HOME

14 April, 2022

PERKEMBANGAN HADIS PADA MASA KHULAFAUR RASYIDIN

 

BAB I

PENDAHULUAN

    A.    Latar Belakang

Hadith merupakan dasar dan sumber hukum Islam selain al-Quran, keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. al-Quran sebagai sumber utama yang terkandung ajaran-ajaran-Nya bersifat umum, global dan hadith berdampingan menjelaskan bayan keumuman isi al-Quran tersebut. Hal ini dikarenakan tugas Rasulullah SAW adalah sebagai pembawa risalah sekaligus menjelaskan apa yang terkandung dalam risalah yakni al-Quran. hadith hakikatnya tak lain adalah penjelasan dan praktek dari ajaran al-Quran itu sendiri. Rasulullah SAW membina umat islam dalam kurun waktu yang tidak sedikit kurang lebih selama 23 tahun. Di masa itulah turunnya wahyu, dan juga dirincikannya hadith. Sehingga Rasul sendiri sangat mengingatkan kepada para sahabat agar berhati hati sebagai pewaris pertama ajaran Islam untuk menjaga, mengajarkan dan terus mengamalkan ajaran-ajaran al-Quran dengan penuh keseriusan. Lain dari pada itu Rasulullah SAW juga mendoakan agar mereka diberikan kekuatan hafalan dan mendapatkan kedudukan derajat yang tinggi, tak heran jika bangsa arab lah yang mempunyai kekuatan hafalan yang sangat kuat dibandingkan dengan bangsa lain. contoh kecil mereka dapat menghafal nama- nama nasab mereka, tujuh hingga dua puluh keturunan mereka.

Sepeninggal Nabi Muhammad SAW, perkembangan penyebaran hadith diteruskan oleh para sahabat-sahabat beliau, terutama oleh al-Khulafau ar-Rashidun Abu Bakar, Umar bin Khatab, Uthman bin Affan dan Ali bin Abi Talib. Namun pada saat itu perkembangan hadis tidak begitu pesat dan diprioritaskan, mengingat yang diangkat pada saat itu adalah fokus kepada pemeliharaan dan penyebaran al-Quran, namun demikian tidak sedikit dari para sahabat-sahabat menulisnya pada lembaran yang mereka punya, seperti Sahifah sodiqoh, juga Sahifah Abu Hurairah dan yang lainya sehingga menjadi jembatan kuat dalam penulisan hadis.

Sehubungan dengan ini, penulis dalam pembahasannya akan mencoba bersama-sama mencermati beberapa persoalan terkait dengan perkembangan hadis di zaman al-Khulafau al-Rashidun , walaupun bahasan makalah ini telah banyak dikaji oleh Ulama-ulama terdahulu, dan lebih berbobot tentunya maka tulisan ini setidaknya dapat dianggap sebagai wujud kecintaan terhadap hadis  dan Rasulullah SAW. Masukan dan kritikan yang membangun-lah yang sangat dibutuhkan, mengingat sebuah usaha tidak akan terlepas dari kesalahan dan kekurangan.

    B.     Rumusan Masalah

1.      Apa definisi hadith dan bagaimana contohnya?

2.      Apa pengertian Sahabat dan al-Khulafa al-Rashidun?

3.      Bagaimana perkembangan hadith di masa al-Khulafa al-Rashidun?


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;

 

BAB II

PEMBAHASAN

    A.    Definisi Hadith

Secara bahasa  hadith adalah antonim dari kata qadim yang berarti lama.[1]Jadi hadis secara bahasa berarti baru.  hadith juga berati sebuah kabar atau berita.[2] Hadith secara istilah segala sesuatu yang dinisbatkan atau bersumber dari Nabi Muhammad SAW baik berupa ucapan, perbuatan, ketetapan, sifat dan biografi.[3]

       Contoh:

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

   Orang Islam adalah yang tak melukai umat Islam lainnya dengan lisan dan tangannya.[4]

 

    B.     Pengertian Sahabat dan al-Khulafau al-Rashidun

1.      Pengertian Sahabat

Menurut bahasa, Sahabat jama’ dari shahib yang berarti “yang empunya dan yang menyertai”. Menurut istilah, para Ulama berbeda pendapat. Namun, Jumhur Ulama  hadith berpendapat, bahwa sahabat ialah

مَنْ لَقِيَ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُلَاقَةً عُرْفِيْعَةً فِيْ حَالِ الْحَيَاةِ حاَلَ كَوْنِهِ مُسْلِمًا وَمُؤْمِنًا بِهِ

orang yang bertemubergaul dengan Rasulullah SAW. dengan pertemuan yang wajar sewaktu Rasulullah SAW. masih hidup, dalam keadaan Islam dan beriman.[5]


2.      Pengertian al-Khulafa al-Rashidun

al-Khulafa al-Rashidun berasal dari kata khulafa dan rashidun. Khalifah adalah bentuk tunggal, bentuk jamaknya adalah al-khulafa’ artinya pengganti, sedangkan al-rashidun berarti mendapat petunjuk. Jadi al-Khulafa al-Rashidun menurut bahasa adalah orang yang ditunjuk sebagai pengganti, pemimpin atau penguasa yang selalu mendapat petunjuk dari Allah SWT. Sedangkan menurut istilah adalah pemimpin umat dan kepala negara yang telah mendapat petunjuk dari Allah SWT untuk meneruskan perjuangan Nabi Muhammad SAW.[6]

Dan yang mendapat julukan  al-Khulafa‘ al-Rashidun adalah empat khalifah awal yang berturut-turut menggantikan Rasulullah, mereka adalah : Abu Bakar memimpin tahun 11 s/d 13 H, Umar bin Khattab memimpin tahun 13 s/d 23 H, Usman bin Affan memimpin tahun 23 s/d 35 H, Ali bin Abi Thalib memimpin tahun 35 s/d 40 H. Adapun pemberian istilah  al-Khulafa‘ al-Rashidun bukanlah dari ulama hadis, melainkan para sejarawan yang telah mempelajari dan mengamati kisah-kisah para sahabat yang hidup semasa Nabi SAW.

 

    C.    Keadaan Politik Masa al-Khulafa‘ al-Rashidun

Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW status sebagai Rasulullah tidak dapat diganti oleh siapapun khatamu al-anbiya’ wa al-mursalin, tetapi kedudukan beliau yang kedua sebagai pimpinan kaum muslimin mesti segera ada gantinya. Orang itulah yang akan  menggantikan Nabi menjadi kepala kaum muslimin pimpinan komunitas Islam dalam memberikan petunjuk ke jalan yang benar dan melestarikan hukum-hukum Agama Islam. Dialah yang menegakkan keadilan yang selalu berdiri diatas kebenaran. Sedangkan Nabi tidak memberi wasiat tentang siapa yang akan menggantikannya, dari itu terjadilah perdebatan  antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar, hingga pada suatu ketika berkumpullah mereka untuk memusyawarahkannya. Dan muncullah nama Abu Bakar sebagai hasil akhirnya  karena beliau adalah termasuk orang yang pertama kali memeluk Islam.[7]

Abu Bakar menerima jabatan Khalifah pada saat sejarah Islam dalam keadaan krisis dan gawat. Yaitu timbulnya perpecahan, munculnya para nabi palsu dan terjadinya berbagai pemberontakan yang mengancam eksistensi negeri Islam yang masih baru. Memang pengangkatan Abu Bakar berdasarkan keputusan bersama musyawarah di balai Thaqifah Bani Saidah akan tetapi yang menjadi sumber utama kekacauan ialah wafatnya Nabi dianggap sebagai terputusnya ikatan dengan Islam, bahkan dijadikan persepsi bahwa Islam telah berakhir. Sehingga Abu Bakar harus benar-benar berjihad untuk menegakkan agama Allah. Diapun memerangi orang-orang yang tidak mau membayar pajak serta memberantas Nabi palsu. Dan dengan ini, mereka mengetahui akan kedudukan Abu Bakar yang mulia dan betapa tingginya derajatnya.[8]

            Pada masa khalifah Umar bin Khattab  keadaan politik tampak stabil dari segala segi baik pemerintahannya maupun masyarakatnya, bahkan Islam pun semakin meluas wilayahnya sampai ke jazirah Arabia, Palestina, Syiria, sebagian besar wilayah Persia dan Mesir. Beda halnya  dengan  masa Uthman bin Affan muncullah seorang yahudi yang bernama Abdullah bin Saba. Dialah yang memprovokatori sehingga timbullah fitnah diantara kaum muslimin. Dengan berbagai cara dia meniupkan angin kejahatan  yang membuat kaum muslimin menjadi porakporanda hingga Uthman pun mati terbunuh akibat dari fitnah itu sendiri[9].  

‘Ali Ibn Abi Talib tampil memegang pucuk kepemimpinan negara di tengah-tengah kericuhan dan huru-hara perpecahan akibat terbunuhnya Usman oleh kaum pemberontak. ‘Ali Ibn Abi Talib dipilih dan diangkat oleh jamaah kaum muslimin di madinah dalam suasana sangat kacau, dengan pertimbangan jika khalifah tidak segera dipilih dan di angkat, maka ditakutkan keadaan semakin kacau. Bersamaan dengan itu, kebijaksanaan-kebijaksanaan ‘Ali Ibn Abi Talib juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari gubernur di Damaskus, Muawiyah. Dimana ia menginginkan untuk mencari siapa pembunuh Usman dan didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaannya. Pertempuran yang terjadi dikenal dengan perang shiffin, perang ini diakhiri dengan tahkim arbitrase, tapi tahkim ternyata tidak menyelsaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya golongan shi’ah dan khawarij.[10]

 

    D.    Masa Perkembangan Hadith di Masa al-Khulafa’ al-Rashidun

Periode ini juga dikenal dengan Zaman al-Tathabbut wa al-Iqlal min al-Riwayah yang berarti periode membatasi  hadith dan menyedikitkan riwayat. Hal ini disebabkan karena para sahabat pada masa ini lebih mencurahkan perhatiannya kepada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an. Sehingga  hadith kurang mendapatkan perhatian, bahkan mereka berusaha untuk bersikap otoriter dan membatasi dalam meriwayatkan hadith.[11]

Sangat diperlukan proses pengamatan sejarah bagaimana tahap-tahap  perkembangan ilmu  hadith sehingga kita bisa meraba secara umum dan memetakan teori sejarah penulisan hadis secara resmi, terlepas dari periodesasi pembagian masa-masa yang tidak seragam dari berbagai ulama-ulama, sehingga belum ada landasan penelitian historis yang pasti, oleh karena itu belajar mengkaji sejarah hadis merupakan suatu upaya mengungkapkan fakta-fakta yang sebenarnya, dari berbagai macam-macam sumber yang telah ada, maka dalam pembagian periode-periode masa perkembangan hadis, diantaranya membagi menjadi tujuh bagian seperti di buku Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-  hadith oleh Nuruddin ‘ltr  dan sebagian lagi ulama ada yang membaginya tiga periode saja, masa Rasulullah, masa Sahabat, masa Tabi’in, juga masa pembukuan dan masa setelah pembukuan.[12]

Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, perkembangan penyebaran hadis dilanjutkan oleh para sahabat-sahabat beliau, terutama oleh Khulafau al-Rasyidin. Perkembangan  hadith tidak begitu diutamakan karena prioritas yang paling utama khususnya pada masa khilafah Abu Bakar dan Umar bin Khatab, pada saat itu adalah terfokus kepada pemeliharaan dan penyebaran al-Quran, sedangkan periwayatan hadis sendiri masih sangat terbatas sekali, disampaikan kepada yang memerlukan saja, belum bersifat pelajaran, sehingga sangat berhati-hati sekali dalam menerima riwayat–riwayat[13].

Oleh karena itu, mereka menggunakan kaidah periwayatan hadis yang sangat sederhana sesuai dengan kebutuhan waktu itu, memastikan kesahihan riwayat, dan menjauhi kesalahan. Maka bisa disimpulkan, metode para sahabat dalam periwayatan hadis pada periode ini :

    1.      Pengetatan riwayat dari Rasullulah SAW

Ini karena adanya kekhawatiran bahwa orang-orang yang banyak meriwayatkan  hadith mudah tergelincir karena salah atau lupa, yang pada gilirannya mereka akan berdusta atas nama Rasullullah SAW tanpa disadari, lebih lebih pada waktu itu mereka sangat besar perhatiannya dalam menghapal al-Quran dan tidak ingin perhatian itu terganggu oleh urusan lain sehingga Abu Bakar dan Umar bin Khatab sangat ketat dalam penerimaaan dan periwayatan Hadith.[14]

    2.      Berhati-hati dalam menerima dan menyampaikan hadith

Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan yang dilakukan para sahabat, disebabkan kekhawatiran mereka akan terjadinya kekeliruan pada hadis. Mereka menyadari bahwa hadis adalah sumber hukum setelah al-Quran yang harus terjaga dari kekeliruannya sebagaimana al-Quran. Oleh karena itu, para sahabat khususnya Khulafau al-Rasyidin dan sahabat lainnya berusaha memperketat periwayatan dan penerimaan hadis.[15]

    3.      Melarang periwayatan hadith atas dasar pemahaman

Pelarangan ini bukan dimaksudkan bahwa hadis memang dikesampingkan, melainkan karena ditakutkan akan adanya pemahaman yang salah sehingga dapat menyebabkan fitnah. Disamping manusia yang hanya seorang makhluk yang memungkinkan akan terjadinya lupa ataupun khilaf, maka kesalahan dalam penyerapan makna maupun penyampaian dapat menimbulkan beberapa kewajiban agama terlantarkan.[16]

    4.      Pengujian terhadap setiap periwayatan hadith

Hal ini mereka lakukan dengan cara membandingkan setiap riwayat yang diterima dengan nash dan kaidah agama apabila menyalahi salah satu dari nash, maka akan menolaknya. Disini dijelaskan bahwa mereka melakukan ini wujud dari kehati-hatian terhadap hadis bukan mencurigai atau berburuk sangka diantara mereka[17].

Perkembangan hadis dan memperbanyak riwayat terjadi pada masa ke khilafahan masa Uthman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, ketika pemerintahan di pegang oleh Uthman bin Affan, maka dibuka lah pintu bagi pecinta  hadith pada waktu itu untuk meninggalkan tempatnya guna mengumpulkan dan mencari  hadith dari ulama-ulama masyhur pada waktu itu.[18]

Pada akhir pemerintahan Uthman bin Affan timbullah bencana besar dikalangan umat islam hingga mengakibatkan terbunuhnya Uthman bin Affan dan Husain r.a. disusul dengan beberapa kelompok penyeleweng muncul dan orang-orang ahli bid’ah pun membuat sanad-sanad semaunya untuk menyandarkan sejumlah teks hadis yang mereka pegangi untuk membela bid’ahnya, kemudian mereka membuat  hadith -  hadith yang tidak pernah diucapkan oleh Rasulullah SAW. Sehingga periode itu pun dikenal sebagai awal munculnya pemalsuan hadis.[19]

Maka Berikut ini akan sedikit diuraikan periwayatan  hadith pada masa  al-khulafau al-rashidun :

    1.      Abu Bakar al-Shiddiq

Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama menunjukkan perhatiannya dalam memelihara hadis. Menurut al-Dhahabi, Abu Bakar adalah sahabat yang pertama sekali menerima  hadith dengan sangat hati-hati. Apabila ada sesorang yang ingin menyampaikan sebuah hadith, maka beliau menyuruhnya untuk mendatangkan saksi-saksi dan apabila saksi tersebut menyatakan benar maka  hadith tersebut pula dinyatakan benar.

حَدَّثَنِي يَحْيَ عَنْ مَالِك عَنْ اِبْنِ شِهَابٍ عَنْ عُثْمَان بْنِ إِسْحَقَ بْنِ خَرْشَةَ عَنْ قَبِيْصَةَ بْنِ ذُؤَيْبٍ أَنَّهُ قَالَ جَاءَتِ اْلجَدَّةَ اِلَى اَبِيْ بَكْرٍ الصِدِّيْقِ تَسْأَلُهُ مِيْرَاثَهَا فَقَالَ لَهَا اَبُو بكْرِ مَالَكِ فِيْ كِتَابِ اللهِ شَيْئٌ وَمَا عَلِمْتُ لَكِ فِيْ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا فَاْرجِعِي حَتَّى أَسْأَلَ النَّاسَ فَسَأَلَ النَّاسَ فَقَالَ الْمُغِيْرَةُ بْنُ شُعْبَةَ خَضَرْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الَّلهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَعْطَاهَاالسُّدُسِ فَقَالَ اَبُوْ بَكْرٍ هَلْ مَعَكَ غَيْرُكَ فَقَامَ مُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ الْاَنْصَارِيُّ فَقَالَ مِثْلَ مَا قَالَ الْمُغِيْرَةُ فَأَنْفَذَهُ لَهَا اَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيْق           

 Dari Qabishah bin Dzu’aib Bahwasanya ia berkata : ketika Abu Bakar ash-Shiddiq didatangi seorang nenek yang menanyakan bagian warisnya, beliau menjawab :”Dalam kitabullah tidak terdapat bagian untukmu, dan sepengetahuan saya dalam sunnah Rasulullah SAW juga tidak ada. Silahkan kemari esok lusa, saya akan menanyakan hal itu kepada orang-orang.” Lalu Abu Bakar menanyakan kepada orang-orang. Diantara yang menjawab adalah al-Mughirah bin Syu’bah, Katanya :”saya pernah menghadap Rasulullah Saw, beliau menentukan bagian seperenam untuk nenek.” Abu Bakar lalu menanyainya : “apakah ketika kamu menghadap Rasulullah Saw kamu bersama orang lain?”. Maka Muhammad bin Maslamah al-Anshari bangkit dari duduknya dan berkata seperti yang dikatakan al-Mughirah. Akhirnya Abu Bakar menetapkan bagian seperenam untuk nenek.[20]

 

Sikap ketat dan kehati - hatian Abu Bakar tersebut juga ditunjukkan dengan tindakan konkrit beliau, yaitu dengan membakar catatan-catatan hadits yang dimilikinya. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Aisyah putri Abu Bakar bahwa Abu Bakar telah membakar catatan yang berisi sekitar lima ratus hadist. Tindakan Abu Bakar tersebut lebih dilatarbelakangi oleh karena beliau merasa khawatir berbuat salah dalam meriwayatkan hadits. Sehingga, tidak mengherankan jika jumlah hadits yang diriwayatkannya juga tidak banyak. Padahal, jika dilihat dari intensitasnya bersama Nabi, beliau dikatakan sebagai sahabat yang paling lama bersama Nabi, mulai dari zaman sebelum Nabi hijrah ke Madinah hingga Nabi wafat[21].

Sayidah Aisyah berkata, “Ayahku telah mengumpulkan hadith Rasulullah SAW, dan sejumlah 500 hadis. Pada satu malam, beliau membolak balikkan lembaran-lembaran tulisan berulang kali. Pagi harinya, Abu Bakar berkata : Wahai putriku, bawalah hadith- hadith yang ada pada dirimu. Kemudian aku pun datang kepadanya sambil membawa hadith- hadith tersebut. Selanjutnya, beliau meminta api dan membakar lembaran-lembaran tulisan tersebut”[22].

Selain sebab - sebab di atas, menurut Suhudi Ismail, setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan sahabat Abu Bakar tidak banyak meriwayatkan hadits, yaitu 1 dia selalu dalam keadaan sibuk ketika menjabat sebagai khalifah; 2 kebutuhan akan  hadith tidak sebanyak pada sesudahnya; dan 3 jarak waktu antara kewafatannya dengan kewafatan Nabi sangat singkat.[23]

Dengan demikian, dapat dimaklumi kalau sekiranya aktifitas periwayatan hadits pada masa Khalifah Abu Bakar masih sangat terbatas dan belum menonjol, karena pada masa ini umat Islam masih dihadapkan oleh adanya beberapa kenyataan yang sangat menyita waktu, berupa pemberontakan-pemberontakan yang dapat membahayakan kewibawaan pemerintah setelah meninggalnya  Rasulullah SAW baik yang datang dari dalam intern maupun dari luar ekstern. Meskipun demikian, kesemuanya tetap dapat diatasi oleh pasukan Abu Bakar dengan baik.

    2.      Umar ibn al-Khathab

Tindakan hati - hati yang dilakukan oleh Abu Bakar al-Shiddiq, juga diikuti oleh sahabat Umar bin Khathab. Umar dalam hal ini juga terkenal sebagai orang yang sangat berhati-hati di dalam meriwayatkan sebuah Hadith. Beliau tidak mau menerima suatu riwayat apabila tidak disaksikan oleh sahabat yang lainnya. Sebagaimana  hadith dibawah ini

عَنْ أَبِيْ سَعِيْد الخُدْرِي قَالَ كُنْتُ فِيْ مَجْلِسِ مِنْ مَجَالِسِ اْلأَنْصَارِ إِذْجَاءَ أَبُوْ مُوْسَى كَأَنَّهُ مَذْعُوْرٌ فَقَالَ اسْتَأْذَنْتُ عَلَى عُمَرَ ثَلَاثًا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِيْ فَرَجَعْتُ فَقَالَ مَا مَنَعَكَ قُلْتُ اسْتَأْذَنْتُ ثَلَاثًا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِيْ فَرَجَعْتُ وَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الَّلهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اسْتَأْذَنْ أَحَدُكُمْ ثَلَاثًا فَلَمْ يُؤْذَنْ لَهُ فَلْيَرْجِعْ فَقَالَ وَاللهُ لَتُقْيِمَنَّ عَلَيْهِ بِبَيِّنَةٍ أَمِنْكُمْ أَحَدٌ سَمِعَهُ مِنَ الَّنبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ وَاللهُ لَا يَقُوْمُ مَعَكَ إِلَّا أَصْغَرَ الْقَوْمِ فَكُنْتُ أَصْغَرَ اْلقَوْمِ فَقُمْتُ مَعَهُ فَأَخْبَرْتُ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قاَلَ ذَلِكَ

 Abu Sa’id al-Khudry berkata : aku sedang berada di salah satu majelis kaum Anshar. Kemudian datang Abu Musa, seakan-akan sedang merasa kesal, lalu berkata : aku meminta izin bertemu sebanyak tiga kali, tetapi tidak diberi izin. Kemudian aku kembali saja.” Lalu ia berkata : “mengapa engkau tidak jadi masuk?” aku menjawab : “aku telah meminta izin sebanyak tiga kali tetapi tidak diberi izin , sehingga aku kembali.” Rasulullah pernah bersabda : “bila seseorang diantara kamu meminta izin untuk bertamu, tetapi tidak diizinkan, maka sebaiknya ia kembali saja.’ Lalu Umar berkata : “Demi Allah, hendaknya engkau memberikan saksi atas apa yang kau katakan itu.” Adakah salah seorang di antara kamu yang mendengarnya dari Nabi SAW? Lalu Ubay bin Ka’ab berkata : “demi Allah, tidaklah berdiri bersamamu kecuali yang terkecil di antara kaummu. Aku lah yang terkecil itu. Lalu aku berdiri bersamanya. Aku beri tahu kepada Umar bahwa Nabi SAW memang mengatakan seperti diatas.[24]

 

Hal ini memang dapat dipahami, karena memang pada masa itu, naskah Al-Qur’an masih sangat terbatas jumlahnya, dan karena itu belum menyebar ke daerah - daerah kekuasaan Islam. Sehingga dikhawatirkan umat Islam yang baru memeluk Islam saat itu tidak bisa membedakan antara Al-Qur’an dan Al- Hadith.[25] 

Pada periode ini menyusun catatan-catatan terdahulu juga dilarang, karena dari catatan tersebut tidak dapat diketahui mana yang haq dan mana yang bathil, demikian pula dengan pencatat ilmu juga dilarang. Meskipun demikian, pada masa Umar ini periwayatan  hadith juga banyak dilakukan oleh umat Islam. Tentu dalam periwayatan tersebut tetap memegang prinsip kehati-hatian.[26]

    3.      Uthman Ibn Affan

Pada masa Uthman Ibn Affan, periwayatan hadits dilakukan dengan cara yang sama dengan dua khalifah sebelumnya. Hanya saja, usaha yang dilakukan oleh Uthman Ibn Affan ini tidaklah setegas yang dilakukan oleh Umar bin al-Khathab. Meskipun Uthman  melalui khutbahnya telah menyampaikan seruan agar umat Islam berhati-hati dalam meriwayatkan Hadith.  Namun pada zaman ini, kegiatan umat Islam dalam periwayatan  hadith telah lebih banyak bila dibandingkan dengan kegiatan periwayatan pada zaman dua khalifah sebelumnya. Sebab, seruannya itu ternyata tidak begitu besar pengaruhnya terhadap para periwayat yang bersikap “longgar” dalam periwayatan hadis. Hal ini lebih disebabkan karena selain pribadi Uthman yang tidak sekeras pribadi Umar, juga karena wilayah Islam telah bertambah makin luas. Yang mengakibatkan bertambahnya kesulitan pengendalian kegiatan periwayatan hadith secara ketat.[27]

    4.      Ali bin Abi Talib

Khalifah Ali bin Abi Talib dalam meriwayatkan hadis tidak jauh berbeda dengan para khalifah pendahulunya. Artinya, Ali dalam hal ini juga tetap berhati-hati didalam meriwayatkan hadis. Dan diperoleh pula atsar yang menyatakan bahwa Ali r.a tidak menerima hadis  sebelum yang meriwayatkannya itu disumpah. Hanya saja, kepada orang-orang yang benar-benar dipercayainya,  Ali tidak meminta mereka untuk bersumpah.[28]

Dengan demikian, fungsi sumpah dalam periwayatan  hadith bagi Ali tidaklah sebagai syarat mutlak keabsahan periwayatan Hadith. Sumpah dianggap tidak perlu, apabila orang yang menyampaikan riwayat hadis telah benar-benar diyakini tidak mungkin keliru.

Ali bin Abi Talib sendiri cukup banyak meriwayatkan  hadith Nabi.  hadith yang diriwayatkannya, selain dalam bentuk lisan, juga dalam bentuk tulisan catatan. Hadis yang berupa catatan, isinya berkisar tentang: [1] hukuman denda diyat; [2] pembebasan orang Islam yang ditawan oleh orang kafir; dan [3] larangan melakukan hukum qishash terhadap orang Islam yang membunuh orang kafir. Dalam Musnad Ahmad, Ali bin Abi Talib merupakan periwayat hadith yang terbanyak bila dibandingkan dengan ketiga khalifah pendahulunya.

Terdapat dua jalan sahabat dalam meriwayatkan hadith yaitu:
1. Periwayatan Lafdzi

Periwayatan Lafdzi berarti redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasulullah saw. Kebanyakan para sahabat meriwayatkan  hadith dengan jalan ini. Sebab mereka berupaya agar periwayatan hadits sesuai dengan redaksi dari Rasulullah saw.[29] Mereka berusaha agar periwayatan hadis sesuai dengan redaksi dari Rasululah SAW dan bukan menurut redaksi mereka. Bahkan menurut Ajjaj Al Khatib, seluruh sahabat menginginkan agar periwayatan hadis dilakukan dengan lafdzi bukan dengan maknawi. Sebagian dari mereka melarang ketat meriwayatkan hadis dengan maknanya saja maknawi, bahkan mereka tidak membolehkan mengganti satu huruf atau satu kata pun. Begitu pula mendahulukan susunan kata yang disebut Rasul belakangan atau sebaliknya atau meringankan bacaan yang tadinya siqal berat dan sebaliknya. Dalam hal ini Umar bin khatthab pernah berkata: Barang siapa yang mendengar hadis dari Rasulullah SAW kemudian ia meriwayatkannya sesuai yang ia dengar maka ia akan selamat.[30]
2.
Periwayatan Maknawi

Periwayatan maknawi berarti yang berarti redaksinya tidak sama persis seperti yang didengar dari Rasulullah saw. Akan tetapi isi atau maknanya sama dan tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh rasul tanpa ada perubahan.[31] Meskipun demikian, para sahabat melakukannya dengan sangat hati-hati. Ibnu Mas’ud misalnya, ketika ia meriwayatkan hadis ia menggunakan term-term tertentu untuk menguatkan penukilannya seperti dengan kata qala Rasululla Shallallahu alaihi wasallam hakadza Rasulullah SAW telah bersabda begitu atau qala Rasullah Shallallahu alaihi wasallam qariban min hadza.[32] Periwayatan hadis dengan maknawi mengakibatkan munculnya hadis-hadis yang redaksinya antara satu  hadith dengan  hadith lainnya berbeda-beda, meskipun maksud dan maknanya sama. Hal ini sangat bergantung kepada para sahabat atau generasi berikutnya yang meriwayatkan  hadith-hadith tersebut.[33]


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;


BAB III

PENUTUP 

    A.    Kesimpulan

Dari paparan yang telah diuraikan sebelumnya, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1.      al-Khulafa‘ al-Rashidun berasal dari kata khulafa dan rashidun. Khalifah adalah bentuk tunggal, bentuk jamaknya adalah al-Khulafa’ artinya pengganti, sedangkan ar-Rashidun berarti mendapat petunjuk. Jadi al-Khulafa‘ al-Rashidun menurut bahasa adalah orang yang ditunjuk sebagai pengganti, pemimpin, atau penguasa yang selalu mendapat petunjuk dari Allah SWT. Sedangkan menurut istilah adalah pemimpin umat dan kepala negara yang telah mendapat petunjuk dari Allah SWT untuk meneruskan perjuangan Nabi Muhammad SAW

2.      Politik pada masa ini membuat para al- khulafau ar-rashidun benar-benar berijtihad menghadapi kaum muslimin yang berubah keadaannya sepeninggal Rasulullah SAW, mereka menganggap bahwa Islam terhenti tanpa adanya beliau, sehingga banyak kekacauan dan terjadi fitnah dimana-mana dan muncul sekte-sekte atau golongan-golongan.  

3.      Perkembangan Hadits pada masa pengetatan periwayatan Asru Taqlil al-Riwayat al-Hadith merupakan periode kedua yang terjadi pada masa Khulafa’ al- Rashidin atau zaman sahabat besar. Pada periode ini para sahabat utamanya Khulafaur Rasyidin menggunakan metode hati-hati dalam periwayatan Hadits, karena dilatarbelakangi oleh kekhawatiran berpaling perhatian umat Islam dari pengkodifikasian al-Qur’an.


DAFTAR PUSTAKA

Abuzah, M. al-Hadith wa al-Muhaddithun. Mesir: Mathba’ah Misr, t.th.

Amin, Bakri Syekh. Adab al-Hadith al-Nabawi. Beirut: Dar al-Shuruk, 1981.

Arifin, Zainul. Studi Kitab Hadis. Surabaya: Tim al-Muna, 2010.

al-Bukhari, Muhammad bin Ismail. al-Jamiú al-Sahih. Beirut: Dar ihya’ al-turath, 1982.

Ismail, M. Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadits Bandung: Angkasa Bandung.

­­­­­­­­­­­­­­_______. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatann Ilmu Sejarah. Bandung : Bulan Bintang, 1995.

Idri, Studi Hadis. Jakarta: Kencana, 2013.

Itr, Nuruddin. Manhaj al-Naqd fi Ulumi al-Hadith. Damaskus: Dar al-Fikr, 2012.

al-Khathib, Muhammad Ajjaj. Usul al-Hadith. Beirut: Dar al-Fikr, 1989.

Mazid, Ali Abd Al-Basith. Mu’jam al-Mustalahat al-Hadithiyya. Asyut: al-Jamiah al-Azhariyah, 2010.

Mudasir, Ilmu Hadis. Bandung: Pustaka Setia, 2005.

Munzier Suparta, Ilmu Hadis. Jakarta: Rajagrafindo, 2011.

al-Naisaburi, Abu Abd Allah Muhammad ibn Abd Allah. Kitab Ma’rifat Ulum al-Hadis. Kairo: Maktabah al-Matnabi, t.th.

al-Salah, al-Syahrzuri, Abu ‘Amr Usman bin ‘Abd al-Rahman bin. ‘Ulum al-Hadis, Cet. II. al-Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1872.

Sulaiman PL, M. Noor. Antologi Ilmu Hadits. Semarang: Rajagrafindo,2002.

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali press, 2011.

Yuslem, Nawir. Ulumul Hadis. Jakarta: Mutiara sumber Widya, 2001.


[1]Ali Abd Al-Basith Mazid, Mu’jam al-Mustalahat al-Hadithiyya (Asyut: al-Jamiah al-Azhariyah, 2010), 36.

[2]Bakri Syekh Amin, Adab al-Hadith al-Nabawi (Beirut: Dar As-Shuruk, 1981), 9.

[3]Ibid.,10.

[4]Muhammad bin Ismail al-Bukhari, al-Jamiú al-Sahih, Kitab al-Iman, Bab al-Muslimu man Salima al-Muslimuna, hadis nomor 10 (Beirut: Dar ihya’ al-turath, 1982), 14.

[5]M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits (Bandung: Angkasa Bandung), 29.

[6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali press, 2011), 35-36.

[7] M. Abuzah, al-Hadith wa al-Muhaddithun (Mesir: Mathba’ah Misr, t.th), 63.

[8] Ibid., 64.

[9] Ibid.

[10] Ibid., 65.

[11] Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana, 2013), 39.

[12] Nuruddin Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulumi al-Hadith (Damaskus: Dar al-Fikr, 2012), 79.

[13] Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis (Surabaya: Tim al-Muna, 2010), 28.

[14] Idri, Studi Hadis..., 39.

[15] al-Syahrzuri, Abu ‘Amr Usman bin ‘Abd al-Rahman bin al-Salah, ‘Ulum al-Hadis, Cet. II (al-Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1872), 88.

[16] Abuzahu, al-Hadith wa..., 72.

[17] Idri, Studi Hadis..., 40.

[18] Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: Rajagrafindo, 2011) , 80-83.

[19] Ibid.

[20] Abu Abd Allah Muhammad ibn Abd Allah al-Naisaburi, Kitab Ma’rifat Ulum al-Hadis (Kairo: Maktabah al-Matnabi, t.th), 25.     

[21] Zainul, Studi Kitab..., 32.

[22] Ibid.

[23] Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatann Ilmu Sejarah (Bandung : Bulan Bintang, 1995), 43.

[24] Bukhari, Sahih al-Bukhari (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath, 1995), hadits no. 5776.

[25] Muhammad Ajjaj al-Khathib, Usul al-Hadith (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), 137.

[26] Ibid.

[27] M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits (Semarang: Rajagrafindo,2002), 66.

[28] Ibid., 67.

[29] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta: Mutiara sumber Widya, 2001), 83.

[30] Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2005), 92

[31] Ibid., 94.

[32] Ibid., 92.

[33] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...