BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Setelah Rasulullah
wafat, komunitas muslim yang belum lama lahir itu merasa sangat perlu menjaga
kesinambungan wahyu. Tentu tugas signifikan ini, terpenuhi tidaknya tergantung
dari tarap kesungguhan dan ketulusan dalam memenej informasi tersebut. Suatu
fakta yang menunjukkan kearah pemikiran itu adalah proses tranmisi periwayatan
naskah Alquran hingga tahap kodifikasinya. Alquran telah di periksa dan
disatukan oleh Nabi sendiri, dan Hafsah (istri beliau) kemudian menyerahkan
kepada Abu Bakar, dan seterusnya. Ini bukti yang tak terbantahkan bahwa naskah
Alquran telah di kumpulkan dengan ekstra hati-hati.
Wacana yang sama terlihat juga dalam metodologi pengumpulan dan
penulisan hadis. Sejarah pengumpulan dan penulisan hadis dan ilmu hadis telah
melewati fase historis yang sangat panjang semenjak Nabi SAW, sahabat, tabi’in
dan seterusnya hingga mencapai puncaknya pada kurun abad III Hijriyah.
Perjuangan para ulama Hadis yang telah berusaha dengan keras dalam melakukan
penelitian dan penyeleksian terhadap hadis, mana yang sahih dan mana yang da’if, telah menghasilkan
metode-metode yang cukup kaya, mulai dari metode penyusunan dalam berbagai
bentuknya (musnad, sunan, jami’ dan lain-lainnya), hingga kaidah-kaidah
penelusuran hadis. Kaidah-kaidah tersebut akhirnya menjadi disiplin ilmu
tersendiri yang kemudian disebut dengan ilmu hadis.
Namun, karena
pembukuan hadis baru bisa di lakukan dalam rentang waktu yang cukup lama
(hampir seratus tahun) setelah Nabi Muhammad SAW wafat, ditambah lagi dengan
kenyataan sejarah bahwa banyak hadis yang dipalsukan, maka keabsahan hadis-hadis
yang beredar di kalangan kaum muslimin menjadi rancau, meskipun mereka telah
meneliti dengan seksama.
Di sinilah bekal
pegetahuan ilmu hadis menjadi sangat bermanfaat bagi peneliti dan pengkaji hadis.
Karena untuk mempelajari dan mengkaji hadis-hadis nabi, seseorang tidak bisa
mengabaikan ilmu hadis ini. Dengan ilmu ini, para ulama’ bisa mengetahui
kualitas hadis, apakah termasuk hadis sahih, hasan, atau daif.
Dan para peneliti dan pengkaji Hadis harus mengetahui sejarah perkembangan
Hadis, mulai Hadis zaman Nabi Muhammad, sahabat, atau zaman tabi’in, bahkan
sampai perkembangan hadis zaman modern.
Usaha mempelajari
sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis ini diharapkan dapat mengetahui
sikap dan tindakan umat Islam yang sebenarnya, khususnya para ulama’ ahli
hadis, terhadap hadis serta usaha-usaha pembinaan dan pemeliharaan mereka pada
tiap-tiap periodenya sampai akhirnya terwujud kitab-kitab hasil tadwin secara sempurna. Oleh karena itu,
mengkaji sejarah ini berarti melakukan upaya mengungkap fakta-fakta yang
sebenarnya, sehingga sulit untuk ditolak kaberadaannya.
Perjalanan hadis
pada tiap periodenya mengalami berbagai persoalan dan hambatan yang
dihadapinya, yang antara periode satu dengan periode lainnya tadak sama, maka
pengungkapan sejarah perlu di ajukan ciri-ciri khusus dalam persoalan tersebut.
Diantara ulama’ tidak sama dalam menyusun periodesasi pertumbuhan dan
perkembangan hadis ini. Ada ahli hadis yang membagi pada tiga periode, seperti
masa Nabi Muhammad SAW, sahabat dan tabi’in, masa pen-tadwin-an dan masa
setelah tadwin. Ada juga yang membagi pada periodesasi yang lebih terperinci,
sampai lima atau tujuh periode, dengan spesifikasi yang cukup jelas.
Terlepas dari
periodesasi yang kami kemukakan di atas, yang perlu di kemukakan secara khusus
pada pembahasan ini adalah periode VII sampai sekarang.
B. Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah yang melatar belakangi penyusunan makalah ini antara lain:
A.
Keadaan Politik Umat Islam Pada Periode Ini
B.
Kegiatan Ulama Hadis pada periode ini
C. Macam-macam
kitab Hadis pada perode ini
D. Perkembangan Hadis pada Masa Modern
C. Tujuan
Adapun
tujuan dari penyusunan makalah antara lain untuk mengkaji dan membahas:
A.
Keadaan Politik Umat Islam Pada Periode Ini
B.
Kegiatan ulama Hadis pada periode ini
C. Macam-macam
kitab Hadis pada perode ini
D.
Perkembangan Hadis pada Masa Modern
BAB II
PEMBAHASAN
A. Keadaan Politik Umat Islam Pada Periode Ini
Setelah Baghdad direbut dan
khilafah Abbasiyah ditaklukkan (656 H), maka tentara Tartar melanjutkan
penyerangannya ke Haleb, Damaskus (658 H). Daulah Ayubiyah di Mesir yang pernah
jaya di bawah pahlawan Islam dalam perang salib, telah runtuh dan dikuasai oleh
Daulah Mamalik. Melihat mengganasnya penyerangan tentara Tartar, maka
orang-orang Mesir bertekad melawan tentara Tartar dan akhirnya tentara yang dikuasai
oleh cucu Jengis Khan ini berhasil dihancurkan. Daulah Mamalik, ingin diakui
sebagai penguasa dunia Islam. Secara politis, Bani Abbasiyah masih diperlukan
namanya untuk kewibawaan daerah-daerah Islam di luar Mesir. Oleh karena itu
tatkala salah seorang dari Bani Abbasiyah datang ke Mesir, maka dilantiklah
menjadi khalifah oleh raja Al-Dhahir Baibris. Sejak tahun pembaiatan ini, kota
Kairo merupakan kota khilafah Bani Abbasiyah, tetapi kekuasaan pemerintahan
tetap dipegang oleh Bani Mamalik (dari keturunan Bangsa Turki) Tegasnya,
khalifah dari Bani Abbasiyah sekedar simbol semata, agar daerah-daerah Islam
dapat mengakui Mesir sebagai pusat Pemerintahan Islam.[1]
Pada permulaan abad VIII,
muncullah seorang, tokoh di Turki, bernama Utsman Kajuk. la membina kerajaan di Turki dari puing-puing
peninggalan Bani Saljuk yang masih ada di Asia Tengah. Usman bersama keturunannya
berusaha menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang ada di sekitarnya, sehingga
dengan demikian Usman berhasil membangun Daulah Usmaniyah yang berpusat di Turki.
Daulah Usmaniyah akhirnya berhasil menaklukkan Konstatinopel dan Mesir,
sekaligus menghilangkan Khilafah Abbasiyah. Dan mulai saat itu, berpindahlah
Khilafah Islamiyah dari Mesir ke Konstatinopel. Daulah Usmaniyah makin jaya dan
besar. Tetapi di balik itu, cahaya Islam di Andalusia yang telah besinar
sekitar delapan abad itu, makin redup dan pudar.[2]
Pada permulaan abad ketiga belas,
Mesir di bawah pimpinan Muhammad Ali, mulai bangkit memulihkan kekuatannya dan
berusaha mengembalikan kejayaan Mesir pada masa silam. Bertepatan dengan masa
itu pula, Kerajaan-kerajaan Eropa telah makin kuat dan ingin menguasai dunia.
Kerajaan-kerajaan Eropa yang telah di semangati oleh perang salib itu,
senantiasa berusaha untuk menumbangkan daulah Islamiyah dan menguasai kaum
Muslimn. Akhirnya daulah Utsmaniyah runtuh lalu mereka takhlukkan dan cahaya
Islam mulai meredup karena tekanan para penjajah. Sulitlah hubugan dari Mesir
ke Hijaz atau Syam dan lain-lain, sehingga praktis hilanglah perlawatan para
Ulama’ untuk menebarkan ajaran-ajaran Islam akibat penjajahan bangsa Eropa terhadap daerah-daerah Islam tersebut.
Ulama-ulama Islam barulah mampu
mengadakan kontak antar mereka, setelah semangat kebangkitan Islam mulai tumbuh
dan mendobrak belenggu penjajahan bangsa Eropa di negara-negara yang
penduduknya mayoritas beragama Islam.[3]
Seiring dengan
berjalannya waktu dan tidak ada tanda-tanda membaik sampai separuh pertama abad
ke-19 M. oleh karena itu, satu persatu negeri di eropa yang pernah dikuasai
kerajaan ini memerdekakan diri. Bukan hanya negeri-negeri di Eropa yang sedang
mengalami kemajuan yang memberontak terhadap kekuasaan kerajaan Usmani, tetapi
juga beberapa daerah di Timur Tengah mencoba bangkit memberontak. Di Mesir,
kelemahan-kelemahan kerajaan Usmani membuat Mamalik bangkit kembali. Dibawah
kepemimpinan Ali Bey, pada tahun 1770 M Mamalik kembali berkuasa di mesir,
sampai datangnya Napoleon Bonaparte dari Perancis tahun 1798 M.[4]
Gerakan-gerakan
seperti itu terus berlanjut dan bahkan menjadi lebih keras pada masa-masa
sesudahnya, yaitu abad ke-19 dan ke-20 M. Ditambah dengan gerakan pembaharuan
politik di pusat pemerintahan, kerajaan Usman berakhir dengan berdirinya
Republik Turki pada tahun 1924 M.[5]
B. Kegiatan Ulama Hadis pada Periode Ini
Dengan latar
belakang keadaan politik dunia Islam seperti dikemukakan diatas, maka praktis
kegiatan periwayatan hadis yang pada sebelumnya banyak di lakukan secara Shafawiyah
(penyampaian dan penerimaan riwayat secara lisan) sudah tidak lagi banyak di
jumpai. Karenanya, penyampaian dan penerimaan riwayat hadis banyak dilakukan
dengan jalan ijazah dan mukatabah. Yang dimaksud dengan ijazah dalam hal ini
adalah pemberian izin dari seorang shaikh (guru) kepada muridnya untuk
meriwayatkan hadis yang berasal dari padanya baik yang tertulis ataupun yang
hafalan, beserta kekurangam-kekurangan dari riwayat tersebut. Yang di maksud
dengan mukatabah adalah pemberian catatan hadis dari seorang shaikh
kepada orang yang ada di dekatnya atau orang jauh, baik catatan itu ditulis
sendiri oleh guru tersebut ataupun dengan cara disuruh orang lain untuk
menuliskannya.[6]
Hanya sedikit sekali ulama’ hadis
yang masih mampu menyampaikan periwayatan hadis beserta sanadnya secara hafalan
yang sempurna seperti yang telah di lakukan oleh Ulama’ Mutaqaddimin. Diantara
mereka itu adalah:
1. Al-‘Iraqi
(wafat 806 H)
Beliau mendektekan hadis secara
hafalan kepada 400 majelis, sejak tahun 796 H.
2. Ibnu Hajar
al-Asqalani (wafat 852 H
Beliau adalah murid al-‘Iraqi.
Diantara ulama ada yang menyatakan, Ibnu Hajar adalah seorang Hafiz yang
tidak ada tandingan di zamannya. Telah didektekan hadis kepada 1000 majelis.
3. Al-Shakhawi
(wafat 902 H)
Beliau adalah murid Ibnu Hajar
dan telah mendektekan hadis-hadis nabi kepada 1000 majelis. Di antara kitab
karangannya adalah Fathu al-Mughith.[7]
Kegitan yang terbanyak yang dilakukan
oleh para ulama pada periode ini pada umumnya adalah mempelajari kitab-kitab
yang telah ada, kemudian mengembangkannya, antara lain dengan penyusunan
kitab-kitab baru yang selain dalam bentuk seperti yang telah ditempuh oleh ulama’
sebelumnya (seperti kitab jami’, mustakhraj, mustadrak dan athraf), juga
berupa:
1. Kitab sharah.
Yakni kitab hadis yang di
dalamnya di muat uraian dan penjelasan kandungan hadis dan kitab tertentu dan
hubungannya dengan dalil-dalil yang lain, baik dari Alquran, dari hadis maupun
dari kaidah-kaidah shara’ lainnya.
2. Kitab
Mukhtasar.
Yakni
kitab hadis yang berisi ringkasan dari suatu kitab hadis.
3. Kitab Zawaid.
Yakni kitab yang didalamnya dihimpun
hadis-hadis yang terdapat pada suatu kitab tertentu dan hadis tersebut tidak
termaktub dalam kitab-kitab tertentu lainnya.
4. Kitab
penunjuk (kode indeks) hadis.
Yakni kitab yang berisi
petunjuk-petunjuk praktis, biasanya berupa kode-kode huruf dan angka tertentu,
untuk mempermudah mendapatkan atau mencari matan hadis di kitab-kitab tertentu.
5. Kitab
terjemah hadis.
Yakni kitab pengalih bahasa
kitab-kitab hadis dari bahasa Arab ke bahasa lain atau sebaliknya. Sejak akhir
abad XIV H di Indonesia telah dimulai kegiatan penerjemahaan kitab-kitab hadis
kedalam bahasa Indonesia, baik kitab jami’, kitab hadis Ahkam,
maupun kitab Sharah.[8]
C. Macam-Macam
Kitab Hadis pada Periode Ini
Jalan-jalan
yang ditempuh oleh ulama-ulama dalam masa yang ketujuh ini ialah menertibkan
isi kitab-kitab Hadis, menyaringnya dan
menyusun kitab-kitab takhrij, serta membuat kitab-kitab jami’
yang umum, kitab-kitab yang mengumpulkan hadis hukum, men-takhrij-kan
hadis-hadis yang terdapat dalam beberapa kitab, men-takhrij-kan
hadis-hadis yang terkenal dalam masyarakat dan menyusun kitab Athraf.[9]
Di antara
kitab-kitab yang disusun dalam periode ini ialah:
1.
Kitab-kitab Zawa’id
Dalam
periode ini bangunlah ulama mengumpulkan
hadis-hadis yang tidak terdapat dalam kitab-kitab yang sebelumnya ke dalam
sebuah kitab yang tertentu. Kitab-kitab itu mereka namai kitab Zawa’id.
Kitab Zawa’id
adalah kitab atau karya tulis yang dimaksudkan untuk mengumpulkan tambahan dari
kitab-kitab tersentu seperti kitab Musnad, dan mu’jam ke dalam
kitab-kitab rujukan hadis seperti al-Kutub al-Sittah, Musnad Ahmad, Sahih Ibnu
Hibban, dan lain lainnya[10]
Al-Hafiz
Zainuddin Abdurrahman bin al-Husain al-‘Iraqi (W.806 H.) di anggap sebagai
penemu pertama kali ide kitab Zawa’id, meskipun sejauh pengetahuan dia
belum menulis satupun kitab tentang hal itu, akan tetapi dia mengarahkan hal
itu kepada tiga orang muridnya yang mana diantara mereka itulah madrasah hadis
terbentuk diakhir abad kedelapan dan awal abad kesembilan hijriyah. Mereka
adalah:
1.
Al-Hafiz Abu Bakr Nuruddin
al-Haitami (W.807 H).
2.
Al-Hafiz Syihabuddin Abu
al-Abbas al-Busiri (W. 840 H).
3.
Al-Hafiz Abu Fadl Shihabuddin
Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-Asqalani (W. 852 H).[11]
Al-Hafiz
al-Haitami merupakan murid yang paling dulu menulis disiplin ilmu Zawa’id
ini dengan bimbingan Shaikhana al-‘Iraqi. Dia memulai hal itu dengan Zawa’id
Musnad al-Imam Ahmad kemudian Musnad Abu Ya’la kemudian Musnad
al-Bazzar kemudian setelah tiga itu tiga Mu’jam al-tabrani. Semuanya
ini Zawaid terdapat al-Kutub al-Sittah.[12]
Diantara karya Ilmyah yang
terpenting dalam al-Zawa’id:
1.
Ghayah al-Maqsad fi Zawa’id
al-Musnad (Musnad Ahmad), karya al-Haitami ditahqiq di Universitas Ummul
Qura.
2.
Kashf al-Athar ‘an Zawa’id
al-Bazzar, karya al-Haitami, dicetak sebanyak empat jilid.
3.
Al-Maqsad al-‘Ali fi Zawa’id
Abu Ya’la al-Mushili, karya al-Haitami, dicetak juz awalnya saja.
4.
Al-Badr al-Munir ‘ala Zawa’id
al-Mu’jam al-Kabir li al-Tabrani, karya al-Haitam, ditahqiq
di Uniersitas Ummul Qura.
5.
Majma’ al-Bahrain fi Zawa’id
al-Mu’jamain –yaitu Mu’jam al-Shaghir dan mu’jam
al Ausat li al-Tabrani,- karya al-Haitami juga, dan inilah yang dimaksud
dengan Zawa’id (tambahan) atas hadis yang terdapat dalam al-Kutub al-Sittah.
Kemudian al-Haitami dengan bimbingan gurunya, al-‘Iraqi mengumpulkan tambahan al-Kutub
al-Sittah, yaitu Musnad-musnad dan
mu’jam- dalam satu kitab yang sanadnya dibuang, dengan judul:
6.
Majma’ al-Zawa’id Manba’ al
Fawaid, sudah dicetak sebanyak sepuluh juz.
7.
Mawarid azh-Zham’an ila Zawa’id
Ibnu Hibban, karya al- al-Haitami, sudah dicetak dalam satu
jilid.
8.
Bughyah al-Bahith ‘an Zawa’id
Musnad al-Harith karya al-Haitami, satu juz. Sudah di-tahqiq
di Universitas al-Islamiyah di Madinah.
9.
Al-Matalib al-‘aliyah fi Zawa’id
al-Masanid al-Thamaniyah, karya al-Hafiz Ibnu Hajar, dicetak dalam
empat jilid.
10.
Zawa’id al-Bazzar ‘ala
al-Kutub al-Sittah wa Musnad Ahmad, karya al Hafiz Ibnu Hajar.
11.
Ithaf al-Khiyarah al-Maharah
bi Zawa’id al-Masanid al-‘Ashrah, karya al-Hafiz al-Busiri.
12.
Misbah al-Zujajah fi Zawa’id
Ibnu Majah ‘ala al-Khamsah, karya al-Bushiri juga[13]
2.
Kitab-Kitab Jawami’
Kata jawami’ adalah bentuk jamak dari jami’,
yang di maksud dengan kata Jami’
dalam istilah ahli hadis ialah:
Sesuatu yang mencakup seluruh bagian hadis, maksudnya kitab itu mencakup hadis-hadis
tentang akidah, hukum, budak, adab, tafsir, sejarah, fitnah pada hari kiamat,
peperangan, dan hadis yang ada kaitannya dengan kedudukan dan keutamaan.[14]
Adapun yang
dimaksud disini ialah: Kitab-kitab yang dimaksudkan penyusunannya untuk
mengumpulkan seluruh hadis nabawi di dalamnya secara mutlak, seperti kitab al-Jami’
al-Kabir wa ash-Shagir karya al-Suyuti ataupun mengumpulkan hadis-hadis
dari kitab tertentu[15]
seperti jami’ al-Ushul karya Ibnu al-Athsir yang mengumpulkan al-Kutub
al-Sittah, atau Jami’ al-Masanid karya Ibnu Kathir yang mengumpulkan
al-kutub al-‘Ashrah.
Di antara
Kitab-kitab Jawami’ yang paling penting:
1. Jami’ al-Masanid wa al-Sunan karya
al-Hafiz ‘Imaduddin abu al-Fida’ Isma’il bin Umar yang di kenal dengan Ibnu
Kathir al-Damasyqi. Dia adalah seorang ahli tafsir dan tarikh (W.774 H)
Yang dihimpun disini adalah riwayat yang tercantum dalam al-Bukhari,
Muslim, al-Nasa’i, Abi Dawud, al-Tirmidhi, Ibnu Majah, Musnad Ahmad, al-Bazzar,
Abi Ya’la dan Mu’jam al-Kabir al-Thabrani.[16]
2. Majma’ al-Zawaid dan Manba’
al-Fawaid karya al-Hafiz Nuruddin al-Haithami
(W.807 H)
3. Ithaf al-Khiyarah al-Maharah bi Atraf
al-Kutub al ‘Ashirah karya
al-Hafiz Ibnu Hajar (W. 852 H)
4. Al-Jami’ al-Kabir yang lebih
dikenal dengan Jam’u al-Jawami’, karya al-Hafiz Jalaluddin al-Suyuti (W.911 H)
5. Al-Jami’ al-Shaghir Min Ahadith
al-Bashir wa al-Nadhir karya al-Hafiz
al-Suyuti juga.
6. Ziyadah al-Jami’ al-Shaghir karya as-Suyuti juga
7. Kanzu al-‘Ummal fi Sunan al-Aqwal
wa al-Af’al, karya
Ala’uddin ‘Ali bin Hishamuddin Abdul Malik Qadi khan al-Hindi yang di kenal dengan
al-Muntaqi. Dia wafat di makkah 985 H.
8. Al-Jami’ al-Azhar min Hadith an-Nabi
al-Anwar, karya al-Hafiz Abdurra’uf bin
Taj al-Arifin bin Ali al-Munawi (W. 1031 H)[17]
3. Kitab-kitab Takhrij
Takhrij ialah upaya seorang Muhaddith mengeluarkan hadits-hadits
dari sumber aslinya berupa beberapa juz, al-Misykahat, dan kitab-kitab,
serta yang semisalnya. Kata takhrij dimutlakkan dan dimaksudkan untuk
menunjukkan sumber-sumber primer referensi hadits yang meriwayatkan hadits
tersebut dan menisbatkannya kepada sumber asalnya kemudian menjelaskan
tingkatannya, termasuk shahih atau dhaif.[18]
Di antara kitab-kitab Takhrij yang
terkenal
1. Takhrij Ahadith al-Mukhtasar
al-Kabir li Ibni Hajib, di susun oleh
Muhammad bin Abdul Hadi (W.744 H)
2.
Nashbu al-Rayah li Ahadith al-Hidayah li al-mirghinani, di tulis oleh Abdullah bin Yusuf az-Zaila’i
(W. 762 H)
3.
Takhrij Ahadith al-Kasshaf li al-Zamakhshari karya Abdullah bin Yusuf al-Zaila’i.
4. Al-Badr al-Munir fi takhrij al-Hadith wa al-‘Atsar wa
al-Waqi’ah fi al-Sharh al-Kabir li al-Rafi’i (W.623 H), di tulis oleh Sirajuddin ‘Umar bin ‘Ali bin Mulaqqin.
5. Al-Mughni ‘an Hamli al-Asfar fi
Takhrij Ma fi Ihya ‘Ulumuddin Min al-Akhbar, karya al-Hafiz Zainuddin Abdurrahim bin al-Husain al-‘Iraqi (W.806 H)
6. Takhrij al-Ahadith Allati Yushiru
Ilaiha al-Tirmidzi fi Kulli Bab Biqauli, “Wa fi Bab ‘an Fulan”, karya al-Hafiz
al-‘Iraqi.
7. At-Talkhis al-Habir, Takhrij
al-Hadits al Wajiz al-Kabir li al-Rafi’i, di tulis oleh Ibnu Hajar
8. Al-Dirayah fi Takhrij al-Hadith
al-Wajiz al-Hidayah, karya
al-Hafiz Ibnu Hajar juga.
9. Takhrij al-Hadith al-Kashsaf, karya al-Hafiz Ibnu Hajar
10. Tuhfah ar-Rawi fi Takhrij Ahadith
al-Baidhawi, karya al-Hafiz
Abdurra’uf al Munawi.
11.
Irwa’ al-Ghalil fi takhrij Ahadits Manar al-Sabil, karya al-Shaikh Nasruddin albani.
4. Kitab-kitab Athraf
Kitab-kitab Athraf adalah kitab yang
terbatas hanya meyebutkan bagian ujing hadis yang menunjukkan sisanya dengan
bersatunya sanad-sanadnya, baik melalui percakapan ataupun melalui sisi
keterikatan dengan kitab tertentu.[19]
Di antara kitab Athraf yang paling penting
1. Tuhfah al-Ashraf bi Ma’rifah al-Atraf karya al-Hafiz al-Hujjah Jamaluddin Abu
al-Hajjaj Yusuf bin Abdurrahman al-Mizzi, penyusun Tadhib al-Kamal (W. 742 H)
2. Al-Ithraf bi Auham Al-Athraf, karya Waliyuddin Ahmad bin Abdurrahim al-‘Iraqi
(W.826 H)
3. Al-Nukat azh-Zhiraf ‘ala al-Athraf karya al-Hafiz Ibnu Hajar.
4. Al-Kassaf fi Ma’rifah al-Athraf karya al-Hafiz Shamsuddin Muhammad bin ‘Ali
bin Hassan al-Husaini al-Damashqi (W. 765 H)
5. Al-Ishraf ‘ala al-Athraf karya al-Hafiz Sirajuddin Abu Hafs ‘Umar bin ‘Ali
al-Mulaqqin (W.804 H)
6. Ithaf as-Sadah al-Khiyarah
al-Maharah bi Athraf al-Kutub al-‘Asyrah karya al-Hafiz Ibnu Hajar (W. 852 H)
7. Athraf al-Musnid al-Mu’tali bi Athraf al-Musnad
al-Hambali karya Ibnu Hajar juga.
8. Athraf Musnad alFirdaus karya al-Hafiz Ibnu Hajar juga[20]
5. Kitab yang membahas masalah tertentu:
a. Yang membahas masalah hukum:
1. Al-Imam fi Ahadith al-Ahkam oleh Ibnu Daqiq al ‘Id (702 H)
2. Taqribu al-Asanid wa Tartibu al-Masanid, oleh Al-‘Iraqi (806 H)
3. Bulughul Maram min Adillati al-Ahkam, oleh Ibnu Hajar al Asqalani (852 H)
4. Koleksi hadis-hadis Hukum, oleh Prof. Dr. TM.
Hasbi As-Shiddiqy
b. Yang berisi Targhib dan Tarhib,
antara lain:
1. Riyadu al-Shalihin, oleh Imam Nawawy (676 H)
c. Yang berisi Dhikir dan Do’a, antara lain:
1. Al-Qaulu al-Badi’, oleh As-Sakhawi (902 H)
2. Al-Hisnul Hashin, oleh Muhammad Al-Jazari (833 H).[21]
6. kitab Sharah
Yakni kitab hadis yang didalamnya
memuat uraian dan penjelasan kandungan hadis dan kitab tertentu dan hubungannya
dengan dalil-dalil yang lain, baik dari Alquran, dari hadis maupun dari kaidah-kaidah
shara’ lainnya. antara lain:
a. Sharah untuk Sahih Bukhari, antara lain
1. Fathu al-Bari, Oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani
2. Irshadu al-Sary, oleh Muhammad Al-Qasthalani (923 H)
b. Sharah Shahih Muslim, antara lain:
1. al-Minhaj, oleh Imam Nawawi
2. Ikmalul Ikmal, oleh Al-Zawawi (743 H)
c. Sharah untuk Sunan Abu Dawud, antara lain:
1. ‘Aunu al-Ma’bud, oleh Syamsul Haq Al-Azim Al-Abady dan dalam
kitab ini juga Ibnu Qayim menulis sharah-nya.
2. Sharah Zawaid Abu Dawud, oleh Ibnu Mulaqqin (804 H)
d. Sharah untuk Sunan Al-Turmudhi, antara lain:
1. Qutul Mughtadzy, oleh Al-Suyuti
2. Sharh Zawaid Jami’ At-Turmudhi, oleh Ibnu Mulaqqin
e. Sharah Sunan Ibnu Majah, antara lain:
1. Al-Dibajah, oleh Kamaluddin Al-Darimi (808 H)
2. Misbahu al-Zujajah, oleh al-Suyuti
f. Sharah Hadith Ahkam, antara lain:
1. Subul al-salam, oleh IsmailAs-Shan’ani (1182 H), sebagai
syarah terhadap kitab Bulughul Maram (Ibnu Hajar)
2. Nail al-Authar, oleh Muhammad Al-Shaukani (125 H), sebagai sharah
terhadap Muntaqal Akhbar fi al-Ahkam[22]
D. Perkembangan Hadis Masa Modern.
Perkembangan hadis pada masa ini tak terlepas dari
pengaruh dua madrasah hadis terkenal yaitu India dan Mesir yang keduanya
merupakan promotor kebangkitan madrasah hadis abad ke-14 hijriyah.
Mulai dari Baghdad dihancurkan oleh Hulaga Khan, berpindahlah
kegiatan perkembangan hadis ke Mesir dan India. Dalam masa ini banyaklah
kepala-kepala pemerintahan yang berkecimpung dalam bidang ilmu hadis seperti
Al-Barquq.[23]
Sebagian ulama telah mencapai kata sepakat bahwa
para ulama India mempunyai peranan penting dalam menghidupkan kembali madrasah
hadis. Bahkan sebagian ulama besar hadis saat ini masih saja merujuk kembali
karya-karya ulama hadis bumi Hindustan, bahkan tak ada satu perpustakaan pun
kecuali di dalamnya terdapat karya dari ulama negeri ini.
Sejak pertengahan abad ke-10 H. ulama India
memusatkan perhatian pada hadis, kajian sanad dan penelitian rawi. Dari India
lahir ahli hadis yang mempunyai reputasi tinggi dalam bidang kajian hadis dan
menerbitkan buku-buku yang amat berharga. Suatu hal yang menguntungkan umat
Islam India adalah bahwa penjajah India, yakni Kerajaan Inggris tidak
mencampuri masalah perkembangan keagamaan di sana. Para cendekiawan muslim
India yang sempat melanjutkan di Eropa berusaha menerbitkan manuskrip yang di
temukan, misalnya kitab yang di tulis oleh Imam al-Hakim yang berjudul Ma’rifah
Ulum al-Hadith.[24]
Disamping itu tidak dapat dilupakan usaha ulama-ulama
India dalam mengembangkan kitab-kitab hadis. Banyak sekali kitab-kitab hadis
yang berkembang dalam masyarakat umat Islam dengan usaha penerbitan yang
dilakukan oleh umat-umat India.[25]
Di antara para ulama India yang terkenal antara
lain: Shaikh Abdurrahman Abu al-Aliy al-Mubar kafuri karyanya yang terkenal
yaitu Tuhfah al-Ahwadhi sharah Sunan Turmudhi dan Shaikh Muhammad Shamsul
Haq bin Amir Ali al-‘Azim Abadi yang menulis kitab 'Aunu al-Ma'bud sharah
Sunan Abi Daud.
Walaupun Mesir pada awalnya tak semarak India dalam
membangkitkan madrasah hadis, namun Mesir dengan al-Azharnya ikut juga
mengambil Andil dalam pengembangan madrasah hadis zaman sekarang ini. Ditambah
lagi akhir-akhir ini Mesir khususnya al-Azhar mulai menghidupkan kembali sunnah-sunnah
mereka terdahulu. Terbukti dengan maraknya kajian hadis yang diadakan di
sekitar mesjid legendaris ini, yang diajarkan langsung oleh para pakar hadis
mereka. Bahkan al-Azhar tak segan-segan mendatangkan ulama hadis terkemuka demi
mejaga dan mengembangkan madrasah hadis di seluruh dunia.
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:
- MENGKAJI HADIS MISOGINIS
- KAJIAN TAFSIR AL-MARAGHI
- SUNAN AL-DARIMI
- SUNAN AL-BAIHAQI
- SUNAN IBN MAJAH
- MUSHANNAF ABD AL-RAZZAQ
- PERKEMBNGAN HADIS ABAD VII HIJRIYAH SAMPAI SEKARANG
- SEJARAH PENYUSUNAN KITAB SUNAN AL-NASAI
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Keadaan Politik Umat Islam Pada
Periode Ini, Pada tahun 656 H Baghdad direbut dan khilafah Abbasiyah
ditaklukkan, dan Pada permulaan abad VIII, muncullah seorang tokoh di Turki,
bernama Utsman Kajuk. la bersama
keturunannya berusaha menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang ada di
sekitarnya, Dan mulai saat itu, berpindahlah khilafah Islamiyah dari mesir ke
Konstatinopel. kerajaan Usman berakhir dengan
berdirinya Republik Turki pada tahun 1924 M.
2. Kegiatan
Ulama’ Hadits pada Periode ini, periwayatan Hadits yang pada sebelumnya banyak
di lakkan secara Shafawyah sudah tidak lagi banyak di jumpai. Pada
periode ini penyampaian dan penerimaan riwayat Hadith banyak dilakukan dengan
jalan ijazah dan mukatabah. Dan Kegitan yang terbanyak dilakukan oleh para
Ulama pada periode ini pada umumnya adalah mempelajari kitab-kitab yang telah
ada, kemudian mengembangkannya.
3.
Macam-macam
kitab hadits pada perode ini, Kitab–kitab Zawa’id, Jawami’, Takhrij, Athraf, Sharah dan Kitab
yang membahas masalah tertentu
4. Perkembangan hadis pada masa ini tak terlepas dari pengaruh dua madrasah hadis terkenal yaitu India dan Mesir yang keduanya merupakan promotor kebangkitan madrasah hadis abad ke-14 hijriyah.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahwu,
Muhammad Muhammad, al-Hadith wa al-Muhaddisun, (Riyad: Al-Idarah
al-Buhuth al-‘Ilmiyah wa al-Ifta’ wa al-da’wah wa al-Irshad,1984)
Ismail, Muhammad
Syuhudi,Pengantar Ilmu Hadis (Bandung: Angkasa, t.th)
Kafuri,
Abdurrahman al-Mubar, Muqaddimah Tuhfah al-ahwadhi (Bairut: Daru al-Kutub al-‘ilmiyah, 2001)
Manan, Muhammad Hasyim, Kilasan Sejarah al-Hadis (Surabaya: Media Karya, t.th)
Shiddieqy (Al),
Muhammad, Sejarah dan pengantar Ilmu Hadis,(Jakarta: Bulan Bintang,1988)
Yatim, Badri, Sejarah
Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Pers,2011)
Zahrani (Al), Muhammad, Ensiklopedia kitab-kitab Rujukan Hadis,(Jakarta: Darul Haq,2012)
[1] Muhammad Muhammad Abu Zahwu, al-Hadith
wa al-Muhaddthun (Riyad: Al-Idarah al-Buhuth al-Ilmiyah wa al-Ifta’ wa
al-da’wah wa al-Irsyad,1984),435
[2] Ibid.,436
[3] Muhammad Syuhudi Isma’il,Pengantar
Ilmu Hadis (Bandung: Angkasa,
t.th),125
[4] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Pers,2011).18
[5] Ibid.,166
[6] Muhammad Syuhudi Ismail, Pengantar
Ilmu Hadis , 125.
[7] Ibid.,125,126
[8] Ibid.,126
[9] Muhammad Ash Shiddieqy, Sejarah
dan pengantar Ilmu Hadits,(Jakarta: Bulan Bintang,1988),127
[10] Muhammad Az-Zahrani,
Ensiklopedia kitab-kitab Rujukan Hadits,(Jakarta: Darul Haq,2012),243
[11] Ibid.,243,244
[12] Ibid.,244
[14]Abdurrahman
al-Mubar kafuri, Muqaddimah Tuhfah al-ahwadhi (Bairut: Daru al-Kutub al-‘ilmiyah, 2001)
[15] Ibid.,40
[16] Muhammad Hasyim Manan, Kilasan
Sejarah al-Hadis (Surabaya: Media Karya, t.th),93
[17] Muhammad Az-Zahrani,
Ensiklopedia kitab-kitab Rujukan Hadits ,249,252
[18] Muhammad ath-Thahhan,Ushul
Takhrij, 12
[19] Alsuyuti, Tadrib al-rawi, 2/155
[20] Muhammad Az-Zahrani, Ensiklopedia
kitab-kitab Rujukan Hadits, 232.233.
[21] Muhammad Syuhudi Ismail,Pengantar
Ilmu Hadis ,127.
[22] Ibid.,127,128
[23] Ibid.,126
[24] Muhammad Hasyim Manan, Kilasan Sejarah al-Hadis, 93.
[25] Ibid.,126,127
Tidak ada komentar:
Posting Komentar