HOME

06 April, 2022

PERKEMBNGAN HADIS ABAD VII HIJRIYAH SAMPAI SEKARANG

 

BAB I

PENDAHULUAN

    A.  Latar Belakang

Setelah Rasulullah wafat, komunitas muslim yang belum lama lahir itu merasa sangat perlu menjaga kesinambungan wahyu. Tentu tugas signifikan ini, terpenuhi tidaknya tergantung dari tarap kesungguhan dan ketulusan dalam memenej informasi tersebut. Suatu fakta yang menunjukkan kearah pemikiran itu adalah proses tranmisi periwayatan naskah Alquran hingga tahap kodifikasinya. Alquran telah di periksa dan disatukan oleh Nabi sendiri, dan Hafsah (istri beliau) kemudian menyerahkan kepada Abu Bakar, dan seterusnya. Ini bukti yang tak terbantahkan bahwa naskah Alquran telah di kumpulkan dengan ekstra hati-hati.

Wacana yang sama terlihat juga dalam metodologi pengumpulan dan penulisan hadis. Sejarah pengumpulan dan penulisan hadis dan ilmu hadis telah melewati fase historis yang sangat panjang semenjak Nabi SAW, sahabat, tabi’in dan seterusnya hingga mencapai puncaknya pada kurun abad III Hijriyah. Perjuangan para ulama Hadis yang telah berusaha dengan keras dalam melakukan penelitian dan penyeleksian terhadap hadis, mana yang sahih dan mana yang da’if, telah menghasilkan metode-metode yang cukup kaya, mulai dari metode penyusunan dalam berbagai bentuknya (musnad, sunan, jami’ dan lain-lainnya), hingga kaidah-kaidah penelusuran hadis. Kaidah-kaidah tersebut akhirnya menjadi disiplin ilmu tersendiri yang kemudian disebut dengan ilmu hadis.

Namun, karena pembukuan hadis baru bisa di lakukan dalam rentang waktu yang cukup lama (hampir seratus tahun) setelah Nabi Muhammad SAW wafat, ditambah lagi dengan kenyataan sejarah bahwa banyak hadis yang dipalsukan, maka keabsahan hadis-hadis yang beredar di kalangan kaum muslimin menjadi rancau, meskipun mereka telah meneliti dengan seksama.

Di sinilah bekal pegetahuan ilmu hadis menjadi sangat bermanfaat bagi peneliti dan pengkaji hadis. Karena untuk mempelajari dan mengkaji hadis-hadis nabi, seseorang tidak bisa mengabaikan ilmu hadis ini. Dengan ilmu ini, para ulama’ bisa mengetahui kualitas hadis, apakah termasuk hadis sahih, hasan, atau daif. Dan para peneliti dan pengkaji Hadis harus mengetahui sejarah perkembangan Hadis, mulai Hadis zaman Nabi Muhammad, sahabat, atau zaman tabi’in, bahkan sampai perkembangan hadis zaman modern.

Usaha mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis ini diharapkan dapat mengetahui sikap dan tindakan umat Islam yang sebenarnya, khususnya para ulama’ ahli hadis, terhadap hadis serta usaha-usaha pembinaan dan pemeliharaan mereka pada tiap-tiap periodenya sampai akhirnya terwujud kitab-kitab hasil tadwin secara sempurna. Oleh karena itu, mengkaji sejarah ini berarti melakukan upaya mengungkap fakta-fakta yang sebenarnya, sehingga sulit untuk ditolak kaberadaannya.

Perjalanan hadis pada tiap periodenya mengalami berbagai persoalan dan hambatan yang dihadapinya, yang antara periode satu dengan periode lainnya tadak sama, maka pengungkapan sejarah perlu di ajukan ciri-ciri khusus dalam persoalan tersebut. Diantara ulama’ tidak sama dalam menyusun periodesasi pertumbuhan dan perkembangan hadis ini. Ada ahli hadis yang membagi pada tiga periode, seperti masa Nabi Muhammad SAW, sahabat dan tabi’in, masa pen-tadwin-an dan masa setelah tadwin. Ada juga yang membagi pada periodesasi yang lebih terperinci, sampai lima atau tujuh periode, dengan spesifikasi yang cukup jelas.

Terlepas dari periodesasi yang kami kemukakan di atas, yang perlu di kemukakan secara khusus pada pembahasan ini adalah periode VII sampai sekarang.

    B.  Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang melatar belakangi penyusunan makalah ini antara lain:

A.  Keadaan Politik Umat Islam Pada Periode Ini

B.  Kegiatan Ulama Hadis pada periode ini

C.  Macam-macam kitab Hadis pada perode ini

D.  Perkembangan Hadis pada Masa Modern

    C.  Tujuan

Adapun tujuan dari penyusunan makalah antara lain untuk mengkaji dan membahas:

A.  Keadaan Politik Umat Islam Pada Periode Ini

B.  Kegiatan ulama Hadis pada periode ini

C.  Macam-macam kitab Hadis pada perode ini

D.  Perkembangan Hadis pada Masa Modern

 

BAB II

PEMBAHASAN

    A.  Keadaan Politik Umat Islam Pada Periode Ini

Setelah Baghdad direbut dan khilafah Abbasiyah ditaklukkan (656 H), maka tentara Tartar melanjutkan penyerangannya ke Haleb, Damaskus (658 H). Daulah Ayubiyah di Mesir yang pernah jaya di bawah pahlawan Islam dalam perang salib, telah runtuh dan dikuasai oleh Daulah Mamalik. Melihat mengganasnya penyerangan tentara Tartar, maka orang-orang Mesir bertekad melawan tentara Tartar dan akhirnya tentara yang dikuasai oleh cucu Jengis Khan ini berhasil dihancurkan. Daulah Mamalik, ingin diakui sebagai penguasa dunia Islam. Secara politis, Bani Abbasiyah masih diperlukan namanya untuk kewibawaan daerah-daerah Islam di luar Mesir. Oleh karena itu tatkala salah seorang dari Bani Abbasiyah datang ke Mesir, maka dilantiklah menjadi khalifah oleh raja Al-Dhahir Baibris. Sejak tahun pembaiatan ini, kota Kairo merupakan kota khilafah Bani Abbasiyah, tetapi kekuasaan pemerintahan tetap dipegang oleh Bani Mamalik (dari keturunan Bangsa Turki) Tegasnya, khalifah dari Bani Abbasiyah sekedar simbol semata, agar daerah-daerah Islam dapat mengakui Mesir sebagai pusat Pemerintahan Islam.[1]

Pada permulaan abad VIII, muncullah seorang, tokoh di Turki, bernama Utsman Kajuk. la membina kerajaan di Turki dari puing-puing peninggalan Bani Saljuk yang masih ada di Asia Tengah. Usman bersama keturunannya berusaha menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang ada di sekitarnya, sehingga dengan demikian Usman berhasil membangun Daulah Usmaniyah yang berpusat di Turki. Daulah Usmaniyah akhirnya berhasil menaklukkan Konstatinopel dan Mesir, sekaligus menghilangkan Khilafah Abbasiyah. Dan mulai saat itu, berpindahlah Khilafah Islamiyah dari Mesir ke Konstatinopel. Daulah Usmaniyah makin jaya dan besar. Tetapi di balik itu, cahaya Islam di Andalusia yang telah besinar sekitar delapan abad itu, makin redup dan pudar.[2]

Pada permulaan abad ketiga belas, Mesir di bawah pimpinan Muhammad Ali, mulai bangkit memulihkan kekuatannya dan berusaha mengembalikan kejayaan Mesir pada masa silam. Bertepatan dengan masa itu pula, Kerajaan-kerajaan Eropa telah makin kuat dan ingin menguasai dunia. Kerajaan-kerajaan Eropa yang telah di semangati oleh perang salib itu, senantiasa berusaha untuk menumbangkan daulah Islamiyah dan menguasai kaum Muslimn. Akhirnya daulah Utsmaniyah runtuh lalu mereka takhlukkan dan cahaya Islam mulai meredup karena tekanan para penjajah. Sulitlah hubugan dari Mesir ke Hijaz atau Syam dan lain-lain, sehingga praktis hilanglah perlawatan para Ulama’ untuk menebarkan ajaran-ajaran Islam akibat penjajahan bangsa  Eropa terhadap daerah-daerah Islam tersebut.

Ulama-ulama Islam barulah mampu mengadakan kontak antar mereka, setelah semangat kebangkitan Islam mulai tumbuh dan mendobrak belenggu penjajahan bangsa Eropa di negara-negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam.[3]

Seiring dengan berjalannya waktu dan tidak ada tanda-tanda membaik sampai separuh pertama abad ke-19 M. oleh karena itu, satu persatu negeri di eropa yang pernah dikuasai kerajaan ini memerdekakan diri. Bukan hanya negeri-negeri di Eropa yang sedang mengalami kemajuan yang memberontak terhadap kekuasaan kerajaan Usmani, tetapi juga beberapa daerah di Timur Tengah mencoba bangkit memberontak. Di Mesir, kelemahan-kelemahan kerajaan Usmani membuat Mamalik bangkit kembali. Dibawah kepemimpinan Ali Bey, pada tahun 1770 M Mamalik kembali berkuasa di mesir, sampai datangnya Napoleon Bonaparte dari Perancis tahun 1798 M.[4]

Gerakan-gerakan seperti itu terus berlanjut dan bahkan menjadi lebih keras pada masa-masa sesudahnya, yaitu abad ke-19 dan ke-20 M. Ditambah dengan gerakan pembaharuan politik di pusat pemerintahan, kerajaan Usman berakhir dengan berdirinya Republik Turki pada tahun 1924 M.[5]

    B.  Kegiatan Ulama Hadis pada Periode Ini

Dengan latar belakang keadaan politik dunia Islam seperti dikemukakan diatas, maka praktis kegiatan periwayatan hadis yang pada sebelumnya banyak di lakukan secara Shafawiyah (penyampaian dan penerimaan riwayat secara lisan) sudah tidak lagi banyak di jumpai. Karenanya, penyampaian dan penerimaan riwayat hadis banyak dilakukan dengan jalan ijazah dan mukatabah. Yang dimaksud dengan ijazah dalam hal ini adalah pemberian izin dari seorang shaikh (guru) kepada muridnya untuk meriwayatkan hadis yang berasal dari padanya baik yang tertulis ataupun yang hafalan, beserta kekurangam-kekurangan dari riwayat tersebut. Yang di maksud dengan mukatabah adalah pemberian catatan hadis dari seorang shaikh kepada orang yang ada di dekatnya atau orang jauh, baik catatan itu ditulis sendiri oleh guru tersebut ataupun dengan cara disuruh orang lain untuk menuliskannya.[6]

Hanya sedikit sekali ulama’ hadis yang masih mampu menyampaikan periwayatan hadis beserta sanadnya secara hafalan yang sempurna seperti yang telah di lakukan oleh Ulama’ Mutaqaddimin. Diantara mereka itu adalah:

1.    Al-‘Iraqi (wafat 806 H)

Beliau mendektekan hadis secara hafalan kepada 400 majelis, sejak tahun 796 H.

2.    Ibnu Hajar al-Asqalani (wafat 852 H

Beliau adalah murid al-‘Iraqi. Diantara ulama ada yang menyatakan, Ibnu Hajar adalah seorang Hafiz yang tidak ada tandingan di zamannya. Telah didektekan hadis kepada 1000 majelis.

3.    Al-Shakhawi (wafat 902 H)

Beliau adalah murid Ibnu Hajar dan telah mendektekan hadis-hadis nabi kepada 1000 majelis. Di antara kitab karangannya adalah Fathu al-Mughith.[7]

Kegitan yang terbanyak yang dilakukan oleh para ulama pada periode ini pada umumnya adalah mempelajari kitab-kitab yang telah ada, kemudian mengembangkannya, antara lain dengan penyusunan kitab-kitab baru yang selain dalam bentuk seperti yang telah ditempuh oleh ulama’ sebelumnya (seperti kitab jami’, mustakhraj, mustadrak dan athraf), juga berupa:

1.    Kitab sharah.

Yakni kitab hadis yang di dalamnya di muat uraian dan penjelasan kandungan hadis dan kitab tertentu dan hubungannya dengan dalil-dalil yang lain, baik dari Alquran, dari hadis maupun dari kaidah-kaidah shara’ lainnya.

2.    Kitab Mukhtasar.

Yakni kitab hadis yang berisi ringkasan dari suatu kitab hadis.

3.    Kitab Zawaid.

Yakni kitab yang didalamnya dihimpun hadis-hadis yang terdapat pada suatu kitab tertentu dan hadis tersebut tidak termaktub dalam kitab-kitab tertentu lainnya.

4.    Kitab penunjuk (kode indeks) hadis.

Yakni kitab yang berisi petunjuk-petunjuk praktis, biasanya berupa kode-kode huruf dan angka tertentu, untuk mempermudah mendapatkan atau mencari matan hadis di kitab-kitab tertentu.

5.    Kitab terjemah hadis.

Yakni kitab pengalih bahasa kitab-kitab hadis dari bahasa Arab ke bahasa lain atau sebaliknya. Sejak akhir abad XIV H di Indonesia telah dimulai kegiatan penerjemahaan kitab-kitab hadis kedalam bahasa Indonesia, baik kitab jami’, kitab hadis Ahkam, maupun kitab Sharah.[8]

    C.  Macam-Macam Kitab Hadis pada Periode Ini

Jalan-jalan yang ditempuh oleh ulama-ulama dalam masa yang ketujuh ini ialah menertibkan isi kitab-kitab Hadis, menyaringnya  dan menyusun kitab-kitab takhrij, serta membuat kitab-kitab jami’ yang umum, kitab-kitab yang mengumpulkan hadis hukum, men-takhrij-kan hadis-hadis yang terdapat dalam beberapa kitab, men-takhrij-kan hadis-hadis yang terkenal dalam masyarakat dan menyusun kitab Athraf.[9]

Di antara kitab-kitab yang disusun dalam periode ini ialah:

1.    Kitab-kitab Zawa’id

Dalam periode ini  bangunlah ulama mengumpulkan hadis-hadis yang tidak terdapat dalam kitab-kitab yang sebelumnya ke dalam sebuah kitab yang tertentu. Kitab-kitab itu mereka namai kitab Zawa’id.

Kitab Zawa’id adalah kitab atau karya tulis yang dimaksudkan untuk mengumpulkan tambahan dari kitab-kitab tersentu seperti kitab Musnad, dan mu’jam ke dalam kitab-kitab rujukan hadis seperti al-Kutub al-Sittah, Musnad Ahmad, Sahih Ibnu Hibban, dan lain lainnya[10]

Al-Hafiz Zainuddin Abdurrahman bin al-Husain al-‘Iraqi (W.806 H.) di anggap sebagai penemu pertama kali ide kitab Zawa’id, meskipun sejauh pengetahuan dia belum menulis satupun kitab tentang hal itu, akan tetapi dia mengarahkan hal itu kepada tiga orang muridnya yang mana diantara mereka itulah madrasah hadis terbentuk diakhir abad kedelapan dan awal abad kesembilan hijriyah. Mereka adalah:

1.    Al-Hafiz Abu Bakr Nuruddin al-Haitami (W.807 H).

2.    Al-Hafiz Syihabuddin Abu al-Abbas al-Busiri (W. 840 H).

3.    Al-Hafiz Abu Fadl Shihabuddin Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-Asqalani (W. 852 H).[11]

Al-Hafiz al-Haitami merupakan murid yang paling dulu menulis disiplin ilmu Zawa’id ini dengan bimbingan Shaikhana al-‘Iraqi. Dia memulai hal itu dengan Zawa’id Musnad al-Imam Ahmad kemudian Musnad Abu Ya’la kemudian Musnad al-Bazzar kemudian setelah tiga itu tiga Mu’jam al-tabrani. Semuanya ini Zawaid terdapat al-Kutub al-Sittah.[12]

Diantara karya Ilmyah yang terpenting dalam al-Zawa’id:

1.    Ghayah al-Maqsad fi Zawa’id al-Musnad (Musnad Ahmad), karya al-Haitami ditahqiq di Universitas Ummul Qura.

2.    Kashf al-Athar ‘an Zawa’id al-Bazzar, karya al-Haitami, dicetak sebanyak empat jilid.

3.    Al-Maqsad al-‘Ali fi Zawa’id Abu Ya’la al-Mushili, karya al-Haitami, dicetak juz awalnya saja.

4.    Al-Badr al-Munir ‘ala Zawa’id al-Mu’jam al-Kabir li al-Tabrani, karya al-Haitam, ditahqiq di Uniersitas Ummul Qura.

5.    Majma’ al-Bahrain fi Zawa’id al-Mu’jamain –yaitu Mu’jam al-Shaghir dan mu’jam al Ausat li al-Tabrani,- karya al-Haitami juga, dan inilah yang dimaksud dengan Zawa’id (tambahan) atas hadis yang terdapat dalam al-Kutub al-Sittah. Kemudian al-Haitami dengan bimbingan gurunya, al-‘Iraqi mengumpulkan tambahan al-Kutub al-Sittah, yaitu Musnad-musnad  dan mu’jam- dalam satu kitab yang sanadnya dibuang, dengan judul:

6.    Majma’ al-Zawa’id Manba’ al Fawaid, sudah dicetak sebanyak sepuluh juz.

7.    Mawarid azh-Zham’an ila Zawa’id Ibnu Hibban, karya al- al-Haitami, sudah dicetak dalam satu jilid.

8.    Bughyah al-Bahith ‘an Zawa’id Musnad al-Harith karya al-Haitami, satu juz. Sudah di-tahqiq di Universitas al-Islamiyah di Madinah.

9.    Al-Matalib al-‘aliyah fi Zawa’id al-Masanid al-Thamaniyah, karya al-Hafiz Ibnu Hajar, dicetak dalam empat jilid.

10.     Zawa’id al-Bazzar ‘ala al-Kutub al-Sittah wa Musnad Ahmad, karya al Hafiz Ibnu Hajar.

11.     Ithaf al-Khiyarah al-Maharah bi Zawa’id al-Masanid al-‘Ashrah, karya al-Hafiz al-Busiri.

12.     Misbah al-Zujajah fi Zawa’id Ibnu Majah ‘ala al-Khamsah, karya al-Bushiri juga[13]

2.    Kitab-Kitab Jawami’

Kata jawami’ adalah bentuk jamak dari jami’, yang di maksud dengan kata Jami’  dalam istilah ahli hadis ialah: Sesuatu yang mencakup seluruh bagian hadis, maksudnya kitab itu mencakup hadis-hadis tentang akidah, hukum, budak, adab, tafsir, sejarah, fitnah pada hari kiamat, peperangan, dan hadis yang ada kaitannya dengan kedudukan dan keutamaan.[14]

Adapun yang dimaksud disini ialah: Kitab-kitab yang dimaksudkan penyusunannya untuk mengumpulkan seluruh hadis nabawi di dalamnya secara mutlak, seperti kitab al-Jami’ al-Kabir wa ash-Shagir karya al-Suyuti ataupun mengumpulkan hadis-hadis dari kitab tertentu[15] seperti jami’ al-Ushul karya Ibnu al-Athsir yang mengumpulkan al-Kutub al-Sittah, atau Jami’ al-Masanid karya Ibnu Kathir yang mengumpulkan al-kutub al-‘Ashrah.

Di antara  Kitab-kitab Jawami’ yang paling penting:

1.    Jami’ al-Masanid wa al-Sunan  karya al-Hafiz ‘Imaduddin abu al-Fida’ Isma’il bin Umar yang di kenal dengan Ibnu Kathir al-Damasyqi. Dia adalah seorang ahli tafsir dan tarikh (W.774 H)

Yang dihimpun disini adalah riwayat yang tercantum dalam al-Bukhari, Muslim, al-Nasa’i, Abi Dawud, al-Tirmidhi, Ibnu Majah, Musnad Ahmad, al-Bazzar, Abi Ya’la dan Mu’jam al-Kabir al-Thabrani.[16]

2.    Majma’ al-Zawaid dan Manba’ al-Fawaid karya al-Hafiz Nuruddin al-Haithami (W.807 H)

3.    Ithaf al-Khiyarah al-Maharah bi Atraf al-Kutub al ‘Ashirah karya al-Hafiz Ibnu Hajar (W. 852 H)

4.    Al-Jami’ al-Kabir yang lebih dikenal dengan Jam’u al-Jawami’, karya al-Hafiz Jalaluddin al-Suyuti (W.911 H)

5.    Al-Jami’ al-Shaghir Min Ahadith al-Bashir wa al-Nadhir karya al-Hafiz al-Suyuti juga.

6.    Ziyadah al-Jami’ al-Shaghir karya as-Suyuti juga

7.    Kanzu al-‘Ummal fi Sunan al-Aqwal wa al-Af’al, karya Ala’uddin ‘Ali bin Hishamuddin Abdul Malik Qadi khan al-Hindi yang di kenal dengan al-Muntaqi. Dia wafat di makkah 985 H.

8.    Al-Jami’ al-Azhar min Hadith an-Nabi al-Anwar, karya al-Hafiz Abdurra’uf bin Taj al-Arifin bin Ali al-Munawi (W. 1031 H)[17]

3.    Kitab-kitab Takhrij

Takhrij ialah upaya seorang Muhaddith mengeluarkan hadits-hadits dari sumber aslinya berupa beberapa juz, al-Misykahat, dan kitab-kitab, serta yang semisalnya. Kata takhrij dimutlakkan dan dimaksudkan untuk menunjukkan sumber-sumber primer referensi hadits yang meriwayatkan hadits tersebut dan menisbatkannya kepada sumber asalnya kemudian menjelaskan tingkatannya, termasuk shahih atau dhaif.[18]

Di antara kitab-kitab Takhrij yang terkenal

1.    Takhrij Ahadith al-Mukhtasar al-Kabir li Ibni Hajib, di susun oleh Muhammad bin Abdul Hadi (W.744 H)

2.    Nashbu al-Rayah li Ahadith al-Hidayah li al-mirghinani, di tulis oleh Abdullah bin Yusuf az-Zaila’i (W. 762 H)

3.    Takhrij Ahadith al-Kasshaf li al-Zamakhshari karya Abdullah bin Yusuf al-Zaila’i.

4.    Al-Badr  al-Munir fi takhrij al-Hadith wa al-‘Atsar wa al-Waqi’ah fi al-Sharh al-Kabir li al-Rafi’i (W.623 H), di tulis oleh Sirajuddin ‘Umar bin ‘Ali bin Mulaqqin.

5.    Al-Mughni ‘an Hamli al-Asfar fi Takhrij Ma fi Ihya ‘Ulumuddin Min al-Akhbar, karya al-Hafiz Zainuddin Abdurrahim bin al-Husain al-‘Iraqi (W.806 H)

6.    Takhrij al-Ahadith Allati Yushiru Ilaiha al-Tirmidzi fi Kulli Bab Biqauli, “Wa fi Bab ‘an Fulan”, karya al-Hafiz al-‘Iraqi.

7.    At-Talkhis al-Habir, Takhrij al-Hadits al Wajiz al-Kabir li al-Rafi’i, di tulis oleh Ibnu Hajar

8.    Al-Dirayah fi Takhrij al-Hadith al-Wajiz al-Hidayah, karya al-Hafiz Ibnu Hajar juga.

9.    Takhrij al-Hadith al-Kashsaf, karya al-Hafiz Ibnu Hajar

10.     Tuhfah ar-Rawi fi Takhrij Ahadith al-Baidhawi, karya al-Hafiz Abdurra’uf al Munawi.

11.     Irwa’ al-Ghalil fi takhrij Ahadits Manar al-Sabil, karya al-Shaikh Nasruddin albani.

4.    Kitab-kitab Athraf

Kitab-kitab Athraf adalah kitab yang terbatas hanya meyebutkan bagian ujing hadis yang menunjukkan sisanya dengan bersatunya sanad-sanadnya, baik melalui percakapan ataupun melalui sisi keterikatan dengan kitab tertentu.[19]

Di antara kitab Athraf yang paling penting

1.    Tuhfah al-Ashraf bi Ma’rifah al-Atraf karya al-Hafiz al-Hujjah Jamaluddin Abu al-Hajjaj Yusuf bin Abdurrahman al-Mizzi, penyusun Tadhib al-Kamal (W. 742 H)

2.    Al-Ithraf bi Auham Al-Athraf, karya Waliyuddin Ahmad bin Abdurrahim al-‘Iraqi (W.826 H)

3.    Al-Nukat azh-Zhiraf ‘ala al-Athraf karya al-Hafiz Ibnu Hajar.

4.    Al-Kassaf fi Ma’rifah al-Athraf karya al-Hafiz Shamsuddin Muhammad bin ‘Ali bin Hassan al-Husaini al-Damashqi (W. 765 H)

5.    Al-Ishraf ‘ala al-Athraf karya al-Hafiz Sirajuddin Abu Hafs ‘Umar bin ‘Ali al-Mulaqqin (W.804 H)

6.    Ithaf as-Sadah al-Khiyarah al-Maharah bi Athraf al-Kutub al-‘Asyrah karya al-Hafiz Ibnu Hajar (W. 852 H)

7.    Athraf  al-Musnid al-Mu’tali bi Athraf al-Musnad al-Hambali karya Ibnu Hajar juga.

8.    Athraf Musnad alFirdaus karya al-Hafiz Ibnu Hajar juga[20]

5.    Kitab yang membahas masalah tertentu:

a.    Yang membahas masalah hukum:

1.    Al-Imam fi Ahadith al-Ahkam oleh Ibnu Daqiq al ‘Id (702 H)

2.    Taqribu al-Asanid wa Tartibu al-Masanid, oleh Al-‘Iraqi (806 H)

3.    Bulughul Maram min Adillati al-Ahkam, oleh Ibnu Hajar al Asqalani (852 H)

4.    Koleksi hadis-hadis Hukum, oleh Prof. Dr. TM. Hasbi As-Shiddiqy

b.    Yang berisi Targhib dan Tarhib, antara lain:

1.    Riyadu al-Shalihin, oleh Imam Nawawy (676 H)

c.    Yang berisi Dhikir dan Do’a, antara lain:

1.    Al-Qaulu al-Badi’, oleh As-Sakhawi (902 H)

2.    Al-Hisnul Hashin, oleh Muhammad Al-Jazari (833 H).[21]

6.    kitab Sharah

Yakni kitab hadis yang didalamnya memuat uraian dan penjelasan kandungan hadis dan kitab tertentu dan hubungannya dengan dalil-dalil yang lain, baik dari Alquran, dari hadis maupun dari kaidah-kaidah shara’ lainnya. antara lain:

a.    Sharah untuk Sahih Bukhari, antara lain

1.    Fathu al-Bari, Oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani

2.    Irshadu al-Sary, oleh Muhammad Al-Qasthalani (923 H)

b.    Sharah Shahih Muslim, antara lain:

1.    al-Minhaj, oleh Imam Nawawi

2.    Ikmalul Ikmal, oleh Al-Zawawi (743 H)

c.    Sharah untuk Sunan Abu Dawud, antara lain:

1.    ‘Aunu al-Ma’bud, oleh Syamsul Haq Al-Azim Al-Abady dan dalam kitab ini juga Ibnu Qayim menulis sharah-nya.

2.    Sharah Zawaid Abu Dawud, oleh Ibnu Mulaqqin (804 H)

d.   Sharah untuk Sunan Al-Turmudhi, antara lain:

1.    Qutul Mughtadzy, oleh Al-Suyuti

2.    Sharh Zawaid Jami’ At-Turmudhi, oleh Ibnu Mulaqqin

e.    Sharah Sunan Ibnu Majah, antara lain:

1.    Al-Dibajah, oleh Kamaluddin Al-Darimi (808 H)

2.    Misbahu al-Zujajah, oleh al-Suyuti

f.     Sharah Hadith Ahkam, antara lain:

1.    Subul al-salam, oleh IsmailAs-Shan’ani (1182 H), sebagai syarah terhadap kitab Bulughul Maram (Ibnu Hajar)

2.    Nail al-Authar, oleh Muhammad Al-Shaukani (125 H), sebagai sharah terhadap Muntaqal Akhbar fi al-Ahkam[22]

    D.  Perkembangan Hadis Masa Modern.

Perkembangan hadis pada masa ini tak terlepas dari pengaruh dua madrasah hadis terkenal yaitu India dan Mesir yang keduanya merupakan promotor kebangkitan madrasah hadis abad ke-14 hijriyah.

Mulai dari Baghdad dihancurkan oleh Hulaga Khan, berpindahlah kegiatan perkembangan hadis ke Mesir dan India. Dalam masa ini banyaklah kepala-kepala pemerintahan yang berkecimpung dalam bidang ilmu hadis seperti Al-Barquq.[23]

Sebagian ulama telah mencapai kata sepakat bahwa para ulama India mempunyai peranan penting dalam menghidupkan kembali madrasah hadis. Bahkan sebagian ulama besar hadis saat ini masih saja merujuk kembali karya-karya ulama hadis bumi Hindustan, bahkan tak ada satu perpustakaan pun kecuali di dalamnya terdapat karya dari ulama negeri ini.

Sejak pertengahan abad ke-10 H. ulama India memusatkan perhatian pada hadis, kajian sanad dan penelitian rawi. Dari India lahir ahli hadis yang mempunyai reputasi tinggi dalam bidang kajian hadis dan menerbitkan buku-buku yang amat berharga. Suatu hal yang menguntungkan umat Islam India adalah bahwa penjajah India, yakni Kerajaan Inggris tidak mencampuri masalah perkembangan keagamaan di sana. Para cendekiawan muslim India yang sempat melanjutkan di Eropa berusaha menerbitkan manuskrip yang di temukan, misalnya kitab yang di tulis oleh Imam al-Hakim yang berjudul Ma’rifah Ulum al-Hadith.[24]

Disamping itu tidak dapat dilupakan usaha ulama-ulama India dalam mengembangkan kitab-kitab hadis. Banyak sekali kitab-kitab hadis yang berkembang dalam masyarakat umat Islam dengan usaha penerbitan yang dilakukan oleh umat-umat India.[25]

Di antara para ulama India yang terkenal antara lain: Shaikh Abdurrahman Abu al-Aliy al-Mubar kafuri karyanya yang terkenal yaitu Tuhfah al-Ahwadhi sharah Sunan Turmudhi dan Shaikh Muhammad Shamsul Haq bin Amir Ali al-‘Azim Abadi yang menulis kitab 'Aunu al-Ma'bud sharah Sunan Abi Daud.

Walaupun Mesir pada awalnya tak semarak India dalam membangkitkan madrasah hadis, namun Mesir dengan al-Azharnya ikut juga mengambil Andil dalam pengembangan madrasah hadis zaman sekarang ini. Ditambah lagi akhir-akhir ini Mesir khususnya al-Azhar mulai menghidupkan kembali sunnah-sunnah mereka terdahulu. Terbukti dengan maraknya kajian hadis yang diadakan di sekitar mesjid legendaris ini, yang diajarkan langsung oleh para pakar hadis mereka. Bahkan al-Azhar tak segan-segan mendatangkan ulama hadis terkemuka demi mejaga dan mengembangkan madrasah hadis di seluruh dunia.


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:


BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

1.    Keadaan Politik Umat Islam Pada Periode Ini, Pada tahun 656 H Baghdad direbut dan khilafah Abbasiyah ditaklukkan, dan Pada permulaan abad VIII, muncullah seorang tokoh di Turki, bernama Utsman Kajuk. la bersama keturunannya berusaha menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang ada di sekitarnya, Dan mulai saat itu, berpindahlah khilafah Islamiyah dari mesir ke Konstatinopel. kerajaan Usman berakhir dengan berdirinya Republik Turki pada tahun 1924 M.

2.    Kegiatan Ulama’ Hadits pada Periode ini, periwayatan Hadits yang pada sebelumnya banyak di lakkan secara Shafawyah sudah tidak lagi banyak di jumpai. Pada periode ini penyampaian dan penerimaan riwayat Hadith banyak dilakukan dengan jalan ijazah dan mukatabah. Dan Kegitan yang terbanyak dilakukan oleh para Ulama pada periode ini pada umumnya adalah mempelajari kitab-kitab yang telah ada, kemudian mengembangkannya.

3.    Macam-macam kitab hadits pada perode ini, Kitab–kitab Zawa’id,  Jawami’, Takhrij, Athraf, Sharah dan Kitab yang membahas masalah tertentu

4.    Perkembangan hadis pada masa ini tak terlepas dari pengaruh dua madrasah hadis terkenal yaitu India dan Mesir yang keduanya merupakan promotor kebangkitan madrasah hadis abad ke-14 hijriyah.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahwu, Muhammad Muhammad, al-Hadith wa al-Muhaddisun, (Riyad: Al-Idarah al-Buhuth al-‘Ilmiyah wa al-Ifta’ wa al-da’wah wa al-Irshad,1984)

Ismail, Muhammad Syuhudi,Pengantar Ilmu Hadis (Bandung: Angkasa, t.th)

Kafuri, Abdurrahman al-Mubar, Muqaddimah Tuhfah al-ahwadhi (Bairut: Daru al-Kutub al-‘ilmiyah, 2001)

Manan, Muhammad Hasyim, Kilasan Sejarah al-Hadis (Surabaya: Media Karya, t.th)

Shiddieqy (Al), Muhammad, Sejarah dan pengantar Ilmu Hadis,(Jakarta: Bulan Bintang,1988)

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Pers,2011)

Zahrani (Al), Muhammad, Ensiklopedia kitab-kitab Rujukan Hadis,(Jakarta: Darul Haq,2012)


[1] Muhammad Muhammad Abu Zahwu, al-Hadith wa al-Muhaddthun (Riyad: Al-Idarah al-Buhuth al-Ilmiyah wa al-Ifta’ wa al-da’wah wa al-Irsyad,1984),435

[2] Ibid.,436

[3] Muhammad Syuhudi Isma’il,Pengantar Ilmu Hadis  (Bandung: Angkasa, t.th),125

[4] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Pers,2011).18

[5] Ibid.,166

[6] Muhammad Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis , 125.

[7] Ibid.,125,126

[8] Ibid.,126

[9] Muhammad Ash Shiddieqy, Sejarah dan pengantar Ilmu Hadits,(Jakarta: Bulan Bintang,1988),127

[10] Muhammad Az-Zahrani, Ensiklopedia kitab-kitab Rujukan Hadits,(Jakarta: Darul Haq,2012),243

[11] Ibid.,243,244

[12] Ibid.,244

``[13] Ibid.,244,245

[14]Abdurrahman al-Mubar kafuri, Muqaddimah Tuhfah al-ahwadhi (Bairut: Daru al-Kutub al-‘ilmiyah, 2001)

[15] Ibid.,40

[16] Muhammad Hasyim Manan, Kilasan Sejarah al-Hadis (Surabaya: Media Karya, t.th),93

[17] Muhammad Az-Zahrani, Ensiklopedia kitab-kitab Rujukan Hadits ,249,252

[18] Muhammad ath-Thahhan,Ushul Takhrij, 12

[19] Alsuyuti, Tadrib al-rawi, 2/155

[20] Muhammad Az-Zahrani, Ensiklopedia kitab-kitab Rujukan Hadits, 232.233.

[21] Muhammad Syuhudi Ismail,Pengantar Ilmu Hadis ,127.

[22] Ibid.,127,128

[23] Ibid.,126

[24] Muhammad Hasyim Manan, Kilasan Sejarah al-Hadis, 93.

[25] Ibid.,126,127

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...