BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadith merupakan dasar dan sumber hukum Islam selain al-Qur’an, keduanya merupakan satu kesatuan yang
tidak bisa dipisahkan. al-Quran
sebagai sumber utama yang terkandung ajaran-ajaran-Nya bersifat umum, global
dan hadith berdampingan menjelaskan bayan keumuman isi al-Quran tersebut. Hal ini
dikarenakan tugas Rasulullah SAW adalah sebagai pembawa risalah sekaligus
menjelaskan apa yang terkandung dalam risalah yakni al-Qur’an. hadith
hakikatnya tak lain adalah penjelasan dan praktek dari
ajaran al-Quran itu sendiri. Rasulullah SAW membina umat islam dalam kurun
waktu yang tidak sedikit kurang lebih selama 23 tahun. Di masa itulah turunnya
wahyu, dan juga dirincikannya hadith. Sehingga Rasul sendiri sangat mengingatkan
kepada para sahabat agar berhati hati sebagai pewaris pertama ajaran Islam untuk menjaga, mengajarkan dan terus mengamalkan
ajaran-ajaran al-Qur’an
dengan penuh keseriusan. Lain dari pada itu Rasulullah SAW juga mendoakan agar
mereka diberikan kekuatan hafalan dan mendapatkan kedudukan derajat yang
tinggi, tak heran jika bangsa arab lah yang mempunyai kekuatan hafalan yang
sangat kuat dibandingkan dengan bangsa lain. contoh kecil mereka dapat menghafal nama- nama
nasab mereka, tujuh hingga dua puluh keturunan mereka.
Sepeninggal Nabi
Muhammad SAW, perkembangan penyebaran
hadith diteruskan oleh para
sahabat-sahabat beliau, terutama oleh al-Khulafau ar-Rashidun Abu Bakar,
Umar bin Khatab, Uthman bin Affan dan Ali bin Abi Talib. Namun pada saat itu
perkembangan hadis tidak begitu pesat dan diprioritaskan, mengingat yang
diangkat pada saat itu adalah fokus kepada pemeliharaan dan penyebaran
al-Quran, namun demikian tidak sedikit dari para sahabat-sahabat menulisnya
pada lembaran yang mereka punya, seperti Sahifah sodiqoh, juga Sahifah
Abu Hurairah dan yang lainya sehingga menjadi jembatan kuat dalam penulisan
hadis.
Sehubungan dengan ini,
penulis dalam pembahasannya akan mencoba bersama-sama mencermati beberapa
persoalan terkait dengan perkembangan hadis di zaman al-Khulafau al-Rashidun
, walaupun bahasan makalah ini telah banyak dikaji oleh Ulama-ulama terdahulu, dan
lebih berbobot tentunya maka tulisan ini setidaknya dapat dianggap sebagai
wujud kecintaan terhadap hadis dan Rasulullah
SAW. Masukan dan kritikan yang membangun-lah yang sangat
dibutuhkan, mengingat sebuah usaha tidak akan terlepas dari kesalahan dan
kekurangan.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa definisi hadith dan bagaimana contohnya?
2.
Apa pengertian
Sahabat dan al-Khulafa’ al-Rashidun?
3.
Bagaimana
perkembangan hadith
di masa al-Khulafa’ al-Rashidun?
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;
- PERKEMBANGAN HADIS PADA KE IV HIJRIYAH
- SUNAN ABU DAWUD
- PEMBUKUAN HADIS
- SEJARAH PENYUSUNAN KITAB SAHIH BUKHARI
- PERKEMBANGAN HADIS PADA MASA SAHABAT KECIL DAN TABI‘IN BESAR (40 H-AKHIR ABAD 1 H)
- SEJARAH PENYUSUNAN MUSNAD AHMAD BIN HANBAL
- PERKEMBANGAN HADIS PADA MASA KHULAFAUR RASYIDIN
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Hadith
Secara bahasa hadith adalah antonim dari kata qadim
yang berarti lama.[1]Jadi hadis secara bahasa berarti
baru. hadith juga berati sebuah kabar atau
berita.[2] Hadith secara istilah segala sesuatu
yang dinisbatkan atau bersumber dari Nabi Muhammad SAW baik berupa ucapan,
perbuatan, ketetapan, sifat dan biografi.[3]
Contoh:
الْمُسْلِمُ
مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
Orang Islam adalah yang tak melukai
umat Islam lainnya dengan lisan dan tangannya.[4]
B.
Pengertian Sahabat dan al-Khulafau
al-Rashidun
1. Pengertian Sahabat
Menurut bahasa, Sahabat jama’ dari shahib yang
berarti “yang empunya dan yang menyertai”. Menurut istilah, para Ulama
berbeda pendapat. Namun,
Jumhur Ulama hadith berpendapat, bahwa sahabat
ialah
مَنْ
لَقِيَ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُلَاقَةً عُرْفِيْعَةً
فِيْ حَالِ الْحَيَاةِ حاَلَ كَوْنِهِ مُسْلِمًا وَمُؤْمِنًا بِهِ
orang
yang bertemubergaul dengan Rasulullah SAW. dengan pertemuan yang wajar sewaktu
Rasulullah SAW. masih hidup, dalam keadaan Islam dan beriman.[5]
2. Pengertian al-Khulafa’ al-Rashidun
al-Khulafa’ al-Rashidun berasal dari kata khulafa’ dan rashidun. Khalifah
adalah bentuk tunggal, bentuk jamaknya adalah al-khulafa’ artinya pengganti, sedangkan al-rashidun berarti mendapat petunjuk. Jadi
al-Khulafa’
al-Rashidun menurut bahasa adalah orang
yang ditunjuk sebagai pengganti, pemimpin atau penguasa yang selalu mendapat
petunjuk dari Allah SWT. Sedangkan menurut istilah adalah pemimpin umat dan
kepala negara yang telah mendapat petunjuk dari Allah SWT untuk meneruskan
perjuangan Nabi Muhammad SAW.[6]
Dan
yang mendapat julukan al-Khulafa‘ al-Rashidun adalah empat
khalifah awal yang berturut-turut menggantikan Rasulullah, mereka adalah : Abu
Bakar memimpin tahun 11 s/d 13 H, Umar bin Khattab memimpin tahun 13 s/d 23 H,
Usman bin Affan memimpin tahun 23 s/d 35 H, Ali bin Abi Thalib memimpin tahun
35 s/d 40 H. Adapun pemberian istilah al-Khulafa‘ al-Rashidun bukanlah dari
ulama hadis, melainkan para sejarawan yang telah mempelajari dan mengamati
kisah-kisah para sahabat yang hidup semasa Nabi SAW.
C.
Keadaan Politik Masa al-Khulafa‘ al-Rashidun
Setelah wafatnya
Nabi Muhammad SAW status sebagai Rasulullah tidak dapat diganti oleh siapapun khatamu al-anbiya’ wa al-mursalin, tetapi
kedudukan beliau yang kedua sebagai pimpinan kaum muslimin mesti segera ada
gantinya. Orang itulah yang akan menggantikan Nabi menjadi kepala kaum muslimin pimpinan komunitas Islam dalam
memberikan petunjuk ke jalan yang benar dan melestarikan hukum-hukum Agama
Islam. Dialah yang menegakkan keadilan yang selalu berdiri diatas kebenaran. Sedangkan Nabi tidak memberi wasiat tentang
siapa yang akan menggantikannya, dari itu terjadilah perdebatan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar, hingga
pada suatu ketika berkumpullah mereka untuk memusyawarahkannya. Dan muncullah
nama Abu Bakar sebagai hasil akhirnya
karena beliau adalah termasuk orang yang pertama kali memeluk Islam.[7]
Abu Bakar menerima jabatan
Khalifah pada saat sejarah Islam dalam keadaan krisis dan
gawat. Yaitu timbulnya perpecahan, munculnya para nabi palsu dan terjadinya berbagai
pemberontakan yang mengancam eksistensi negeri Islam yang masih baru. Memang pengangkatan Abu Bakar berdasarkan keputusan bersama musyawarah di balai Thaqifah Bani Sa’idah akan tetapi yang menjadi sumber utama kekacauan ialah wafatnya Nabi dianggap sebagai terputusnya ikatan dengan Islam, bahkan dijadikan persepsi bahwa Islam telah
berakhir. Sehingga Abu Bakar harus benar-benar berjihad untuk
menegakkan agama Allah. Diapun memerangi orang-orang yang tidak mau membayar
pajak serta memberantas Nabi palsu. Dan dengan ini, mereka mengetahui akan
kedudukan Abu Bakar yang mulia dan betapa tingginya derajatnya.[8]
Pada
masa khalifah Umar bin Khattab keadaan
politik tampak stabil dari segala segi baik pemerintahannya maupun
masyarakatnya, bahkan Islam pun semakin meluas wilayahnya sampai ke jazirah
Arabia, Palestina, Syiria, sebagian besar wilayah Persia dan Mesir. Beda halnya
dengan masa Uthman bin Affan muncullah seorang yahudi
yang bernama Abdullah bin Saba. Dialah yang memprovokatori sehingga timbullah
fitnah diantara kaum muslimin. Dengan berbagai cara dia meniupkan angin
kejahatan yang membuat kaum muslimin
menjadi porakporanda hingga Uthman pun mati terbunuh akibat dari fitnah itu
sendiri[9].
‘Ali Ibn Abi Talib tampil
memegang pucuk kepemimpinan negara di tengah-tengah kericuhan dan huru-hara
perpecahan akibat terbunuhnya Usman oleh kaum pemberontak. ‘Ali Ibn Abi
Talib dipilih dan diangkat oleh jamaah
kaum muslimin di madinah dalam suasana sangat kacau, dengan pertimbangan jika
khalifah tidak segera dipilih dan di angkat, maka ditakutkan keadaan semakin
kacau. Bersamaan dengan itu, kebijaksanaan-kebijaksanaan ‘Ali Ibn Abi Talib juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari
gubernur di Damaskus, Muawiyah. Dimana ia menginginkan untuk mencari siapa
pembunuh Usman dan didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa
kehilangan kedudukan dan kejayaannya. Pertempuran yang terjadi dikenal dengan
perang shiffin, perang ini diakhiri dengan tahkim arbitrase, tapi tahkim
ternyata tidak menyelsaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya golongan shi’ah dan
khawarij.[10]
D. Masa Perkembangan Hadith di Masa al-Khulafa’ al-Rashidun
Periode ini juga
dikenal dengan Zaman al-Tathabbut wa al-Iqlal min al-Riwayah
yang berarti
periode membatasi hadith dan menyedikitkan riwayat. Hal
ini disebabkan karena para sahabat pada masa ini lebih mencurahkan perhatiannya
kepada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an. Sehingga hadith kurang mendapatkan perhatian, bahkan mereka
berusaha untuk bersikap otoriter dan membatasi dalam meriwayatkan hadith.[11]
Sangat diperlukan proses pengamatan
sejarah bagaimana tahap-tahap perkembangan ilmu hadith sehingga kita bisa meraba secara umum dan memetakan teori
sejarah penulisan hadis secara resmi, terlepas dari periodesasi pembagian
masa-masa yang tidak seragam dari berbagai ulama-ulama, sehingga belum ada
landasan penelitian historis yang pasti, oleh karena itu belajar mengkaji
sejarah hadis merupakan suatu upaya mengungkapkan fakta-fakta yang sebenarnya,
dari berbagai macam-macam sumber yang telah ada, maka dalam pembagian periode-periode
masa perkembangan hadis, diantaranya membagi menjadi tujuh bagian seperti di
buku Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al- hadith oleh Nuruddin ‘ltr
dan sebagian lagi ulama ada yang membaginya tiga periode saja, masa
Rasulullah, masa Sahabat, masa Tabi’in, juga masa pembukuan dan masa
setelah pembukuan.[12]
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat,
perkembangan penyebaran hadis dilanjutkan oleh para sahabat-sahabat beliau, terutama
oleh Khulafau al-Rasyidin. Perkembangan hadith tidak begitu diutamakan karena prioritas yang paling utama
khususnya pada masa khilafah Abu Bakar dan Umar bin Khatab, pada saat itu
adalah terfokus kepada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an, sedangkan periwayatan
hadis sendiri masih sangat terbatas sekali, disampaikan kepada
yang memerlukan saja, belum bersifat pelajaran, sehingga sangat berhati-hati
sekali dalam menerima riwayat–riwayat[13].
Oleh karena itu, mereka menggunakan
kaidah periwayatan hadis yang sangat sederhana sesuai dengan kebutuhan
waktu itu, memastikan kesahihan riwayat, dan menjauhi kesalahan. Maka
bisa disimpulkan, metode para sahabat dalam periwayatan hadis
pada periode ini :
1.
Pengetatan riwayat dari
Rasullulah SAW
Ini karena adanya kekhawatiran bahwa orang-orang
yang banyak meriwayatkan hadith mudah tergelincir
karena salah atau lupa,
yang pada gilirannya mereka akan berdusta atas nama Rasullullah SAW tanpa
disadari, lebih lebih pada waktu itu mereka sangat besar perhatiannya dalam
menghapal al-Qur’an
dan tidak ingin perhatian itu terganggu oleh urusan lain sehingga Abu Bakar dan
Umar bin Khatab sangat ketat dalam penerimaaan dan periwayatan Hadith.[14]
2.
Berhati-hati dalam menerima dan menyampaikan
hadith
Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan
yang dilakukan para sahabat, disebabkan kekhawatiran mereka akan terjadinya
kekeliruan pada hadis.
Mereka menyadari bahwa hadis
adalah sumber hukum setelah al-Qur’an
yang harus terjaga dari kekeliruannya sebagaimana al-Qur’an. Oleh
karena itu, para sahabat khususnya Khulafau al-Rasyidin dan sahabat
lainnya berusaha memperketat periwayatan dan penerimaan hadis.[15]
3.
Melarang periwayatan hadith atas dasar pemahaman
Pelarangan ini bukan
dimaksudkan bahwa hadis memang dikesampingkan, melainkan karena ditakutkan akan
adanya pemahaman yang salah sehingga dapat menyebabkan fitnah. Disamping
manusia yang hanya seorang makhluk yang memungkinkan akan terjadinya lupa
ataupun khilaf, maka kesalahan dalam penyerapan makna maupun penyampaian dapat
menimbulkan beberapa kewajiban agama terlantarkan.[16]
4.
Pengujian terhadap setiap
periwayatan hadith
Hal ini mereka lakukan dengan cara
membandingkan setiap riwayat yang diterima dengan nash dan kaidah agama apabila
menyalahi salah satu dari nash, maka akan menolaknya. Disini dijelaskan bahwa
mereka melakukan ini wujud dari kehati-hatian terhadap hadis bukan mencurigai atau berburuk sangka
diantara mereka[17].
Perkembangan hadis dan memperbanyak
riwayat terjadi pada masa ke khilafahan masa Uthman bin Affan dan Ali bin Abi
Thalib, ketika pemerintahan di pegang oleh Uthman bin Affan, maka dibuka lah
pintu bagi pecinta hadith pada waktu itu untuk meninggalkan tempatnya guna mengumpulkan
dan mencari hadith dari ulama-ulama masyhur pada waktu itu.[18]
Pada akhir pemerintahan Uthman bin
Affan timbullah bencana besar dikalangan umat islam hingga mengakibatkan
terbunuhnya Uthman bin Affan dan Husain r.a. disusul dengan beberapa kelompok
penyeleweng muncul dan orang-orang ahli bid’ah pun membuat sanad-sanad semaunya
untuk menyandarkan sejumlah teks hadis yang mereka pegangi untuk membela
bid’ahnya, kemudian mereka membuat hadith - hadith yang tidak pernah diucapkan oleh Rasulullah SAW. Sehingga
periode itu pun dikenal sebagai awal munculnya pemalsuan hadis.[19]
Maka
Berikut ini akan sedikit diuraikan periwayatan hadith pada masa al-khulafau al-rashidun :
1. Abu Bakar al-Shiddiq
Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama
menunjukkan perhatiannya dalam memelihara hadis. Menurut al-Dhahabi, Abu Bakar adalah sahabat yang pertama sekali
menerima hadith dengan sangat
hati-hati. Apabila ada sesorang yang ingin menyampaikan sebuah hadith,
maka beliau menyuruhnya untuk mendatangkan saksi-saksi dan apabila saksi
tersebut menyatakan benar maka hadith tersebut pula
dinyatakan benar.
حَدَّثَنِي يَحْيَ عَنْ مَالِك عَنْ اِبْنِ شِهَابٍ عَنْ عُثْمَان بْنِ إِسْحَقَ بْنِ خَرْشَةَ عَنْ قَبِيْصَةَ بْنِ ذُؤَيْبٍ أَنَّهُ قَالَ جَاءَتِ اْلجَدَّةَ اِلَى اَبِيْ بَكْرٍ الصِدِّيْقِ تَسْأَلُهُ مِيْرَاثَهَا فَقَالَ لَهَا اَبُو بكْرِ مَالَكِ فِيْ كِتَابِ اللهِ شَيْئٌ وَمَا عَلِمْتُ لَكِ فِيْ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا فَاْرجِعِي حَتَّى أَسْأَلَ النَّاسَ فَسَأَلَ النَّاسَ فَقَالَ الْمُغِيْرَةُ بْنُ شُعْبَةَ خَضَرْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الَّلهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَعْطَاهَاالسُّدُسِ فَقَالَ اَبُوْ بَكْرٍ هَلْ مَعَكَ غَيْرُكَ فَقَامَ مُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ الْاَنْصَارِيُّ فَقَالَ مِثْلَ مَا قَالَ الْمُغِيْرَةُ فَأَنْفَذَهُ لَهَا اَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيْق
Dari Qabishah bin Dzu’aib Bahwasanya ia
berkata : ketika Abu Bakar ash-Shiddiq didatangi seorang nenek yang menanyakan
bagian warisnya, beliau menjawab :”Dalam kitabullah tidak terdapat bagian
untukmu, dan sepengetahuan saya dalam sunnah Rasulullah SAW juga tidak ada.
Silahkan kemari esok lusa, saya akan menanyakan hal itu kepada orang-orang.”
Lalu Abu Bakar menanyakan kepada orang-orang. Diantara yang menjawab adalah
al-Mughirah bin Syu’bah, Katanya :”saya pernah menghadap Rasulullah Saw, beliau
menentukan bagian seperenam untuk nenek.” Abu Bakar lalu menanyainya : “apakah
ketika kamu menghadap Rasulullah Saw kamu bersama orang lain?”. Maka Muhammad
bin Maslamah al-Anshari bangkit dari duduknya dan berkata seperti yang
dikatakan al-Mughirah. Akhirnya Abu Bakar menetapkan bagian seperenam untuk
nenek.[20]
Sikap ketat dan kehati - hatian Abu Bakar
tersebut juga ditunjukkan dengan tindakan konkrit beliau, yaitu dengan membakar
catatan-catatan hadits yang dimilikinya. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh
Aisyah putri Abu Bakar bahwa Abu Bakar telah membakar catatan yang berisi
sekitar lima ratus hadist. Tindakan Abu Bakar tersebut lebih dilatarbelakangi
oleh karena beliau merasa khawatir berbuat salah dalam meriwayatkan hadits. Sehingga, tidak mengherankan jika jumlah
hadits yang diriwayatkannya juga tidak banyak. Padahal, jika dilihat dari
intensitasnya bersama Nabi, beliau dikatakan sebagai sahabat yang paling lama
bersama Nabi, mulai dari zaman sebelum Nabi hijrah ke Madinah hingga Nabi wafat[21].
Sayidah Aisyah berkata, “Ayahku telah
mengumpulkan hadith
Rasulullah SAW, dan sejumlah 500 hadis. Pada
satu malam, beliau membolak balikkan lembaran-lembaran tulisan berulang kali.
Pagi harinya, Abu Bakar
berkata : Wahai putriku, bawalah hadith- hadith yang ada pada dirimu. Kemudian aku pun datang kepadanya sambil membawa hadith- hadith tersebut. Selanjutnya, beliau meminta api dan
membakar lembaran-lembaran tulisan tersebut”[22].
Selain sebab - sebab di atas, menurut Suhudi
Ismail, setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan sahabat Abu Bakar tidak
banyak meriwayatkan hadits, yaitu 1 dia selalu dalam keadaan sibuk ketika
menjabat sebagai khalifah; 2 kebutuhan akan hadith tidak sebanyak pada sesudahnya; dan 3 jarak waktu antara
kewafatannya dengan kewafatan Nabi sangat singkat.[23]
Dengan demikian, dapat
dimaklumi kalau sekiranya aktifitas periwayatan hadits pada masa Khalifah Abu Bakar
masih sangat terbatas dan belum menonjol, karena pada masa ini umat Islam masih
dihadapkan oleh adanya beberapa kenyataan yang sangat menyita waktu, berupa
pemberontakan-pemberontakan yang dapat membahayakan kewibawaan pemerintah
setelah meninggalnya Rasulullah SAW baik yang datang dari dalam intern
maupun dari luar ekstern. Meskipun demikian, kesemuanya tetap dapat
diatasi oleh pasukan Abu Bakar dengan baik.
2. Umar ibn al-Khathab
Tindakan hati - hati yang dilakukan oleh Abu
Bakar al-Shiddiq, juga diikuti oleh sahabat Umar bin Khathab. Umar dalam hal
ini juga terkenal sebagai orang yang sangat berhati-hati di dalam meriwayatkan
sebuah Hadith. Beliau
tidak mau menerima suatu riwayat apabila tidak disaksikan oleh sahabat yang
lainnya. Sebagaimana hadith dibawah ini
عَنْ أَبِيْ سَعِيْد الخُدْرِي قَالَ
كُنْتُ فِيْ مَجْلِسِ مِنْ مَجَالِسِ اْلأَنْصَارِ إِذْجَاءَ أَبُوْ مُوْسَى
كَأَنَّهُ مَذْعُوْرٌ فَقَالَ اسْتَأْذَنْتُ عَلَى عُمَرَ ثَلَاثًا فَلَمْ
يُؤْذَنْ لِيْ فَرَجَعْتُ فَقَالَ مَا مَنَعَكَ قُلْتُ اسْتَأْذَنْتُ ثَلَاثًا
فَلَمْ يُؤْذَنْ لِيْ فَرَجَعْتُ وَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الَّلهم عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا اسْتَأْذَنْ أَحَدُكُمْ ثَلَاثًا فَلَمْ يُؤْذَنْ لَهُ
فَلْيَرْجِعْ فَقَالَ وَاللهُ لَتُقْيِمَنَّ عَلَيْهِ بِبَيِّنَةٍ أَمِنْكُمْ
أَحَدٌ سَمِعَهُ مِنَ الَّنبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ
أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ وَاللهُ لَا يَقُوْمُ مَعَكَ إِلَّا أَصْغَرَ الْقَوْمِ
فَكُنْتُ أَصْغَرَ اْلقَوْمِ فَقُمْتُ مَعَهُ فَأَخْبَرْتُ عُمَرَ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قاَلَ ذَلِكَ
Abu Sa’id al-Khudry berkata : aku sedang berada
di salah satu majelis kaum Anshar. Kemudian datang Abu Musa, seakan-akan sedang
merasa kesal, lalu berkata : aku meminta izin bertemu sebanyak tiga kali,
tetapi tidak diberi izin. Kemudian aku kembali saja.” Lalu ia berkata :
“mengapa engkau tidak jadi masuk?” aku menjawab : “aku telah meminta izin
sebanyak tiga kali tetapi tidak diberi izin , sehingga aku kembali.” Rasulullah
pernah bersabda : “bila seseorang diantara kamu meminta izin untuk bertamu,
tetapi tidak diizinkan, maka sebaiknya ia kembali saja.’ Lalu Umar berkata : “Demi
Allah, hendaknya engkau memberikan saksi atas apa yang kau katakan itu.” Adakah
salah seorang di antara kamu yang mendengarnya dari Nabi SAW? Lalu Ubay bin
Ka’ab berkata : “demi Allah, tidaklah berdiri bersamamu kecuali yang terkecil
di antara kaummu. Aku lah yang terkecil itu. Lalu aku
berdiri bersamanya. Aku beri
tahu kepada Umar bahwa Nabi SAW memang mengatakan seperti diatas.[24]
Hal ini memang dapat dipahami, karena memang pada masa
itu, naskah Al-Qur’an masih sangat terbatas jumlahnya, dan karena itu belum
menyebar ke daerah - daerah kekuasaan Islam. Sehingga
dikhawatirkan umat Islam yang baru memeluk Islam saat itu tidak bisa membedakan
antara Al-Qur’an dan Al- Hadith.[25]
Pada periode ini menyusun catatan-catatan
terdahulu juga dilarang, karena dari catatan tersebut tidak dapat diketahui
mana yang haq dan mana yang bathil, demikian pula dengan pencatat ilmu juga
dilarang. Meskipun demikian,
pada masa Umar ini periwayatan hadith juga banyak
dilakukan oleh umat Islam. Tentu
dalam periwayatan tersebut tetap memegang prinsip kehati-hatian.[26]
3. Uthman Ibn Affan
Pada masa Uthman Ibn Affan, periwayatan hadits dilakukan
dengan cara yang sama dengan dua khalifah sebelumnya. Hanya saja, usaha yang
dilakukan oleh Uthman
Ibn Affan ini tidaklah setegas yang dilakukan oleh Umar bin al-Khathab. Meskipun Uthman melalui khutbahnya telah
menyampaikan seruan agar umat Islam berhati-hati dalam meriwayatkan Hadith.
Namun pada zaman ini, kegiatan umat Islam dalam periwayatan hadith telah
lebih banyak bila dibandingkan dengan kegiatan periwayatan pada zaman dua
khalifah sebelumnya. Sebab,
seruannya itu ternyata tidak begitu besar pengaruhnya terhadap para periwayat
yang bersikap “longgar” dalam periwayatan hadis. Hal ini lebih disebabkan karena selain pribadi Uthman yang tidak sekeras pribadi Umar, juga
karena wilayah Islam telah bertambah makin luas. Yang mengakibatkan bertambahnya kesulitan pengendalian
kegiatan periwayatan hadith secara
ketat.[27]
4. Ali bin Abi Talib
Khalifah Ali bin Abi Talib dalam meriwayatkan
hadis tidak jauh berbeda dengan para khalifah pendahulunya. Artinya, Ali dalam
hal ini juga tetap berhati-hati didalam meriwayatkan hadis. Dan diperoleh pula
atsar yang menyatakan bahwa Ali r.a tidak menerima hadis sebelum yang meriwayatkannya itu disumpah. Hanya saja, kepada orang-orang yang
benar-benar dipercayainya, Ali tidak meminta mereka untuk bersumpah.[28]
Dengan demikian, fungsi sumpah dalam
periwayatan hadith bagi Ali tidaklah
sebagai syarat mutlak keabsahan periwayatan Hadith. Sumpah dianggap tidak perlu, apabila orang yang
menyampaikan riwayat hadis telah benar-benar diyakini tidak mungkin keliru.
Ali bin Abi Talib sendiri cukup banyak
meriwayatkan hadith Nabi. hadith yang
diriwayatkannya, selain dalam bentuk lisan, juga dalam bentuk tulisan catatan.
Hadis yang berupa catatan, isinya berkisar tentang: [1] hukuman denda diyat;
[2] pembebasan orang Islam yang ditawan oleh orang kafir; dan [3] larangan
melakukan hukum qishash terhadap orang Islam yang membunuh orang kafir.
Dalam Musnad Ahmad, Ali bin Abi Talib merupakan periwayat hadith yang terbanyak bila dibandingkan dengan
ketiga khalifah pendahulunya.
Terdapat dua jalan
sahabat dalam meriwayatkan hadith
yaitu:
1. Periwayatan Lafdzi
Periwayatan
Lafdzi berarti redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasulullah saw. Kebanyakan
para sahabat meriwayatkan hadith dengan jalan ini. Sebab mereka berupaya agar
periwayatan hadits sesuai dengan redaksi dari Rasulullah saw.[29] Mereka berusaha agar periwayatan
hadis sesuai dengan redaksi dari Rasululah SAW dan bukan menurut redaksi
mereka. Bahkan menurut
Ajjaj Al Khatib, seluruh sahabat menginginkan agar periwayatan hadis dilakukan
dengan lafdzi bukan dengan maknawi. Sebagian
dari mereka melarang ketat meriwayatkan hadis dengan maknanya saja maknawi,
bahkan mereka tidak membolehkan mengganti satu huruf atau satu kata pun. Begitu pula mendahulukan susunan
kata yang disebut Rasul belakangan atau sebaliknya atau meringankan bacaan yang
tadinya siqal berat dan sebaliknya. Dalam hal ini Umar bin khatthab pernah
berkata: Barang siapa yang mendengar hadis dari Rasulullah SAW kemudian ia
meriwayatkannya sesuai yang ia dengar maka ia akan selamat.[30]
2. Periwayatan
Maknawi
Periwayatan maknawi berarti yang berarti redaksinya tidak sama persis seperti yang didengar dari Rasulullah saw. Akan tetapi isi atau maknanya sama dan tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh rasul tanpa ada perubahan.[31] Meskipun demikian, para sahabat melakukannya dengan sangat hati-hati. Ibnu Mas’ud misalnya, ketika ia meriwayatkan hadis ia menggunakan term-term tertentu untuk menguatkan penukilannya seperti dengan kata qala Rasululla Shallallahu alaihi wasallam hakadza Rasulullah SAW telah bersabda begitu atau qala Rasullah Shallallahu alaihi wasallam qariban min hadza.[32] Periwayatan hadis dengan maknawi mengakibatkan munculnya hadis-hadis yang redaksinya antara satu hadith dengan hadith lainnya berbeda-beda, meskipun maksud dan maknanya sama. Hal ini sangat bergantung kepada para sahabat atau generasi berikutnya yang meriwayatkan hadith-hadith tersebut.[33]
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;
- PANDANGAN IMAM SHAFI'I TERHADAP HADIS
- HADIS PADA MASA RASULULLAH
- IMAM MALIK IBN ANAS DAN KITAB AL-MUWATTA’
- SUNNAH ANTARA WAHYU ILAHI DAN IJTIHAD NABI SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP TASYRI’
- PEMIKIRAN K. H. MUHAMMAD AHMAD SAHAL MAHFUZ AL-HAJINI TENTANG HADIS
- MUHAMMAD NASIR AL-DIN AL-ALBANI
- KAJIAN HADIS DI INDIA
- STUDI KRITIS PEMIKIRAN IBN HAJAR AL-‘ASQALANI DALAM KAJIAN ILMU HADIS
- IMAM NAWAWI
- HADIS DALAM PANDANGAN SYAIKH NAWAWI AL-BANTANI
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari paparan yang telah diuraikan sebelumnya, dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. al-Khulafa‘ al-Rashidun berasal dari kata khulafa dan
rashidun. Khalifah adalah bentuk tunggal, bentuk jamaknya adalah al-Khulafa’
artinya pengganti, sedangkan ar-Rashidun berarti mendapat petunjuk. Jadi al-Khulafa‘ al-Rashidun menurut bahasa
adalah orang yang ditunjuk sebagai pengganti, pemimpin, atau penguasa yang
selalu mendapat petunjuk dari Allah SWT. Sedangkan menurut istilah adalah
pemimpin umat dan kepala negara yang telah mendapat
petunjuk dari Allah SWT untuk meneruskan perjuangan Nabi Muhammad SAW
2. Politik pada masa ini membuat para al- khulafau
ar-rashidun benar-benar berijtihad menghadapi kaum muslimin yang berubah
keadaannya sepeninggal Rasulullah SAW, mereka menganggap bahwa Islam terhenti
tanpa adanya beliau, sehingga banyak kekacauan dan terjadi fitnah dimana-mana
dan muncul sekte-sekte atau golongan-golongan.
3. Perkembangan Hadits pada
masa pengetatan periwayatan ‘Asru Taqlil
al-Riwayat al-Hadith merupakan periode kedua yang terjadi pada
masa Khulafa’ al- Rashidin
atau zaman sahabat besar.
Pada periode ini para sahabat utamanya Khulafaur Rasyidin menggunakan metode
hati-hati dalam periwayatan Hadits, karena dilatarbelakangi oleh kekhawatiran
berpaling perhatian umat Islam dari pengkodifikasian al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
Abuzah, M. al-Hadith
wa al-Muhaddithun. Mesir: Mathba’ah Misr, t.th.
Amin, Bakri
Syekh. Adab al-Hadith al-Nabawi. Beirut: Dar al-Shuruk,
1981.
Arifin, Zainul. Studi
Kitab Hadis. Surabaya: Tim al-Muna, 2010.
al-Bukhari,
Muhammad bin Ismail. al-Jamiú al-Sahih. Beirut: Dar ihya’ al-turath, 1982.
Ismail, M. Syuhudi. Pengantar
Ilmu Hadits Bandung: Angkasa
Bandung.
_______. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis,
Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatann Ilmu Sejarah. Bandung : Bulan Bintang, 1995.
Idri, Studi Hadis. Jakarta: Kencana, 2013.
Itr, Nuruddin. Manhaj al-Naqd fi ‘Ulumi al-Hadith. Damaskus: Dar al-Fikr, 2012.
al-Khathib, Muhammad Ajjaj. Usul al-Hadith. Beirut: Dar al-Fikr, 1989.
Mazid, Ali Abd
Al-Basith. Mu’jam al-Mustalahat
al-Hadithiyya. Asyut: al-Jami’ah al-Azhariyah,
2010.
Mudasir,
Ilmu Hadis. Bandung:
Pustaka Setia, 2005.
Munzier
Suparta, Ilmu Hadis. Jakarta:
Rajagrafindo,
2011.
al-Naisaburi, Abu
Abd Allah Muhammad ibn Abd Allah. Kitab Ma’rifat Ulum al-Hadis. Kairo:
Maktabah al-Matnabi, t.th.
al-Salah, al-Syahrzuri, Abu ‘Amr Usman bin ‘Abd al-Rahman
bin. ‘Ulum al-Hadis, Cet. II. al-Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1872.
Sulaiman PL, M. Noor. Antologi Ilmu
Hadits. Semarang: Rajagrafindo,2002.
Yatim, Badri. Sejarah
Peradaban Islam.
Jakarta:
Rajawali press, 2011.
Yuslem, Nawir. Ulumul Hadis. Jakarta: Mutiara sumber Widya, 2001.
[1]Ali Abd Al-Basith Mazid, Mu’jam
al-Mustalahat
al-Hadithiyya
(Asyut: al-Jami’ah al-Azhariyah, 2010), 36.
[2]Bakri Syekh Amin, Adab al-Hadith al-Nabawi (Beirut: Dar As-Shuruk, 1981), 9.
[3]Ibid.,10.
[4]Muhammad bin Ismail al-Bukhari, al-Jamiú al-Sahih,
Kitab al-Iman, Bab al-Muslimu man Salima al-Muslimuna, hadis nomor 10
(Beirut: Dar ihya’ al-turath, 1982), 14.
[5]M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits (Bandung: Angkasa Bandung), 29.
[6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali press, 2011), 35-36.
[7] M. Abuzah, al-Hadith wa al-Muhaddithun (Mesir:
Mathba’ah Misr, t.th), 63.
[8] Ibid., 64.
[9] Ibid.
[10] Ibid., 65.
[11] Idri, Studi
Hadis (Jakarta:
Kencana, 2013), 39.
[12] Nuruddin Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulumi al-Hadith (Damaskus:
Dar al-Fikr, 2012),
79.
[13] Zainul
Arifin, Studi Kitab Hadis (Surabaya:
Tim al-Muna, 2010), 28.
[14]
Idri, Studi Hadis..., 39.
[15] al-Syahrzuri,
Abu ‘Amr Usman bin ‘Abd al-Rahman bin al-Salah, ‘Ulum al-Hadis, Cet. II
(al-Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1872), 88.
[16] Abuzahu, al-Hadith wa..., 72.
[17] Idri, Studi Hadis..., 40.
[18] Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta:
Rajagrafindo, 2011)
, 80-83.
[19] Ibid.
[20] Abu Abd Allah Muhammad ibn Abd Allah al-Naisaburi,
Kitab Ma’rifat Ulum al-Hadis (Kairo: Maktabah al-Matnabi, t.th), 25.
[21] Zainul, Studi Kitab..., 32.
[22] Ibid.
[23] Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan
Tinjauan dengan Pendekatann Ilmu Sejarah (Bandung : Bulan Bintang, 1995), 43.
[24] Bukhari, Sahih al-Bukhari (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath, 1995), hadits no. 5776.
[25] Muhammad
Ajjaj al-Khathib, Usul al-Hadith (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), 137.
[26] Ibid.
[27] M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits (Semarang: Rajagrafindo,2002), 66.
[28] Ibid., 67.
[29] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis
(Jakarta: Mutiara sumber Widya, 2001), 83.
[30] Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung:
Pustaka Setia, 2005), 92
[31] Ibid., 94.
[32] Ibid., 92.
[33] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar