yang hafid hadith sekalipun tidak melakukan perlawatan, sehingga para ulama hadith menganggapnya sebagai ulama hadith terbesar, mereka menghormati dan mengagungkannya. Ia lebih banyak membelanjakan hartanya kepada ahli-ahli hadith dari pada kepada ahli fiqih, ahli nahwu, dan sebagainya.[3]

Usaha periwayatan hadith memang memiliki keistimewaan (maziyah) tersendiri, karena dapat memperkuat ingatan (hafalan) para muhaddith. Diantara mereka ada yang hafal ribuan hadith beserta sanadnya, padahal sanadnya sulit dan banyak yang beragam. Mereka mengatakan bahwa Ibnu Muyassir (w. 401 H) memiliki laci yang panjangnya 87 zira’ (hasta) yang memuat permulaan-permulaan hadith yang dihafal. Qadi Mousul (w.355 H) hafal 2000 hadith. Di antara mereka ada yang beribadah dengan cara membaca hadith, seperti al-Khatib al-Baghdadi membacakan kitab Sahih Bukhari kepada Karimah binti Ahmad al-Marwazi selama lima hari. Sementara muhaddith terbesar pada abad ke-empat adalah Abu al-Hasan al-Dar Qutni dan al-Hakim al-Naisaburi, dan diantara mereka berdua kiranya al-Hakim adalah yang terbesar. Al-Hakim telah menyusun peristilahan-peristilahan hadith, baik yang sahih, hasan, maupun yang da’if, yang dijadikan pokok-pokok ilmu hadith yang diaplikasikan hingga sekarang.

Abad ketiga hijrah adalah abad keemasan penyusunan kitab-kitab hadith. Pada abad tersebut telah muncul para penghafal dan imam-imam hadith, muncul juga al-Kutub al-Sittah yang sebagian besar memuat hadith-hadith sahih. Terdapat banyak perhatian ulama-ulama hadith yang membahas isnad, sejarah perawi dan kedudukannya dalam ilmu kritik hadith (al-Jarh wa al-Ta’dil). Pada abad tersebut, mereka menyusun kitab-kitab hadith tidak menukil dari kitab-kitab yang lain akan tetapi mereka menyusun hadith berdasarkan apa yang mereka hafal dari guru-guru mereka, sehingga mereka mengetahui hadith-hadith yang nilainya tinggi dan rendah, sahih dan da’if. Sedangkan ulama hadith pada abad ke-empat dan sesudahnya tinggal membukukan (menyatukan) hadith-hadith yang terpencar dalam kitab-kitab ulama pendahulunya, meringkasnya, atau mereka hanya mengurutkan dan menertibkanya.

Ulama-ulama hadith yang muncul pada abad ke-2 dan ke-3, Di gelari mutaqoddmin, yang mengumpulkan hadith dengan semata-mata berpegang pada usaha sendiri dan pemeriksaan sendiri, dengan menemui para penghafalnya yang tersebar di setiap pelosok dan penjuru negara arab, persi, dan lain-lain nya.

Setelah abad ke-3 berlalu, bangkitlah pujangga abad ke-4. Para ulama’ pada abad ke empat ini dan seterusnya di gelari Muta’akhirin. Kebanyakan hadith yang mereka kumpulkan adalah petikan dari kitab-kitab mutaqoddimin, hanya sedikit yang di kumpul-kan dari usaha mencari sendiri kepada para penghapalnya.[4]

Masa ini di sebut dengan ‘ashr al-tahdzib wa al-taqrib wa al-istidrak, wa-al-jam’i (masa pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan penghimpunan). Penyusunan kitab-kitab pada masa ini lebih mengarah kepada usaha pengembangan beberapa fariasi pembukuan kitab-kitab yang sudah ada. Maka setelah berjalan beberapa saat dari munculnya al-kutub al-sittah, al-muwaththa’ karya Malik bin Anas, dan al-musnad karya Ahmad bin Hanbal. Para ulama mengalihkan perhatian mereka untuk menyususn kitab-kitab yang berisi pengebangan dan penyempurnaan sistem penyusunan kitab-kitab hadith.

Di antara kitab yang di susun pada periode ini adalah kitab al-mustakhraj, yaitu kitab hadith yang di susun berdasarkan penulisan kembali hadith-hadith yang terdapat dalam kitab lain kemudian penulis kitab itu mencantum kan sanad dari dirinya sendri.[5] Misal nya, kitab Mustakhraj ShahihAl-Bukhari, antara lain; kitab al-Mustakhraj karya al-isma’ili (w.371 H), kitab al-Mustakhraj karya al-Ghithrifi (w.377 H), dan kitab al-Mustakhraj karya Ibn Abi Zuhl (w.378), kitab Mustakhraj shahih Muslim antara lain al-Mustakhraj karya Abu ‘Awanah al-asfarayani (w. 316 H), al-Mustakhraj karya al-Humairy (w. 311 H), dan al-Mustakhraj karya Abu Hamid Al-Harawi (w. 355 H).[6] Demikian pula kitab al-Mustadrak, yaitu kitab yang sebagian hadith nya  disusun  dengan menyusulkan hadith-hadith yang tidak tercantum dalam suatu kitab hadith yang lain. Namun, dalam menulis hadith –hadith susulan itu, penulis kitab itu mengikuti persyaratan periwayatan hadith yang dipakai oleh kitab yang lain tersebut.[7] Misalnya al-Hakim al-Naysabuburi (w. 405 H), penulis kitab al-Mustarak ‘ala al-Sha-hihayn yang berisi hadith hadith yang di nilainya sahih yang tidak termuat dalam kitab Shahih bukhari dan Shahih Muslim.

Kitab-kitab al-Zawaid juga termasuk salah satu kitab katagori ini, yaitu kitab yang di susun  dengan menghimpun hadith-hadith tambahan dalam suatau kitab yang tidak terdapat dalam kitab-kitab lainya.[8] Misalnya kitab Misbah al-Zujajah fi Zawaid Ibn Majah karya Al-Busyari (w.840 H) yang mengandung hadith hadith yang hanya di tulis oleh Ibn Majah (w. 273 H) dalam kitab Sunan-nya, tetapi tdak terdapat dalam kitab kitab yang lain, yaitu  Shahih bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan al-Tirmidzi, dan Sunan al-Nasa’i.[9]

Secara politis, masa ini hampir sama dengan masa sebelumnya. Namun, Kekuatan Kekuatan dari luar islam sudah mulai menggeliat. Hal ini di buktikan dengan di kuasainya Bayt al-Maqdis di yerussalem oleh tentara Salib dan puncak nya baghdad runtuh oleh serangan jengis Khan.[10]

Pada masa ini bukan berarti tidak ada lagi ulama yang menyusun kitab-kitab hadith sahih. Di antara ulama ada yang melakukan penyusunan hadith sahih, seperti Abu Hatim Muhammad Ibn Hibban (w. 354 H.), dengan karyanya Sahih Ibn Hibban. Menurut sebagian ulama, kitab sahih ini kualitasnya lebih baik dari kitab sahih karya Ibnu Majah. Berikutnya ialah Abu Bakar Muhammad Ibn Ishaq Ibn Huzaimah al-Sullami al-Naisaburi yang dikenal dengan sebutan Ibnu Huzaimah dengan karyanya Sahih Ibn Huzaimah, kemudian Abu Abdillah Ibn Muhammad Abdillah al-Naisaburi atau yang dikenal dengan al-Hakim al-Naisaburi (312-405 H.) dengan karyanya al-Sunan al-Kubra.[11]


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;


C.    Penyusunan Kitab-kitab Hadith pada Abad ke-IV Hijriah

Penyusunan kitab-kitab Hadith setelah abad ketiga hijriyah lebih mengarah kepada usaha mengembangkan beberapa variasi pembukuan (tadwin) terhadap kitab-kitab yang sudah ada. Maka setelah berjalan beberapa saat dari munculnya al-Kutub al-Sittah, Muwatta’ Malik bin Anas, dan Musnad Ahmad bin Hanbal, para ulama mengalihkan perhatian untuk menyusun kitab-kitab jawami’ (mengumpulkan kitab-kitab hadith menjadi satu karya), kitab sharah (kitab komentar dan uraian), kitab mukhtasar (kitab ringkasan), mentakhrij (mengkaji sanad dan mengem-balikan kepada sumbernya), menyusun kitab atraf, dan penyusunan hadith untuk kitab-kitab tertentu.[12]

Diantara usaha itu ialah mengumpulkan isi kitab Sahih al-Bukhari dan Muslim, seperti yang dilakukan oleh Ibnu al-Furrat (w.414 H), ada yang mengumpulkan isi kitab yang enam, seperti yang dilakukan oleh Abd. al-Haq Ibn Abd. al-Rahman al-Asbili yang terkenal dengan sebutan Ibn al-Kharrat (w. 583 H), al-Fairuz Abadiy, dan Ibn al-Asirt al-Jazari. Ulama-ulama yang mengumpulkan kitab-kitab hadith mengenai hukum diantaranya ialah al-Dar al-Qutny, al-Baihaqy, Ibn al-Daqiq al-‘Id, dan Ibn Qudamah al-Maqdisi.[13]

Masa perkembangan hadith pada masa ini cukup lama, mulai abad keempat hijrah terus berlangsung beberapa abad berikutnya sampai abad keenam hijrah.

Periode ini dimulai pada masa Khlifah Al Muktadir sampai Khalifah Al Muktas him. Meskipun kekuasaan Islam Pada periode ini mulai melemah dan bahkan mengalami keruntuhan pada abad ke-7 Hijriah akibat serangan Hulaqu Khan, Cucu dari Jengis Khan. Kegiatan para Ulama Hadith tetap berlangsung sebagaimana periode-periode sebelumnya, hanya saja hadith-hadith yang dihimpun pada periode ini tidaklah sebanyak penghimpunan pada periode-periode sebelumnya, kitab-kitab hadith yang dihimpun pada periode ini diantaranya adalah

1.  Al Shahih oleh Ibn Khuzaimah.(313 H)

2.  Al Anma’wa al Taqsim oleh Ibn Hibban (354 H)

3.  Al Musnad oleh Abu Amanah ( 316 H)

4.   Al Mustaqa oleh Ibn Jarud.

5.   Al Mukhtarah oleh Muhammad Ibn Abad Al Wahid alMaqdisi.

Setelah Lahirnya karya-karya diatas maka kegiatan para ulama berikutnya pada umumnya hanyalah merujuk pada karya–karya yang telah ada dengan bentuk kegiatan mempelajari, menghafal, memeriksa dan menyelidiki sanad-sanadnya dan matannya.[14]


 D.    Manhaj Yang Dipergunakan Dalam Penyusunan Kitab.

Di samping nama-nama kitab yang telah disebutkan di atas, para ulama hadith pada abad IV-VI hijriah dalam penyusunan kitab-kitab hadith menggunakan manhaj (metode) antara lain; al-Atraf ( الأَطْرافْ ), al-Ma’ajim ( الَمعَاجِمْ ), al-Mustadrakat ( الُمسْتَدْرِكِاتْ ), dan al-Musannafat ( المُصَنَّفَاْت ).

1.    al-Atraf ( الأطراف ).

Al-Atraf adalah jenis kitab-kitab yang disusun sebagai kumpulan hadith-hadith Nabi. Yang dimaksud dengan al-atraf adalah kumpulan hadith-hadith dari berbagai kitab induknya dengan cara mencantumkan bagian atau potongan hadith-hadith yang diriwayatkan oleh setiap sahabat.

Penyusunnya dengan menyebutkan beberapa kata atau pengertian yang menurutnya dapat mengantarkan pemahaman kepada hadith yang dimaksud. Sedangkan sanad-sanadnya terkadang ada yang ditulis sebagian saja, dan ada juga yang ditulis lengkap. Hal ini dimaksudkan agar dapat dijadikan studi komparatif sanad dalam memperjelas seluk beluk sanad.

Sebagai contoh, bila terdapat sebuah kitab kumpulan potongan hadith-hadith dari al-Kutub al-Sittah berarti kitab tersebut mencakup hadith-hadith yang diriwayatkan oleh setiap sahabat yang tercantum dalam al-Kutub al-Sittah tersebut. Pedoman penulisannya adalah potongan matan hadith atau pengertian yang menunjukkan maksud hadith, sekalipun redaksinya tidak terdapat kesamaan. Seluruh hadith dicantumkan berikut sanad-sanadnya melalui setiap sahabat dalam al-Kutub al-Sittah. Menelusuri seluruh isi berarti telah menelusuri isi al-Kutub al-Sittah (kitab-kitab induk yang enam).

Sudah jelas bahwa kitab al-Atraf banyak membantu penelitian mengenai sanad, terutama memperjelas keterputusan, memperjelas kesamaran, dan membedakan sanad yang terlalaikan, dan manfaat-manfaat yang lain. Mengenai kegunaan di bidang matan, kitab-kitab al-Atraf kurang banyak berfungsi kecuali bila telah merujuk kitab-kitab hadith induk.

Kitab-kitab yang berjenis al-Atraf antara lain :

a.    Atraf al-Sahihain, karya al-Hafiz Imam Abu Mas’ud Ibrahim Ibn Muhammad Ibn   Ubaid al-Dimasqi (w. 400 H.).

b.      Atraf al-Sahihain, karya al-Hafiz Imam Khalf Ibn Hamdun al-Wasiti (w. 401 H.).

c.     Atraf al-Kutub al-Sittah, karya al-Hafiz Syams al-Din Abu al-Fadl Muhammad Muhammad Ibn Tahir Ibn Muhammad al-Maqdisi yang dikenal dengan sebutan Ibn al-Qaysarani (w. 507 H.).

d.     al-Ishraf ‘Ala Ma’rifat al-Atraf, karya al-Hafiz Abu al-Qasim Ali Ibn Abi Muhammad al-Hasan al-Dimasqi, yang digelari dengan Siqat al-Din yang dikenal dengan sebutan Ibn Asakir (w. 571 H.) yang menghimpun bagian-bagian hadith dalam kitab Sunan al-Arba’ah.

e.  Tuhfat al-Ashraf bi Ma’rifat al-Atraf, karya al-Hafiz Jamaluddin Abu al-Hajjaj Yusuf Ibn Abdirrahman al-Mizzi (w. 742 H) yang menghimpun bagian-bagian hadith dalam al-Kutub al-Sittah dan kitab-kitab lain yang setaraf, yaitu Muqaddimah Sahih Muslim, Marasil Abu Dawud, ‘Ilal wa al-Sama’il karya Turmuzi, ‘Amal al-Yaum wa al-Lailah karya Nasa’i.[15]


2.      al-Ma’ajim ( المعاجم )

Al-Ma’ajim adalah bentuk jamak dari kata Mu’jam. Pengertian Mu’jam menurut istilah muhaddithin adalah sebuah kitab yang memuat hadith-hadith yang diurutkan berdasarkan nama-nama sahabat, guru-guru hadith, negeri-negeri hadith, atau lainnya. Pada umumnya urutan nama-nama di dalamnya berdasarkan urutan huruf mu’jam atau alfabet.

Kitab-kitab yang berjenis mu’jam antara lain, al-Mu’jam al-Kabir, karya Abu al-Qasim Sulaiman Ibn Ahmad al-Tabarani (w. 360 H.). Kitab tersebut memuat musnad-musnad sahabat yang diurutkan sesuai dengan urutan huruf mu’jam ( kecuali musnad Abu Hurairah). Mu’jam tersebut memuat 60.000 hadith.

Ibnu Dahiyah mengatakan bahwa mu’jam tersebut adalah mu’jam terbesar di dunia, dan apabila disebutkan kata mu’jam maka yang dimaksudkan adalah mu’jam tersebut. Apabila bermaksud menyebutkan mu’jam selain mu’jam tersebut maka harus disebutkan identitas mu’jam yang dimaksudkan.

Masuk dalam katagori ini juga adalah al-Mu’jam al-Ausat, karya al-Tabarani. Dalam mu’jam tersebut ia mengurutkan nama-nama gurunya yang jumlahnya kurang lebih 2000 orang, dan mu’jam tersebut memuat 3000 hadith.(1) al-Mu’jam Saghir, karya al-Tabarani. Ia mentakhrij hadith yang dimuat dalam mu’jam tersebut dari 1000 gurunya. Ia hanya mencantumkan satu hadith dari masing-masing guru.(2) Mu’jam al-Sahabah, karya Ahmad Ibn Lal al-Hamdani (w. 398 H.).(3) Mu’jam al-Sahabah, karya Abu Ya’la Ahmad Ibn ‘Ali al-Musili ( 307 H.).


3.      al-Mustadrakat ( المستدركات ).

al-Mustadrakat adalah bentuk jamak dari al-Mustadrak. al-Mustadrak adalah menyusun kitab hadith dengan cara menyusulkan hadith-hadith yang tidak tercantum dalam suatu kitab tertentu namun dalam menuliskan hadith-hadith susulan penulis mengikuti persyaratan periwayatan hadith yang dipakai oleh kitab tersebut.

Contoh kitab yang berjenis al-Mustadrak adalah al-Mustadrak ‘Ala al-Sahihain karya Abu Abdillah al-Hakim (w. 405 H.). Dalam kitab tersebut, al-Hakim menulis dan menyusun hadith-hadith yang tidak tercantum dalam Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim, namun ia mengikuti kriteria-kriteria periwayatan hadith yang ditentukan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Jadi hadith-hadith yang terdapat dalam kitab-kitab mustadrak tidak terdapat dalam kitab asalnya.

Dalam kitab al-mustadrak ini, al-Hakim menyusun tiga kelompok hadith; Hadith-hadith shahih yang mengikuti persyaratan periwayatan Imam Bukhari dan Imam Muslim, atau mengikuti persyaratan salah satu dari keduanya, yang tidak ditakhrij oleh keduanya.

Hadith-hadith shahih menurut kriterianya sendiri, sekalipun tidak mengikuti persyaratan Imam Bukhari dan Imam Muslim, atau tidak mengikuti persyaratan salah satu dari keduanya. Itulah hadith-hadith yang menurutnya dianggap sebagai Shahih al-Isnad. Hadith-hadith yang menurut dia tidak shahih tetapi ia terus terang memberi penjelasan ketidak shahihan hadith tersebut (al-Thahhan, 1991:102).

Menurut al-Thahhan, Al-Hakim terlalu mudah dalam membuat kriteria-kriteria keshahihan hadith, sehingga kriteria keshahihannya patut kita tinggalkan. Akan tetapi menurut pandangan al-Zahabi, ia menetapkan sebagian kriteria yang ditawarkan Al-Hakim dan menolak sebagian yang lain, sementara juga diam (tidak memberi komentar) dalam beberapa hal. Oleh karena itu hadith-hadith yang disusun Al-Hakim perlu dibahas dan diteliti ulang.


4.      al-Mushannafat ( المصنفات )

Mushannaf menurut ahli hadith adalah kitab hadith yang disusun berdasarkan bab-bab fiqih, yang memuat hadith-hadith marfu’, mauquf, dan maqthu’. Dengan kata lain, musannaf adalah kitab hadith yang memuat hadith-hadith Nabi, ucapan-ucapan sahabat, fatwa tabi’in, dan kadang-kadang juga fatwa atba’ al-tabi’in yang berkaitan dengan masail fiqhiyyah.

Ada beberapa perbedaan Mushannaf dan Sunan, bahwa Mushannaf itu disusun memuat hadith-hadith marfu’, mauquf, dan maqtu’. Adapun al-Sunan disusun memuat hadith-hadith marfu’ saja. Kalaupun ada hadith selain hadith marfu’ maka jumlahnya sedikit sekali, karena hadith-hadith mauquf dan maqtu’ menurut muhaddithin tidak dinamakan sunan.

Selain perbedaan-perbedaan tersebut di atas maka antara mushannaf dan sunan sama. Kitab-kitab yang berjenis mushannafat antara lain ;

a. Al-Musannaf, karya Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin AbiSyaibahal-Kufy.

b. Al-Musannaf, karya Abu Bakar Abdul Razaqbin Hammam al-Shan’ani.

c. Al-Musannaf, karya Bahaqi al-Din bin Makhlad al-Qurthubi.

d. Al-Musannaf, karya Abu Sufyan Waki’ Ibn Al-Jarrah al-Kufy.

e. Al-Musannaf , karya Abu Salamah Hammad bin salamah al-Bashri (Al- Thahhan).[16]


E.     Kitab-kitab terkenal Pada Abad ke-IV Hijriah

1.    Al Mu'jamul Kabir oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)

2.    Al Mu'jamul Ausath oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)

3.    Al Mu'jamush Shaghir oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)

4.    Al Mustadrak oleh Al Hakim (321-405 H / 933-1014 M)

5.    Ash Shahih oleh Ibnu Khuzaimah (233-311 H / 838-924 M)

6.    At Taqasim wal Anwa' oleh Abu Awwanah (wafat 316 H / 928 M)

7.    As Shahih oleh Abu Hatim bin Hibban (wafat 354 H/ 965 M)

8.    Al Muntaqa oleh Ibnu Sakan (wafat 353 H / 964 M)

9.    As Sunan oleh Ad Daruquthni (306-385 H / 919-995 M)

10. Al Mushannaf oleh Ath Thahawi (239-321 H / 853-933 M)

11. Al Musnad oleh Ibnu Nashar Ar Razi (wafat 301 H / 913 M).


BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan.

            Saat masa kholifah khurosidin, sejarah perkembangan periwayatan haditsnya itu belum begitu berkembang dan kelihatannya berusaha membatasinya, karena pada masa ini yang menjadi fokus utama para sahabat adalah pemeliharaan dan penyebarlan Al Quran, namun meskipun pada masa ini para sahabat lebih memusatkanperhatiannya itu terhadap al quran, tetapi bukan berarti mereka lalai dan tidak menaruh perhatian terhadap hadits, akan tetapi dalam meriwayatkannya itu mereka menerapkan prosudural sangat ketat dan sangat berhati-hati. `           

Dan memasuki tahun 41 H- akhir abad 1 H, wilayah isalam mengalami pertumbuhan pesat yakni menyebar ke negeri Syam, Irak, Mesir, Samarkand, bahkan pada tahun 93 H, meluas sampai ke Spanyol. Sehingga pada masa ini penyebaran para sahabat kedaerah-daerah tersebut terus meningkat, sehingga masa ini dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan hadits (Ashr Intisyar al-Riwayah ila Al-Amslaar), dan pada masa periode ini pun terjadi berbagai konflik politik, sehingga menjadikan banyak munculnya pemalsuan hadits, yang mana terjadi pemalsuan hadits tersebut terjadi karena kepentingan politik orang yang tak suka atas kepemerintahan yang sedang berkuasa.

Lalu ketika memasuki awal abad II H, dan ke kholifahannya di pimpin oleh Umar bin Abdul Aziz, sejarah perkembangan hadits memasuki masa penulisan dan pembukuan (Ashr Al-Kitabah wa Al-Tadwin). Dan latar belakang Kholifah umar bin abdul aziz untuk pembukuan hadits tersebut adalah karena para perawi yang menghimpun hadis dalam hapalannya semakin banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak membukukandan mengumpulkan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, ada kemungkinan hadis-hadis tersebut akan lenyap dari permukaan bumi bersamaan dengan kepergian para penghapalnya ke alam barzah.

Kemudian setelah memasuki awal abad III H sampai akhir abad III H, perkembangan hadits memasuki masa penyaringan seleksi ketat terhadap hadits itu sendiri. Dan pada masa periode ini muncul para tokoh ahli ilmu hadits, salah satunya seperti imam al bukhori.

Dan saat memasuki pada masa awal IV H, sampai pada masa jatuhnya wilayah Baghdad pada tahun 656 H, sejarah perkembangan hadits memasuki masa penyususnan kitab-kitab koleksi, sehingga pada periode abad ini pun munculdiantaranya kitab Ash-Shahih, susunan Ibnu Khuzaimah dan At-Taqsim wa Anwa’, susunan Ibnu Hibban

Lalu yang terakhir masa pembuatan kitab syarah hadits, kitab-kitab tahrij dan penyusunan kitab-kitab koleksi yang lebih umumya itu yang terjadi pada tahun 656 H dan seterusnya


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;


DAFTAR PUSTAKA

Al-Suyuthi.  Tarikh Khulafa’, Terj. Samson Rahman,  ( Jakarta timur : Pustaka Al-Kautsar 2012).

Solahuddin, M, Agus. Ulum al-Hadith . (Bandung : Pustaka Setia 2009).

Idri. Studi Al-Hadith . (Jakarta : Kencana Prenada Media Group 2010)

al-Khatib Muhammad ‘Ajjaj  al-Sunnah Qabl al-Tadwin,  (Dar al-Fikr, 1981)

al-Salih Subhi, Ulum al-Hadith wa Mustalahuh, ( Ttp. : Dar al-Ilm li al-Malayin, 1988)

 Abu Zahu Muhammad, al-Hadith wa al-Muhaddithun, ( Mesir : Matba’ah Misr, tt.),

Amin Ahmad, Zuhr al-Islam, Juz II, ( ttp. : tp., tt.),


[1]. Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah Qabl al-Tadwin, (Qahirah:Dar al-Fikr, 1981), hlm, 340

[2] Al-Suyuthi,  terjemah Tarikh Khulafa’, (jakarta timur-Pustaka Al-Kautsar 2012), 588

[3] Muhammad Muhammad Abu Zahu, al-Hadith wa al-Muhaddithun, ( Mesir : Matba’ah Misr, tt.), hlm, 421

[4]Agus Solahuddin dan Agus suyadi, Ulumul hadis, (Bandung-Pustaka setia,2009 ), 45

[5]Muhyi al-Din Ibn Syarf al-Nawawi, al-Taqrib wa al-Tasyir Li ma’rifah Sunan Al-Basyir al-Nadzir,(Beirut: Dar Al-utub al’arabi, 1985 M), 112

[6] Mahmud al-Thahan, Ushul al-Takhrij wa Dirasah  al-asanid, (Beirut :Dar al-Qu’an al-Karim, 1979 M ), 71

[7] Mahmud al-Thahan, Tasyir,72

[8] Ibid 73

[9] Ibid 74

[10] Muhammad muhammad Abu Zahw, hadits wal muhadditsun, hlm 422

[11] Ibid, hlm, 422

[12] Subhi a l-Salih, Ulum al-Hadith wa Mustalahuh, ( Ttp. : Dar al-Ilm li al-Malayin, 1988), hlm, 48

[13] Ibid, hlm, 51

[14] Ibid, hlm, 67

[15] Ahmad Amin, Zuhr al-Islam, Juz II, ( ttp. : tp., tt.), hlm, 46-47.

[16] Ibid, hlm, 212

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...