HOME

02 April, 2022

HADIS INSTRUKSI (QAWLI) DAN APLIKASI (FI’LI)

 

BAB I 

    A.    ABSTRAK

Para ulama ahlu hadis sepakat bahwa hadis merupakan perkataan, atau perbuatan, atau taqrir dari Rasulullah. Dari pengertian tersebut maka muncullah istilah hadis instruksi (qawli), hadis perbuatan (fi’li ) dan hadis taqriri.

Antara hadis instruksi (qawli) dan aplikasi (fi’li) mempunyai keterkaitan erat sebab berasal dari satu sumber, yaitu Rasulullah. Karena berasal dari satu sumber, secara nalar seharusnya tidak ada pertentangan antara kedua hadis ini.

Tetapi sepeninggal Rasulullah mengapa muncul hadis-hadis yang bertentangan? Apakah mungkin hadis itu bertentangan sedangkan semua hadis berasal dari satu sumber, yaitu Rasulullah? Bagaimanakah metode yang tepat untuk menyelesaikan problematika ini?

 

    B.     PENDAHULUAN

Dalam studi metode pemahaman hadis sangat diperlukan telaah mendalam dalam sebuah hadis instruksi (qawli) dan aplikasi (fi’li). Maka dalam makalah ini penulis akan memaparkan penjelasan singkat terkait dengan hadis qawli dan fi’li. Dan bisa jadi adakalanya antara hadis qawli dan fi’li tidak selaras, meskipun pada hakikatnya kedua hadis tersebut hanya bertentangan secara zahir.

Penulis melihat fakta dalam masyarakat, ada kesalahpahaman dalam memahami hadis qawli dan fi’li. Dewasa ini banyak kalangan yang menyuarakan dengan lantang untuk menggunakan hadis sahih, tapi sayang ada beberapa diantara mereka meskipun menggunakan hadis sahih tetapi tidak dibarengi dengan pemahaman yang sahih pula.

Hal tersebut terjadi ketika salah satu kyai (almarhum) di desa penulis, kurang tepat dalam memahami hadis sholat sunnah setelah asar yang selalu dilakukan Rasullah  sebagaimana disebutkan dalam riwayat ‘Aishah. Kyai tersebut berpendapat bahwa shalat sunnah setelah Asar itu sunnah, asalkan dilakukan tepat setelah sholat Asar. Yang dilarang (menurut beliau) adalah sholat jika matahari sudah mulai terbenam (sedangkan jika matahari masih tinggi, tidak apa-apa). Beliau hanya mengambil hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah tidak pernah meninggalkan sholat Asar di rumah ‘Aishah, dan mengesampingkan hadis pelarangan yang diriwayatkan oleh banyak sahabat, yaitu dari Ali, Ibn Mas'ud, Uqbah bin Amir, Abu Hurairah, Ibn Umar, Samrah bin Jundab, Abdullah bin Amru, Mu'adz bin 'Afra dan masih banyak lagi.

Tentunya hal ini menjadi salah satu problematika umat pada masa ini. Oleh karenanya, pada makalah kali ini penulis mencoba memaparkan motode untuk mengkompromikan kedua hadis yang saling bertentangan, tentunya antara hadis qawli dan fi’li dalam sudut pandang ahli hadis.

 

    C.    RUMUSAN MASALAH

A.    Pengertian hadis

    ·         Pengertian hadis qawli(instruksi) beserta contohnya

    ·         Empat metode periwayatan hadis qawli

    ·         Pengertian hadis fi’li (aplikasi) beserta contohnya

    ·         Empat metode periwayatan hadis fi’li

B.     Metode Memahami Hadis qawli dan fi’li yang bertentangan

C.     Contoh hadis qawli dan fi’li yang bertentangan


BAB II

PEMBAHASAN

    A.    PENGERTIAN HADIS QAWLI DAN FI’LI

Pengertian hadis Menurut ‘Abd al-Wahhab Khallaf adalah:

ما صدر عن رسول الله  من قول أو فعل أو تقرير

Apa yang bersumber dari Rasulullah  dari ucapan, perbuatan ataupun persetujuan (taqrir)[1]

            Hal tersebut disepakati Ahmad Izzan, dengan mengatakan: “Jumhur muhaddithin mendefinisikan hadis dengan: Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad baik berupa perkataan, perbuatan dan pernyataan (taqriri).[2]

Dilihat dari segi bentuknya, hadis Nabi dapat diklasifikasikan menjadi lima, yaitu: hadis yang berupa ucapan / instruksi (hadis qawli), hadis yang berupa perbuatan / aplikasi (hadis fi’li), hadis yang berupa persetujuan (hadis taqriri), hadis yang berupa hal ihwal (hadis ahwali), dan hadis yang berupa cita-cita (hadis hammi).[3]

Tetapi dalam makalah ini, penulis hanya akan membahas tentang hadis instruksi (qawli) dan hadis aplikasi (fi’li).

 

1.      Hadis Yang Berupa Ucapan / Instruksi (qawli)

‘Abd al-Wahhab Khalaf menjelaskan pengertian hadis instruksi (qawli):

السنة القولية هي الأحاديث التي قالها في مختلف الأغراض والمناسبات


Hadis qawli adalah segala bentuk perkataan atau ucapan (yang disandarkan kepada Nabi) dalam berbagai tujuan dan kondisi.[4]

 

Perkataan terebut bisa berisi tuntunan dan petunjuk syara’, peristiwa-peristiwa, kisah-kisah, baik yang berkaitan dengan aspek aqidah, shari‘ah, maupun akhlaq.[5]Sebagai contoh hadis yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah ibn ‘Umar

حَدَّثَنَا عُبَيْدُاللَّهِ بْنُ مُوسَى قَالَ أَخْبَرَنَا حَنْظَلَةُ بْنُ أَبِي سُفْيَانَ عَنْ عِكْرِمَةَ بْنِ خَالِدٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا  قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَاإِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Musa dia berkata, telah mengabarkan kepada kami Hanzhalah bin Abu Sufyan dari 'Ikrimah bin Khalid dari Ibn Umar berkata: Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Islam dibangun diatas lima (landasan); persaksian tidak ada ilah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji dan puasa Ramadlan".[6]

Berikut beberapa metode Rasulullah dalam meriwayatkan hadis qawli:[7]

a.       Disampaikan di hadapan orang banyak, baik melalui majelis ilmu, khutbah, ceramah dan sebagainya. Sebagai contoh adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Sa‘id al-Khudri:

حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ حَدَّثَنِي ابْنُ الْأَصْبَهَانِيِّ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا صَالِحٍ ذَكْوَانَ يُحَدِّثُ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ  قَالَتْ النِّسَاءُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَلَبَنَا عَلَيْ كَالرِّجَالُ فَاجْعَلْ لَنَا يَوْمًا مِنْ نَفْسِ كَفَوَعَدَهُنَّ يَوْمًالَقِيَهُنَّفِيهِ

Telah menceritakan kepada kami Adam berkata, Telah menceritakan kepada kami Shu'bah berkata, telah menceritakan kepadaku Ibn al-Ashbahani berkata; aku mendengar Abu Salih Dhakwan menceritakan dari Abu Sa'id al-Khudri; kaum wanita berkata kepada Nabi sallallahu 'alaihi wasallam: "kaum lelaki telah mengalahkan kami untuk bertemu dengan engkau, maka berilah kami satu hari untuk bermajelis dengan diri tuan" Maka Nabi sallallahu 'alaihi wasallam berjanji kepada mereka satu untuk bertemu mereka[8]

b.      Hanya menyampaikan kepada seseorang atau beberapa orang saja. Hadis ini terkadang berupa jawaban atas atas pertanyaan yang diajukan oleh sahabat.[9]

حَدَّثَنَا يَحْيَى قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ مَنْصُورِ بْنِ صَفِيَّةَ عَنْ أُمِّهِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ امْرَأَةً سَأَلَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ غُسْلِهَا مِنْ الْمَحِيضِ فَأَمَرَهَا كَيْفَ تَغْتَسِلُ قَالَ خُذِي فِرْصَةً مِنْ مَسْكٍ فَتَطَهَّرِي بِهَا قَالَتْ كَيْفَ أَتَطَهَّرُ قَالَ تَطَهَّرِيبِهَا قَالَتْ كَيْفَ قَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ تَطَهَّرِي فَاجْتَبَذْتُهَا إِلَيَّ فَقُلْتُ تَتَبَّعِي بِهَا أَثَرَ الدَّمِ

Telah menceritakan kepada kami Yahya ia berkata, telah menceritakan kepada kami Ibn 'Uyainah dari Mansur bin Shafiyyah dari ibunya dari ‘Aishah, "Seorang wanita bertanya kepada Nabi sallallahu 'alaihi wasallam tentang cara mandi dari haid. Beliau lalu menjelaskan kepada wanita itu bagaimana cara mandi. Beliau bersabda: "Ambillah sepotong kapas yang diberi wewangian lalu bersucilah." Wanita itu bertanya, "Bagaimana aku bersucinya? Beliau menjawab: "Bersucilah dengan kapas itu!" Wanita itu berkata lagi, "Bagaimana caranya aku bersuci?" Beliau bersabda: "Bersucilah dengan menggunakan kapas itu!" Wanita itu bertanya lagi, "Bagaimana caranya?" Maka Beliau berkata, "Subhanallah. Bersucilah kamu!" Lalu aku menarik wanita itu kearahku, lalu aku katakan, "Kamu bersihkan sisa darahnya dengan kapas itu."[10]

Meskipun hadis di atas berkenaan dengan tuntunan teknis suatu kegiatan, yaitu cara membersihkan darah bagi wanita setelah haid, namun hadis tersebut tidak termasuk kategori fi’li, sebab di dalamnya tidak terdapat peragaan Nabi tentang cara mandi bagi wanit yang baru selesai haid. Nabi hanya memberi tuntunan tentang bagaimana cara mandi setelah haid melalui sabdanya.[11]

c.       Hadis yang disampaikan Nabi yang berkenaan dengan peristiwa tertentu. Suatu ketika Rasulullah  mengangkat pejabat pengumpul zakat ('amil). Setelah selesai dari kerjanya, 'amil tadi mendatangi Nabi dan berujar; 'Wahai Rasulullah, ini untuk Engkau dan ini dihadiahkan untukku'. Lantas Nabi bersabda: "tidakkah kamu duduk-duduk saja di rumah ayahmu atau ibumu kemudian kamu cermati, apakah kamu memperoleh hadiah ataukah tidak?"

Pada malam harinya setelah isya’ Nabi berpidato di depan orang banyak

أَمَّا بَعْدُ فَمَا بَالُ الْعَامِلِ نَسْتَعْمِلُهُ فَيَأْتِينَا فَيَقُولُ هَذَا مِنْ عَمَلِكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي أَفَلَا قَعَدَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ فَنَظَرَهَلْ يُهْدَى لَهُ أَمْلَافَوَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَايَغُلُّ أَحَدُكُمْ مِنْهَا شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى عُنُقِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا جَاءَ بِهِ لَهُ رُغَاءٌ وَإِنْ كَانَتْ بَقَرَةً جَاءَ بِهَا لَهَا خُوَارٌ وَإِنْ كَانَتْ شَاةً جَاءَ بِهَا تَيْعَرُفَقَدْ بَلَّغْتُ

"Amma ba'du. Ada apa gerangan dengan amil zakat yang kami pekerjakan, dia mendatangi kami dan berujar; “Ini adalah hasil tugas yang berasal dari Anda dan ini hadiah untukku” tidakkah ia duduk-duduk saja di rumah ayahnya atu ibunya lantas ia cermati, apakah ia memperoleh hadiah ataukah tidak? Demi Zat yang jiwa Muhammad di Tangan-Nya, tidaklah salah seorang diantara kalian mengambil harta tanpa haknya (korupsi), kecuali pada hari kiamat nanti harta itu ia akan memikul beban di lehernya, dan jika (yang dikorupsi) adalah unta, ia akan memikulnya dan mengeluarkan suara unta, dan jika (yang dikorupsi) sapi, maka sapi itu dipikulnya dan melenguh (suara sapi), dan jika harta yang ia ambil berupa kambing, maka kambing itu akan dipikulnya dan mengembik. Sungguh telah kusampaikan."[12]

    d.      Hadis yang disampaikan Rasulullah tanpa disertai sebab tertentu.[13] Hadis ini disampaikan oleh Nabi dalam rangka menyampaikan ajaran (risalah) Islam.

حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ عِيسَى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ الْقَعْقَاعِ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ بْنِ عَمْرِو بْنِ جَرِيرٍعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ  قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ ثَقِيلَتَانِ فِي الْمِيزَانِ حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ

Telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Isa telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail dari 'Umarah bin al-Qa'qa' dari Abu Zur'ah bin 'Amr bin Jarir dari Abu Hurairah radiallahu 'anhu ia berkata; Rasulullah shallallahu wa'alaihi wa sallam bersabda: "Dua kalimat yang ringan di lisan, dan berat dalam timbangan serta dicintai Allah yang Maha Pengasih, yaitu; Maha Suci Allah dan dengan memujiNya aku ada, Maha Suci Allah yang Maha Agung.[14]

 

2.      Hadis Yang Berupa Perbuatan / Aplikasi (fi’li)

‘Abd al-Wahhab Khalaf mengatakan hadis fi’li adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi.[15]

Ketika Nabi melakukan sesuatu, sahabat menyaksikan perbuatannya kemudian disampaikan ke sahabat lain atau muridnya. Sekilas hadis fi’li jika dilihat dari proses periwayatannya, termasuk hadis mawquf, namun sesungguhnya tidak. Alasannya, yang menjadi sumber beritanya adalah perbuatan Nabi.[16]

Cara-cara mendirikan shalat, raka’atnya, cara-cara mengerjakan ibadah haji, adab-adab berpuasa dan memutuskan perkara berdasarkan saksi dan berdasarkan sumpah, semua ini diterima dari Nabi dengan perantara sunnah fi’liyyah (sunnah dalam bentuk perbuatan), lalu para sahabat menukilnya.[17]

Hadis fi’li yang bersumber dari Rasulullah dapat diklasifikasikan menjadi empat, yaitu:[18]

a.       Hadis yang berupa perbuatan yang dilakukan di hadapan orang banyak. Sebagaimana riwayat ‘Aishah,

حَدَّثَنَا الْقَعْنَبِيُّ عَنْ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْتُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ

Telah menceritakan kepada kami al-Qa'nabi dari Malik bin Anas dari Ibn Syihab dari 'Urwah bin al-Zubair dari ‘Aishah isteri Nabi sallallahu 'alaihi wasallam bahwa Nabi sallallahu 'alaihi wasallam mengerjakan shalat di dalam masjid, kemudian orang-orang turut mengikuti shalat beliau, kemudian beliau mengerjakan lagi di malam berikutnya, ternyata orang-orang yang mengikuti shalat beliau semakin banyak, Dan di malam ketiga, ketika orang-orang telah berkumpul, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak kunjung keluar. Keesokan harinya, beliau bersabda: "Aku telah mengetahui apa yang kalian perbuat semalam, dan tidak ada sesuatu pun yang menghalangiku keluar menemui kalian, hanya saja aku khawatir jika shalat tersebut akan diwajibkan atas kalian." Kejadian itu terjadi pada bulan Ramadhan."[19]

Pada hadis di atas, perbuatan Nabi pada hari pertama, kedua dan ketiga merupakan hadis fi’li yang diriwayatkan oleh ‘Aishah.

b.      Hadis yang berupa perbuatan yang dilakukan di hadapan satu atau beberapa orang saja.

وحَدَّثَنَا هُ أَبُوبَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُوخَالِدٍ الْأَحْمَرُ عَنْ عُبَيْدِاللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ  أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ

Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Shaibah telah menceritakan kepada kami Abu Khalid al-Ahmar dari 'Ubaidillah dari Nafi' dari Ibn Umar bahwa Nabi sallallahu 'alaihi wasallam pernah shalat diatas hewan tunggangannya kearah manapun hewan tunggangannya menghadap.[20]

c.       Hadis yang berupa perbuatan yang disebabkan oleh sebab tertentu (asbabul wurud al-hadith). Sebagai contoh adalah hadis dari Rasulullah yang mengajarkan kepada sahabatnya jumlah hari dalam sebulan

حَدَّثَنَا أَبُوبَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بِشْرٍ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ أَبِي خَالِدٍ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ ضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ عَلَى الْأُخْرَى فَقَالَ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَ اثُمَّ نَقَصَ فِي الثَّالِثَةِ إِصْبَعًا

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bashshar telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Abu Khalid telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Sa'd dari Sa'd bin Abu Waqash radiallahu 'anhu, ia berkata; Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam menempelkan tangannya ke tangan yang lain seraya bersabda: "Jumlah bulan itu adalah begini dan begini (kemudian beliau mengurangi satu jarinya pada kali yang ketiga)."[21]

Imam Suyuti (w. 911 H) menjelaskan sebab turunnya hadis ini dikarenakan suatu ketika Rasulullah menjauhi istri-istrinya selama sebulan lamanya. Beliau duduk di ruangan yang agak tinggi yang tangganya terbuat dari kayu. Para sahabat lalu mengunjunginya (pada hari ke-29), beliau lalu sholat mengimami mereka. Kemudian beliau hendak turun (menyelesaikan ‘uzlahnya), mereka pun berkata, “Wahai Rasulullah, bukankah engkau mengasingkan diri selama satu bulan?”, beliau menjelaskan bahwa satu bulan itu 29 hari.[22]

d.      Hadis fi’li yang tidak disebabkan oleh sebab tertentu. Jumlah hadis kategori ini sangat banyak mencakup segala aktivitas yang Nabi lakukan baik berkenaan dengan ibadah, maupun mu’amalah, bahkan berita tentang do’a-do’a Nabi, misalnya:

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ عَنْ عَبْدِالْعَزِيزِ عَنْ أَنَسٍ قَالَ كَانَ أَكْثَرُ دُعَاءِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Abdul Warits dari Abdul Aziz dari Anas dia berkata; "Do'a yang paling banyak dipanjatkan Nabi sallallahu 'alaihi wasallam adalah: 'Wahai Rabb kami, karuniakanlah kepada kami kebaikan di dunia dan akhirat, dan hindarkanlah kami dari siksa api neraka.'"[23]

 

BACA ARTIKEL LAIN YANG BERKAITAN:


    B.     METODE MEMAHAMI HADIS QAWLI DAN FI’LI YANG BERTENTANGAN

Sebagaimana yang sudah dijelaskan pada pembahasan mukhtalaf al-Hadith bahwa jika ada dua hadis yang bertentangan maka metode yang digunakan adalah al-jam‘u, al-nasikh wa al-mansukh dan yang terakhir adalah al-tarjih.[24]

Shaikh Mustafa Abu ‘Imarah menjelaskan dalam sebuah muhadarah, apabila ada dua hadis yang bertentangan, sedangkan yang digunakan adalah metode tarjih dengan cara menguatkan hadis qawli daripada hadis fi’li. Hal ini disebabkan beberapa alasan:

 

a.       Ibn ‘Ali Subuki mengatakan:

فيقدم خبر الناقل لقول النبي  على الناقل لفعله، والناقل لفعله على الناقل لتقريره، لأن القول أقوى الدلالة على التشريع من الفعل وهو أقوى من التقرير

Hadis qawli lebih diutamakan daripada hadis fi’li, dan hadis fi’li lebih diutamakan daripada hadis taqrir, karena hadis qawli lebih kuat untuk dijadikan dalil dalam syari’at daripada hadis fi’li dan hadis fi’li lebih kuat daripada hadis taqrir.[25]

b.      Ibn Sa‘id mengatakan:

لأن له صيغة دلالة، بخلاف الفعل، فإنه لا صيغة له تدل بنفسها، وإنما دلالة الفعل لأمر خارج، وهو كونه  واجب الاتباع

Karena hadis qawli mempunyai sighah dilalah, berbeda dengan hadis fi’li yang tidak mempunyai sighah dilalah yang berasal darinya, melainkan dari perkara luar, yaitu Rasulullah wajib diikuti.

c.       Para ulama sepakat bahwa hadis qawli merupakan hujjah, sedangkan untuk hadis fi’li masih diperselisihkan

d.      Hadis fi’li merupakan tashri‘ yang umum, bisa jadi hadis fi’li tersebut dikhususkan hanya untuk Rasulullah (bukan umatnya).[26]

Metode ini berurutan dari yang teratas, yaitu jam‘u, nasikh wa mansukh, baru tarjih. Jika hadis yang bertentangan masih bisa dikompromikan dengan cara jam‘u, maka tidak boleh menggunakan nasikh wa mansukh juga tarjih. Begitu juga hadis yang masih bisa dikompromikan dengan cara nasikh wa mansukh, tidak boleh menggunakan metode tarjih.

 

    C.     CONTOH PERTENTANGAN HADIS QAWLI DAN FI’LI

I.        METODE JAM‘U

1.      Mencari Nafkah Dari Bekam

a.       Hadis yang melarang mencari nafkah dari bekam (hadis qawli)

حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ عَنْ الْأَوْزَاعِيِّ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ قَارِظٍ عَنْ السَّائِبِبْنِ يَزِيدَ حَدَّثَنِي رَافِعُ بْنُ خَدِيجٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَمَنُ الْكَلْبِ خَبِيثٌ وَمَهْرُ الْبَغِيِّ خَبِيثٌ وَكَسْبُ الْحَجَّامِ خَبِيثٌ

Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami al-Walid bin Muslim dari al-Auza'i dari Yahya bin Kathir telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin Qariz dari al-Saib bin Yazid telah menceritakan kepadaku Rafi' bin Khudaij dari Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Hasil usaha jual beli anjing adalah buruk, hasil usaha pelacuran adalah buruk dan hasil usaha bekam juga buruk."[27]

b.      Rasulullah memberi upah kepada orang yang membekamnya (hadis fi’li)

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ حَدَّثَنَا خَالِدٌ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ احْتَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَعْطَى الْحَجَّامَ أَجْرَهُ وَلَوْ عَلِمَهُ خَبِيثًا لَمْ يُعْطِهِ

Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Zurai', telah menceritakan kepada kami Khalid, dari Ikrimah dari Ibn Abbas, ia berkata; Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam berbekam dan memberikan upah kepada tukang bekam. Seandainya beliau meyakininya sebagai sesuatu yang buruk, niscaya beliau tidak memberinya.[28]

 

 

Penyelesaian

Untuk menyelesaikan kedua hadis ini, dengan menggunakan metode jam‘u. ibn Hajar mengatakan: Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini, jumhur berpendapat bahwa mencari rezeki dengan bekam hukumnya halal, tetapi itu termasuk perbuatan yang rendah, tetapi tidak haram. Maka dalam hal ini termasuk makruh tanzih (karena melihat hadis kedua).[29]

 

2.      Sholat Sunnah Setelah Asar

a.       Rasulullah selalu sholat setelah Asar

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَرْعَرَةَ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ قَالَ رَأَيْتُ الْأَسْوَدَوَمَسْرُوقًا شَهِدَاعَلَى عَائِشَةَ قَالَتْ  مَاكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى  اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِينِي فِي يَوْمٍ بَعْدَ الْعَصْرِ إِلَّا صَلَّى رَكْعَتَيْنِ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin 'Ar'arah berkata, telah menceritakan kepada kami Shu'bah dari Abu Ishaq berkata, Aku melihat al-Aswad dan Masruq bersaksi atas ‘Aishah ia berkata, "Tidaklah Nabi sallallahu 'alaihi wasallam mendatangiku dalam suatu hari setelah asar kecuali beliau shalat dua rakaat."[30]

Dari hadis ini dapat kita pahami bahwa ‘Aishah selalu melihat Rasulullah melakukan sholat sunnah setelah asar. Dan hadis ini termasuk hadis fi’li.

Hadis ini derajatnya sahih dan diriwayatkan Imam Bukhari dalam Sahihnya. Semua riwayat yang mengabarkan Rasulullah selalu sholat setelah asar bersumber dari ‘Aishah.

 

b.      Larangan sholat setelah asar

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا مَنْصُورٌ وَهُوَ ابْنُ زَاذَانَ عَنْ قَتَادَةَ قَالَ أَخْبَرَنَا أَبُو الْعَالِيَةِ عَنْا بْنِ عَبَّاسٍ قَال سَمِعْتُ غَيْرَ وَاحِدٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهُمْ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَكَانَ مِنْ أَحَبِّهِمْ إِلَيَّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَجْرِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ وَعَنْ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Mani' berkata; telah menceritakan kepada kami Hushaim berkata; telah mengabarkan kepada kami Manshur - dia adalah Ibn Zadzan- dari Qatadah berkata; telah mengabarkan kepada kami Abu al-A<liyah dari Ibn Abbas berkata; aku banyak mendengar dari sahabat Nabi sallallahu 'alaihi wasallam, seperti Umar bin Khattab, dan ia termasuk orang yang paling aku sukai, "Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam melarang sholat setelah fajar hingga matahari terbit, dan melarang sholat setelah asar hingga matahari terbenam."[31]

Abu ‘I<sa berkata hadis ini derajatnya hasan sahih.

Dalam sebuah riwayat Mu’adh bin ‘Afra Rasulullah bersabda:

لاصلاة بعد صلاتين بعد الغداة حتى تطلع الشمس وبعد العصر حتىتغرب الشمس

Abu ‘I<sa menambahkan: “Dalam bab ini juga ada riwayat dari Ali, Ibn Mas'ud, Uqbah bin Amir, Abu Hurairah, Ibn Umar, Samrah bin Jundab, Abdullah bin Amru, Mu'adz bin 'Afra`, Ash Shunabihi -namun ia tidak mendengar dari Nabi sallallahu 'alaihi wasallam-, Salamah bin al-Akwa', Zaid bin Tsabit, ‘Aishah, Ka'ab bin Murrah, Abu Umamah, Amru bin Abasah, Ya'la bin Umayyah dan Mu'awiyah.”[32]

c.       Suatu ketika Rasulullah lupa sholat sunnah setelah dhuhur, lalu mengerjakannya setelah Asar, sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat:

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا طَلْحَةُ بْنُ يَحْيَى سَمِعْتُهُ مِنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِاللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ  شُغِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ فَصَلَّاهُمَا بَعْدَ الْعَصْرِ

Telah menceritakan kepada kami Waki' telah menceritakan kepada kami Talhah bin Yahya saya telah mendengarnya dari ‘Ubaidullah bin Abdullah bin Abdullah bin Utbah dari Ummu Salamah berkata; "Nabi salallahu ‘alaihi wasallam pernah melewatkan dua raka'at setelah zuhur, karena sibuk. Lantas beliau mengerjakannya setelah asar."[33]

 

Penyelesaian

Hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah selalu melakukan shalat setelah asar adalah kekhususan bagi Rasulullah saja, tidak untuk umatnya.[34]

Imam Tirmidhi mengatakan bahwa pendapat kebanyakan fuqaha dari kalangan sahabat Nabi sallallahu 'alaihi wasallam dan orang-orang setelah mereka, bahwasanya mereka memakruhkan shalat setelah subuh hingga matahari terbit dan setelah asar hingga matahari terbenam. Adapun shalat-shalat yang tertinggal, maka tidak apa-apa untuk dikerjakan (mengqadlanya) setelah subuh atau asar.[35]

Mubarakfuri penulis Sharh Sunan Tirmidhi menambahkan Kebanyakan fuqaha’ dari sahabat Nabi dan ulama-ulama setelahnya mengukumi makruh shalat sunnah setelah asar. Barangsiapa yang melakukan shalat sunnah setelah asar, mungkin tidak mengetahui hadis pelarangan shalat tersebut, atau bisa jadi mereka menganggap hal tersebut tanzih bukan tahrim. Imam Shafi'i mengatakan tidak boleh shalat pada waktu tersebut kecuali jika ada sebab tertentu, seperti mengqada’ sholat yang tertinggal, sholat jenazah, dan lain sebagainya maka dibolehkan.[36]

 

3.      Kencing Berdiri

a.       Rasulullah tidak melarang kencing berdiri, hadis qawli.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ عَبْدِالْكَرِيمِ بْنِ أَبِي أُمَيَّةَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ عُمَرَ قَالَ رَآنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا أَبُولُ قَائِمًا فَقَالَ يَاعُمَرُ لَاتَبُلْ قَائِمًا فَمَا بُلْتُ قَائِمًا بَعْدُ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya berkata, telah menceritakan kepada kami Abd al-Razaq berkata, telah menceritakan kepada kami Ibn Juraij dari Abd al-Karim bin Abu Umayyah dari Nafi' dari Ibn Umar dari Umar ia berkata; "Ketika aku kencing dengan berdiri Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam melihatku, maka beliau pun menegurku: "Wahai Umar, janganlah engkau kencing dengan berdiri." Maka semenjak itu aku tidak pernah kencing dengan berdiri lagi."[37]

b.      Rasulullah pernah kencing berdiri, hadis fi’li

حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ قَالَ الْأَعْمَشُ أَخْبَرَنَا عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ قَالَ  رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى سُبَاطَةَ قَوْمٍ فَبَالَ وَهُوَ قَائِمٌ ثُمَّ دَعَا بِمَاءٍ فَأَتَيْتُهُ فَتَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ

Telah menceritakan kepada kami Hushaim berkata al-A'masy telah mengabarkan kepada kami dari Abu Wa`il dari Hudhaifah bin al-Yaman berkata; Aku melihat Rasulullah sallallahu 'alaihi wa salam mendatangi tempat pembuangan sampah kaum kemudian beliau meminta air, aku membawanya lalu beliau berwudu dan mengusap bagian atas dua sepatu beliau.[38]

 

Penyelesaian

Antara kedua hadis tersebut tidak ada pertentangan. Pada riwayat kedua, Rasulullah kencing dengan berdiri dikarenakan tempat tersebut kotor (pembuangan sampah), maka tidak mungkin melakukannya dengan duduk.[39]

 

  II.   METODE NASIKH WA MANSUKH

Wudu setelah memakan daging yang dibakar

a.       Dalam sebuah riwayat Rasulullah memerintahkan wudu setelah memakan daging yang dibakar, hadis qawli

وحَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ شُعَيْبِ بْنِ اللَّيْثِ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ جَدِّي حَدَّثَنِي عُقَيْلُ بْنُ خَالِدٍ قَالَ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ أَخْبَرَنِي عَبْدُالْمَلِكِ بْنُ أَبِي بَكْرِ بْنِ عَبْدِالرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ أَنَّ خَارِجَةَ بْنَ زَيْدٍ الْأَنْصَارِ يَّأَخْبَرَهُ أَنَّ أَبَا هُزَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْوُضُوءُ مِمَّا مَسَّتْ النَّارُ

Dan telah menceritakan kepada kami Abd al-Malik bin Shu'aib bin al-Laith dia berkata, telah menceritakan kepada kami bapakku dari kakekku telah menceritakan kepada kami Uqail bin Khalid dia berkata, telah berkata Ibn Shihab telah mengabarkan kepadaku Abd al-Malik bin Abi Bakar bin Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam bahwa Kharijah bin Zaid al-Ansari telah mengabarkan kepadanya bahwa bapaknya, Zaid bin Thabit dia berkata, "Saya mendengar Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Wudhu (diwajibkan) karena (memakan daging) yang dibakar api'."[40]

b.      Tidak perlu wudu setelah makan daging yang dibakar (hadis fi’li)

أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ مَنْصُورٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَيَّاشٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعَيْبٌ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كَانَ آخِرَ الْأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَرْكُ الْوُضُوءِ مِمَّا مَسَّتْ النَّارُ

Telah mengabarkan kepada kami Amr bin Manshur dia berkata; telah menceritakan kepada kami Ali bin 'Ayyas berkata; telah menceritakan kepada kami Shu'aib dari Muhammad bin Munkadir berkata; "Saya mendengar Jabir bin Abdullah berkata; "Salah satu dari dua hal yang ditinggalkan oleh Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam adalah tidak berwudlu karena memakan sesuatu yang disentuh oleh (dimasak dengan) api."[41]

 

Penyelesaian:

Para ulama menggunakan metode nasikh wa mansukh dalam mengkompromikan kedua hadis ini. Hadis kedua menjadi nasikh atas hadis pertama. Demikian pendapat Shafi‘iyyah, Malikiyyah dan Hanafiyyah yang mengatakan tidak perlu berwudu lagi setelah memakan daging yang dibakar.[42]

 

III.   METODE TARJIH

Disini penulis mengambil contoh sholat sunnah setelah asar. Seandainya metode jam‘u yang ditawarkan penulis masih diperdebatkan, maka pilihan terakhir dengan metode tarjih. Oleh karenanya hadis qawli (yang melarang untuk sholat sunnah setelah asar) merajihkan hadis fi’li (yang membolehkan sholat sunnah setelah asar).


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:


BAB III

PENUTUP

1.      Hadis qawli dan fi’li merupakan hadis yang bersumber dari satu orang, yaitu Rasulullah. Jika bersumber dari satu orang, maka bagaimana mungkin bisa bertentangan antara kedua hadis tersebut? Apakah hadisnya yang salah? Ataukah pemahaman kita? Oleh karenanya diperlukan metode pemahan hadis yang benar.

2.      Hadis qawli dan fi’li dibagi menjadi empat:

a.       Disampaikan di hadapan orang banyak

b.      Hanya disampaikan kepada seseorang atau beberapa orang saja

c.       Hadis yang disampaikan Nabi yang berkenaan dengan sebab / peristiwa tertentu

d.      Hadis yang disampaikan Rasulullah tanpa disertai sebab tertentu.

3.      Sebagaimana yang sudah dijelaskan pada pembahasan mukhtalaf al-Hadithbahwa jika ada dua hadis yang bertentangan maka metode yang digunakan adalah jam‘u, nasikh wa mansukh dan yang terakhir adalah tarjih.

4.      Salah satu metode tarjih adalah apabila ada dua hadis yang bertentangan (qawli dan fi’li) maka yang lebih diutamakan adalah hadis qawli.

DAFTAR PUSTAKA 

Bukhari, al-Jami‘ al-Sahih. Stuttgart – Germany: Jam’iyyatu al-Maknaz al-Islamy, 2000.

Dawud, Abu, Sunan Abi Dawud. Stuttgart – Germany: Jam’iyyatu al-Maknaz al-Islamy, 2000.

Hanbal, Imam Ahmad ibn, Musnad Ahmad, Hadis no. 25398. t.t. Pustaka Lidwa, t.th.

Hashim, Muhammad Mahmud Ahmad, Mausu‘ah Ulum al-Hadith. Kairo: Wizarah al-Auqaf, 2009.

Idri, Studi Hadis. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013.

Izzan, Ahmad, dkk., Ulumul Hadis. Jakarta: Tafakur, t.th.

Khallaf, ‘Abd al-Wahhab, ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Kairo: Maktabah Da’wah Islamiyyah Syabbab al-Azhar, 1361 H / 1942 M.

Majah, Ibn, Sunan ibn Majah. Stuttgart – Germany: Jam’iyyatu al-Maknaz al-Islamy, 2000.

Mubarakfuri, Tuhfatu al-Ahwadhi bi Sharhi al-Jami‘ al-Tirmidhi. t.t.: Dar Fikr, t.th..

Mulaqqin (al), Ibn, Ghayatu al-Sul fi Khasaisi al-Rasul. Beirut: Dar Bashair al-Islamiyyah, 1993.

Muslim, Sahih Muslim. Stuttgart – Germany: Jam’iyyatu al-Maknaz al-Islamy, 2000.

Nasa’i (al), Imam,Sunan al-Nasa’i. Stuttgart – Germany: Jam’iyyatu al-Maknaz al-Islamy, 2000.

Qutaibah, Ibn, Ta’wil Mukhtalaf al-Hadith. Beirut: Maktabah al-Islamiyyah, 1999.

Shiddiqy (al), M. Hasbi. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009.

Ibn ‘Ali Subuki (al), Jam‘u al-Jawami‘ fi Usuli al-Fiqh. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003.

Suyuti, al-Lam‘u fi Asbabi al-Hadith. Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2004.

Tirmidhi, Imam, Sunan al-Tirmidhi. Stuttgart – Germany: Jam’iyyatu al-Maknaz al-Islamy, 2000.

Tufi (al), Ibn Sa‘id, Sharh Mukhtasar al-Raudah. Riyad: Wizarah Shu’un Mamlakah al-‘Arabiyyah, t.th..

Mausu‘ah Kuwaitiyyah. Kuwait: Wizaratu al-Auqaf, 1986.



[1] ‘Abd al-Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh (Kairo: Maktabah Da’wah Islamiyyah Shabbab al-Azhar, 1361 H / 1942 M), 36.

[2] Ahmad Izzan, dkk., Ulumul Hadis (Jakarta: Tafakur, t.th.), 2.

[3] Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), 8.

[4]‘Abd al-Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, 36.

[5]Idri, Studi Hadis, 8.

[6]Bukhari, al-Jami‘ al-Sahih, Juz 1(Stuttgart – Germany: Jam’iyyatu al-Maknaz al-Islamy, 2000), 7.

[7] Idri, Studi Hadis, 8.

[8]Bukhari, al-Jami‘ al-Sahih, 28.

[9]Idri, Studi Hadis, 9.

[10]Al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i, Juz 1(Stuttgart – Germany: Jam’iyyatu al-Maknaz al-Islamy, 2000), 40.

[11]Idri, Studi Hadis, 10.

[12]Bukhari, al-Jami‘ al-Sahih, Juz 3, 1342.

[13]Idri, Studi Hadis, 11.

[14]Imam Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi, Juz 2 (Stuttgart – Germany: Jam’iyyatu al-Maknaz al-Islamy, 2000), 891.

[15]‘Abd al-Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, 36.

[16]Idri, Studi Hadis, 13.

[17] M. Hasbi al-Shiddiqy (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009), 7.

[18]Idri, Studi Hadis, 13.

[19] Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Juz 1(Stuttgart – Germany: Jam’iyyatu al-Maknaz al-Islamy, 2000), 235.

[20]Muslim, Sahih Muslim, Juz 1 (Stuttgart – Germany: Jam’iyyatu al-Maknaz al-Islamy, 2000), 278.

[21]Ibid., 431.

[22]Suyuti, al-Lam‘u fi Asbab al-Hadith (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2004), 100.

[23]Bukhari, al-Jami‘ al-Sahih, Juz 3, 1297.

[24]Muhammad Mahmud Ahmad Hashim, Mausu‘ah Ulum al-Hadith (Kairo: Wizarat al-Auqaf, 2009), 654.

[25] Ibn ‘Ali al-Subuki, Jam‘u al-Jawami‘ fi Usuli al-Fiqh (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), 114.

[26] Ibn Sa‘id al-Tufi, Sharh Mukhtasar al-Raudah, Jilid 3 (Riyad: Wizarah Shu’un Mamlakah al-‘Arabiyyah, t.th.), 705

[27]Muslim, SahihMuslim, Juz 2, 669.

[28] Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Juz 2, 589.

[29] Mubarakfuri, Tuhfatu al-Ahwadhibi Sharhi al-Jami‘ al-Tirmidhi (t.t.: Dar Fikr, t.th.), 499.

[30]Bukhari, al-Jami‘ al-Sahih, Juz 1, 116.

[31]Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi, Juz 1, 55.

[32]Ibid., 55.

[33]Imam Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, Hadis no. 25398 (t.t.: Pustaka Lidwa, t.th.)

[34] Ibn al-Mulaqqin, Ghayatu al-Sul fi Khasaisi al-Rasul (Beirut: Dar Bashair al-Islamiyyah, 1993), 288.

[35]Imam Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi, Juz 1, 55.

[36] Mubarakfuri, Tuhfatu al-Ahwadhibi Sharh al-Jami‘ al-Tirmidhi, 542.

[37] Ibn Majah, Sunan ibn Majah, Juz 1 (Stuttgart – Germany: Jam’iyyatu al-Maknaz al-Islamy, 2000), 50

[38]Imam Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, Hadis no. 22157.

[39] Ibn Qutaibah, Ta’wil Mukhtalaf al-Hadith, (Beirut: Maktabah al-Islamiyyah, 1999), 152.

[40]Muslim, Sahih Muslim, Juz 1, 153.

[41]Nasa’i, Sunan Nasa’i, Juz 1, 30.

[42]Mausu‘ah Kuwaitiyyah, Juz 8, (Kuwait: Wizaratu al-Auqaf, 1986), 42.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...